• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENUNJUKAN DAN PENETAPAN WALI HAKIM SEBAGAI PENGGANTI WALI ADHAL DI PENGADILAN AGAMA SUNGGUMINASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENUNJUKAN DAN PENETAPAN WALI HAKIM SEBAGAI PENGGANTI WALI ADHAL DI PENGADILAN AGAMA SUNGGUMINASA"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENUNJUKAN DAN PENETAPAN WALI HAKIM SEBAGAI PENGGANTI WALI ADHAL DI PENGADILAN

AGAMA SUNGGUMINASA

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh :

MUH. NURWANDY S 45 12 060 031

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA

MAKASSAR 2017

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk penulisan skripsi.Skripsi ini

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum. Dalam penulisan skripsi ini penulis merasakan banyak hambatan, tantangan, dan rintangan, akan tetapi penulis dapat menyelesaikan dengan baik berkat dorongan dari orang tua, pembimbing, dan berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua, kepada Ayahanda Sulolipu dan Ibunda A. Yusriani Rasyid yang tercinta karena telah memberikan dukungan baik secara moril, materil serta seluruh pengorbanan yang beliau berikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada saudaraku Muh. Fadhil yang memberikan motivasi dan sepupu penulis antara lain Tiwi, Tisa, Tari, Kiki, Hilda, Susan, Nina, Neni serta seluruh keluarga besar yang tak bisa penulis ucapkan satu per satu yang selalu mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian tugas akhir ini banyak pihak yang membantu hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H.M. Saleh Pallu, M.Eng. selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar.

2. Bapak Dr. Ruslan Renggong, S.H.MH, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

3. Ibu Hj. Sitti Zubaidah, S.H.,MH. Selaku Ketua Program studi Ilmu Hukum Universitas Bosowa Makassar.

4. Ibu Andi Tira, S.H.,M.H. Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

(6)

5. Ibu Yulia A. Hasan, S.H.,M.H. Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

6. Bapak H. Hamzah Taba, S.H.,MH. Selaku Pembimbing I Dan Bapak Drs. H.

Waspada M.sos,. I M.HI. Selaku Pembimbing II.

7. Bapak Prof. Dr.H. Andi Muh. Arfah Pattenreng, SH.,MH. Dan Ibu Andi Tira SH.,MH. Selaku Penguji.

8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang telah banyak memberikan Ilmu dan bimbingan selama penulis menimbah Ilmu di Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

9. Seluruh karyawan dan staf akademik Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang memberikan pelayanan prima selama penulis menimba ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

10. Bapak Ketua Pengadilan Agama Sungguminasa Kabupaten Gowa beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan fasilitas, izin dan data selama penulis mengadakan penelitian di Pengadilan tersebut.

11. Seluruh Teman-teman HAKIM 2012, Senior-senior dan Junior-junior Fakultas Hukum yang telah memberikan semangat, Ilmu baru dan memberikan motivasi dalam belajar.

Penulis hanya bisa mendoakan, semoga Allah Yang Maha Pemberi Rahmat memberikan balasan yang setimpal terhadap segala aktifitas yang telah dilakukannya.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dengan baik dan berguna bagi penulis maupun orang lain serta dapat membuka peluang untuk alumni hukum untuk memberikan kontribusi yang positif .

(7)

Akhir kata, mudah-mudahan apa yang telah dilakukan bernilai ibadah disisi-Nya, Amin.

Waalaikum salam Wr.Wb

Makassar, 23 Maret 2017

Penulis Muh. Nurwandy S

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

1.4 Metode Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan ... 8

2.1.1.Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan ... 8

2.1.2.Pencegahan Perkawinan ... 12

2.1.3. Hukum Mengawini Wanita Hamil ... 15

2.1.4. Pembatalan Perkawinan ... 19

2.1.5. Rukun dan Syarat perkawinan ... 26

2.2 Perwalian ... 31

2.2.1. Pengertian dan Macam-macam Wali ... 31

2.2.2. Kedudukan dan Syarat-syarat Wali ... 33

2.3 Wali Adhal... ... 36

2.3.1 Pengertian Wali Adhal ... ... 36

2.3.2 Dasar Hukum Wali Adhal dalam Al-qur’an dan Hadits ... 39

(9)

2.4 Wali Hakim ... 40 2.4.1 Pengertian Wali Hakim ... 40 2.4.2 Persyaratan Wali Hakim ... 41 BAB 3 PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menunjuk Dan Menetapkan Wali Hakim Sebagai Pengganti Wali Adhal Di PermohonanPenetapan

Nomo82/Pdt.P/2016/PA.Sgm...43 3.1.1 Pokok Perkara ...43 3.1.2 Pertimbangan Hukum Hakim ...50 3.2 Prosedur Wali Adhal Berdasarkan Penetapan Nomor 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm...58

BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan ... 65 4.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA………..67

(10)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah upacara ritual agama atau keyakinan tertentu atau proses pengucapan akad (janji) suci nikah yang dilakukan atau dilaksanakan sebagai bentuk ikatan untuk hidup sebagai suami istri yang sah, membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak sebagai yang menikahkannya.dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum dan norma sosial. Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya maupun kelas sosial.

Pengesahan secara hukum suatu perkawinan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan perkawinan yang sudah ditanda tangani.

Upacara perkawinan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan perkawinan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.

Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lainmengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Naluri untuk hidup bersama

(11)

2 ini dapat diwujudkan dengan dilakukan perkawinan yang di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan di antara makhluk tuhan lainnya.

Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting. Karena dengan lahirnya sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial biologi, psikologis maupun secara sosial. Seseorang dengan melangsungkan perkawinan maka dengan sendirinya semua kehidupan dalam pergaulan dengan wanita yang awalnya illegal(haram) berdasar hukum islam maupun hukum nasional menjadi hubungan suci yang diridhohi oleh Allah SWT dan dipandang legal berdasarkan hukum nasional.

Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan. Keberhasilan rumah tangga sangat banyak ditentukan oleh kematangan emosi baik suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya perkawinan maka status sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami-istri dan sah secara hukum.

Untuk memberikan reaksi tersebut manusia menyerasikan dengan sikap dan tindakan dengan orang lain, hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia mempunyai keinginan dan hasrat yang kuat untuk menjadi satu dengan manusia lainnya. dan keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam sekelilingnya.

(12)

3 Perkawinan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan.

Perkawinan memiliki manfaat yang paling besar terhadap kepentingan- kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, dan menjaga keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.

Perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa:

"Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Sesuai dengan rumusan itu, perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin tetapi harus terpenuhi syarat lahir dan bathin. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejakdahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.

(13)

4 Menurut hukum Islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan pengucapan ijab kabul. Ijab diucapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya atau wakilnya, sedangkan kabul adalah pernyataan menerima dari mempelai laki-laki.

Adanya wali merupakan syarat mutlak dalam suatu pernikahan dan pernikahan dianggap tidak sah apabila tidak ada wali. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya, serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang sah.

Sedangkan wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, dalam sabdanya Rasulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh wali. Maka dari itu wajib menunjuk wali hakim (wali pengganti) apabila wali mempelai wanita tersebut berhalangan hadir. Terhadap hal ini tentunya memerlukan upaya penyelesaian melalui penetapan hakim Pengadilan Agama. Berhubungan dengan hal di atas inilah maka penulis tertarik untuk meneliti judul “TINJAUAN YURIDIS

TERHADAP PENUNJUKAN DAN PENETAPAN WALI HAKIM

(14)

5

SEBAGAI PENGGANTI WALI ADHAL” (Studi kasus penetapan No.82/Pdt.P/2016/PA.Sgm)

1.2 Rumusan Masalah

1.Apakah dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menunjuk Dan Menetapkan Wali Hakim Sebagai Pengganti Wali Adhal Di Permohonan Penetapan Nomor 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm?

2. Bagaimanakah Prosedur Wali Adhal Berdasarkan Penetapan Nomor 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya suatu tujuan dari suatu penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

a. Untuk mengetahui Apakah dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menunjuk Dan Menetapkan Wali Hakim Sebagai Pengganti Wali Adhal b. Untuk mengetahui prosedur Wali Adhal.

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan sebagai berikut:

a. Penelitian ini diharapkan berguna pada penulis untuk mengetahui prosedural penunjukkan wali hakim secara teoris atau literatur-literatur hukum maupun praktis.

b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi akademisi dan masyarakat sebagai rujukan untuk memahami prosedural wali adhal.

(15)

6

1. 4 Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Penggunaan metode pendekatan masalah pada penyusunan Skripsi ini menggunakan pendekatan Yuridis.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di Sungguminasa yaitu di Pengadilan Agama Sungguminasa, Alasan mengambil lokasi di Pengadilan Agama Sungguminasa disebabkan hubungan judul skripsi yang dianggap bersesuaian penuh dengan tempat penelitian.

1. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini : a. Data primer, yaitu data empirik yang diperoleh secara langsung di

lapangan atau lokasi penelitian melalui teknik wawancara dengan sumber informasi yaitu Hakim Pengadilan Agama Sungguminasa yang menangani kasus tersebut sebagai respondent.

b. Data sekunder adalah data yang kami telusuri melalui telaah pustaka baik bersumber dari buku, majalah, jurnal, atau media elektronik yang penulis anggap relevan dengan masalah yang dibahas.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka memperoleh data yang relevan dengan pembahasan tulisan ini, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

(16)

7

a. Penelitian Pustaka (library research)

Pengumpulan data pustaka diperoleh dari berbagai data yang berhubungan dengan hal-hal yang diteliti, berupa buku dan literatur- literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.Disamping itu juga data yang diambil penulis ada yang berasal dari dokumen-dokumen yang penulis peroleh dari pengadilan maupun dari peraturan perundang- undangan yang berlaku.

b. Penelitian lapangan (field research)

Penelitian lapangan ini ditempuh dengan cara melakukan wawancara (interview) langsung kepada hakim Pengadilan agama sungguminasa.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian disusun, diolah, dan dianalisis secara kualitatif selanjutnya data tersebut dideskriptifkan dalam bentuk laporan penelitian skripsi.

(17)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkawinan

2.1.1 Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan dalam fiqih berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. (Sulaiman Rasjid, 2010 :374).

Perkawinan dalam pandangan islam “Nikah”ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah. Sebagaimana firman Allah dalam (Surah An-Nisa ayat 24)

“Dan dihalalkan (dibolehkan) kepada kamu mengawini perempuan-perempuan selain dari yang tersebut itu, jika kamu menghendaki mereka dengan mas kawin untuk perkawinan dan bukan untuk perbuatan jahat.”

Perkawinan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lainnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

(18)

9 tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. (Ali Zainuddin, 2007 : 7).

Perkawinan dalam islam bertujuan untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya ( Basyir Ahmad Azhar, 2000 : 86)

Tujuan perkawinan

Dalam islam merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius. (Prawirohamidjojo Soetjo 2002 : 35)

Tujuan perkawinan adalah bukan saja untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna dalam mengatur rumah tangga yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling mencintai, tetapi terutama sebagai suatu tali yang amat teguh dalam memperkokoh tali persaudaraan antara kaum kerabat si istri. (Nurudin Amiur dan Azhari Akmal Taringan, 2004 : 206)

Tujuan perkawinan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah (keluarga yang tentram penuh kasih sayang).

(19)

10 Tujuan-tujuan tersebut tidak selamanya dapat terwujud sesuai harapan, adakalanya dalam kehidupan rumah tangga terjadi salah paham, perselisihan, pertengkaran, yang berkepanjangan sehingga memicu putusnya hubungan antara suami istri. Penipuan yang dilakukan salah satu pihak sebelum perkawinan dilangsungkan dan dikemudian hari setelah perkawinan dilangsungkan diketahui oleh pihak lain dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan.

Dasar Hukum Perkawinan.

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang dianjurkan sebagai syarat sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur ayat 32 sebagai berikut;

“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dari hamba sahaya laki-laki dan perempuan yang patut...”

dan Rasulullah pun memerintahkan kepada setiap pemuda yang telah cukup untuk segera menikah, karena dengan menikah itu akan lebih kuasa menahan mata. Namun bila tidak kuasa maka hendaklah berpuasa karena itu akan menjadi penjaga baginya. Pada dasarnya hukum menikah itu adalah jaiz (boleh) namun karena berbagai situasi dan kondisi hukum menikah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:

1.Sunnah

Adapun bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan mampu menikah tetapi masih mampu menahan dirinya dari berbuat zina, hukum menikah baginya adalah sunnah. Baihaqi meriwayatkan hadistdari Abu Umamah bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

(20)

11

“Nikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian dibandingkan dengan umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta nasrani.”

2.Haram

Bagi seseorang yang yakin tidak akan mampu memenuhi nafkah lahir dan batin pasangannya, atau kalau menikah akan membahayakan pasangannya, dan nafsunya pun masih bisa dikendalikan, maka hukumnya haram untuk menikah.

Menurut Qurthubi bahwa:

“Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya, atau tidak mampu membayar maharnya, atau memenuhi hak istrinya, maka haram ia menikah, sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Begitupun kalau ia dengan suatu hal menjadi lemah, tak mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus terang agar calon istri tidak tertipu olehnya.”

Demikian pula sebaliknya, bagi perempuan, bila ia sadar dirinya tidak mampu memenuhi hak suaminya, atau ada hal-hal yang menyebabkan ia tidak mampu memenuhi kebutuhan batin suaminya, seperti karena penyakit, maka ia wajib menerangkan semua itu kepada calon suaminya. Perkawinan jadi haram apabila ada unsur penipuan dalam perkawinan tersebut.

3. Makruh

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan lahir batin, namun istrinya mau menerima kenyataan tersebut, maka hukum perkawinannya adalah makruh.

4.Wajib

Bagi seseorang yang sudah mampu apabila nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus pada perzinahan, seta sudah punya calon untuk dinikahi maka ia wajib untuk menikah karena menjauhkan dari hal yang haram adalah wajib.

Rasulullah SAW bersabda :

(21)

12 “Barang siapa mempunyai kesanggupan untuk beristri, tetapi tidak mau bersitri, maka bukanlah ia termasuk golonganku.” (HR.Tarbani)

2.1.2 Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk tidak terlaksananya perkawinan. Pencegahan perkawinan itu dapat dilakukan apabila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum islam yang termuat dalam Pasal 13 Undang-undang Perkawinan, yaitu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan. (Ali Zainuddin, 2007 : 33) Peraturan Nomor 9 Tahun 1975 tidak mengatur lebih lanjut mengenai pencegahan perkawinan ini. Tidak diaturnya

mengenai pencegahan perkawinan dalam peraturan

pelaksanaanagakmengherankan, mungkin pembuat peraturan pelaksanaan menganggap sudah cukup apa yang diatur di dalam undang-undang. ( Saleh K.

Wantjik, 2006 : 29)

Tujuan pencegahan perkawinan adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum agamanya dan kepercayaannya serta perundang- undangan yang berlaku. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Selain itu pencegahan perkawinan dapat pula dilakukan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya.

(Usman Rahmadi, 2006 : 282)

(22)

13 Dalam Pasal 14 sampai 16 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Perkawinan dinyatakan siapa-siapa yang berhak mengajukan pencegahan perkawinan, yaitu:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari salah seorang calon mempelai.

2. Saudara dari salah seorang calon mempelai.

3. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.

4. Wali dari salah seorang calon mempelai.

5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai.

6. Pihak-pihakyang berkepentingan.

7. Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai.

8. Pejabat yang ditunjuk, yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Pegawai pencatat perkawinan memberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud kepada calon-calon mempelai. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa permohonan pencegahan perkawinan tersebut menurut hukum acara perdata yang berlaku. (Usman Rahmadi, 2006 : 282)

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang mencegah. Selama (permohonan) pencegahan perkawinan belum dicabut, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan, apabila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan syarat-syarat perkawinan, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. (Usman Rahmadi, 2006 : 283)

(23)

14 Pencegahan perkawinan yang dapat dilakukan pegawai pencatat perkawinan berkenaan dengan pelanggaran:

a. Calon mempelai belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi calon mempelai wanita.

Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita terkena larangan/halangan melangsungkan perkawinan.

b. Calon mempelai masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.

c. Antara calon mempelai yang telah bercerai lagi untuk kedua kalinya oleh hukum agamanya dan kepercayaannya itu dilarang untuk kawin ketiga kalinya.

d. Perkawinan yang akan dilangsungkan tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan.

Pegawai pencatat perkawinan akan menolak melangsungkan perkawinan, jika setelah dilakukan penelitian berpendapat, bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut undang-undang untuk melangsungkan perkawinan.

Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan oleh pegawai perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan penolakannya. (Usman Rahmadi, 2006 : 283)

Para pihak yang perkawinannya ditolak,berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan di atas. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan. Ketetapan pengadilan ini hilang kekuatannya jika rintangan yang mengakibatkan penolakan hilangdan para pihak yang ingin kawin

(24)

15 dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud hendak melangsungkan perkawinan. (Usman Rahmadi, 2006 : 283)

2.1.3 Hukum Mengawini Wanita Hamil

Hukum Menikahi Perempuan Hamil di Luar Nikah, Hukum Menikahi Wanita Hamil Akibat Zina, Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh. Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili. Wanita itu dihamili oleh A, sedangkan yang menikahinya B.

Hukumnya haram sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Bagaimana menikahi wanita hamil? Yang hukumnya boleh yaitu hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya.Maka seorang laki- laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benar dirinya sebagai laki-laki yang menghamilinya, bukan orang lain. Perbedaan pendapat tentang kebolehan menikahinya memang ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quran Al- Kariem berikut ini:

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min”. (QS. An-Nur: 3) Namun kalau berdasarkan penelitian, rupanya yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan.

(25)

16 1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci). Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba- hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui”.(QS.

An-Nur: 32).

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.

Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:

Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya,

(26)

17 lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).

Dan hadits berikut ini:

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa'i)

2. Pendapat Yang Mengharamkan

Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan tindakan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak tercatat ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).

Bahkan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang isteri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur: 3).

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap menjadikannya sebagai isteri.

Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud)

(27)

18 Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.

3. Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah. Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar'i. Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik. Lalu, karena penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa dilakukan oleh ulil amri (pemerintah) maka hukum rajam, cambuk, dan yang lain belum bisa dilakukan.

Sebagai gantinya, tobat dari zina bisa dengan penyesalan, meninggalkan perbuatan tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi. Dan hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Harus ada ijab qabul yang dilakukan oleh suami dengan ayah kandung si wanita disertai keberadaan 2 orang saksi laki-laki yang akil, baligh, merdeka, dan 'adil. Tidak Perlu Diulang Kalau kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan pernikahan mereka sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya tidak ada lagi keharusan untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir. Karena pada hakikatnya pernikahan mereka sudah sah. Tidak perlu lagi ada pernikahan ulang. Buat apa diulang kalau pernikahan mereka sudah sah. Dan

(28)

19 sejak mereka menikah, tentunya mereka telah melakukan hubungan suami isteri secara sah. Hukumnya bukan zina. Status Anak Adapun masalah status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri. Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnyadipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. Itu saja bedanya. Bila seorang wanita yang pernah berzina itu akan menikah dengan orang lain, harus dilakukan proses istibra', yaitu menunggu kepastian apakah ada janin dalam perutnya atau tidak. Masa istibra' itu menurut para ulama adalah 6 bulan. Bila dalam masa 6 bulan itu memang bisa dipastikan tidak ada janin, baru boleh dia menikah dengan orang lain. Sedangkan bila menikah dengan laki-laki yang menzinahinya, tidak perlu dilakukan istibra' karena kalaupun ada janin dalam perutnya, sudah bisa dipastikan bahwa janin itu anak dari orang yang menzinahinya yang kini sudah resmi menjadi suami ibunya.

2.1.4 Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan atau yang dalam bahasa Arab disebut fasakh.

terbentuk dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti membatalkan.

Bila dihubungkan kata ini dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan. Dalam arti terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam KBBI, berikut: Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena

(29)

20 pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. (Amir Syarifuddin, 2011: 242)

Definisi tersebut di atas mengandung beberapa kata kunci yang menjelaskan hakikat dari fasakh, yaitu :

a) Kata pembatalan mengandung arti bahwa fasakh mengakhiri berlakunya suatu yang terjadi sebelumnya. Hal ini berbeda dengan kata pencegahan yang berarti tidak bolehnya berlangsung sesuatu sebelum perbuatan dilaksanakan.

b) Ikatan pernikahan yang mengandung arti bahwa yang dinyatakan tidak boleh berlangsung untuk selanjutnya itu adalah perkawinan dan tidak terhadap yang lainnya.

c) Pengadilan Agama mengandung arti pelaksanaan atau tempat dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga peradilan yang dalam hal ini adalah pengadilan agama. Hal ini berbeda dengan putusnya perkawinan dengan thalaq yang menurut sebagian ulama fiqih tidak mesti dilakukan di pengadilan agama.

d) Tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan oleh pengadilan agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.

Ungkapan ini merupakan alasan terjadinya fasakh, yaitu pengaduan pihak istri atau suami yang dapat dibenarkan dan/atau pernikahan yang telah berlangsung ke tahun kemudian hari tidak memenuhi ketentuan hukum perkawinan. (Amir Syarifuddin, 2011: 242).

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV Pasal 22-28, dalam bab ini diterangkan alasan-alasan pembatalan perkawinan, dan para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan serta akibat hukum dari dibatalkannya suatu perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan diatur dalam Bab XI, materi rumusannya hampir sama dengan yang dirumuskan dalam Bab IV UU No. 1 Tahun 1974. Yang penting untuk dicatat, rumusan KHI lebih jelas terperinci pembedaan alasan pembatalan, yaitu Pembatalan atas pelanggaraan larangan

“batal demi hukum” (Pasal 70 KHI) dan Pembatalan atas pelanggaran syarat,“dapat dibatalkan” (Pasal 71 KHI). (Shomad Abd, 2010: 281)

(30)

21 Dengan ditegaskan kembali apa yang telah ditetapkan dalam Pasal 24–28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 70 menetapkan bahwa perkawinan batal (batal demi hukum) apabila:

1) suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempatnya itu dalam iddah atau talak raj’i;

2) seorang menikahi bekas istrinya yang telah di-li’an-nya;

3) seorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

4) perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

5) istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Kemudian Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam mengatakan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

1) seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

2) perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya);

3) perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;

(31)

22 4) perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;

5) perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

6) perkawinan yang dilaksanakan dengan paksa. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang pembatalan nikah yang disebabkan karena perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu,atau salah sangka. Apabila ancaman sudah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup bersama sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri. Acara pembatalan perkawinan dilaksanakan dengan acara untuk gugatan perceraian. Pengadilan Agama dalam memeriksa permohonan pembatalan perkawinan memperlakukan ketentuan pembatalan perkawinan diajukan dalam suatu permohonan sehingga akan berakhir dengan keputusan berupa penetapan (Beschikking). Pembatalan suatu akad perkawinan mulai berlaku setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku surut sejak berlangsungnya akad perkawinan, kecuali terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, suami atau istri yang bertindak atas iktikad baik, serta orang ketiga sepanjang mereka memperoleh hak dengan iktikad baik sebelum keputusan hukum yang tetap itu. Pembatalan perkawinan berlaku

(32)

23 terhadap segala bentuk akad perkawinan yang tidak sah, baik setelah terjadi persetubuhan antara suami-istri maupun belum. Sambil menunggu penyelesaian proses pembatalan perkawinan, maka sejak diketahui tidak sahnya akad perkawinan itu suami-istri dilarang berkumpul agar tidak terjadi watisyubhat antara keduanya, yakni persetubuhan yang diragukan sahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1954. (Shomad Abd, 2010: 281)

Terjadinya fasakh dapat secara garis besar dibagi ke dalam dua sebab, yaitu:

1. Perkawinan yang sebelumnya telah berlangsung, ternyata kemudian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, baik tentang rukun, maupun syaratnya atau pada perkawinan tersebut terdapat halangan yang tidak membenarkan terjadinya perkawinan. Bentuk seperti ini yang dalam kitab fiqh disebut fasakh.

Bentuk ini dari segi diselesaikannya di pengadilan terbagi menjadi dua, yaitu:

a) Tidak memerlukan pengaduan dari pihak suami atau istri atau dalam arti hakim dapat memutuskan dengan telah diketahuinya kesalahan perkawinan sebelumnya melalui pemberitahuan oleh siapa saja. Misalnya akad nikah tidak dilakukan di hadapan saksi, sedangkan hukum yang berlaku menyatakan bahwa saksi itu adalah rukun dalam perkawinan, atau yang menikahkan adalah laki-laki yang kemudian ternyata adalah ayah angkat. Hal ini menyalahi ketentuan tentang wali. Jika salah satu pihak keluar dari agama Islam, hal ini menyalahi persyaratan yang keduanya harus beragama Islam. Antara suami-istri itu ternyata bersaudara atau ada hubungan nasab, mushaharah, atau persusuan. Perkawinan seperti ini

(33)

24 harus dibatalkan oleh hakim, baik suami istri suka atau tidak, karena yang demikian menyalahi hukum.

b) Mesti adanya pengaduan dari pihak suami atau istri atas dasar masing- masing pihak tidak menginginkan kelangsungan perkawinan tersebut. Dalam arti bila keduanya setuju atau rela untuk melanjutkan perkawinan, perkawinan tidak harus dibatalkan. Misalnya perkawinan yang dilangsungkan atas dasar adanya ancaman yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini menyalahi persyaratan kerelaan dari pihak yang melangsungkan perkawinan. Namun bila keduanya telah rela untuk melanjutkan perkawinan, perkawinan tidak dibatalkan oleh hakim.

2. Fasakh yang terjadi karena ada dari suami atau istri terdapat sesuatu yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, karena jika dilanjutkan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau istri atau keduanya sekaligus. Fasakh dalam bentuk ini dalam fiqh disebut dengan khiyar fasakh. (Amir Syarifuddin, 2011: 243).

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tentang perkawinan menentukan alasan- alasan untuk menuntut batalnya perkawinan, antara lain :

a) adanya perkawinan rangkap (dubble huwelijk)

b) tiadanya kata sepakat pihak-pihak atau salah satu pihak c) tiadanya kecakapan untuk memberikan kesepakatan d) belum mencapai usia untuk kawin

e) keluarga sedarah atau semenda

f) perkawinan antara mereka yang melakukan overspel g) perkawinan ketiga kalinya antara orang yang sama

(34)

25 h) tiada izin yang disyaratkan

i) ketidakwenangan pejabat catatan sipil

j) perkawinan dilangsungkan walaupun ada pencegahan. (Tutik Titik Triwulan, 2008: 124)

Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 hanya menentukan bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya yang meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal istri, suami atau istri. (Pasal 38 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975).

Adapun pada Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24. Sedangkan dalam KHI diatur dalam Pasal 73. pihak-pihak tersebut antara lain:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.

Misalnya bapak atau ibu dari suami atau istri, kakek atau nenek dari suami atau istri.

b. Suami istri, suami atau istri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari suami atau istri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan pembatalan perkawinan.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.

Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang- undangan (Pasal 16 ayat (2)), namun sampai saat ini urusan tersebut masih

(35)

26 dipegang oleh PPN atau Kepala Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri.

d. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinantersebut diputuskan.

Disebutkan juga bahwa barang siapa yang karena perkawinan tersebut masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan tersebut, dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat(2) dan Pasal 44 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

2.1.5 Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun. (Amir Syarifuddin, 2009: 59)

(36)

27

Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:

1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.

2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya wali mengatakan,“Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).

3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”)

4. Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.

5. Dua orang saksi, adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma bersabda:

(37)

28

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil”.

(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i) Syarat Nikah

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai tersebut adalah:

A. Bagi calon mempelai pria - beragama islam - laki laki

- jelas orangnya

- cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga - tidak terdapat halangan perkawinan

B. Bagi calon mempelai wanita - beragama islam - perempuan - jelas orangnya

- dapat dimintai persetujuan (Ali Zainuddin, 2007 : 12)

Selain beberapa persyaratan di atas, calon mempelai pun dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat, yaitu persetujuan calon mempelai. Hal ini berarti calon mempelai sudah menyetujui yang akan menjadi pasangannya. (suami istri) baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan yang akan menjalani ikatan perkawinan. (Ali Zainuddin, 2007 : 13) C. Bagi wali dari calon mempelai wanita

- Laki-laki - Beragama islam

- Mempunyai hak perwaliannya

- tidak terdapat halangan untuk menjadi wali

Selain syarat wali nikah di atas, perlu di ungkapkan bahwa wali nikah adalah orang yang menikahkan seorang wanita dengan pria lain. Karena wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon

(38)

29 mempelai wanita yang bertindak menikahkannya. Wanita yang menikah tanpa wali berarti perkawinannya tidak sah. Ketentuan ini didasari oleh hadis Nabi Muhammad yang mengungkapkan:

“Tidak sah perkawinan, kecuali dinikahkan oleh wali”.

Status wali dalam perkawinan merupakan rukun yang menentukan sahnya akad nikah (perkawinan). Dalam pelaksanaan akad nikah atau yang biasa disebut ijab qabul (serah terima) penyerahannya dilakukan oleh wali mempelaiperempuan atau yang mewakilinya, dan qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki. (Ali Zainuddin, 2007 : 15)

D. Syarat saksi nikah

- minimal dua orang saksi - menghadiri ijab qabul - dapat mengerti maksud akad - beragama islam

- dewasa

E. Syarat-syarat ijab qabul

- adanya pernyataan mengawinkan dari wali

- Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria - memakai kata-kata nikah atau semacamnya

- antara ijab dan qabul bersambungan - antara ijab dan qabul jelas maksudnya

- orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan ikhram haji atau umrah

- majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal empat orang, yaitu calon mempelai pria atau yang

mewakilinya, wali mempelai wanita atau yang mewakiliknya, dan dua orang saksi

Sesudah pelaksanaan akad nikah, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku, diteruskan kepada kedua saksi dan wali. Dengan penandatangan akta nikah dimaksud, perkawinan telah dicatat secara resmi

(39)

30 danmempunyai kekuatan hukum. Akad nikah yang demikian disebut sah atau tidak sah dapat dibatalkan oleh pihak lain.

Adapun manfaat dari perkawinan dalam islam secara luas antara lain:

(1) Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar;

(2) Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan;

(3) Cara untuk memperoleh keturunan yang sah;

(4) Menduduki fungsi sosial;

(5) Mendekatkan hubungan antara keluarga dan solidaritas kelompok;

(6) Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan;

(7) Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

2.2. Perwalian

2.2.1. Pengertian dan Macam-macam Wali

Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.

Sedangkan wali dalam perkawinan adalah seseorang yangbertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.(Amir Syarifuddin, 2006 : 69)

Dapat disimpulkan bahwa wali dalam perkawinan adalah seseorang yang mempunyai hak untuk menikahkan atau orang yang melakukan janji nikah atas nama mempelai perempuan.

Macam-macam Wali.

1. Wali Nasab

(40)

31 Dilihat dari kata nasab, bahwa yang berhak menjadi wali adalah orang-orang yang masih kerabat. Dengan kata lain wali nasab adalah wali yang berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan nikah. (Amir Syarifuddin, 2006 : 75)

Keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut:

a. Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria murni, yaitu:

- Ayah

- Ayah dari ayah

- Dan seterusnya ke atas

b. Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis pria murni,yaitu:

- Saudara kandung - Saudara seayah

- Anak dari saudara kandung - Anak dari saudara seayah

c. Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni, yaitu:

- Saudara kandung dari ayah - Saudara se bapak dari ayah - Anak saudara kandung dari ayah - Dan seterusnya ke bawah

Apabila wali tersebut diatas tidak beragama islam, sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau wali-wali tersebut di atas belum baligh atau

(41)

32 rusak pikirannya atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak bisa menulis, maka hak menjadi wali pindah kepada wali yang berikutnya.

2. Wali Hakim

Yang dimaksud wali hakim ialah yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu perkawinan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1981 yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Wali hakim dapat bertindak mengantikan kedudukan wali nasab apabila:

a. Wali nasab tidak ada

b. Wali nasab berpergian jauh atau tidak ditempat, tetapi tidak memberi ,kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada ditempat

c. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya d. Wali nasab sedang berihrom haji atau umroh

e. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali (wali adhal)

f. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dan perempuan dibawah perwaliaanya, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.

3. Wali Muhakkam

Apabila wali nasab tidak dapat menjadi wali karena sebab-sebab tertentu dan wali hakim tidak ada maka perkawinan dilangsungkan dengan wali muhakkam yang diangkat oleh kedua calon mempelai.

(42)

33

2.2.2. Kedudukan dan Syarat-syarat Wali Menurut Fiqih

Adanya wali dalam suatu perkawinan dan perkawinan dianggap tidak sah apabila tidak ada wali. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, tentang keharusan adanya wali dalam perkawinan. Imam Idris as. Syafi’I beserta penganutnya berpendapat tentang wali nikah ini bertolak dari hadist Rasullulah SAW. Diantaranya yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah,yaitu:

“Artinya: Barang siapa diantara perempuan yang nikah dengan tidak seizinwalinya, maka nikahnya batal.(At-Tirmidzi, Al-Jam al- Shohih,1998 : 407).”

Dalam hadist tersebut terlihat bahwas seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti tanpa wali nikah itu batal menurut hukum Islam atau nikahnya tidak sah.

Disamping alasan berdasarkan hadist diatas, Imam Syafi’I mengatakan pula alasan menurut Al-Qur’an antara lain:

a. Firman Allah Q.S an-Nur : 32

Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.”

b. Firman Allah Q.S al-Baqoroh :

(43)

34 Artinya:“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik(dengan

wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.”

Menurut Mazhab Hanafi, wali tidak merupakan syarat dalam perkawinan. Imam Abu Hanifah dan beberapa pengikutnya mengatakanbahwa akibat ijab aqad nikah yang diucapkan oleh wanita yang dewasadan berakal adalah sah secara mutlak.

Demikian juga menurut Abu Yusuf dan Imam Malik, beliau mengemukakan pendapat berdasarkan analisis dari Al-Qur'an dan hadist sebagai berikut:

a. Firman Allah Q.S Al-Baqarah : 230

Artinya:”Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua),maka perempuan itu tidak halal baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.”

b. Hadist Rosullulah :

Artinya: “Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, sedangkan anak perawan, bapaknya harus minta izinnya (Riwayat Abu Dawud).”

Jadi, menurut Mazhab Hanafi bahwa wali nikah itu tidak merupakan syarat untuk sah nikah, tetapi baik laki-laki maupun perempuan yang hendak menikah sebaiknya mendapat restu atau izin orang tua.

Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalampasal 6 undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan diatur sebagai berikut:

(44)

35 - Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua (pasal 6 ayat 2).

- Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat 3).

- Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali,orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama mereka masih hidupdan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat 4).

Syarat-syarat Wali.

Untuk menjadi wali seseorang harus memenuhi beberapa syarat,yaitu:

1. Islam 2. Baligh

3. Merdeka (bukan budak) 4. Laki-laki

5. Berakal sehat

6. Adil, artinya tidak fasik.(Tutik, Titik Triwulan 2008:32)

(45)

36 Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUH Perdata pasal 331 sampai dengan Pasal 344 dan Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

2.3. Wali Adhal

2.3.1. Pengertian Wali Adhal

Definisi wali adhal cukup beragam, tetapi penulis coba mengutip salah satu definisi yang dikemukakan oleh Wahbah al Zuhailiy dalam Penafsiran al-hadits Rasulullah SAW yang mendefinisikan wali adhal sebagai:

“Penolakan wali untuk menikahkan anak perempuannya yang berakal dan sudah baliqh dengan laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing calon mempelai itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut syara’

dilarang”.

Dari definisi tersebut, wali adhal mengandung minimal lima unsur, yaitu:

1. Penolakan (keengganan) wali untuk menikahkan calon mempelai perempuan;

2. Telah ada permintaan atau permohonan dari calon mempelai perempuan agar dirinya dinikahkan dengan calon mempelai laki-laki;

3. Kafa’ah antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan;

4. Adanya perasaan saling menyayangi atau mencintai di antara masing-masing calon mempelai; dan

5. Alasan penolakan (keengganan) wali tersebut bertentangan dengan syara’

(46)

37 Ketentuan mengenai wali adhal dalam hukum perkawinan Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim.

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa adhal-nya wali merupakan salah satu syarat atau keadaan dibolehkannya wali hakim sebagai wali dalam perkawinan calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki. Untuk menyatakan adhal-nya seorang wali, maka diperlukan penetapan dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita

2. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

Ketentuan mengenai wali adhal dalam peraturan ini sama dengan ketentuan dalam peraturan tersebut di atas.

3. Kompilasi Hukum Islam

Ketentuan mengenai wali adhal dalam hukum Islam diatur dalam Pasal 23.

Substansinya pada dasarnya sama dengan kedua Peraturan Menteri Agama tersebut di atas.

Wali Adhal ialah wali yang enggan. Maksudnya seorang wali yang enggan atau menolak tidak mau menikahkan atau tidak mau menjadi wali dalam perkawinan anak perempuannya dengan seorang laki-laki yang sudah menjadi pilihan anaknya.

(47)

38

Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang seimbang (se-kufu), dan walinya berkeberatan dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah ternyata bahwa keduanya se-kufu, dan setelah memberi nasihat kepada wali agar mencabut keberatannya itu.(Sulaiman Rasjid, 2004 : 38b)

Dalam kenyataan di masyarakat sering terjadi, bahwa seorang wanita atau bakal calon mempelai wanita berhadapan dengan kehendak orang tuanya/ walinya yang berbeda, termasuk soal pilihan laki-laki yang hendak dijadikan menantu (suami), ada yang sama-sama setuju, mengizinkannya, atau sebaliknya orang tua menolak kehadiran calon menantunya yang telah menjadi pilihannya, mungkin karena orang tua telah mempunyai pilihan lain atau karena alasan lain yang prinsip. Perlu disadari bahwa orang tua dan anak sama-sama mempunyai tanggung jawab, bagaimana menentukan jodoh yang sesuai dengan harapan dan cita-citanya, walaupun harus berhadapan dengan kenyataan dimana orang tua dan anak berbeda pandangan satu sama lain. Bahkan dalam kenyataan ada seorang anak yang melarikan diri dengan laki-laki pilihannya ke tempat lain dengan tujuan hendak kawin tanpa prosedur hukum yang berlaku. Hal seperti ini bukan yang diinginkan hukum, dan perlu dihindari.

Pihak calon mempelai perempuan berhak mengajukan kepada Pengadilan Agama, agar pengadilan memeriksa dan menetapkan adhalnya wali. Jika ada wali adhal, maka wali hakim baru dapat bertindak melaksanakan tugas sebagai wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya wali..

(48)

39 2.3.2. Dasar Hukum Wali Adhal dalam Al-qur’an dan Hadits

Memang tidak ada satu ayat Al-Quran pun yang jelas secara ibarat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. namun dalam Al- Quran terdapat petunjuk nash yang ibarat-nya tidak menunjuk kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut secara isyarat nash, dapat dipahami menghendaki adanya wali.

1. Dalil-Dalil Al-Quran

Di antara ayat Al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah

sebagai berikut:

221}

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”(Q.S. al-Baqarah: 221) Dasar hukum adanya wali sering identikkan dengan saksi dalam pernikahan, di antara firman Allah yang menerangkan tentang saksi yang

(49)

40 Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”(Q.S. al-Furqaan: 72)

2. Dalil-Dalil dari Hadist

Tidak hanya dalam Al-Qur’an saja tempat diwajibkannya untuk menegakkan keadilan namun dalam hadist juga nabi mengharuskan untuk menegakkan keadilan.misalnya:

رجا هلف ءاطخ اف دهتجااذاؤ نارجا هلف باصاف مكاحلا دهتجااذا Artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka ia memperoleh dua pahala, dan apabila ia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala”.

Dalam hadis yang lain disebutkan:

ِراهنلَا يِف ِناَنْثِا :ٌةَث َلََث ُةاَضُقْلَا ( ملسو هيلع الله ىلص ِ ه َالله ُلوُسَر َلاَق :َلاَق هنع الله يضر َةَدْيَرُب ْنَع يِف ٌدِِاَوَو ,

َرَع ٌلُج َرَو .ِةهنَجْلَا يِف َوُهَف , ِهِب ىَضَقَف , هقَحْلَا َفَرَع ٌلُجَر .ِةهنَجْلَا َوُهَف , ِمْكُحْلَا يِف َراَجَو , ِهِب ِضْقَي ْمَلَف , هقَحْلَا َف

) ِراهنلَا يِف َوُهَف , ٍلْهَج ىَلَع ِساهنلِل ىَضَقَف , هقَحْلَا ِفِرْعَي ْمَل ٌلُجَرَو .ِراهنلَا يِف ُمِكاَحْلَا ُهَحهحَصَو , ُةَعَب ْرَ ْلَْا ُهاَوَر)

(

Artinya: “Dari Buraidah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka." Riwayat Imam Empat. Hadits shahih

menurut Hakim”.

2.4 Wali Hakim

2.4.1 Pengertian Wali Hakim

Wali Hakim adalah Wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau Pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali hakim juga telah dijelaskan jika wali terdekat tidak ada atau tetapi memnuhi syarat maka hak

(50)

41 menikahkan berpindah pada wali hakim dalam tingkat berikutnya.jika wali tidak mau menikahkan atau ada perempuan yang tidak empunyai maka akad nikah dilakukan oleh wali hakim.

Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 Pasal 1 ayat (2), Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007, Pasal 18 ayat (4) wali hakim adalah Kepala Kantor Uurusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita dan adhlanya wali sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama Sungguminasa.

2.4.2 Persyaratan Wali Hakim

1. Wanita yang tidak ada walinya atau tidak diketahui artinya seperti anak zina, anak pungut dan lain-lain. Jika ingin menikah yang menikahkanya adalah wali hakim dan orang lain tidak erhak menikahkanya walaupun orang tua angkat atau ayah angkatnya.

2. Wanita yang hilang walinya artinya jika calon mempelai wanita yang wali nikahnya hilang atau tidak diketahui keberadannya.

Apakah masih hidup atau tidak seperti orang yang menumpang sebuah kapal dan tenggelam di perjalanan. Maka dalm keadaan seperti ini yang menikahkan adalah wali hakim.

3. Wanita yang walinya sedang ibadah haji atau umrah artinya seorang wanita wali nikahnya sedang melaksanakan haji atau umrah maka yang menikahkan adalah wali hakim walaupun wali

(51)

42 nikah mewakilkan pada seseorang sebelum berangkat tetap tidak sah jika pernikahan berlangsung saat wali nikah dalam ihram haji atau umrah.

4. Wanita yang walinya di penjara artinya jika seseorang wali nikah berada dalam penjara dan masih bisa dijenguk, maka dia

menikahkan sendiri di penjara dengan mendatangkan calon suaminya dan apabila wali nikah tidak diketahui berada di penjara mana dan tidak bisa di jenguk maka yang menikahkan adalah wali hakim.

5. Wanita yang walinya bersembunyi pada hari pernikahan atau tidak menepati janji artinya jika seorang wali nikah sudah berjanji untuk menikahkan dan akan datang pada akad nikah namun pada hari H dia tidak datang bersembunyi atau selalu berkelip maka yang menikahkannya adalah wali hakim.

(52)

43

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menunjuk Dan Menetapkan Wali Hakim Sebagai Pengganti Wali Adhal Di Permohonan Penetapan Nomor 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm

Dalam permohonan penetapan nomor 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm Pemohon mengajukan permohonan penetapan wali adhal kemudian telah membaca dan mempelajari berkas perkara juga mendengar keterangan pemohon dan calon suami pemohon, serta memeriksa alat bukti pemohon dalam persidangan.

3.1.1 Pokok Perkara

Bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 20 mei 2016, yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Sungguminasa dengan Nomor 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm tanggal 20 mei 2016, telah mengajukan permohonan wali adhal.

Hubungan antara pemohon dan calon suami pemohon tersebut sudah sedimikian erat dan sangat sulit untuk dipisahkan, karena telah berlangsung selama kurang lebih satu tahun.

Bahwa selama ini, keluarga pemohon telah sama-sama mengetahui hubungan cinta kasih antara pemohon dan calon suami pemohon tersebut, bahkan calon suami pemohon telah meminang/melamar Pemohon sebanyak 3 (tiga) kali, namun wali nikah Pemohon tetap menolak dengan alasan karena tidak sederajat dan belum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sesuai bidang ilmunya serta ada

Referensi

Dokumen terkait

Batik yang dihasilkan tidak hanya menjadi produk budaya saja, melainkan telah berubah menjadi produk ekonomi dengan melakukan diversifikasi produk yang mengandalkan

Penelitian pajak bisa jadi sulit tidak hanya karena kita harus mengikuti studi pajak di bidang akuntansi, keuangan, eko- nomi, dan hukum, namun juga karena berbagai

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) untuk mengetahui apa itu hukuman kebiri, 2) untuk mengetahui alasan diberlakukannya hukuman kebiri bagi pelaku

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya penyusunan skripsi yang berjudul “Aplikasi Pupuk Organik Cair Kulit Nenas Terhadap Pertumbuhan

Dalam wilayah ZEE, negara pantai antara lain mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights) untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan

%DJLDQ SHQJDGDDQ PHQ\HUDKNDQ EDUDQJ EHVHUWD GRNXPHQ DVDO EDUDQJ GDQ VXUDW MDPLQDQ NHSDGD EDJLDQ SHQJLULPDQ XQWXN PHQJLULPNDQ EDUDQJ NHSDGD SHODQJJDQ %DJLDQ SHQJLULPDQ

2.. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua standar keselamatan pasien bertujuan untuk tercapainya sasaran. Pertanyaan yang paling mendasar yang ingin disampaikan

Berbicara tentang bantuan hukum tentu tak lepas dari Lembaga Bantuan Hukum. Sejarah dan perkembangan bantuan hukum di Indonesia tak lepas dari peran serta lembaga ini. Sayangnya,