• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung Pada Era Global.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung Pada Era Global."

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

TRADISI

MAKOTEK

DI DESA MUNGGU, BADUNG

PADA ERA GLOBAL

GEDE YOGA KHARISMA PRADANA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

DISERTASI

TRADISI

MAKOTEK

DI DESA MUNGGU, BADUNG

PADA ERA GLOBAL

GEDE YOGA KHARISMA PRADANA NIM. 1390371006

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

TRADISI

MAKOTEK

DI DESA MUNGGU, BADUNG

PADA ERA GLOBAL

Disertasi untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

GEDE YOGA KHARISMA PRADANA NIM. 1390371006

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI Tanggal 19 Januari 2016

Promotor,

Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. NIP 196102121988031001

Kopromotor I,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP 194807201978031001

Kopromotor II,

Dr. I Nyoman Dhana, M.A. NIP 195709161984031002

Mengetahui,

Ketua

Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya Program

Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP 194807201978031001

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

(5)

Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 28 Desember 2015.

Panitia Penguji Disertasi berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 4301/UN.14.4/HK/2015

Tanggal 28 Desember 2015.

Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.

Anggota : 1. Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.

2. Dr. Drs. I Nyoman Dhana, M.A.

3. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.S.

4. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.S.Kar., M. Hum.

5. Dr. Drs. Putu Sukardja, M.Si.

6. Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum.

(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Gede Yoga Kharisma Pradana

NIM : 1390371006

Program Studi : Program Doktor Kajian Budaya Pascasarjana Universitas

Udayana

Judul Disertasi : “Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global”

Pada kesempatan ini menyatakan bahwa disertasi berjudul “Tradisi Makotek di Desa

Munggu, Badung pada Era Global” bebas plagiat. Apabila pada kemudian hari karya

ilmiah ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan

peraturan Mendiknas RI No. 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Denpasar, 19 Januari 2016 Yang membuat pernyataan,

Gede Yoga Kharisma Pradana

(7)

Om Swastiastu, pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur dan terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas asung wara nugraha-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., sebagai promotor; Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U., selaku kopromotor I; dan Dr. Drs. I Nyoman Dhana, M.A., selaku kopromotor II, atas bimbingan, dorongan, dan semangat yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.

Dalam proses penyusunan disertasi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis memberikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak berikut.

1) Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.P.D-KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktoral (S3) Kajian Budaya, PascasarjanaUniversitas Udayana.

2) Ibu Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)., selaku Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, Assisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Assisten Direktur II, Prof. Ir. Made Sudiana Mahendra, M.AppSc., Ph.D.

3) Ketua Program Studi Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana, Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U., dan Sekretaris Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, Dr. Putu Sukardja,M.Si., yang telah banyak memberikan kemudahan dalam pelayanan dan dorongan untuk penyusunan disertasi ini.

4) Tim penguji, yakni Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., Dr. Drs. I Nyoman Dhana. M.A., Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.S., Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum., Dr. Drs. Putu Sukardja. M.Si., Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum. yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud.

5) Teman sekampus dan sekelas Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah berperan sebagai penyemangat dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

6) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu secara langsung atau tidak langsung sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

(8)

Nyoman Rubrata, S.H., M.Sc., Ir. I Ketut Ruastika, saudara-saudaraku, orang-orang terdekat atas dukungan, bantuan dan motivasinya selama penulis menempuh studi pada Program Doktor Kajian Budaya, Pascasarjana Universitas Udayana.

Tidak lupa juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Universitas Hindu Indonesia dan pihak Asosiasi Kajian Tradisi Lisan, Kemenristek Dikti yang telah memberikan dukungan, beasiswa kepada penulis dalam menyelesaikan studi pada Program Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana. Semoga budi baik dan segala partisipasi yang telah diberikan memperoleh rahmat dari Tuhan Yang Mahaesa.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Namun, penulis berharap mudah-mudahan disertasi ini dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pembaca pada umumnya dan bagi ilmuwan sosial khususnya Cultural Studies yang mengkaji masalah tradisi lisan sebagai salah satu kekuatan kultural bangsa pada era global.

OM Santih Santih Santih OM

Denpasar, 19 Januari 2016

Penulis

(9)

TRADISI MAKOTEK DI DESA MUNGGU, BADUNG PADA ERA GLOBAL

Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual tolak bala bagi masyarakat di Desa Munggu, Badung. Tradisi itu dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya Kuningan. Hingga pada era global, tradisi Makotek yang melibatkan banyak pihak dan komponen budaya itu tetap dilaksanakan masyarakat Desa Munggu. Hal itu merupakan tantangan bagi masyarakat Desa Munggu yang tidak menutup diri dari pengaruh modernisasi.

Tujuan penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan tradisi Makotek pada era global. Penelitian yang berlokasi di Desa Munggu ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan dianalisis dengan teori dekonstruksi, teori religi, teori simbol, teori praktik, dan teori kuasa pengetahuan. Permasalahan yang dikaji meliputi (1) mengapa masyarakat di Desa Munggu hingga pada era global tetap melaksanakan tradisi Makotek; (2) bagaimana mereka melaksanakan; dan (3) apa implikasinya bagi mereka hingga pada era global tetap melaksanakan tradisi Makotek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) masyarakat Desa Munggu memandang mereka harus tetap melaksanakan tradisi Makotek karena dalam kehidupannya dilatari oleh ideologi religi, ideologi konservasi, ideologi kuasa, dan ideologi budaya yang membuatnya patuh terhadap tradisi yang telah mereka miliki; (2) pada era global masyarakat Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek sangat meriah namun tetap sesuai dengan tahapan, tradisi, dan adat istiadat yang telah mereka miliki; (3) Implikasi pelaksanaan tradisi Makotek pada era global bagi masyarakat Desa Munggu tampak langsung menyentuh ciri khas kehidupannya, penguatan terhadap solidaritas mekanik dan solidaritas organik dalam kehidupannya, penguatan terhadap kualitas nilai budaya kebersamaan bagi mereka dalam menghadapi tantangan perubahan budaya pada era global.

Kata kunci: tradisi Makotek, era global, masyarakat di Desa Munggu, ideologi religi, solidaritas mekanik.

(10)

TRADITION OF MAKOTEK AT MUNGGU VILLAGE, BADUNG REGENCY, IN GLOBALIZATION ERA

Makotek is a cultural tradition which is performed as a ritual to ward off misfortune for those living at Munggu Village, Badung Regency. It is performed once in six months, namely, every Kuningan Feast Day. It has been inherited from generation to generation as an oral tradition. In the globalization era, it involves numerous parties and cultural components. It is still performed until now; however, those living at Munggu Village are also open to the impact of modernization.

This present study is intended to identify the matters pertaining to the performance of the Makotek tradition. Therefore, the target of the present study is the performance of the Makotek tradition in the globalization era. The study was conducted at Munggu Village using the qualitative method. The data were analyzed using the theory of Deconstruction, the theory of Practice, the theory of Symbol, the theory of Religion, and the theory Power of Knowledge. The problems of the study are formulated as follows; (1) why those living at Munggu Village still perform the Makotek tradition in the globalization era; (2) how they perform it in the globalization era?; (3) what is the implication of the Makotek tradition in the globalization era.

The result of the study shows that (1) those living at Munggu Village still find it necessary to perform the Makotek tradition in the globalization era due to the religious ideology, the ideology of conservation, the ideology of power, and the cultural ideology; they all have caused the villagers to perform such a tradition faithfully; (2) those living at Munggu Village have performed such a tradition step by step, in accordance with the tradition they have had since a long time ago; (3) the implication of the study is that the Makotek tradition seems to touch the specific characteristic of the society’s life at Munggu Village; the villagers strengthen their mechanic and organic solidarities and the quality of the cultural value; the villagers become motivated to face the changes in the globalization era.

(11)

RINGKASAN

Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual tolak bala bagi masyarakat di Desa Munggu, Badung. Tradisi tersebut dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya Kuningan. Hingga pada era global, tradisi Makotek yang melibatkan banyak pihak dan komponen budaya tersebut tetap dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu. Hal itu merupakan tantangan bagi kehidupan mereka yang tidak menutup diri dari pengaruh modernisasi.

Secara ideologis, kehidupan masyarakat pada era global akan cenderung sibuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar sesuai dengan zamannya. Hal itu menyebabkan mereka akan menempatkan ekonomi kapitalistik pada posisi sentral dan dominan dalam jaringan sosialnya. Dalam kehidupannya pun mereka akan cenderung melibatkan konstruksi pasar kapitalis lengkap dengan rangkaian relasi sosial, aliran komoditas, modal, teknologi, dan ideologi dari berbagai budaya belahan dunia. Kondisi tersebut membuat mereka sibuk mengejar dan berkompetisi untuk memenangkan pertarungan dalam memperoleh keuntungan finansial. Namun, di tengah-tengah kesibukannya mengarungi arus globalisasi yang identik dengan ekonomi kapitalistik tersebut hingga kini masyarakat Desa Munggu tetap melaksanakan tradisi Makotek. Padahal, tradisi tersebut tidak memberikan mereka keuntungan finansial. Bahkan, untuk itu mereka pun harus mengorbankan waktu, materi, dan sebagainya agar bisa ikut serta dalam pelaksanaan tradisi tersebut.

(12)

seluruh warga masyarakatnya serta penyajiannya yang semakin meriah dan semarak pada era global tersebut membuat tradisi Makotek menarik untuk dikaji.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan terkait dengan tradisi Makotek yang hingga pada era global tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Munggu. Penelitian yang berlokasi di Desa Munggu tersebut dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan dianalisis dengan teori dekonstruksi, teori praktik, teori simbol, teori religi, dan teori kuasa pengetahuan. Fokus permasalahan yang dikaji meliputi (1) mengapa masyarakat Desa Munggu masih tetap melaksanakan tradisi Makotek pada era Global; (2) bagaimana mereka melaksanakannya; dan (3) apa implikasinya bagi masyarakat di Desa Munggu pada era global.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual tolak bala bagi masyarakat Desa Munggu, Badung. Hingga pada era global tradisi Makotek yang melibatkan banyak pihak dan komponen budaya tersebut masih lestari. Hal itu merupakan tantangan bagi masyarakat di Desa Munggu yang tidak menutup diri dari pengaruh modernisasi. Penelitian yang berlokasi di Desa Munggu, Badung dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan dianalisis dengan teori dekonstruksi, teori religi, teori simbol, teori praktik, teori kuasa pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut.

(13)

mapan sumber daya masyarakatnya, membuat tradisi Makotek semakin kuat melembaga. Hal itu terefleksi secara sosial struktural hingga pada era global ini.

Kedua. Hingga pada era global, masyarakat Desa Munggu tetap melaksanakan tradisi Makotek berdasarkan awig-awig desa adat setempat. Pada tahap awal mereka melakukan persiapan ritual Makotek di rumahnya masing-masing. Pada saat itu mereka melakukan upacara penyucian diri dan peralatan (kayu pulet) yang akan digunakan dalam perayaan Makotek. Kayu pulet yang telah dihiasi tamiang, pandan, dan plawa itu disucikan dengan upakara penyucian dilengkapi percikan tirta dan sarana mantra. Pada pukul 13.00 WITA seluruh warga berkumpul di Balai Banjar masing-masing dengan menggunakan pakaian adat ringan. Ditandai bunyi kulkul mereka kemudian berjalan beramai-ramai menuju Pura Puseh untuk melaksanakan upacara pecaruan, penyucian alam wilayah Desa Munggu. Seluruh peralatan upacara, seperti kober, umbul-umbul, tombak, dan tamiang kolem yang disucikan di Pura Puseh turut disucikan. Seusai upacara pecaruan dan proses penyucian peralatan dilakukan, rombongan prosesi Makotek yang terdiri atas : (1) barisan kotekan kayu (2) barisan benda-benda sakral pura seperti tombak, umbul-umbul, tamiang kolem, dan kober (3) barisan pemangku dan penyarikan pura membawa sarana pusaka keramat, (4) barisan sekaa gamelan balaganjur, (5) barisan sekaa kidung perlahan-lahan bergerak ke arah selatan mengelilingi wilayah Desa Munggu. Pada setiap persimpangan jalan, barisan pemuda pembawa tongkat kayu pulet berputar-putar, mengadupadankan tongkatnya hingga membentuk formasi kerucut berupa piramida dan mengadukan diri antarkelompok kotekan. Seorang pemuda kemudian menaiki puncak formasi piramida itu diiringi gemuruhnya gamelan balaganjur. Pemangku memercikkan tirta pada setiap pura yang dilewati barisan prosesi tersebut sebagai simbol penyucian. Setelah prosesi ngider bhuana selesai dilakukan, seluruh peserta prosesi diperciki tirta sebagai simbol berkah yang diyakini dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup mereka.

(14)

ditandai meningkatnya solidaritas organik dan solidaritas mekanik. Bagi kebudayaan Desa Munggu, berimplikasi pada penguatan nilai budaya khususnya peningkatan pemahaman akan pelestarian tradisi budaya mereka.

Temuan Baru

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan terdapat temuan baru antara lain, sebagai berikut.

Tradisi makotek tetap hidup pada era global, tetapi telah mengalami glokalisasi. Semakin mapannya sumberdaya masyarakat Desa Munggu ternyata tidak membuat mereka meninggalkan tradisinya. Bahkan justru sebaliknya tradisi Makotek tampak melembaga semakin kuat.

Tradisi Makotek dilaksanakan tidak hanya untuk tolak bala, tetapi juga untuk pelebur dasa mala (10 sifat keburukan manusia).

Makotek ternyata sebuah prosesi tolak bala berkonstruksi teatrikal seni bernuansa religius dengan struktur terdiri atas barisan kotekan, barisan umat pembawa benda keramat, barisan pemangku pembawa pusaka, barisan sekaa gong, barisan sekaa santhi, dan barisan umat.

(15)

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan sebagai berikut.

Kepada masyarakat Desa Adat Munggu disarankan agar tradisi Makotek terus dikembangkan dan dipromosikan sebagai tontonan budaya terkait dengan pariwisata dalam rangka pelestarian budaya lokal pada era global.

Kepada dinas kebudayaan, asosiasi tradisi lisan, dan Balai Pelestarian Budaya Tradisional agar mengupayakan penelitian tradisi lisan secara berkelanjutan, memberi penghargaan dan merancang regulasi sebagai upaya pelestarian budaya lokal pada era global.

(16)

GLOSARIUM

amertha : sesuatu yang terberkati oleh Ida Sang Hyang Widhi untuk kepentingan dan kelanggengan kebahagiaan makhluk, diyakini dapat membuat manusia menjadi panjang umur. Dalam mitologi disebutkan bahwa terdapat energi suci, murni dan menyejukan yang disebut amertha. Amertha layak diberikan kepada makhluk pemohon setelah memenuhi persyaratan, prinsip-prinsip dan tata tertib tertentu. Persyaratan mendasar yaitu dengan

mempersembahkan makanan, minuman atau bahan dasar lain sebagai pengganti amerta itu di alam kesucian. Setelah

melakukan proses penyucian berulang-ulang pada akhirnya roh pemohon bersama bahan persembahannya dapat mencapai alam dewa guna mendapatkan amertha.

animo : hasrat yang disertai keinginan kuat untuk berbuat atau mengikuti sesuatu. Keinginan itu disertai semangat karena minat, kesukaan dan keadaan.

anonim : identitas pribadi tidak dapat diketahui. Identitas itu tidak dapat diketahui karena disembunyikan atau tidak memiliki identitas pribadi.

awig-awig : aturan, tata krama adat. Awig-awig dapat dimaknai sebagai sesuatu yang membuat menjadi baik. Secara harfiah, awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur pergaulan dalam masyarakat untuk kebertahanan masyarakat. Norma dan aturan itu dibuat oleh krama desa pakraman atau krama banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam bermasyarakat.

banten : sarana upakara. Sarana yang memiliki simbol yang mewakili diri umat, kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi dan alam semesta (bhuana agung).

dedemit : makhluk gaib yang dipercaya masyarakat dapat menyakiti orang dan sebaliknya dapat menjadi penjaga dan pelindung ketika diberikan persembahan pada saat ritual. Istilah itu mewakili makhluk halus yang tergolong dimensi rendah. Secara umum, Dedemit juga seringkali mewakili penampakan makhluk halus yang mengejutkan manusia di daerah angker.

(17)

hari raya kuningan

: hari raya yang diselenggarakan umat hindu bali setiap saniscara kliwon kuningan. Kata kuningan memiliki arti mencapai

peningkatan spiritual melalui mengadakan janji, pemberitahuan kepada Ida sang Hyang Widhi, interospeksi diri. Pada hari itu, diyakini umat bahwa Ida Sang Hyang Widhi memberikan berkahnya sejak pukul 00.00 sampai 12.00 wita.

jaba tengah pura

: area bagian tengah dari arsitektur pura. Jaba tengah disebut madya mandala dalam prinsip asta kosala-kosali. Bagian tengah termasuk bagian dalam pura. Pada bagian itu umat diharapkan perhatiannya mulai terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi. Pada areal ini terdiri dari bangunan bale agung, bale pegongan, bale penyimpenan. Di atas pintu masuk bale penyimpenan terdapat karang bhoma yang berfungsi menjaga barang-barang dalam ruangan tersebut.

jeroan pura : area bagian terdalam dan tersuci sebuah pura. Area itu disebut utama mandala dalam prinsip asta kosala-kosali. Pada bagian utama ini, umat sudah diharuskan benar-benar terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi dengan melupakan nafsu keduniawiannya. Pada area itu terdapat pelinggih-pelinggih seperti padmasana sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi atau pelinggih lain untuk pemujaan roh leluhur. Selain bangunan pelinggih juga terdapat bale piasan dan bangunan panglurah untuk para pengawal-Nya.

kaul : janji yang diikrarkan oleh orang suci, orang religius dengan pertukaran spiritual. Pada umumnya, kaul diucapkan setelah masa novisiat. Ada dua macam kaul, kaul sementara dan kaul kekal. Kaul itu bisa berupa niat untuk melakukan perjalanan suci. Oleh karenannya, kaul menyempit maknannya terbatas pada kaum religius. Istilah itu pada perkembangannya menyempit lagi pada kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan yang diikrarkan oleh kaum religius. Orang yang berkaul pada kondisi tertentu dapat membatalkan kaulnya. Akan tetapi butuh proses lama dan melalui dukungan rohaniawan yang kompeten.

kober : Bendera yang berfungsi sebagai sarana pelengkap ritual umat hindu pada upacara panca yadnya. Ukuran ideal kober dapat dilihat pada asta kosala-kosali.

kotekan : sejenis kayu yang digunakan sebagai sarana Makotek. Kayu yang dipergunakan berasal dari kayu pulet. Kayu dengan karakteristik kuat dan awet yang mudah ditemui di desa Munggu, Badung.

(18)

Blambangan. Bala tentara tersebut dikenal sebagai kumpulan pasukan yang tangguh dan telah berjasa dalam masa kejayaan kerajaan Mengwi.

mitologis : kisah suci yang dikaitkan dengan keyakinan. Mitologi dekat dengan legenda maupun cerita rakyat. Mitologi dapat mencakup kisah penciptaan dunia sampai asal mula suatu bangsa yang disucikan.

mitos : pernyataan irasional yang secara religius memiliki arti kebenaran pada komunitasnya. Mitos merupakan bagian dari cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya.

ngiring : sebuah bentuk pengabdian umat Hindu Bali. Sebuah bentuk loyalitas umat hindu dalam menjaga integrasi dan integritas komunitas religiusnya.

ngrebeg : upacara adat tolak bala di Bali. Prosesi upacara itu

mempergunakan sarana upakara lengkap dengan pusaka yang diusung keliling desa agar terhindar dari mara bahaya.

pasupati : proses penjiwaan sarana di Bali untuk meningkatkan kesucian, kedahsyatan kekuatan supranatural. Pasupati dapat berarti permohonan yang tujukan kepada sanghyang Pasupati melalui mantra weda dan banten pasupati yang dimohonkan kepada para dewa.

primitif : kesukuan yang masih sangat tergantung dengan alam. Suatu kebudayaan masyarakat primitif belum mengenal dunia luar, tidak mengenal tata krama dan belum beradab.

punggawa : pemimpin pasukan. Posisi kehormatan bagi seorang tokoh dalam memimpin pasukan dan bertugas memberi komando serangan.

ritual : serangkaian kegiatan religius yang secara simbolis dilaksanakan berdasarkan tradisi dari komunitas tertentu. Rangkaian kegiatan itu pada umumnya diatur oleh suatu kaidah agama.

sesaji : persembahan kepada makhluk halus. Persembahan itu

(19)

takhayul : suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti. Padahal, seringkali sebaliknya.

tapakan : dasar tumpuan yang menjadi tinjauan simbolik. Beragam simbol dari tapakan disucikan oleh umat. Oleh karena itu, peletakannya ditempatkan pada tempat khusus yang tergolong keramat dan ketika hendak diusung memerlukan upacara tertentu.

tolak bala : penangkal wabah dan bencana penyakit. Upaya tersebut

merupakan mekanisme menanggulangi penyakit secara preventif dalam skala makro. Bentuk penanggulangannya sering dilakukan pada komunitas masyarakat tradisional dan masih dilakukan secara anonim dan irasional.

ulam suci : daging sebagai sarana upakara sebagai simbol utama permohonan

umat supaya dijauhkan dari marabahaya. Simbol itu diyakini sebagai prasyarat paling penting dalam rangkaian upakara dan telah disucikan sebagai bagian ritual.

(20)
(21)
(22)

3.6.5 Studi

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA MUNGGU..………....….. ………

68

4.1 Gambaran Umum Desa Munggu, Kabupaten Badung…...

BAB V PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN TRADISI MAKOTEK PADA ERA

GLOBAL………

128

5.1 Hakikat Pelaksanaan Tradisi Makotek pada Era Global. ……….

128

5.2 Visi Kolektif Pelaksanaan Tradisi Makotek pada Era Global……..……..………… 168 5.3 Kesatuan Humanitas

………...

175

5.4 Ideologi dalam Pelaksanaan Tradisi Makotek pada Era Global…………. ………….

181

5.4.1 Ideologi

Religi………...

(23)

5.4.2 Ideologi Konservasi………..

BAB VI PELAKSANAAN TRADISI MAKOTEK PADA ERA GLOBAL………….

222

6.1 Persiapan Pelaksanaan Tradisi Makotek………..…. 225 6.2 Pelaksanaan Tradisi Makotek……….………. 238 6.3 Peralatan dalam Pelaksanaan Tradisi Makotek………... 248 6.4 Estetika dalam Pelaksanaan Tradisi Makotek……….. 275 6.5 Pelaku Tradisi Makotek………. 291 6.5 Penerusan Nilai Budaya Melalui Pelaksanaan Tradisi Makotek…………... 303

BAB VII IMPLIKASI PELAKSANAAN TRADISI MAKOTEK.. ………

310

7.1 Implikasi bagi Masyarakat Desa Munggu…..………... 311 7.2 Implikasi terhadap Politik dan Perekonomian Masyarakat Desa Munggu... 376 7.3 Implikasi terhadap Budaya Masyarakat Desa Munggu... 396

(24)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin... 92

Tabel 4.2 Penduduk Digolongkan Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2005

94

Tabel 4.3 Penduduk Digolongkan Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012

96

(25)

Tabel 4.5 Penduduk Digolongkan Menurut Mata Pencaharian Hidup…….. 99

Tabel 4.6 Jumlah Penduduk Menurut Agama, 2004--2005………... 102

Tabel 4.7 Jumlah Penduduk Menurut Agama, 2012……….. 103

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Jalan Umum Desa

Munggu………...

69

Gambar 4.2 Peta Desa Munggu………. ………...

71

Gambar 4.3 Kehidupan Gotong Royong Masyarakat Desa Munggu.…..…... 72

(26)

Makotek…….

Gambar 5.1 Warga Desa Munggu Musyawarah Menjelang Pelaksanaan Makotek……….………

135

Gambar 5.2 Ekspresi Heroik Pelaksanaan Tradisi Makotek……… 141

Gambar 5.3 Tradisi Makotek……….. ……..

152

Gambar 5.4 Masyarakat Desa Munggu Melaksanakan Tradisi Makotek…….

Gambar 6.1 Warga Desa Munggu Melaksanakan Prosesi Ritual Makotek.... 223

Gambar 6.2 Warga Desa Munggu Mempersiapkan Peralatan Upacara Makotek………...

229

Gambar 6.3 Persiapan Tradisi Makotek di Jaba Pura Puseh Desa Munggu………..

………...

232

Gambar 6.4 Ketertiban Warga Desa Munggu Melaksanakan Tradisi Makotek………...………..

Gambar 6.6 Warga Desa Munggu Mempersiapkan Banten

Makotek……….... …………

252

Gambar 6.7 Penggunaan Padupaan Dalam Prosesi Ritual Makotek………...………. ………

254

Gambar 6.8 Banten Daksina Pada Pelaksanaan Ritual Makotek………. ………...

255

Gambar 6.9 Prayascita Pada Pelaksanaan Ritual

Makotek……….

(27)

………...

Gambar 6.10 Tombak, Umbul-umbul Pada Prosesi

Makotek……….………. ……..

259

Gambar 6.11 Kayu Kotekan………….……….. ……

261

Gambar 6.12 Ciri Kotekan……..………. …...

262

Gambar 6.13 Tamiang Kolem Pada Ritual Makotek……… 264 Gambar 6.14 Penampilan Adat Masyarakat Pada Ritual Makotek…………... 294

Gambar 6.15 Pecalang Pada Pelaksanaan Ritual Makotek……….. 300 Gambar 7.1 Masyarakat Desa Munggu Melaksanakan Makotek……… 323

Gambar 7.2 Kebersamaan Masyarakat Dalam Pelaksanaan Makotek …….. 338

Gambar 7.3 Implikasi Ekonomi Pelaksanaan Makotek……….. 342

Gambar 7.4 Seragam Pakaian Adat ……… 378

(28)

Lampiran 1 Daftar Informan

Lampiran 2 Pedoman Wawancara

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Penggandaan Naskah Disertasi

(29)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fakta menunjukkan bahwa di Desa Munggu, Badung terdapat suatu tradisi

budaya masih lestari yang melibatkan seluruh warga masyarakatnya. Bahkan,

hingga kini tradisi tersebut secara rutin tetap dilaksanakan warga masyarakat

dengan baik. Padahal, kehidupan masyarakat di Desa Munggu tampak tergolong

maju. Hal itu dapat dilihat, baik dari tampilan fisik bangunan maupun kehidupan

masyarakat sehari-hari.

Jika melintasi Desa Munggu akan dapat dilihat betapa asrinya suasana dan

sejahteranya kondisi fisik desa tersebut. Berdasarkan tampilan bangunan fisik

rumah penduduk, gedung-gedung fasilitas publik, jalan aspal yang melintasi desa

tersebut, dan gaya hidup masyarakatnya sehari-hari dapat diketahui bahwa kondisi

sosial ekonomi masyarakat di Desa Munggu telah tergolong maju.

Desa Munggu yang letaknya berdekatan dengan Pusat Pemerintahan

Kabupaten Badung dan objek wisata Tanah Lot secara tidak langsung

sesungguhnya berdampak terhadap kehidupan masyarakat di Desa Munggu.

Namun, kenyataannya tidak demikian adanya. Kehidupan masyarakat di Desa

Munggu yang telah maju, tampaknya tidak mampu memengaruhi sikap mereka

untuk mengabaikan pelaksanaan tradisi Makotek, sebagai suatu tradisi ritual tolak

(30)

2

Fenomena keberlangsungan tradisi budaya, yakni Makotek di

tengah-tengah kehidupan masyarakat yang telah maju pada era global ini menjadi

menarik untuk dikaji. Hal itu disebabkan oleh masyarakat yang telah maju,

terlebih hidup pada era global pada umumnya akan cenderung menganut budaya

global, berideologi kapitalisme, berorientasi profit, mengejar keuntungan finansial

dan sejenisnya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kehidupan masyarakat pada era global secara ideologis cenderung

menerapkan strategi tertentu untuk meningkatkan pendapatannya. Dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidup agar layak sesuai dengan eranya. Hal itu

menyebabkan kehidupan masyarakat pada era global cenderung melibatkan

konstruksi pasar kapitalis lengkap dengan rangkaian relasi sosial, aliran

komoditas, modal, teknologi dan ideologi dari berbagai budaya belahan dunia.

Masyarakat pada era global menempatkan ekonomi kapitalistik pada posisi

sentral dan dominan dalam jaringan sosial mereka. Kondisi itu membuat mereka

terus sibuk mengejar, berstrategi, berkompetisi untuk memenangkan pertarungan

dan memperoleh keuntungan finansial. Sebagaimana diungkapkan Ritzer (2004:

636) bahwa era global melibatkan kontruksi pasar, secara tidak langsung akan

menyeret masyarakatnya dalam arus gelombang ekonomi kapitalistik.

Namun, kenyataannya di tengah-tengah arus globalisasi yang identik

dengan ekonomi kapitalistik itu masyarakat di Desa Munggu hingga kini masih

tetap melaksanakan tradisi Makotek. Padahal, tradisi tersebut tidak dapat

(31)

3

ikut serta dalam pelaksanaan tradisi Makotek. Mereka pun tidak jarang harus

mengeluarkan uang dari kantong pribadi, meninggalkan aktivitas kehidupan yang

penuh dengan pergulatan ekonomi global, hanya karena ingin dapat turut serta

terlibat dalam pelaksanaan tradisi Makotek tersebut.

Masyarakat di Desa Munggu sangat sibuk bergelut dengan rutinitas

kehidupan mereka sehari-hari, tetapi masih tetap mau melaksanakan tradisi

Makotek. Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan. Belum lagi muncul stigma bahwa tradisi ritual diidentikkan dengan keterbelakangan, ortodok,

irasional, kaku, dan banyak menterpurukan budaya memunculkan berbagai

pertanyaan. Hal itu kiranya dapat dijawab dengan menelusurinya secara

mendalam, sebagaimana tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga pada era

global tetap dilaksanakan masyarakatnya.

Tradisi Makotek yang dimaknai sebagai tradisi tolak bala bagi umat Hindu

di Desa Munggu dilaksanakan masyarakat setiap enam bulan sekali, tepatnya pada

setiap hari raya Kuningan. Tradisi tersebut dilakukan untuk tolak bala dan

memohon keselamatan. Setiap penduduk laki-laki dewasa ke luar rumah

membawa kayu pulet. Mereka kemudian beramai-ramai berjalan mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi gamelan balaganjur dan nyanyian-nyanyian

kidung. Setiap melintasi persimpangan jalan dan pura, mereka berkumpul dan

berputar-putar mengadupadankan kayunya hingga berbentuk kerucut menyerupai

piramida. Benturan antarkayu pulet yang menimbulkan suara “tek..tek..tek..…

(32)

4

meninggi, mereka berputar-putar semakin kencang dan histeris. Suasana tersebut

mendidihkan jiwa patriotik para peserta prosesi Makotek. Hingga kemudian di antara mereka ada yang naik memanjat ujung piramida. Setelah tiba di atas

piramida, mereka menari-nari diiringi sorak-sorai dan riuhnya gamelan

balaganjur. Hal itu menciptakan suasana kemeriahan yang sangat religius. Setelah melaksanakan tradisi ritual tolak bala tersebut, mereka pun kembali ke rumah

masing-masing dengan perasaan lega.

Dikatakan bahwa dahulu para leluhur masyarakat di desa tersebut berhasil

menanggulangi wabah penyakit yang sempat meresahkan kehidupannya.

Keberhasilan mereka menanggulangi permasalahan hidup tentang wabah penyakit

yang timbul akibat bencana alam berupa air bah karena meluapnya Sungai Penet

tersebut kemudian diwariskan para tetua desa secara tradisi lisan hingga kini.

Tradisi Makotek yang telah mentradisi pernah ditiadakan pelaksanaannya.

Hal itu terjadi sekitar tahun 1920-an ketika Belanda menguasai daerah Bali.

Karena alasan politik, pemerintah Belanda melarang pelaksanaan tradisi tersebut.

Namun, tidak berselang lama, masyarakat Desa Munggu merasa resah. Hal itu

disebabkan oleh ada sekitar empat sampai dengan enam orang warga meninggal

secara mendadak tanpa sebab yang pasti. Mereka meyakini bahwa kejadian

tersebut ada kaitannya dengan tidak dilaksanakannya tradisi Makotek. Masyarakat Desa Munggu berkeyakinan bahwa hanya dengan melaksanakan tradisi ritual

Makotek, bencana wabah penyakit tersebut dapat diatasi. Mereka pun memohon

(33)

5

masyarakat Desa Munggu akhirnya diperkenankan kembali melaksanakan ritual

tolak bala tersebut. Sejak saat itu, agar bisa melangsungkan ritual Makotek, warga

Desa Munggu memutuskan untuk selalu menggunakan kayu pulet dalam

pelaksanaan tradisi tersebut.

Di Bali, terdapat banyak tradisi ritual tolak bala. Beberapa di antaranya

adalah tradisi Geret Pandan di Desa Tenganan, Karangasem, tradisi Ngusaba

Dangsil di Desa Sulahan, Bangli, tradisi Ngusaba Nini di Karangasem, tradisi

Perang Tipat di Desa Kapal, tradisi Omed-omedan di Sesetan, Denpasar, dan

tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung.

Masyarakat Bali yang dominan menganut agama Hindu memiliki

keyakinan bahwa di sekitar kehidupannya ada pula kehidupan lain. Kehidupan itu

disebut sebagai kehidupan alam gaib, yang diyakini memiliki kekuatan gaib pula

melampaui kemampuan manusia. Kekuatan gaib tersebut diyakini ada yang

positif, tetapi ada pula yang negatif. Mereka yakin bahwa jika kekuatan gaib

tersebut dikelola dan disikapi dengan baik, maka akan dapat menimbulkan efek

baik, positif bahkan diyakini mampu menolong manusia dalam memecahkan

segala masalah dalam kehidupannya, seperti musibah bencana alam, wabah

penyakit, rezeki, jodoh, konflik sosial dan sebagainya yang tidak dapat

dipecahkan dengan akal sehat.

Tradisi Makotek dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Desa Adat Munggu yang terdiri atas tiga belas banjar dan diikuti kurang lebih 2000-an orang

(34)

6

beramai-ramai ke luar rumah. Masyarakat yang laki-laki membawa kayu pulet,

sementara yang perempuan membawa sesaji. Semua warga mengenakan pakaian

adat madya, busana adat tingkat menengah. Busana warga yang laki-laki terdiri

atas kain, dililitkan dengan ujungnya dilepas berbentuk kancut, disertai udeng

sebagai ikat kepala mereka. Sementara, warga yang perempuan menggunakan

busana baju kebaya, kain yang dililitkan dengan selendang sebagai ikat pinggang.

Setiap warga laki-laki yang membawa kayu pulet berukuran kurang lebih dua meter. Mereka kemudian membagi diri menjadi beberapa kelompok, selanjutnya

berjalan bersama-sama mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi gamelan

balaganjur dan nyanyian-nyanyian kidung oleh warga masyarakat perempuan. Tradisi Makotek bisa dilaksanakan secara kompak, bersama-sama oleh

ribuan orang warga pada era global, bahkan secara berkelanjutan merupakan suatu

peristiwa yang langka. Sebagai masyarakat rasional dan berkesadaran kritis,

semestinya masyarakat Desa Munggu tidak melakukan tindakan yang kurang

rasional seperti melindungi diri dari musibah bencana alam, wabah penyakit, dan

sebagainya dengan tradisi Makotek, yang kurang rasional. Oleh karena itu,

fenomena Makotek menimbulkan banyak pertanyaan dan sangat menarik untuk

dikaji. Apa sesungguhnya yang melatari, bagaimana mereka melakukan, apa

relevansi, kontribusi, implikasinya bagi mereka, dan sebagainya hingga pada era

global masyarakat Desa Munggu yang telah memiliki kehidupan modern tetap

(35)

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga bahwa masyarakat di Desa

Munggu melakukan tradisi Makotek berdasarkan pemikiran dan kesadaran penuh.

Bertolak dari dugaan tersebut, maka hal-hal yang mendasari mereka

melaksanakan tradisi Makotek pada era global menunjukkan suatu permasalahan. Namun, dengan keterbatasan kemampuan, waktu, dan sebagainya maka

permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Mengapa masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global tetap

melaksanakan tradisi Makotek?

2. Bagaimana masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global melaksanakan

tradisi Makotek?

3. Apa implikasi tradisi Makotek bagi masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah disusun terkait dengan

tradisi Makotek yang hingga pada era global tetap dilaksanakan masyarakat di

Desa Munggu, maka tujuan penelitian ini dapat dibagi dua. Kedua tujuan itu

diperinci sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum

(36)

8

hal yang dimaksud adalah hal-hal yang melatari, bagaimana mereka melakukan,

dan apa relevansi, implikasinya bagi masyarakat Desa Munggu hingga pada era

global mereka tetap melaksanakan tradisi Makotek.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui kebenaran tentang

hal-hal terkait dengan tradisi Makotek. Adapun hal tersebut adalah (a) Hal-hal yang melatari masyarakat Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek pada era

global; (b) Pelaksanaan tradisi Makotek pada era global; (c) Implikasi dari pelaksanaan tradisi Makotek bagi masyarakat di Desa Munggu pada era global.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian tradisi Makotek yang hingga kini masih tetap

dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Munggu dapat diperinci sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Akademis

Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

dunia ilmu pengetahuan terkait dengan proses transmisi budaya yang berimplikasi

bagi kelestarian budaya Bali pada era global. Adapun manfaat akademis penelitian

ini yaitu 1) Model formatif dari tradisi Makotek yang dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu pada era global; 2) hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

(37)

9

juga diharapkan bermanfaat sebagai referensi bagi para peneliti yang tertarik

mengkaji objek penelitian serupa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian tradisi Makotek pada era global ini

diharapkan bermanfaat sebagai dokumentasi tertulis, referensi bagi masyarakat di

Desa Munggu, masyarakat Bali dan pemerintah. Manfaat praktis yang dimaksud

yaitu dalam upaya untuk melestarikan maupun mengembangkan tradisi Makotek

sebagai salah satu kearifan lokal Bali, berbasis kekuatan kultural kolektif pada

era global. Disamping itu, untuk memahami secara benar realitas distorsif tradisi

(38)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka, hasil-hasil

penelitian sejenis yang digunakan sebagai referensi dan untuk menunjukkan

orijinalitas penelitian ini. Beberapa kepustakaan yang dimaksud adalah

sebagai berikut.

Widyastuti dalam skripsinya yang berjudul ”Prosesi dan Fungsi Upacara

Ngerebeg (Makotekan) di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten

Badung” (2006) mengungkapkan bahwa upacara tradisi Makotek yang disebut

sebagai Makotekan itu diyakini keramat oleh masyarakat di Desa Munggu.

Dikatakan bahwa masyarakat di Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek

untuk memohon keselamatan, penyembuhan penyakit, dan menolak bala bagi

masyarakat yang bersangkutan.

Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti dan disertasi ”Tradisi Makotek

di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini memang sama-sama

mengkaji tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara

saksama, dapat dipahami bahwa tujuan, objek formal dan tahun pelaksanaan

kedua penelitian tersebut berbeda. Widyastuti mengkaji awal mula muncul serta

(39)

11

melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa

implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Widyastuti

melaksanakan penelitian pada tahun 2006, sementara penelitian disertasi ini

dilaksanakan pada tahun 2015.

Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa penelitian

Widyastuti dan penelitian disertasi ini memang sama-sama mengkaji ”Tradisi

Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati tujuan, fokus kajian dan

tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut tampak berbeda. Widyastuti

mengkaji tradisi Makotek secara monodisipliner, sementara disertasi ini

mengkaji tradisi Makotek secara interdisipliner. Perbedaan tersebut tentu juga

berimplikasi terhadap simpulan kedua penelitian tradisi lisan ini.

Wiryani dalam skripsinya “Tari Makotekan dalam Upacara Ngrebeg di

Desa Munggu Kabupaten Badung” (2011) mengatakan bahwa Makotekan adalah

sebuah tari tradisional masyarakat di Desa Munggu. Tradisi Makotek yang

dipandang sebagai sebuah tari oleh Wiryani dikatakan pentas di Desa Munggu

setiap hari raya Kuningan. Tradisi diawali dengan ritual penyucian di Pura

Desa Munggu, masyarakat setempat mementaskan tari Makotekan di Pura

Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu. Tari Makotekan dikatakan memiliki ragam

gerak sederhana, menggunakan pakaian adat madya, dan diiringi gamelan

balaganjur.

Penelitian yang dilakukan oleh Wiryani dan disertasi ”Tradisi Makotek

(40)

12

dapat dipahami bahwa tujuan penelitian, perspektif, objek formal dan tahun

pelaksanaan kedua penelitian berbeda.

Wiryani mengkaji tradisi Makotek dalam perspektif seni, secara

monodisipliner. Sementara disertasi ini mengkaji tradisi lisan dalam perspektif

kajian budaya secara interdisipliner. Wiryani mengkaji objek formal tentang

bentuk dan fungsi tari Makotek, sementara fokus kajian disertasi ini adalah

tentang hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap

melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa

implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Lokasi

penelitian Wiryani dan disertasi ini memang sama-sama di Desa Munggu, tetapi

jika dicermati pelaksanaannya, tampak bahwa Wiryani melaksanakan penelitian

pada tahun 2011, sementara penelitian disertasi ini dilakukan pada tahun 2015.

Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa skripsi Wiryani

dan disertasi ini memang sama-sama mengkaji obyek material yang sama, yakni

”Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati dari tujuan, perspektif, fokus

kajian, dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Wiryani

mengkaji Makotek dalam perspektif seni, secara monodisipliner. Sementara

disertasi ini mengkaji Makotek dalam perspektif kajian budaya secara

interdisipliner. Dengan demikian, perbedaan tentu juga terdapat pada simpulan

kedua penelitian.

Relin dalam disertasinya yang berjudul ”Pembertahanan Tradisi

(41)

13

dapat menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari

ancaman penderitaan dari Bhatara Kala. Ritual tersebut hingga kini masih

eksis, tetapi dikatakan bahwa pada pelaksanaan tradisi ruwatan tersebut terjadi

gejolak hiperspiritualitas terhadap Bhatara Kala. Melalui simbol-simbol,

Bhatara Kala dikatakan ada kaitannya dengan manusia dan Tuhan. Tuhan

diyakini sebagai sumber ketenteraman, kebahagiaan dan sumber perlindungan

yang dapat memediasi munculnya beragam makna sosial religius serta

multikultural baru dalam penguatan lokal jenius, fisiologis, ekonomi dan

sosial pada masyarakat Jawa.

Disertasi ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi

dalam Masyarakat Jawa”, yang ditulis oleh Relin tampak sama-sama

mengkaji tradisi lisan yang hingga era global ini masih tetap lestari. Kedua

penelitian sama-sama mengkaji kearifan lokal sebagai suatu potensi kekuatan

kultural dan kebanggaan masyarakat bersangkutan. Kedua penelitian memang

sama-sama mengkaji kearifan lokal yang bermakna sebagai ritus tolak bala.

Namun, jika dicermati kedua penelitian tersebut sesungguhnya mengkaji

materi, objek formal, lokasi dan tahun pelaksanaan yang berbeda.

Relin mengkaji ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan pada Era Modernisasi

dalam Masyarakat Jawa”, sedangkan penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek di

Desa Munggu, Badung pada Era Global”. Materi yang dikaji oleh Relin

adalah pelaksanaan ruwatan yang diyakini masyarakat di Jawa dapat

(42)

14

melatari dan implikasi pelaksanaan tradisi Makotek bagi masyarakat yang

bersangkutan. Relin melaksanakan penelitiannya di Jawa pada tahun 2011,

sementara penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun

2015.

Renawati dalam disertasinya yang berjudul ”Mrateka Marana Hama

Tikus sebagai Praktik Sosial Budaya Petani di Desa Bedha, Tabanan” (2012)

mengungkapkan bahwa (1) praktik petani dalam penanggulangan hama tikus

di Desa Bedha dalam skala sosial secara ideologis berupa kepercayaan

tradisional, komunalisme, kesejahteraan bersama (sosial ekonomi); (2) bentuk

mrateka marana dilaksanakan dari penangkapan dan pengropyokan tikus secara

massal hingga diaben, ngroras atau memukur yang dirangkaikan dengan

pecaruan di Pura Puseh Bedha dan di Pantai Yeh Gangga. Seluruh rangkaian

upacara itu disebut ngelanus. Setelah upacara ngelanus, beberapa hari

kemudian dilakukan upacara nyalanan. Upacara nyalanan merupakan ritual

ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan. Upacara mrateka marana

dikatakan berbeda dibandingkan dengan upacara ngaben. Upacara ngaben yang

dilakukan untuk manusia Bali disebut ngaben, ngroras/memukur manusia,

atmanya (rohnya) ditempatkan pada pelinggih Dewa Hyang, sementara

mrateka marana, roh binatang tersebut dikembalikan ke laut; (3) mrateka

marana berdampak pada ekonomi, sosial dan psikologis. Sementara, makna

upacara mrateka marana hama tikus dikatakan terdiri atas makna teologi,

(43)

15

Jika dibandingkan antara disertasi yang ditulis oleh Renawati dan

disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini

tampak keduanya sama-sama mengkaji objek material sejenis. Sama-sama

mengkaji tradisi lisan yang hingga pada era global ini masih tetap lestari.

Namun, jika dicermati, tampak bahwa kedua penelitian memiliki perbedaan.

Perbedaan itu dapat dilihat pada materi, tujuan, objek formal, lokasi dan

tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut.

Renawati mengkaji ”Mrateka Marana Hama Tikus”, sementara

penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek”. Objek formal penelitian Renawati

tentang kearifan praktik petani dalam penanggulangan hama tikus, sementara

penelitian ini mengkaji hal-hal yang melatari mengapa, bagaimana, dan

implikasi pelaksanaan tradisi Makotek itu bagi masyarakat yang

bersangkutan pada era global ini.

Objek material kedua penelitian tersebut tampak sangat berbeda.

Renawati mengkaji ritual mrateka merana, sementara penelitian ini mengkaji

tradisi Makotek. Perbedaan itu juga tampak pada lokasi dan tahun pelaksanaan

penelitiannya. Renawati melaksanakan penelitian di desa Bedha, Tabanan

pada tahun 2012, sementara penelitian tradisi Makotek ini dilaksanakan di

Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.

Gunayaksa dalam disertasinya yang berjudul ”Cepung Sasak : Tradisi

Lisan di Lombok Nusa Tenggara Barat” (2010) mengatakan bahwa Cepung Sasak

(44)

16

penceritaan Cepung Sasak adalah untuk mengingatkan pentingnya

genealogisitas historis etnik Sasak dalam konteks kekinian, pendidikan,

hiburan, solidaritas antaretnis, pengendalian sosial, protes sosial, dan religius.

Di pihak lain makna Cepung Sasak meliputi kasih sayang, ritual, sosial

legitimatif dan kesadaran kolektif.

Jika diamati antara disertasi ”Cepung Sasak di Lombok Nusa Tenggara

Barat”, yang ditulis oleh Gunayaksa dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa

Munggu” ini memang sama-sama mengkaji tradisi lisan sebagai suatu potensi

kekuatan kultural dan kebanggaan masyarakat yang bersangkutan. Namun, jika

diamati dari objek material, tujuan, objek formal, lokasi, dan tahun

pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda.

Gunayaksa mengkaji tradisi lisan ”Cepung Sasak”, sedangkan penelitian

ini mengkaji tentang tradisi lisan ”Makotek”. Gunayaksa melaksanakan

penelitian di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010, sementara

penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.

2.2 Konsep

Konsep merupakan pengertian-pengertian dasar yang berlaku umum,

baik secara teoretis maupun praktis, terkait dengan objek material suatu

penelitian. Konsep menyangkut unit-unit analisis objek penelitian yang dikaji.

Konsep dalam penelitian perlu dideskripsikan, dijelaskan makna serta ruang

(45)

17

sumber dan jenis data dalam penelitian lebih mudah dilakukan. Untuk itu,

beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai

berikut.

2.2.1 Tradisi Makotek

Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual

tolak bala bagi masyarakat Desa Munggu, Badung. Tradisi ritual tolak bala

tersebut dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya

Kuningan. Tradisi Makotek merupakan manifestasi dari praktik budaya yang

telah melembaga pada masyarakat di Desa Munggu dalam kurun waktu yang

cukup lama. Tradisi tersebut diperkirakan telah berlangsung secara

berkelanjutan 2--3 generasi, kurang lebih seratus tahun. Lamanya tradisi tolak

bala tersebut melembaga di Desa Munggu tidak terlepas dari dukungan

masyarakatnya, berbagai komponen budaya Desa Munggu, seperti adat istiadat

yang terdapat pada sistem budaya kolektif masyarakat di desa tersebut.

Tradisi yang dimaknai sebagai ritual tolak bala tersebut melibatkan hampir

seluruh warga masyarakat di Desa Munggu. Sebagai sebuah praktik budaya,

Makotek identik dengan tradisi etnis warga masyarakat Hindu Bali yang

diteruskan secara tradisi lisan turun-temurun di Desa Munggu. Tradisi

Makotek bersifat sangat khas untuk memohon keselamatan. Semua warga

masyarakat laki-laki dewasa membawa kayu pulet berjalan beramai-ramai

(46)

18

mengadupadankan tongkat kayu pulet yang dibawanya, berputar-putar hingga

berbunyi ‘tek..tek...tek..’, membentuk semacam piramida diiringi sorak-sorai

masyarakat dan riuhnya gamelan balaganjur.

Sebagai sebuah bentuk puji syukur, pelaksanaan tradisi Makotek yang

diiringi nyanyi-nyanyian kidung menyiratkan arti simbol kemenangan dan

kebanggaan kolektif atas keberhasilan para leluhur warga Desa Munggu

dalam menangkal musibah dan wabah penyakit pada masa lampau.

2.2.2 Era Global

Era global merupakan zaman yaitu kehidupan manusia di berbagai

belahan dunia seolah tanpa batas karena adanya kemajuan, kecanggihan

teknologi yang mampu membuat setiap orang dengan mudah dapat mengakses

segala informasi, pengetahuan di berbagai belahan dunia. Pada era global

ideologi difusi gaya baru itu seolah menjadikan dunia ini satu dimensi. Selain

itu, berpengaruh kuat terhadap perubahan, pelestarian hingga pembentukan

masyarakat melalui proses identifikasi diri dan pembedaan status antarorang.

Abdullah ( 2009) dan Appadurai (2006) mengatakan bahwa era global

dicirikan dengan adanya keadikuasaan tatanan global. Artinya, etos

kapitalistik menjadi kekuatan paling berpengaruh dalam menentukan,

mengarahkan, sampai dengan mengubah status. Bahkan, nilai-nilai budaya

luar bisa saja menjadi basis sub-sub unit kebudayaan lokal melalui globalisasi

(47)

19

Tradisi Makotek merupakan salah satu jenis lokal jenius Bali yang

menarik untuk dikaji. Pelaksanaan tradisi Makotek melibatkan seluruh warga

masyarakat Desa Munggu masih tetap lestari hingga pada era global.

2.2.3 Masyarakat Desa Munggu

Masyarakat Desa Munggu merupakan kolektif sosial yang bertempat

tinggal di salah satu wilayah Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.

Kehidupan kolektif masyarakat tersebut tampak sangat religius. Hal itu dapat

diamati dari perilaku mereka dalam menyikapi kehidupannya sehari-hari.

Pada umumnya mereka selalu melaksanakan upacara persembahan,

baik secara personal maupun kolektif, ketika akan memulai atau mengakhiri

suatu kegiatan. Secara individual, mereka pada umumnya melakukan

persembahyangan di rumahnya masing-masing. Sementara secara kolektif, pada

umumnya mereka melakukan persembahyangan secara bersama-sama di balai

banjar, di pura khayangan tiga, dan sebagainya. Agar dapat melakukan kegiatan

ritus secara kolektif, mereka bahkan rela meninggalkan kegiatannya sejenak agar

dapat berkumpul, melakukan perembahyangan bersama. Padahal, mereka

memiliki profesi yang heterogen. Namun, dalam menjalankan kehidupannya

sehari-hari mereka tampak sangat kompak melakukan kegiatan-kegiatan upacara

secara kolektif.

Salah satu kegiatan ritus upacara berskala besar yang hingga kini

(48)

20

tolak bala. Tradisi tersebut telah diteruskan secara tradisi lisan, turun-temurun

oleh masyarakat di Desa Munggu. Tradisi budaya tersebut secara kolektif

dimaknai sebagai penyucian terhadap alam lingkungan tempat tinggal mereka

yang hingga kini masih tetap dilaksanakan secara rutin.

Tradisi Makotek sangat khas dan terwariskan sebagai sebuah tradisi

budaya Hindu Bali di Desa Munggu. Setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap

hari raya Kuningan warga desa Munggu melaksanakan tradisi tersebut.

Masyarakat Desa Munggu yang dominan sebagai petani sejak dahulu

melakukan tradisi Makotek untuk menjaga kesucian alam lingkungan tempat

tinggal mereka. Mereka yakin bahwa di sekitar mereka ada kekuatan gaib yang

dapat memengaruhi kehidupan manusia. Jika mereka rajin melaksanakan

kewajibannya, yaitu mempersembahkan sesaji sebagai salah satu bentuk

penghormatan ataupun puji syukur atas berkah yang telah dinikmati selama ini.

Untuk itu, secara kolektif masyarakat Desa Munggu tidak berani meninggalkan

tradisi Makotek hingga kini. Walaupun mereka telah memiliki kehidupan yang

heterogen. Bahkan, banyak dari mereka telah bertempat tinggal di luar wilayah

Desa Munggu.

Karakteristik budaya masyarakat Desa Munggu yang religius tersebut

secara simbolik direpresentasikan dalam bentuk lambang Desa Munggu, yang

ditandai dengan lingkaran padma ngelayang berhuruf Bali ‘ongkara’ dan di

bawahnya terdapat sebuah pita bertuliskan moto “Manggeh Jayeng Rat”.

(49)

21

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan instrumen logika untuk menjelaskan, memberikan

gambaran tentang objek yang dikaji melalui mekanisme prediksi dan

deskripsi. Konstruksi teori berupa narasi-narasi untuk membedakan,

menerangkan ciri-ciri umum sampai dengan mendefinisikan (Barker, 2005: 525).

Terkait dengan hal itu, dalam penelitian ini digunakan beberapa teori yang

relevan untuk menjelaskan permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu sebagai

berikut.

2.3.1 Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi secara umum dapat dipahami sebagai pembongkaran

teks tatanan sosial yang telah terkonstruksi (Barker, 2005:102). Pembongkaran

teks secara dekonstruktif didasari oleh asumsi-asumsi teks tersebut. Teori

dekonstruksi digunakan untuk membongkar, membahas, dan mengkaji

permasalahan tradisi Makotek yang hingga kini tetap dilaksanakan oleh warga

masyarakat Desa Munggu. Sehubungan dengan itu, mekanisme dekonstruksi

dapat diartikan sebagai cara pengurangan terhadap daya intensitas atau

konstruksi berdasarkan susunan baku bahkan universal. Terdapat tiga prinsip

dasar pemikiran dekonstruksi Derrida yaitu (1) berawal dari konstruksi oposisi

biner, Derrida berupaya menunda pembenaran pusat terhadap ordinat untuk

menyimak realita ordinat; (2) Derrida mengkritik dominasi struktur yang paling

(50)

22

membendung konsep metafisika dari logosentrisme Barat. Dari ketiga prinsip

dasar ini, Derrida berpendapat bahwa pusat-pusat kebenaran tidak boleh

terbungkam begitu saja atau terlalu bergantung pada subjek tertentu, tetapi

membiarkan terurai dalam pemaknaan tiada henti untuk dapat lebih memahami

realita sesungguhnya.

Dekonstruksi bermakna pembongkaran atas oposisi biner hierarkis yang

berkontribusi terhadap terciptanya kebenaran atas penafikan pasangan yang

lebih inferior dalam tiap-tiap oposisi dalam paham modernisme (Barker,

2005:102). Pembongkaran teks berdasarkan asumsi-asumsi teks tersebut

merupakan ciri khas dari dekonstruksi. Teori dekonstruksi dalam penelitian ini

digunakan untuk mengungkap permasalahan tradisi Makotek yang meliputi

pandangan masyarakat, pelaksanaan, dan implikasinya bagi masyarakat yang

bersangkutan pada era global.

2.3.2 Teori Praktik

Teori praktik merupakan kerangka pikir tentang hal-hal terkait dengan

praktik, yang kebenarannya telah teruji. Bourdieu dalam Harker (2009)

mengusulkan sebuah pemetaan hubungan kuasa dalam masyarakat dengan

mendasarkan pada logika posisi kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini lebih

berupa suatu lingkungan pembedaan modal dan komponen modal-modal

tersebut. Harker mengungkapkan bahwa modal secara konseptual merupakan

(51)

23

Bourdieu menggolongkan modal menjadi tiga jenis, yaitu modal

ekonomi, modal sosial, dan modal budaya sebagai basis keberadaan struktur

sosial. Sehubungan dengan itu, Makotek merupakan praktik ritual masyarakat

Desa Munggu yang telah mentradisi dan unsur kekhasannya menunjukan

nilai lebih dari modal budaya dalam kesatuan masyarakat tersebut.

Hingga kini, kearifan tradisi Makotek masih lestari di tengah

diferensiasi sosial ekonomi masyarakat Desa Munggu menunjukkan formulasi

pemetaan sumber daya khusus dalam transmisinya. Secara fungsional,

tindakan massa di tengah diferensiasi tersebut sulit untuk direalisasikan, apalagi

konsisten dalam dinamika masyarakat dengan mobilitas tinggi (Beaner dan

Veaner, 2008). Untuk itu teori praktik dipandang relevan digunakan untuk

mengkaji tradisi Makotek, yang tentunya tidak terlepas dari relasi potensi

atau modal dan orientasi budaya masyarakat Desa Munggu pada ranah

kehidupan, terutama pada ranah budaya desa tersebut yang menunjukkan

konfiguratifnya dalam praktik budaya religi setiap hari raya Kuningan.

2.3.3 Teori Simbol

Teori Simbol merupakan kerangka pikir tentang hal-hal yang terkait

dengan simbol, diungkapkan manusia melalui tanda yang telah disepakati

dengan makna tertentu. Manifestasi dan karakteristik simbol tidak terbatas pada

isyarat fisik, tetapi dapat berwujud penggunaan kata-kata yakni simbol suara

(52)

24

Artinya, pada makna tertentu, simbol sering memiliki makna mendalam,

paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat.

De Saussure (1996) menyatakan bahwa ada tiga komponen pokok

dalam simbol. Pertama, adanya tanda yang diwujudkan dalam bentuk

peristiwa, yang dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tradisi Makotek.

Kedua, adanya masyarakat di Desa Munggu sebagai penerima tanda/pesan

yang disampaikan oleh para pelaku. Ketiga, adanya media/perantara kedua

belah pihak yang dalam konteks ini adalah ritual upacara tolak bala yang

dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu. Prosesnya diawali dengan

mempersembahkan sesaji kepada para dewata sebagai penguasa alam,

kemudian ditutup dengan pelaksanaan tradisi Makotek. Masyarakat di Desa

Munggu, Badung menerima pesan, tanda dan makna yang disampaikan oleh

pelaksanaan tradisi Makotek sebagai sebuah simbol penyucian terhadap alam

lingkungan di Desa Munggu agar mereka terhindar dari malapetaka dan

memperoleh kedamaian dalam menjalankan kehidupannya.

Tradisi tersebut sangat bermakna bagi kedamaian hidup masyarakat di

Desa Munggu. Dengan demikian, hingga saat ini mereka tidak berani untuk

tidak melaksanakan upacara tolak bala yang diakhiri dengan rangkaian prosesi

Makotek mengelilingi wilayah di Desa Munggu. Selain menjaga kontinuitas

pelaksanaan tradisi Makotek, mereka juga tampak sangat kuat menjaga dan

menghormati simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi Makotek tersebut.

(53)

25

dianggap memiliki makna penting bagi kehidupannya, maka mereka pun

sangat menghargai dan menjaga baik kesakralan peralatan maupun

pelaksanaan tradisi tersebut. Hal itu dapat dilihat dari sikap mereka yang sangat

antusias dan bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan, melaksanakan

tradisi Makotek. Masyarakat Desa Munggu menganggap bahwa dengan

melaksanakan tradisi tolak bala yang disimbolkan sebagai proses penyucian

alam dapat menghindari kehidupannya dari mara bahaya (Cassirer,

1987:36--40).

Pelaksanaan tradisi Makotek oleh kaum laki-laki di desa tersebut

menimbulkan keyakinan bahwa para anak-anak dan kaum perempuan di desa

tersebut telah memperoleh perlindungan dari kaum laki-laki. Mereka

berkeyakinan bahwa kaum laki-laki harus mampu memberikan perlindungan,

baik kepada anggota masyarakat maupun keluarganya dari hal-hal yang tidak

diinginkan. Oleh sebab itu, sesulit apa pun kondisi kehidupan mereka, warga

masyarakat Desa Munggu selalu melaksanakan upacara ritual tolak bala yang

dilengkapi prosesi Makotek. Mereka meyakini bahwa tradisi Makotek dapat

membersihkan segala macam penyakit yang ada di lingkungan Desa Munggu.

Perilaku masyarakat di Desa Munggu sesuai dengan apa yang

diungkapkan oleh Tunner (1970) dan Brown (1979) bahwa ketika manusia tidak

mampu mengatasi permasalahan hidupnya dengan akal sehat, mereka cenderung

melakukan tindakan yang kurang rasional, antara lain melakukan upacara dan

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa “Skripsi” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

Kick off meeting dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mengkomunikasikan Gap dari HSE Plan yang telah disusun oleh Kontraktor pada saat

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, BPTP menyelenggarakan fungsi: (a) pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan teknologi pertanian tepat guna

Hal yang menyebabkan masalah ini, yaitu investor Indonesia mengabaikan aspek risiko dalam berinvestasi, kurang dalam literasi produk pasar modal, dan tidak mendasarkan

Terdapat serikat pekerja SP SEJATI yang aktif di PT Eksploitasi dan Industri Hutan I Juata dan telah dikukuhkan melalui SK DPC Unit Manajemen Industri Juata

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Aplikasi teknologi biofloc pada budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus, Burchell) mampu meningkatkan produksi

Ruh yang tidak cukup mendapat makanan dari kalimat dzikir Asma’ulhusna atau bacaan ayat qur’an, berada dalam keadaan lemah kurang gizi, didera berbagai penyakit qolbu.Ia

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan media pembelajaran dan upaya meningkatkan prestasi belajar siswa dengan menggunakan media pembelajaran