• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam rangka memenuhi permintaan dalam negeri dan meningkatkan devisa negara dari sektor non migas, pemerintah telah menempuh beberapa upaya diantaranya pengembangan komoditas hortikultura. Salah satu komoditas hortikultura yang sangat berpotensi untuk meningkatkan sumber pendapatan masyarakat dan devisa negara yaitu pisang.

Pisang merupakan komoditas buah-buahan terpenting di Indonesia dan sebagai komoditas buah-buahan unggulan nasional (BPTP Jatim 2007). Tanaman pisang merupakan penghasil jenis buah-buahan yang dikenal luas penduduk Indonesia, bahkan dunia. Tanaman pisang mempunyai peranan penting dalam perekonomian masyarakat, terutama di daerah sentra produksi. Dibandingkan dengan tanaman hortikultura dan buah-buahan lainnya, harga pisang lebih stabil (Sinaro 2007).

Pisang merupakan tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Pisang (Musa spp.) berasal dari Genus Musa, famili Musaceae, ordo Zingiberales, dan kelas Monocotyledonae.

Tanaman pisang dapat dimanfaatkan buah, daun, batang, dan bonggolnya. Buah pisang mengandung zat gizi, antara lain , protein, vitamin A C, B kompleks, B6, kalsium, kalium, zat besi, dan senyawa serotonin yang aktif sebagai neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak. Selain memberikan kontribusi gizi lebih tinggi dari pada apel, pisang juga dapat menyediakan cadangan energi dengan cepat bila dibutuhkan (Wikipedia 2008).

Bahan baku pisang merupakan faktor utama yang harus terjamin baik kuantitas maupun kontinuitasnya. Kebutuhan pisang untuk industri pengolahan skala rumah tangga (10-50 kg/hari), skala usaha kecil menengah (UKM) kripik (100-120 kg/hari), sale (1,5-2 ton/bln), ledre (70-120 kg/hari), puree (300-500 kg/h) dan tepung (700-1000 kg/minggu). Untuk melayani pasar dalam negeri terutama pasar-pasar swalayan dan luar negeri dibutuhkan skala besar ± 10-12 ton pisang segar/hari. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan buah dan produk olahan

(2)

pisang ekspor pada tahun 2010 diperkirakan memerlukan areal pertanaman sekitar 5.000-6.000 ha (Balitbang 2007).

Penanaman pisang berskala besar telah dilakukan di beberapa tempat antara lain di pulau Halmahera (Maluku Utara), Lampung, Mojokerto (Jawa Timur), dan beberapa tempat lainnya, sehingga Indonesia pernah mengekspor pisang dengan volume mencapai lebih dari 100.000 ton pada tahun 1996, tetapi pada tahun-tahun berikutnya volume ekspor tersebut terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 2004 yaitu hanya 27 ton (Balitbang 2007). Pisang menyumbang 50% total produksi buah nasional. Agribisnis pisang di Indonesia menghadapi beberapa kendala salah satunya yaitu adanya penyakit tanaman. Penyakit yang paling utama dan paling banyak menyerang pertanaman pisang di Indonesia adalah penyakit layu Fusarium dan layu bakteri (Ika 2007).

