• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

7 A. Skizofrenia

1. Definisi

Skizofrenia pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli psikiatri yang bernama Eugene Bleuler. Skizofrenia berasal dari kata schizos yang berarti terbelah atau terpecah dan phren yang berarti pikiran, sehingga skizofrenia dapat diartikan sebagai pikiran yang terpecah (Elvira, 2013).

Sedangkan menurut Depkes RI (2015) skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, mempengaruhi emosional dan tingkah laku.

Skizofrenia adalah penyakit kejiwaan serius yang ditandai dengan munculnya gejala positif, negatif, dan kognitif yang mempengaruhi hampir semua aspek aktivitas mental, termasuk persepsi, perhatian (atensi), ingatan, serta emosi (Lieberman, 2012). Skizofrenia bersifat kronik yang mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan penderitanya (Liftiah, 2009), serta memiliki karakteristik yaitu adanya periode remisi dan eksaserbasi (Townsend, 2015). Gejala-gejala pada pasien skizofrenia, berhubungan dengan berbagai tingkat gangguan sosial dan fungsional yang persisten (Lieberman, 2012).

(2)

2. Prevalensi

Prevalensi skizofrenia sebanyak 450 juta jiwa di seluruh dunia (WHO, 2013). Sedangkan berdasarkan National Institute of Mental Health (NIMH, 2012), prevalensi penderita skizofrenia di seluruh dunia sekitar 1,1 % atau sekitar 51 juta orang di dunia.

Riskesdas (2018) menunjukkan prevalensi skizofrenia di Indonesia sebanyak 6,7 per 1.000 rumah tangga. Artinya, dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai Anggota Rumah Tangga (ART) pengidap skizofrenia. Penyebaran prevalensi tertinggi terdapat di Bali dan Yogyakarta dengan masing-masing 11,1 dan 10,4 per 1.000 rumah tangga yang mempunyai ART mengidap skizofrenia. Berdasarkan laporan dari sepuluh besar penyakit rawat inap bulan Januari sampai Juni 2015 di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Pakem Yogyakarta penyakit skizofrenia merupakan penyakit tertinggi yaitu dengan 371 orang sedangkan gangguan mental lainnya 54 orang (Handayani, 2016).

3. Pedoman Diagnostik

Kriteria diagnostik skizofrenia menurut American Psychiatric Association (APA) (2013) dalam Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) :

a. Gangguan khas, terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati). Minimal 1 gejala antara 1), 2), atau 3) :

(3)

1) Delusi/waham 2) Halusinasi

3) Bicara kacau (inkoherensi)

4) Perilaku yang sangat kacau atau katatonik

5) Gejala negatif (yaitu ekspresi emosi yang kurang atau kehilangan minat)

b. Disfungsi dalam sosial atau pekerjaan / kegagalan dalam mencapai hubungan interpersonal, fungsi akademik dan pekerjaan.

c. Durasi, minimal 6 bulan meliputi periode aktif atau masa prodromal atau fase residual.

d. Gangguan mood tersingkirkan.

e. Penyalahgunaan substansi/zat, pengobatan atau kondisi medis lain tersingkirkan.

f. Pada gangguan perkembangan pervasif / global, harus ada waham atau halusinasi.

4. Etiologi

Menurut Luana (2007) (dikutip dalam Prabowo, 2014) penyebab dari skizofrenia, yakni :

a. Faktor Biologis

1) Komplikasi Kelahiran

Bayi laki-laki yang memiliki komplikasi saat dilahirkan sering mengalami skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.

(4)

2) Infeksi

Perubahan anatomi pada susunan saraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada orang dengan skizofrenia.

Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami skizofrenia.

3) Hipotesis Dopamine

Dopamine merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun atipikal menyekat reseptor dopamine D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik diredakan.

4) Hipotesis Serotonin

Zat Lysergic acid diethylamide (LSD) menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang normal.

5) Struktur Otak

Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia basalis. Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu-abu dan beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktivitas metabolik.

(5)

b. Faktor Genetik

Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki- laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat kedua seperti paman, bibi, kakek/nenek, dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia, sedangkan kembar dizigotik sebanyak 12%.

Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12%.

5. Gambaran Klinis

Pasien skizofrenia biasanya menunjukkan gejala positif, negatif dan terdisorganisasi sebagai berikut :

a. Gejala positif merujuk pada gejala yang muncul pada proses mental abnormal (Hales, 2011) yang dapat berupa tambahan gejala atau penyimpangan dari fungsi-fungsi normal (Lieberman, 2012). Gejala positif terdiri dari fenomena yang tidak muncul pada individu sehat (Santosh, 2013) antara lain yang paling penting, halusinasi (persepsi yang salah dari berbagai indera) dan delusi/waham (kepercayaan yang diyakini dengan pasti, memenuhi pikiran pasien, yang tidak sesuai sosiokultural) (Lambert & Naber, 2012).

(6)

b. Gejala negatif merujuk pada hilang atau berkurangnya fungsi mental normal (Hales, 2011). Gejala negatif juga dapat diartikan sebagai hilang atau berkurangnya beberapa fungsi yang ada pada individu sehat (Santosh, 2013) antara lain penurunan ketertarikan sosial atau personal, anhedonia, ketidaksesuaian emosi, apatis/kehilangan minat, alogia/miskin bicara dan penurunan aktivitas. Orang dengan skizofrenia sering memperlihatkan gejala negatif jauh sebelum gejala positif muncul (Lambert & Naber, 2012).

c. Gejala terdisorganisasi yang terdiri dari gangguan berpikir, gangguan bicara (misal tangentiality atau arah pembicaraan penderita yang menyimpang jauh dari topik pembicaraan), dan gangguan perilaku (perilaku yang kacau, gerakan atau tindakan yang tidak bertujuan) (Lambert & Naber, 2012).

6. Klasifikasi

Kraeplin (dalam Maramis, 2009) membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya. Akan tetapi batas-batas golongan- golongan ini tidak jelas, gejala-gejala dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan ke dalam satu jenis.

Pembagiannya adalah sebagai berikut : a. Skizofrenia Paranoid

Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah 30 tahun.

Permulaanya mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut.

(7)

Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain.

b. Skizofrenia Hebefrenik

Timbulnya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15 – 25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia hebefrenik, waham dan halusinasinya banyak sekali.

c. Skizofrenia Katatonik

Timbulnya pertama kali antara usia 15 sampai 30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

Gejala yang penting adalah gejala psikomotor seperti :

1. Muka tanpa mimik, seperti topeng, stupor penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang sangat lama, beberapa hari, bahkan kadang-kadang beberapa bulan.

2. Bila diganti posisinya penderita menentang.

3. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.

4. Terdapat grimas dan katalepsi.

(8)

d. Skizofrenia Tak Terinci

Skizofrenia tipe ini dikategorikan apabila tidak terdapat beberapa tipe di atas yang pas atau merupakan campuran dari tipe- tipe di atas, maka digolongkan ke dalam skizofrenia tak terinci.

Penderitanya meliputi orang-orang yang memiliki gejala-gejala utama skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria tipe paranoid, hebefrenik, atau katatonik. Tidak memenuhi skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.

e. Skizofrenia Residual

Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang kearah gejala negatif yang lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpulan afek / afek yang menumpul, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.

Menurut American Psychiatric Association (APA) (2013) dalam Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) mengganti subtipe pada Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-4) dengan sistem pengkategorian yang lebih membantu untuk mengikuti perubahan alami penyakit skizofrenia seiring waktu, penjelasan yang diberikan

(9)

menyediakan informasi tentang status pasien (keparahan dari psikosis) dan stadium dari gangguan yang pasien alami (karakteristik episodik).

a. Episode pertama, saat ini dalam episode akut

Pertemuan pertama manifestasi klinis gangguan jiwa dengan kriteria gejala dan waktu. Episode akut, adalah periode waktu dimana kriteria gejala terpenuhi.

b. Episode pertama, saat ini dalam remisi parsial

Remisi Parsial adalah periode waktu saat perbaikan muncul setelah episode sebelumnya dikelola dan kriteria definisi dari gangguan hanya sebagian yang terpenuhi.

c. Episode pertama, saat ini dalam remisi penuh

Remisi Penuh adalah periode waktu setelah episode sebelumnya dimana tidak terdapat gejala gangguan spesifik yang muncul.

d. Beberapa episode, saat ini dalam episode akut

Beberapa episode dapat ditentukan setelah minimum 2 episode, yaitu setelah episode pertama, sebuah remisi dan minimum satu relaps.

Episode akut telah didefinisikan diatas.

e. Beberapa episode, saat ini dalam remisi parsial

Beberapa episode dan remisi parsial telah didefinisikan diatas f. Beberapa episode, saat ini dalam remisi sempurna

Beberapa episode dan remisi sempurna telah didefinisikan diatas

(10)

g. Kontinu

Gejala yang memenuhi kriteria gejala diagnostik adalah sisa dari sebagian besar perjalanan penyakit, dengan periode gejala di bawah batas, yang sangat pendek dibandingkan perjalanan penyakit secara keseluruhan.

h. Tidak spesifik

Informasi yang tersedia tidak cukup untuk mengkategorikan perjalanan penyakit.

7. Dampak

Moller (2009) menyatakan bahwa gejala positif dan gejala negatif yang ditunjukkan dapat menyebabkan disfungsi fungsional seperti gangguan pada aktivitas perawatan diri atau self-care (Activity of Daily Living), produktivitas, leisure, sensorimotor, kognitif, serta dapat menyebabkan disfungsi sosial seperti masalah psikososial (mengalami keterbatasan kemampuan melakukan interaksi sosial), dan menyebabkan kematian atau kesakitan.

Gangguan pada aktivitas fungsional meliputi delapan area okupasi terapi, yaitu: (1) ADLs/Activities of Daily Living, yaitu penderita skizofrenia tidak peduli atau merasa enggan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, misalnya pada aktivitas berpakaian, mandi, dan berhias. Ketika pasien skizofrenia tidak mampu mengancingkan atau memakai baju mungkin penderita skizofrenia menjadi frustasi, sehingga tidak mau memakai baju. (2) Instrumental Activities of Daily Living

(11)

(IADLs), pasien juga mengalami kesulitan dalam melakukan IADLs seperti mengurus pekerjaan rumah, mengasuh anak, menggunakan alat transportasi dan mengelola uang. Ketika pasien tidak mampu menerapkan toleransi frustasi saat menggunakan alat transportasi, pasien akan mudah marah dan tidak sabar apabila harus menunggu dan mengantri menggunakannya. (3) Work/Productivity, yaitu penderita skizofrenia tidak mampu melakukan pekerjaannya secara konsisten dan tidak mempunyai perkembangan keterampilan kerja yang konsisten dengan beberapa situasi kerja. Ketika pasien skizofrenia tidak mampu mentoleransi frustasinya terhadap kesulitan dalam pekerjaan, pasien akan cenderung tidak mau menyelesaikan pekerjaan hingga selesai dan akan marah bila diberi aktivitas. (4) Leisure, yaitu penderita skizofrenia biasanya mempunyai sedikit ketertarikan pada aktivitas waktu luang.

Penderita skizofrenia biasanya kehilangan motivasi, kegembiraan dan hiburan. Dengan adanya aktivitas mengisi waktu luang ini bertujuan untuk memberi motivasi, dan memberikan kegembiraan serta hiburan dan memperbaiki leisure pasien. (5) Rest and sleep, yaitu penderita skizofrenia biasanya mengalami insomnia, rasa kantuk berlebih, hingga hipersomnia. Gangguan tidur ini bisa muncul sebagai gejala skizofrenia, stres yang dialami, lingkungan tempat tinggal, diet, penyakit, efek samping pengobatan, atau akibat masalah saraf yang dialami penderita.

Kemudian kelelahan, meningkatnya stres dan kecemasan, kurang dapat mengendalikan diri dan emosinya, nafsu makan bertambah, serta

(12)

kurangnya konsentrasi dalam aktivitas sehari-hari adalah akibat yang mungkin terjadi apabila waktu tidur tidak tercukupi. (6) Education, tingkat pendidikan yang rendah maupun kurang mampu dalam mengikuti kegiatan education juga dapat memicu skizofrenia, kemudian toleransi frustasi yang rendah saat sekolah maupun kuliah dapat menjadi faktor penyebab skizofrenia. Kemampuan kognitif yang kurang sehingga menyebabkan kurang mampu mengikuti kegiatan akademik. Kurangnya kemampuan dalam mengembangkan keterampilan yang dimiliki juga dapat menjadi faktor penyebab skizofrenia. (7) Play, penderita skizofrenia biasanya kurang mampu berpartisipasi dalam play dan kurang mampu dalam eksplorasi play, misalnya kurang mampu dalam mengikuti permainan dengan peraturan, toleransi frustasi penderita skizofrenia kurang terhadap permainan yang bersifat menantang/permainan tantangan sehingga dapat menimbulkan stres bagi penderita. (8) Social participation, penderita skizofrenia biasanya mengalami masalah pada kemampuan interaksi sosialnya yaitu saat berhubungan dengan teman, keluarga maupun orang lain, dikarenakan penderita skizofrenia biasanya kurang memiliki kontak mata, kemampuan komunikasi yang kurang, dan ketidakmampuan dalam mengenal atau berhubungan baik dengan orang lain maupun lingkungan serta ketidakmampuan menyatakan keinginannya dengan tepat. Pasien skizofrenia biasanya juga kurang mampu berpartisipasi dalam kelompok dan lingkungan. Sehingga

(13)

kemampuan interaksi sosial dan partisipasi sosial harus terus dilatih sehingga tidak membuat individu mengasingkan diri.

8. Penatalaksanaan

Menurut Hawari (2009) dikutip oleh Wijayanti (2014), dalam penanganan penderita gangguan jiwa dilakukan dengan pendekatan yang holistik atau menyeluruh, yaitu dengan terapi antipsikotik (psikofarmaka), terapi psikososial atau terapi perilaku, terapi psikomotor, terapi psikoreligius, terapi kelompok, terapi rekreasi, terapi kesenian dan rehabilitasi.

Pendekatan atau terapi yang dapat dilakukan pada pasien skizofrenia antara lain yaitu :

a. Terapi obat-obatan

Terapi obat ini merupakan pemberian intervensi oleh seorang dokter yang mengkombinasikan obat-obatan dengan terapi psikologis. Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, cemas, delusi, perubahan pola pikir serta membantu menjaga kemampuan berpikir dan mengingat yang terjadi pada kondisi skizofrenia. Pasien dapat diberikan beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar sesuai bagi kondisi pasien. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik

(14)

konvensional, newer atypical antipsychotics, dan clozaril (Neale, 2011).

b. Psikoterapi

Pada penderita skizofrenia psikoterapi suportif sangat diperlukan untuk individu atau kelompok yang memiliki tujuan mengembalikan pasien skizofrenia agar diterima kembali di masyarakat. Teknik perilaku kognitif sering digunakan dalam penanganan pasien dengan gangguan jiwa (Hawari, 2010).

c. Rehabilitasi

Terapi kerja sangat baik untuk mendorong penderita berinteraksi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter dengan tujuan agar pasien tidak lagi mengasingkan diri, karena bila pasien menarik diri dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin, diatur sedemikian rupa sehingga pasien tidak mengalami stres terlalu banyak.

Lingkungan sekitar yang tidak stabil serta hostilitas dan ikut campur emosional yang dialami pasien dari orang-orang yang dekat dengannya akan membawa resiko tinggi untuk kambuh (Maramis &

Maramis, 2009).

d. Terapi okupasi

Pasien dengan gangguan jiwa mendapat penanganan rehabilitasi oleh okupasi terapi agar pasien mampu bersosialisasi kembali

(15)

dengan teman, keluarga, bahkan masyarakat di sekitar rumahnya.

Pasien juga dapat merawat dirinya sendiri, menjaga kebersihan dirinya dan menjadikan pasien dapat produktif kembali. Terapi okupasi merupakan suatu cara atau bentuk psikoterapi suportif yang penting dilakukan untuk meningkatkan kesembuhan pasien. Terapi okupasi membantu menstimulasi pasien melalui aktivitas yang disenangi pasien. Salah satu jenis terapi okupasi yang diindikasikan untuk pasien gangguan jiwa adalah aktivitas mengisi waktu luang (leisure). Aktivitas ini bertujuan untuk memberi motivasi dan memberikan kegembiraan, serta hiburan bagi pasien (Djunaedi &

Yitnarmuti, 2008 dikutip dalam Wijayanti, 2014).

9. Prognosis

Prognosis pasien dengan gangguan yang kronik, sekitar 20% hanya mengalami episode tunggal skizofrenia selama hidup tanpa adanya kekambuhan. Namun demikian lebih dari 50% pasien memiliki prognosis yang buruk dengan episode psikotik yang berulang sehingga harus keluar masuk rumah sakit, mengalami depresi dan melakukan percobaan bunuh diri, dan 10% pasien lainnya meninggal akibat bunuh diri (Keliat, Prabowo, 2014).

Sedangkan menurut Julaeha (2012) prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum mengalami gangguan). Sekitar 25% tidak akan

(16)

pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya, ditandai ada kekambuhan periodik dan ketidakmampuan fungsional dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat. Mortalitas (angka kematian) pasien skizofrenia lebih tinggi secara signifikan daripada populasi umum. Sering terjadi bunuh diri, gangguan fisik yang menyertai, masalah penglihatan dan gigi, tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit yang ditularkan secara seksual.

B. Waktu Luang (Leisure)

Jensen (1977) dikutip oleh Dapan & Setyawan (2010), menyatakan bahwa waktu dalam sehari terbagi menjadi tiga, yaitu : waktu bekerja (economic requirements), waktu memelihara diri (biological requirement), dan waktu luang (leisure time). Waktu luang sering pula disebut dengan istilah leisure. Leisure mempunyai banyak arti tergantung tinjauannya, diantaranya yaitu : (1) Dilihat dari dimensi waktu, waktu luang dilihat sebagai waktu yang tidak digunakan untuk bekerja, mencari nafkah, melaksanakan kewajiban, dan mempertahankan hidup. (2) Dari segi cara pengisian, waktu luang adalah waktu yang dapat diisi dengan kegiatan pilihan sendiri (seperti kegiatan rekreasi atau meneruskan pekerjaan/tugas lain) atau waktu yang digunakan dan dimanfaatkan sesuka hati. (3) Dari sisi fungsi, waktu luang adalah waktu yang dimanfaatkan sebagai sarana mengembangkan potensi (aktualisasi diri), meningkatkan mutu pribadi (kursus, latihan pengembangan diri), olahraga, hobi, membuat kerajinan tangan, memasak dan sebagainya,

(17)

sebagai kegiatan terapi bagi yang mengalami gangguan emosi, sebagai selingan dan hiburan, sarana rekreasi.

Pemanfaatan waktu luang (Leisure) adalah salah satu komponen utama dalam Occupational Performance Area (OPA) selain ADLs dan productivity.

Leisure juga merupakan salah satu elemen penting yang diperlukan oleh okupasi terapis untuk diprioritaskan ketika berurusan dengan klien untuk memaksimalkan fungsionalnya dan memungkinkan kualitas kesehatan yang lebih baik dan memungkinkan meningkatkan kesejahteraan klien (AOTA, 2012).

Adapun beberapa manfaat pengisian waktu luang antara lain : (1) meningkatkan kesehatan jasmani dengan olahraga, senam, dan menari. (2) meningkatkan kesehatan mental dan emosional dengan melakukan relaksasi, menikmati pemandangan sekitar yang sejuk, dan melakukan kegiatan kerohanian. (3) mendukung konsep diri atau harga diri dengan mengikuti pertunjukan seni yang dapat membuat seseorang menunjukkan bakat dan kemampuannya. (4) sarana belajar dan perkembangan kemampuan dengan membaca, mengikuti kursus, atau latihan membuat berbagai keterampilan tangan (Sukadji, 2000).

Berdasarkan penjelasan waktu luang diatas maka aktivitas yang akan membantu pasien untuk lebih produktif dalam mengisi waktu luang adalah aktivitas memasak. Proses memasak atau membuat kue dapat menjadi terapi bagi penderita skizofrenia, depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya. Menurut Amsellem (2016) memasak atau membuat kue merupakan

(18)

kegiatan yang cocok untuk jenis terapi behavioral activation. Tujuannya untuk mengurangi depresi dengan menambah aktivitas positif, mengurangi stress, membangun rasa percaya diri, menghilangkan pikiran negatif, meningkatkan konsentrasi, menghilangkan kejenuhan, meningkatkan perilaku yang berorientasi pada tujuan, serta mengurangi sifat suka menunda dan mengurangi sikap pasif. Hasil masakan yang enak merupakan reward yang akan membuat seseorang merasa bahagia. Memasak resep-resep masakan sederhana tidak akan menimbulkan kekhawatiran/kecemasan, namun berfungsi meningkatkan fokus, meningkatkan kreativitas dan meningkatkan kebahagiaan.

C. Memasak 1. Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2016) memasak adalah kegiatan mengolah atau membuat berbagai macam panganan, lauk-pauk, dan sebagainya. Memasak yaitu membuat suatu bahan mentah menjadi matang dengan tujuan agar dapat dimakan. Namun demikian menurut Ceserani-Lundberg dan para ahli kuliner, secara definitif memasak adalah proses pemberian panas (application of heat) sehingga bahan yang dimasak tersebut akan dapat dimakan (eatable), lezat di lidah (palatable), aman dimakan (safer to eat), mudah dicerna (digestible), dan berubah penampilannya (change its appearance) (Gordon, 2018).

(19)

2. Prasyarat

Menurut Suparman (2009) melakukan aktivitas memasak dibutuhkan keterampilan sensorik dan motorik. Keterampilan sensorik antara lain : (1) Vision, seseorang harus dapat melihat dan dapat fokus pada objek serta mampu mengikuti objek. (2) Koordinasi mata tangan dan ketangkasan jari-jari. Koordinasi mata tangan digunakan untuk menggunakan alat-alat masak dan bahan-bahan masakan. (3) Tactile dan desensitization, seseorang harus dapat merasakan saat menyentuh dan memanipulasi objek dengan berbagai tekstur, keterampilan ini digunakan saat memegang alat memasak dan bahan masakan.

Keterampilan motorik antara lain : (1) Active movement, seseorang harus mampu berpindah gerakan dan menggunakan otot untuk menahan gravitasi saat aktivitas memasak. (2) Coordination, seseorang harus menggunakan sendi-sendi, otot-otot, dan semua indera bersama-sama dalam melakukan aktivitas memasak (Suparman, 2009).

Menurut Fisher & Jones (2010), komponen yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan aktivitas memasak adalah lingkup gerak sendi, kekuatan otot, koordinasi mata-tangan, endurance, reach, grips, manipulasi, visual persepsi, dan keseimbangan. Sendi yang terlibat dalam aktivitas memasak yaitu sendi pada kaki, sendi bahu, sendi siku, sendi pada pergelangan tangan, dan sendi jari-jari.

Selain komponen sensorimotor, dalam aktivitas memasak juga dibutuhkan komponen perilaku melaksanakan tugas yang baik.

(20)

Komponen yang paling penting dibutuhkan dalam melakukan suatu aktivitas yaitu kemampuan dalam menyelesaikan tugas yang nantinya akan dipengaruhi oleh komponen lain seperti konsentrasi, problem solving, kemampuan kompleksitas dan organisasi tugas, serta toleransi frustasi.

D. Kerangka Acuan Kognitif Perilaku 1. Definisi

Kerangka acuan merupakan istilah untuk menjelaskan hubungan antara konsep, dalil, dan prinsip yang dapat digunakan sebagai pedoman praktek. Kerangka acuan secara komprehensif berisi tentang pernyataan sebagai dasar teori, pemaparan fungsi dan disfungsi kontinum, pernyataan yang berhubungan dengan perubahan (Bruce & Borg, 2002).

Kerangka acuan yang digunakan dalam studi kasus ini adalah kerangka acuan kognitif perilaku atau Cognitive Behavior Frame of Reference. Kerangka acuan kognitif perilaku ini menekankan perubahan pikiran yang dipercayai untuk menghasilkan perilaku spesifik atau mengembangkan pengetahuan dasar untuk memecahkan permasalahan.

Kerangka acuan ini dapat diaplikasikan pada kasus anak, dewasa, dan orang tua. Kerangka acuan ini berasumsi bahwa fungsi kognitif seseorang dan kepercayaannya mempengaruhi afek dan perilaku.

Intervensi berdasarkan kerangka acuan ini perlu melibatkan strategi verbal dan non-verbal. Tujuan intervensi adalah mengubah pikiran seseorang yang pada gilirannya merubah perilaku dan akhirnya

(21)

meningkatkan fungsional keseharian dan self of efficacy (Bruce & Borg, 2002).

2. Strategi

Strategi dalam kerangka acuan kognitif perilaku menurut Bruce &

Borg (2002) antara lain :

a. Pasien mendengarkan apa yang harus dikerjakan (listening for must) Strategi mendengarkan apa yang harus dikerjakan yaitu tidak semua difokuskan pada tugas ataupun mempermasalahkan kepercayaan, tetapi mendengarkan tugas yang harus dikerjakan.

Terapis mengidentifikasi tugas yang harus dikerjakan di rumah maupun di tempat kerja.

b. Pekerjaan rumah / tugas (homework)

Strategi ini lebih sering digunakan daripada memberikan latihan bersifat verbal dan mental atau psikologis. Tugas-tugas dalam homework ini dapat dipraktikkan dalam waktu yang relatif singkat dan berguna dalam keseharian pasien.

c. Pengembangan pengetahuan melalui membaca

Strategi ini bisa diterapkan melalui psikoedukasional, artikel pendek, atau brosur. Pada strategi ini diharapkan kemampuan pasien dalam pengetahuan ilmu bertambah setelah membaca.

d. Individu belajar hak-nya

Strategi ini mengembangkan asertif dan identifikasi hak pribadi, bisa melalui model simbolik, peran lain, instruksional.

(22)

e. Penggunaan media film dan visual

Strategi ini menayangkan interaksi sosial dan perilaku untuk menyikapi tugas yang efektif, kemudian terapis menjelaskan, diskusi setelah selesai melihat, permainan peran sesuai skenario apa yang telah dilihat, dan sebagai model.

f. Modelling dan role play

Dalam strategi ini terdiri dari rehearsal, modelling, coaching.

Terapis berpartisipasi aktif kemudian klien ‘rehearse’ verbal dan nonverbal, terapis dan klien memberikan feedback.

g. Modelling dan physical guidance

Modelling digunakan untuk membangun task skills, seperti tugas yang melibatkan pembelajaran dalam pekerjaan yang unfamiliar, perawatan diri, atau olahraga. Terapis berperan sebagai model atau meminta kepada anggota keluarga atau orang terdekat untuk memeragakan urutan dari aktivitas, serta memberikan kesempatan kepada klien untuk mempraktikkan kembali apa yang telah dicontohkan untuk mencapai kemampuan pada setiap tahapan sebelum mencapai tahapan selanjutnya.

Physical guidance atau petunjuk secara fisik, terapis memberikan bantuan petunjuk secara fisik kepada pasien ketika mulai mengalami frustasi. Terapis memberikan cara berperilaku yang benar dan memberikan bantuan kepada pasien cara menyelesaikan masalah yang sedang dialami.

(23)

h. Problem solving

Dalam strategi ini okupasi terapis dapat menggunakan beberapa strategi pemecahan masalah atau format yang diuraikan terlebih dahulu, seperti mereka yang menggunakan suatu penyelesaian untuk mengatasi permasalahan yang ada, berpikir dengan keras, analisis tugas dan perkenalan diri.

i. Reinforcement

Reinforcement adalah pemberian imbalan, jika pasien berhasil melakukan instruksi atau aktivitas dari terapis dengan benar. Terapis dalam proses terapi memberikan reinforcement terhadap pasien karena telah menyelesaikan tugas atau melakukan aktivitasnya dengan baik, sehingga pasien memperoleh penghargaan maupun hadiah dari terapis seperti permen, roti, dan makanan ringan lainnya.

3. Kelebihan dan Kekurangan Kerangka Acuan a. Kelebihan Kerangka Acuan Kognitif Perilaku

Menurut Bruce & Borg (2002) kerangka acuan kognitif perilaku mampu meningkatkan pemahaman dalam proses belajar sehingga dapat memberikan hasil yang didukung dengan pemberian reinforcement (penguat). Okupasi terapis membantu dalam memberikan intervensi kepada pasien yang mengalami gangguan dalam memecahkan masalah. Pemberian motivasi dan aktivitas yang bertujuan mampu memberikan hasil untuk pasien.

(24)

b. Kelemahan Kerangka Acuan Kognitif Perilaku

Kelemahan dari kerangka acuan kognitif perilaku ini yaitu sulitnya untuk mengubah keyakinan seseorang terhadap apa yang telah diyakini sebelumnya. Kurangnya kemampuan dalam perkembangan kognitif membuat seseorang menjadi susah dalam memahami sesuatu. Selain itu, kelemahan kerangka acuan kognitif perilaku hanya dapat diterapkan pada pasien yang mempunyai level kognitif 5 dan 6 (level tinggi) (Bruce & Borg, 2002; Allen, 2002).

4. Kecenderungan Penulis

Penulis berpendapat bahwa penderita skizofrenia yang mengalami masalah pada area leisure perlu diberikan konseling dan penyediaan aktivitas leisure yang sesuai minat dan kemampuan pasien. Menurut penulis kerangka acuan kognitif perilaku cocok diterapkan pada pasien skizofrenia. Pemberian intervensi menggunakan kerangka acuan kognitif perilaku diharapkan pasien dapat merubah pola pikirnya dan pada akhirnya akan diikuti dengan perubahan perilaku yang diinginkan.

Pemilihan kerangka acuan ini juga didukung oleh kondisi pasien yang diasumsikan bahwa pasien memiliki level kognitif tinggi.

Dalam studi kasus ini menggunakan strategi listening for must, modelling & physical guidance, dan reinforcement. Disini penulis memilih aktivitas memasak karena aktivitas ini terdiri dari beberapa

Referensi

Dokumen terkait

Pada forged and bored pipe, billet baja atau ingot pertama kali dipanaskan pada temperatur hingga 2300 F dan kemudian diteruskan dengan proses forging dengan menggunakan

Menurt Solomon dan Rothblum (Rachmahana, 2001, h.135) individu yang kurang asertif tidak mau mencari bantuan ( seeking for help) kepada orang lain untuk membantu

Locsin juga menjelaskan bahwa teknologi merupakan caring in nursing dimana terdapat hubungan yang harmonis antara teknologi dan caring dalam keperawatan (Locsin,

menghasilkan produk konstruksi. Pengelolaan supply chain di industri konstruksi adalah salah satu usaha peningkatan kinerja. Pengelolaan supply chain harus efektif dan

Pemilukades merupakan suatu pemilihan untuk memilih pemimpin di daerah secara langsung dan demokratis.Namun, dalam penyelenggaraannya, Pemilukades dikotori oleh

6 Menyerahkan hasil rekap absensi kepada Kasubbag Keuangan dan mengar- sipkannya ke dalam file kepegawaian Absensi pegawai 15 menit Diterimanya rekap absensi

calibration certificates or logger protocols for pressure measuring instruments and is available as a demo version for a cost-free download.. Calibration certificates can

Tanah di Godean memiliki perakaran banyak, memiliki akar berwarna putih, konkresi merah yang menunjukan tanah mengandung besi, memiliki padas claypon atau