10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Dehidrasi
1. Definisi Dehidrasi
Kusuma et al. (2016) mengartikan hidrasi sebagai seimbangnya cairan tubuh untuk menjamin fungsi dari metabolisme sel tubuh. Di sisi lain, dehidrasi merupakan kondisi kurangnya cairan dalam tubuh atau ketidakseimbangan cairan tubuh, karena asupan yang tidak seimbang dan pengeluaran cairan. Konsumsi cairan dan pengeluaran air mempengaruhi keseimbangan air dalam tubuh.
Tubuh mempertahankan cairan tubuh agar selalu tetap, melalui mekanisme keseimbangan. Oleh karena itu, terwujudnya kebutuhan asupan air, dapat menghindari efek samping dari tidak seimbangnya cairan. Konsumsi cairan dalam tubuh yang tidak tercukupi dapat mempengaruhi kebugaran, penurunan konsentrasi, kelelahan dan status hidrasi (Ramdhan & Rismayanthi, 2016).
Baron et al. (2015) berpendapat bahwa gambaran akan keseimbangan dari keluar dan masuknya air dalam tubuh disebut dengan status hidrasi. Sedangkan menurut Ramdhan &
Rismayanthi (2016) pengujian warna urine dengan menggunakan kartu Periksa Urine Sendiri (PURI) dapat menggambarkan status hidrasi pada tubuh seseorang. Warna urine tersebut menggambarkan keadaan serta keseimbangan air di dalam tubuh.
Fitriah et al. (2018) mengungkapkan, status hidrasi lebih banyak
dipengaruhi dari konsumsi cairan yang sesuai kebutuhan, dan dipengaruhi juga oleh faktor suhu lingkungan yang tinggi. Suhu lingkungan yang tinggi tersebut, menyebabkan peningkatan dari pengeluaran cairan melalui pernapasan dan keringat, sehingga menyebabkan kebutuhan cairan tubuh meningkat.
Menurut Montazer et al. (2013), kelompok dari status hidrasi, yaitu :
a. Euhidrasi yaitu keadaan di mana cairan tubuh pada kondisi normal/seimbang
b. Hiperhidrasi adalah status cairan dalam tubuh pada kondisi yang berlebih
c. Hipohidrasi adalah status cairan dalam tubuh berkurang
d. Dehidrasi adalah proses hilangnya air dalam tubuh sehingga mengalami pengurangan cairan tubuh
e. Rehidrasi adalah proses penambahan cairan tubuh, sehingga tubuh terhidrasi kembali
Cairan tubuh tidak hanya terdiri dari air, namun juga ada elektrolit, bahan lainnya yang dibutuhkan tubuh. Elekrolit terdiri atas anion dan kation. Cairan dan juga elektrolit menjaga kondisi dari tubuh agar tetap sehat. Keseimbangan dari cairan dan elektrolit merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis.
Menurut William (2017), cairan dalam tubuh terbagi menjadi dua komponen :
a. Cairan Intraseluler
Cairan yang terdapat di dalam sel, terdiri kurang lebih 2/3 cairan dari total cairan tubuh.
b. Cairan Ekstraseluler
Cairan di luar sel, yang mencakup plasma dan cairan interstitial, yang memiliki jumlah yang lebih banyak (4/5 dari cairan ekstraseluler) dibandingkan plasma (1/5 dari cairan intraseluler).
2. Fisiologi Dehidrasi
Wibowo et al., (2019) menyebutkan kondisi dehidrasi karena kurangnya cairan dan elektrolit dapat menimbulkan demam, karena cairan dan elektrolit sangat berpengaruh pada keseimbangan termoregulasi di hipotalamus anterior. Jika ada pasien dengan dehidrasi, maka akan terjadi gangguan pada keseimbangan termoregulasi. Selain itu, menurut Penggalih et al. (2014), adanya respon rasa haus adalah bentuk pengaturan pertama kali dari hidrasi tubuh. Penyebab dari rasa haus karena adanya sekrese anti- diuretika hormone (ADH) dan osmoreseptor, serta sel saraf yang
nantinya merespon baroreseptor kardiovaskular. Reseptor tersebut akan menginisiasi reflek pengendalian ADH melalui munculnya rasa haus.
Keseimbangan cairan adalah suatu bentuk kontrol tubuh untuk menjaga homeostatis. Homeostatis merupakan kemampuan tubuh untuk menyesuaikan diri serta menjaga keseimbangan kondisi
cairan di dalam tubuh mengenai perubahan lingkungan sekitar (Amalia et al., 2016). Dengan kata lain, keseimbangan cairan adalah pengaturan fisiologis tubuh, agar bisa mempertahankan fungsi organ tubuh. Selain itu, keseimbangan cairan dapat mengoptimalkan fungsi dari kardiovaskuler dan pengaturan suhu dari tubuh. Tubuh akan berkeringat karena sebagai mekanisme penurunan suhu tubuh yang tadinya meningkat, sehingga dapat memicu terjadinya dehidrasi. Ketika tubuh berkeringat, penguapan berasal dari permukaan kulit dan menyebabkan suhu tubuh menurun. Menurut Penggalih et al. (2016a), semakin tinggi aktifitas, panas yang merupakan hasil dari metabolisme energi, juga akan meningkat. Cairan pada tubuh akan menjalankan fungsinya sebagai pengatur panas, untuk menjaga temperatur internal tubuh.
Dehidrasi terjadi karena adanya kondisi kehilangan cairan.
Hilangnya cairan menimbulkan peningkatan kadar natrium dan osmolaritas, serta menyebabkan dehidrasi intraseluler. Wololi et al.
(2016) berpendapat bahwa dehidrasi menyebabkan penurunan volume ekstraseluler, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan perfusi jaringan, dan menimbulkan gangguan fungsi dari organ- organ tubuh. Normalnya, tubuh dapat mempertahankan diri ketika terdapat kondisi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Akan tetapi, kehilangan cairan terjadi dalam jumlah yang banyak secara terus menerus, membuat tubuh tidak bisa mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Leksana (2015) menyebutkan, gangguan keseimbangan atau homeostasis air dan elektrolit, perlu untuk diterapi dengan cepat, karena untuk menormalkan kembali keseimbangan air dan elektrolit. Pada kondisi ini, terapi cairan dapat dilakukan. Untuk menurunkan suhu tubuh yang disertai dengan kondisi dehidrasi, hanya dengan mengkonsumsi air mineral, sudah dianggap merupakan cairan yang paling baik untuk tubuh.
3. Tanda & Gejala Dehidrasi
Menurut Shaheen et al. (2018) gejala umum dari dehidrasi ringan hingga sedang adalah mulut/lidah kering, haus, kelelahan, sakit kepala, lesu, kulit kering, kelemahan otot, pusing, hingga kurang fokus. Gejala untuk dehidrasi berat adalah mata cekung, mata terasa kering, hipotensi, takikardia, hingga tidak sadarkan diri. Sebagai tambahan, menurut Devi dalam Merita et al. (2018), dehidrasi menyebabkan hilangnya nafsu makan, menurunnya urinasi, lemah, sakit otot, meningkatnya denyut nadi dan respirasi, gangguan pengaturan temperatur. Selain itu, menurut Kusuma (2020) dehidrasi juga bisa mempengaruhi kerja organ kardiovaskuler dan pengaturan termoregulasi tubuh.
Sebagai tambahan, Gustam (2012) menyatakan pada tubuh kekurangan cairan sebanyak 1%-2% pada kondisi dehidrasi ringan, dan ada rasa haus, gelisah, lelah, selera makan juga akan menghilang. Untuk tdehidrasi sedang, sekitar 3%-4% cairan tubuh
akan berkurang, dan muncul tanda-tanda seperti berkurangnya volume urine dan mulut, kulit serta tenggorokan akan terasa kering.
Pada kondisi dehidrasi berat, ada tanda-tanda seperti peningkatan frekuensi nafas, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, dan kegagalan pengaturan suhu tubuh karena cairan yang kurang sebanyak 5%- 6%. Hilangnya cairan sebesar >6% meningkatkan risiko dari gangguan kesehatan, seperti otot kaku dan juga collapse. Pada kondisi hilangnya cairan 7%-10%, volume darah akan mengalami penurunan, dan juga adanya kegagalan fungsi dari ginjal saat 11%
cairan tubuh menghilang.
4. Faktor yang Mempengaruhi Dehidrasi
Disebutkan dalam Merita et al. (2018), beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kondisi dehidrasi antara lain jenis kelamin, usia, status gizi, suhu tubuh. Selain itu, menurut Leksana (2015), diare, perdarahan, dan juga demam yang termasuk faktor patologis, mampu menyebabkan dehidrasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fitriah et al. (2018) bahwa tercukupinya konsumsi cairan sesuai kebutuhan, serta faktor suhu lingkungan, lebih mempengaruhi status hidrasi. Kebutuhan cairan juga ikut meningkat seiring dengan meningkatnya pengeluaran cairan dari pernapasan dan keringat. Selain faktor kondisi tubuh dan juga suhu lingkungan, individu dengan banyak aktivitas seperti remaja atau atlet olahraga mudah mengalami dehidrasi.
5. Pengukuran Status Dehidrasi
Ramadhan & Rismayanthi (2016) mengemukakan, bahwa cara mudah mengetahui status hidrasi, dengan melihat volume dari urine serta warnanya saat buang air kecil. Urine dengan volume yang banyak dan berwarna cerah menunjukkan hidrasi dalam keadaan baik. Urine dengan volume yang sedikit dengan warna gelap dan keruh, menunjukkan buruknya level hidrasi tubuh. Melalui Urine Colour Chart, didapatkan keterangan bahwa warna urine pada
tingakatan 1-3 terhidrasi dengan baik, lalu pada warna tingkatan 4-6 menandakan terhidrasi kurang dan warna urine pada tingkatan 7-8 menandakan terhidrasi berat.
Gambar 2.1 Urine Colour Chart (Megahed et al., 2019)
B. Saturasi Oksigen
1. Pengertian Saturasi Oksigen
Oksigen tidak hanya diperlukan oleh tubuh, namun termasuk elemen yang penting, karena tidak akan ada sebuah kehidupan, tanpa adanya oksigen. Pada manusia yang normal, bernafas adalah
cara untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Oksigen dari udara akan masuk menuju paru-paru, dan nantinya oksigen akan disebarkan melalui pengangkutan oleh sel darah merah menuju ke seluruh tubuh. Pertami et al. (2019) berpendapat, oksigen adalah kebutuhan penting untuk makhluk hidup. Untuk bisa menugkur persentase oksigen pada darah, atau pada air yang dikonsumsi maupun oksigen yang dihirup dari udara, disebut dengan saturasi oksigen.
Rompas et al. (2020) mengatakan bahwa saturasi oksigen merupakan presentase dari hemoglobin yang berikatan dengan okisgen di arteri. Sebagian besar oksigen yang ada dalam darah, diangkut dalam keadaan terikat hemoglobin. Menurut Aini dalam Fadlilah et al. (2020) jumlah normal saturasi oksigen ialah >95%
meskipun, jumlah yang lebih rendah dari 95% mungkin normal untuk terjadi pada beberapa individu. Sebagai tambahan Fadlilah et al. (2020), juga menyebutkan bahwa selain memeriksa tekanan
darah yang bertujuan untuk mendeteksi adanya gangguan pada tekanan darah, atau adanya masalah dengan sirkulasi pada tubuh, dapat juga dilakukan pemeriksaan saturasi okisgen. Gangguan pada tekanan darah dapat bisa berpengaruh pada nilai saturasi oksigen tubuh.
Saturasi oksigen diperlukan untuk presentase oksigen yang terikat dengan hemoglobin dalam darah. Illahi (2019), berpendapat bahwa saturasi oksigen merupakan jumlah total ikatan oksihemoglobin (HbO2) yang ada pada darah. Menurut Kaunang et
al. (2015), terdapat beberapa macam kadar saturasi oksigen, yaitu
saturasi oksigen arteri (SaO2), saturasi oksigen vena (SvO2), saturasi oksigen jaringan (StO2), dan saturasi oksigen perifer (SpO2). Tirajoh et al. (2016) mengungkapkan bahwa pengukuran dari saturasi oksigen dilakukan salah satunya dengan oksimeter.
Oksimeter nadi merupakan pemantauan secara non-invasive akan saturasi oksigen hemoglobin (SaO2). Illahi (2019) menyebutkan bahwa istilah SaO2 merujuk pada kadar oksihemoglobin yang diukur dari arteri gas darah (blood gas analyze), tapi jika menggunakan oksimeter nadi (pulse oxymetry), maka disebut dengan SpO2.
2. Faktor yang Mempengaruhi Saturasi Oksigen
Tingkat saturasi oksigen dapat menunjukkan persentase hemoglobin yang tersaturasi dengan oksigen. Nilai saturasi oksigen dipantau karena menunjukkan keadekuatan oksigenasi atau perfusi jaringan. Menurunnya saturasi menyebabkan kegagalan dalam transportasi oksigen. Oksigen dalam tubuh sebagian besar terikat oleh hemoglobin dan terlarut dalam plasma darah dalam jumlah kecil. Rompas et al. (2020) berpendapat bahwa yang memengaruhi saturasi okisgen adalah okisgen yang masuk ke dalam paru-paru (ventilasi), kemampuan hemoglobin membawa oksigen, serta kecepatan difusi.
Fadlilah et al. (2020) berpendapat, gangguan tekanan darah tinggi atau hipertensi dapat berpengaruh pada nilai saturasi
oksigen. Hipertensi menyebabkan jantung tidak mampu memompa darah untuk kembali ke jantung secara cepat. Hal itu menyebabkan cairan akan terkumpul di kaki, paru, dan juga jaringan lain atau biasanya disebut edema. Stroke dan infark miokard juga dapat mempengaruhi nilai saturasi oksigen.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi presentase saturasi oksigen adalah sebagai berikut :
a. PO2
PO2 merupakan faktor utama yang menentukan presentase saturasi oksigen karena berkorelasi dengan konsentrasi oksigen yang larut dalam darah. Ketika PO2 darah naik terjadi peningkatan % saturasi Hb, ketika PO2 turun akan terjadi penurunan persentase saturasi Hb.
b. PCO2
Adanya CO2 tambahan pada darah, memiliki efek yang bisa menurunkan afinitas Hb akan O2, sehingga Hb membebaskan lebih banyak O2 pada jaringan.
c. PH
Penurunan afinitas Hb akan O2 karena peningkatan keasaman ini menambah jumlah O2 yang dibebaskan.
d. Suhu
Peningkatan suhu membuat lebih banyak O2 yang dibebaskan, pada PO2 tertentu. Peningkatan dari suhu lokal
meningkatkan pembebasan O2 dari Hb untuk digunakan oleh jaringan yang lebih aktif.
e. Hemoglobin
Menurut Coli et al. (2020), oksigen dibawa dalam darah dengan terikat dengan hemoglobin, dan sebagian kecil oksigen itu terlarut. Rendahnya konsentrasi hemoglobin mampu mengurangi pengiriman oksigen ke jaringan secara maksimal.
f. Merokok
Menurut penelitian yang dilakukan Rosari et al. (2020), menyebutkan derajat merokok baik derajat aktif, ringan, sedang, maupun berat sangat mempengaruhi kadar saturasi oksigen.
g. Aktivitas
Mengigil atau gerakan berlebihan di area sensor akan mempengaruhi pembacaan.
3. Efek Dehidrasi Terhadap Saturasi
Penggalih et al. (2014) berpendapat, dehidrasi yang merupakan kondisi saat tubuh kekurangan cairan, terjadi karena ketidakseimbangan cairan tubuh. Terjadi karena kondisi cuaca atau lingkungan, contohnya tubuh akan berkeringat dengan cukup banyak saat udara panas. Pengentalan pada sirkulasi darah dapat disebabkan oleh dehidrasi tingkat lanjut. Munculnya gangguan pada fungsi organ dapat terjadi, karena adnya pengentalan pada sirkulasi darah tadi.
Konsumsi cairan mempengaruhi status hidrasi dan juga oleh suhu lingkungan yang tinggi. Kebutuhan cairan tubuh akan meningkat sejalan dengan pengeluaran cairan melalui pernapasan dan keringat. Adanya suhu lingkungan yang tinggi serta aktivitas yang padat, menimbulkan peningkatan suhu tubuh. Keluarnya keringat merupakan mekanisme untuk menurunkan suhu tubuh selama olahraga karena suhu tubuh terus meningkat. Menurut Rompas et al. (2020) pada saat melakukan latihan fisik, kebutuhan oksigen akan meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas kerja. Berdasarkan hal itu aliran darah dan juga ventilasi akan meningkat, maka semakin banyak oksigen yang berdifusi ke kapiler paru, dan kemudian berikatan dengan hemoglobin, kondisi tersebut dapat menggambarkan apakah saturasi oksigen meningkat atau tidak. Makin beratnya aktivitas kerja yang dilakukan, semakin tinggi konsumsi oksigennya. Selain itu, disebutkan juga bahwa massa otot memengaruhi pengambilan oksigen dan kemampuan dari jaringan untuk mengambil oksigen berbeda-beda, berdasarkan ekstraksi oksigen atau tingkat VO2max. Hal tersebut sejalan dengan Hidayah (2018), yang mengungkapkan bahwa saat melakukan pekerjaan, otot akan berkontraksi terus menerus hingga menyebabkan suplai oksigen ke jaringan otot juga akan berkurang.
Penggalih et al. (2014), mengungkapkan dehidrasi yang terjadi dalam waktu yang cukup lama, menyebabkan pengentalan sirkulasi darah. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan fungsi organ.
Menurut Penggalih et al. (2016b), keluarnya keringat yang berlebih menaikkan osmolalitas plasma serta kepadatan volume plasma, hingga akhirnya dapat menaikkan tekanan darah dan juga denyut jantung. Aktivitas, terlebih aktivitas fisik membuat penggunaan oksigen menurun. Respon yang diciptakan oleh tubuh karena kondisi itu adalah meningkatkan kerja jantung, agar darah bisa memenuhi kebutuhan oksigen ke seluruh tubuh. Karena hal tersebut, maka denyut jantung meningkat. Dehidrasi memperlihatkan adanya cairan tubuh yang menurun atau berkurang karena itu, jumlah volume plasma dan darah akan ikut menurun.
Volume darah yang menurun ini, disebabkan karena adanya konsentrasi hemoglobin dan hematokrit yang menurun sesudah latihan.
4. Fisiologi Saturasi Oksigen
Oksigen diperlukan oleh darah untuk dapat berfungsi dengan baik. Kondisi kurangnya jumlah oksigen di dalam darah, menyebabkan tubuh mengalami gangguan atau masalah. Untuk meningkatkan oksigen dalam darah bisa dengan olahraga, transfusi darah, dan konsumsi nutrisi tertentu. Pelealu et al. (2015), berpendapat bahwa ketika melakukan aktivitas fisik, aliran darah serta konsumsi oksigen akan bertambah, karena untuk mengangkut oksigen yang dibutuhkan, menuju otot saat latihan. Kaunang et al.
(2015), menyebutkan bahwa mempertahankan oksigenasi merupakan sebuah usaha untuk memastikan tercukupinya pasokan
oksigen ke jaringan atau sel. Kurangnya asupan oksigen menimbulkan kerusakan pada jaringan karena hipoksia jaringan.
a. Hemoglobin
Mallo et al. (2012) menyebutkan, peran darah yang paling utama ialah mengangkut oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel tubuh. Selain itu, darah juga mempunyai fungsi untuk membawa nutrisi ke seluruh tubuh, mengangkut sisa metabolisme, dan juga penyusun sistem imun. Sebanyak 45%
bagian darah merupakan korpuskula dan sebanyak 55%
merupakan sel plasma darah. Korpuskula darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit) yang mengandung hemoglobin untuk mengedarkan oksigen, trombosit atau keping-keping darah membantu untuk pembekuan darah, dan sel darah putih (leukosit) yang memiliki peran pada sistem kekebalan tubuh.
Sebagai tambahan, Mallo et al. (2012), juga menyebutkan bahwa plasma darah merupakan larutan air yang mengandung hormon, albumin, bahan pembeku darah, berbagai macam protein, dan berbagai jenis garam. Saturasi oksigen merujuk pada presentase hemoglobin berikatan dengan oksigen di dalam arteri. Hemoglobin merupakan suatu molekul protein yang mampu mengikat oksigen. Amin et al. (2018) menyebutkan bahwa saat tekanan parsial oksigen rendah, maka kebanyakan hemoglobin terdeoksigenasi, yang berarti proses
pendistribusian dari darah beroksigen, mulai dari arteri ke jaringan tubuh.
Mallo et al. (2012), menyebutkan molekul protein yang merupakan bagian dari darah, yang berikatan dengan oksigen disebut dengan hemoglobin. Saturasi oksigen dapat memperlihatkan apakah hemoglobin mampu berikatan dengan oksigen atau tidak, karena itulah saturasi oksigen merupakan indikator penting dari suplai oksigen dalam tubuh. Menurut Susiloningtyas (2018), zat besi (Fe) diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Zat besi juga merupakan komponen pembentuk mioglobin (protein yang membawa oksigen ke otot), kolagen, dan juga enzim, selain itu berfungsi bagi sistem pertahanan tubuh.
b. Zat Besi
Zat besi (Fe) merupakan salah satu kandungan zat atau mineral di dalam air. Sebagai tambahan, Nisa (2018) menyebutkan mikroelemen penting bagi tubuh adalah zat besi untuk hemopobosis (pembentukan darah), lebih tepatnya pada sintesis hemoglobin. Sebanyak sekitar 80% besi dalam tubuh ada di hemoglobin, sisanya ada pada mioglobin. Wibawa (2015), menyatakan zat besi dibutuhkan dalam pembentukan darah. Zat besi juga merupakan komponen dari beberapa enzyme-hemprotein seperti sitochrom dan flavorprotein. Enzim
ini berperan penting pada proses oksidasi reduksi di dalam sel hidup.
Zat besi berperan dalam pengikatan oksigen dan karbondioksida dari paru dan mengikat CO2 dari sel-sel, dikeluarkan melalui paru dengan hemoglobin (Nisa, 2018).
Sebagai tambahan, Nisa (2018) juga mengungkapkan bahwa penyerapan zat besi terjadi di bagian usus halus, yaitu duodenum. Setelah diserap, darah kemudian mengangkut zat besi lalu diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Pendistribusian zat besi ini dalam keadaan terikat pada protein transeferin. Zat besi itu, digunakan antara lain untuk sintesis enzim-enzim pernafasan dan juga produksi dari hemoglobin, Fe dalam plasma darah, serta sel darah merah dalam tulang, hati limfa, dan lain-lain.
5. Pengukuran Saturasi Oksigen
Menurut Priyono (2019), Untuk mengukur saturasi oksigen tubuh, maka terdapat beberapa teknik yaitu :
a. Saturasi oksigen Arteri (Sa02)
Nilai saturasi oksigen arteri tergantung dengan kecukupan ventilasi dan fungsi pernafasan. Nilai normal saturasi oksigen arteri adalah lebih dari 95%. Penilaian ini unruk mengevaluasi fungsi pernafasan. Apabila kadarnya dibawah 90% maka dikatakan bahwa tubuh mengalami hipoksemia. Keadaan ini ditandai dengan sianosis.
b. Saturasi oksigen Vena (SvO2).
Pengukuran ini untuk mengetahui jumlah hemoglobin yang masih teroksigenasi dalam darah vena. Dengan nilai normal yaitu 70-80%. Adapun tujuannya untuk mengetahui seberapa banyak tubuh mengonsumsi oksigen. Jumlah yang menunjukkan di bawah 60% menunjukkan keadaan kekurangan oksigen dan adanya penyakit iskemik.
c. Saturasi oksigen Jaringan/Tissue (StO2)
Dengan menggunakan teknik Tissue Near Infrared Spectroscopy (NIRS). Dengan teknik ini, digunakan untuk
mengukur oksigen darah yang ada pada jaringan dan dalam berbagai kondisi.
d. Saturasi oksigen perifer (SpO2)
Merupakan estimasi kejenuhan oksigen, umumnya diukur menggunakan pulse oximeter.