INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif dan dosis efektif pemberian jangka panjang ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis Linn. pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida.
Penelitian ini menggunakan 30 tikus jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 150-250 g, dan dibagi secara acak ke dalam enam kelompok, tiap kelompok lima ekor tikus. Kelompok I (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB intraperitoneal. Kelompok II (kontrol negatif) diberi olive oil 2 mL/kgBB intraperitoneal. Kelompok III (kontrol perlakuan) diberi ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis Linn. 1,5 g/kgBB per oral. Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan) diberi ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis Linn. dosis 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB per oral 6 hari, sekali sehari. Kemudian hari ke-7 diinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB intraperitoneal. Jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida dilakukan pemeriksaan aktivitas serum ALT dan AST pada semua kelompok perlakuan. Data aktivitas serum ALT dan AST dianalisis secara statistik menggunakan software RStudio.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol 70% herba
Sonchus arvensis Linn. memberikan efek hepatoprotektif dengan menurunkan aktivitas serum ALT dan AST. Hasil persen hepatoprotektif berturut-turut adalah 83,8; 57,1; dan 71,3 %. Berdasarkan data, dosis efektif pemberian ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis Linn. sebesar 0,375 g/kgBB.
ABSTRACT
The aim of study research were to determine the effect of hepatoprotective and effective dose long-term administration of 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb in male rats induced by carbon tetrachloride.
This study used 30 male Wistar rats, aged 2-3 months, body weight 150-250 g, and were randomly divided into six groups, each group of five mice. Group I (control hepatotoxins) were given carbon tetrachloride 2 mL/kgBW intraperitoneally. Group II (negative control) were given olive oil 2 mL/kgBW intraperitoneally. Group III (control treatment) were given a 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb 1.5 g/kgBW orally. Group IV-VI (treatment group) were given a 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb with dose 0.375; 0.75; 1.5 g/kgBW orally for six days, once a day. Then in seventh day carbon tetrachloride 2 mL/kgBW was induced intraperitoneally. Twenty-four hours after administration of carbon tetrachloride examination of ALT and AST serum activity in all treatment groups. Data activity of ALT and AST serum were statistically analyzed using RStudio software.
The results showed that 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb had hepatoprotective effect by reducing the activity of ALT and AST serum. Results percent hepatoprotective row is 83.8; 57.1; and 71.3%. Based on the data, the effective dose 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb were 0.375 g/kgBW.
EFEK HEPATOPROTEKTIF PEMBERIAN JANGKA PANJANG
EKSTRAK ETANOL 70% HERBA Sonchus arvensis Linn. TERHADAP AKTIVITAS ALT-AST SERUM PADA TIKUS PUTIH JANTAN
TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Fransisca Setyaningsih NIM : 118114097
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
EFEK HEPATOPROTEKTIF PEMBERIAN JANGKA PANJANG
EKSTRAK ETANOL 70% HERBA Sonchus arvensis Linn. TERHADAP AKTIVITAS ALT-AST SERUM PADA TIKUS PUTIH JANTAN
TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Fransisca Setyaningsih NIM : 118114097
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Security is mostly a superstition. It does not exist in nature. Life is either a daring adventure or nothing at all.”
– Helen Keller –
Kupersembahkan karya kecil ini untuk:
Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan penyertaan-Nya dalam hidupku
Bapak dan Mama atas kerja keras, bimbingan, dan kasih sayang yang menggelora
Kedua adik laki-lakiku tersayang
Bapak/Ibu dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Sahabat-sahabatku terkasih yang selalu ada dan setia
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan perlindungan-Nya sehingga skripsi berjudul “Efek Hepatoprotektif Pemberian Jangka Panjang Ekstrak Etanol 70% Herba Sonchus arvensis Linn. Terhadap Aktivitas ALT-AST Serum Pada Tikus Putih Jantan Terinduksi Karbon Tetraklorida” yang disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S.Farm.) dapat dikerjakan dengan baik, lancar, serta tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Kesempatan ini penulis pergunakan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mengijinkan penulis menjalankan pembelajaran selama masa studi.
2. Bapak Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberi bimbingan, serta motivasi kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran selama penyusunan skripsi.
viii
5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Kepala Penanggung Jawab Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijin dalam penggunaan fasilitas laborataorium untuk kepentingan penelitian ini.
6. Pak Kayat, Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Wagiran, Pak Parlan, dan selaku laboran laboratorium Fakultas Farmasi yang telah membantu penulis dalam proses pelaksanaan penelitian di laboratorium.
7. Sahabat-sahabat tercinta Metta Maurilla, Mery Tri Utami, Monica Oktavia, Gabriella Septiana Suryadi, Rio Irawan, Vincentius Henry Susanto, Levina Apriyani, MG. Niken Arum Dati, Ludwinia Cesa Varian, Vina Alvionita Soesilo, Prasetyo Handy Kurniawan, Apriyanto Gomes, Alexander Budi Kuncoro, Andung Panjalu Vidityo, Robby Satya Wangsa, Hongki Budi Prasetyo, Gigih Prayoga, Ni Putu Uly Villianova atas tawa, canda, bantuan, semangat, dukungan, dan kebersamaan selama ini.
8. Teman-teman seperjuangan Tempuyung Vania Stefi Yuliani, Agnes Eka Titik Yulikawanti, Brigita Yulise, Diana Fransisca Tirtawati, Irvan Septya Giantama Balrianan, dan Margareta Jeanne Retnopalupi atas segala kerjasama, bantuan, dan semangat yang selalu bergelora dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.
ix
10. Seluruh teman-teman Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi periode 2014/2015 atas kebersamaan, semangat, motivasi, dan pembelajaran selama ini.
11. Seluruh teman-teman UKM Seni Karawitan atas kebersamaan, semangat, motivasi, dan pembelajaran selama ini.
12. Teman-teman FSM C 2011, FKK B 2011, dan seluruh teman-teman angkatan 2011 atas bantuan, kerjasama, dan motivasi yang diberikan.
13. Seluruh teman-teman Antonio School of Music: Antonio, Danar, Deasy, Nia atas kebersamaan, semangat, pengertian, dan pembelajarannya selama ini. 14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan sehingga penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak yang membangun demi kemajuan di masa yang akan datang.
x
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
xiii
1. Penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida ... 34
2. Penentuan waktu pencuplikan darah ... 34
E. Efek Hepatoprotektif Pemberian Jangka Panjang Ekstrak Etanol 70% Herba Sonchus arvensis L. ... 40
1. Kontrol negatif olive oil 2 ml/kgBB ... 46
2. Kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 ml/kgBB ... 48
3. Kontrol ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. ... 49
4. Kelompok perlakuan ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. jangka panjang dosis 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB pada hewan uji terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 ml.kgBB ... 50
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Komposisi dan konsentrasi reagen ALT ... 24 Tabel II. Komposisi dan konsentrasi reagen AST ... 24 Tabel III. Purata aktivitas serum ALT tikus jantan galur Wistar setelah
pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam ... 35 Tabel IV. Hasil uji Wilcoxon aktivitas serum ALT tikus jantan galur
Wistar setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 ... 36 Tabel V. Purata aktivitas serum ALT tikus jantan galur Wistar setelah
pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam ... 37 Tabel VI. Hasil uji Tukey aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistar
setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam ... 38 Tabel VII. Purata ± SE aktivitas serum ALT dan AST tikus jantan galur
Wistar pada kelompok perlakuan ... 41 Tabel VIII. Hasil uji Wilcoxon aktivitas serum ALT tikus jantan galur
Wistar pada kelompok perlakuan ... 43 Tabel IX. Hasil uji ANOVA – Tukey aktivitas serum AST tikus jantan
xv
Tabel X. Purata aktivitas serum ALT dan AST tikus jantan galur Wistar setelah pemberian olive oil dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0 dan 24 jam ... 46 Tabel XI. Hasil uji T berpasangan aktivitas serum ALT dan AST
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi hati ... 7 Gambar 2. Mekanisme biotransformasi dan oksidasi dari karbon
tetraklorida ... 12 Gambar 3. Herba Sonchus arvensis L. ... 14 Gambar 4. Diagram batang purata aktivitas serum ALT tikus jantan galur
Wistar setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam ... 36 Gambar 5. Diagram batang purata aktivitas serum AST tikus jantan galur
Wistar setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam ... 38 Gambar 6. Diagram batang aktivitas serum ALT tikus jantan galur Wistar
pada kelompok perlakuan ... 42 Gambar 7. Diagram batang aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistar
pada kelompok perlakuan ... 44 Gambar 8. Diagram batang purata aktivitas serum ALT tikus jantan galur
Wistar setelah pemberian olive oil dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0 dan 24 jam ... 46 Gambar 9. Diagram batang purata aktivitas serum ALT tikus jantan galur
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto serbuk herba Sonchus arvensis L. ... 66
Lampiran 2. Foto ekstrak etanol 70% kental herba Sonchus arvensis L. ... 66
Lampiran 3. Foto larutan ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. ... 66
Lampiran 4. Surat pengesahan determinasi herba Sonchus arvensis L. ... 67
Lampiran 5. Surat hasil penetapan kadar air serbuk herba Sonchus arvensis L. ... 68
Lampiran 6. Surat pengesahan Medical and Health Research Ethics Committee (MHREC) ... 69
Lampiran 7. Analisis statistik serum ALT pada uji pendahuluan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 70
Lampiran 8. Analisis statistik serum AST pada uji pendahuluan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 72
Lampiran 9. Analisis statistik aktivitas serum ALT pada kelompok kontrol olive oil 2 mL/kgBB ... 74
Lampiran 10. Analisis statistik aktivitas serum AST pada kelompok kontrol olive oil 2 mL/kgBB ... 75
xviii
xix
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif dan dosis efektif pemberian jangka panjang ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis
Linn. pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida.
Penelitian ini menggunakan 30 tikus jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 150-250 g, dan dibagi secara acak ke dalam enam kelompok, tiap kelompok lima ekor tikus. Kelompok I (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB intraperitoneal. Kelompok II (kontrol negatif) diberi
olive oil 2 mL/kgBB intraperitoneal. Kelompok III (kontrol perlakuan) diberi ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis Linn. 1,5 g/kgBB per oral. Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan) diberi ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis
Linn. dosis 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB per oral 6 hari, sekali sehari. Kemudian hari ke-7 diinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB intraperitoneal. Jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida dilakukan pemeriksaan aktivitas serum ALT dan AST pada semua kelompok perlakuan. Data aktivitas serum ALT dan AST dianalisis secara statistik menggunakan software RStudio.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis Linn. memberikan efek hepatoprotektif dengan menurunkan aktivitas serum ALT dan AST. Hasil persen hepatoprotektif berturut-turut adalah 83,8; 57,1; dan 71,3 %. Berdasarkan data, dosis efektif pemberian ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis Linn. sebesar 0,375 g/kgBB.
xx
ABSTRACT
The aim of study research were to determine the effect of hepatoprotective and effective dose long-term administration of 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb in male rats induced by carbon tetrachloride.
This study used 30 male Wistar rats, aged 2-3 months, body weight 150-250 g, and were randomly divided into six groups, each group of five mice. Group I (control hepatotoxins) were given carbon tetrachloride 2 mL/kgBW intraperitoneally. Group II (negative control) were given olive oil 2 mL/kgBW intraperitoneally. Group III (control treatment) were given a 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb 1.5 g/kgBW orally. Group IV-VI (treatment group) were given a 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb with dose 0.375; 0.75; 1.5 g/kgBW orally for six days, once a day. Then in seventh day carbon tetrachloride 2 mL/kgBW was induced intraperitoneally. Twenty-four hours after administration of carbon tetrachloride examination of ALT and AST serum activity in all treatment groups. Data activity of ALT and AST serum were statistically analyzed using RStudio software.
The results showed that 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis
Linn. herb had hepatoprotective effect by reducing the activity of ALT and AST serum. Results percent hepatoprotective row is 83.8; 57.1; and 71.3%. Based on the data, the effective dose 70% ethanolic extract of Sonchus arvensis Linn. herb were 0.375 g/kgBW.
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Hati adalah kelenjar terbesar didalam tubuh yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup. Hati mempunyai banyak peranan penting dalam segala proses yang terjadi di tubuh manusia, yakni pada proses metabolisme, sekresi empedu, pembentukan ureum, serta menyaring kuman dan obat-obatan beracun. Senyawa-senyawa kimia serta obat-obatan tertentu dapat menjadi masalah kerusakan hati yang sangat serius dan tidak bisa diabaikan (Syaifuddin, 2006).
Prevalensi NAFLD diperkirakan sekitar 30% dan lebih tinggi dibandingkan sebagian besar Negara Asia lainnya (Sumantri, 2013).
Karbon tetraklorida merupakan senyawa yang sering digunakan sebagai model hepatotoksin. Karbon tetraklorida dipilih berdasarkan efek hepatotoksiknya yang dapat menyebabkan steatosis. Karbon tetraklorida jika termetabolisme oleh enzim CYP450 akan menghasilkan radikal bebas trikloro metil (●CCl3). Radikal bebas triklorometil dapat berikatan dengan makromolekul
seperti lipid dan protein atau bereaksi dengan oksigen membentuk triklorometil peroksi radikal. Triklorometil peroksi radikal ini dapat bereaksi dengan asam lemak tak jenuh yang dapat menginisiasi terjadinya peroksidasi lipid (Klasseen, 2001). Kemudian saat terjadi peningkatan radikal bebas karbon tetraklorida dapat mempengaruhi perubahan hati secara patologis (Cemek, Aymelek, Buyukokuroglu, Karaca, Buyukben, and Yilmaz, 2010). Kerusakan hati dapat ditandai dengan naiknya aktivitas ALT dan AST serum (Fleiser, 2009). Selain organ hati, pengaruh induksi karbon tetraklorida juga dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. Penelitian yang dilakukan oleh Hanifah (2008) menyatakan bahwa dengan dosis 0,2 mL dari karbon tetraklorida sudah dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh efek hepatoprotektif ekstrak etanol 70% herba
bahwa ketiga herba memiliki efek hepatoprotektif. Pada umumnya penelitian yang dilakukan dengan bahan tanaman Sonchus arvensis L. digunakan hanya bagian daun saja, di mana sesuai dengan literatur yang ditulis oleh Prof. Dr. C.J. Soegihardjo (2013) bahwa pemanenan daun yang baik adalah pada saat daun tumbuh menjelang berbunga atau sedang berbunga namun belum berbuah. Berdasarkan literatur tersebut, maka pada penelitian ini digunakan herba, yakni bagian tanaman yang berada di atas tanah berupa batang, daun, bunga, dan buah untuk menghindari tersebarnya senyawa flavonoid pada bagian lain tanaman mengantisipasi peneliti kurang selektif dalam penggunaan daun sebagai bahan penelitian.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
a. Apakah pemberian jangka panjang ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis
L. dapat memberikan efek hepatoprotektif terhadap penurunan aktivitas ALT dan AST pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida? b. Berapa dosis paling efektif ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L.
untuk memberikan efek hepatoprotektif terhadap penurunan aktivitas ALT dan AST pada tikus jantan yang terinduksi karbon tetraklorida?
2. Keaslian penelitian
arvensis L., dan dilaporkan bahwa Sonchus arvensis L. memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi pada fraksi methanol. Penelitian lain melaporkan bahwa ekstrak Sonchus arvensis memiliki efek hepatoprotektif dengan menurunkan enzim spesifik penanda hati dengan mekanisme aksi meningkatkan sintesis
glutathione (GSH) dengan pemberian jangka panjang empat minggu (Alkreathy,
et al., 2014). Oleh karena itu, penelitian tentang efek hepatoprotektif ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. pada tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida secara jangka panjang enam hari belum pernah dilakukan sebelumnya.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi mengenai efek hepatoprotektif dari herba Sonchus arvensis L..
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida dengan cara melihat penurunan aktivitas AST dan ALT serum.
2. Tujuan khusus
7
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Hati
1. Anatomi dan fisiologi hati
Hati merupakan organ internal terbesar di dalam tubuh, berat hati orang dewasa normal adalah 1400 sampai 1600 g, sekitar 2,5% berat tubuh. Hati merupakan organ yang memiliki peran penting dalam proses metabolisme seperti misalnya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hati juga merupakan tempat dimana metabolisme xenobiotik terjadi. Ini berarti bahwa hati berada dalam resiko terkena racun yang berasal dari metabolit-metabolit obat yang dikonsumsi (Stine dan Brown, 2006).
Gambar 1. Anatomi hati (Watson, 2014)
hati, ligament falsiform melintasi diafragma sampai ke dinding abdomen anterior. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis (Pearce, 2009).
Setiap lobus dari hati dibagi dalam struktur-struktur yang disebut lobus. Lobulus ini adalah mikroskopik yang merupakan unit fungsonal dari hati yang bersegi enam atau heksagonal. Di dalam lobulus terdapat sel-sel hati (hepatosit) yang tersusun seperti lapisan-lapisan plat dan berbentuk sinar dan mengelilingi hepatikum. Pada setiap segi dari lobules terdapat cabang-cabang
vena porta, arteria hepatica, dan kanalikuli empedu (Baradero, Dayrit, dan Siswandi, 2008).
Hati merupakan salah satu organ terbesar dalam tubuh yang memiliki peranan dan fungsi yang kompleks dalam tubuh manusia. Hati bertanggung jawab dalam proses biokimiawi yang terjadi dalam tubuh, antara lain seperti memproduksi glukosa, protein, dan lemak, serta menyimpan dan memecahnya, mendetoksifikasi beberapa senyawa endogen dan eksogen, mensekresi zat-zat yang tidak berguna dalam tubuh, mengedarkan obat dalam darah ke jaringan, peredaran bilirubin, dan cairan empedu (Cahyono, 2009).
2. Kerusakan hati
Bahan kimia yang dapat menyebabkan kerusakan hati disebut sebagai hepatotoksin (Singh, Bhat, and Sharma, 2011). Peningkatan kadar enzim Alanin Aminotransferas (ALT) dan Aspartat Transaminase (AST) menjadi penanda adanya kerusakan hati (Fajariyah, Utami, dan Arisandi, 2010).
a. Steatosis (perlemakan hati). Manifestasi histologi dari steatosis adalah akumulasi trigliserida pada sitoplasma dari hepatosit (sel hati) (Chan, Quaglia, Haugk, and Burt, 2014). Terdapat dua tipe dari steatosis hati, yakni mikrovesikular dan makrovesikular. Pada steatosis mikrovesikular, droplet lemak kecil atau vakuola mengisi hepatosit tanpa merubah tempat nukleus, sedangkan makrovaskular steatosis terdapat satu atau lebih droplet lemak besar yang mengisi sel hati tanpa memperluas sel hati dan menekan nukleus terhadap dinding sel (Siegel, 2008).
b. Nekrosis. Keadaan dimana terjadi kematian miosit pada hati dapat disebut pula sebagai nekrosis. Pada nekrosis, sel membengkak dan pecah, sehingga menginduksi proses inflamasi yang diikuti dengan terjadinya fibrosis (Borer and Isom, 2004). Karbon tetraklorida adalah salah satu senyawa yang dapat menyebabkan nekrosis hepatoselular (Boyer, Manns, and Sanyal, 2012). Enzim penanda yang paling berguna untuk kerusakan hati berupa nekrosis hepatoselu adalah enzim ALT dan AST (McClatchey, 2002).
c. Kolestasis. Kolestasis terjadi karena peningkatan peroksidasi lipid di hati, ginjal, dan otak (Sherlock, and Dooley, 2008). Kolestasis adalah kuningnya kulit dan mata, serta kulit dan urin menjadi berwarna gelap, kemudian tinja menjadi berwarna terang dan berbau busuk yang disebabkan karena penyumbatan aliran empedu (Porter, 2009).
kolestasis, hepatitis virus, dan hepatotoksin. Faktor penyebab utama dari sirosis adalah alcohol dan malnutrisi (Baradero, et al., 2008).
3. Hepatotoksin
Senyawa atau obat-obat yang dapat menyebabkan kerusakan hati diklasifikasikan menjadi 2, di antaranya.
a. Hepatotoksin intrinsik/teramalkan (Tipe A). Senyawa yang memiliki efek hepatotoksik hampir pada seluruh populasi yang terpejankan senyawa tersebut. Senyawa ini bergantung pada dosis pemberian. Contohnya: asetaminofen, karbon tetraklorida, dan alkohol (Friedman dan Keeffe, 2012). b. Hepatotoksin idiosinkratik/tidak teramalkan (Tipe B). Senyawa yang memiliki
efek hepatotoksik pada sebagian kecil populasi yang terpejankan senyawa tersebut. Beberapa bergantung pada dosis pemberian, dan frekuensi kejadiannya sangat jarang. Contoh-contoh zat termasuk isoniazid, sulfonamid, valproate, dan fenitoin (Friedman dan Keeffe, 2012).
B. Alanin Aminotransferase (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST)
Enzim aminotransferase adalah indikator yang paling sering digunakan untuk melihat adanya kerusakan hati. Alanin aminotransferase (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST) mengkatalis perpindahan alanin dan aspartat dari gugus keton pada asam ketoglutarat membentuk piruvat dan oksaloasetat. Alanin Aminotransferase terdapat spesifik pada sel hati, sedangkan
rangka, ginjal dan hati. AST berada pada sitosol sel hati dan juga mitokondria sedangkan ALT hanya berada pada sitosol (Thapa dan Walia, 2007).
Kenaikan ALT dan AST yang mencapai 1-3 kali lipat batas normal dapat terjadi karena sepsis neonatal hepatitis, artesia ekstrahepatik bilier, perlemakan hati, sirosis, Non-Alcoholic Steatohepatitis (NASH), keracunan obat, dan gangguan otot. Kenaikan mencapai 3-20 kali biasanya disebabkan karena hepatitis akut, hepatitis kronis, hepatitis autoimun, obstruksi empedu akut serta konsumsi alkohol berlebih. Kenaikan lebih dari 20 kali lipat terjadi karena hepatitis kronis, dan nekrosis kronis pada sel hati yang disebabkan oleh obat atau toksin (Thapa and Walia, 2007).
C. Karbon Tetraklorida
oksigen, yang mana ketika lebih banyak oksigen tersedia maka destruksi menjadi lebih besar (Timbrell, 2008).
Toksisitas yang ditimbulkan senyawa karbon tetraklorida ini bersifat toksik sebagai akibat adanya reaksi reduksi dehalogenasi membentuk radikal anion (bebas) yang menghilangkan klorin kemudian terbentuknya radikal triklormetil (•CCl3) dan klorida (Halliwell dan Gutteridge, 1984). Radikal bebas
yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen kemudian membentuk radikal triklorometil peroksi (•OOCCl3) (Gambar 2) yang lebih reaktif (Rechnagel Glende, Dolak, dan Waller, 1989).
Gambar 2. Mekanisme biotransformasi dan oksidasi dari karbon tetraklorida (Timbrell, 2008)
Radikal bebas juga akan menyebabkan peroksidasi lipid yaitu senyawa menginisiasi terjadinya radikal lipid sehingga menyebabkan terbentuknya lipid hidroperoksidase (LOOH) dan radikal lipid alkoksil (LO•). Radikal lipid alkoksi
Klaaseen, 2001). Senyawa aldehid inilah merupakan faktor penyebab kerusakan pada membran plasma dan meningkatkan permeabilitas membran (Bruckner dan Warren, 2001). Salah satu bentuk kerusakan hati adalah perlemakan hati (steatosis). Pada perlemakan hati terjadi akumulasi trigliserida serta jenis lemak lain di sel hati (Pangkalan Ide, 2007). Perlemakan hati dapat disebabkan karena alkohol, dan beberapa penyebab lain selain alkohol (Non Alcoholic Fatty Liver Disease), seperti umur, hiperlipidemia, diabetes melitus, dan kegemukan (Machmud, 2000). Umumnya perlemakkan hati tidak menimbulkan gejala (Pangkalan Ide, 2007). Kerusakan hati yang disebabkan oleh karbon tetraklorida ditandai dengan peningkatan sebesar tiga kali pada aktivitas serum ALT normal, dan empat kali pada aktivitas serum AST normal (Ziemmerman, 1999).
D. Antioksidan
E. Herba Sonchus arvensis L.
Gambar 3. Herba Sonchus arvensis L.
1. Nama daerah
Jombang, galling, rayana (Sunda); dan tempuyung (Jawa) (Utami, 2008).
2. Nama asing
Niu she tou, akkermelkdistel, laitron des champs, com sow thistle,
ackersaudistel (Wijayakesuma, Kusuma, dan Dalimartha, 1995).
3. Taksonomi
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae Bangsa : Asterales Keluarga : Asteraceae
Marga : Sonchus
Jenis : Sonchus arvensis Linn.
4. Morfologi
Tanaman tempuyung (Gambar 3) adalah tanaman liar yang dapat digunakan sebagai obat untuk bermacam-macam penyakit. Batang tanaman tempuyung memiliki tinggi yang berkisar antara 65 - 150 cm, berlubang dan bergetah hijau. Selain itu, batangnya berbulu dan lunak (Sunanto, 2009). Daun tempuyung merupakan daun tunggal berbentuk lonjong dan mempunyai unjung runcing serta berwarna hijau keunguan, permukaannya licin dan tepinya berombak juga bergigi tak beraturan. Panjang daunnya kira-kira 6–48 cm dan mempunyai lebar sekitar 3–12 cm, berada di dekat pangkal batang, bentuk daun yang bergigi terpusat membentuk roset dan yang terletak di bagian atas berselang-seling memeluk batang. Bunga tempuyung berbentuk malai, kelopaknya seperti lonceng, dan mahkotanya berbentuk dari kumpulan jarum berwarna putih atau kuning. Adapun buahnya berbentuk kotak juga berusuk lima dan mempunyai rambut berwarna hitam yang kemudian berubah menjadi biji berukuran kecil dan ringan berupa serbuk (Winarto, 2004).
5. Kandungan kimiawi
Tanaman tempuyung memiliki kandungan fenolik dan flavonoid yang tinggi. Selain itu juga memiliki kandungan taraksasasterol, apigenin
7-glucoronide dan luteolin 7-glucosida. Sebagai tambahan, ada pula alkaloid,
coumarin, dan saponin (Xia, Yu, Zhu, and Zhou, 2011).
– C6 (cincin benzene tersubstitusi) disambung oleh rantai alifatik 3 karbon,
senyawa ini merupakan senyawa flavonoid yang dapat larut dalam air, dan dapat diekstraksi dengan baik meggunakan etanol 70% (Harborne, 1987).
6. Khasiat dan kegunaan
Umumnya tanaman tempuyung memiliki banyak khasiat dan kegunaan, dinataranya sebagai obat batu empedu, disentri, wasir, rematik gout, radang usus buntu (apendisitis), radang payudara (mastitis), bisul, beser mani (spermatorea), darah tinggi (hipertensi), luka bakar, pendengaran kurang (tuli), dan memar (Utami, 2008).
F. Metode Pengujian
Beberapa uji penting yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi terjadinya kerusakan hati, dikategorikan menjadi tes enzim serum, tes ekskretori hepatik, perubahan kandungan kimia hati, dan analisis histologik kerusakan hati (Plaa dan Charbonneau, 2001).
a. Tes enzim serum. Untuk mengidentifikasi kerusakan hati, dapat digunakan empat kategori enzim serum didasarkan spesifikasi dan sensitivitas berbagai tipe kerusakan hati. Kategori pertama adalah alkalinfosfatase, 5’-nukleotidase (5’NT), dan gamma glutamil transpeptidase (Ɣ-GT). Kenaikan aktivitas
enzim-enzim serum tersebut menunjukkan kerusakan kolestatik. Enzim yang tidak spesifik dan dapat menunjukkan kerusakan jaringan ekstrahepatik misalnya Aspartat Aminotransferase (AST) dan Laktat Dehidrogenase (LDH) (Plaa and Charbonneau, 2001). Penentuan ALT dan AST adalah cara paling umum untuk mendeteksi kerusakan hati, enzim mengalami peningkatan beberapa kali lipat dalam 24 jam pertama setelah kerusakan (Timbrell, 2008). b. Tes ekskretori hepatik. Zat kimia yang memasuki sirkulasi sistemik dapat
farmakologis obat dapat digunakan untuk mendeteksi dan menentukan disfungsi hati (Plaa and Charbonneau, 2001).
d. Analisis histologik kerusakan hati. Analisis potensi hepatotoksik zat kimia tidak lengkap tanpa deskripsi histologi kerusakan yang dihasilkan. Ciri-ciri kerusakan hati ditentukan dengan pengamatan mikroskopik (Plaa and Charbonneau, 2001).
G. Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan senyawa aktif yang dapat larut dengan pelarut yang sesuai sehingga terpisah dari senyawa yang tidak dapat larut (Badan Pegawasan Obat dan Makanan, 2000).
Umumnya ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian tumbuhan seperti bunga, buah, kulit, batang, dan akar menggunakan metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, salah satunya dengan metode maserasi, yakni dengan menambahkan pelarut yang sesuai dan dengan pengadukan atau penggojokan beberapa kali pada suhu ruangan. Proses maserasi bisa dilanjutkan dengan proses remaserasi, yakni pengulangan penambahan pelarut yang sesuai setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dilakukan (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2000).
ekstrak, yaitu air, etanol, eter, atau campuran etanol dan air (Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI, 2010).
H. Landasan Teori
Hati merupakan organ penting dalam tubuh manusia yang berperan dalam proses metabolisme serta detoksifikasi. Kerusakan hati dapat berwujud nekrosis atau sirosis. Adanya kerusakan hati dapat diketahui dengan mengukur aktivitas enzim yang dikeluarkan sel hati menuju ke darah. Enzim yang dapat digunakan sebagai parameter kerusakan hati adalah alanin aminotransferase
(ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan alkalin fosfatase (ALP). Enzim ALT dan AST menjadi penanda adanya kerusakan hepatosit (Hodgson, 2010).
Karbon tetraklorida merupakan senyawa yang sering digunakan sebagai model hepatotoksin. Karbon tetraklorida dipilih berdasasrkan efek hepatotoksiknya yang dapat menyebabkan steatosis. Senyawa ini akan dimetabolisme oleh CYP450 menjadi radikal bebas trikloro metil (●CCl3). Radikal bebas triklorometil dapat berikatan dengan makromolekul seperti lipid dan protein atau bereaksi dengan oksigen membentuk triklorometil peroksi radikal. Triklorometil peroksi radikal ini dapat bereaksi dengan asam lemak tak jenuh yang dapat menginisiasi terjadinya peroksidasi lipid (Klasseen, 2001).
al. (2014) secara jangka panjang empat minggu menunjukkan bahwa pemberian
Sonchus arvensis L. dapat menghasilkan efek hepatoprotektif dengan mekanisme salah satunya adalah dengan meningkatkan sintesis GSH. Kemudian pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Singh, et al. (2010) diketahui pada tiga jenis herba yang diduga memiliki aktivitas senyawa antioksidan dapat menimbulkan efek hepatoprotektif dengan pemberian jangka panjang enam hari. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak etanol 70% jangka panjang selama enam hari herba Sonchus arvensis L. dapat memberikan efek hepatoprotektor dengan melihat penurunan nilai aktivitas serum ALT dan AST serum pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida dan juga akan ditentukan dosis efektif ekstrak etanol 70% herba
Sonchus arvensis L. dalam memberikan efek hepatoprotektif.
I. Hipotesis
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan menggunkaan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Toksikologi, dan Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
B.Variabel dan Definisi Operasional
Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah.
1. Variabel utama
a. Variabel bebas.Variasi dosis pemberian jangka panjang ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. pada tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.
b. Variabel tergantung. Nilai aktivitas serum ALT dan AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida setelah pemberian jangka panjang ekstrak 70% herba Sonchus arvensis L..
2. Variabel pengacau
arvensis L. satu kali sehari selama enam hari berturut-turut (Singh, 2010) dengan waktu pemberian sama, dan bahan uji berupa herba Sonchus arvensis
L. yang diperoleh dari Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Variabel pengacau tak terkendali. Kondisi patologis dan fisiologis dari tikus putih jantan galur Wistar yang digunakan sebagai hewan uji.
3. Definisi operasional
a. Ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L.. Didefinisikan sebagai ekstrak kental dari serbuk kering herba Sonchus arvensis yang dilarutkan dalam pelarut etanol 70% dan dimaserasi selama 5 hari dengan sesekali penggojogan dan remaserasi selama 2 hari. Kemudian disaring dengan corong Buchner
yang dilapisi dengan kertas saring yang sudah dibasahi dengan etanol 70%, dievaporasi dan diuapkan di atas waterbath pada suhu 80oC hingga mencapai bobot pengeringan tetap dengan susut pengeringan sebesar 0% atau hingga bobot konstan.
b. Efek hepatoprotektif. Didefinisikan sebagai kemampuan ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. dosis tertentu dalam melindungi hati (penurunan aktivitas serum ALT-AST) pad tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.
d. Dosis efektif. Dosis terkecil di mana sediaan ekstrak etanol 70% herba
Sonchus arvensis L. mampu memberikan efek penurunan aktivitas serum ALT paling besar terhadap kerusakan akibat perlakuan karbon tetraklorida.
C.Bahan Penelitian
1. Bahan utama
a. Hewan uji. Digunakan tikus putih jantan galur Wistar dengan berat badan 150-250 g dan berumur 2-3 bulan yang diperoleh dari Laboratorium Imunologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
b. Bahan uji. Digunakan bahan uji herba Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta periode Juli-Agustus 2014.
2. Bahan kimia
a. Senyawa hepatotoksin. Digunakan karbon tetraklorida sebagai senyawa hepatotoksin yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
b. Pelarut. Digunakan etanol 70% untuk ekstraksi herba Sonchus arvensi L. yang diperoleh dari toko bahan kimia Progo Mulyo Yogyakarta.
c. Kontrol negatif dan pelarut karbon tetraklorida. Digunakan olive oil yang diperoleh dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta sebagai kontrol negatif dan pelarut karbon tetraklorida.
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sebagai pelarut ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L..
e. Reagen serum ALT. Digunakan reagen DiaSys. Komposisi dan konsentrasi dari reagen ALT adalah sebagai berikut.
Tabel I. Komposisi dan konsentrasi reagen ALT
Komposisi pH Konsentrasi
f. Reagen serum AST. Digunakan reagen DiaSys. Komposisi dan konsentrasi dari reagen AST adalah sebagai berikut.
Tabel II. Komposisi dan konsentrasi reagen AST
Komposisi pH Konsentrasi
R1: TRIS 7,65 110 mmol/L
L-alanine 320 mmol/L
MDH (Malate dehydrogenase) ≥ 800 U/L LDH (Lactate dehydrogenase) ≥ 1200 U/L
R2: 2-oxogultarate 65 mmol/L
1. Alat pembuatan serbuk kering dan ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L.
analitik (Mettler Toledo®), orbital shaker (Optima®), rotary vacuum evaporator
(IKAVAC®), oven (Memmert®).
2. Alat uji hepatoprotektif
Seperangkat alat gelas berupa Bekker glass, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, pipet tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass®), timbangan analitik (Mettle Toledo®), spuit injeksi, syringe 3 cc (Terumo®), jarum tuberculin.
E.Tata Cara Penelitian
1. Determinasi herba Sonchus arvensis L.
Determinasi dilakukan untuk memastikan validitas tanaman yang digunakan. Determinasi dilakukan dengan mencocokkan ciri-ciri herba Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari daerah Kaliurang Yogyakarta dengan tanaman
Sonchus arvensis L. yang telah dideterminasi menggunakan buku acuan determinasi. Determinasi dilakukan oleh petugas dari Bagian Biologi Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
2. Pengumpulan bahan uji
Bahan uji yang digunakan adalah herba Sonchus arvensis L. yang masih segar dan berwarna hijau, yang diperoleh dari daerah Kaliurang Yogyakarta periode Juli-Agustus 2014.
3. Pembuatan serbuk herba Sonchus arvensis L.
potong-potong menggunakan pisau hingga berukuran 5 - 10 cm. Tanaman yang telah dipotong-potong dikeringkan pada oven untuk menguapkan air yang masih tersisa pada suhu ± 50oC selama 4 – 5 hari. Setelah kering, tanaman digiling hingga hancur, dan kemudian disaring menggunakan saringan gilingan nomor 0,75 mm, lalu diayak kembali menggunakan ayakan nomor 50 sebagai syarat serbuk yang baik yang dapat digunakan untuk bahan ekstrak.
4. Penetapan kadar air serbuk herba Sonchus arvensis L.
Serbuk herba Sonchus arvensis L. yang telah diayak sebanyak ± 5 g digunakan sebagai bahan untuk pengecekkan kadar air menggunakan alat
moisture balance. Pengujian kadar air dilakukan oleh petugas bagian Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dengan langkah pengujian pertama, yakni timbang kurs kosong (bobot A), kemudian timbang serbuk kering, dan masukkan dalam kurs porselen (bobot B). Setelah itu, panaskan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 jam hingga berat konstan. Lalu masukan ke dalam esikator, dan timbang serbuk kering herba Sonchus arvensis L. yang sudah dipanaskan sebagai bobot setelah pemanasan (bobot C). Kemudian dilakukan perhitungan kadar air dengan rumus sebagai berikut:
Kadar air =
5. Pembuatan ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L.
kemudian ditutup dan didiamkan selama 5 hari pada suhu kamar, dan sesekali diaduk setiap hari pada jam yang sama, kemudian ekstrak yang telah tercampur pelarut disaring dengan bantuan corong Buchner dan pompa vakum sehingga diperoleh filtrat. Serbuk sisa perendaman pertama dimaserasi kembali (remaserasi) dengan 250 mL pelarut etanol 70% selama 2 hari, kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2010). Selanjutnya, filtrat dievaporasi untuk menguapkan pelarut menggunakan rotary evaporator pada suhu 70oC hingga selurh pelarut menguap (ditandai dengan berhentinya teteasan pada rotary evaporator), kemudian ekstrak dikeluarkan dari labu evaporator dan dipindahkan ke dalam cawan porselen yang telah ditimbang sebelumnya. Setelah itu, dipekatkan menggunakan waterbath dengan suhu 80oC dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap ekstrak (perbedaan dua kali penimbangan berturut-turut setelah dikeringkan selama 1 jam tidak lebih dari 0,25%). Tahap terakhir dapat dilakukan perhitungan rata-rata rendemen dari replikasi ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. kental yang telah dibuat dengan rumus sebagai berikut:
Rendemen ekstrak = berat cawan ekstrak kental – berat cawan kosong
Rata-rata rendemen =
6. Penetapan konsentrasi pekat ekstrak
Adrianto, Hendra, 2011). Sebanyak 7,5 g ekstrak dalam labu ukur 50 mL dengan campuran pensuspensi yang sesuai yaitu CMC-Na 1%, sehingga konsentrasi pekat ekstrak yang diperoleh antara lain 15% b/v atau 0,15 g/mL atau 150 mg/mL.
7. Penetapan dosis ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L.
Penetapan peringkat dosis ekstrak etanol 70% herba dihitung berdasarkan berat badan tertinggi hewan uji tikus, ½ volume maksimal secara per oral pada tikus, dan konsentrasi maksimal ekstrak 70% herba yang dapat dibuat. Penetapan dosis tertinggi ekstrak 70% adalah sebagai berikut.
D x BB = C x V
D x BB tertinggi (kgBB) = C ekstrak etanol 70%(g/mL) x ½ Vmaks (mL) D x 250 kgBB = 0,15 g/mL x 2,5 mL
D = 1,5 g/kgBB
Dosis tertinggi 1,5 g/kgBB digunakan sebagai dosis III. Peringkat dosis lainnya dihitung dengan menggunakan faktor pembagi dua, sehingga didapatkan dosis II sebesar 0,75 g/kgBB dan dosis I sebesar 0,375 g/kgBB.
8. Pembuatan CMC-Na 1%
Ditimbang sebanyak 1 g CMC-Na, kemudian dilarutkan dalam aquadest sebanyak 50 mL pada labu ukur, didiamkan selama 24 jam hingga CMC-Na mengembang, kemudian diadd menggunakan aquadest hingga 100 mL.
9. Pembuatan larutan karbon tetraklorida dalam olive oil
10. Uji pendahuluan
a. Penetapan dosis hepatotoksin (karbon tetraklorida). Berdasarkan penelitian Al-Olayan, El-Khadragy, Aref, Othman, Kassab, and Moneim (2014) ditetapkan dosis hepatotoksin (karbon tetraklorida) sebesar 2 mL/kgBB yang terbukti mampu meningkatkan aktivitas serum ALT dan AST pada tikus putih jantan galur Wistar tanpa menyebabkan kematian. Hal ini juga didukung oleh penelitian Wijayanti (2013) yang menyatakan bahwa dosis karbon tetraklorida sebanyak 2 mL/kgBB mampu meningkatkan minimal tiga kali dari aktivitas serum ALT dan AST awal.
b. Penetapan waktu pencuplikan darah. Penetapan waktu pencuplikan darah ditentukan melalui orientasi dengan tiga kelompok perlakuan waktu, yaitu pada jam ke 0, 24, dan 48 setelah pemejanan karbon tetraklorida. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 hewan uji yang pengambilan darahnya dilakukan melalui pembuluh sinus orbitalis mata. Kemudian nilai aktivitas serum ALT dan AST diukur.
11. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji
Total 30 ekor tikus putih jantan galur Wistar dibagi secara acak ke dalam enam kelompok perlakuan, dengan lima ekor tikus pada masing-masing kelompok. Berikut pengelompokkan dan perlakuan hewan uji yang digunakan. a. Kelompok I (kontrol hepatotoksin). Karbon tetraklorida dalam pelarut olive oil
b. Kelompok II (kontrol negatif). Olive oil dengan dosis 2 mL/kgBB diberikan secara intraperitoneal. Pada jam ke-24 setelah pemberian olive oil, dilakukan pengambilan darah pada sinus orbitalis mata untuk diukur aktivitas serum ALT dan AST.
c. Kelompok III (kontrol ekstrak etanol 70%). Ekstrak etanol 70% herba
Sonchus arvensis L. dengan dosis tertinggi 1,5 g/kg BB selama enam hari berturut-turut secara per oral. Pada jam ke-24 setelah pemberian ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L., dilakuakan pengambilan darah pada sinus orbitalis mata untuk diukur aktivitas serum ALT dan AST.
d. Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan dosis). Ekstrak etanol 70% herba
Sonchus arvensis L. dengan variasi dosis 0,375; 0,75 dan 1,5 g/kg BB selama enam hari berturut-turut secara per oral. Pada jam ke-24 setelah pemberian ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L., dilakukan pengambilan darah pada sinus orbitalis mata untuk diukur aktivitas serum ALT dan AST.
F. Tata Cara Analisis Hasil
antarkelompok, berbeda bermakna (p ≤ 0,05) atau berbeda tidak bermakna (p>0,05). Jika data terdistribusi normal namun tidak homogen, maka dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis untuk mengetahui perbedaan kelompok, yang kemudian dilakukan uji Wilcoxon untuk melihat adanya perbedaan yang bermakna (p ≤ 0,05) atau perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05) antar
kelompok. Pada satu kelompok yang memiliki dua data berhubungan, kebermaknaan dilakukan uji T berpasangan dengan taraf kepercayaan 95%.
Perhitungan efek hepatoprotektif terhadap hepatotoksin karbon tetraklorida berdasarkan aktivitas serum ALT dan AST diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
[ ]
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian dan seberapa besar dosis efektif hepatoprotektif dari ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensi L. pada tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida, yakni yang ditunjukkan dengan adanya penurunan aktivitas serum ALT-AST setelah pemberian ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. pada tikus putih jantan galur Wistar.
A.Hasil Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman dilakukan dengan tujuan untuk menjamin kebenaran herba Sonchus arvensis L. yang digunakan dalam penelitian mengenai efek hepatoprotektif ekstrak 70% herba Sonchus arvensis L.. Determinasi dilakukan oleh petugas dari Bagian Biologi Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan cara mencocokkan kesamaan herba
B.Hasil Kadar Air Serbuk Herba Sonchus arvensis L.
Penetapan kadar air dilakukan untuk melihat seberapa banyak air yang terkandung pada serbuk herba Sonchus arvensis L., sebagai salah satu syarat penting standarisasi serbuk yang baik, yakni memiliki kandungan air kurang dari 10% b/b (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2000). Pengujian kadar air dilakukan oleh petugas bagian Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Metode gravimetri dipilih sebagai metode yang digunakan dalam penetapan kadar air dengan menggunakan alat moisture balance, dan kemudian diperoleh hasil kandungan air dari serbuk herba Sonchus arvensis L. sebesar 6,86% b/b. Hal ini menunjukkan bahwa serbuk herba Sonchus arvensis L. telah memenuhi syarat sebagai serbuk yang baik dengan kadar air kurang dari 10% b/b.
C.Standarisasi Ekstrak Etanol 70% Herba Sonchus arvensis L.
Ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. dibuat dengan menggunakan metode maserasi yang memiliki proses yang sederhana dan sesuai digunakan dalam menyari zat aktif simplisia dengan pelarut yang sesuai, yakni etanol 70%.
setelah dilakukan pemekatan menggunakan waterbath dengan suhu 80oC. Proses pencarian bobot tetap ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. menunjukkan bahwa sebanyak 500 g serbuk kering herba Sonchus arvensis L. menghasilkan 10 cawan ekstrak kental, dengan rata-rata rendemen dari masing-masing cawan adalah 6,04 g, dan total seluruh ekstrak kental yang didapatkan adalah 60,4 g, dengan persen rendemen yang diperoleh sebesar 12,08%.
D.Uji Pendahuluan
1. Penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida
Senyawa hepatotoksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah karbon tetraklorida. Dosis hepatotoksin perlu ditentukan dengan tujuan untuk mengetahui berapa dosis karbon tetraklorida yang dapat meningkatkan aktivitas serum ALT-AST sebagi penanda adanya kerusakan hati yang terjadi pada tikus putih jantan galur Wistar. Kenaikan aktivitas serum ALT dan AST sebanyak tiga kali hingga empat kali dari normal menunjukkan terjadinya steatosis (perlemakan) pada hati (Pachos dan Paletas, 2009). Dosis hepatotoksin karbon tetraklorida sebesar 2 mL/kgBB pada penelitian ini mengacu pada penelitian Al-Olayan, et al. (2014).
2. Penentuan waktu pencuplikan darah
Dosis 2 mL/kgBB dari karbon tetraklorida diberikan pada hewan uji tikus dan kemudian dilakukan pengambilan darah melalui sinus orbitalis mata pada jam ke-0, 24, dan 48 jam. Peneliti tidak melakukan orientasi pencuplikan pada jam ke-72 karena pada jam ke-48 telah terjadi penurunan yang signifikan baik terhadap aktivitas serum ALT dan AST, sehingga dapat dipastikan bahwa pada jam ke-72 aktivitas serum ALT dan AST menurun.
Hasil uji didapatkan berupa aktivitas serum ALT yang tertera pada Tabel III dan Gambar 4. Berdasarkan data aktivitas serum ALT karbon tetraklorida 2 mL/kgBB yang telah dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk
menunjukkan data terdistribusi normal. Namun, dari uji analisis pola searah (One Way ANOVA) - Levene test, diketahui nilai signifikansi 0,038 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa variansi data tidak homogen. Oleh karena itu, dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis untuk melihat kebermaknaan perbedaan, dimana diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,005 (p<0,05) yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Kemudian untuk melihat perbedaan antar kelompok dilakukan uji Wilcoxon. Hasil analisis dari uji Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel IV.
Tabel III. Purata aktivitas serum ALT tikus jantan galur Wistar setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
Selang Waktu (jam) Rata-rata aktivitas serum ALT ± SE (U/L)
0 54 ± 3,5
24 198,4 ± 23,8
48 74 ± 8,2
Keterangan:
Gambar 4. Diagram batang purata aktivitas serum ALT tikus jantan galur Wistar setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48
jam
Tabel IV. Hasil uji Wilcoxon aktivitas serum ALT tikus jantan galur Wistar setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL.kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48
jam
Selang waktu (jam) Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48
0 BB BTB
24 BB BB
48 BTB BB
Keterangan:
B = Berbeda bermakna (p ≤ 0,05); BTB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
terdapat peningkatan yang signifikan dan berbeda bermakna antara jam ke-0 dan jam ke-24 dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05), yang berarti bahwa pemberian karbon tetraklorida pada jam ke-24 terbukti dapat menyebabkan kerusakan hati yang paling tertinggi. Hasil analisis dari uji statistik aktivitas serum ALT pada waktu pencuplikan jam ke-0, 24, dan 48 dapat dilihat pada Tabel IV, dimana pada jam ke-24 menunjukkan efek hepatotoksik yang paling tinggi dari karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB. Hasil orientasi ini akan digunakan sebagai acuan dalam penentuan waktu penentuan darah hewan uji setelah pemberian karbon tetraklorida.
Tabel V. Purata aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistar setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
Selang Waktu (jam) Rata-rata aktivitas serum AST ± SE (U/L)
0 100,2 ± 10
24 461,2 ± 46,3
48 177,2 ± 17,1
Keterangan:
Gambar 5. Diagram batang purata aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistarsetelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu
0, 24, 48 jam
Tabel VI. Hasil uji Tukey aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistar setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL.kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48
jam
Selang waktu (jam) Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48
0 BB BTB
24 BB BB
48 BTB BB
Keterangan:
B = Berbeda bermakna (p≤0,05); BTB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Hasil analisis data aktivitas serum AST pada tikus setelah terinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB menggunakan uji Shapiro-Wilk dan kemudian uji
Levene menunjukkan bahwa data terdistribusi normal dan homogen, yang setelahnya dilanjutkan uji ANOVA - Tukey untuk melihat perbedaan bermakna antar kelompok seperti yang ditampilkan pada Tabel VI.
ke-0 (100,2 ± 10) dan jam ke-48 (177,2 ± 17,05). Nilai aktivitas serum AST pada jam ke-24 mengalami kenaikan sebesar empat kali lipat dibandingkan aktivitas yang terjadi pada jam ke-0, sedangkan pada jam ke-48 terjadi penurunan aktivitas serum AST. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan dan berbeda bermakna antara jam ke-0 dan jam ke-24 dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05), yang berarti bahwa pemberian karbon tetraklorida pada jam ke-24 terbukti dapat menyebabkan kerusakan hati yang paling tertinggi. Pada perbandingan aktivitas jam ke-0 dan jam ke-48 menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap jam ke-24 (p<0,05). Pada pencuplikan jam ke-0 saat dibandingkan dengan jam ke-48 terjadi perbedaan yang tidak bermakna (p=0,188), yang menunjukkan bahwa pada jam ke-48 aktivitas serum AST mulai mendekati normal seperti yang terlihat pada jam ke-0. Hasil analisis dari uji statistik aktivitas serum AST pada waktu pencuplikan jam ke-0, 24, dan 48 dapat dilihat pada Tabel VI, dimana pada jam ke-24 menunjukkan efek hepatotoksik yang paling tinggi dari karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB.
Oleh karena hasil aktivitas serum ALT dan AST tertinggi setelah pemberian karbon tetraklorida terlihat pada jam ke-24, maka waktu pencuplikan darah yang digunakan selanjutnya dalam penelitian ini adalah jam ke-24 secara
E. Efek Hepatoprotektif Pemberian Jangka Panjang Ekstrak Etanol 70% Herba Sonchus arvensis L.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. terhadap aktivitas serum ALT dan AST pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida pada tiga peringkat dosis, yaitu dosis 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB secara peroral selama enam hari berturut-turut pada jam yang sama. Kemudian pada hari ketujuh diberikan induksi hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal dan diambil darahnya dari sinus orbitalis mata setelah 24 jam pemberian induksi hepatotoksin karbon tetraklorida secara
Tabel VII. Purata ± SE aktivitas serum ALT dan AST tikus jantan galur Wistar
Gambar 6. Diagram batang aktivitas serum ALT tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan
Data aktivitas serum ALT dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk
Tabel VIII. Hasil uji Wilcoxon aktivitas serum ALT tikus jantan galur Wistar pada
Gambar 7. Diagram batang aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan
Tabel IX. Hasil uji ANOVA – Tukey aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistar
1. Kontrol negatif olive oil 2 mL/kgBB
Penelitian ini menggunakan olive oil dosis 2 mL/kgBB sebagai kontrol negatif (kelompok II) dengan pemberian secara intraperitoneal sesuai dengan pemberian hepatotoksin karbon tetraklorida. Olive oil merupakan pelarut dari senyawa hepatotoksin karbon tetraklorida, sehingga perlu dilakukan penelitian kontrol negatif dengan tujuan untuk melihat apakah peningkatan aktivitas serum ALT dan AST pada tikus bukan akibat dari pemberian olive oil sebagai pelarut, melainkan akibat dari pemberian hepatotoksin karbon tetraklorida.
Tabel X. Purata aktivitas serum ALT dan AST tikus jantan galur Wistar setelah pemberian olive oil dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0 dan 24 jam Selang Waktu
(jam)
Purata aktivitas serum ALT ± SE (U/L)
Purata aktivitas serum AST ± SE (U/L)
0 57 ± 5,07 111,4 ± 11,18
24 41,6 ± 2,34 99,2 ± 8,92
Keterangan:
SE=Standar Error
Gambar 9. Diagram batang purata aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistar setelah pemberian olive oil dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0 dan 24 jam Tabel XI. Hasil uji T berpasangan aktivitas serum ALT dan AST pemberian olive
oil dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0 dan 24 jam Selang waktu
(jam)
Aktivitas serum ALT Aktivitas serum AST Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-0 Jam ke-24
Jam ke-0 BB BTB
Jam ke-24 BB BTB
Keterangan:
B = Berbeda bermakna (p ≤ 0,05); BTB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
purata nilai aktivitas serum ALT pada jam ke-0 dan jam ke-24 masih berada dalam batas normal, yaitu 29,8–77,0 U/L (Hastuti,2008), maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan aktivitas serum pada jam ke-24 nantinya adalah merupakan pengaruh dari hepatotoksin karbon tetraklorida, bukan dari pengaruh pemberian
olive oil sebagai pelarut hepatotoksin karbon tetraklorida.
Hasil pengukuran aktivitas serum AST sebagai data pendukung diperoleh nilai purata pada jam 0 sebesar 111,4 ± 11,18 U/L dan pada jam ke-24 sebesar 99,2 ± 8,92 U/L (Tabel X). Analisis normalitas data dan perbedaan aktivitas serum AST pada jam ke-0 dan jam ke-24 menunjukkan bahwa distribusi data normal (p>0,05) dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hal ini berarti bahwa pemberian olive oil tidak mempengaruhi kenaikan aktivitas AST serum saat digunakan sebagai pelarut karbon tetraklorida.
Berdasarkan hasil data aktivitas serum ALT dan AST kelompok kontrol negatif ini selanjutnya akan digunakan sebagai dasar nilai aktivitas serum ALT dan AST normal pada penelitian ini.
2. Kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB
Tujuan dari kontrol hepatotoksin (kelompok I) adalah untuk melihat kerusakan hati yang disebabkan oleh pemberian senyawa hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal berdasarkan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST pada jam ke-24.
negatif olive oil dengan kenaikan aktivitas serum ALT dan AST sekitar 4 kali dari nilai normal, yang berarti menurut Zimmerman (1999) telah terjadi kerusakan ringan pada sel hati tikus, yaitu steatosis (perlemakan hati). Aktivitas serum ALT merupakan parameter utama penanda adanya kerusakan hati.
Pada hasil uji statistik mengenai ada tidaknya perbedaan signifikan antar kelompok yang tersaji pada Tabel IX dan X, menunjukkan perbedaan aktivitas serum ALT dan AST yang bermakna dengan kontrol negatif olive oil. Berdasarkan hasil dari kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB ini, maka dapat digunakan sebagai dasar untuk menghitung efek hepatoprotektif dari herba Sonchus arvensis L. pada tiga variasi dosis.
3. Kontrol ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L.
Tujuan dari kontrol ekstrak etanol 70% adalah untuk melihat bahwa pemberian ekstrak 70% herba Sonchus arvensis L. dosis 1,5 g/kgBB tidak mempengaruhi aktivitas serum ALT dan AST tikus. Pemilihan dosis sebesar 1,5 g/kgBB sebagai dosis kontrol ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. disesuaikan dengan dosis tertinggi dari beberapa peringkat dosis pada penelitian ini, dengan tujuan dosis tersebut sebagai dosis yang dapat mewakili kedua dosis lainnya yang bernilai lebih kecil. Apabila pada dosis tertinggi tidak menyebabkan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST, maka dapat dipastikan bahwa pemberian kedua dosis lainnya yang bernilai lebih kecil tidak menyebabkan kenaikan aktivitas serum ALT dan AST.
Hasil aktivitas serum ALT pada kontrol ekstrak etanol 70% herba
terhadap kontrol negatif olive oil dosis 2 mL/kgBB sebesar 41,6 ± 2,3 U/L menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05). Begitu pula dengan hasil aktivitas serum AST pada kontrol ekstrak 70% herba Sonchus arvensis L. dengan purata sebesar 112,8 ± 5,9 U/L menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05) dengan kontrol negatif olive oil dosis 2 mL/kgBB dengan purata sebesar 99,2 ± 8,9 U/L. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas serum ALT dan AST pada range normal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan pemberian ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. dosis tertinggi 1,5 g/kgBB tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan aktivitas serum ALT dan AST hewan uji.
4. Kelompok perlakuan ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. jangka panjang dosis 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB pada hewan uji
terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB
Penentuan ada tidaknya efek hepatoprotektif ekstrak etanol 70% herba
Sonchus arvensis L. pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida berdasarkan penurunan aktivitas serum ALT dan AST akibat praperlakuan ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L.. Pada penelitian ini efek hepatoprotektif ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. dilihat dalam tiga peringkat dosis, yakni peringkat dosis terkecil sebesar 0,375 g/kgBB, dosis tengah sebesar 0,75 g/kgBB, dan dosis tertinggi sebesar 1,5 g/kgBB.
ml/kgBB dan kontrol negatif olive oil 2 mL/kgBB menunjukkan perbedaan yang bermakna (p≤0,05) (Tabel IX dan X), yang berarti penyebab kenaikan aktivitas
ALT dan AST serum disebabkan oleh pemberian karbon tertraklorida, bukan disebabkan oleh pelarut olive oil.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. dosis 0,375 g/kgBB memiliki perbedaan yang bermakna jika dibandingkan dengan kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 ml/kgBB dan kontrol negatif olive oil 2 mL/kgBB, yang berarti bahwa pemberian dosis ekstrak etanol 70% herba Sonchus arvensis L. dosis 0,375 g/kgBB memiliki efek hepatoprotektif dengan menurunkan aktivitas serum ALT dan AST, namum belum bisa kembali seperti keadaan normal akibat kerusakan yang ditimbulkan dari induksi senyawa hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB.
Aktivitas serum ALT kelompok perlakuan ekstrak etanol 70% herba