• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

6

A. Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini akan dikemukakan tinjauan kepustakaan hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Randi (2019) yang berjudul “Aspek Religius Dan Moral Novel 99 Cahaya Di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA”. Penelitian tersebut mengkaji novel 99 Cahaya Di Langit Eropa. Hasil dari penelitian tersebut diperoleh tatanan akidah, nilai-nilai religius Islam, kejujuran dan akhlak, tanggung jawab, serta kasih sayang. Pada penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi, hal yang dianalisis yaitu Aspek Religius dan Moral yang terdapat dalam Novel 99 Cahaya Di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais. Adapun persamaannya dengan pennelitian tersebut yaitu mengkaji novel 99 Cahaya di Langit Eropa, sedangkan perbedaannya pada penelitian tersebut menggunakan variabel nilai moral, sedangkan pada penelitian ini menggunakan variabel nilai toleransi.

Selanjutnya penelitian yang kedua dilakukan oleh Pujiono, dkk (2019) yang berjudul “Penanaman Nilai Bertoleransi dalam Kehidupan Kebebasan Beragama Bagi Siswa Sekolah Menengah Kejuruan”. Pada penelitian tersebut mengkaji keberagaman beragama membutuhkan pemahaman toleransi untuk menghindari terjadinya suatu konflik. Pemahaman toleransi perlu ditanamkan kepada generasi muda. Penanaman toleransi dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, dengan menggunkan model yang interaktif dan edukatif, kemudian disertai dengan penyebarluasan informasi tentang toleransi kebebasan beragama. Oleh karena itu, kegiatan pengabdian pada penelitian tersebut dilakukan pada siswa SMK sebagai salah satu sasaran dalam menanamkan nilai-nilai toleransi. Adapun perbedaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan novel sebagai bahan kajiannya.

Selanjutnya penelitian yang ketiga dalam bidang stilistika dilakukan oleh Nur Cahyono, dkk (2018) dengan judul “Analisis Stilistika Novel Dari Hari Ke Hari Karya Mahbub djunaidi Dan Relevansinya Sebagai Materi Ajar Bahasa Indonesia Di Sekolah Menengah Atas” Pada penelitian tersebut mendeskripsikan diksi (pilihan kata), gaya bahasa (majas), dan citraan dari novel yang berjudul “Dari Hari ke Hari”

karya Mahbub Djunaidi. Kemudian direlevansikan hasil kajian pada novel

(2)

tersebut sebagai bahan ajar bahasa Indonesia di SMA. Penelitian tersebut berbentuk deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi dengan hasil penelitian: Pertama yaitu penggunaan diksi (pilihan kata) meliputi kata konkret, kata konotatif, kata sapaan atau nama diri, kosakata bahasa daerah,kata vulgar, kata serapan, dan kata dengan realitas alam. Kedua yaitu penggunaan gaya bahasa yang meliputi perumpamaan, dantiklimaks, alusi, atonomasi, eroteris, asindenton, polisedenton, asonansi, epizeukis, anafora, perifrasis, antisipasi, epanortosis, satire, paradoks, metafora, personifikasi, depersonifikasi, aligori, antitesis, pleonasme, klimaks, dan epistrofa. Ketiga yaitu penggunaan citraan yang meliputi citraan penglihatan, citraan gerak, citraan penciuman, citraan peraba, dan citraan pendengaran.

Kemudian yang keempat adalah novel “Dari Hari ke Hari” dapat digunakan sebagai bahan ajar bahasa Indoneisa di SMA pada kelas XII yang menerapkan kurikulum 2013, yaitu pada KD memahami struktur dan kaidah-kaidah teks novel.

Adapun perbedaan dengan penelitian tersebut yaitu menggunakan dua novel karya Hanum Salsabiela Rais dan merelevansikannya dengan nilai toleransi.

Kemudian penelitian yang keempat dilakukan oleh Laras Windi Arti (2015) dengan judul “Kajian Stilistika Novel Rembulan Ndhuwur Blumbang Karya Narko

“Sodrun” Budiman”. Pada penelitian tersebut mendeskripsikan gaya bahasa dan wujud pencitraan dalam novel “Rembulan Ndhuwur Blumbang” Karya Narko

“Sodrun” Budiman. Penelitian tersebut menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan sumber data penelitian berupa novel “Rembulan Ndhuwur Blumbang”

Karya Narko “Sodrun” Budiman. Data pada penelitian tersebut berupa kajian stilistika mencakup gaya bahasa dan ujud pencitraan. Instrumen penelitian yaitu peneliti sendiri dibantu kartu pencatat data. Teknik analisis data menggunakan analisis konten atau isi, kemudian teknik keabsahan data menggunakan validitas semantis. Teknik penyajian hasil analisis data menggunakan teknik informal. Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa (1) gaya bahasa dalam novel “Rembulan Ndhuwur Blumbang” Karya Narko “Sodrun” Budiman meliputi gaya bahasa gaya bahasa metonimia, gaya bahasa sarkasme, simile, gaya bahasa metafora, gaya bahasa hiperbola, gaya bahasa aliterasi, dan gaya bahasa eufimisme. (2) Wujud pencitraan dalam novel tersebut meliputi citraan penglihatan, citraan gerakan,

(3)

citraan penciuman, citraan pendengaran, dan citraan peraba. Adapun perbedaan dengan penelitian tersebut yaitu menggunakan dua novel karya Hanum Salsabiela Rais dan direlevansikan dengan nilai toleransi serta pemanfaatan untuk bahan ajar mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA.

