Universitas Kristen Petra 7
2. TEORI PENUNJANG
2.1. Bauran Pemasaran
Menurut Kotler (2001, p. 67-68), strategi bauran pemasaran (marketing mix) adalah alat pemasaran yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk menghasilkan respon yang diinginkan di dalam target pasar. Menurut Kotler &
Amstrong (2006, p. 72), “bauran pemasaran terdiri atas segala sesuatu yang dapat dilakukan perusahaan untuk mempengaruhi permintaan produknya.” Bauran pemasaran dikelompokkan menjadi empat variabel yang dikenal dengan 4P yaitu product, price, place, dan promotion.
2.1.1. Product
Menurut Kotler & Amstrong (2005), produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk diperhatikan, diperoleh, digunakan, atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Produk mencakup obyek fisik, jasa, orang, tempat, organisasi, dan gagasan. Menurut Ferrell (2005), produk merupakan inti dari strategi bauran pemasaran dimana peritel menawarkan kepada konsumen baik melalui barang maupun pengalaman untuk membuat perbedaan antara produk yang dijual dari kompetitornya.
Beberapa atribut produk antara lain, nama merek, kualitas, kebaruan dan kekompleksan, penampilan fisik, pengemasan dan informasi dari label suatu produk dapat mempengaruhi konsumen saat berada di dalam toko (dalam Owomoyela, Ola, Oyeniyi, 2013).
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa produk adalah segala sesuatu yang memiliki nilai untuk ditawarkan kepada pasar dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan dan mencapai kepuasan konsumen, dimana di dalam produk tersebut mengandung mutu, kualitas, daya guna, serta kelengkapan yang membuat produk tersebut diminati oleh konsumen agar dapat bersaing di pasar.
2.1.2. Price
Universitas Kristen Petra 8
Kotler dan Amstrong (2005), mendefinisikan harga sebagai jumlah uang yang dibebankan untuk produk atau jasa, atau jumlah nilai yang ditukarkan konsumen sebagai manfaat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa.
Harga hanya salah satu alat bauran pemasaran yang digunakan sebuah perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya. Penetapan harga harus dikoordinasikan dengan desain produk, distribusi, dan promosi untuk membentuk program pemasaran yang konsisten dan efektif. Harga yang diatur untuk sebuah produk atau jasa memainkan peranan yang penting di dalam dunia pemasaran serta dapat menjadi salah satu pertimbangan yang mempengaruhi pilihan konsumen.
2.1.3. Place
Kotler dan Armstrong (2005) mendefinisikan tempat sebagai seperangkat alat saling tergantung yang terlibat dalam proses pembuatan produk atau layanan yang tersedia untuk digunakan dan dikonsumsi oleh konsumen atau bisnis. Jones (2007) mendefinisikan tempat sebagai cara konsumen memperoleh produk atau menerima layanan (dalam Owomoyela, Ola, Oyeniyi, 2013). “Place merupakan lokasi di mana transaksi terjadi” (Blythe, 2006, p.14). Lokasi merupakan keputusan suatu perusahaan mengenai tempat untuk mengoperasikan semua kegiatan perusahaan. Lokasi sangat berpengaruh terhadap penyampaian produk dan ketepatan target pasar.
Mischitelli (2000) mengklasifikasikan tempat menjadi empat elemen yang dapat mempengaruhi dan menjadi indikator untuk pemilihan sebuah lokasi, yaitu:
1. Place
Hal ini berhubungan dengan letak atau posisi. Apakah terletak di kawasan yang strategis dan di tengah komunitas yang besar.
2. Accesibility
Hal ini menyangkut ketersediaan jalan yang memudahkan untuk menjangkau toko tersebut.
3. Visibility
Perusahaan atau toko tersebut sebaiknya mudah terlihat atau diketahui banyak orang.
Universitas Kristen Petra 9
4. Infrastructure
Hal ini menyangkut keseluruhan bagian dari gedung, fasilitas, dan saluran pembangunan.
2.1.4. Promotion
Promosi berkaitan dengan alat yang dipakai untuk memberikan informasi tentang produk atau layanan kepada konsumen. Kotler (2007) menemukan bahwa promosi telah menjadi faktor penting dalam bauran pemasaran produk. Promosi terdiri dari iklan, penjualan secara pribadi, promosi penjualan, direct marketing dan public relations yang dapat digunakan perusahaan untuk tujuan pemasarannya (dalam Owomoyela, Ola, Oyeniyi, 2013). Kotler (2000, p. 150) mengemukakan bahwa “promosi terdiri dari kumpulan alat-alat insentif yang beragam, sebagian besar berjangka pendek, dirancang untuk mendorong penjualan barang/jasa tertentu secara lebih cepat dan /atau lebih besar oleh konsumen atau pedagang”.
Menurut Kotler, Bowen, & Makens (1999) ada tiga manfaat dari komunikasi penjualan, yaitu:
1. Komunikasi, promosi penjualan dilakukan dengan menarik perhatian serta memberikan informasi yang mengarahkan konsumen kepada produk tertentu.
2. Insentif, promosi penjualan memberikan nilai bagi konsumen dengan menggabungkan sejumlah kebebasan, dorongan dan kontribusi.
3. Ajakan, promosi penjualan bertujuan untuk menarik pembeli agar dapat melakukan pembelian dengan segera, atau saat itu juga.
2.2. Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan pola aktivitas, minat, dan pendapat konsumen yang konsisten dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang dianutnya (Schiffmann dan Kanuk, 2000, p. 315). Benjamin and Rosabeth (1976) juga menjelaskan, “A life- style marketing (psychographics) perspective recognizes that people classify themselves into groups on the basis of the things they like to do, how they like to spend their leisure time, the type of interest they have, and how they choose to spend their disposable income”
Universitas Kristen Petra 10
Yang artinya, gaya hidup dikelompokkan berdasarkan hal-hal yang mereka ingin lakukan, bagaimana mereka ingin menghabiskan waktu luang mereka, minat yang mereka miliki, dan bagaimana mereka memilih untuk menghabiskan pendapatan mereka (dalam Harcar dan Kaynak, 2008).
Beberapa biro riset telah mengembangkan klasifikasi gaya hidup.
Klasifikasi yang banyak digunakan adalah tipologi values and lifestyle (VALS) (Kotler 1997, p. 152). Kedelapan kelompok VALS adalah:
a. Fulfieds
Profesional yang matang, bertanggung jawab, berpendidikan tinggi. Pusat aktivitas waktu senggang mereka ada di rumah, tetapi mereka memperoleh informasi cukup dan terbuka untuk ide baru. Mereka mempunyai pendapatan yang tinggi, tetapi termasuk konsumen yang praktis dan berorientasi pada nilai.
b. Achievers
Orang yang sukses, berorientasi pada pekerjaan, konservatif dalam politik yang mendapatkan kepuasan dari pekerjaan dan keluarga mereka. Mereka menghargai otoritas dan status quo, serta menyukai produk dan jasa terkenal yang memamerkan sukses mereka.
c. Strivers
Orang dengan nilai-nilai yang serupa dengan achivers (orang yang berhasil) tetapi sumber daya ekonomi, sosial, dan psikologinya lebih sedikit. Gaya amat penting bagi mereka ketika mereka berusaha keras untuk menirukan konsumen dalam kelompok lain yang lebih banyak sumber dayanya.
d. Experiencers
Konsumen yang berkeinginan besar untuk banyak membeli pakaian, makanan siap santap, musik, dan kesenangan lain anak muda. Sebagai yang paling muda di antara kelompok, mereka mempunyai banyak energi yang mereka curahkan untuk kegiatan fisik dan aktivitas sosial. Mereka terutama menyukai hal-hal yang baru.
e. Believers
Konsumen konservatif, dapat ditebak dengan pendapatan lebih dari cukup
Universitas Kristen Petra 11
yang menyukai produk-produk terkenal. Kehidupan mereka terpusat pada keluarga, agama, masyarakat, dan bangsa.
f. Makers
Orang yang suka mempengaruhi lingkungan mereka dalam cara yang praktis.
Mereka memusatkan perhatian pada hal-hal yang dikenal banyak orang seperti keluarga, pekerjaan, dan rekreasi fisik.
g. Actualizers (Innovators)
Orang dengan pendapatan paling tinggi dan demikian banyak sumber daya yang dapat mereka sertakan dalam salah satu atau semua orientasi diri. Citra itu sesuatu yang penting bagi mereka, bukan karena status, melainkan sebagai perluasan dari selera, kebebasan, dan karakter mereka. Mereka mempunyai minat yang amat luas, terbuka untuk perubahan, dan cenderung untuk membeli barang yang paling baik.
h. Strugglers
Orang dengan penghasilan paling rendah dan terlalu sedikit sumber dayanya untuk dimasukkan ke dalam orientasi konsumen yang manapun. Dengan segala keterbatasannya mereka cenderung menjadi konsumen yang loyal kepada merek.
2.3. Budaya
Budaya memiliki kekuatan dalam mengatur perilaku manusia. Ini terdiri dari seperangkat pola perilaku yang diturunkan dan dipelihara oleh anggota masyarakat tertentu melalui berbagai cara (Arnolds & Thompson, 2005). Sebagai contoh, anggota dalam budaya yang sama memiliki kesamaan bahasa (Lee, 2000) dan berbagi nilai yang sama (Hofstede, 2001). Nilai-nilai ini cenderung mempengaruhi perilaku dan pilihan seseorang (dalam Nayeem, 2012).
“Culture can be defined as the collective programming of the mind which distinguishes the members of one category of people from those of another.”
(Hofstede, 1984, p. 389) yang artinya budaya dapat didefinisikan sebagai program mengumpulkan pemikiran yang membedakan member dari satu kategori kelompok dengan kelompok lainnya. Menurut studi kualitatif yang dilakukan oleh
Universitas Kristen Petra 12
Hofstede (1984) didapatkanlah struktur awal yang mengandung 4 dimensi nilai budaya individu beserta survei yang telah dilakukannya di Indonesia:
1. Power distance
Jarak kekuasaan didefinisikan sebagai tingkat ketidaksetaraan antara orang-orang dalam suatu Negara dan menganggap biasa hal tersebut. Semua masyarakat tidak setara, namun terdapat beberapa yang lebih tidak merata daripada yang lain (Hofstede, 1993, dalam Evans, 2014). Ketidakadilan itu terjadi di seluruh kebudayaan, tetapi level ketidakadilannya memiliki toleransi yang berbeda-beda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Pada kebudayaan high power distance, seseorang menghargai atasanya dan menghidari mengkritik mereka. Pada Negara yang memiliki low power distance, dapat diterima bila seseorang menantang atasannya, meskipun hal itu dilakukan dengan hormat.
Orang Indonesia memiliki nilai yang tinggi pada dimensi ini (nilai: 78 dari 100) yang berarti kebanyakan orang Indonesia memiliki karakteristik:
bergantung pada hirarki, adanya ketidaksetaraan hak antara orang yang berkuasa dan orang yang tidak berkuasa, pemimpin selalu memberi arahan dan kontrol manajemen serta delegasi, kekuasaan disentralisasikan dan manajer mengandalkan kedisiplinan dari anggota tim, karyawan mengharapkan untuk diberitahu mengenai apa yang harus dikerjakan dan kapan harus mengerjakan sesuatu, seorang atasan dihargai karena posisinya, terdapat jarak yang lebar antara orang kaya dan miskin, komunikasi terhadap atasan dilakukan secara tidak langsung dan umpan balik yang negatif tidak diharapkan (geert-hofsted, n.d.).
2. Individualism – Collectivism
Pada masyarakat individualisme, seseorang lebih mengutamakan kepentingannya dan kepentingan keluarga dekatnya. Sebaliknya pada masyarakat kolektivisme, seseorang tidak mendefinisikan suatu kegiatan sebagai kegiatan mereka namun lebih kepada kegiatan grup. Masyarakat kolektivis lebih erat terintegrasi dibanding masyarakat individualis.
Universitas Kristen Petra 13
Masyarakat Indonesia memiliki nilai yang rendah terhadap individualime (nilai: 14 dari 100) yang berarti masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kolektivisme. Masyarakat Indonesia tidak hanya berfokus terhadap komunitasnya sendiri (geert-hofsted, n.d.).
3. Masculinity – Femininity
Menurut Hofstede (1993) maskulinitas / feminitas adalah sejauh mana nilai-nilai sulit seperti ketegasan, kinerja, keberhasilan, dan persaingan, yang pada hampir semua masyarakat berhubungan dengan peran laki-laki, menang atas nilai lembut seperti kualitas hidup, mempertahankan hubungan pribadi yang hangat, layanan, merawat yang lemah, dan solidaritas (dalam Evans, 2014). Maskulinitas merupakan kebudayaan dimana nilai yang dominan adalah menjadi ambisius, tegas, kompetitif, berusaha untuk sukses, dan menghargai sesuatu yang besar, kuat dan cepat. Sebaliknya, kebudayaan feminitas mengutamakan nilai kefeminiman seperti atmosfir yang baik, keamanan posisi, dan kondisi fisik.
Indonesia memiliki nilai: 46 dari 100 pada dimensi ini yang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia lebih cenderung ke arah feminin. Di dalam dunia kerja, konflik banyak diselesaikan dengan kompromi serta negosiasi dan dalam pengambilan sebuah keputusan mereka melibatkan seluruh anggota yang bekerja. Insentif yang lebih disukai adalah yang seperti waktu bebas dan sesuatu yang fleksibel (geert-hofsted, n.d.).
4. Uncertainty avoidance
Menurut Hofstede (1993) sebagaimana yang dikutip oleh Evans (2014), uncertainty avoidance adalah sejauh mana orang-orang di dalam suatu Negara lebih memilih situasi yang terstruktur daripada situasi yang tidak terstruktur.
Dalam dimensi untuk menghindari ketidakpastian, budaya dengan high uncertainty avoidance memiliki parameter dan strategi yang jelas untuk menghindari resiko ketidakpastian. Sedangkan budaya low uncertainty avoidance, ada keterbukaan terhadap situasi yang tidak diketahui dan kemauan tinggi untuk menerima konsep dan proses yang berbeda.
Universitas Kristen Petra 14
Indonesia memiliki nilai: 48 dari 100 pada dimensi ini yang berarti masyarakat Indonesia memiliki kesukaan yang rendah dalam menghidari ketidakpastian. Pada waktu seorang Indonesia sedang marah, kebiasaan mereka adalah tidak menunjukan emosinya yang negatif atau kesangat marahannya. Mereka akan tetap tersenyum dan bersikap sopan, tidak peduli seberapa marahnya mereka di dalam. Bagi orang Indonesia menjaga keharmonian dan menjalin hubungan sangatlah penting dan tidak seorangpun berharap menjadi pusat perbincangan yang buruk (geert-hofsted, n.d.).
2.4. Pengambilan Keputusan
Menurut Rong (1999) keputusan konsumen adalah pilihan yang dibuat oleh konsumen setelah menilai dengan hati-hati semua opsi yang ada, dengan cara mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya sampai mempunyai pemikiran yang jelas (dalam Lin & Shih, 2012)
Scott dan Bruce (1995) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai respon yang ditunjukkan seseorang ketika dihadapkan dalam situasi untuk mengambil keputusan. Keputusan untuk membeli dapat mengarah kepada bagaimana proses dalam pengambilan keputusan tersebut itu dilakukan. Scott dan Bruce membagi pengambilan keputusan dalam lima dimensi:
1. Rational: logis dan terstruktur dalam pengambilan keputusan.
2. Intuitive: bergantung pada firasat, perasaan dan kesan.
3. Dependent: bergantung pada arah dan dukungan dari orang lain.
4. Avoidant: menunda atau menghindari pengambilan keputusan.
5. Spontaneous: impulsif dan cenderung membuat keputusan pada saat itu juga (dalam Spicer & Sadler-Smith, 2005).
2.5. Hubungan antar konsep
2.5.1. Hubungan antara Bauran Pemasaran dengan Keputusan Pembelian Menurut Kotler (2001, p. 67-68), strategi bauran pemasaran (marketing mix) adalah alat pemasaran yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk menghasilkan respon yang diinginkan di dalam target pasar. Bauran pemasaran
Universitas Kristen Petra 15
merupakan suatu perangkat yang akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan pemasaran suatu perusahaan. Pada hakekatnya bauran pemasaran adalah mengelola unsur-unsur marketing mix supaya dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen dengan tujuan untuk menghasilkan dan menjual produk dan jasa yang dapat memberikan kepuasan pada pelanggan (Owomoyela, Ola, &
Oyeniyi, 2013). Untuk itu, produk yang ditawarkan kepada konsumen harus sesuai dengan kebutuhan atau keinginan pasar agar dapat mempengaruhi pelanggan dalam memilih produk dan pengambilan keputusan. Produk yang diminati konsumen juga dipengaruhi oleh harga yang sesuai. Harga yang sesuai dengan produk yang ditawarkan membantu konsumen dalam mengambil keputusan. Lokasi yang tepat dan mudah dijangkau oleh konsumen serta promosi yang tepat juga berperan penting di dalam mempengaruhi konsumen mengambil keputusan.
2.5.2. Hubungan antara gaya hidup dengan keputusan pembelian
Gaya hidup adalah pola karakteristik individu yang dibentuk melalui interaksi sosial di dalam siklus hidupnya (Hawkins et. al., 1998, dalam Harcar dan Kaynak, 2007). Kotler (2000) mendefinisikan gaya hidup sebagai cara hidup, cara seseorang mengekspresikan kegiatan yang mereka lakukan dan minat yang mereka miliki, dan juga cara untuk mengekspresikan pendapat mereka tentang berbagai topik (dalam Wang, 2012). Hal ini menyebabkan seseorang berperilaku berbeda antara satu dengan lainnya dalam hal bagaimana ia berbelanja dan mengkonsumsi sesuatu. Penulis menggunakan teori VALS dimana di dalamnya terdapat klasifikasi seseorang dalam beberapa nilai dan macam-macam gaya hidup (Values, Attitudes, and Lifestyle) untuk mengetahui jenis gaya hidup mana yang ia anut. Secara general, VALS menggunakan psikografi untuk menganalisa dinamika pemilihan produk oleh konsumen (Harcar & Kaynak, 2007). Sebagai contoh seseorang dengan gaya hidup actualizers adalah orang dengan pendapatan tinggi, terbuka terhadap perubahan dan cenderung membeli barang yang baik.
Dengan pendapatan tinggi dan terbuka terhadap perubahan, ia akan cenderung mencoba hal-hal baru seperti mencoba restoran yang baru buka, membeli pakaian
Universitas Kristen Petra 16
dengan model terbaru, dan menggunakan alat komunikasi terbaru. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa gaya hidup seseorang mempengaruhi keputusannya untuk membeli produk.
2.5.3. Hubungan antara budaya dengan keputusan pembelian
Budaya memiliki pengaruh dalam mengatur perilaku manusia.
Pengambilan keputusan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan budaya dimana ia dibesarkan (Hofstede, 1984). Dalam penelitian ini, penulis mencoba menjelaskan mengenai budaya orang Indonesia berdasarkan teori Hofstede. Teori yang pertama yaitu berdasarkan power distance dimana adanya tingkat ketidaksetaraan di dalam masyarakat. Indonesia termasuk di dalam kebudayaan high power distance, sebagai contoh hubungan antara orang tua dengan anak, guru dengan murid, dan pekerja dengan pemberi kerja memiliki perbedaan status yang jelas. Hubungan antar anggota ini memiliki sifat ketergantungan dan saling mendukung. Mereka akan menaati peraturan dan menghargai orang yang lebih superior dari dirinya.
Budaya high power distance memegang peranan penting dalam keputusan pembelian dimana mereka lebih mentolerir struktur kepemimpinan dan siap menerima perintah berdasarkan susunan hirarki yang sudah ada. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara high power distance terhadap keputusan pembelian. Yang kedua, Indonesia termasuk di dalam kelompok kolektivism dimana mereka lebih cenderung mengikuti kelompok dimana mereka berada.
Mereka sangat saling bergantung antara satu dengan yang lain, memiliki nilai sosial yang berkembang dari identitas kelompok, saling melindungi satu dengan yang lain. Pengaruh budaya kolektivism sangat kuat dalam pengambilan keputusan. Mereka bersedia mengikuti kelompok mereka termasuk dalam hal pengambilan keputusan pembelian. Yang ketiga, kelompok feminim yang lebih mengarah pada kepedulian, kasih sayang, saling bergantung antara satu dengan yang lain, cenderung menghindari konsumsi barang mahal dan status. Budaya feminim mengutamakan nilai kefeminiman seperti atmosfir yang baik, keamanan posisi, dan kondisi fisik. Yang keempat, kelompok low uncertainty avoidance, mereka lebih terbuka terhadap situasi yang tidak diketahui dan mau menerima
Universitas Kristen Petra 17
konsep serta proses yang berbeda. Dengan demikian, mereka lebih siap untuk menanggung resiko dan karena itu, akan lebih bersedia untuk mencoba produk baru (Sian, Chuan, Kai & Chen, 2010).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya mempengaruhi keputusan pembelian konsumen.
2.6. Kerangka Berpikir Bauran Pemasaran:
1. Product 2. Price 3. Promotion 4. Place
Gaya Hidup:
1. Fulfieds/idealist 2. Achivers
3. Experiences/exp lorer
4. Believers/belong er
5. Believers/belong er
Budaya:
1. Power distance 2. Individualism-
collectivism 3. Masculinity-
feminity 4. Uncertainty
avoidance
Keputusan Pembelian Konsumen:
1. Rational 2. Intuitive 3. Dependent 4. Avoidant 5. Spontaneous
Universitas Kristen Petra 18
2.7. Hipotesa
H1: Bauran pemasaran memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian H2: Gaya Hidup memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian H3: Budaya memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian