• Tidak ada hasil yang ditemukan

Scanned by CamScanner

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Scanned by CamScanner"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

i

PERAWATAN PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2

DAN DIABETIC FOOT

OLEH:

Ns. GUSTI AYU ARY ANTARI, M.Kep., Sp. Kep. M.B NIK 1990041020140322001

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR, 2018

(4)

ii

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya maka tulisan ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tentunya, dalam penyusunan tulisan ilmiah ini ada hal-hal yang masih belum sempurna sehingga kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan tulisan ilmiah ini. Semoga tulisan ini memberikan manfaat untuk para pembaca.

Denpasar, Nopember 2018

(5)

iii

HALAMAN JUDUL ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ...iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2

BAB 2 KAJIAN LITERATUR

2.1 Konsep Diabetes Melitus Tipe 2 ... 3 2.2 Konsep Diabetic Foot... 12 2.3 Perawatan pada Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan Komplikasi Diabetic

Foot ... 21

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan ... 25 3.2 Saran ... 25

(6)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, perkembangan pola kehidupan masyarakat telah menyebabkan terjadinya pergeseran epidemiologi penyakit. Saat ini, pola penyakit mengalami transisi dari penyakit menular (communicable diseases) ke penyakit tidak menular (non communicable diseases), salah satunya ditandai dengan peningkatan jumlah penderita Diabetes Melitus (DM). DM merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2010; Perkeni, 2011).

Pasien dengan DMT2 dilaporkan memiliki kecenderungan dua kali lebih mudah mengalami trombosis serebral dibandingkan pasien non DMT2. Selain itu, risiko penyakit jantung koroner juga dilaporkan dua kali lebih tinggi pada pasien dengan DMT2, risiko gagal ginjal meningkat 17 kali dan risiko perkembangan diabetic foot juga meningkat 50 kali. Komplikasi menahun DMT2 di Indonesia terdiri dari neuropati sebanyak 60%, penyakit jantung koroner sebanyak 20,5%, ulkus diabetika sebanyak 15%, retinopati sebanyak 10%, dan nefropati sebanyak 7,1% (Waspadji, 2006).

Diabetic foot merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada pasien dengan DMT2. Kejadian diabetic foot yang tidak terkontrol dengan baik meningkatkan risiko amputasi pasien. Selain itu, diabetic foot juga mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman (Waspadji, 2006). Kondisi neuropati perifer pada pasien DMT2 juga menyulitkan penyembuhan luka.

Penelitian case control oleh Trihastuti (2008) menemukan berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian diabetic foot pada penderita diabetes mellitus,

(7)

meliputi faktor risiko tidak dapat diubah seperti umur ≥ 60 tahun dan lama menderita DM ≥ 10 tahun, serta faktor risiko dapat diubah seperti neuropati, obesitas, hipertensi, tidak terkontrol kadar glikolisasi hemoglobin (HbA1c), kadar glukosa darah, kadar kolesterol total, kadar HDL, kadar trigliserida, kebiasaan merokok, ketidakpatuhan diet DM, kurangnya aktivitas fisik, pengobatan tidak teratur, perawatan kaki diabetisi tidak teratur, dan penggunaan alas kaki yang tidak tepat (Trihastuti, 2008). Bebagai faktor risiko tersebut menjadi fokus dalam pengelolaan pasien dengan DMT2.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita DMT2. Pada perawatan pasien dengan DMT2, fokus penanganan adalah pada pilar-pilar pengelolaan DM. Pilar ini mencakup edukasi, nutrisi, medikasi, aktivitas fisik dan kontrol glikemik. Pengelolaan DM ini bersifat komprehensif yang mencakup semua aspek kehidupan pasien dan dilakukan secara multidisiplin.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui konsep penyakit diabetes melitus tipe 2 dan komplikasinya berupa diabetic foot

(8)

BAB 2

KAJIAN LITERATUR

2.1 Konsep Diabetes Melitus Tipe 2 2.1.1 Pengertian

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolism yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, secara klinis, diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, arterosklerosis dan penyakit vascular mikroangiopati (Price, 2006). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang bersifat degeneratif yang dimanifestasikan oleh kehilangan toleransi karbohidrat dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya dan merupakan salah satu penyakit tidak menular yang sangat cepat peningkatannya (American Diabetes Association, 2011: Price & Wilson, 2006 : Suryono dalam Sudoyo, 2007).

Pada penderita diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang juga dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskuler kronis (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan peningkatan insidens penyakit makrovaskular yang mencakup infark miokard, stroke dan penyakit vaskular perifer (Smeltzer & Bare, 2002).

Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakan, sehingga mobriditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi (Sugondo, 2007). Di dunia, angka kejadian diabetes melitus terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2025 akan terjadi peningkatan jumlah penderita diabetes melitus terutama di negara-negara berkembang (Ziaei-Rad, 2010).

(9)

2.1.2 Klasifikasi

American Diabetes Association (2011), klasifikasi DM terdiri dari: 1. Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT1)

DM tipe 1 merupakan bentuk DM parah yang sangat lazim terjadi pada anak remaja tetapi kadang‐kandang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang non‐obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma meningkat dan sel‐sel ß pankreas gagal merespons semua stimulus insulinogenik.