B. Kajian Teori 1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Abrams (1971: 110) mengatakan bahwa “Novel is term novel is now applied to great variety of writings that have in common only the attribute of being extended works of prose fiction. As an extended narrative, the novel is distinguished from the short story and from the work of midlle length called thenovelette. “Abrams menjelaskan istilah novel sekarang diterapkan untuk berbagai macam tulisan yang berbentuk suatu karangan yang berupa prosa fiksi. Karangan tersebut berupa cerita pendek dan prosa. Fiksi adalah cerita rekaan atau dibuat-buat, sedangkan yang termasuk fiksi adalah novel dan cerpen. Namun kadangkala fiksi juga sering digunakan sinonim dari novel.

Hal ini selaras dengan pendapat Stamm dalam Journal of College & Character Volume X, No. 7, November 2009: “The possibilities of using this novel in courses on student development to make the understanding of identity development become more alive than through the more usual scholarly analyses. Given the emerging understanding of today’s millennium generation of college students, are particularly appropriate. Pop culture has played an educative role in the lives of the Millennial Generation. In thinking about novels as ethnographies of the college experience, both that of faculty as well as students, the possibilities are even more extensive, as exemplified by the previous illustrations. Comparison of academic novels from different time periods, for example, might serve to amplify other studies of the history and foundations of higher education” (Stamm, 2009: 2).

Berdasarkan pendapat di atas diharapkan novel mampu memberikan pencerahan dan penyadaran kepada pelajar agar mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik, saling menyadari perbedaan, dan lebih toleran kepada masyarakat

(4)

luas. Novel memberikan pelajaran kehidupan bagi pelajar. Hal ini akan menjadi bekal bagi pelajar dalam memasuki kehidupan bermasyarakat nantinya.

b. Jenis-jenis Novel

Menurut Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2010: 31) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.

Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.

Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2011: 126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 127).

Wellek dan Warren (1993: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki Kenney (1966:

6-7) berpendapat “To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole”. Dari pendapat Kenney (1966:6-7) dijelaskan bahwa menganalisis sebuah karya sastra dengan mengidentifikasi bagian-bagian karya yang membentuk dengan menentukan hubungan antar bagian- bagian, dan menemukan antar bagian-bagian secara keseluruhan. Analisis akhir

(5)

suatu pemahaman karya sastra sebagai satu kesatuan yang utuh dan kompleks. Fiksi modern di bagi menjadi tiga golongan besar yaitu, bacaan hiburan, cerita dengan kecenderungan konvensional, dan fiksi modern dengan kecenderungan inkonvensional. Bacaan hiburan berfungsi sebagai sarana hiburan bagi pembacanya. Pembagian cerita dengan kecenderungan konvensional dan inkonvensional tersebut berkaitan dengan konvensi unsur-unsur intrinsik sastra.

Konvensional merupakan cerita yang masih berpegang pada aturan atau konvensi sastra yang ada, sedangkan inkonvensional tidak berpegang dan bahkan menyimpang dari konvensi atau aturan sastra yang telah ada. Pembedaan tersebut sedikit berbeda dengan kategorisasi yang dilakukan oleh Goldmann.

2. Hakikat Toleransi a. Pengertian Toleransi

Toleransi termasuk salah satu nilai pendidikan karakter yang termuat dalam Impelentasi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Endang (2013: 89) menyatakan bahwa nilai toleransi merupakan bentuk positif dari budaya bangsa yang telah tumbuh berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad lamanya. Toleransi berasal dari bahasa Latin tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran (Homby dalam Casram, 2016: 188). Toleransi dipandang sebagai bentuk sikap keterbukaan, menghormati, dan menerima keanekaragaman budaya dan segala perbedaan latar belakang. Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik (Bangsawan, 2006: 47).

Sikap toleransi ditumbuhkan oleh kesadaran pribadi untuk menghormati agama, moralitas, pendapat orang lain, adat istiadat, suku, serta golongan.

Toleransi dipandang sebagai cara bersikap dalam kehidupan masyarakat plural supaya terjalin keharmonisan. Endang (2013: 90) menyatakan nilai-nilai toleransi harus dikembang dalam kehidupan masyarakat sebab sikap toleransi menjadi salah satu bagian mendasar untuk mencegah adanya benturan-benturan berupa konflik- konflik kepentingan. Dayanti (2015: 4) menyatakan sikap toleransi diperlukan dan perlu dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki era globalisasi

(6)

yang dihadapkan dengan masyarakat multikultural, majemuk, dan segala perbedaan dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Hal itu sangat diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis dalam keanekaragaman latar belakang budaya.

Shamshiya Rysbekova, dkk dalam jurnal Comparative Literature and Culture, Volume 20, Tahun 2018 yang berjudul “Educating for Tolerance in Kazakhstan”

mempertimbangkan masalah intoleransi pendidikan di tengah-tengah anak muda orang-orang di Republik Kazakhstan. Para penulis berharap untuk mengungkap beberapa kontroversi dan masalah yang dihadapi berkaitan dengan pencegahan terorisme dan ekstremisme

Secara umum toleransi setara dengan sikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia Indonesia (Casram, 2016: 188). Sikap toleransi ini dikembangkan tidak hanya tertuju dalam kehidupan beragama, akan tetapi pada bidang-bidang lain dalam kehidupan bermasyarakat.

Sikap toleransi dimaknai sebagai apresiasi terhadap keberagaman atau kebhinekaan. Toleransi terwujud dalam sikap menghargai pendapat orang lain, berinteraksi dengan sesama dengan berbagai latar belakang.

Berdasar ulasan tersebut, dapat disimpulkan toleransi adalah sikap menghormati, menghargai berbagai bentuk perbedaan yang ada seperti budaya, agama, golongan, adat istiadat, pendapat, dan segala macam perbedaan latar belakang dalam masyarakat plural/ multikultural untuk mencapai tujuan masyarakat multikultural yang harmonis, rukun, damai, berbhineka dalam keberagaman. Hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa adanya toleransi karena di dalam kehidupan masyarakat terdapat keberagaman yang dapat bersinggungan.

Oleh karena itu, sikap toleransi harus ditanamkan dan dimiliki pada setiap manusia Indonesia yang hidup beragam.

Sikap toleransi diperlukan dalam kehidupan yang beragam. Fidiyani (2013:

468) menyatakan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat multikultural yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dan harus dipertahankan. Kehidupan yang beragam atau multikutural harus dimaknai sebagai bentuk kekayaan dari bangsa Indonesia. Penguatan terhadap sikap toleransi harus ditanamkan sejak usia dini

(7)

sebagai pembentukan karakter manusia dalam pergaulan sehari-hari. Dayanti (2017: 4) menyatakan sikap toleransi diperlukan dan perlu dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki era globalisasi yang dihadapkan dengan masyarakat multikultural, majemuk, dan segala perbedaan dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu, kesadaran inilah yang harus ditanamkan dan selalu dipupuk sejak usia dini, pada masa sekolah, dan dilakukan secara berkelanjutan supaya nilai- nilai yang sudah diajarkan, ditanamkan, dan dimiliki tidak hilang dan selalu terpupuk. Hal itu disebabkan karena sikap merupakan bentukan dari suatu proses belajar.

Budaya memiliki peranan penting untuk menanamkan nilai toleransi.

Penanaman sikap toleransi sejak usia dini adalah hal penting bagi pembentukan karakter seseorang. Mokeyeva, dkk. (2015: 216) menyatakan bahwa pemberian semua pembelajaran dan program pendidikan tanpa kekerasan mendukung generasi baru memasuki dunia global dengan pengembangan keterampilan komunikatif di antara anak muda dan kemampuan saling pengertian (bertoleransi) lintas budaya.

b. Bentuk Nilai Toleransi

Toleransi ialah sikap saling menghargai tanpa membedakan suku, keyakinan, budaya, gender dan penampilan. Menurut Abdullah (2001: 202-203) sikap toleransi dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

1) Memberikan kebebasan atau kemerdekaan

Kebebasan atau kemerdekaan diberikan sejak manusia lahir sampai meninggal dan kebebasan atau kemerdekaan yang manusia miliki tidak dapat digantikan atau direbut oleh orang lain dengan cara apapun. Karena kebebasan itu adalah datangnya dari Tuhan YME yang harus dijaga dan dilindungi. Di setiap negara melindungi kebebasan-kebebasan setiap manusia baik dalam Undang-Undang maupun dalam peraturan yang ada. Begitu pula dalam memilih satu agama atau kepercayaan yang diyakini, manusia berhak dan bebas dalam memilihnya tanpa ada paksaan dari siapapun.

(8)

2) Mengakui hak setiap individu

Suatu sikap mental yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan sikap perilaku dan nasibnya masing-masing. Tentu saja sikap atau perilaku yang dijalankan itu tidak melanggar hak orang lain, karena kalau demikian, kehidupan di dalam masyarakat akan kacau.

3) Menghormati keyakinan orang lain

Landasan keyakinan adalah berdasarkan kepercayaan, bahwa tidak benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang atau golongan lain. Tidak ada orang atau golongan yang memonopoli kebenaran dan landasan ini disertai catatan bahwa soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing orang.

4) Saling pengertian

Saling menghormati antara sesama manusia tidak akan terjadi bila tidak menerapkan sikap saling pengertian. Saling anti dan saling membenci, saling berebut pengaruh adalah salah satu akibat dari tidak adanya saling mengerti dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.

3. Hakikat Stilistika a. Pengertian Stilistika

Istilah “stilistika” diserap dari bahasa bahasa Inggris stylistics yang diturunkan dari kata style yang berarti gaya. Secara etimologi, istilah style atau gaya itu sendiri menurut Shipley (1979: 314) dan Mikics (2007: 288) berasal dari bahasa Latin stilus, yang berati batang atau tangkai, menyaran pada ujung pena yang digunakan untuk membuat tanda-tanda (tulisan) pada tanah liat yang berlapis lilin (metode kuno dalam menulis). Jadi, stilistika dapat diartikan sebagai ilmu tentang gaya bahasa.

Menurut Adejare (1992) “style is an ambiguous term…” Some examples are: to a psychologist, style is a form of behaviour, to the critic, style is individuality and to the linguist, it is the formal structures in function”. Yakni stilistika adalah istilah yang ambigu ...” Ia menyatakan bahwa istilah gaya berarti hal yang berbeda untuk profesi yang berbeda. Beberapa contohnya adalah: bagi seorang psikolog, gaya adalah bentuk perilaku, bagi kritikus, gaya adalah individualitas dan bagi ahli

(9)

bahasa, itu adalah struktur formal dalam fungsi. Stilistika adalah pendekatan kritis yang menggunakan metode dan temuan ilmu linguistik dalam analisis teks sastra.

Stilistika berkembang pada abad ke-20 dan tujuannya adalah untuk menunjukkan fitur-fitur linguistik teknis sebuah karya sastra, seperti struktur tata bahasa dari kalimat-kalimatnya, memberikan kontribusi pada keseluruhan arti dan efek karya tersebut (Barry, 2010: 235).

Secara teoretis, telah banyak pakar sastra yang memberikan definisi tentang stilistika. Beberapa di antaranya yaitu Verdonk (2002: 4) memandang stilistika, atau studi tentang gaya, sebagai analisis ekspresi yang khas dalam bahasa untuk mendeskripsikan tujuan dan efek tertentu. Bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang khas sehingga berbeda dari bahasa dalam karya-karya nonsastra. Untuk itulah, analisis terhadap bahasa sastra pun membutuhkan analisis yang khusus. Dalam hal ini dibutuhkan stilistika sebagai teori yang secara khusus menganalisis bahasa teks sastra (Mills, 1995:3). Toolan (2013) mengatakan “Stylistics asserts we should be able to, particularly by bringing to the close examination of the linguistic particularities of a text an understanding of the anatomy and functions of the language”, maksudnya yaitu stilistika menegaskan harus mampu secara cermat kekhasan linguistik suatu teks pemahaman tentang anatomi dan fungsi bahasa.

Kemudian Nørgaard, Nina dkk. (2010: 1) memaparkan “Stylistics is the study of the ways in which meaning is created through language in literature as well as in other types of text”. Yaitu stilistika adalah studi bagaimana cara-cara makna diciptakan melalui bahasa dalam sastra serta dalam jenis teks yang lain. Sebagai alat analisis, stilistika digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu teks bekerja sebagaimana adanya, serta bagaimana kata-kata itu berasal hingga makna yang terkandung dalam suatu kata-kata. Hal itu senada dengan Leech, Geoffrey dan Mick Short (2007: 12) menyatakan “In studying style, we have to select what aspects of languagematter, and the principle of selection depends on the purpose we havein mind”. Dimana dalam memelajari gaya atau stilistika, harus memilih aspek bahasa apa materi, dan prinsip seleksi bergantung pada tujuan yang kita miliki dalam pikiran.

(10)

Pengertian stilistika yang cukup komprehensif seperti dikemukakan oleh Teeuw (1984:61) dan Tuloli (2000:6), stilistika atau ilmu gaya bahasa pada umumnya membicarakan pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra, atau pula penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang normal atau baku, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stilistika (stylistics) adalah ilmu yang secara spesifik mengkaji penggunaan gaya bahasa yang khas dalam sebuah karya sastra.

Kajian sastra dengan memanfaatkan teori stilistika hakikatnya berangkat dari pendekatan objektif seperti yang dibicarakan oleh Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp (1976: 8). Pendekatan objektif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan pada hubungan antar unsur karya sastra. Fokus pendekatan objektif adalah karya sastra itu sendiri. Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan objektif karena ditinjau dari sasaran kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra (Aminuddin, 1995:52).

Watson dan Sonia (2007: 3) menyatakan “What is known of the contribution stylistics might make to the aims of this more widely conceived literary, cultural and general language education, empirically, as opposed to asserted or speculated”. Artinya yaitu apa yang diketahui tentang kontribusi stilistika dapat dilakukan untuk tujuan pendidikan sastra, budaya, dan bahasa lebih banyak dipahami secara empiris. Selanjutnya ada Widdowson (1979: 116) menyatakan

“The value of stylistics analysis is that it can provide the means whereby the learner can relate a piece of literary writing with his own experience of languange and so extend that experience”. Bahwa Nilai analisis stilistika adalah ia dapat menyediakan sarana di mana pelajar dapat menghubungkan sepotong tulisan sastra dengan pengalamannya sendiri dalam bahasa dan memperluas pengalaman tersebut.

b. Pemilihan Kata (Diksi)

Menurut Widyamartaya (1990:45) diksi atau pilihan kata adalah kemampuan seseorang untuk secara akurat membedakan nuansa makna sesuai dengan ide yang ingin mereka sampaikan, dan kemampuan harus disesuaikan dengan situasi dan

(11)

nilai rasa yang dapat menyebabkan sekelompok masyarakat dan pendengar atau pembaca. Hal tersebut senada dengan Enre (1988:102) diksi adalah kata yang benar pilihan dan penggunaan kata untuk mewakili pikiran dan perasaan yang Anda inginkan untuk mewujudkan dalam sebuah pola kalimat.

Pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf, 2006: 22- 23). Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokkan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan- ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan- ungkapan yang individual atau karakterisktik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata yang dipilih itu dapat juga diterima atau tidak merusak suasana yang ada (Keraf, 2006: 24). Masyarakat yang diikat oleh berbagai norma, menghendaki pula agar setiap kata yang dipergunakan harus cocok atau serasi dengan norma-norma masyarakat, harus sesuai dengan situasi yang dihadapi.

Sebagai contoh, Wright, Laura dan Jonathan Hope (1996: 161) menyatakan bahwa “English was re-established as the written language, but borrowings continued from continental French and classical Latin under the influence of the Renaissance. Thus we can say that the vocabulary of English is evidence for the history not only of the language, but also of the culture and the people”. Maksudnya adalah sejak Bahasa Inggris didirikan sebagai bahasa tertulis, namun pemakaian kosakata yang digunakan masih menyerap dari Bahasa Perancis kontinental dan Latin klasik di bawah pengaruh Renaissance. Hal ini membuktikan bahwa kosakata bahasa Inggris adalah bukti untuk sejarah tidak hanya dari bahasa, tetapi juga dari budaya. West (2011: 131) menyatakan “On the ordered arrangement of words. For practical purposes, however, it was convenient to undertake a concentrated, separate treatment of word order”. Maksudnya adalah stilistika sangat bergantung dengan penggunaan kata-kata yang teratur.

(12)

Dengan demikian dapat disimpulkan, diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kemudian, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

1) Kata Konotatif

Al Ma‟ruf (2009: 33) memaparkan bahwa kata konotatif merupakan kata dengan makna komunikatif. Makna tersebut lepas dari makna harfiah yang didasarkan pada perasaan, pikiran, atau persepsi pengarang mengenai sesuatu yang dibahasakan.

2) Kata Konkret

Salah satu jenis pilihan kata yang digunakan oleh pengarang adalah kata konkret. Waluyo (2010: 94) menyatakan bahwa untuk membangkitkan imaji pembaca, kata-kata harus diperkonkret. Apabila pengarang mengkonkretkan kata- kata, pembaca akan dapat melihat, mendengar, atau merasakan apa yang disampaikan oleh pengarang.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kata konkret adalah kata yang menunjuk pada sesuatu yang sebenarnya dan berupa fakta, bertujuan untuk memberikan gambaran yang sejelas mungkin kepada pembaca.

3) Kata Serapan

Kata serapan adalah kata yang berasal dari bahasa asing yang kemudian ejaan, ucapan, dan tulisannya disesuaikan dengan penuturan masyarakat Indonesia dan memperkaya kosa kata bahasa Indonesia.

4) Kata Asing

Kata asing merupakan kata yang berasal dari bahasa asing. Penggunaan kata asing ini tergolong umum dan ringan, dan masih bisa dipahami oleh pembaca.

(13)

c. Gaya Bahasa

Gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya bahasa dalam karya sastra dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengekploitasi dan memanipulasi potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Menurut Abrams (1981) Gaya bahasa ialah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Dalam Keraf (2006:

112) Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan memengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu.

Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Tujuan ini terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai model pertama, dalam ruang lingkup linguistik, maupun sebagai sistem model kedua, dalam ruang lingkup kreativitas sastra (Kutha Ratna, 2016: 67). Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan bahasa kiasan yang diciptakan untuk menambah kesan estetis di dalam suatu karya sastra. Pengarang menyuguhkan gaya bahasa dalam karyanya agar lebih menarik dan suasana yang diciptakan menjadi lebih hidup.

Gorys Keraf (2002: 113-115) mengungkapkan sebuah gaya bahasa yang baik harus terdapat tiga unsur yang meliputi kejujuran, sopan santun, dan menarik.

1. Kejujuran

Kejujuran adalah sikap mengikuti kaidah-kaidah, aturan-aturan yang benar dan baik dalam berbahasa. Penggunanaan kalimat yang kurang efektif, berbelit-belit serta pemakaian kata-kata yang tidak terarah dan kabur merupakan jalan untuk menuju ketidakjujuran. Pengarang atau penulis tidak menyampaikan hasil pemikirannya dengan terus terang, seolah-olah menyembunyikan hasil

(14)

pemikirannya dibalik rangkaian jaringan kalimat yang tidak menentu dan berbelit- belit serta dibalik rangkaian kata-kata yang kabur. Ia hanya mengelabui pendengar atau pembaca dengan mempergunakan kata-kata yang kabur dan hebat agar bisa tampak lebih intelek atau lebih dalam pengetahuannya. Di pihak lain, pemakai bahasa yang berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik berondongan kata-kata hampa. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul.

Oleh sebab itu, bahasa harus digunakan pula tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.

2. Sopan Santun

Pengertian sopan santun menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan. Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk mencari apa yang ditulis atau dikatakan. Di samping itu, pembaca atau pendengar tidak perlu membuang-buang waktu untuk mendengar atau membaca sesuatu secara panjang lebar, kalau hal itu diungkapkan dalam beberapa rangkaian kata. Kejelasan dengan demikian akan diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu: a) kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat, b) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat tadi, c) kejelasan dalam pengurutan ide secara logis, d) kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan. Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku- liku. Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim secara longgar, menghindari tautology atau mengadakan repertisi yang tidak perlu.

3. Menarik

Gaya bahasa yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut:

variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup vitalitas, dan penuh daya khayal atau imajinasi. Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur, dan pilihan kata. Untuk itu, seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam kosa kata, memiliki kemauan untuk mengubah panjang-pendeknya kalimat,

(15)

dan struktur-struktur morfologis. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman.

Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan pengguanaan kata yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata kata dilihat dari pemakaian bahasa dalam masyarakat.

Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata menurut Gorys Keraf (1998:117) di antaranya:

a) Gaya Bahasa Resmi

Gaya bahasa resmi merupakan gaya bahasa yang digunakan dalam kegiatan- kegiatan resmi dan bentuknya lengkap. Gaya bahasa resmi bisa disebut bahasa dengan gaya tulisan tingkat tertinggi. Biasanya digunakan untuk sambutan- sambutan oleh yang berkepentingan, misalnya di istana negara, seminar internasional, acara resmi di perguruan tinggi maupun di sekolah, dan sebagainya.

Selain digunakan dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tertulis seperti pada UUD 1945, karya-karya ilmiah, dsb.

b) Gaya Bahasa Tak Resmi

Gaya bahasa tidak resmi juga digunakan dalam bahasa standar, biasanya dalam kegiatan-kegiatan yang tidak formal. Bentuknya tidak terlalu konservatif. Gaya bahasa yang tidak resmi digunakan dalam acara-acara yang lebih santai, seperti kebersamaan dengan keluarga, ngobrol dengan teman-teman, acara ulang tahun, dsb.

c) Gaya Bahasa Percakapan

Dalam gaya bahasa ini, pilihan kata yang digunakan adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Selain hal tersebut, penggunaan bahasa percakapan biasa digunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain pada aktivitas sehari-hari.

d. Citraan (Imaji)

Pengelompokkan citraan didasarkan pada lima indra manusia. Ketujuh citraan itu meliputi (a) citraan penglihatan (visual), (b) citraan pendengaran (auditoris), (c)

(16)

citraan gerak (kinestetik), (d) citraan rabaan (taktik termal), (e) citraan penciuman (olfaktori), dan (f) citraan pencecapan.

1) Citraan Penglihatan

Citraan penglihatan ialah jenis citraan yang sering menekankan pada pengalaman visual (penglihatan) yang dialami pengarang kemudian diformulasikan ke dalam rangkaian kata yang seringkali metaforis dan simbolis. Sutejo (2010: 20) Penggambaran setting misalnya, hakikatnya merupakan pengalaman visual yang dialami oleh pengarang. Tanpa pengalaman visual, tentunya pengarang akan gagal dalam pelukisan pelataran secara empatif dan deskriptif. Citraan penglihatan itu sendiri dapatlah dipahami sebagai ciri penglihatan yang memberi rangsangan kepada indra penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat.

2) Citraan Pendengaran

Citraan pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio). Sutejo (2010: 22) memaparkan bahwa citraan pendengaran karena itu juga dapat memberi rangsangan kepada indra pendengaran sehingga mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara lebih utuh. Citraan pendengaran biasanya dapat memberikan rangsangan kepada indra pendengaran sehingga hal-hal yang semula tak terlihat akan tampak atau hadir di depan penikmat dengan rangsangan pendengaran.

3) Citraan Penciuman

Yang dimaksud dengan citraan penciuman ialah penggambaran yang diperoleh melalui pengalaman indra penciuman. Selanjutnya, citraan jenis ini dapat membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh atas pengalaman indra yang lain. (Sutejo, 2010: 23).

4) Citraan Perabaan

Citra perabaan ialah penggambaran atau pembayangan dalam cerita yang diperoleh melalui pengalaman indra perabaan. (Sutejo, 2010: 24)

5) Citraan Gerak

(17)

Citraan gerak ialah menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. (Sutejo, 2010: 24)

6) Citraan Pencecapan

Citraan pencecapan berkaitan dengan indra perasa manusia. Menurut Al Ma’ruf (2009: 25) citraan pencecapan adalah penggambaran imajinasi yang ditimbulkan oleh indra pencecapan yaitu lidah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa citraan pencecapan merupakan penggambaran yang menunjukkan hasil olah rasa indra lidah.

4. Hakikat Bahan Ajar a. Pengertian Bahan Ajar

Pembelajaran akan berjalan dengan baik apabila semua unsur-unsur pendukung pembelajaran terpenuhi. Salah satu unsur pendukung pembelajaran selain media belajar, metode, dan fasilitator (pendidik) yaitu bahan ajar. Bahan ajar merupakan unsur yang penting, apabila kualitas bahan ajar kurang baik maka akan berdampak pada keterampilan peserta didik. Hal tersebut sejalan dengan Hamalik, (2011: 138) menyatakan bahan ajar merupakan bagian penting dalam proses kegiatan belajar mengajar yang menempati kedudukan dan menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Kaitannya dengan ketercapaian tujuan pembelajaran, dan menentukan kegiatan-kegiatan pembelajaran.

Bahan ajar mempunyai kedudukan yang setara dengan materi ajar, dan merupakan segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum yang harus dikuasai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar dalam rangka ketercapaian standar kompetensi setiap mata pelajaran dalam satuan pendidikan tertentu (Sanjaya, 2008:

141). Bahan ajar dapat pula diartikan sebagai seperangkat fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan generalisasi yang dirancang secara khusus untuk memudahkan pembelajaran (Abidin, 2013: 33). Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Ismawati (2011: 87) yang menyatakan bahwa pada dasarnya bahan ajar atau materi ajar adalah sesuatu yang terdapat pesan dan akan disajikan dalam proses kegiatan

(18)

belajar mengajar, kemudian dikembangkan berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

Bahan ajar memungkinkan siswa untuk mempelajari suatu kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif dapat menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu (Majid, 2013: 173). Bahan ajar bahasa Indonesia adalah materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru kepada siswa.

Di dalamnya terdapat materi yang harus disampaikan oleh guru kepada siswa dan siswa wajib menguasai materi bahasan tersebut, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Bahan ajar di sekolah dikembangkan untuk tujuan akademis, artinya bahan ajar tersebut dipelajari untuk mendapatkan kebenaran universal bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak terkait dengan kebenaran peorangan atau segolongan orang (Widjono, 2008: 40).

b. Bentuk Bahan Ajar

Bentuk bahan ajar dapat dikelompokkan menjadi:

1) Bahan cetak (printed) antara lain: handout, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, model/maket.

2) Bahan ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio.

3) Bahan ajar pandang dengar (audio-visual) seperti video, compact disk, film.

4) Bahan ajar interaktif (interactive teaching material) seperti compact disk interaktif.

c. Kriteria Bahan Ajar

Menurut Arif dan Napitupulu (1997) kriteria bahan ajar yang baik yaitu:

1) Bahan ajar sesuai dengan tujuan pembelajaran, 2) Bahan ajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, 3) Penyajian secara faktual,

4) Menggambarkan suasana dan latar belakang yang dihayati peserta didik, 5) Mudah dan ekonomis dalam penggunaannya,

6) Cocok dengan gaya belajar peserta didik, 7) Tersusun secara sistematis.

(19)

Dalam silabus SMA kelas XII Kurikulum 2013, terdapat kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) yang memiliki kaitan dengan pembelajaran apresiasi sastra, khususnya novel. Kompetensi inti tersebut yaitu KI 3 dan KI 4, untuk lebih jelasnya perhatikan tabel dibawah ini.

Tabel 1. KI dan KD Pembelajaran Novel di kelas XII Semester 2

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

KI.3 Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

3.1 Memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.

3.2 Membandingkan teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.

3.3 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.

3.9 Menganalisis isi dan kebahasaan novel

KI.4 Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

4.1 Menginterpretasi makna teks novel baik secara lisan maupun tulisan.

4.2 Memproduksi teks novel yang koheren sesuai dengan karakteristik teks baik secara lisan maupun tulisan.

4.3 Menyunting teks novel sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan.

(20)

4.9 Merancang novel atau novelet dengan memerhatikan isi dan kebahasaan.

Berdasarkan beberapa kompetensi dasar di atas, kompetensi dasar 3.9 merupakan yang tepat untuk direlevansikan dengan penelitian ini. Kompetensi dasar 3.9 membahas tentang isi dan kebahasaan novel. Pada KD tersebut siswa diharapkan mampu memahami unsur pembangun novel. Unsur pembangun novel berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Gaya bahasa merupakan salah satu unsur instrinsik. Menurut Nurgiyantoro (2014: 23) unsur intrinsik adalah unsur- unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik novel terdiri atas tema, tokoh dan penokohan, latar (setting), alur (plot), amanat, gaya bahasa, dan sudut pandang. Kemudian pada kompetensi dasar tersebut memuat isi dan kebahasaan novel, dimana aspek tersebut terkait dengan unsur diksi, gaya bahasa, dan citraan.

Dalam kurikulum 2013 terdapat pendidikan karakter yang harus diajarkan kepada setiap peserta didik. Pendidikan karakter dapat diterapkan melalui semua mata pelajaran. Salah satunya pada mata pelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia.

Aspek pendidikan karakter toleransi dapat dikorelasikan dengan materi pembelajaran sastra seperti novel. Novel yang dipilih yaitu dua novel karya Hanum Salsabiela Rais dengan judul 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika. untuk lebih jelasnya mengenai aspek pendidikan karakter perhatikan tabel berikuti ini.

(21)

Tabel 2. Aspek Pendidikan Karakter Kurikulum 2013 No. Aspek Pendidikan

Karakter

Deskripsi

1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya

menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5 Kerja Keras Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8 Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

(22)

9 Rasa Ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10 Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

12 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13 Bersahabat (Komunikatif) Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

14 Cinta Damai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

15 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-

(23)

upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan aspek-aspek pendidikan karakter kurikulum 2013 tersebut, aspek toleransi dipilih karena sesuai dengan karakteristik isi novel. Pendeskripsian dari toleransi yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Untuk kompetensi dasar mengenai sikap toleransi terdapat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3. KI dan KD Bahasa Indonesia yang Memuat Sikap Toleransi

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, toleransi, responsif dan proaktif), menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa, serta memosisikan diri sebagai agen transformasi masyarakat dalam

2.1 Menggunakan Bahasa Indonesia untuk menyampaikan informasi, gagasan, pendapat, dan ekspresi diri secara teliti, cermat, sistematism dan santun.

2.2 Mengapresiasi sastra Indonesia untuk menemukan nilai-nilai kehidupan dan menerapkannya untuk memperhalus budi pekerti.

2.3 Menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana untuk mencapai tujuan

(24)

membangun peradaban bangsa dan dunia.

dan menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan serta melakukan hubungan sosial secara jujur dan santun.

2.4 Menggunakan Bahasa Indonesia untuk mengembangkan daya nalar, daya kreatif, dan kepedulian sosial terhadap sesama serta tata nilai dalam lingkungannya.

Berdasarkan tabel tersebut, maka kompetensi dasar 2.2 (Mengapresiasi sastra Indonesia untuk menemukan nilai-nilai kehidupan dan menerapkannya untuk memperhalus budi pekerti) merupakan KD yang tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan mengapresiasi sastra Indonesia dalam hal ini (novel) dapat menemukan nilai-nilai toleransi dan diterapkan untuk kehidupan sehari-hari.

C. Kerangka Berpikir

Pada penelitian ini menggunakan kajian stilistika yang meliputi diksi, gaya bahasa, imaji (citraan) yang akan ditemukan dalam novel. Kemudian nilai toleransi yang terdapat dalam novel dapat digunakan pada pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas. Selanjutnya kajian stilistika dan nilai toleransi yang terdapat dalam novel dapat dimanfaatkan pada pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas. Untuk memperjelas uraian tersebut disajikan gambar kerangka berpikir sebagai berikut:

(25)

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Dua Novel karya Hanum Salsabila Rais

Imaji/Citraan Gaya

Diksi

Analisis Nilai Toleransi Kajian

Stilistika

Pemanfaatannya pada pembelajaran bahasa

Indonesia di SMA

Gambar

Tabel 1. KI dan KD Pembelajaran Novel di kelas XII Semester 2
Tabel 2. Aspek Pendidikan Karakter Kurikulum 2013  No.  Aspek Pendidikan
Tabel 3. KI dan KD Bahasa Indonesia yang Memuat Sikap Toleransi
Gambar 1. Skema Kerangka BerpikirDua Novel karya Hanum Salsabila Rais

Referensi

Dokumen terkait

Jadi ya menunggu umurnya sama ya,” kata Pak Kemplu seperti orang tanpa dosa.” Tuturan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Kemplu telah melakukan pelanggaran prinsip kerja sama

Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efektivitas implantasi benang PDO di lapisan dermis dalam menghambat penurunan jumlah kolagen pada tikus Wistar (Rattus

erosum bahkan di- jumpai di kawasan selatan Thailand, Malaysia, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Papua dan New Guinea, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon dengan ukuran

Bab ketiga menguraikan tentang pembahasan terdiri dari sub bab biografi Imam Syafi’i meliputi riwayat hidup, karya Imam Syafi’i, dasar-dasar istinbat Imam Syafi’i, kemudian sub

“ untuk jual belinya pasti boleh asal tidak menyimpang dari perintah Allah dan ajaran Nabi Muhammad, yang menjadi masalah disini kan barang yang diperjual belikan adalah Patung

1. Kesadaran mahasiswa Universitas Darussalam Gontor untuk memberikan donasi masih cukup rendah. Indikatornya adalah data donatur yang menunjukkan sebagian besar penyalur

Setelah Kerajaan Tumapel memiliki raja yang dipimpin oleh Ken Arok, Perang antara Kerajaan Kediri dengan Kerajaan Tumapel pun terjadi.. Perang antara kedua

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat