• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori 1. Hakikat Novel

Novel sebagai salah satu ragam karya sastra memunyai peranan yang penting dalam kehidupan ini. Berdasarkan dari asal katanya, kata ”novel” berasal dari bahasa Latin novellas yang diturunkan pula dari kata novies yang maknanya berarti baru (Henry Guntur Tarigan, 1993 : 164). Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya, novel lahir setelah jenis-jenis sastra lainnya itu muncul. Menurut Herman J. Waluyo (2002 : 37) dalam novel terdapat: (1) perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; dan (3) biasanya tokoh utama tidak sampai mati.

Pengertian novel sebagai suatu cerita prosa fiktif yang pada hakikatnya memiliki panjang tertentu, melukiskan tokoh dan diliputi alur yang kompleks dan hampir mengandung unsur kelengkapan sebuah novel (Henry Guntur Tarigan, 1993 : 164). Bagi novelis, novel bukan hanya sebagai alat hiburan semata, tetapi juga sebagai bentuk seni yang memelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai-nilai baik, buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan kepada pembaca tentang pekerti yang baik dan budi luhur.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 2) memiliki pandangan berbeda dalam memaknai novel. Pada intinya, novel bersinonim dengan fiksi sehingga pengertian fiksi juga dapat digunakan untuk mendefinisikan istilah novel. Pendapat Burhan Nurgiyantoro mengenai novel lebih mengarah kepada materi novel itu sendiri sehingga semata-mata hanyalah cerita rekaan yang bersifat fiktif. Apabila merunut pada pandangan kaum strukturalis, novel merupakan karya cipta yang baru yang rnenampilkan dunia dalam bangun kata yang bersifat otonom. Artinya, karya sastra tersebut hanya tunduk pada hukumnya sendiri dan tidak mengacu pada hal- hal di luar struktur karya fiksi itu sendiri.

Pengertian novel secara umum dapat diidentifikasi sebagai sebuah karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisnya. Hal

(2)

tersebut sejalan dengan definisi novel yang terdapat di dalam The American College Dictionary (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 120) novel adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karya-karya dari jenis ini, seperti novel/ dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun.

Sementara itu, tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Brooks mendefinisikan fiksi sebagai bentuk penyajian cara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya fiksi memang bukan nyata, tapi karya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi adalah suatu jenis karya sastra yang menekankan kekuatan kesastraannya pada daya penceritaannya (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 120). Karya sastra bukan hanya sebuah khayalan semata, tetapi juga merupakan sebuah refleksi dari suatu hal yang dirasakan, dilihat, bahkan mungkin juga dialami oleh penulis.

Sedikit berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Goldman (dalam Faruk, 1999: 29) mendefinisikan novel sebagai pembawa nilai-nilai yang memiliki tendensi tertentu. Nilai-nilai otentik yang dimaksud tersebut adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel yang dapat mengorganisasikan sebuah novel secara keseluruhan meskipun tidak tertuang secara eksplisit.

Novel sebenarnya mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas. Dalam pengertian ini novel lebih mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan lebih halus (Atar Semi, 1993: 32).

Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa sebuah novel merupakan suatu hasil imajinasi penulis yang menggambarkan refleksi kehidupan tokoh dan segala masalah yang menyertainya secara utuh dengan berbagai nilai yang turut membangun kelengkapan sebuah cerita. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut tidak dituangkan secara eksplisit oleh penulisnya dan nilai tersebut pada akhirnya dapat diambil oleh pembaca sebagai sebuah pelajaran yang mungkin bermanfaat untuk kehidupannya.

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel memunyai bagian-bagian, unsur-

(3)

unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Unsur-unsur tersebut turut membangun sebuah novel yang kemudian membentuk sebuah totalitas tersebut. Secara tradisional unsur-unsur pembangun novel dapat dibedakan menjadi dua bagian walaupun tidak sepenuhnya terpisah, unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 23).

Sebuah karya sastra berbentuk novel dapat dilihat dari beberapa unsur yang terdapat di dalamnya. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. mendefinisikan novel sebagai bentuk prosa dalam ukuran yang luas. Dalam ukuran yang luas inilah di dalamnya terdapat unsur-unsur seperti alur, perwatakan, latar, tema, dan amanat.

Namun, ukuran yang luas ini tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fisiknya saja (1986 : 29).

Untuk mengetahui novel menurut pembedaan jenisnya, kita dapat mencermati pendapat Herman J. Waluyo (2002 : 38-39) yang membedakan dua jenis novel, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.

Pembedaan jenis novel juga dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005 : 16-22) yang memiliki kesamaan dengan pendapat Herman J. Waluyo dalam pengklasifikasian novel. Burhan Nurgiyantoro mengklasifikasikan novel menjadi dua, yaitu novel populer dan novel serius. Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya para remaja, sedangkan novel serius adalah novel yang memerlukan daya konsentrasi tinggi dan disertai kemauan dalam memahaminya (membacanya). Novel populer semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan pembaca, sedangkan tujuan novel serius di samping memberikan hiburan, juga secara implisit memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca.

Beberapa pendapat dari para ahli sastra yang disebutkan di atas dapat disimpulkan menjadi sebuah definisi yang mengerucut bahwa novel merupakan bentuk sastra ragam prosa yang menceritakan tokoh dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya hingga akhirnya terjadi perubahan nasib tokoh dengan segala

(4)

pergolakan jiwanya sehingga merubah nasib mereka. Namun, kehidupan di dalam novel hanyalah merupakan dunia kemungkinan yang bersifat imajinatif seorang pengarang yang dengan kemampuannya meramunya menjadi sebuah karya sastra yang disebut sebagai sebuah novel.

Pengklasifikasian jenis novel dibedakan menjadi novel populer dan novel serius. Novel populer adalah novel yang memiliki nilai-nilai sastra populer di jamannya dan banyak penggemarnya. Sedangkan novel serius adalah novel yang memiliki nilai-nilai sastra yang menuntut pembaca memiliki tingkat pemahaman yang tinggi untuk mengetahui isinya.

2. Pendekatan Struktural

Istilah struktur pertama kali muncul pada kongres pertama tentang linguistik yang diadakan di Den Haag pada tahun 1928. Menurut Piaget, suatu struktur memunyai tiga sifat, yaitu totalitas, transformasi, dan otoregulasi (pengaturan diri). Sebuah struktur karya sastra harus dilihat sebagai suatu totalitas karena sebuah struktur terbentuk dari serangakaian unsur-unsurnya. Unsur-unsur itu harus tunduk pada kaidah-kaidah yang mencirikan sistem sebagai suatu sistem (dalam Sangidu, 1995 : 16).

Pendekatan struktur secara langsung atau tidak langsung sebenarnya banyak dipengaruhi oleh konsep struktur linguistik yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, yang intinya berkaitan dengan konsep sign dan meaning (bentuk dan isi) atau seperti yang dikemukakan oleh Luxemburg sebagai significant – signifie dan paradigma – syntagma (Zainuddin Fananie, 2000: 115).

Ciri totalitas di atas dengan sendirinya menjadi pembentuk struktur.

Struktur bukanlah sesuatu yang statis, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis karena di dalamnya memiliki sifat transformasi. Karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada terstruktur (structure), tetapi sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant).

Suwardi Endraswara memiliki pandangan dalam menjabarkan strukturalis.

Pada hakikatnya, strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam

(5)

pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antarunsur secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur. Hal ini menuntut peneliti sastra agar lebih jeli dalam memahami tiap-tiap fragmen struktur agar bisa memaknainya secara keseluruhan (2003 : 49).

Di dalam karya sastra, menurut Teeuw, metode analisis struktural pada intinya bertujuan untuk membongkar dan memaparkan masing-masing unsur sehingga pada akhirnya didapat makna secara keseluruhan. Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas keterkaitan dan keterjalinannya antara beberapa tataran fonik, morfologis, sintaksis, dan semantik (dalam Sangidu, 1995 : 17). Analisis struktural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain. Oleh karena itu, analisis struktural haruslah dipahami benar sebelum menganalisis novel dengan pendekatan-pendekatan yang lain.

Karya sastra yang diciptakan pengarangnya selalu identik dengan gaya bahasa dan karakter penceritaan yang dibawakan. Hal tersebut diuraikan dalam pendapat A. Teeuw yang menjabarkan sistem sastra menjadi tiga aspek, yaitu eksterne structurrelation, interne structurrelation dan model dunia sekunder.

Eksterne structurrelation adalah struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; interne structurrelation, yaitu struktur dalam yang bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan;

dan model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun pengarang, dunia fantasi dan dunia imajinasi. Oleh karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya sastra khususnya novel, maka perlu dibedah struktur yang dimiliki novel tersebut (dalam Herman J. Waluyo, 2002 : 59-60).

Menurut Junus, teknik yang dikerjakan untuk melaksanakan metode struktural tidak pernah dapat dirumuskan dengan pasti. Karena itu, orang cenderung bekerja dengan unsur-unsur yang pernah ada dalam formalisme, yaitu

(6)

tokoh, plot dan motif ditambah tema dan bahasa. Dalam mengungkapkan dan menguraikan unsur-unsur karya sastra, metode struktural (dalam hal ini metode ungkap dan urai) dapat bermula dari unsur mana saja. Namun, demikian, ada orang yang melihat bahwa unsur-unsur yang pernah ada dalam formalisme itu sebagai unsur yang dipandang pasti dalam strukturalisme (dalam Sangidu, 1995 : 17).

Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Dengan menggunakan pendekatan struktural ini diharapkan makna totalitas/keseluruhan makna yang terkandung dalan karya sastra itu dapat dijabarkan dengan baik.

Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis struktural pada dasarnya bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah makna yang menyeluruh. Analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar atau yang lain.

Namun demikian, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik. Di samping setiap karya memunyai ciri kekompleksan dan keunikannya sendiri, hal inilah antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan yang lain.

3. Unsur-unsur Novel

Di dalam sebuah novel, ada unsur-unsur yang melingkupinya. Unsur-unsur tersebut membangun novel itu sendiri yang membentuk struktur. Struktur novel

(7)

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri, tapi tidak secara langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra itu sendiri. Atau secara lebih khusus, unsur ekstrinsik dapat dimaknai sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun karya sastra, tetapi tidak ikut menjadi bagian di dalamnya (Burhan Nurgiyantoro, 2005:

23).

Sebuah novel memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain.

Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang membentuk sebuah kesatuan di samping unsur formal bahasa. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Kedua unsur inilah yang sering disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan membicarakan karya sastra pada umumnya.

Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (2005 : 23) menyebutkan beberapa bagian yang ada di dalamnya, yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.

Unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, Wellek dan Austin Warren (1990 : 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan filosofis.

A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002 : 60) memberikan pandangan pada karya sastra bahwa dalam karya sastra terdapat faktor intrinsik, ekstrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang juga dapat dimasukkan ke dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya itu sendiri. Berikut adalah unsur- unsur yang ada di dalam novel.

(8)

3.1. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur di dalam novel yang secara langsung membangun cerita novel itu sendiri, mencakup alur, penokohan, latar/setting, sudut pandang, tema dan amanat. Berikut ini adalah penjelasannya.

a. Alur

Herman J. Waluyo (2002 : 145) menyebut plot sebagai alur cerita yang berarti struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi.

Alur merupakan susunan peristiwa atau kejadian dalam sebuah karya fiksi.

Antarkejadian yang satu dengan yang lain harus saling berhubungan. Hubungan yang erat antarkejadian itu ditandaskan hendaknya bersifat logis dan dalam jalinan kausalitas.

Sebuah alur cerita dapat dinikmati oleh pembaca karena terkandung beberapa hal di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1988 : 37), faktor penting yang ada dalam alur yaitu kebolehjadian, kejutan, dan kebetulan. Kebolehjadian (plausibility) mengarah pada cerita itu harus meyakinkan; meyakinkan tidak mensyaratkan cerita yang realistik, melainkan masuk akal. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005 : 130) sifat plausibel artinya dapat dipercaya oleh pembaca.

Cerita yang terjadi sesuai dan atau tidak bertentangan dengan sifat-sifat dalam kehidupan faktual, atau dapat diterima secara akal. Herman J. Waluyo (2002 : 158) mengungkapkan sifat masuk akal artinya meskipun cerita itu fiksi harus meyakinkan peminat seolah-olah kejadian itu seperti benar-benar ada.

Kejutan artinya kejadian yang tidak disangka-sangka sebagai akibat dari peristiwa yang mendahului. Pembaca tidak bisa menebak kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya dalam peristiwa itu. Adanya jawaban yang benar-benar orisinal dan tidak terduga dari pengarang. Menurut Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 136) plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bahkan bertentangan dengan harapan pembaca.

Pengertian plot didefinisikan sebagai cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang

(9)

satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Alur sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu : alur maju, mundur dan alur campuran.

Herman J. Waluyo (2002 : 147) membagi alur cerita menjadi 6 bagian, yaitu Eksposisi, Inciting Moment, Rising Action, Compilation, Climax, dan Denoument. Inti penjabarannya adalah (1) Eksposisi (paparan awal cerita); (2) Inciting moment (saat terjadi); (3) Rising action (cerita/problem mulai meningkat); (4) Compilation (konflik semakin ruwet); (5) Climax (konflik mencapai klimaks); (6) Denoument (penyelesaian).

Berbeda dengan apa yang dikemukakan Lubis yang membedakan plot menjadi lima bagian, meliputi : (1) Situation (tahap penyituasian); (2) Generating circumstances (tahap pemunculan konflik); (3) Rising action (tahap peningkatan konflik); (4) Climax (tahap klimaks); (5) Denoument (tahap penyelesaian) (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 149-150).

Beberapa pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam kesatuan waktu.

b. Penokohan

Penokohan adalah unsur yang sangat penting dalam struktur sebuah novel.

Melalui tokoh-tokoh dalam novel, terjadinya runtutan peristiwa dapat diketahui karena tokoh yang ditampilkan merupakan penggerak dalam alur.

Penokohan diidentifikasi sebagai pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita (Zulfahnur, dkk., 1996:

29). Pengertian penokohan tersebut, menurut Panuti Sudjiman (dalam Zulfahnur, dkk, 1996: 29) merupakan individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam certa fiksi dapat berkembang perwatakannya baik dari segi fisik maupun mentalnya.

Burhan Nurgiyantoro (2005 : 166) mengemukakan istilah “penokohan”

yang lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab hal tersebut

(10)

mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Berdasarkan fungsinya, tokoh dalam cerita dibedakan antara tokoh utama dan tokoh pembantu. Seorang tokoh yang memiliki peran penting dalam suatu cerita disebut tokoh utama atau tokoh inti, sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya sebagai pendukung dan pelengkap tokoh utama disebut tokoh tambahan (Aminudin, 1990 : 79).

Wellek dan Warren (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993 : 133-134), menyatakan ada beberapa cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan rupa, watak, dan pribadi para tokoh, yaitu physical description, portroval of through streem or conscious though, reaction of events, direct author analysis, discussion of environment, reaction of others about character.

1) Physical description, yaitu melukiskan bentuk lahiriah tokoh yang dilakukan oleh pengarang;

2) Portroyal of througth streem or of conscious though, yaitu pelukisan jalan pikiran pelakon atau tokoh atau apa yang terlintas dalam pikiran pengarangnya;

3) Reaction of events, yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi tokoh atau lakon terhadap kejadian yang ada;

4) Direct author analisys, yaitu pengarang menganalisis watak tokoh atau lakon secara langsung;

5) Discussion of environment, yaitu pengarang melukiskan keadaan sekitar lakon atau tokoh. Misalnya melukiskan keadaan kamar, sehingga pembaca akan memperoleh kesan secara jelas terhadap tokoh yang ada;

6) Reaction of others about character, yaitu pengarang melukiskan bagaimana bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama;

7) Conversation of others about character, yaitu pelakon atau tokoh yang lain dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama.

(11)

Dengan demikian, maka secara tidak langsung pembaca mendapat kesan tentang segala sesuatu mengenai pelakon utama.

Herman J. Waluyo (2002 : 16) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa macam, antara lain :

1) Berdasar peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonis.

a) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh- tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita;

b) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita;

c) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.

2) Berdasar peranannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat tokoh sentral, tokoh utama, dan tokoh pembantu.

a) Tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak lakon. Tokoh sentral merupakan biang keladi dari pertikaian.

Tokoh sentral adalah tokoh protagonis maupun antagonis;

b) Tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau tokoh penentang tokoh sentral. Bisa juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral.

Dalam hal ini merupakan tokoh tritagonis;

c) Tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap dalam mata rangkai cerita.

Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam karya fiksi, yaitu secara analitik dan dramatis.

1. Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh. Pengarang langsung menyebutkan tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan lain sebagainya;

2. Secara dramatis, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak dipaparkan langsung, tetapi melalui : (1) pilihan nama tokoh; (2) melalui

(12)

penggambaran fisik/postur tubuh, cara berpakaian, dan sebagainya; (3) melalui dialog (Atar Semi, 1993 : 39-40).

Penokohan diartikan sebagai usaha menggambarkan watak tokoh di dalam karya sastra. Oleh karena tokoh memiliki kepribadian dan berwatak, maka ia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensional seperti dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis (Sudiro Satoto, 2000 : 44-45). Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Dimensi Fisiologis

Ialah ciri-ciri lahir, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badani yang lain.

b. Dimensi Sosiologis

Ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan (jabatan, peranan dalam masyarakat), tingkat pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup (agama, kepercayaan, ideologi), aktivitas sosial (organisasi, hobi), bangsa (suku, keturunan).

c. Dimensi Psikologis

Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya : (1) Mentalitas (ukuran moral membedakan antara yang baik dan yang tidak baik;

antara yang indah dan tidak indah; antara yang benar dan salah); (2) Temperamen (keinginan dan perasaan pribadi); (3) IQ (intelligence Quotient), tingkat kecerdasan, keahlian.

Klasifikasi tokoh terdapat beberapa jenis penamaan berdasarkan sudut pandang tertentu. Berikut ini beberapa jenis penamaan dalam cerita novel beserta penjelasannya, yaitu tokoh utama dan tambahan, tokoh protagonis dan antagonis, tokoh datar dan bulat, tokoh statis dan berkembang, tokoh tipikal dan netral.

1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita.

Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam porsi cerita yang relatif pendek karena fungsinya hanya sebagai pelengkap.

(13)

2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita. Tokoh antagonis adalah tokoh yang memunyai konflik dengan tokoh protagonis.

3) Tokoh Datar dan Tokoh Bulat

Tokoh datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang mudah dikenali dan mudah diingat. Tokoh bulat adalah tokoh yang wataknya tidak segera dapat dimaklumi pembaca.

4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang esensial tidak mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan (dan) peristiwa dan plot yang dikisahkan.

5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh yang hidup demi cerita itu sendiri.

Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, peneliti memeroleh simpulan bahwa penokohan merupakan cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh- tokoh, dan bagaimana pengarang dalam memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh-tokohnya.

c. Latar/Setting

Latar diartikan sebagai situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita.

Tercakup di dalamnya lingkungan geografis mulai dari rumah tangga, pekerjaan, benda-benda dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu, suasana dan periode sejarah (Zulfahnur, dkk., 1996: 37). Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang diugkapkan oleh Abrams (dalam Burhan

(14)

Nurgiyantoro, 2005: 216) yang mendiskripsikan latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan.

Hudson (dalam Zulfahnur, dkk., 1996: 37) membagi latar cerita atas latar fisik dan latar sosial. Termasuk di dalam latar fisik adalah latar yang berupa benda-benda fisik yang dapat berupa rumah, kamar, daerah, dan sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya masyarakat, seperti adat istiadat, cara hidup, bahasa pada suatu keelompok sosial, dan sebagainya yang melatari peristiwa cerita.

Setiap cerita selalu menggunakan suasana tempat, suasana, dan keadaan sebagai tempat berlangsungnya suatu peristiwa dalam cerita sehingga dapat dikatakan tempat, suasana dan keadaan yang disebut latar sangat penting untuk mendukung jalannya cerita. Dari setting wilayah tertentu harus menghasilkan perwatakan tokoh tertentu dan tema tertentu.

Dengan demikian, latar dalam novel menyangkut keterangan mengenai sosial budaya, tempat dan waktu di mana peristiwa itu terjadi. Unsur latar dibedakan dalam tiga unsur pokok : yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur ini masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara terpisah, kenyataannya saling berkaitan dan memengaruhi.

Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel. Latar waktu mengarah pada masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel, sedangkan latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam novel, mencakup kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 227-235).

Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa latar atau setting adalah keterangan yang melukiskan situasi yang berkaitan dengan tempat, waktu, dan keadaan sosial terjadinya peristiwa. Sehingga dari latar tersebut dapat diketahui keadaan atau zaman yang diceritakan dalam suatu cerita.

(15)

d. Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang atau point of view dalam sebuah karya fiksi mempersoalkan tentang siapa yang menceritakan; atau posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu telihat. Dengan kata lain, sudut pandang lebih mengarah pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang memunyai hubungan psikologis dengan pembaca. Pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita. Pemahaman terhadap sebuah novel dipengaruhi oleh kejelasan sudut pandangnya.

Sudut pandang atau point of view menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248) mengarah pada cara dan pandangan yang dipergunakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Berdasar pada pendapat tersebut, sudut pandang atau point of view pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Booth dalam Stevick (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 249) mengemukakan pendapat yang sejalan dengan pendapat Abrams, sudut pandang pada intinya adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

Secara garis besar berdasar pada bentuk tokoh persona cerita, sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu sudut pandang persona ketiga

“Dia”, dan sudut pandang pertama “Aku”

1) Sudut pandang persona ketiga “Dia”,

Pengisahan cerita yang mempergunakan dengan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah sesorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.

Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang dapat dengan bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia” jadi

(16)

bersifat mahatahu (“dia” mahatahu). Di lain pihak dia terikat, memunyai keterbatasan pengetahuan tentang tokoh “dia” yang diceritakan, jadi bersifat terbatas atau hanya selaku pengamat saja (“dia terbatas, “dia” sebagai pengamat).

2) Sudut pandang persona pertama “Aku”

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama (first person point of view), narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah tokoh “aku” yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri (self consciousness), mengisahkan peristiwa dan tindakan yang dialami, dilihat, didengar, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain dalam cerita kepada pembaca. Pembaca hanya dapat melihat dan merasakan sebatas pada apa yang diceritakan oleh tokoh “aku”.

Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan tokoh “aku” dalam cerita.

Tokoh “aku” mungkin menduduki peran utama (“aku” tokoh utama), jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki peran tambahan (“aku” tokoh tambahan), jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi.

Dalam sebuah cerita, pengarang dapat memilih dari sudut mana ia bercerita. Hal ini menentukan posisi pengarang, berada di dalam atau di luar cerita. Lubbock (dalam Panuti Sudjiman, 1988 : 15) menggolongkan sudut pandang menjadi tiga, yaitu penutur cerita sebagai pelaku, penutur cerita sebagai observer, dan penutur cerita serba tahu.

(1) Penutur cerita sebagai pelaku, penutur cerita ini adalah dirinya sendiri sebagai pelaku dalam cerita, seringkali sebagai pelaku utama dan ia menuturkan cerita melalui orang pertama;

(2) Penutur cerita sebagai observer, penutur cerita itu tidak secara langsung terlibat dalam cerita, ia menuturkan cerita tersebut dari luar garis. Ini berarti ia bisa melihat dan mendengar serta melaporkan berbagai hal apa yang pelaku utama lakukan, tetapi ia menuturkan melalui orang ketiga;

(17)

(3) Penutur cerita serba tahu, penutur cerita ini benar-benar seorang yang berada di dalam dan di luar cerita, ia menuturkan cerita melalui orang ketiga.

Pendapat lain tentang macam-macam sudut pandang diungkapkan Jakob Sumardjo dan Saini K.M.(1986 : 63), yaitu sudut pandang Yang Maha Kuasa, orang pertama, peninjau, dan sudut pandang objektif.

(a) Pertama, sudut pandang Yang Maha Kuasa, yaitu seluruh cerita dalam sudut pandang ini dituturkan oleh pengarang, seolah ia Maha Tahu segalanya. Pengarang dapat menggambarkan semua tingkah laku, pikiran, dan semua yang mereka kerjakan;

(b) Kedua, sudut pandang orang pertama. Pengarang dalam sudut pandang ini memilih salah satu tokoh atau lebih yang mengetahui cerita dan tokoh itu bercerita menurut apa yang ia ketahui saja. Pengarang dalam karya sastra semacam ini menggunakan gaya “aku”;

(c) Ketiga, sudut pandang peninjau, yaitu pengarang memilih salah satu tokoh untuk diikuti ceritanya. Cara ini lebih lazim disebut gaya “dia”;

(d) Keempat, sudut pandang objektif, yaitu pengarang berada di luar cerita dan ia sekedar memaparkan apa yang dilihat dan didengar tentang perbuatan dan dialog tokoh-tokoh dalam cerita.

e. Tema

Tema/theme merupakan ide sebuah cerita. Menurut Stanton tema secara garis besar diidentifikasi sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 67). Dari definisi yang diutarakan di atas diketahui bahwa tema merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

Pendapat tersebut dirinci kembali oleh Hartoko dan Rahmanto yang mendefinisikan tema sebagai gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam sebuah teks sastra sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 67).

(18)

Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Zulfahnur, dkk. (1996 : 25) yang mendefinisikan tema sebagai ide sentral yang mendasari sebuah cerita. Tema memunyai tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman bagi pengarang dalam menggarap cerita, sasaran atau tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam satu alur. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Oleh karena itu, untuk menemukan tema dari sebuah cerita, haruslah disimpulkan terlebih dahulu keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari sebuah cerita.

Pengarang dalam menulis sebuah cerita bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengutarakan sesuatu kepada pembacanya. Pengarang melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar tema tersebut (Henry Guntur Tarigan, 1993 : 125).

Tema juga dapat diartikan sebagai gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra (Panuti Sudjiman, 1988 : 50). Lebih singkat diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1986 : 56) bahwa tema sebenarnya ide sentral cerita.

Sebuah tema biasanya bersembunyi di balik cerita, sehingga pencarian terhadapnya harus berdasarkan fakta-fakta yang ada dan secara keseluruhan membangun cerita itu. Hal tersebut bisa diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide, perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik dan latar. Jika tema dalam sebuah cerita sudah diketahui maka akan diketahui pula jenis tema yang terdapat dalam sebuah cerita. Hal itu disebabkan di dalam sebuah cerita terdapat beberapa jenis tema, yakni tema tradisional dan tema nontradisional.

Tema tradisional yang menunjuk pada tema yang “itu-itu” saja, dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga mengungkapkan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar umum karya, dan tema tambahan atau tema minor (Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 77-85).

Berbicara tentang tema tak dapat lepas dari amanat yang sejenis dengan tendens. Dalam karya sastra, pesan atau jalan keluar dari pengarang dalam mengatasi problem masyarakat sosial melalui amanat. Amanat dapat disampaikan

(19)

secara langsung (eksplisit) dan tidak langsung (implisit). Oleh sebab itu, amanat merupakan penjelasan pokok masalah yang pemecahannya bisa dipertanggungjawabkan.

Hubungan antartema dan amanat saling terkait. Jika tema merupakan ide sentral yang menjadi pokok permasalahan, maka amanat merupakan pemecahnya;

jika tema merupakan perumusan pertanyaannya, maka amanat merupakan jawabannya (Sudiro Satoto, 2000 : 33).

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema atau theme adalah ide pokok dari sebuah cerita yang mengandung makna dari sebuah cerita yang pada umumnya tekandung secara tersirat. Oleh karena itu, untuk menyimpulkan tema dari sebuah karya fiksi haruslah menyimpulkannya secara keseluruhan terlebih duhulu, melalui tema pula sebuah cerita dikembangkan oleh penulisnya.

f. Amanat

Zulfahnur, dkk. (1996: 26) berasumsi bahwa amanat dapat diartikan sebagai pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui cerita. Pesan-pesan moral yang mewakili pengarang sebagai bagian dari suatu masyarakat tertentu itulah yang kemudian menjadi ruh sebuah karya. Sebuah karya tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengandung pesan-pesan tersebut.

Novel sering ditemukan adanya pesan yang tersembunyi, namun ada juga yang disampaikan langsung dan terkesan ditonjolkan pengarang. Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 336-337). Pesan moral yang bersifat langsung biasanya terasa dipaksakan dan kurang koheren dengan unsur yang lain. Hal tersebut dapat mengurangi nilai karya sastra yang bersangkutan. Hubungan langsung yang terjadi tersebut dapat dilukiskan menjadi gambar sebagai berikut:

(20)

Pengarang Amanat Pembaca (addresser) (Message) (Address) Gambar 1. Hubungan Langsung Pengarang dengan Karyanya

Gambar di atas menunjukkan bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang tidak memiliki hubungan yang berkaitan dengan cerita sehingga terkesan tidak melibatkan tokoh cerita dan alur penceritaannya. Pengarang akan lebih bijak dalam menyampaikan pesan jika mengikutsertakan teks cerita, sehingga terjalin kohesi yang kuat dan padu. Hubungan komunikasi langsung antara pengarang dan pembaca yang tidak mengabaikan teks sastra tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut:

Pengarang Amanat Pembaca

ditafsirkan oleh Amanat Amanat

dituangkan ke dalam

Teks

Gambar 2. Hubungan Langsung Pengarang dengan Karyanya Tanpa Mengabaikan Teks

Bentuk penyampaian pesan secara tak langsung atau tersirat menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 341), mengandung arti bahwa pengarang memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pembaca sehingga kurang ada pretensi pengarang untuk langsung menggurui pembaca. Pengarang tidak menganggap pembaca bodoh. Demikian pula sebaliknya, pembaca pun tidak mau dibodohi pengarang.

Dilihat dari kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan dan pandangannya, menurut Burhan Nurgiyantoro cara penyampaian pesan tak langsung ini mungkin kurang komunikatif, sebab pembaca belum tentu mampu menangkap apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh pengarang. Dengan pola penyampaian pesan tak langsung ini, salah tafsir yang dilakukan oleh pembaca kemungkinan besar akan terjadi. Namun hal tersebut dapat dimaklumi

(21)

bahkan merupakan hal yang esensial dalam karya sastra yang notabene mengandung banyak penafsiran (2005: 341).

Leech & Short (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 341-342) menggambarkan keadaan penyampaian pesan secara tidak langsung seperti gambar berikut ini:

Pengarang - - - Pembaca

ditafsirkan oleh AMANAT AMANAT

dituangkan ke dalam TEKS - - - -

Gambar 3. Hubungan Tidak Langsung Pengarang dengan Karyanya

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika dalam karya sastra, ide sentral yang menjadi pokok persoalannya maka amanat merupakan pemecahannya. Jika tema sebuah karya sastra merupakan pertanyaan, maka amanat yang terkandung di dalamnya merupakan jawabannya. Tidak semua pengarang menyuratkan atau menyiratkan apa tema dan amanatnya. Dalam hal ini, tema dan amanatnya diserahkan kepada pembaca/publik untuk menafsirkannya.

3.2. Unsur Ekstrinsik

Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur ekstrinsik yang ada di dalam novel adalah sebagai berikut :

a. Biografi

Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri, yaitu pengarang. Karya sastra atau novel merupakan bentuk ungkapan seorang pengarang. Oleh karena itu, keadaan subjektivitas individu pengarang memiliki

(22)

sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya. Artinya, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkan (Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 24).

Biografi secara umum diketahui sebagai genre yang sudah kuno, dan sesungguhnya merupakan bagian penulisan sejarah sebagai historiografi. Berger dan Luckmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003 : 199) memiliki pandangan mengenai biografi sebagai pendekatan dokumenter dan alegoris berasal dari sedimentasi berbagai pengalaman individu, pengalaman-pengalaman yang tersimpan di dalam kesadaran, yang pada saat-saat tertentu muncul kembali ke dalam ingatan. Pendapat tersebut diinterpretasikan Nyoman Kutha Ratna (2003 : 199-200) bahwa biografi harus dipahami sebagai referensi-referensi personalitas yang dikondisikan secara personal.

Herman J. Waluyo memiliki pandangan bahwa karya sastra tidak akan lepas dari pengarangnya. Jika seseorang menulis beberapa karya dalam hidupnya, maka karya-karya itu akan dapat ditelusuri melalui biografinya (2002 : 68).

Proses penciptaan cerita fiksi bersifat individual, artinya cara yang digunakan pengarang yang satu berbeda dengan cara yang digunakan oleh pengarang lainnya. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang bersifat individual bukan hanya metodenya, tetapi juga munculnya proses kreatif dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri pengarang itu sendiri.

Sebagaimana pernyataan yang diungkapkan oleh Wellek dan Austin Warren (1990 : 82) bahwa biografi dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Goldman (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003 : 198) juga pada dasarnya memandang struktur psikologis yang berkaitan dengan kehidupan penulis sehari-hari memiliki relevansi terhadap pemahaman karya. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang sejauh mana biografi itu relevan dan penting untuk memahami karya sastra.

Menurut Goldman, materi yang diangkat pengarang dalam karyanya didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjek kreator sebagai tradisi dan konvensi. Akan tetapi, konvensi yang dipakai jelas

(23)

berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Dalam hubungan ini, intensi- intensi penulis secara disadari atau tidak, dipahami melalui referensi eksistensi penulis secara aktual yang pada umumnya dikaitkan dengan unsur-unsur biografinya (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003 : 89).

Pada karya sastra, khususnya novel, studi biografi bermanfaat dalam menjelaskan proses kreativitas sebagai penjelasan makna-makna individualitas, terutama mengenai hakikat psikologis pengarang. Biografi juga mengumpulkan bahan untuk menjawab masalah sejarah sastra, seperti bacaan pengarang, persahabatan pengarang dengan sastrawan lain, serta daerah dan kota-kota yang pernah dikunjungi dan ditinggalinya (Wellek dan Austin Warren, 1990 : 88).

Maka dari itu, keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat juga dipelajari melalui dokumen biografi.

Biografi sebagai pernyataan-pernyataan data mentah, sebagai manifestasi fisikal struktur personalitas merupakan aspek yang inheren, artinya selalu menampakkan diri dalam proses pemahaman sastra (Nyoman Kutha Ratna, 2003 : 202). Manfaat lain pendekatan biografi, dalam konteks konvensi yang dipakai berguna untuk menjelaskan makna alusi dan kata-kata yang dipakai dalam novel.

Kerangka biografi pun dapat membantu dalam memelajari masalah pertumbuhan, kedewasaan, dan merosotnya kreativitas pengarang (Wellek dan Austin Warren, 1990 : 88).

b. Sosial Budaya Masyarakat

Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat (literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George Lukas (dalam Sangidu, 1995 : 44) mengungkapkan teorinya tentang sastra sebagai pencerminan masyarakat. Ia menyatakan bahwa seni (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan bagaikan sebuah tustel foto, tetapi melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Maksud mencerminkan di sini berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi lebih dari itu, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum.

(24)

Goldman (dalam Faruk, 1999 : 43) mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Ia meyakini bahwa karya sastra memiliki titik tolak yang kuat dalam menjelaskan aspirasi-aspirasi masyarakat (Nyoman Kutha Ratna, 2003 : 60).

Pendekatan sosiologi sastra memiliki pandangan terhadap keterkaitan aspek sastra dengan sosiobudaya. Pertama, hubungan dengan aspek sastra sebagai refleksi sosiobudaya. Kedua, memelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra. Aspek pertama tersebut terkait masalah refleksi sastra, sedangkan aspek kedua berhubungan dengan konsep pengaruh (Suwardi Endraswara, 2003 : 93).

Sementara itu, Grebstein (dalam Suwardi Endraswara, 2003 : 92) memberikan asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya. Asumsi dasar tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

1) Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau perubahan yang telah dihasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit antara faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Bagaimanapun karya sastra bukanlah gejala yang tersendiri.

2) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tidak ada karya besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh.

3) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya suatu moral, baik dalam hubungannya dengan orang-seorang. Karya sastra bukan moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode atau sistem tindak- tanduk tertentu, melainkan bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif. Dengan demikian, sastra adalah eksperimen moral.

(25)

4) Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah; pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa; dan kedua, sebagai tradisi, yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.

Karya sastra khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002 : 51), latar belakang yang ditampilkan meliputi : tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan-santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya.

Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.

Uraian dalam sastra tentang latar belakang sosial budaya dan kenyataan hubungan erat dengan warna lokal. Cerita rekaan senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan. Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dialek (Herman J. Waluyo, 2002 : 54).

Faktor sosiologis sering pula dikaitkan dengan faktor historis karena setiap perkembangan sejarah menunjukkan perbedaan masyarakat. Oleh karena itu, cerita yang ditampilkan pengarang mengandung permasalahan masyarakat pada zaman tertentu. Hal ini disebabkan adanya tuntutan untuk menjawab masalah mendasar masyarakat sehingga dikenallah karya sastra angkatan, misalnya karya sastra angkatan 1920-an, merupakan cermin keadaan masyarakat 1920-an, demikian pula karya sastra 1930-an, 1945-an, dan seterusnya.

Konteks karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat menjadikan karya sastra sebagai aksi zaman (Suwardi Endraswara, 2003 : 89).

Dalam kaitan ini, sebenarnya karya sastra melalui kreativitas pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman sekaligus alat komunikasi bagi pembacanya (masyarakat itu sendiri). Sastra yang ditulis pada kurun waktu

(26)

tertentu pada umumnya berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu (Sangidu, 1995 : 40).

Karya sastra juga mengacu pada fungsi yang berbeda-beda dari zaman di berbagai masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra dapat berfungsi sebagai alat menyebarluaskan ideologi; atau di zaman dan masyarakat lain, sastra mungkin dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tidak dipertahankan. Bahkan, sastra dapat digunakan dalam menggambarkan peristiwa kemanusiaan (Suwardi Endraswara, 2003 : 91).

Sastra adalah bagian dari masyarakat yang dihasilkan oleh pengarang yang menjadi bagian/anggota kelompok masyarakatnya. Karya sastra dengan hakikat rekaannya mampu memperkaya wawasan manusia, baik sebagai manifestasi individualis maupun kolektivitas untuk memahami dan memecahkan masalah- masalah sosial yang berbeda dengan cara yang sama (Nyoman Kutha Ratna, 2003:

99). Dengan demikian, karya sastra bersumber pada kehidupan masyarakat dalam konfigurasi status dan peranan yang berbentuk dalam struktur sosial dan dengan sendirinya menerima pengaruh sosial (Nyoman Kutha Ratna, 2003 : 33. Hal itu dipertegas lagi oleh Sangidu (1995 : 41) yang memandang bahwa sastra sebagai refleksi atas gejala sosial yang ada di masyarakat.

Akal dan budi hanya dimiliki oleh manusia, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang berbudaya dalam lingkup masyarakat. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak memunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Jadi, dapat dikatakan masyarakat dan budaya merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan.

Kebudayaan oleh Koentjaraningrat diartikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Ada 7 wujud kebudayaan yang diungkapkan, yaitu: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat (2002 : 9).

(27)

Berbicara masalah kebudayaan memang sangat luas dan beragam. Namun apa pun yang diungkap oleh para ahli, semuanya bermuara pada satu hal yang sama tentang kebudayaan, yaitu segala sesuatu yang dihasilkan oleh cipta, rasa dan karsa manusia yang nantinya diaplikasikan oleh manusia itu sendiri, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.

Herman J. Waluyo (2002 : 63), memandang bahwa latar belakang (kondisi) sosial budaya pada intinya adalah agama, kepercayaan, adat-istiadat, pendidikan, dan pekerjaan.

1) Agama

Setiap orang membutuhkan satu pegangan hidup untuk selalu berhubungan dengan dzat yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Perilaku setiap orang selalu mendasarkan diri pada agama yang dianutnya. Agama dapat diartikan sebagai suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan dipergunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas pada umumnya (Dadang Kahmad, 2002 : 129).

Menurut Koentjaraningrat (2002 : 149), istilah agama dapat dipakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam suatu negara. Beberapa agama yang sudah diakui secara resmi, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Setiap agama memiliki aturan-aturan yang harus dijalankan oleh para penganutnya.

Perwujudan tindakan suatu agama yang dianutnya oleh masyarakat adalah menyembah sesuatu yang diyakininya. Hal ini disebut dengan spiritualisme, yaitu agama penyembah sesuatu (zat) yang gaib yang tidak tampak secara lahiriah, sesuatu yang tidak dapat dilihat dan tidak berbentuk (Dadang Kahmad, 2002 : 36). Menurut Dadang Kahmad spiritualisme sendiri dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Agama ketuhanan (thesitic religion), yaitu agama yang para penganutnya menyembah (theos). Agama-agama ini memunyai

(28)

keyakinan bahwa Tuhan adalah tempat manusia menaruh kepercayaan dan kecintaan kepada-Nya merupakan guna memuja Tuhan tersebut.

(1) Monotheisme, yaitu bentuk religi/agama yang berdasarkan kepada kepercayaan terhadap satu Tuhan dan terdiri dari upacara-upacara guna memuja Tuhan tersebut.

(2) Polytheisme, yaitu bentuk religi yang didasarkan pada kepercayaan akan adanya banyak Tuhan yang memiliki tradisi upacara keagamaan guna memuja Tuhan-Tuhan tersebut. Polytheisme adalah kepercayaan kepada banyak Tuhan. Para penganut polytheisme memiliki kecenderungan memilih di antara dewa-dewa yang mereka percayai itu untuk diangkat, dilebihkan, dan diutamakan yang dianggap sebagai Yang Mahakuasa.

b) Agama penyembah roh, yaitu kepercayaan orang primitif kepada roh nenek moyang, roh pemimpin atau roh para pahlawan yang telah meninggal. Mereka percaya bahwa yang sudah meninggal itu dapat memberikan pertolongan dan perlindungan ketika manusia mendapat kesulitan. Untuk menghadirkan roh-roh tersebut perlu diadakan upacara keagamaan yang khusus dan kompleks. Agama penyembah roh dapat dibagi dalam bentuk kepercayaan sebagai berikut :

(1) Animisme, yaitu bentuk agama yang mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa di sekeliling tempat tinggal manusia itu didiami macam roh yang berkuasa dan terdiri atas pemujaan atau upacara guna memuja roh tersebut. Kepercayaan animisme dibangun berdasarkan dua anggapan pokok, yaitu : 1) roh adalah unsur halus yang keluar dari setiap makhluk dan mampu hidup terus setelah jasadnya mati, 2) makhluk halus yang jadi dengan sendirinya seperti peri dan memang dianggap berkuasa.

(2) Praanismisme (dinamisme) adalah bentuk agama yang berdasarkan kepercayaan kepada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal.

Para penganutnya pun memiliki aktivitas keagamaan untuk

(29)

menguatkan kepercayaannya dengan pedoman kepada ajaran kepercayaan tersebut.

2) Adat-istiadat

Adat-istiadat merupakan suatu hasil kebudayaan dari suatu masyarakat yang berfungsi untuk mengatur segala kehidupan. Sifatnya lebih mengarah pada interaksi antarsesama masyarakat.

Adat-istiadat masyarakat atau kebiasaan (custom) merupakan perilaku yang biasa atau diterima atau dipraktikkan dalam kelompok manusia yang dikembangkan dalam periode waktu yang lama (Sidigazalba, 1974 : 39).

Koentjaraningrat (2002 : 11) memberi batasan tentang adat. Menurutnya, adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Adat dibagi ke dalam empat tingkat, yaitu tingkat nilai budaya, norma, hukum, dan tingkat aturan khusus.

a) Tingkat nilai budaya

Tingkat ini adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya.

Tingkat ini berisi ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia, contoh : gotong-royong. Di dalam gotong-royong terdapat jiwa kerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritasnya yang besar.

b) Tingkat norma

Norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait dengan peranan- peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tiap peranan membawakan bagi manusia sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam memainkan peranannya yang bersangkutan.

c) Tingkat hukum

Tingkatan ini lebih konkret lagi. Tingkat hukum sudah jelas mengenai bermacam-macam sektor hidup yang sudah terang batas-batas ruang lingkupnya.

Tingkatan ini terwujud dalam undang-undang hukum yang terdapat dalam suatu masyarakat.

(30)

d) Tingkat aturan khusus

Tingkatan ini berisi aturan-aturan khusus mengenai aktivitas-aktivitas yang sangat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat.

Tingkat ini banyak di antaranya terkait dalam sistem hukum.

Keberadaan adat-istiadat dalam suatu masyarakat berperan sebagai norma.

Ada konsekuensi logis yang harus diterima jika masyarakat tersebut melanggar adat. Adat yang menjadi norma akan memiliki sanksi. Sanksi memberikan akibat kalau orang melanggar atau menyimpang dari norma. Ia memaksa orang kepada norma dengan ancaman hukuman (Sidigazalba, 1974 : 41).

Berdasarkan teori di atas dapat didefinisikan bahwa adat-istiadat adalah seperangkat aturan yang hidup dalam masyarakat, di mana aturan-aturan itu memiliki sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya.

3) Pendidikan

Istilah pendidikan mengarah pada proses belajar mengajar yang dilakukan oleh peserta didik dan pendidik di suatu tempat tertentu. Menurut Crow dan Crow (dalam Soedomo Hadi, dkk., 2000 : 15), pendidikan diartikan sebagai hasil dari proses belajar. Pengertian ini mengandung maksud bahwa diperlukan waktu yang lama untuk menjalani sebuah pendidikan karena di dalamnya termuat hal-hal yang harus dipelajari dan ditransfer oleh peserta didik.

Menurut Muhibbin Syah (1995 : 10) pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.

Pendidikan memiliki tujuan sebagai penyiapan seseorang untuk dapat memainkan peranan secara tepat dalam melaksanakan tugas-tugas hidupnya, baik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pekerja maupun tugas hidup sebagai manusia.

(31)

4) Pekerjaan

Setiap orang dapat memenuhi kebutuhannya dengan bekerja. Pekerjaan adalah barang apa yang dijadikan pokok penghidupan; sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Melihat pekerjaan seseorang kadang bisa diketahui status sosialnya dalam masyarakat. Pekerjaan merupakan salah satu indikator terbaik untuk mengetahui cara hidup seseorang. Oleh karena itu, pekerjaan pun merupakan indikator terbaik untuk mengetahui kelas sosial orang.

Istilah lain yang sama dengan pekerjaan adalah mata pencaharian. Hartono dan Arnicun (1994 : 24) mengungkapkan bahwa mata pencaharian merupakan suatu aktivitas manusia guna mempertahankan hidupnya dan memperoleh hidup layak, corak dan macam aktivitas berbeda sesuai dengan kemampuan masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pekerjaan adalah suatu aktivitas yang dilakukan manusia, dan dari hasil aktivitas itulah dijadikan sumber penghidupan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

5) Kepercayaan

Kepercayaan adalah perbendaharaan manusia yang paling berharga yang dipegang dengan segala daya dan pengorbanan. Kehidupan kerohanian atau kepercayaan tumbuh dalam getaran jiwa karena berhadapan dengan alam supranatural, kagum dan takut akan kekuatan-kekuatan alam yang di balik itu ada kegaiban dan kesaktian. Kepercayaan juga dapat terbentuk dalam alam pikiran manusia.

Kepercayaan merupakan manifestasi kesadaran manusia dari pemahaman terhadap dirinya, hidup, alam lingkungannya, roh nenek moyang, daya-daya gaib, dan makhluk-makhluk halus. Kesadaran tersebut bersifat individual dan kolektif yang merupakan bagian dari kehidupan kerohanian manusia sejak masih dalam tingkatan budaya yang masih bersahaja. Suasana kehidupan kerohanian tersebut telah menguasai rasa pirasa, akal budi dan ucapan sehari-hari.

(32)

6) Bahasa

Para linguis struktural sebagaimana diungkapkan oleh Soemarsono dan Paina Partana (2004 : 20) menganggap bahasa sebagai sekedar “bunyi yang bersistem”, tanpa melihat hubungan dengan produsen bahasa itu, yaitu masyarakat bahasa. Kini, orang melihat hakikat bahasa bukan sekedar bunyi, melainkan juga wajah-wajah abstraknya. Hal ini menunjukkan fungsi sosial bahasa, yaitu sebagai alat komunikasi. Fungsi sosial bahasa lain terlihat pada rumusan yang menganggap bahasa sebagai identitas penutur, baik secara individual maupun secara kelompok.

Bahasa sebagai alat komunikasi pada dasarnya adalah suatu sign (simbol) yang telah dimengerti oleh masyarakat bahasa dalam memaknai setiap tanda (bahasa). Dalam konteks kebudayaan, bahasa dijadikan media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai, dan norma budaya kepada pendukungnya.

Sebagaimana diungkapkan Alo Liliweri (2001 : 129), bahasa merupakan mediasi pikiran, perkataan dan perbuatan. Bahasa menerjemahkan nilai dan norma, menerjemahkan skema kognitif manusia, menerjemahkan persepsi, sikap, dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya.

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat tidak hanya satu bahasa. Bahasa memiliki keanekaragaman yang masing-masing dimengerti oleh masyarakat penggunanya. Bahasa yang digunakan masyarakat pada daerah satu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat lainnya. Ini menunjukkan perbedaan tempat akan berimbas pada perbedaan bahasa yang digunakan akibatnya timbul istilah dialek. Sebagaimana diungkapkan oleh Soemarsono dan Paina Partana (2004 : 21), dialek pada hakikatnya merupakan bahasa sekelompok masyarakat yang tinggal di suatu daerah tertentu.

Terkait dengan masyarakat yang terdapat dalam sebuah novel, tentu saja masyarakat tersebut juga berada dalam kondisi sosial budaya tertentu. Hal itu sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro bahwa karya sastra yang dihasilkan dalam suatu masyarakat akan mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat.

Kondisi sosial budaya yang diulas pengarang tidak lepas dari setting yang diambil

(33)

pengarang (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 34). Setting pedesaan dengan perkotaan tentu akan menyebabkan perbedaan kondisi sosial budayanya.

c. Sikap Masyarakat terhadap Masuknya Teknologi

Sikap merupakan bagian perilaku manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa yang dihadapinya. Jalaludin Rakhmat mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan bertindak, berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi atau kelompok (2001: 39).

Koentjaraningrat dalam bukunya "Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan" menjelaskan pengertian sikap yang merupakan disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan fisiknya) (2002: 26).

Sikap sebenarnya menyangkut apa yang dipikirkan orang, apa yang dirasakannya, bagaimana orang ingin berbuat dalam hubungannya dengan sesuatu atau suatu keadaan. Oleh karena itu, psikomotorik digerakkan oleh pribadi orang itu sendiri (Soemarsono dan Paina Partana, 2004: 360).

Dalam bahasa Inggris sikap disebut sebagai attitude. Gerungan (1996:

151) mendefinisikan sikap (attitude) sebagai salah satu penggerak intern di dalam pribadi orang yang mendorongnya berbuat sesuatu dengan cara tertentu.

Sikap dapat juga didefinisikan sebagai reaksi psikomotorik atas rangsangan yang diberikannya. Suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap sesuatu perangsang atau situasi yang dihadapi (Purwanto, 1990:

141).

Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia adalah sifat diferensialnya. Artinya, suatu stimulus yang sama belum tentu akan menimbulkan bentuk reaksi yang sama dari individu. Sebaliknya, suatu reaksi yang sama juga belum tentu timbul akibat adanya stimulus yang serupa (Azwar, 1988: 7).

(34)

Berdasarkan atas beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap hanya salah satu faktor yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan dalam menghadapi suatu objek.

Setiap individu memiliki sikap yang berbeda dalam menanggapi suatu peristiwa yang dihadapinya. Hal ini ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan tersebut.

Menurut Ellis, yang menyebabkan perbedaan sikap yaitu bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan dan juga situasi lingkungan (dalam Purwanto, 1990: 141). Ada beberapa faktor yang memengaruhi sikap seseorang.

Soemarsono dan Paina Partana menjabarkannya menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal itu di antaranya adalah pengalaman pribadi, daya pilah, daya seleksi, hasil pendidikan keluarga, sedangkan faktor- faktor eksternal seperti lembaga pendidikan formal, orang lain yang dianggap berpengaruh, kontak dengan budaya lain, media massa dan lapangan pekerjaan (2004: 362).

Seperti keterangan di atas bahwa objek sikap dapat berupa benda, peristiwa, gagasan, dan sebagainya. Masuknya teknologi ke suatu masyarakat tertentu merupakan salah satu objek yang dapat disikapi oleh masyarakat.

Istilah "teknologi" mengacu pada suatu bentuk kemajuan yang memberikan manfaat bagi manusia karena di dalam teknologi ada satu ilmu yang diterapkan. Dilihat dari ilmu antropologi, sebagaimana diungkapkan oleh Harsojo (1999: 199), teknologi pada hakikatnya proses yang dilalui manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Pengertian ini masih mengacu pada hal-hal dasar kefautuhan manusia dan menurut kepentingannya.

Hartono dan Arnicun (1994: 326) memunyai pendapat yang pada intinya sama dengan pendapat di atas mengenai definisi teknologi. Teknologi dianggap sebagai penerapan ilmu pengetahuan, dalam pengertian bahwa penerapan itu menuju ke perbuatan atau perwujudan sesuatu, sedangkan Soerjono Sukanto memaknai teknologi lebih ke arah aplikasinya dalam wujud kegiatan (2002 : 14).

(35)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknologi adalah wujud dari konsep dan teori berdasarkan hasil pemikiran manusia.

Selanjutnya, teknologi disebarluaskan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Penerapan suatu teknologi berkecenderungan untuk disebarluaskan ke masyarakat lain. Artinya teknologi itu tidak hanya dipergunakan oleh masyarakat yang berhasil menciptakan teknologi. Teknologi juga perlu disosialisasikan ke masyarakat lain. Pentransferan teknologi ke suatu masyarakat disebut juga dengan istilah alih teknologi.

Alih teknologi sebenarnya pengalihan pengetahuan dan keterampilan dari manusia kepada manusia lain. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses alih teknologi, yaitu perlu ditunjukkan sikap yang sesuai, perlu diserasikan antara kepentingan pengalih dan penerima teknologi, dan perlu dilakukan persiapan-persiapan yang matang guna mengatasi kendala-kendala, baik di pihak pengalih maupun di pihak penerima. Sikap bersahabat memegang peranan penting dalam proses ini. Hal penting lainnya, yaitu pengalihan teknologi harus disesuaikan dengan preferensi budaya, keadaan sosial, dan kondisi-kondisi lingkungan lainnya (Habibie, 1995 : 249).

Pencapaian sikap bersahabat antara pengalih dan penerima teknologi tentu tidak mudah. Hal ini disebabkan oleh faktor masyarakat, terutama masyarakat penerima teknologi tersebut.

Masuknya teknologi ke suatu masyarakat berarti suatu perubahan. Kita dapat mengidentifikasi adanya pengaruh terjadinya perubahan. Pandangan Soerjono Soekanto (1997 : 329) mengenai hal tersebut dapat dilihat dari adanya faktor pendorong dan penghambat terjadinya sebuah perubahan. Adapun faktor pendorong tersebut adalah :

1) Kontak dengan kebudayaan lain.

2) Sistem pendidikan formal yang maju.

3) Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju.

4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation) yang bukan merupakan delik.

5) Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification).

(36)

6) Penduduk yang heterogen.

Sementara itu, faktor yang menghalangi terjadinya perubahan yaitu : 1) Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.

2) Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.

3) Sikap masyarakat yang tradisional.

4) Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interest.

Awal analisis dalam penelitian ini adalah melalui unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui struktural masing-masing novel yang akhirnya dapat digunakan untuk memahami karya ini secara totalitas.

Langkah selanjutnya adalah mengomparasikan novel Gajah Mada : Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan Perang Bubat karya Langit Kresna Hariadi untuk mengetahui persamaan dan perbedaan keduanya secara intrinsik dan ekstrinsik.

B. Kerangka Berpikir

Karya sastra adalah karya seni yang mengandung unsur keindahan dan keterkaitan yang kuat dengan kehidupan. Pengarang sebagai pencipta karya sastra memunyai kebebasan untuk menuangkan imajinasinya pada sebuah karya. Dalam proses penciptaan karya sastra, ada waktunya seorang pengarang menciptakan dua atau lebih karya dengan tema yang sama. Suatu karya yang muncul sebelumnya dapat menjadi dasar penciptaan karya sesudahnya.

Penganalisisan karya sastra yang muncul sebelumnya dengan karya sastra yang muncul kemudian dapat dilakukan dengan cara membandingkan karya sastra tersebut. Salah satunya tercermin dalam novel Gajah Mada : Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan Perang Bubat karya Langit Kresna Hariadi.

Kedua novel tersebut dapat dikatakan sebagai paparan pengarang tentang sejarah kerajaan Majapahit yang diangkat dalam bentuk fiksi dengan latar belakang sejarah. Keduanya mengandung nilai edukatif yang dapat kita jadikan sebagai teladan dalam bertingkah laku maupun bertutur kata. Penganalisisan struktur novel meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang tema serta

(37)

amanat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya unsur intrinsik dan ekstrinsik. Hasil akhir penganalisisan dua karya sastra atau lebih mengacu suatu kesimpulan yang menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan kedua novel apakah kedua novel layak dijadikan sebagai materi pembelajaran sastra di sekolah.

Untuk lebih memperjelas kerangka berpikir, dikemukakan skema kerangka berpikir sebagai berikut.

Gambar 4. Alur Kerangka Berpikir Persamaan dan

Perbedaan Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik

Novel Gajah Mada : Perang Bubat

1. Unsur Intrinsik : a. Alur b. Tokoh dan

Penokohan c. Latar/setting d. Sudut Pandang e. Tema

f. Amanat 2. Unsur Ekstrinsik :

a. Sosial budaya pengarang b. Sosial budaya

novel Novel Gajah Mada :

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 1. Unsur Intrinsik :

a. Alur b. Tokoh dan

Penokohan c. Latar/setting d. Sudut Pandang e. Tema

f. Amanat

2. Unsur Ekstrinsik : a. Sosial budaya

pengarang b. Sosial budaya

novel

Analisis Struktural

Implikasi novel Gajah Mada : Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan

Perang Bubat dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra

Simpulan Karya-karya Langit

Kresna Hariadi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran tematik dalam mengembangkan kemandirian pada anak usia 5-6 tahun di TK Islam Al- Kautsar Pontianak,

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Islam mengemukakan bahwa Al-Qur’an memberikan ilustrasi atau contoh tentang perencanaan Nabi Musa AS pada saat hendak menghadapi Fir’aun, yaitu dengan mempersiapkan

(Gambar 4c) Saat kondisi surut terendah menunjukkan pola arus yang hampir sama dengan pola arus saat pasang menuju surut, yaitu arus bergerak dari arah Samudera Hindia menuju

Data tiap indikator kompetensi pedagogik guru pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa nilai presentase tertinggi yaitu pada indikator Pemahaman siswa atau landasan

Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku, maka Peraturan Bupati Kudus Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

 "6ekti6 5ika diminum setiap hari di ;aktu yang sama 00D?D kehamilan / 100 perempuan dalam 1 tahun pertama   'idak diperlukan pemeriksaan panggul 

Rencana Kerja Kecamatan Ranah Pesisir Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016 merupakan agenda tahunan Kecamatan Ranah Pesisir yang akan dilaksanakan pada Tahun 2016 dalam