Oleh karena itu, diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah. Gejala penderita DM tipe 1 termasuk peningkatan ekskresi urin (polyuria), rasa haus (polydipsia), lapar (polyphagia), berat badan turun, pandangan terganggu, lelh dan gejalan ini dapat terjadi sewaktu-waktu (WHO, 2011).

2. Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2)

DM tipe 2 terutama terjadi pada orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal atau secara relative tidak mencakupi. Obesitas pada uumnya penyebab gangguan kerja insulin, merupakan factor risiko yang biasa terjadi pada DM tipe ini dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya penurunan kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respon sel β pancreas terhadap glukosa.

Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar. Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang-kadang komplikasi dapat terjadi. Tipe DM ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak-anak yang obesitas (Soegondo, 2008).

2.1.3 Penyebab

Diabetes mellitus mempunyai etiologi yang heterogen,, dimana berbagai lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya

(10)

memegang peranan penting pada mayoritas diabetes mellitus. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi DM yaitu:

a. Kelainan sel beta pancreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin

b. Factor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan

c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas

yang disertai pembentukan sel-sel antibody antipankreatik dan

mengakibatkan kerusakan sel-sel penyekresi insulin, kemudian peningktan kepekaan sel beta oleh virus

d. Kelainan insulin, pada pasien obesitas, terganggu kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membrane sel yang responsif terhadap insulin.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis DMT2 berkaitan dengan defisiensi relatif insulin. Ketika hiperglikemia melebihi ambang ginjal (180mg/dl), maka timbul tanda dan gejala glukosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik. Akibat diuresis osmotik akan meningkatkan pengeluaran urin (poliuri), timbul rasa haus yang menyebabkan banyak minum (polidipsi). Pasien juga banyak makan (polifagi) akibat katabolisme yang dicetuskan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein serta lemak. Oleh karena pengeluaran glukosa melalui urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif, akibatnya berat badan menurun. Pasien juga mengalami gejala lain seperti keletihan, kelemahan, tiba-tiba terjadi perubahan pandangan, kebas pada tangan atau kaki, kulit kering, luka yang sulit sembuh, dan sering muncul infeksi (Price & Wilson, 2006; Schteingart, 2006; Smeltzer & Bare, 2008).

2.1.5 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

DMT2 disebabkan oleh interaksi yang kompleks dari faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Berkaitan dengan etiologi tersebut, patofisiologi terjadinya

(11)

hiperglikemia dapat disebabkan oleh resistensi insulin (kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin) dan defisiensi insulin relatif (tidak adekuatnya sekresi insulin secara kuantitatif) (IDF, 2011; Alvin, 2003).

DMT2 biasanya dihubungkan dengan obesitas, karena obesitas dapat menyebabkan sel menjadi resisten terhadap insulin (Alvin, 2003). Sekitar 80-85% penderita DMT2 mengalami obesitas. Pada awalnya toleransi glukosa pada penderita DMT2 masih normal walaupun terjadi resistensi insulin akibat berkurangnya sensitivitas jaringan terhadap insulin. Hal ini dikarenakan sel beta pankreas berusaha mempertahankan kondisi euglikemia dengan meningkatkan sekresi insulin. Lama-kelamaan kompensasi pankreas dengan hiperinsulinemia tersebut menyebabkan sel beta pankreas mengalami kelelahan dan tidak mampu lagi melakukan kompensasi (Smeltzer, 2008). Keadaan ini menyebabkan kerusakan pada sel beta pankreas, penurunan sekresi insulin yang diikuti oleh hiperglikemia kronis (Alvin, 2003).

Pada kondisi hiperglikemia, ginjal tidak mampu mereabsorbsi glukosa yang telah terfiltrasi sehingga menyebabkan terjadinya glikosuria. Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan melalui urine, ekskresi ini akan disertai dengan pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini disebut dengan diuresis osmosis. Sebagai akibatnya, maka penderita dapat mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus berlebih (polidipsia) (Smeltzer, 2008).

Defisiensi insulin juga dapat mengganggu metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Penderita DMT2 dapat mengalami peningkatan nafsu makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan (Smeltzer, 2008; Price & Wilson, 2006). Gangguan regulasi metabolik yang terjadi pada DMT2 ini dapat menyebabkan perubahan patofisiologi sekunder pada berbagai sistem organ tubuh sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di waktu yang akan datang (Alvin, 2003).

(12)

2.1.6 Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 2

Komplikasi-komplikasi diabetes dapat dibagi menjadi dua kategori mayor, yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskuler jangka panjang. Komplikasi diabetes juga menyebabkan gangguan pada saraf yang meliputi saraf perifer, otonom dan medulla spinalis.

1. Komplikasi Metabolik Akut

Ada tiga komplikasi akut pada diabtes yang penting dan berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetic dan sindrom HHNK (juga

disebut koma hiperglikemik hyperosmolar nonketoktik atau HONK

(hyperosmolar nonketotik) (Smeltzer & Bare, 2002).

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi kalau kadar glukosa darah turun di bawah 50 mg/dl- 60mg/dl (2,7 mmol/L-3,3 mmol/L) keadaan ini terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktifitas fisik yang berat. Hipoglikemia dapat terjadi pada siang atau malam hari. Kejadian ini bisa dijumpai sebelum makan, khususnya jika waktu makan tertunda atau bila pasien lupa makan cemilan (Smeltzer & Bare, 2002).

Hipoglikemia akut menunjukkan gejala Triad Whipple yang meliputi keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah (< 3mmol/L hipoglikemia pada diabetes) dan hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikoreksi (Soemadji dalam Sudoyo, 2006). Tanda-tanda hipoglikemia adalah sebagai berikut:

1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.

2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sederhana.

3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama dihidung, bibir atau tangan, berdebar-debar.

(13)

b. Ketoasidosis Diabetik

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolism karbohidrat, protein dan lemak. Kriteria diagnosis KAD yaitu kadar glukosa > 250 mg/dl, pH < 7,35, HCO3 rendah, anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Ada gambaran klinis yang penting pada diabetes ketoasidosis yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel juga akan berkurang. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua factor ini akan menimbulkan hiperglikemia, dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (natrium dan kalium).

Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (lipolysis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi bahan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetic terjadi produksi bahan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin. Badan keton bersifat asam dan bila tertumpuk dalam sirkulasi darah badan keton akan menimbulkan asidosis metabolic (Smeltzer & Bare, 2002).

c. Sindrom HHNK

Sindrom Hyperglicemia Hiperosmolar Non Ketotic (HHNK) merupakan keadaan yang didominasi, oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran. Pada saat yang sama tidak ada atau terjadi ketosis ringan. Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotiksehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahakankan keseimbangan osmotic, cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke ekstrasel. Dengan adanya glukosaria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaan hypernatremia dan peningkatan osmolaritas.

Gambaran klinis HHNK terdiri dari gejala hipotensi, dehidrasi berat, takikardia dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi. Perbedaan antara sindrom HHNK dan DKA adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada sindrom HHNK.

(14)

Perbedaan jumlah insulin yang terdapat dalam masing-masing keadaan ini dianggap penyebab parsial perbedaan diatas. Pada sidrom HHNK, kadar insulin tidak rendah, meskipun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia (dan selanjutnya diuresis osmotic). Penderita sindrom HHNK tidak akan mengalami gejala sistem gastrointestinal yang berhubungan dengan ketosis seperti pada penderita DKA (Smeltzer & Bare, 2002).

2. Komplikasi Vaskuler Jangka Panjang

Komplikasi vaskuler jangka panjang DM meliputi mikroangiopati dan makroangiopati. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriol retina (retinopati diabetic), otot-otot dan kulit. Makroangiopati diabetic dapat mengakibatkan insufisiensi vascular perifer disertai klaudikasio intermitten dan gangrene pada ekstremitas. Bila yang terkena arteri koronaria dan aorta maka dapat menyebabkan angina dan infrak miokard (American Diabetes Associattion, 2010; Price& Wilson, 2006, Smeltzer&Bare, 2002).

a. Komplikasi Makrovaskuler

Perubahan aterosklerosis dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada diabetes. Perubahan aterosklerosis ini serupa dengan yang terlihat pada pasien-pasien nondiabetik, kecuali dalam hal bahwa perubahan tersebut cenderung terjadi pada usia muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien-pasien diabetes (Smeltzer& Bare, 2002). Komplikasi makrovaskular ini meliputi:

1) Penyakit Arteri Koroner

Perubahan aterosklerosis dalam pembuluh arteri coroner menyebabkan peningkatan insidens infark miokard pada penderita diabetes. Salah satu ciri unik pada penyakit arteri coroner yang diderita oleh pasien-paisen diabetes adalah tidak terdapatnya gejala iskemik yang khas. Jadi, pasien mungkin tidak memperlihatkan tanda-tanda awal penurunan aliran darah coroner dan dapat mengalami infark miokard asimtomatik dimana keluhan sakit dada atau gejala khas lainnya tidak dialaminya. Kurangnya gejala iskemik ini disbebakan oleh neuropati otonom (Smeltzer & Bare, 2002).

(15)

2) Penyakit Serebrovaskuler

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa aliran darah shingga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas (TIA = transient ischemic attack) dan stroke. Gejala penyakit serebrovaskuler ini dapat meyerupai gejala pada komplikasi akut diabetes (sindrom HHNK atau hipoglikemia). Gejala tersebut mencakup keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan, bicara pelo dan kelemahan. Karena itu, pemeriksaan kadar glukosa darah sangat penting pada pasien yang mengeluhkan semua gejala di atas (Smeltzer&Bare, 2002).

3) Penyakit Vaskuler Perifer

Perubahan aterosklerosis dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insidens penyakit oklusif arteri perifer pada pasien-pasien diabetes. Tanda-tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer dapat mencakup berkurangnya denyut nadi perifer dan klaudikasio itntermitten (nyri pda betis atau pantat ketika berjalan). Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstremitas bawah ini merupakan penyebab utama meningkatnya insidens gangrene dan amputasi pada pasien-pasien diabetes (Smaltzer&Bare, 2002).

b. Komplikasi Mikrovaskuler

Penyakit mikrovaskuler diabetic ditandai oleh penebalan membrane basalis pembuluh kapiler. Membrane basalis mengelilingi sel-sel endotel kapiler (Smeltzer&Bare, 2002). Komplikasi mikrovaskular mencakup:

1) Retinopati diabetic

Retinopati diabetic diakibatkan oleh rusaknya pembuluh darah yang mengaliri retina. Bentuk kerusakan bisa bocor dan keluar cairan/ darah yang membuat retina bengkak atau timbul endapan lemak/ eksudat.

(16)

2) Nefropati diabetic

Sekitar 20-40% pasien diabetic akan mengalami nefropati diabetic. Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam (albuminuria mikro) merupakan tanda dini dari nefropati diabetic. Pasien diabetes yang disertai dengan albuminuria mikro dan berubah menjadi albuminuria makro (≥300 mg/24 jam), pada akhirnya sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronis stadium akhir (PERKERNI, 2006).

3) Neuropati diabetic

Neuropati diabetes merupakan adanya tanda dan atau gejala disfungsi saraf perifer setelah penyebab lain disingkirkan. Neuropati tidak dapat didiagnosa tanpa

(17)

pemeriksaan klinik dan tidak adanya gejala tidak berarti tidak adanya neuropati. Neuropati perifer diabetes tidak dapat didiagnosa hanya dengan satu gejala, tanda, atau pemeriksaan tunggal minimal terdapat dua abnormalitas

Permasalahan diabetic foot atau kaki diabetes berkaitan dengan beberapa komplikasi mikrovaskuar dan makrovaskular, yaitu: (Smeltzer, 2008):

1) Neuropati

neuropati sensorik menyebabkan hilangnya sensasi nyeri dan tekanan, sedangkan neuropati autonomy menyebabkan peningkatan kekeringan dan fisura pada kulit (akibat penurunan produksi keringat). Neuropati motorik menyebabkan atrofi muscular, yang menyebabkan perubahan bentuk kaki. 2) Penyakit vascular perifer

Rendahnya sirkulasi darah (termasuk nutrisi, oksigen dan antibiotika) pada ekstremitas bawah menyebabkan proses penyembuhan luka menjadi terganggu dan dapat berkembang menjadi gangrene.

3) Imunokompromais

4) Hiperglikemia mengganggu kemampuan lukosit untuk merusak bakteri.

2.2 Konsep Diabetic Foot 2.2.1 Pengertian

Ulkus diabetik merupakan salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus yang berupa luka terbuka pada permukaan kulit dan dapat disertai dengan kematian jaringan setempat (Robert, 2003). Ulkus kaki diabetik adalah kerusakan

(18)

sebagian (partial Thicknes) atau keseluruhan (full thickness) pada kulit dan dapat meluas ke jaringan dibawah kulit, tendon, otot atau persendian yang terjadi pada penderita penyakit diabetes mellitus (DM), kondisi ini timbul sebagai akibat terjadinya peningkatan kadar gula darah yang tinggi. Jika ulkus kaki yang tidak dilakukan penatalaksanaan, tidak sembuh dan berlangsung lama luka akan menjadi terinfeksi. Ulkus kaki, infeksi, neuroarthropati dan penyakit arteri perifer sering mengakibatkan gangrene dan amputasi ekstremitas bagian bawah (Parmet, 2005 : Frykberg, dkk, 2006).

Gambar 1. Diabetic Foot

Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat hiperglikemia, yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.

1. Teori Sorbitol

Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan dapat mentranspor glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan tidak akan termetabolisasi secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel/ jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.

(19)

2. Teori Glikosilasi

Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosiliasi pada semua protein, terutama pada yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada protein membrane basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun mikro vaskuler. Factor utama yang berperan timbulnya kaki diabetic adalah adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya gangguan sensorik maupuj motoric. Gangguan sensorik akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motoric juga akan mengakibatkan terjadinya atropi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang mengakibatkan ulserasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu.

2.2.2 Klasifikasi

1. Wagner (1983) membagi gangrene kaki diabetic menjadi enam tingkatan, yaitu:

a. Derajat 0: tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “claw, callus”

b. Derajat I: ulkus superfisial terbatas pada kulit

c. Derajat II: ulkus dalam menembus tendon dan tulang d. Derajat III: abses dalam, dengan atau tanpa osteomyelitis

e. Derajat IV: gangrene jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.

f. Derajat V: gangrene seluruh kaki atau sebagian tungkai.

2. Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangrene kaki menjadi 2 golongan: a. Kaki diabetic akibat iskemia (KDI)

Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati (arteroskerosis) dari pembuluh darah besar ditungkai,

(20)

terutama di betis. Gambaran klinis KDI: 1) Pasien mengeluh nyeri waktu istirahat 2) Pada perabaan terasa dingin

3) Pulsasi pembuluh darah kurang kuat 4) Didapatkan ulkus sampai gangrene b. Kaki diabetic akibat neuropati (KDN)

Terjadi kerusakan syaraf somatic dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi. Klinis dijumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.

Gambar 2. Klasifikasi menurut Wagner

2.2.3 Patofisiologi

Menurut Soeparman (2004), neuropati sensori perifer dan trauma adalah penyebab utama terjadinya ulkus. Neuropati yang dapat menyebabkan ulkus adalah neuropati motorik dan otonom. Neuropati adalah suatu sindroma yang menyatakan beberapa gangguan pada saraf. Pasien diabetes mellitus menjalani neuropati untuk beberapa hal yaitu:

(21)

1. Kondisi hiperglikemia aldose reduktase mengubah glukosa menjadi sorbitol dan sorbitol banyak terakumulasi pada endotel yang dapat mengganggu suplai darah pada sarah sehingga axon menjadi atropi lalu akan memperlambat konduksi impuls sarafnya.

2. Pengendapan Advanced Glycosylation End-Product (AGE-P) menyebabkan penurunan aktifitas myelin (demielinasi).

Neuropati sensori dapat mengakibatkan terjadinya penurunan sensifitas terhadap tekanan atau trauma, neuropati motorik dapat mengakibatkan kelainan bentuk pada sendi dan tulang, neuropati otonom mengakibatkan fungsi kelenjar keringat pada perifer menurun yang akan menyebabkan kulit menjadi kering dan terbentuk menjadi fisura. Penyakit vaskuler yang terdiri dari mikroangipati dan makroangipati akan menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah pada tubuh. Selain neuropati, penyakit vaskuler juga dapat menyebabkan terjadinya ulkus. Penyakit vaskuler perifer terdiri dari : a. Mikroangipati, merupakan kondisi dimana terjadi penebalan membrane

basalis kapiler dan peningkatan aliran darah dan mengakibatkan terjadinya edema neuropati.

b. Makroangipati, yaitu terjadinya ateriosklerosis yang menyebabkan penurunan aliran darah (iskemia). Trauma dan kerusakan respon terhadap proses infeksi dapat menjadi penyebab terjadinya luka diabetes selain neuropati dan penyakit vaskuler peerifer.

c. Adanya neuropati, penyakit vaskuler dan trauma dapat mengakibatkan terjadinya ulkus pada ekstremitas.

(22)

Gambar 3 Patofisiologi Diabetic Foot

Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan terkait diabetic foot dapat berupa:

Pemeriksaan diagnotik pada ulkus Diabetik menurut Waspadji (2006) adalah meliput:

1. Pemeriksaan fisik yang mencakup inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka/ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.

2. Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.

(23)

2.2.4 Penatalaksanaan

Menurut Frykberg (2006), tujuan dari pentalaksanaan ulkus kaki diabetik adalah untuk mencapai penutupan luka secepat mungkin. Menurunkan angka amputasi pada ekstremitas bagian bawah pasien. Area penting dalam pentalaksanaan ulkus diabetik meliputi evaluasi status vaskuler dan tindakan yang tepat pengkajian gaya hidup/ faktor psikologi, pentalaksanaan dasar luka dan penurunan tekanan.

1. Evaluasi status vaskuler

Perfusi arteri memegang peranan penting dalam penyembuhan luka dan harus dikaji pada pasien ulkus, selama sirkulasi terganggu luka akan mengalami kegagalan penyembuhan dan beresiko amputasi. Adanya insufisiensi vaskuler dapat berupa edema, karakteristik kulit yang terganggu, penyembuhan lambat, ekstremitas dingin (Frykberg, 2006).

2. Pengkajian gaya hidup

Gaya hidup dan faktor psikologi dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Contohnya antara lain alcohol, merokok, penyalahgunaan obat, kebiasaan makan, obesitas, malnutrisi dan tingkat mobilisas (Delmas, 2006).

3. Penatalaksanaan dasar luka

Tujuan dilakukannya debridement adalah membuang jaringan mati atau jaringan yang tidak penting(Delmas, 2006). Kelembapan akan mempercepat

proses reepitelisasi pada ulkus. Keseimbangan kelembapan ulkus

meningkatkan proses autolysis dan granulasi. Untuk itu diperlukan pemilihan balutan yang menjaga kelebapan luka.Dalam pemilihan balutan, sangat penting diketahui bahwa tidak ada balutan yang paling tepat terhadap semua ulkus diabetik.

4. Penurunan tekanan (Off Loading)

Menurunkan tekanan pada ulkus diabetic merupakan tindakan yang sangat penting.Off loading mencegah trauma lebih lanjut dan membantu meningkatkan penyembuhan. Delmas (2006) menyatakan ulkus kaki diabetic merupakan luka kompleks yang dalam penatalaksanaannya harus sitematik dengan pendektan tim interdisiplin.

(24)

Perawatan ulkus diabetik sampai saat ini masih menjadi bahan penelitian yang cukup menarik dan menjadi perhatian yang serius. Perkembangan penggunaan bahan modern maupun tradisional untuk perawatan luka menjadi bahan penelitian yang tidak akan pernah habisnya karena dalam memberikan perawatan diharuskan berdasarkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan yang timbul sehingga didapatkan tindakan yang sangat efektif.

Metode penanganan luka bertekanan negative atau Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) saat ini banyak digunakan dan dikembangkan untuk menangani luka kompleks termasuk ulkus diabetik. Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) merupakan pengembangan yang canggih dari prosedur perawatan luka, penggunaan vakum drainase membantu untuk menghilangkan darah atau cairan serosa (nanah) dari bagian luka. NPWT digunakan untuk manajemen luka dengan menggunakan tekanan negatif atau tekanan sub-atmosfer di tempat luka. Cara kerja NPWT sangat sederhana, sepotong busa dengan struktur pori-pori terbuka dimasukkan ke dalam luka dan menguras luka dengan perforasi lateral diletakkan di atasnya. Seluruh area kemudian ditutup dengan perekat membran transparan, yang tegas dijamin ke kulit sehat di sekitar tepi luka. Drainage tubbing dihubungkan ke sumber vakum, cairan diambil dari luka melalui busa ke dalam reservoir untuk pembuangan. Membran plastik mencegah masuknya udara dan cairan dari luar. Pastikan seluruh permukaan luka terkena efek tekanan negatif. Setelah itu tutup dengan transparent occlusive dressing.

Prinsip NPWT pada perawatan luka adalah pembersihan luka secara kontinyu, pergerakan eksudat, menyerap oedem dan stimulasi jaringan granulasi. Kelebihan metode ini dapat diterapkan dengan mudah dan cepat dan meminimalkan pembentukan hematoma serta resiko infeksi berkurang, sedangkan kelemahan metode ini dapat terjadi erosi disekitar jaringan karena tekanan yang disebabkan oleh tubing evakuasi, dapat menimbulkan perdarahan kecil dan dapat terjadi dermatitis.

(25)

Selain NPWT, metode lainnya yang juga dikembangkan dalam manajemen luka ulkus diabetikum adalah penggunaan belatung. Penggunaan belatung pada luka juga masih menjadi bahan penelitian yang menarik walaupun metode ini sudah diamati sejak lama dan sempat kurang popular namun saat ini menjadi metode yang efektif untuk menghindari resistensi penggunaan antibiotik. Belatung mempunyai 3 kegunaan dalam proses penyembuhan luka, yaitu: debridement, desinfeksi, dan mempercepat pertumbuhan jaringan baru. Belatung dapat digunakan untuk debridement atau dikenal sebagai Maggot Debridement Therapy (MDT) sebab belatung dapat memakan jaringan mati (nekrotik) tanpa mengganggu jaringan sehat. Belatung memiliki sepasang taring pada rahangnya yang digunakan untuk bergerak dan menempel pada luka. Hal inilah yang memungkinkan pelepasan jaringan nekrotik dari luka. Selain itu, belatung juga mengeluarkan enzim proteolitik yang mampu melunakkan jaringan nekrotik sehingga dengan mudah ditelan dan didegradasi dalam usus belatung. Manfaat kedua dari belatung adalah desinfeksi luka. Hal ini dikarenakan kemampuannya dalam mensekresi enzim yang bisa merubah pH luka sehingga tidak kondusif lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri pada luka termasuk mendegradasi biofilm pada luka dan mencerna Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA).

Keuntungan ketiga penggunaan belatung dalam perawatan luka, yaitu kemampuannya menstimulasi penyembuhan luka sehingga mempercepat proses penyembuhan luka. Aksi belatung dalam mencerna jaringan nekrotik luka dipercaya dapat menstimulasi pertumbuhan jaringan granulasi pada luka yang merupakan fase terpenting dari proses penutupan luka. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan belatung dalam perawatan luka memiliki beberapa keuntung, seperti selektif debridement (karena hanya mencerna jaringan nekrotik), mengurangi jumlah bakteri luka (bacterial load), mengendalikan MRSA, kemampuan melakukan “micromassage” sehingga menstimulasi penyembuhan luka. Sedangkan kekurangan penggunaan belatung dalam perawatan luka, anatara lain; masih lebih lambat di banding sharp debridement (pengangkatan jaringan mati dengan menggunakan gunting atau pisau bedah),

(26)

tidak cocok untuk semua jenis luka, efektifitas bergantung pada jenis luka, dan aspek estetika bagi pasien dan caregivers serta availability (ketersediaan yang terbatas).

2.2.5 Dampak Diabetic Foot

Akibat komplikasi dari Diabetes Melitus, akan menimbulkan berbagai masalah fisik maupun psikologis, sehingga menyebabkan penderita merasa putus asa dan tidak dapat menerima keadaannya sehingga akan mempengaruhi konsep diri penderita (Saraswati, 2009). Perawatan terhadap penyakit yang dialami kadang kala menimbulkan kesulitan atau gangguan dalam fungsi tubuh sehingga individu merasa tidak nyaman dan menganggap bahwa perawatan yang dilakukan sama buruknya dengan penyakit yang diderita (Sukmaningrum, 2005). Selain permasalahn psikologi diatas, menurut Sukmaningrum (2005) DM juga dapat menimbulkan dampak bagi penderitanya yaitu dampak ekonomi, dampak fisik dan dampak psikologi.

1. Dampak Ekonomi

Pengendalian DM dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan kompleks serta membutuhkan biaya yang besar, sehingga berdampak pada masalah ekonomi keluarga. Dampak ekonomi pada DM jelas terlihat akibat biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan

2. Dampak Fisik

Pada penderita DM yang lanjut akan menimbulkan berbagai dampak secara fisik antara lain adanya komplikasi, misalnya kelemahan fisik, berat badan rendah, kesemutan gatal, mata kabur, stroke dan gangrene. Hal tersebut dapat menimbulkan perubahan dan penampilan fisik penderita.

3. Dampak Psikologi

Penderita DM yang tidak dapat menerima keadaan sakitnya akan mempunyai pandangan yang negative misalnya pasien merasa putus asa, tidak berguna dapat menyebabkan pasien merasa putus depresi (Sukmaningrum, 2005). Tak jarang para penderita Diabetes Melitus putus asa dalam menjalani kehidupannya , adapatasi fisiologis dan psikologis membuat mereka harus benar- benar memahami bagaimana penyakit tersebut dapat diatasi hingga

(27)

tidak membuat perubahan yang signifikan dalam dirinya. Dikarenakan terbatasnya informasi mengenai penyakit diabetes mellitus, para diabetes di tahun- tahun awal akan mengalami kecemasan yang didefinisikan sebagai kebingungan yang kemudian dicirikan dengan perasaan tidak yakin, putus asa, perasaan tertekan, bimbang dan gugup.

2.3 Perawatan pada Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan Komplikasi Diabetic Foot

1. Permasalahan keperawatan yang sering muncul pada kasus diabetic foot

Berikut ini beberapa masalah keperawatan yang dapat ditemukan pada kasus diabetic foot, yaitu:

a. Risiko ketidakstabikan level glukosa darah berhubungan dengan

ketidakadekuatan monitoring kadar gula darah, insufisiensi diabetes manajemen.

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan diabetes melitus.

c. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan neuropati perifer. d. PK infeksi.

e. Fatigue berhubungan dengan kondisi fisiologis

f. Risiko jatuh berhubungan kondisi kaki dengan ulkus diabetikum

g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh berkaitan dengan penyakit

Fokus intervensi yang dapat diterapkan oleh perawat dalam mengatasi permasalahan pasien seperti:

 Monitor Blood Sugar ( BS )

 Monitor tanda dan gejala hiperglikemia, seperti: Polyuri, Polydipsi,

polyphagi, kelemahan letargi, mata berkunang-kunang atau sakit kepala

 Monitor adanya urin keton sesuai indikasi

 Berikan insulin sesuai rekomendasi

(28)

 Kolaborasi penanganan diet yang sesuai untuk pasien

 Edukasi pasien mengenai manajemen diabetes

 Ajarkan teknik perawatan kaki diabetes

 Monitor keadekuatan sirkulasi perifer

 Lakukan pengontrolan terhadap infeksi

 Pelibatan keluarga sebagai sumber sosial support bagi pasien

 Kontrol glikemik seperti HbA1c secara berkala

 Rancang aktivitas fisik yang dapat ditoleransi oleh pasien

2. Peran Perawat dalam Edukasi

Perawat berperan penting dalam memberikan edukasi dan melakukan skrining terhadap risiko terjadi kaki diabetes. Perawat perlu memberikan edukasi terhadap pasien terkait dengan cara melakukan pemeriksaan fisik pada kaki dan cara perawatan kaki secara rutin di rumah. Komponen yang perlu diedukasi mencakup pemeriksaan alas kaki sebelum digunakan, mempertahankan kaki dan kuku kaki tetap bersih dan secara berkelanjutan melakukan perawatan kulit dan kuku kaki. Selain itu, komponen lainnya yang juga penting diedukasi adalah pemilihan sepatu atau alas kaki.

Edukasi mengenai diabetes ini diberikan oleh perawat edukator kepada pasien dan keluarganya. Perawat berperan dalam memfasilitasi pasien untuk terlibat aktif dalam perawatan dan manajemen diabetesnya. Dalam konteks tersebut, perawat perlu menjelaskan mengenai pentingnya pemeriksaan rutin ke rumah sakit, pemeriksaan rutin gula darah, dan prinsip-prinsip utama dalam perawatan diabetes dan mencegah komplikasinya. Prinsip dasar perawatan kaki ini mencakup:

a. Pemeriksaan kaki secara rutin meliputi perubahan warna kulit, bengkak, skin cracks, nyeri dan numbness

b. Menggunakan cermin untuk membantu pemeriksaan kaki

c. Hygiene kaki mencakup mencuci kaki rutin dan hati-hati saat membersihkan pada bagian kaki yang kering terutama di sela-sela jari kaki

d. Jangan menggunakan sepatu tanpa kaos kaki

(29)

adalah pada sore hari

f. Lakukan pemotongan kuku kaki secara rutin

g. Untuk mempertahankan kelembaban permukaan kaki yang kering, maka dapat diberikan krim pelembab kecuali di sela-sela jari kaki.