Layu Fusarium (Agrios 2005, Booth 1985) merupakan penyakit pada tanaman pisang yang disebabkan oleh cendawan patogen yaitu Fusarium oxysporum Schl. f. sp. cubense. (E. F. Smith) (FOC). Layu Fusarium adalah salah satu penyakit utama pisang yang menghancurkan pertanaman pisang bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara penghasil pisang dunia seperti India, Cina dan Filipina. Patogen penyebab layu Fusarium menyerang semua kultivar pisang komersial di dunia. Hingga tahun 1950-an, perkebunan pisang komersial Gros Michel seluas 40.000 ha di Amerika Latin hancur akibat serangan patogen itu. Diperkirakan hingga saat ini, total kerusakan lahan pisang Gros Michel, Cavendish dan kultivar lokal lainnya di dunia akibat layu Fusarium, sudah mendekati 100.000 ha. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh munculnya perkebunan pisang skala besar di Asia dan kemudian hancur secara sporadis dalam kurun waktu 20 tahun akibat serangan patogen penyakit layu Fusarium. Penyakit layu tersebut telah dilaporkan menyebar luas di benua Asia, Amerika (Latin) dan Australia (Ploetz dkk. 1993). Penyebab alami terjadinya endemik layu Fusarium di Indonesia karena letaknya berdekatan dengan khatulistiwa, hanya terdapat dua musim yaitu kemarau dan penghujan. Akibatnya, siklus penyakit berjalan terus dan kelembaban juga tinggi sehingga penyakit tumbuh subur. Kecepatan penyebaran penyakit (epidemi) layu Fusarium dapat mencapai 100 km per tahun (Dir PTH 2007).

(3)

Menurut Kusnardi (Kasubdin Bina Produksi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan) (2003) di Lampung adanya layu Fusarium, produksi pisang menjadi menurun dan menurunkan minat petani untuk bercocok tanam pisang. Menurut data Dinas Pertanian Lampung, tahun 2006 produksi pisang Lampung sebesar 523.038 ton yang dihasilkan 7.022.177 rumpun. Hingga sekarang dari jumlah tersebut terserang penyakit sebanyak 131.942 rumpun. Penyakit yang mendominasi adalah Fusarium atau layu daun sebanyak 56.292 rumpun. Data tersebut menunjukkan layu Fusarium pada tanaman pisang paling merugikan secara ekonomis di antara kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit pisang lainnya.

Cendawan penyebab layu Fusarium mampu bertahan lama di dalam tanah sebagai klamidospora sehingga sulit dikendalikan (Widono 2003). Pengendalian yang biasa dilakukan untuk mengendalikan layu Fusarium yaitu membongkar dan membakar tanaman yang sakit (BAPPENAS 2000), eradikasi penyakit layu pisang yang dilakukan dengan penyuntikan minyak tanah/glyphosat (Dir PTH 2007), secara kimiawi masih belum ditemukan karena sampai sejauh ini belum ada pestisida yang efektif mematikan patogen tersebut.

Pengendalian hayati patogen yang diintegrasikan bersamaan dengan pengendalian secara kultur teknis merupakan salah satu alternatif pengendalian yang berwawasan lingkungan yang cocok untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Sasaran dari pengendalian hayati terpadu yaitu mengupayakan produksi tetap tinggi dan menguntungkan (profitability), memelihara kesehatan manusia dan kualitas lingkungan hidup (safety) dan menjamin agar hasil pengendalian bersifat awet (durability). Menurut Cook dan Baker 1983, pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum atau aktifitas patogen melalui penggunaan satu atau lebih organisme selain manusia. Pengendalian hayati dapat meningkatkan produksi tanaman, menghindari perkembangan resistensi patogen terhadap bahan kimia, relatif menghindarkan dari polusi dan resiko pengendalian, serta pengendalian secara biologis mengadopsi praktek pengendalian yang kompatibel dengan pertanian yang berkelanjutan.

Organisme yang digunakan dalam praktek pengendalian hayati meliputi individu atau populasi organisme yang avirulen atau patogen hipovirulen secara

(4)

alami, mikroorganisme endofitik, organisme termasuk mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap patogen serta mikoriza (Sinaga 1992). Pengendalian hayati juga dapat dilakukan dengan memanipulasi lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan tanah supresif patogen, rotasi tanaman, bahan organik dan perlakuan tanah seperti solarisasi tanah yang secara tidak langsung dapat menekan patogen.

Hingga saat ini, berbagai upaya pengendalian penyakit baik melalui kultur teknis maupun secara kimiawi telah dilaksanakan, namun belum dapat memecahkan masalah serangan penyakit secara tuntas. Oleh karena itu alternatif pengendalian lain secara hayati melalui pemanfaatan mikroorganisme antagonis yang dikombinasikan dengan pengendalian secara kultur teknis perlu dikembangkan. Sebelum varietas tanaman resisten tersedia, pengendalian hayati yang dikombinasikan dengan kultur teknis mungkin dapat diharapkan berperan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian layu Fusarium secara terpadu. Alternatif pengendalian yang bisa digunakan adalah dengan pengendalian secara biologis dan kutur teknis, yaitu menggunakan bakteri Pseudomonas fluorescens strain MR 96, cendawan Gliocladium sp. yang diaplikasikan pada media tanam. Penelitian laboratorium menunjukkan Pseudomonas fluorescens strain MR 96 dan Gliocladium sp. mampu menekan pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Djatnika et al. 2001 dalam Ika 2007). Gliocladium fimbriatum mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengendalikan patogen tular tanah seperti dengan mekanisme antagonisme melalui hiperparasitisme, persaingan tumbuh, produksi enzim atau toksin untuk melakukan lisis atau antibiosis (Sinaga 2006).

PGPR memiliki kemampuan sebagai agens pengendalian hayati karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen dan perlakuan akar atau tanah, dapat menyebabkan ketahanan sistemik pada tanaman (Hasanuddin 2003).

Rao (1994), mengemukakan manfaat fungi mikoriza arbuskula (FMA) dalam melindungi akar dari infeksi Fusarium dengan mengkolonisasi akar dan dapat meningkatkan pertumbuhan serta transfer hara tanaman terutama phospat.

(5)

Praktek budidaya tanaman dengan solarisasi tanah merupakan metode pasteurisasi tanah yang efektif dalam menurunkan populasi patogen tular tanah (Lisnawita 2003). Perbanyakan bibit pisang melalui kultur jaringan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding bibit asal anakan, dikarenakan bibit asal kultur jaringan memiliki sistem perakaran yang lebih baik, banyak dan kuat serta bebas dari penyakit (Ikrarwati 2004).

Tujuan

Menganalisis keefektifan kombinasi perlakuan kultur teknis solarisasi tanah dan kultur jaringan dengan beberapa agens hayati: Gliocladium fimbriatum, fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dalam pengendalian layu Fusarium pada tanaman pisang di lapangan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian mengetahui keefektifan dari beberapa kombinasi pengendalian secara kultur teknis dan hayati, sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pengendalian layu Fusarium pada tanaman pisang secara umum di lapangan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis eksploratif yaitu suatu teknik analisa data yang menggali informasi secara jelas dan terperinci berdasarkan

IRR digunakan dalam menentukan apakah investasi dilaksanakan atau tidak, untuk itu biasanya digunakan acuan bahwa investasi yang dilakukan harus lebih tinggi dari Minimum

[r]

RPL SORE 41122144 Sugeng Subakti Penentuan Karyawan terbaik melalui penerapan sistem pendukung keputusan dengan metode SAW.. Nana Suarna, M.Kom Andi Setiawan,

Berdasarkan Berita 55/ULPD/WII.5/BC.NUNUKAN/ oleh Kelompok Kerja (Pokja) tanggal 14 Juni 2016 melalui. Pelelangan Umum Pascakualifikasi Pembangunan Rumah

Dari penjelasan tentang manajemen kurikulum yang dilaksanakan di MDNU ini sebenarnya sudah mencapai pada manajemen kurikulum yang cukup maju dan tidak seperti

PENGARUH PERMAINAN SOCCER LIKE GAMES TERHAD AP KERJASAMA SISWA D ALAM PEMBELAJARAN PERMAINAN SEPAKBOLA KELAS XI SMAN I BALEEND AH.. Universitas Pendidikan Indonesia

Penelitian ini menjelaskan bahwa 36 balita yang memiliki kepadatan tempat tinggal kurang dan diantaranya 18 balita mengalami pneumonia, hal ini bisa dikatakan