• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Hujan Tropis di Indonesia

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, margasatwa, dan alam lingkungannya begitu erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem. Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh, dan stabilisasi. Proses inilah yang disebut suksesi. Secara singkat suksesi adalah suatu proses perubahan komunitas tumbuh-tumbuhan secara teratur mulai dari tingkat pionir sampai pada tingkat klimaks di suatu tempat tertentu. Macam-macam suksesi berdasarkan proses terjadinya terdapat dua macam suksesi yaitu (Soerianegara dan Indrawan, 2005):

1. Suksesi primer (prisere) adalah perkembangan vegetasi mulai dari habitat tak bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil dan klimaks. Suksesi primer ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan primer. Hutan primer terbentuk dari daratan yang mengalami suksesi yang ideal berkembang mulai dengan masyarakat tumbuhan Cryptogamae (tingkat rendah), tumbuh-tumbuhan herba (terna), semak, perdu, dan pohon, hingga tercapai hutan klimaks.

2. Suksesi sekunder adalah suksesi yang terjadi apabila klimaks atau suksesi yang normal terganggu atau dirusak, misalnya oleh kebakaran, perladangan, penebangan, penggembalaan, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Suksesi sekunder ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan sekunder. Contohnya jika hutan hujan tropis mengalami kerusakan oleh alam atau manusia (penebangan atau perladangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Apabila keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka sesudah 15 – 20

(2)

tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun akan terjadi hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.

Letak geografis Indonesia yang berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, di sekitar khatulistiwa mengakibatkan adanya berbagai macam tipe hutan, salah satunya hutan hujan tropis (tropical rain forest). Hutan hujan tropis di Indonesia memiliki luas ± 89.000.000 ha, terutama terdapat di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Iklim selalu basah

2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah

3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dpl) dan pada tanah tinggi (s/d 4000 m dpl)

4. Dapat dibedakan menjadi tiga zone menurut ketinggiannya, yaitu :

a. Hutan hujan bawah 2 – 1000 m dpl, jenis kayu yang penting antara lain dari genus famili Dipterocarpaceae yaitu Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops,

Dipterocarpus, Hopea, Anisoptera, Vatica, Parashorea, Upuna, dan Cotylelobium. Genus-genus lainnya Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompasia, dan Octomeles.

b. Hutan hujan tengah 1000 – 3000 m dpl, jenis kayu yang umum terdiri dari famili Lauraceae, Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain.

c. Hutan hujan atas 3000 – 4000 m dpl, jenis kayu utama yaitu Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain.

Hutan hujan tropis secara fisiognomi merupakan hutan yang sifatnya menutupi kawasan, dengan keanekaragaman jenis yang paling kaya bila dibandingkan dengan seluruh tipe vegetasi. Hutan hujan tropis juga merupakan hutan tipe kanopi yang evergreen (pohon yang selalu berdaun hijau) dengan ketinggian pohon maksimum rata-rata 30 m. Hutan hujan tropis memiliki peranan sebagai habitat utama untuk flora dan fauna, sumber daya pembangunan ekonomi, pemeliharaan keseimbangan kondisi iklim lokal dan global, selain itu juga sebagai konservasi tanah, air, nutrisi, dan biodiversitas. (Soerianegara dan Indrawan, 2005).

(3)

2.2. Deskripsi Singkat Famili Dipterocarpaceae

Menurut Heyne (1987) famili Dipterocarpaceae memiliki ciri pohonnya besar, tinggi, batangnya lurus, silinder, dan berbanir. Pohon dari famili

Dipterocarpaceae ini persebarannya banyak terdapat di Sumatra dan Kalimantan.

Pohon-pohon ini tumbuh mulai dari dataran rendah hingga tinggi di pegunungan, namun juga banyak di rawa-rawa gambut. Tingginya biasanya 30-40 m dan bagian batangnya yang bebas cabang biasanya 20-25 m panjangnya. Batang-batangnya hampir selalu lurus, tetapi dekat pada tajuknya sering agak bengkok.

Menurut Heyne (1987) untuk kualitas kekuatannya jenis-jenis pohon famili Dipterocarpaceae ini dapat digolongkan kedalam kelas II, III, atau IV. Sedangkan menurut kualitas keawetannya kedalam kelas III atau IV. Karena banyak ditemukan dan bentuk batangnya yang baik serta mudah dikerjakan, maka kayu ini di Sumatra dan Kalimantan termasuk jenis-jenis yang paling banyak digunakan. Jenis-jenis yang ringan, yang dapat lama bertahan terhadap bubuk namun kurang terhadap pengaruh cuaca, oleh penduduk biasa dipakai untuk papan, kasau pada bangunan rumah, dan untuk sampan. Sementara itu, jenis-jenis yang lebih berat, yang lebih kuat, dan lebih awet digunakan untuk gelegar, papan lantai, dan bahkan papan geladak jembatan. Untuk di Eropa yang pada umumnya menuntut syarat-syarat yang lebih berat, biasanya memakai Meranti Merah hanya untuk maksud-maksud semi permanen, untuk dinding hias, dan terutama untuk acuan pada bangunan beton, serta untuk perancah pada bangunan gedung. Tetapi jenis-jenis yang lebih baik konon lambat laun dipakai juga untuk pekerjaan permanen.

Menurut Samingan (1973) famili Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri umum berbentuk pohon raksasa hingga tinggi 65 m, biasanya berbatang lurus, silindris setinggi 20-40 m. Kulit batang yang halus biasanya mengelupas dalam kepingan-kepingan tipis yang lebar-lebar. Kayu gubal putih, putih kekuning-kuningan atau coklat muda dan biasanya mengandung banyak sekali resin. Kayu gubal ini jelas beda daripada kayu terasnya yang berwarna merah atau coklat kemerahan. Untuk persebarannya menunjukkan bahwa Sumatra dan Kalimantan bersama-sama dengan Semenanjung Malaya serta Filipina merupakan pusat daerah Dipterocarpaceae.

(4)

Menurut Prawira dan Tantra (1973) Shorea leprosula Miq atau Meranti Tembaga yang termasuk golongan Meranti Merah yang termasuk ke dalam famili

Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini :

1. Habitus : Pohon tinggi mencapai 50 m, batang bebas cabang 30 m, diameter mencapai 100 cm atau lebih, banir tinggi 3,5 m.

2. Batang : Kulit luar tebalnya kira-kira 5 mm, berwarna abu-abu atau coklat, sedikit beralur tidak dalam, mengelupas agak besar-besar dan tebal. Penampang berwarna coklat muda sampai merah, bagian dalamnya kuning muda. Kayu gubal tebalnya 1-8 cm, berwarna kuning muda sampai kemerahan. Kayu teras berwarna coklat muda sampai merah, peralihannya dari gubal ke teras terjadi secara berangsur.

3. Daun : Rata, hampir menyerupai segiempat memanjang atau bulat telur terbalik yang memanjang, pangkal daun membulat, ujung runcing, panjangnya rata-rata 3-13 cm, lebar 3-6 cm, permukaan atas helaian daun mengkilat dan permukaan bawah suram.

4. Buah : Berbentuk bulat telur, ujungnya agak lancip, berbulu halus berwarna pucat, panjang 1-1,5 cm, diameter kira-kira 1 cm dan sayap-sayapnya tipis.

5. Tumbuh : terdapat banyak di Sumatra dan Kalimantan dalam hutan primer 5-800 m dpl. Pada tanah liat dan berpasir yang selamanya tidak digenangi air, kadang terdapat pula pada pinggir rawa, dan hidup berkelompok.

6. Penggunaan : Kayu mempunyai BJ 0,52 dengan kelas awet III-IV, dipergunakan untuk bangunan rumah, perabot rumah tangga dan perahu. Damarnya dipakai untuk menambal perahu dan lampu.

Menurut Djamhuri dkk. (2002) famili Dipterocarpaceae merupakan pohon raksasa, berdamar, kadang-kadang berbanir, serta kulit batang mengelupas. Daun tunggal berseling, tetapi rata, berdaun penumpu (besar dan tidak rontok), tulang daun ada yang berbentuk tangga (Scalariform veination). Bunga biseksual, beraturan, tersusun dalam malai, kelopak bunga ada lima helai, bebas atau bersatu di pangkal. Buah berbiji satu, keras tidak pecah dan bersayap, sayap merupakan perkembangan dari kelopak bunga. Famili ini mendominasi hutan hujan dataran rendah dan tersebar di kawasan Tropika Asia (India, Srilangka, Myanmar,

(5)

Malaysia, Filipina, Indonesia, Cina Selatan, dan Papua Nugini), di Indonesia terbanyak di Kalimantan dan Sumatra. Famili Dipterocarpaceae ini sudah tercatat 512 jenis dalam 16 marga. Di Indonesia sendiri dijumpai sembilan marga, yaitu

Shorea (Shorea leprosula, shorea pinanga, shorea multiflora, shorea hopeifolia, shorea polyandra, shorea leavifolia), Dryobalanops (Dryobalanops aromatic, Dryobalanops lanceolata, dan Dryobalanops oblongifolia), Dipterocarpus (Dipterocarpus cornutus, Dipterocarpus crinitus), Hopea (Hopea mengarawan, hopea dryobalanoides), Anisoptera (Anisoptera marginata, Anisoptera costata), Vatica (vatica rassak, Vatica wallichii), Parashorea, Upuna, dan Cotylelobium.

Manfaat yang dapat diperoleh dari famili Dipterocarpaceae antara lain sebagai bahan konstruksi, plywood, damar.

2.3. Inventarisasi Hutan

Istilah inventarisasi hutan atau inventore, merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu forest inventory, atau bahasa Belanda bosch inventarisatie. Secara umum, pengertian inventarisasi hutan adalah suatu tindakan untuk mengumpulkan informasi tentang kekayaan hutan. Istilah lain yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia adalah perisalahan. Istilah serupa dalam bahasa Inggris yang mempunyai arti yang lebih spesifik adalah timber cruising, yang lebih menitikberatkan pengumpulan informasi tentang potensi kayu dari suatu areal hutan dalam rencana pembalakan atau logging (Departemen Kehutanan RI, 1992). Inventarisasi hutan adalah suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik-karakteristik areal tempat tumbuhnya. Suatu inventarisasi yang lengkap dipandang dari segi penaksiran kayu harus berisi deskripsi areal berhutan serta kepemilikannya, penaksiran volume pohon-pohon yang masih berdiri, penaksiran riap, dan pengeluaran hasil (Husch, 1987).

Hitam (1987) menyatakan bahwa inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam rangkaian manajemen hutan nasional yang baik dengan tujuan utama menentukan setepatnya dengan waktu dan biaya yang terbatas, massa tegakan dan nilai-nilai pohon sedang berdiri pada suatu tegakan hutan.

(6)

Jenis informasi yang dikumpulkan dalam suatu inventarisasi hutan tergantung pada tujuan. Tingkat kecermatan masing-masing informasi juga bervariasi sesuai dengan peranan informasi dalam tujuan pengelolaan hutan tersebut.

2.4. Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB)

Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) pada prinsipnya berbasis keragaman potensi hutan dan dilaksanakan oleh pemegang IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT pada Hutan Produksi atau suatu KPH. Pengambilan petak contoh (sampling unit) dalam IHMB berbasis petak didasarkan pada kondisi areal yang berhutan. Petak contoh untuk pengamatan pohon pada hutan alam berukuran paling sedikit 0,25 hektar berbentuk empat persegi panjang dengan lebar 20 meter dan panjang 125 meter dan pada hutan tanaman berukuran paling sedikit 0,02 hektar (jari-jari lingkaran 7,94 meter) untuk umur 0 – 10 tahun, luas 0,04 hektar (jari-jari lingkaran 11,28 meter) untuk umur 11 - 20 tahun, dan luas 0,1 hektar (jari-jari lingkaran 17,8 meter ) untuk umur diatas 20 tahun berbentuk lingkaran. Pelaksaaan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dilaksanakan 1 (satu) kali dalam setiap 10 (sepuluh) tahun (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2007).

Tujuan inventarisasi hutan menyeluruh berkala antara lain:

1. Untuk mengetahui kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock) secara berkala

2. Sebagai bahan penyusunan RKUPHHK dalam Hutan Alam dan atau RKUPHHK dalam Hutan Tanaman atau KPH sepuluh tahunan

3. Sebagai bahan pemantauan kecenderungan (trend) kelestarian sediaan tegakan hutan di areal KPH dan atau IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT.

(7)

2.5. Pengukuran Diameter dan Tinggi Pohon Contoh 2.5.1. Pengukuran diameter pohon contoh

Diameter pohon merupakan salah satu parameter yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan data tentang potensi hutan untuk keperluan pengelolaan. Dalam pengukuran diameter pohon yang biasa digunakan adalah diameter setinggi dada (Dbh). Diameter setinggi dada adalah jarak yang menghubungkan antara 2 (dua) titik pada lingkaran penampang melintang pohon yang melalui titik tengah penampang. Di Indonesia, Dbh diukur pada ketinggian batang 1,30 m di atas permukaan tanah (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1992).

2.5.2. Pengukuran tinggi pohon contoh

Metode yang digunakan merupakan metode gabungan antara metode trigonometri dan metode geometri. Metode ini tidak menggunakan alat ukur yang mahal dan canggih, tidak menggunakan pengukuran jarak dan mudah dilakukan baik di hutan tanaman maupun di hutan alam. Perhitungan nilai tinggi dilakukan di kantor. Variabel-variabel yang diukur dalam pengukuran tinggi adalah tinggi total (ht), tinggi bebas cabang (hcp), ujung tongkat aluminium (hp) dan tinggi pada ketinggian 1,5 m (hb) dari atas tanah (Gambar 1). Dapat dilihat bahwa posisi tongkat ukur harus di sisi pohon.

Sumber : Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2007

(8)

Pengukuran dilakukan dengan clinometer dan yang dibaca adalah kelerengan dalam satuan % (tidak boleh dalam satuan derajat). Tinggi total pohon dihitung dengan rumus sebagai berikut :

tinggi ==

4

+

1

.

5

×

h

h

h

h

b p b t

Dimana ht adalah pembacaan clinometer (%) pada tinggi total, hb adalah pembacaan clinometer (%) pada ketinggian 1,5 m dari tanah dan hp adalah pembacaan clinometer (%) pada ujung tongkat.

Untuk mencari tinggi bebas cabang nilai ht digunakan rumus :

tinggi ==

4

+

1

.

5

×

h

h

h

h

b p b cp

Dimana hcp adalah pembacaan clinometer (%) pada tinggi bebas cabang, hb adalah pembacaan clinometer (%) pada ketinggian 1,5 m dari tanah dan hp adalah pembacaan clinometer (%) pada ujung tongkat (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2007).

2.6. Kurva Tinggi

Kurva tinggi adalah kurva yang memberikan gambaran tentang hubungan diameter dengan tinggi. Hubungan antara diameter dengan tinggi dibentuk dengan melalui pengukuran diameter dan tinggi sejumlah individu pohon, kemudian menghubungkan keduanya dengan analisis regresi sehingga bisa dibentuk sebuah persamaan kurva tinggi. Cara lain yang lebih sederhana untuk membentuk kurva tinggi adalah dengan menghitung tinggi rataan tiap-tiap kelas diameter yang kemudian diplotkan dalam sistem kordinat XY. Dengan demikian akan diperoleh sebuah pencaran titik. Tahap berikutnya adalah menarik garis lengkung yang melewati tengah titik-titik tersebut. Teknik ini memang memiliki akurasi yang tidak tinggi, tetapi sudah bisa digunakan untuk pengelolaan hutan masyarakat yang banyak membutuhkan teknik-teknik sederhana.

Kurva tinggi pohon pada hutan alam disusun untuk menduga tinggi komersial (merchantable height curve), yaitu kurva yang memberikan hubungan antara diameter dengan tinggi komersial, yaitu tinggi pohon sampai batas yang

(9)

dapat dimanfaatkan. Pada hutan alam terdapat bermacam jenis pohon, yang dapat digolongkan dalam kelompok-kelompok jenis. Umumnya pengelompokan jenis di hutan alam masih berdasarkan nilai komersialnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kurva tinggi pohon yang digunakan di hutan alam adalah kurva tinggi dari berbagai kelompok jenis.

Kurva tinggi pohon pada hutan tanaman disusun untuk menaksir tinggi total pohon atas dasar peubah (variable) diameter pohon yang diukur. Pada hutan tanaman ini, kurva tinggi pohon total akan digunakan pula sebagai penduga kualitas tapak (site quality). Kurva tinggi pohon pada hutan tanaman disusun berdasarkan jenis tanaman dan pada kelas umur yang berbeda (Sutarahardja, 2008).

2.7. Penyusunan Kurva Tinggi Pohon

Dalam kegiatan inventarisasi tegakan hutan, mengukur tinggi setiap pohon berdiri adalah pekerjaan yang menuntut waktu yang cukup lama dan jauh lebih sulit dibandingkan dengan mengukur diameter pohon. Mengukur seluruh tinggi pohon dalam tegakan hutan yang diinventarisasi di lapangan bukanlah suatu jaminan untuk mendapatkan hasil pengukuran yang teliti, karena akan menghasilkan kesalahan non sampling (non sampling error). Kesalahan non sampling ini akan semakin besar dengan semakin banyaknya pohon-pohon yang diukur. Kesalahan non sampling adalah jenis kesalahan yang bukan berasal dari cara pengambilan contoh dan kesalahan jenis ini sulit untuk ditentukan besarnya. Kesalahan non sampling dapat terjadi dalam pengukuran yang disebabkan oleh faktor-faktor antara lain faktor pengukuran (measurement error), faktor alat (equipment error), faktor manusia (human error) dan faktor lingkungan (environmental error).

Dengan alasan tersebut diatas, untuk mendapatkan data dimensi tinggi pohon dalam kegiatan inventarisasi hutan yang akan digunakan untuk berbagai tujuan, kurva tinggi pohon perlu disediakan. Kurva tinggi pohon disusun untuk menentukan tinggi pohon untuk pohon-pohon yang tidak diukur dalam kegiatan inventarisasi tegakan hutan. Dengan kurva tinggi pohon ini, maka tabel tinggi pohon dapat dibuat. Penyusunan kurva tinggi pohon tersebut menggunakan dasar

(10)

hubungan antara tinggi pohon dengan diameter pohon. Selain itu, hubungan tinggi pohon dengan diameter pohon sering dibutuhkan untuk bahan dasar analisa penyusunan tabel volume lokal (local volume tables). Dengan tersedianya tabel tinggi pohon, maka dalam inventarisasi hutan tidak lagi diperlukan pengukuran tinggi pohon, melainkan cukup dengan mengukur diameter pohon. Tinggi pohon dapat ditentukan pada tabel tinggi pohon atas dasar diameter pohon yang diukur (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2007).

Untuk menyusun kurva tinggi pohon, hubungan antara tinggi pohon dengan diameter pohon dapat dibuat dengan cara ploting (free hand methods) atau hubungan tersebut dinyatakan dengan menggunakan fungsi matematis (mathematical functions) dan diolah dengan menggunakan analisa regresi (regression analysis). Bentuk kurva bervariasi dari suatu tegakan hutan dengan tegakan hutan yang lain, sehingga untuk menggambarkan hubungan antara tinggi pohon dengan diameter pohon, banyak fungsi-fungsi matematis untuk menggambarkan hubungan tersebut telah dikembangkan, antara lain diantaranya adalah (Husch et al 2003; van Laar & Akca, 1997 dan Husch, 1963) :

h = 4.5 + b1 D + b2 D2 (Trorey, 1932) h = 4.5 + h (1- e-aD) (Meyer, 1940)

Log h = b0 + b1 log D (Stoffels and Van Soest, 1953) h = b0 + b1 log D (Henricksen, 1950)

Log h = b0 + b1 D-1 (Avery and Burkhart, 2002) h = b0 Db1 atau log h = log b0 + b1 log D (Prodan et al. (1997) h = b0 + b1 D + b2 D2 h–1.3 = b1 D + b2 D2 h = b0 + b1 ln (D) ln (h) = b0 + b1 ln (D) Dimana : bi = konstanta h = tinggi pohon

D = diameter pohon setinggi dada ln = natural logaritma

Pada model-model tersebut dapat digunakan satuan ukuran metriks, yaitu meter untuk tinggi pohon dan satuan cm untuk diameter pohon.

(11)

Meskipun banyak fungsi-fungsi hubungan tersebut telah dikembangkan untuk melukiskan hubungan antara tinggi pohon dengan diameter pohon, tetapi persamaan parabolik (h = 4.5 + b1 D + b2 D2 atau h = b0 + b1 D + b2 D2) telah digunakan untuk menggambarkan hubungan tinggi dengan diameter pohon pada banyak tegakan hutan. Bagaimanapun jika ingin menggunakan suatu fungsi matematik untuk menggambarkan hubungan tinggi dengan diameter pohon untuk tegakan tertentu, maka pengujian perlu dilakukan untuk melihat fungsi hubungan yang mana terbaik untuk dapat digunakan (Husch et al, 2003 dan Husch, 1963).

Untuk tujuan pembuatan kurva tinggi ini perlu dilakukan pengukuran tinggi pohon dan diameter pohon dengan teliti dan benar terhadap sejumlah pohon-pohon contoh atau pohon-pohon model (sample trees) yang dirancang tersebar merata (representative) pada setiap ukuran kelas diameter pohon, pada setiap kelas umur pohon dan pada kelompok-kelompok jenis pohon. Pohon contoh yang dipilih hendaknya pohon yang sehat dan baik pertumbuhannya.

Untuk membuat kurva tinggi tersebut dengan free hand methods, dilakukan pembuatan scatter diagram hubungan tinggi pohon dengan diameter pohon dan untuk setiap kelas diameter diplotkan titik nilai rata-ratanya. Diantara titik-titik nilai rata-rata tersebut ditarik garis lurus sedemikian rupa agar garis lurus tersebut berada ditengah-tengah sebaran titik-titik nilai rata-rata tersebut.

Cara lain untuk menggambarkan kurva tinggi dilakukan dengan analisa regresi (linear regression analysis), baik regresi linier sederhana (simple linear

regression analysis) maupun regresi linier berganda (multiple linear regression analysis), tergantung fungsi matematik yang digunakan atau tergantung

banyaknya peubah bebas yang dipakai. Bentuk-bentuk persamaan yang non-linier ditransformasikan menjadi bentuk linier. Kurva tinggi yang dapat digunakan adalah kurva yang hubungan antara diameter dan tingginya cukup kuat. Perbedaan kurva tinggi untuk kelompok jenis yang sama menyatakan perbedaan site di mana pohon sampel diambil. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi yang berbeda, mungkin memperoleh kurva tinggi yang berbeda pula. Dengan demikian setiap IUPHHK sebaiknya mempunyai kurva yang berasal dari wilayahnya masing-masing (Sutarahardja, 2008).

(12)

2.8. Validasi Kurva Tinggi Pohon

Dalam mengevaluasi model, Spurr ( 1955) dan Prodan (1965) mengatakan bahwa persamaan regresi sebagai penduga isi pohon cukup seksama apabila persamaan-persamaan tersebut memberikan simpangan baku sisaan seminimal mungkin. Hal ini juga dapat diterapkan dalam mengevaluasi model kurva tinggi.

Untuk mengetahui apakah hasil persamaan-persamaan regresi yang telah disusun sebelumnya valid atau tidak, maka perlu dilakukan uji validasi dengan menggunakan pohon contoh yang telah dialokasikan sebelumnya khusus untuk pengujian validasi model. Data pohon contoh tersebut tidak digunakan dalam penyusunan model-model kurva tinggi diatas. Uji validasi model dapat dilakukan dengan menghitung nilai-nilai simpangan agregasinya (agregative deviation), simpangan rata-rata (mean deviation), RMSE (root mean square error), biasnya serta uji beda nyata antara tinggi yang diduga dengan tabel terhadap tinggi nyatanya. Uji beda nyata bisa dilakukan dengan cara uji Khi-kuadrat. Suatu persamaan regresi dapat dinyatakan valid untuk digunakan apabila memenuhi persyaratan tertentu dari hasil uji validasi yang digunakan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fragmen gen NRAMP-1|S ac I ekson 11 dan INOS|AluI intron 24 pada pada ayam Sentul Seleksi bersifat polimorfik karena terdapat tiga

Pengertian abstraksi dikemukakan oleh Ruseffendi (1988) dalam Mulyana, “Abstraksi adalah pemahaman melalui pengamatan tentang sifat-sifat bersama yang dimiliki dan sifat-sifat

memegang bet, servis forehand dan backhand, memukul forehand dan backhand, dan variasi gerak memegang bet dan memukul forehand dan backhand permainan tenis meja dalam

WIDODO SUDIYONO,

tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang

Untuk mendapatkan detail perkerjaan (aktivitas) yang akan dikerjakan pada proyek tersebut, ada 3 tools yang ibsa digunakan, yaitu brainstorming with team (diskusi,

Sehingga perkembangan penyerapan tenaga kerja pada usaha industri kecil juga turut mengalami fluktuasi perkembangan yang cukup positif,yang mana pada tahun 2012

Suryabrata menjelaskan, (1) hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya masih harus diuji empiris, (2) hipotesis merupakan rangkumaan