3. Peran Perawat dalam Perawatan

a. Pemeriksaan dan skrining

Pemeriksaan mencakup status vaskularisasi pada kaki (ABI), temperatur kaki dan toe pressure.

b. Diabetic foot treatment

Perawat berperan dalam pemilihan dressing yang disesuaikan dengan kondisi luka, mempertahankan kelembaban dan kebersihan luka, debridemen dan menurunkan pertumbuhan bakteri. Dalam konteks perawatan luka diabetes, selain pemilihan balutan, perawat juga memperhatikan status glikemik pasien. Status glikemik dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka diabetes.

(30)

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DMT2 merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Apabila kondisi ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Penderita DM berisiko 29 kali terjadi komplikasi ulkus diabetika. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan adanya makroangiopati sehingga terjadi insusifiensi vaskuler dan neuropati. Ulkus diabetika mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman.

3.2 Saran

1. Perawat hendaknya memahami patofisologi, proses penyakit termasuk tatalaksana penyakit diabetes melitus untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan.

2. Perawat harus memahami patofisologi termasuk tatalaksana perawatan luka khususnya ulkus diabetikum untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang holistik kepada pasien. Dengan demikian asuhan keperawatan yang diberikan tidak sekedar merawat luka pasien tetapi memiliki pemahaman dan justifikasi secara ilmiah.

3. Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dapat bekerjasama dengan tim kesehatan yang lain sehingga pelayanan yang diberikan lebih komprehensif.

(31)

DAFTAR REFERENSI

American Diabetes Association. 2011. Clinical practice recommendations: Report of the expert commite on the diagnosis and classifications of diabetes mellitus. USA : Diabetes Care

Arya, Aggarwal, Yadav. (2010). Pathogenesis of diabetic nephropathy. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2(4). Black JM & Hawks JH. (2009). Medical-surgical nursing: clinical management

for positive outcomes. Singapore: Elsevier.

Frykberg. (2006). Diabetic foot disorders: a clinical practice guidelines. The Journal of Foot and Ankle Surgery.

Ozougwu, J. C., Obimba, K. C., Belonwu, C. D., & Unakalamba, C. B. (2013). The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Journal of Physiology and Pathophysiology, Vol. 4(4), pp. 46-57. http://www.academicjournals.org/JPAP

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). (2006). Konsensus

pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di indonesia. Jakarta: Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran Universitas Indonesia

Price & Wilson. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6 (alih bahasa oleh Pendit, dkk). Jakarta: EGC

Qatanani, M. & Lazar, M.A. (2007). Mechanisms of obesity-associated insulin resistance: Many choices on the menu. Genes & Development, 21: 1443– 1455. http://www.genesdev.org/cgi/doi/10.1101/gad.1550907

Smeltzer & Bare. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah (alih bahasa oleh Agung, dkk). Jakarta: EGC

Soegondo. 2008. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu sebagai panduan penatalaksanaan diabetes melitus bagi dokter maupun edukator. Jakarta: CV Aksara Buana

Soeparman. (2004). Ilmu penyakit dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Sugondo, S., dan Gustavani, R., 2007. Sindrom Metabolik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FKUI.

(32)

Tarr, J., Kaul, K., Chopra, M., Kohner, E.M., & Chibber, R. (2013). Pathophysiology of Diabetic Retinopathy. ISRN Ophthalmology 2013. Diperoleh dari http://dx.doi.org/10.1155/2013/343560

Waspadji, Sarwono. 2004. Gambaran klinis diabetes mellitus. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ketiga. Jakarta : FK UI

Gambar

Gambar 1. Diabetic Foot
Gambar 2. Klasifikasi menurut Wagner
Gambar 3 Patofisiologi Diabetic Foot

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan kepentingan mendesak dan kebutuhan yang dapat kita lihat diatas, dengan maraknya pembangunan Residensial yang membutuhkan furniture untuk mengisi interior maka

Budaya Organisasi dan Kualitas Sistem Informasi Akuntansi Manajemen Hasil pengujian hipotesis Karsiati dan Maskudi (2014) menunjukkan bahwa budaya organisasi,

Penulis merasakan bahawa pertemuan besar-besaran para Alim Ulamak seluruh negeri India, bertempat di Kirla, India itu benar-benar meragukan ,kerana jika amati sanjungan yang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa persepsi mahasiswa PPLK Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang terhadap bimbingan guru

Berlatih senam hamil yoga pada masa ini merupakan salah satu solusi self help yang menunjang proses kehamilan, kelahiran dan bahkan pengasuhan anak yang

Masih lemahnya penjagaan wilayah perbatasan dan pintu-pintu masuk Indonesia sering dimanfaatkan oleh para pengungsi dan pencari suaka untuk memasuki wilayah

Adapun dengan pertimbangan biaya produksi, biaya operasional, serta besarnya RAP yang dapat di recycle maka variasi Bitumen Murni Ex-RAP 30% + Bitumen Fresh 70% + Additive

Identitas nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang