1. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Sejarah Jalan Raya
Sejarah tentang kemajuan jalan raya berawal dari manusia yang selalu mempunyai keinginan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia dan mencari kebutuhan hidup. Pada awalnya jalan berupa bekas tapak kaki manusia, setelah manusia mulai hidup berkelompok kemudian mulai terbentuk menjadi jalan yang belum rata. Pada akhirnya dipergunakan hewan, kereta atau yang lainnya maka terciptalah awal dibangun jalan yang rata.
Pembangunan jalan Deandles pada zaman kolonial Belanda, yang dibangun dari Anyer di Banten sampai Panarukan di Banyuwangi Jawa Timur menjadi titik mulai majunya sejarah jalan di Indonesia. Pembangunan jalan yang diperkirakan berjarak 1000 km tersebut dikerjakan dengan sistem kerja paksa di akhir abad ke-18. Pembangunan jalan tersebut bertujuan untuk meringankan manusia dalam memindahkan hasil-hasil bumi pada saat tanam paksa dan untuk kepentingan strategis lainnya.
Secara teknis jalan Deandels tersebut belum direncanakan, baik dari segi geometrik maupun perkerasannya. Konstruksi perkerasan jalan mulai mengalamai kemajuan pesat pada zaman kejayaan romawi. Pada zaman romawi menjadi awal dibuatnya jalan yang memiliki bagian-bagian lapis perkerasan. Namun, perkembangan konstruksi perkerasan jalan terhenti dikarenakan hancurnya kejayaan romawi.
Pada abad 18 ditemukan bentuk-bentuk perkerasan jalan oleh para ahli Perancis dan Skotlandia. Perkerasan jalan tersebut merupakan perkerasan yang saat ini biasa diterapkan di Indonesia. Penemuan ini menandai asal mula pertumbuhan kontruksi lapis perkerasan di Indonesia yaitu konstruksi perkerasan macadam dan perkerasan batu belah (Telford).
Pada tahun 1970 kemajuan kontruksi lapis perkerasan di Indonesia mulai berkembang pesat. Pada tahun ini asal mula dijelaskan pembangunan lapis perkerasan jalan secara detail sesuai dengan fungsinya. Sedangkan
untuk perencanaan geometrik jalan diperkenalkan sekitar pertengahan tahun 1960 dan mengalami kemajuan cukup pesat tahun 1980 hingga sekarang.
1.2. Pengertian Jalan
Jalan yaitu sebuah infrastruktur pada angkutan darat yang terdiri dari gedung pelengkap dan perlengkapan jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas dan terletak di muka tanah (atas dan bawah) muka tanah atau air kecuali jalan kabel, jalan lori dan jalan kereta api.
Sedangkan menurut Undang-Undang RI No.22 Tahun 2009 menjelaskan bahwa lalu lintas jalan yaitu semua komponen pada jalan (bangunan pelengkap dan perlengkapannya) yang digunakan untuk lalu lalang kendaraan dan terletak di muka tanah (diatas dan dibawah) muka tanah atau air, kecuali jalan kabel dan jalan rel.
Silvia Sukirman, 1994 mendefinisikan bahwa jalan adalah suatu barisan dan deretan tanah yang berada di atas bumi yang tercipta karena ulah manusia sehingga dapat di lewati oleh makhluk hidup dan kendaraan yang membawa barang dengan cepat dan mudah dari satu tempat ke tempat lain.Adapun dalam peraturan UU jalan raya no.13/1980 di jelaskan bahwa jalan yaitu:
1. Infrastruktur darat yang dalam bentuk apapun yang terdiri dari semua komponen jalan (bangunan pelengkap dan perlengkapannya) yang digunakan untuk lalu lintas.
2. Jalan Umum yaitu suatu jalan yang dilewati oleh hilir mudik kendaraan umum.
3. Jalan Khusus yaitu suatu jalan yang selain jalan umum.
4. Jalan Tol yaitu bagian dari jalan umum yang ketika melewatinya diwajibkan untuk membayar tol.
1.3. Tujuan dan Manfaat Jalan Raya
Pembangunan suatu jalan raya memang mempunyai tujuan yang berguna dan bermanfaat bagi manusia. Adapun tujuan dibangunnya jalan raya adalah:
1. Mempermudah aktivitas darat sehingga menjadi lebih efektif dan efisien.
2. Sebagai alat penghubung jalan dan daerah satu dengan daerah lainnya.
3. Untuk mempermudah aktifitas yang berkaitan dengan jalan raya.
Sedangkan manfaat dibangunnya jalan adalah :
1. Agar hidup masyarakat menjadi lebih aman dan nyaman.
2. Perekonomian warga masyarakat meningkat.
3. Aktifitas manusia lebih mudah dengan dibangunnya jalan raya.
4. Sebagai sarana pembelajaran informal bagi masyarakat.
1.4. Klasifikasi Jalan dan Fungsi Jalan
Seiring dengan pesatnya perkembangan manusia yang menyebabkan berkembangnya jenis, ukuran dan jumlah kendaraan. Hal ini menyebabkan timbulnya permasalahan kemanan, kenyamanan dan kelancaran lalu lintas.
Sehingga diperlukan sebuah pembagian dan pengelompokan jalan. Berikut adalah pengelompokan jalan berdasarkan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Marga no .038/TBM/1997 tentang klasifikasi jalan dan fungsi jalan.
1.4.1. Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan
Penggolongan jalan menurut fungsinya berdasarkan TPGJAK Bina Marga 1997 yaitu :
a. Jalan Arteri yaitu suatu jalan yang mengoperasikan kendaraan utama dengan perjalanan jarak jauh dan kecepatan kendaraan yang tinggi, serta jumlah kendaraan masuk dibatasi secara efisien.
b. Jalan Kolektor yaitu suatu jalan yang mengoperasikan kendaraan (pengumpul/pembagi) yang ditandai dengan perjalanan jarak
sedang, kecepatan rata-rata kendaraan sedang dan jumlah kendaraan masuk dibatasi.
c. Jalan Lokal adalah jalan yang mengoperasikan kendaraan (setempat) ditandai dengan perjalanan jarak dekat, jumlah kendaraan masuk dibatasi.
1.4.2. Penggolongan Menurut Kelas Jalan
Berdasarkan TPGJAK 1997, kelas jalan digolongkan berdasarkan dengan kapabilitas (daya) suatu jalan dalam mendapatkan beban lalu lintas yang dinyatakan dengan Muatan Sumbu Terberat (MST).
Penggolongan tersebut berdasarkan kelas jalan dan hubungannya dengan fungsi jalan. Penggolongan berdasarkan fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Penggolongan Berdasarkan Kelas Jalan
Fungsi Jalan Kelas Jalan Muatan Sumbu Terberat
Arteri
I II III A
>10 10
8
Kolektor III A
III B 8
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan (TCPGJ), Dirjen Bina Marga 1997.
1.4.3. Penggolongan Menurut Medan Jalan
Kondisi medan jalan juga berpengaruh terhadap klasifikasi jalan.
Dengan mengukur kemiringan yang diukur sejajar dengan garis kontur. Penggolongan jalan menurut medan jalan terdapat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Penggolongan Berdasarkan Medan Jalan No Jenis Medan Kemiringan Medan (%) Notasi
1 Datar <3 D
2 Perbukitan 3-25 B
3 Pegunungan >25 G
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997.
1.4.4. Klasifikasi Menurut Sistem Jaringan
1. Jalan primer yaitu bentuk hubungan suatu jalan yang memiliki tugas untuk mendistribusikan (materi dan jasa) guna peningkatan ke semua daerah dalam skala nasional.
2. Jalan sekunder adalah sitem jaringan jalan yang mempunyai peran mendistribusikan (materi dan jasa) untuk rakyat dalam skala perkotaan.
1.4.5. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan
a. Jalan Nasional terdiri dari jalan arteri primer, jalan kolektor primer yang menyambungkan ibu kota provinsi, jalan tol dan jalan yang memiliki arti penting untuk keperluan nasional. Pengesahan status jalan nasional dilakukan oleh Keputusan Menteri.
b. Jalan Provinsi terdiri dari jalan kolektor primer yang menyambungkan kabupaten atau kota, ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten atau kota, dan jalan yang memiliki arti penting untuk keperluan provinsi. Pengesahan status dilakukan oleh Keputusan Mendagri atas usul Gubernur yang bersangkutan.
c. Jalan Kabupaten atau Kotamadya terdiri dari jalan lokal primer yang menyambungkan kabupaten dengan kecamatan, kabupaten dengan desa, antar kecamatan dan antar desa.
d. Jalan Kota terdiri dari jaringan jalan sekunder di dalam kota.
e. Jalan Desa terdiri dari jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan primer dan jalan umum yang menyambungkan wilayah antar wilayah di suatu pedesaan.
1.5. Parameter Perencanaan Geometrik Jalan
Dalam sebuah perencanaan pembuatan sebuah jalan. Diperlukan sebuah tolak ukur agar nantinya jalan yang dihasilkan bisa sesuai dengan standar jalan bagi manusia. Adapun Parameter yang digunakan untuk
menghasilkan jalan yang sesuai standar Bina Marga adalah Kendaraan Rencana, Volume Lalu Lintas, Jarak Pandang dan Tingkat Pelayanan Jalan.
1.5.1. Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana yaitu kendaraan yang dibuat guna merancang sebuah jalan dan merupakan wakil dari kelompoknya. Dalam perencanaan geometrik jalan menjelaskan banwa skala lebar suatu kendaraan rencana akan berdampak pada lebar lajur yang dibutuhkan.
Perencanaan tikungan juga dipengaruhi oleh sifat membeloknya suatu kendaraan dan lebar median yang mana suatu mobil diperbolehkan untuk berbelok (U turn).
Menurut Dirjen Bina Marga (1997), kendaraan rencana dikelompokkan kedalam 3 kategori, yaitu:
1. Kendaraan Kecil yang diwakili oleh mobil penumpang.
2. Kendaraan Sedang yang diwakili oleh truk dan bus.
3. Kendaraan Besar yang diwakili oleh truk-semi-trailer.
Gambar 2.1, 2.2, dan 2.3 dibawah ini menggambarkan dimensi dan tipe kendaraan rencana menurut oleh Bina Marga.
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan No.038/TBM/1997
Gambar 2.1 Dimensi Kendaraan Kecil
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan No.038/TBM/1997
Gambar 2.2 Dimensi Kendaraan Sedang
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan No.038/TBM/1997
Gambar 2.3 Dimensi Kendaraan Besar
Sedangkan Ukuran kendaraan rencana dikelompokkan dalam tabel 2.3.
Tabel 2.3 Ukuran Kendaraan Rencana
Jenis kendaraan
Rencana
Dimensi kendaraan Rencana (cm)
Radius
Putar Tonjolan (cm) Radius Tonjolan
(cm) P L T Min Max Depan Blkng
Kendaraan
Kecil 580 210 130 420 730 90 150 780 Kendaraan
Sedang 1210 260 410 740 1280 210 240 1410 Kendaraan
Besar 2100 260 410 290 1400 120 90 1370 Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997.
1.5.2. Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana (VR) di suatu ruas jalan yaitu suatu kelajuan yang digunakan sebagai patokan untuk perencanaan geometrik jalan yang membuat kendaraan bergerak dengan aman, nyaman, pada cuaca yang cerah, dan pengaruh samping jalan tidak berarti pada suatu kendaraan, (Bina Marga, 1997). Adapun untuk kecepatan rencana dibatasi dan diambil bilangan yang paling rendah. Karena dimaksud untuk memberikan kebebasan samping yang disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dan menetapkan kecepatan rencana yang paling tepat bagi perencanaan suatu jalan agar dicapai kepasitas jalan yang paling tinggi. Adapun pembagian Kecepatan rencana sesuai klasifikasi fungsi dan Medan Jalan terdapat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Kecepatan Rencana (Vr)
Fungsi Jalan Kecepatan Rencana , Vr (km/Jam) Datar Pegunungan Bukit
Arteri 70-120 40-70 60-80
Kolektor 60-90 30-50 50-60
Lokal 40-70 20-30 30-50
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997.
1.5.3. Lalu Lintas Harian Rata-Rata
Volume Lalu Lintas yaitu jumlah angkutan yang melalui suatu titik atau garis tertentu pada suatu penampang melintang jalan. Menurut Silvia Sukirman (1994), volume lalu lintas menunjukan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit).
Jenis kendaraan dalam perhitungan ini ada 3 macam yaitu : 1. Kendaraan Ringan (Light Vechicles = LV) yaitu indikator atau
penanda bagi angkutan bermotor dengan 4 roda (mobil penumpang).
2. Kendaraan berat (Heavy Vechicles = HV) yaitu indikator atau penanda bagi angkutan bermotor dengan roda lebih dari 4 seperti Bus, truk 2 gandar, truk 3 gandar dan kombinasi yang sesuai, 3. Sepeda motor (Motorcycle = MC) yaitu indikator atau penanda bagi
angkutan bermotor roda 2. Angkutan tak bermotor sepeda, becak dan kereta dorong.
1.6. Perencanaan Geometrik Jalan Raya
Geometrik jalan yaitu suatu gambaran jalan raya yang memproyeksikan tentang bagian jalan raya seperti penampang melintang dan memanjang
jalan raya, maupun yang berhubungan dengan tampak fisik jalan raya tersebut. Sedangkan perencanaan geometrik jalan yaitu sebuah perancangan arah dari suatu jalan secara detail yang meliputi berbagai komponen yang dicocokan dengan data- data yang t e rs edi a dari hasil survey lapangan dan telah dianalisis, serta mengacu pada ketentuan yang berlaku (Shirley L.
Hendarsin). Tujuan utama dari perancangan jalan raya adalah dihasilkan jalan yang aman, nyaman dan efisien. Dalam merencanakan sebuah jalan ada 2 elemen yang penting yakni alinyemen horisontal dan alinyemen vertikal.
2.6.1 Alinyemen Horisontal
Alinyemen horisontal yaitu sebuah situasi jalan atau gambaran jalan pada bidang horisontal (trase jalan). Terdiri dari bagian lurus yang dihubungkan dengan tikungan atau bagian lengkung. Hal ini dimaksud agar dapat menyamai gaya sentrifugal yang didapat oleh kendaraan saat berjalan pada kecepatan rencana (Vr).
Tabel 2.5 Panjang Potongan lurus
Fungsi Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Datar Bukit Gunung
Arteri Kolektor
3000 2500 2000
2000 1750 1500
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997.
Alinyemen horisontal terdiri dari beberapa bagian yaitu : 2.6.1.1 Superelevasi
Superelevasi yaitu kemiringan melintang di kelokan yang berguna menyamai gaya sentrifugal yang didapatkan oleh suatu kendaraan pada saat melewati kelokan pada kecepatan rencana (Vr), selain itu juga diperlukan gaya gesek antara permukaan jalan dengan ban. Superelevasi akan menjadi semakin besar jika bagian berat kendaraan yang didapatkan besar pula. Nilai super elevasi maksimum ditetapkan 10%.
Pada sebuah jalan yang lurus dibutuhkan elevasi yang tepat khususnya untuk mengantisipasi air hujan yang mengaliri jalan tersebut. Elevasi biasa menggunakan istilah en dengan nilai
2%. Harga elevasi yang berdampak pada naiknya elevasi terhadap sumbu jalan diberi simbol (+) sedangkan yang turun nilai elevasinya terhadap jalan diberi simbol (-).
Superelevasi umumnya digambarkan menggunakan diagram yang disebut diagram superelevasi. Semua nilai-nilai yang terdapat ditikungan di gambarkan melalui diagram superelevasi.
Superelevasi maksimum dibatasi dengan beberapa keadaan seperti keadaan cuaca seringnya terjadi hujan, berkabut dan juga dipengaruhi intensitas jumlah salju yang turun di wilayah yang mempunyai 4 musim. Superelevasi maksimum menjadi lebih rendah apabila terjadi di wilayah yang sering hujan, berkabut dan sering turun salju. Superelevasi di pilih lebih tinggi pada daerah datar superelevasi daripada di daerah berbukit dan pegunungan.
Menurut Silvia Sukirman (1999), besarnya lengkung horisontal dapat diketahui melalui rumus :
e + f =
dengan Rmin =
………...(2.1) D =
x 360° atau Dd = ………..(2.2) Keterangan :
e = Superelevasi (%) R = Jari-jari lengkung (m) D = Derajat Lengkung (°)
f = Koefisien gesek untuk perkerasan aspal ( f = 0,14-0,24) Vr = Kecepatan Rencana (km/jam)
Tabel 2.6 Besarnya R Minimum dan D Maksimum Untuk Beberapa Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana km/jam
E maks
m/ m’ fmaks
R min (perhitungan)
(m)
40 0,10 0,166 47,363
0,08 51,213
50 0,10 0,160 75,858
0,08 82,192
60 0,10 0,153 112,041
0,80 121,659
70 0,10 0,147 156,522
0,08 170,343
80 0,10 0,140 209,974
0,08 229,062
90 0,10 0,128 280,350
0,80 307,371
100 0,10 0,115 366,233
0,80 403,796
110 0,10 0,103 470,497
0,80 522,058
120 0,10 0,090 596,768
0,80 666,975
Sumber : Dasar-dasar perencanaan geometrik jalan, Silvia Sukirman .
Adapun untuk menghitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan koefisien gesekan maksimum adalah :
Fmak = 0,192 – ( 0,00065 x Vr) ………...(2.3)
Rmin =
……….…...(2.4) D max =
……….…....(2.5)
Keterangan :
Rmin = Jari-jari tikungan minimum (m) Vr = Kecepatan rencana (Km/jam) Emak = Superelevasi maksimum (%)
Fmax = Koefisien gesekan melintang maksimum Dmak = Derajat maksimum
Karena pertimbangan perencanaan maka digunakan emak = 10 % dan untuk jari-jari minimum serta kecepatannya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.7 Panjang Jari-Jari Minimum (dibulatkan) Untuk e mak = 10%
VR(km/jam) 120 100 90 80 60 50 40 30 20 Rmin (m) 600 370 280 210 115 80 50 30 15
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997.
Adapun Diagram elevasi adalah Cara yang dilakukan untuk menggambarkan superelevasi yang dicapai secara bertahap pada bagian jalan lurus ke superelevasi pada bagian tikungan. Jenis tikungan akan mempengaruhi bentuk diagram superelevasi.
a. Diagram Superlevasi Full Circle (FC)
Sumber : Geometrik Jalan Perkotaan SNI T-14-2004
Gambar 2.4 Diagram Superelevasi Full Circle.
Untuk mencari kemiringan pada titik X :
= ……….…(2.6)
Jika x diketahui maka kemiringan pada titik x adalah y – en ; sebaliknya juga untuk mencari jarak x jika y diketahui.
b. Diagram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral (SCS)
Sumber : Geometrik Jalan Perkotaan SNI T-14-2004
Gambar 2.5 Diagram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral (SCS) c. Diagram Superelevasi Spiral-Spiral (SS)
Sumber : Geometrik Jalan Perkotaan SNI T-14-2004
Gambar 2.6 Diagram Superelevasi Spiral-Spiral (SS) b. Jari-Jari tikungan
Jari-jari tikungan adalah harga batas dari ketajaman suatu tikungan untuk suatu kecepatan rencana (Vr). Pada saat sebuah kendaraan melewati sebuah belokan dengan kecepatan tertentu maka kendaraan
tersebut akan mendapatkan gaya sentrifugal yang dapat mempengaruhi kestabilan kendaraan tersebut. Untuk menyamai gaya sentrifugal tersebut, diperlukan suatu kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi (e).
Tabel 2.8 Panjang Jari-Jari Minimum Tikungan Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan
VR(km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997.
c. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung yang dibulatkan diantara bagian lurus jalan, dan bagian belokan jalan dengan jari-jari, yang berguna untuk memprediksi perubahan alinyemen jalan yang berbentuk lurus (R tidak terhingga) sampai bagian lengkung jalan dengan jari-jari R, sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan dapat berubah secara berangsur- angsur, baik kendaraan ketika mendekati maupun meninggalkan tikungan. Supaya perubahan gaya sentrifugal dan kemiringan berubah secara teratur maka perlu Panjang spiral sedemikian rupa sehingga menjamin keamanan dan kenyamanan. Panjang legkung peralihan (Ls) dan pencapaian superelevasi (Lc).
Adapun macam-macam lengkung peralihan dibagi menjadi : 1. Bentuk lengkung Full Circle (F-C)
Lengkung full circle atau biasa disebut dengan bentuk busur lingkaran adalah salah satu jenis belokan yang berbentuk lingkaran. Namun tikungan ini hanya diterapkan pada belokan yang memiliki jari-jari besar, karena jari-jari yang kecil dibutuhkan superelevasi yang besar. Berikut adalah gambar dari lengkung Full Circle.
Sumber : Sukirman, S . Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan 1999
Gambar 2.7 Lengkung Full Circle (FC) Dirumuskan sebagai berikut:
Tc = Rc Tan
½
Δ ……….….. (2.7) EC = TC tan¼
Δ ……….…(2.8)LC = Δ 2 π ……….…..(2.9)
Keterangan:
Δ = Sudut tikungan O = Titik pusat lingkaran
Tc = Panjang tangen jarak dari Tc ke PI atau PI ke TC Rc = Jari-jari lingkaran
Lc = Panjang busur lingkaran
Ec = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran
Karena hanya terdiri dari lengkung sederhana saja, maka perlu adanya lengkung peralihan fiktif (Ls`) untuk mengakomodir perubahan superelevasi secara bertahap. Bina marga menempatkan ¾ Ls` pada bagian lurus dan ¼ Ls` pada bagian lengkung.
2. Bentuk Lengkung Spiral - Circle - Spiral (SCS)
Lengkung Spiral- Circle – Spiral (SCS) yaitu belokan yang berupa lengkungan (Circle) yang berjari-jari tetap R yang disisipkan ke bentuk peralihan (Spiral). Lengkung ini berfungsi untuk kendaraan berjalan atau melewati tikungan, gaya sentrifugal pada kendaraan tersebut berubah secara berangsur-angsur karena perubahan alinyemen jalan dari bagian lurus (R tak hingga) sampai bagian jalan berjari-jari R. Oleh karena hal tersebut lengkung ini menggunakan jenis lengkung Spiral-Circle-Spiral (SCS). Adapun menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) 1997, panjang lengkung peralihan (Ls) diambil nilai terbesar dari tiga persamaan berikut:
a. Berdasarkan waktu tempuh maksimum yakni 3 detik, dan kecepatan rencana (Vr) , maka panjang lengkungnya adalah:
Ls =
………..……...(2.10)
b. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, maka digunakan rumus modifikasi Short yaitu :
Ls =
-2,727 ……….…...(2.11) c. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian :
Ls =
……….……..(2.12)
Keterangan:
T = Waktu tempuh 3 detik Rc = Jari-jari lingkaran (m)
C = Perubahan percepatan (0,3-1,0) disarankan 0,4 m/detik e = Superelevasi ( % )
emak = Superlevasi maksimum (%) en = Superlevasi normal (%)
Re = tingkat perubahan kelandaian melintang jalan Dengan ketentuan sebagai berikut :
Vr ≤ 70 km/jam, re mak = 0,035 m/det
Vr ≥ 80 km/jam, re mak = 0,025 m/det
d. Berdasarkan Landai Relatif rumusnya adalah :
Ls = B x m x e………...(2.13) Keterangan :
1/m = Landai relatif
B = Lebar jalur 1 arah (m) E = Superelevasi ( m/m’)
Sumber : Sukirman , S,. Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan 1999)
Gambar 2.8 Lengkung Spiral -Circle-Spiral (SCS) Keterangan :
Xs = Absis titik SC pada garis tangen yaitu jarak titik TS ke SC
Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak urus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik SC pada lengkung.
Ls = Panjang lengkung peralihan (Panjang dari titik TS ke CS atau titik CS ke ST)
Lc = Panjang busur lingkaran (Panjang dari titik SC ke CS) TS = Panjang tangen dari titik P1 ke titik TS atau ke titik ST SC = titik dari spiral ke lingkaran
Es = Jarak dari P1 ke busur lingkaran Øs = sudut lengkung spiral
Rc = Jari-jari lingkaran
P = Pergeseran tangen terhadap spiral K = Absis dari P pada garis tangen spiral.
Adapun rumus-rumus yang digunakan untuk menentukan sudut spiral (Øs), sudut Lengkung (Øc) dan Lengkung circle (Lc) yaitu :
Øs =
………..……..(2.14)
Øc = β - (2 x Øs)………..….….(2.15) Lc =
x π x Rc………...…(2.16) Sedangkan syarat untuk alinyemen horisontal jenis Spiral Circle Spiral (SCS) yaitu :
Øc > 0°
Lc > 20 m
Xs = Ls( (
))………...…...…(2.17)
Ys
=
………..……….……( 2.18)
P =
- Rc (1-cos Øs)……….….…..(2.19) K = Ls-
- Rc x sin Øs ……….…(2.20) Ts = ( Rc + P) x tan
½
β + K……….(2.21) Øs =……….….…..(2.22)
Es =
- Rc………...………...(2.23)
Masing-masing konstanta akan diperhitungkan lebih lanjut, dan Panjang total yang dipergunakan dalam jenis tikungan S-C-S adalah:
Ltotal = Lc + 2 Ls………...………(2.24)
Jika diperoleh Lc < 25 meter, maka disarankan untuk tidak menggunakan tikungan jenis S-C-S, akan tetapi lebih baik menggunakan tikungan jenis Spiral-spiral (SS) karena jenis tikungan ini terdiri dari dua lengkung peralihan.
3. Bentuk Lengkung Spiral – Spiral (SS)
Lengkung Spiral-Spiral (SS) yaitu sebuah lengkung yang terdiri dari dua bentuk peralihan (Spiral) saja tanpa adanya lengkungan (circle). Jenis tikungan ini biasanya terletak pada jalan yang memiliki kecepatan tinggi. Lengkung peralihan ini juga berfungsi untuk menjaga gaya sentrifugal kendaraan yang masuk atau melewati tikungan yang dapat terjadi secara terus menerus dan tidak mendadak, maka dipergunakan Lc > 20 meter. Jenis tikungan spiral-spiral ini biasanya terletak pada tikungan tajam.
Sumber : Sukirman, S., Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan 1999
Gambar 2.9 Lengkung Spiral -Spiral (SS)
Adapun lengkung jenis Spiral-Spiral berlaku rumus sebagai berikut:
Lc = 0, dan c = ½β……….( 2.25)
Ltotal = 2 Ls……….…....(2.26)
Untuk menentukan Øs dapat menggunakan rumus:
Ls =
………..(2.27)
Sedangkan rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Xs = Ls
( (
))
………(2.28) Ys =………..………(2.29)
P =
- Rc x(1- cos Øs)………..…(2.30) K = Ls -
- Rc x sin Øs ……….(2.31) Ts = ( Rc+p) x tan
½β
+ k ……….…...(2.32) Es =– Rc ……….….(2.33) Untuk control perhitungan lengkung Spiral-Spiral (SS) yaitu:
Ts > Ls
1.6.2. Alinyemen Vertikal
Alinyemen Vertikal yaitu sebuah proyeksi potongan bagian vertikal dengan bagian permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan atau gambaran sumbu jalan pada bagian vertikal yang melalui sumbu jalan. Alinyemen vertikal juga disebut sebagai penampang memanjang jalan yang terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal.
Rumus yang digunakan untuk menetukan alinyemen vertikal adalah : G =
x 100 %...(2.34)
A = g2-g1………..(2.35)
Ev =
………...(2.36)
Y =
……….…..(2.37)
Keterangan :
G = Kelandaian
A = Perbedaan Kelandaian
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV (Pusat Perpotongan Vertikal ) ke bagian lengkung
Y = Persamaan lengkung vertikal X = Panjang ¼ Lv
Perhitungan Panjang Lengkung Vertikal (PLV) menurut Dasar- Dasar Perencanaan Geometrik Jalan, Silvia Sukirman dihitung berdasarkan:
1. Syarat Keluwesan bentuk
Lv = 0,6 x Vr……….…..(2.38) 2. Syarat Drainase
Supaya drainase tidak terganggu,maka Panjang lengkung vertikal disyaratkan Lv = 50 A.
Lv = 50 x A ………..………..(2.39) 3. Kebutuhan Kenyamanan Perjalanan
Disyaratkan Panjang lengkung yang diambil untuk perencanaan tidak kurang dari 3 detik perjalanan.
Lv = 3 x
………..……….…..(2.40)
4. Syarat Goncangan Lv =
……….…..(2.41)
a. Landai Vertikal
Landai vertikal terbagi menjadi tiga macam yaitu : 1. Landai Positif (Tanjakan)
2. Landai Negatif (Turunan) 3. Landai nol (datar)
Landai maksimum diperlukan supaya kendaraan bias selalu bergerak dengan kecepatan yang konstan. Adapun kelandaian maksimum yang diijinkan seperti pada tabel 2.9.
Tabel 2.9 Kelandaian maksimum Yang Diijinkan.
Vr (km/jam) 120 110 90 80 60 50 40 <40
Kelandaian
Maksimum 3 3 4 5 8 9 10 10
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997.
Selain kelandaian maksimum, ada hal lain yang harus diperhatikan yakni panjang kritis. Panjang kritis yaitu suatu panjang landai maksimum yang diperlukan oleh sebuah kendaraan agar dapat tetap mempunyai kecepatan yang stabil atau tidak lebih dari separuh Vr. Lama kecepatan tersebut ditetapkan maksimum satu menit. Panjang Kritis ditentukan seperti tabel 2.10.
Tabel 2.10 Panjang Kritis (meter) Kecepatan Pada Awal
Tanjakan (km/jam)
Kelandaian (%)
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 370 230 230 220
60 320 210 160 120 110 90 80
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997.
b. Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal hendaknya merupakan lengkung parabola sederhana. Lengkung bertujuan untuk menyediakan jarak pandang henti dan untuk meminimalisir goncangan akibat kelandaian yang berubah. Adapun penentuan lengkung vertikal adalah sebagai berikut:
1. Apabila jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung, maka dinyatakan :
L =
……….………….(2.42)
2. Apabila Jarak Pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung, maka panjangnya dinyatakan dengan rumus :
L = ……….………….(2.43)
3. Apabila Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus :
L = A.y ……….………….(2.44)
L =
……….………….(2.45)
Keterangan :
L = Panjang lengkung vertikal (m) A = Perbedaan aljabar landau
Y = factor penampilan kenyamanan, berdasarkan tinggi obyek 10 cm, dan tinggi mata 120 cm.
JPH = jarak pandang henti (m)
2.6.2.1 Lengkung Vertikal Cekung
Lengkung vertikal cekung adalah lengkung yang saat terjadi perpotongan dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
Gambar 2.9 Lengkung vertikal Cekung
Sumber : geometrik Jalan Perkotaan SNI T -14 – 2004
Keterangan :
PLV = Titik awal lengkung parabola
PV1 = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2 G = Kemiringan tangen (+) naik, (-) turun A = Perbedaan aljabar landai (g1-g2) %
EV = Pergeseran vertikal titik tengah bear lingkaran (PV1-m) meter
Lv = Panjang lengkung vertikal V = Kecepatan rencana (Km/jam) 2.6.2.2 Lengkung Vertikal Cembung
Lengkung vertikal cembung adalah lengkung saat adanya perpotongan dimana titik perpotongan antara kedua tangen tersebut berada di atas permukaan jalan.
Gambar 2.10 Lengkung vertikal Cembung
Sumber : geometrik Jalan Perkotaan SNI T -14 – 2004
Keterangan :
PLV = Titik awal lengkung parabola
PV1 = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2 G = Kemiringan tangen (+) naik, (-) turun A = Perbedaan aljabar landau (g1-g2) %
EV = Pergeseran vertikal titik tengah bear lingkaran (PV1- m) meter
Lv = Panjang lengkung vertikal Jph = Jarak pandang henti (m) H1 = Tinggi mata pengaruh (m) H2 = Tinggi halangan (m)
Selain lengkung vertikal dan landai vertikal perlu juga disediakan lajur pendakian. Lajur pendakian digunakan untuk menampung kendaraan yang bermuatan berat, atau digunakan untuk kendaraan yang berjalan lebih lambat daripada kendaraan lainnya, maka perlu di sediakan lajur pendakian agar kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan arus lajur
berlawanan. Lajur pendakian harus disediakan pada arus jalan yang memiliki kelandaian yang besar, menerus dan jumlah lalu lintas relatif padat. Lebar jalur pendakian sama dengan lajur rencana dengan jarak minimum antara dua lajur pendakian yaitu 1,5 km. Adapun ketentuan untuk penempatan lajur pendakian adalah disediakan pada jalan arteri atau kolektor dan apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR >
15000 smp/hari dan presentasi truck > 15 %.
1.7. Jarak Pandang
Jarak Pandang yaitu suatu jarak yang dibutuhkan untuk seorang pengemudi kendaraan pada saat mengemudikan kendaraannya, sehingga jika melihat suatu hambatan yang membahayakan, pengemudi dapat menghindari bahaya tersebut agar aman.
Menurut Silvia Sukirman, 1997 : 50-51 manfaat jarak pandang adalah : a. Menghindari terjadinya kecelakaan yang bisa mencelakakan
manusia dan kendaraan, akibat adanya kendaraan yang sedang berhenti, pejalan kaki, ataupun hewanyang sedang melintas.
b. Adanya kemungkinan untuk mendahului kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan lebih rendah dengan menggunakan lajur di sebelahnya.
c. Volume pelayanan dapat dicapai secara maksimal dikarenakan bertambahnya efisiensi jalan.
1.7.1. Jarak Pandangan Henti
Jarak Pandang Henti (Jph) yaitu suatu jarak minimum yang dibutuhkan oleh seorang pengemudi kendaraan untuk menghentikan kendaraanya dengan aman ketika mengetahui adanya bayangan dan halangan di depannya. Oleh karena itu disetiap jalan harus memenuhi Jarak Pandang Henti (jph).
Jarak Pandang Henti dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Jph =
x T +
……….(2.38)
Keterangan :
Jph = Jarak pandang henti ( m ) Vr = Kecepatan rencana ( Km/jam) T = Waktu tanggap ( 2,5 detik ) G = Percepatan gravitasi ( 9,8 m/det²)
F = Koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal (0,35-0,55) Untuk jalan dengan kelandaian tertentu (Rekayasa Jalan Raya, Gunadarma, 1997)
Jph = 0,278 x Vr x T +
……….(2.39)
Keterangan :
Jph = Jarak pandang henti (m) Vr = Kecepatan rencana (km/jam) T = Waktu tanggap (2,5 detik) G = Landai jalan dalam (%)
Tabel dibawah ini berisi jarak pandang henti minimum yang dihitung berdasarkan persamaan (2.2) dan (2.3) dengan pembulatan-pembulatan untuk berbagai Vr.
Tabel 2.11 Jarak Pandang Henti (Jph) Minimum Vr
(Km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jph minimum
(m)
250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997
Adapun jarak pandang henti dibagi menjadi 2 elemen jarak yaitu:
1. Jarak Tanggap (Jht) yaitu suatu jarak yang diperlukan oleh kendaraan ketika pengemudi melihat sebuah kendala yang menyebabkan dia harus berhenti dan menginjak rem. Jarak tanggap juga disebuat sebagai jarak PIEV (Perception, intellection ,emotion, dan vilition).
2. Jarak Pengereman (Jhr)
Jarak pengereman adalah sebuah jarak yang diperlukan untuk menghentikan sebuah kendaraan sejak pengemudi menginjak rem dan berhenti.
1.7.2. Jarak Pandang Mendahului (Jd)
Jarak Pandang mendahului yaitu suatu jarak yang memungkinkan sebuah kendaraan mendahului kendaraan lain didepannya sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula dengan aman. Daerah mendahului ini seharusnya disebar disepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas jalan tersebut.
Jarak pandang mendahului dapat dirumuskan sebagai berikut : Jd = d1+d2+d3+d4 ……….(2.40)
Keterangan :
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap.
d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur semula.
d3 = Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yan datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m) d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang daari arah
berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 2/3.d2 (m) Tabel 2.12 Panjang Jarak Mendahului (Jd) Minimum Kecepatan
Rencana (km/jam)
20 30 40 50 60 50 40 30 20
Jd min 100 150 200 250 350 250 200 150 100
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997
Rumus yang digunakan :
d1 = 0,278 x Ti x ( )………..…….(2.41) d2 = 0,278 x Vr x T2 ……….…..….(2.42) d3 = antara 30-100 m………....….(2.43)
d4 = x d2………....….(2.44)
Keterangan :
A = Percepatan rata-rata ( km/jam/dtk)
T1 = Waktu (dtk)
T2 = Waktu kendaraan berada dijalur lawan (dtk)
M = Perbedaan kecepatan antara kendaraan menyiap dengan kendaraan yang disiap ( biasanya diambil 10-15 km/jam)
1.8. Volume Lalu Lintas
Volume Lalu Lintas yaitu besarnya jumlah kendaraan yang melintas pada sebuah jalan yang melewati titik pada jalur tertentu dalam suatu periode pengamatan. Perhitungan volume lalu lintas ini dalam satuan kendaraan persatuan waktu.
Permasalahan lebar jalan dapat mencipatakan keamanan dan keamanan namun bisa saja menyebabkan kecelakaan, karena pengemudi cenderung akan mengemudikan kendaraanya dengan kecepatan tinggi apabila pada jalan yang lebar padahal kondisi jalan tersebut belum tentu baik. Selain itu kurang ekonomisnya biaya untuk pembangunan jalan.
Adapun satuan volume lalu lintas yang biasa dipergunakan terkait dengan penentuan jumlah dan lebar lajur yaitu Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) yang dinyatakan dalam smp/hari.
Karena VLHR merupakan volume lalu lintas dalam satu hari, maka untuk menghitung volume lalu lintas dalam satu jam perlu dikonversikan menjadi :
VJR = VLHR X K ……….….(2.45)
Keterangan :
VJR = Volume Jam rencana
VLHR = Volume lalu intas harian rata-rata (smp/hari) K = faktor volume lalu lintas jam sibuk (11%) 2.8.1 Kecepatan
Kecepatan yaitu besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh suatu kendaraan dibagi dengan waktu tempuh kendaraan tersebut. Besarnya dinyatakan dengan km/jam. Umumnya kecepatan yang dipilih pengemudi lebih rendah dari kemampuan kecepatan yang kendaraan.
Kecepatan yang aman dapat diukur berdasarkan kemampuan untuk mengatasi stuasi dan kondisi yang dapat menyebabkan kecelakaan.
a. Kecepatan Rencana (Vr)
Kecepatan Rencana yaitu suatu kelajuan yang dijadikan sebagai dasar perencanaan geometrik suatu ruas jalan yang bisa menyebabkan kendaraan-kendaraan beroperasi dengan aman dan lancar.
Tabel 2.13 Kecepatan Rencana (Vr)
FUNGSI Kecepatan Rencana (Vr) (km/jam)
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70-120 60-80 40-70
Kolektor 60-90 50-60 30-50
Lokal 40-70 30-50 20-30
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997
b. Kecepatan rata-rata
Kecepatan rata-rata diperoleh membagi panjang segmen yang dilalui suatu jenis kendaraan dengan waktu yang dibutuhkan untukmelewati segmen tersebut.
Kecepatan rata-rata dari suatu kendaraan dapat dihitung dengan rumus :
V = ………..(2.46)
Keterangan :
V = Kecepatan rata-rata kendaraan (m/dt atau dikonversikan menjadi km/jam)
L = Panjang Segmen T = Waktu tempuh
2.8.2 Kapasitas Jalan
Kapasitas jalan yaitu arus maksimal yang selalu bertahan dengan kondisi yang ada dalam persatuan jam dan melewati suatu titik di jalan. (MKJI,1997).
Kapasitas jalan dipengaruhi oleh kapasitas dasar, pemisahan arah, lebar jalan, dan hambatan samping.
a. Kapasitas Dasar (Co)
Kapasitas Dasar dipengaruhi oleh tipe alinyemen dasar jalan luar kota.
b.Faktor Penyesuaian Kapasitas Lebar Jalur Lalu Lintas (Fcw).
Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas tergantung lebar efektif jalur lalu lintas (Wc), faktor penyesuaian tersebut (Fcw) dapat dilihat dalam table berikut ini :
Tabel 2.14 Faktor penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (Fcw).
Fcw Lebar efektif Jalur lalu lintas (Wc), (m)
Tipe Jalan Perlajur
Empat Lajur Terbagi Enam Lajur Terbagi
0,91 3.00
0,96 3.25
1,00 3.50
1,03 3.75
Perlajur
0,91 3.00
Empat Lajur Tak Terbagi
0,96 3.25
1,00 3.50
1,03 3.75
Total kedua arah
0,69 5
Dua Lajur Tak Terbagi
0,91 6
1,00 7
1,08 8
1,15 9
1,21 10
1,27 11
12
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997
c. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah (FCsp) Faktor penyesuaian ini hanya dilakukan pada jalan tak terbagi.
Faktor pemisah arah untuk jarak dua lajur dua arah (2/2) dan 4 lajur 2 arah (4/2) tak terbagi dapat dilihat pada tabel 2.14.
Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah (FScp)
Pemisahan Arah SP
%-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
FScp Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 Empat lajur 4/2 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997
d. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCsf) Faktor penyesuaian akibat hambatan samping didasarkan pada lajur efektif bahu Ws, dapat dilihat pada table dibawah ini :
Tabel 2.16 Faktor penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCsf)
Tipe Jalan
Faktor Hambatan
Samping
Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCsf)
Lebar Bahu Efektif Ws (m)
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2
4/2 D
VL 0,99 1,00 1,01 1,03
L 0,96 0,97 0,99 1,01
M 0,93 0,95 0,96 0,99
H 0,90 0,92 0,95 0,97
VH 0,88 0,90 0,93 0,96
2/2 UD 4/2 UD
VL 0,97 0,99 1,00 1,02
L 0,93 0,95 0,97 1,00
M 0,88 0,91 0,94 0,98
H 0,84 0,87 0,91 0,95
VH 0,83 0,83 0,88 0,93
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Dirjen Bina Marga 1997
1.9. Daerah Bebas Samping Tikungan
Daerah bebas samping ditikungan adalah sebuah daerah untuk menjamin kebebasan pandang di tikungan sehingga Jph dipenuhi. Tujuan dari daerah bebas samping tikungan ini adalah untuk memberikan suatu kejelasan dan kemudahan kepada pengemudi ketika memandang pada saat melewati tikungan dan dapat membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh E (m), yang diukur dari garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jph apat terpenuhi.
Gambar 2.10 Daerah bebas samping di tikungan
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar, Dirjen Bina Marga 1997
Perhitungan daerah bebas samping ditikungan dihitung berdasarkan rumus : a. Jika Jph < Lt
E = R x ( (
))……….…..(2.47)
Keterangan :
E = Daerah bebas samping tikungan (m) R = Jari-jari tikungan (m)
Jph = Jarak pandang henti (m) Lt = Panjang tikungan (m) b. Jika Jph > Lt
E = R’ x ( (
)) ……….…..(2.48) Keterangan :
E = Daerah bebas samping tikungan (m) R = Jari-jari tikungan (m)
Jph = Jarak pandang henti (m) Lt = Panjang tikungan (m)
2.10 Pelebaran Pada Tikungan
Pelebaran pada sebuah tikungan diperlukan agar kendaraan tetap berada di lajurnya. Sehingga ketika kendaraan bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan bisa tetap pada lintasannya. Hal ini dikarenakan pada waktu kendaraan membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur. Guna meminimalisir hal
tersebut maka diperlukan pelebaran pada tikungan-tikungan yang tajam.
Adapun pelebaran tikungan ini merupakan faktor dari kecepatan kendaraan, jari-jari lengkung, jenis dan ukuran kendaraan rencana yang digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik jalan.
Pelebaran pada tikungan jalan di rumuskan sebagai berikut :
b” = Rd-√ ……….…….…..(2.49)
b = b + b’……….……….…...…………...(2.50)
Td = √ ……….…...…..(2.51) Z = 0,105 x
√ ……….………….….(2.52)
B = n (b’+c)+ (n-1)Td + Z ………....(2.53)
E = B – W……….…...(2.54)
Keterangan :
Rd = Jari-jari rencana (m)
B = Lebar perkerasan pada tikungan Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan W = Lebar perkerasan
B’ = Lebar lintasan kendaraan pada tikungan C = Kebebasan samping ( 0,8 )
E = Pelebaran perkerasan N = Jumlah lajur lintasan
2.11 Penelitian Yang Relevan
Penelitian terdahulu tentang Evaluasi Kinerja Jalan ditinjau dari Aspek Alinyemen Horisontal dan Alinyemen Vertikal menjadi dasar acuan untuk membuat dan menyusun tugas akhir ini. Berikut adalah hasil dari beberapa paper dan skripsi tersebut antara lain:
a. Heru Budi Santoso (Sarjana universitas sebelas maret Surakarta). Dalam penelitiannya mengemukakan tentang Analisis hubungan geometrik jalan raya dengan tingkat kecelakaan (Studi kasus : ruas jalan Ir.Sutami Surakarta). Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui lokasi dimana blackspot di ruas jalan Ir.Sutami berada dan untuk mengetahui adakah
hubungan antara geometrik jalan dengan terjadinya kecelakaan dilihat dari analisis jari-jari tikungan, derajat kelengkungan, dan jarak pandang.
Data analisis yang digunakan adalah menentukan daerah rawan kecelakaan dengan memakai perhitungan EAN, mengetahui hubungan geometrik jalan dengan EAN. Jari-Jari tikungan (R) Jalan Ir.Sutami Surakarta dari hasil analisis diperoleh yaitu : R1 = 204,57 m < 210 m (Standar TPGJAK) Tidak memenuhi syarat, R2 = 150,37 m < 210 m (Standar TPGJAK) tidak memenuhi syarat, R3 = 291,40 m > 210 m (Atandar TPGJAK) Memenuhi Syarat, R4 = 259,64 m > 210 m (Standar TPGJAK) Memenuhi syarat. Bisa dilihat dari nilai R² yang besar ( R² >
0,5) yaitu 0,8609 dan 0,927. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kondisi geometrik jalan dengan tingkat kecelakaan. Tidak terdapat hubungan tinggnya tingkat kecelakaan dengan derajat kejenuhan. Derajat kejenuhan dengan nilai R² < 0,5 yaitu 0,083 artinya perubahan variasi angka kecelakaan dipengaruhi oleh perubahan derajat kejenuhan sebesar 0,083 dan pengaruh lain sebesar 0,917.
b. Robby, Desi Riani, dan Rachmatdani Widiyatmoko merupakan Mahasiswa jurusan Teknik Sipil Universitas Palangkaraya. Dalam penelitiannya mereka menjelaskan tentang analisis geometrik jalan raya pada daerah rawan kecelakaan (studi kasus ruas jalan Kasongan-Pundu km.86,000–km.72,000). Dalam Penelitian ini mereka bermaksud untuk mengetahui apakah geometrik jalan luar kota di ruas jalan Kasongan - Pundu sudah sesuai spesifikasi atau tidak dan mengetahui daerah rawan kecelakaan di ruas jalan Kasongan-Pundu Km.86,000–Km.72,000 . Adapun untuk pengambilan data dilakukan langsung di lapangan dibantu dengan data primer yang meliputi data kecepatan rata-rata, data geometric jalan, dan perlengkapan jalan. Sedangkan data sekunder didapat dari instansi terkait berupa data LHR 5 tahun terakhir dan data tingkat kecelakaan selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan hasil studi analisis Kasongan-Pundu km.86,000–km.87,200 dari hasil analisis diperoleh yaitu : R1=188 m > 160,76 m (Standar TPGJAK) memenuhi
syarat. R2 = 196 m > 160,76 m standar TPGJAK memenuhi syarat. R3 = 175 m > 160,76 m (Standar TPGJAK) memenuhi syarat. R4 = 160 m <
160,76 m (standar TPGJAK) tidak memenuhi syarat.
c. Ruas jalan Dekso–Samigaluh terletak di daerah perbukitan dengan kondisi jalan memiliki tikungan–tikungan yang tajam sehingga sering terjadi kecelakaan, maka perlu dilakukan survei dan evaluasi untuk mengetahui penyebab kecelakaan serta dapat mengetahui geometrik jalan tersebut sudah sesuai dengan pedoman–pedoman yang ada. Evaluasi pada tikungan ruas jalan Dekso-Samigaluh membutuhkan data–data dari Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Energi Sumber Daya Mineral dan data hasil survei sendiri. Evaluasi ini berpedoman pada Bina Marga.
Berdasarkan hasil evaluasi tikungan di ruas jalan Dekso – Samigaluh dapat diperoleh bahwa jari–jari tikungan sebesar 37 m, sedangkan radius minimum yang diijinkan Bina Marga sebesar 26,00592 m, pelebaran perkerasan pada tikungan tidak ada yang sesuai dengan desain perhitungan dan landai relatif tidak ada yang memenuhi syarat dengan perhitungan menurut pedoman dari Bina Marga.
d. Agus Sumarsono, Florentina Pungki Pramesti dan Djoko sarwono adalah mahasiswa Jurusan teknik Sipil Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian yang mereka ambil berjudul Model Kecelakaan Lalu Lintas di Tikungan Karena Pengaruh Konsistensi Alinyemen Horisontal Dalam Desain Geometrik Jalan Raya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketidak konsistenan desain alinyemen horisontal pada daerah blackspot di tikungan dan mengembangkan model yang menjelaskan hubungan salah satu aspek konsistensi desain geometrik jalan raya yaitu alinyemen horisontal dan kecepatan operasional dengan tingkat kecelakaan lalu lintas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ketidak konsistenan desain geometrik khususnya desain horisontal segmen jalan yang ditinjau. Model yang di hasilkan menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan akan turu jika radius tikungan lebih tinggi daripada rata-rata radius tikungan dari segmen jalan tinjauan.
e. Djoko purwanto, Amelia Kusuma Indriastuti, Kami Hari Basuki adalah mahasiswa jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang.
Dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan antara kecepatan dan kondisi geometrik jalan yang berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas pada tikungan menyebutkan bahwa tingkat kecelakaan pada tikungan tajam masih saja tinggi. Hal ini diperburuk dengan perilaku berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab kecelakaan lalu lintas dan perilaku pengemudi di tikungan, mengkaji ulang geometrik tikungan, serta memodelkan hubungan kecepatan dan geometrik tikungan terhadap kecelakaan di tikungan yang dikaji. Sampel yang digunakan adalah tiga tikungan tajam rawan kecelakaan di kabupaten Batang. Faktor penyebab kecelakaan yang dominan adalah manusia dan jalan. Faktor manusia terutama kecepatan tinggi, sementara faktor jalan terutama berupa radius di tikungan kecil. Perilaku pengemudi di tunjukkan dengan kecepatan saat memasuki, saat berada didalam dan saat akan keluar tikungan.
Umumnya pengendara menurunkan kecepatan saat masuk tikungan.
Terdapat variasi kecepatan yang cukup signifikan yang berpotensi meningkatkan jumlah kecelakaan. Hubungan antara kecepatan, geometrik tikungan dan kecelakaan adalah: kecepatan = 0,095 radius + 42.889, banyaknya kecelakaan = 0,785 radius + 0.008 kecepatan – 284.301 dan EAN = 0.028 kecepatan – 1108.689.
f. H.M.T. Rustxell P.Simanungkalit1, Yusandy Aswad ST.MT adalah Staff Pengajar Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl.Perpustakaan No.1 Kampus USU Medan. Dalam penelitiannya yang berjudul Analisa Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas Di Ruas Jalan Sisingamangaraja (Sta 00+000 – Sta 10+000) Kota Medan menyebutkan bahwa Daerah / lokasi rawan kecelakaan (black spot) adalah suatu lokasi dimana tingkat kecelakaan tinggi dengan kejadian kecelakaan berulang dalam suatu ruang dan rentang waktu yang relatif sama yang diakibatkan oleh suatu penyebab tertentu. Metode yang digunakan untuk menentukan lokasi rawan kecelakaan pada penelitian ini adalah metode tingkat
kecelakaan. Data yang digunakan adalah data jumlah kecelakaan yang terjadi di ruas Jalan Sisingamangaraja Kota Medan yang terjadi pada tahun 2007 – 2011 yang dikelompokkan berdasarkan karateristik kecelakaan berupa waktu kecelakaan, tingkat kecelakaan, tipe tabrakan, jenis kendaraan, kelas korban, jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan.
Daerah rawan kecelakaan didapat dengan mengunakan data geometrik, meliputi data kondisi jalan antara lain panjang jalan, jumlah jalur, jumlah lajur, dan median. Data volume lalu lintas, meliputi data lalu lintas harian rata-rata (LHRT). Gambaran komposisi karakteristik kecelakaan adalah:
hari Sabtu sebanyak 57 kecelakaan (22,10 %). Waktu Terang (06.00- 18.00) sebanyak 141 kecelakaan (54,65 %). Luka Berat (LB) sebanyak 231 orang (60 %).Kecelakaan Berat sebanyak 165 kecelakaan (63,96 %).
Tabrakan sisi (samping) sebanyak 135 kecelakaan (52,33 %). Sepeda Motor sebanyak 249 unit (65,88 %)Jenis kelamin laki-laki sebanyak 273 orang (70,91 %). Usia diatas 46 tahun sebanyak 84 orang (21,82 %).
Jenis pekerjaan peg. swasta/karyawan sebanyak 231 orang (60 %).
Analisis menunjukkan bahwa terdapat 3 titik lokasi rawan kecelakaan (black spot) di segmen ruas jalan sisingamangaraja yaitu Sta 9 – 10 , Sta 8 – 9 , Sta 6 – 7. Dan dari hasil uji chi – kuadrat terlihat adanya hubungan antara faktor usia, cuaca, jenis pekerjaan dan jenis kelamin dengan jumlah kecelakaan yang terjadi.