• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PRODUKSI MINYAK SERAI WANGI BERKELANJUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SISTEM PRODUKSI MINYAK SERAI WANGI BERKELANJUTAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Perspektif, Rev.Pen. Tan. Industri Vol. 20 No. 2 /Des 2021. Hlm 94-105 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v20n2.2021. 94-105 ISSN: 1412-8004 e-ISSN: 2540-8240

SISTEM PRODUKSI MINYAK SERAI WANGI BERKELANJUTAN

Sustainable Production System of Citronella Oil

AGUS WAHYUDI

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute

Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor, 16111, Indonesia Email: [email protected]

ABSTRAK

Minyak serai wangi merupakan produk dari penyulingan daun tanaman serai wangi (Cymbopogon nardus L.) yang digunakan dalam industri parfum, kosmetik dan farmasi. Produksi minyak serai wangi dapat berkelanjutan jika didukung oleh budidaya serai wangi, penyulingan dan jaminan bahan baku yang juga berkelanjutan. Keberlanjutan produksi minyak serai wangi sering kali dipertanyakan karena budidayanya berpotensi menimbulkan degradasi lahan, penyulingan yang tidak kontinu karena pasok bahan baku yang sulit mencapai kapasitas minimum.

Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mempelajari sistem produksi minyak serai wangi secara berkelanjutan, yaitu tinjauan atas sistem budidaya serai wangi dan penyulingan minyak serai wangi, serta jaminan pasok bahan baku yang menjadi perangkai antara kedua sistem tersebut. Sistem budidaya tanaman serai wangi berkelanjutan dapat diterapkan terhadap aktivitas budidaya tanaman yang terdiri atas penanaman, pemeliharaan dan panen. Penyulingan minyak serai wangi berkelanjutan diterapkan dengan menjamin pasokan bahan baku tepat mutu, kuantitas dan tepat waktu sehingga penyulingan dapat beroperasi sesuai target kapasitas produksinya.

Pasokan bahan baku dari pekebun baik secara langsung kepada penyuling atau tidak langsung melalui pengumpul atau agen dengan pola relasi bebas, kemitraan atau terintegrasi yang semakin tinggi keberlanjutannya. Untuk mencapai keberlanjutan sistem produksi minyak serai wangi dapat dirancang melalui koordinasi antara sistem penyulingan dan sistem produksi bahan baku agar pasok bahan baku terjamin. Transformasi pola relasi antara perkebunan dan penyulingan diperlukan dari pola relasi bebas menjadi pola kemitraan atau terintegrasi.

Kata kunci: minyak serai wangi, sistem produksi berkelanjutan, sistem budidaya serai wangi, sistem penyulingan minyak serai wangi, jaminan pasok bahan baku

ABSTRACT

Citronella oil is a product of the distillation of the leaves of lemongrass (Cymbopogon nardus L.) used in the perfume, cosmetics and pharmaceutical industries.

The production of citronella oil can be sustainable if supported by the sustainable cultivation of lemongrass, distillation and guaranteeing raw materials. The sustainability of citronella oil production is often questioned because its cultivation has the potential to cause land degradation, and distillation cannot continuously reachs minimum capacity because of the lack of supply of raw materials. The purpose of this review is to study the system of sustainable production of citronella oil, namely a review of the system of lemongrass cultivation and distillation of citronella oil, as well as the guarantee of supply of raw materials that bridges between the two systems. Sustainable lemongrass cultivation system can be applied by reffering the improvement of environment, economy and social impacts to cultivation activities consisting of planting, maintenance and harvesting. Sustainable citronella oil distillation can be applied by ensuring the supply of raw materials on quality, quantity and on time scheduled, so that the distillers can operate within its production capacity target. The supply of raw materials from growers either directly or indirectly to distillers or through collectors or agents with patterns of free, partnerships or integrated relations that are increasingly sustainable. To achieve the sustainability of the citronella oil production system can be designed through coordination between the distillation and the raw material production systems, hence the supply of raw materials can be guaranteed. Transforming the pattern of relations between growers and distillers is needed, from free relations to partnership or integration pattern.

Keywords: citronella oil, sustainable production system, lemongrass cultivation system, citronella oil distillation system, guarantee of supply of raw materials

(2)

PENDAHULUAN

Serai wangi (Cymbopogon nardus L.) merupakan tanaman yang menghasilkan bahan baku produksi minyak serai wangi (citronella oil), salah satu minyak atsiri yang digunakan dalam industri parfum, kosmetika, dan farmasi (Suryani, 2017; Sukamto et al. 2011). Produksi minyak serai wangi di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan (sekitar 3-4% per tahun), terutama dirangsang oleh kenaikan harga mulai tahun 2018, dari harga yang semula Rp 120.000-150.000 menjadi Rp 215.000-350.000 per kg. Produksi minyak serai wangi Indonesia pada 2019 diperkirakan mencapai 650 ton berdasarkan perkiraan 2016 sebesar 500-600 ton (Sulaswatty, 2019; Alighiri et al., 2017).

Kebutuhan minyak serai wangi dunia pada 2016 diperkirakan sekitar 3.000-3.500 ton jika diproyeksikan berdasarkan data 2010 sebesar 2.830 ton yang sebagian besar dipasok oleh oleh Cina, Indonesia dan Vietnam (Alighiri et al., 2017;

Trecyda, 2011). Kebutuhan industri di Cina belum bisa dipenuhi dari produksinya sendiri sehingga Cina juga merupakan pengimpor minyak serai wangi selain Singapura, Jepang, Australia, Meksiko, India, Taiwan, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jerman dan Spanyol (Siregar, 2017).

Kebutuhan dalam negeri Indonesia juga tumbuh pesat dengan digunakannya minyak serai wangi sebagai bioaditif bahan bakar minyak dan industri farmasi (Wisesa dan Dahlan, 2020;

Kadang et al., 2019). Produksi serai wangi saat ini sudah meluas ke berbagai provinsi seperti Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Aceh, Jambi, Sumatra Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Kep. Bangka Belitung, Bali, NTB dan NTT (Ditjenbun, 2020), dari semula hanya di Jawa dan Sumatra saja.

Sistem produksi minyak serai wangi terdiri dua rangkaian proses produksi, yaitu budidaya serai wangi untuk menghasilkan bahan baku dan penyulingan minyak serai wangi (Adiwijaya dan Malika, 2016). Budidaya yang berkelanjutan menjadikan kelestarian lingkungan, operasi secara ekonomis dan peningkatan kesejahteraan

sosial sebagai faktor penting dalam produksi (Altieri, 2018; Lichtfouse et al,. 2009; Rodriguez et al., 2009). Penyulingan daun serai wangi bertujuan untuk mengekstraksi minyak terbang yang terkandung di dalamnya, dengan penyulingan uap (steam distillation), air (hydro distillation) dan air-uap (hydro-steam distillation) (Feriyanto et al. 2013; Mansyur et al., 2015).

Penyulingan minyak serai wangi berkelanjutan dapat ditinjau dari aspek teknis, ekonomi dan ekologi, yaitu penyulingan yang dapat beroperasi mendekati kapasitas terpasang (tersedia bahan baku secara kontinu), dapat mengekstraksi minyak secara maksimum dengan penggunaan sumber daya yang efisien dan limbahnya dapat ditangani dengan baik.

Lembaga usaha produksi yang melaksanakan kedua proses itu ada yang terpisah atau terintegrasi. Produksi bahan baku daun serai wangi di Indonesia pada umumnya dilakukan oleh perkebunan rakyat atau usaha swasta dan penyulingan dilakukan oleh usaha swasta, koperasi, atau kelompok yang umumnya merupakan usaha kecil. Keberlanjutan produksi minyak serai wangi juga tergantung keberlanjutan pasokan bahan baku, apalagi di kebanyakan daerah sentra produksi serai wangi, antara usaha serai wangi dan usaha penyulingan terpisah (Atmoko, 2017), sehingga hubungan antara kedua lembaga tersebut sebatas transaksional.

Mengingat besarnya tantangan yang dihadapi dalam sistem produksi minyak serai wangi secara berkelanjutan, yang selama ini budidayanya sering dianggap dapat menimbulkan degradasi lahan (Fadilla dan Astuti, 2019), dan penyulingannya sulit mencapai kapasitas minimum karena tidak adanya jaminan pasokan bahan baku (Syafrizal, 2021), maka tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mempelajari sistem produksi minyak serai wangi secara berkelanjutan yang terdiri atas tinjauan sistem budidaya serai wangi sebagai penghasil bahan baku, sistem penyulingan yang menghasilkan minyak serai wangi dan perancangan sistem penyulingan agar pasok bahan baku serai wangi dapat terjamin, dengan tinjauan dari aspek teknis, ekonomi, kelembagaan dan ekologi.

(3)

SISTEM BUDIDAYA SERAI WANGI BERKELANJUTAN

Menurut Mason (2013) pertanian berkelanjutan adalah suatu sistem budidaya pertanian yang dapat memberdayakan petani untuk menggunakan dan mengkonservasi sumber daya alam terutama tanah dan air sehingga dapat meminimumkan limbah dan dampak terhadap agroekosistem untuk mempertahankan, meningkatkan produktivitas dan keuntungan yang diperoleh, serta berdampak pada kesejahteraan sosial. Sistem produksi (budidaya) bahan baku serai wangi berkelanjutan dapat ditinjau dari sudut ekologi, sosial dan ekonomi dan sosial.

Dari sudut pandang ekologi, untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan petani harus dapat melakukan konservasi tanah dan air

agar tidak terdegradasi untuk berarti juga menjaga produktivitas tanah. Lebih jauh Arsyad (2009) menyatakan bahwa degradasi tanah dalam mendukung pertumbuhan tanaman dapat terjadi karena (1) pengurasan unsur hara tanah dan bahan organik, (2) penumpukan garam yang bersifat racun terhadap tanaman, (3) kehilangan atau penggenangan air, dan (4) erosi. Diantara keempat faktor tersebut faktor erosi merupakan faktor yang bisa menyebabkan terjadinya ketiga faktor lainnya sehingga budidaya serai wangi berkelanjutan dapat dilihat dampak lingkungannya terhadap erosi.

Seraiwangi merupakan tanaman tahunan yang termasuk famili Graminae (rumput- rumputan) yang membentuk rumpun dengan jumlah anakan dalam satu rumpun dapat mencapai 70 batang, panjang daun sekitar 75-90 cm, lebar daun 2-3 cm, kedalaman perakaran sekitar 30-50 cm, dan diameter kanopi 150-180 cm

(Syukur dan Trisilawati, 2019). Serai wangi adalah tanaman dengan sistem fotosintesis C4 sehingga membutuhkan penyinaran matahari penuh dan lebih tahan terhadap cekaman kekeringan, bahkan konsentrasi dan produksi minyak atsiri bisa meningkat bila berada dalam cekaman kekeringan yang cukup tersedia unsur hara P dan N (da Costa et al., 2020; Hamim, 2006).

Budidaya serai wangi berkelanjutan harus dilaksanakan dengan aktivitas dan kerangka waktu yang tepat. Aktivitas budidaya serai wangi terdiri atas (1) penanaman dengan aktivitas persiapan lahan, persiapan benih, pemupukan dasar dan penanaman; (2) pemeliharaan dengan aktivitas perawatan rumpun tanaman, pemupukan, pengendalian gulma, hama dan penyakit; dan (3) panen dengan aktivitas pemotongan, pengangkutan dan penjualan (Gambar 1).

Aktivitas penanaman yang dimulai dengan persiapan dilaksanakan 1-2 bulan sebelum penanaman, pemeliharaan pada siklus produksi pertama dilaksanakan selama 5-6 bulan setelah penanaman dan pemeliharaan pada siklus produksi kedua dan seterusnya dilaksanakan selama 3-4 bulan setelah panen sebelumnya.

Tanaman serai wangi dapat dipertahankan hingga enam tahun, bila pemeliharaan tanaman dilakukan dengan baik (Ermiati et al. 2015).

Penanaman

Pengolahan tanah untuk menunjang budidaya berkelanjutan mengacu pada pengolahan tanah konservasi sebagai alternatif dari pengolahan tanah intensif karena sistem pengolahan tanah konservasi terbukti dapat meningkatkan kemampuan retensi air sehingga sangat sesuai untuk lahan kering (Wahyunie et al.

2012). Metode konservasi tanah yang dapat diterapkan adalah metode konservasi mekanik, Gambar 1. Aktivitas budidaya serai wangi

(4)

yaitu pencegahan erosi melalui pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan teras, guludan, saluran pembuangan air dan rorak. Selain itu dapat pula diterapkan metode vegetatif yang ditujukan untuk mengurangi pukulan air hujan dan kecepatan aliran air permukaan (run off) serta meningkatkan kecepatan infiltrasi air (Idjudin 2011).

Serai wangi adalah tanaman rumput- rumputan dengan kedalaman dan keluasan perakaran yang terbatas, tetapi menurut Rosman (2012) tanaman ini dapat ditanam di dataran rendah sampai tinggi, walaupun pertumbuhannya ditentukan oleh sifat tanahnya.

Sebagaimana penanaman serai wangi di Sumatera Barat berada di dataran rendah sampai tinggi (Suryani 2017), sedangkan di Jawa Barat dan daerah-daerah linnya banyak tanaman serai wangi di dataran tinggi. Mengingat bahwa tanah di dataran tinggi yang subur dan rata banyak tanaman pesaing, terutama sayuran, maka pada umumnya tanaman serai wangi berada pada tanah marginal dan tidak merata.

Konsekuensinya penerapan pengolahan tanah konservasi sangat diperlukan untuk mengurangi erosi dan penurunan kemampuan retensi air.

Menurut Daswir (2010) tanaman serai wangi dapat mengurangi erosi, menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan unsur hara tanah pada lahan kritis, sehingga penerapan olah tanah minimum untuk tanaman serai wangi dengan cara pembuatan lubang tanam sangat sesuai.

Aktivitas persiapan benih dimulai dengan menentukan varietas yang sesuai dengan area penanaman. Varietas unggul yang tersedia adalah Serai Wangi 1 (G1) untuk dataran rendah, Sitrona-1 Agribun dan Sitrona-2 Agribun untuk dataran sedang sampai tinggi dan bisa dikembangkan di lahan marginal serta berkemiringan (Syukur dan Trisilawati 2019).

Benih serai wangi berasal dari anakan dengan perakaran yang sehat yang dipisahkan dari rumpun tanaman yang baik (Kardinan, 2005).

Kebutuhan benih serai wangi sekitar 2-3 kali populasi, sehingga bila benih yang diinginkan tidak bisa tersedia dalam jumlah yang cukup pada saat penanaman, maka dari benih yang tersedia harus diperbanyak lebih dahulu, dengan

persiapan minimal 6 bulan sebelum penanaman.

Yang harus diperhatikan dalam perbanyakan benih adalah ketersediaan air untuk menyiram karena biasanya jatuh pada musim kemarau untuk bisa tersedia benih siap tanam pada saat penanaman pada awal musim hujan.

Pemupukan dasar serai wangi sangat diperlukan terutama untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dalam hal ini adalah tekstur dan kemasaman tanah. Pada tanah yang masam (seperti di sebagian besar Sumatera) dengan tekstur yang cenderung berpasir, maka pemberian 2 kg pupuk organik dan 0,5 kg kapur untuk setiap titik tanam dapat meningkatkan produksi terna dan rendemen minyak serai wangi, walaupun peningkatannya baru sangat signifikan pada panen kedua dan seterusnya (Ansyarullah et al. 2006). Untuk lahan yang tidak ada masalah dengan kemasaman, pemupukan dasar cukup dengan pupuk organik tanpa kapur dan pemberian pupuk anorganik dapat diberikan pada saat pemeliharaan, yaitu 2-4 minggu setelah penanaman.

Penanaman dilakukan sekitar 2 minggu setelah pupuk dasar diberikan, dengan jarak tanam pada tanah yang subur 100 cm x 100 cm atau populasi maksimum 10.000 tanaman tiap ha dan untuk tanah yang kurang subur paling rapat pada dengan jarak tanam 100 cm x 50 cm atau populasi maksimum 20.000 tanaman tiap ha (Syukur dan Trisilawati 2019). Pada lahan yang berkemiringan banyak bidang yang tidak bisa ditanami sehingga populasinya tidak bisa mencapai maksimum. Penanaman diupayakan pada awal musim hujan untuk menjamin ketersediaan air pada saat pertumbuhan awal, sehingga sistem perakaran dapat tumbuh dengan baik dan jumlah anakan bisa maksimal.

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman yang baru ditanam dilaksanakan selama 5-6 bulan setelah penanaman atau 3-4 bulan setelah panen untuk tanaman keprasan. Perawatan tanaman setelah penanaman dilakukan dengan menyulam tanaman yang mati atau mengganti tanaman yang pertumbuhannya tidak normal sekaligus mengatasi penyebabnya. Perawatan tanaman keprasan harus diperhatikan bila panen terjadi

(5)

pada saat musim kemarau, yang bisa menyebabkan perlambatan pertumbuhan sehingga panen berikutnya bisa lebih lama dan produksi daun menurun walaupun rendemen minyaknya cenderung meningkat (Karneta dan Wahyuni 2020). Pada tanah yang kemampuan retensi airnya rendah diperlukan penambahan bahan organik, yang umumnya berasal dari limbah padat penyulingan.

Pemupukan serai wangi menggunakan pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik diberikan sebagai pupuk dasar sebelum penanaman, sedangkan untuk tanaman keprasan diberikan bersamaan perawatan tanaman sekaligus penggemburan tanah. Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan produksi secara signifikan (Sopacua 2016). Secara umum pemberian pupuk organik yang semakin banyak responnya semakin baik karena pada umumnya kandungan bahan organik di lahan kering sangat terbatas. Mengingat bahwa populasi dari tanaman serai wangi tinggi, maka kebutuhan pupuk organik per ha juga tinggi. Dengan demikian penyediaan pupuk organik yang berasal dari limbah seperti limbah penyulingan, tandan kosong sawit, bahkan juga sampah rumah tangga diperlukan untuk mendukung keberlanjutan produksi.

Penggunaan pupuk anorganik dapat meningkatkan produksi dan mutu bahan baku minyak serai wangi. Pupuk anorganik dalam bentuk pupuk tunggal ataupun pupuk majemuk, dapat diberikan dan secara signifikan dapat meningkatkan produksi minyak (Setiawan dan Nurhayati, 2018; Syukur dan Trisilawati, 2019).

Pupuk tunggal yang meliputi pupuk Urea, Sp-36, dan KCl setara dengan pemberian pupuk NPK (16:16:16) sebanyak 280-300 kg untuk populasi 10.000-15.000 tanaman per ha dengan dua kali aplikasi pada minggu ketiga (1/3 bagian) dan ke- 8 sampai ke-10 setelah penanaman atau panen.

Bila saat pemupukan tidak ada hujan, maka harus diupayakan penyiraman.

Pengendalian gulma sebaiknya dilakukan secara manual terutama pada saat musim hujan pada piringan sekitar rumpun tanaman muda.

Sedangkan serangan hama dan penyakit tanaman relatif langka pada tanaman serai wangi, walaupun tidak berarti tidak ada seperti

Fusarium sp (Syukur dan Trisilawati 2019). Yang perlu diperhatikan justru pada saat musim kemarau tanaman cenderung mudah terbakar, sehingga adanya titik-titik api harus dihindarkan.

Panen

Serai wangi merupakan tanaman yang mampu bertahan selama 6 tahun atau bahkan bisa lebih bila pemeliharaan dilakukan dengan baik dan mengikuti prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. Panen pertama dilakukan 5-6 bulan setelah penanaman, berikutnya 3-4 bulan setelah panen pertama. Keterlambatan panen dapat mengakibatkan penurunan mutu minyak (Sukamto et al. 2011). Pemotongan rumpun sekitar 5 cm dari pangkal, dengan sabit atau mesin potong rumput, yang hasilnya dikumpulkan pada titik jemput untuk diangkut ke penyulingan.

Produksi serai wangi umumnya cenderung meningkat dari panen ke panen berikutnya hingga pertambahan anakan mencapai maksimum. Produksi pada panen pertama dan kedua antara 20-30 ton/ha daun basah, panen ketiga sampai keenam 30-40 ton/ha, panen berikutnya 40-60 ton/ha. Produksi daun biasanya turun pada musim kemarau dan daunnya lebih kering, walaupun kecenderungan dari panen awalnya tetap meningkat. Produksi pada daerah dengan curah hujan tinggi lebih besar, walaupun rendemennya cenderung lebih rendah, dan berlaku sebaliknya.

Manajemen pengangkutan bahan baku (daun serai wangi) diperlukan untuk menjamin pengangkutan bahan baku ke penyulingan tepat waktu dan kuantitas sesuai dengan kebutuhan secara efektif dan efisien. Sistem manajemen pengangkutan bahan baku meliputi penentuan posisi penyulingan ke areal kebun utama, penjadwalan panen dan penjemputan, dan pemilihan alat angkut yang sesuai (Nandi 2019;

Pretyola 2019). Keberhasilan manajemen pengangkutan bahan merupakan bagian dari keberlanjutan produksi minyak serai wangi.

Dalam pengangkutan bahan baku, posisi penyulingan sebaiknya berada di dekat areal kebun utama (mendekati bahan baku) daripada di titik distribusi produk (minyak serai wangi) dengan pertimbangan bahwa secara kuantitas

(6)

(bobot dan volume) daun serai wangi yang diangkut ke penyulingan jauh lebih besar daripada minyak yang dihasilkan, sehingga pengangkutan bisa lebih efektif dan efisien.

Pertimbangan lain adalah tersedianya akses jalan dari kebun dan juga berkaitan dengan penanganan ampas daun atau abu yang harus dikembalikan ke areal kebun sebagai pupuk organik.

Penjadwalan panen disesuaikan dengan umur tanaman dan kebutuhan bahan baku penyulingan. Pekebun yang bermitra dengan penyuling dapat lebih mudah mengatur luas petakan dan waktu panen, sehingga pekebun dapat secara teratur mengatur jadwal panen.

Pada umumnya penyuling skala kecil berkapasitas maksimum satu ton per proses dan dua kali proses per hari sehingga bahan baku yang dibutuhkan sebanyak dua ton per hari.

Pada umumnya membagi petakan seluas 800- 1000 m2, dengan hasil 2-4 ton per panen.

Pengangkutan hasil dari kebun ke penyulingan pada umumnya dilakukan oleh pihak penyuling dengan alat mobil pick up atau gerobak motor, terutama untuk areal yang topografinya bergunung-gunung atau terlalu jauh untuk menggunakan gerobak dorong.

Pada umumnya usaha serai wangi menunjukkan tingkat kelayakan yang tinggi walaupun dengan produktivitas rata-rata yang dicapai oleh petani pada umumnya (Nasution 2019). Dengan menerapkan sistem budidaya serai wangi berkelanjutan, maka diperkirakan pertambahan biaya lebih rendah daripada pertambahan penerimaan karena produktivitasnya meningkat lebih tinggi. Harga jual daun serai wangi umumnya ditentukan pihak pembeli yang mengacu pada harga jual minyak serai wangi. Di beberapa daerah seperti di Jawa Barat harga daun serai wangi basah di kebun sekitar Rp 500.000-600.000 per ton bila harga minyak serai wangi sekitar Rp 180.000 per kg dan pernah meningkat hingga Rp 750.000 per ton pada saat harga minyak serai wangi lebih dari Rp 200.000 per kg (Aviasti et al. 2021).

Berlanjutnya usaha tani serai wangi di daerah tersebut dan perbaikan ekonomi masyarakat yang terjadi menunjukkan bahwa dampak sosial ekonomi masyarakat usahatani

tersebut positif. Dengan tingkat harga jual daun basah dan juga minyak serai wangi yang terjadi menunjukkan bahwa biaya usahataninya lebih rendah dari harga tersebut dan usahataninya menguntungkan. Pada daerah yang penyulingnya dapat bekerja sesuai kapasitas pada umumnya harga jual tersebut merupakan harga di penyuling, sebaliknya pada daerah yang penyulingnya kekurangan bahan baku harga tersebut merupakan harga di kebun (Sukamto et al. 2011; Ermiati et al. 2015; Ilham 2019).

SISTEM PENYULINGAN MINYAK SERAI WANGI BERKELANJUTAN

Sistem penyulingan minyak serai wangi dapat dirancang berdasarkan atas rantai aktivitasnya, yang terdiri dari penyediaan bahan baku (daun serai wangi), penyulingan dan penjualan minyak serai wangi. Kapasitas penyulingan menentukan kebutuhan bahan baku, kemudian jumlah bahan baku yang diproses menentukan jumlah minyak serai wangi yang dihasilkan yang selanjutnya menentukan penjualan yang dapat diperoleh (Gambar 2).

Keberlanjutan produksi minyak serai wangi dapat terwujud bila bahan baku disediakan dalam jumlah yang memadai sehingga penyulingan dapat beroperasi secara efisien sehingga berdaya saing tinggi dalam penjualan.

Dengan demikian untuk rancangan sistem produksi minyak serai wangi yang berkelanjutan harus berdasarkan kapasitas terpasang sehingga dapat disusun rencana kebutuhan bahan baku per proses, per satuan waktu (Syafrizal 2021;

Luthfi, Winarso dan Wibowo 2018), serta rencana penjualan dan penyimpanan dari hasil minyak serai.

Seperti telah dikemukakan bahwa penyulingan minyak serai wangi dapat menggunakan metode penyulingan air, uap atau air-uap (kukus). Metode penyulingan kukus merupakan metode yang banyak digunakan karena metode ini dapat menghasilkan minyak lebih banyak dan waktu yang lebih singkat dan sederhana (Anwar et al. 2016), walaupun untuk penyulingan dengan kapasitas sangat kecil (sekitar 500 kg daun basah tiap proses) masih banyak yang menggunakan metode penyulingan air (rebus).

(7)

Berdasarkan rangkaian data dasar dari setiap aktivitas (Gambar 2), dapat dirancang misalnya bila kapasitas ketel yang digunakan adalah 1.000 kg bahan baku daun basah (biasa digunakan industri kecil) setiap proses dan waktu proses penyulingan adalah 3-5 jam, sehingga dalam satu hari kerja dapat dua kali proses. Dengan demikian kebutuhan bahan baku per hari kerja adalah 2.000 kg.

Bila setiap bulan 25 hari kerja, maka kebutuhan bahan bakunya sebanyak 50.000 kg ditambah 20% sebagai persediaan menjadi 60.000 kg (Luthfi, Winarso, dan Wibowo 2018).

Kebutuhan 60 ton daun basah per bulan dapat dipenuhi dengan areal 2 ha lahan dengan asumsi produktivitas 30 ton/ha/panen, bila produktivitas lebih tinggi kebutuhan areal makin kecil. Bila dalam sebulan 25 hari kerja maka areal yang harus dipanen setiap hari kerja adalah 800 m2. Areal yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku satu unit penyulingan dengan kapasitas 1 ton/proses minimum sebesar 7,2 ha dengan asumsi bahwa panen dapat dilakukan setiap 3-4 bulan (Pribadi et al. 2020).

Minyak serai wangi yang dapat dihasilkan bila beroperasi dalam kapasitas penuh adalah 150 kg/hari, dengan asumsi bahwa rendemen minyak sebesar 0.75% (biasanya 0,70-0,90%) dari daun basah dari serai wangi mahapengiri (A’yun et al.

2021). Dalam sebulan dapat dihasilkan 3.750 kg dengan 25 hari kerja. Berdasarkan pengalaman dalam pengembangan pertanian berkelanjutan, yang sering terjadi adalah kurangnya alternatif penjualan, sehingga perkembangannya menjadi terkendala (Ikerd 1995).

Seperti diketahui bahwa minyak serai wangi merupakan komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional, sehingga harga jual yang diterima pekebun tergantung harga di pasar

internasional. Selain itu karena transmisi harga dari pengekspor sampai penyuling melewati satu sampai dua lembaga pemasaran (mengakibatkan makin besarnya marjin pemasaran), sehingga harga yang diterima penyuling berkurang, yang akhirnya harga di tingkat pekebun pun berkurang juga (Alighiri et al. 2017). Pasar minyak serai wangi termasuk pasar yang tipis (captive market), sehingga harga yang terjadi sering berfluktuasi, dipengaruhi oleh pasokan dan permintaan (Floreno, 1996), oleh karena itu pada saat harga rendah penjualan dapat ditunda seluruhnya atau sebagian untuk memperoleh harga terbaik. Fasilitas penyimpanan menjadi penting untuk tujuan ini, karena minyak serai wangi sangat mudah terbakar.

Selain itu, untuk meningkatkan keberlanjutan dari aspek lingkungan (ekologi), penyulingan serai wangi dapat dirancang prosesnya untuk tidak menghasilkan limbah (zero waste), karena sisa daun serai wangi dapat dijadikan hijauan pakan ternak (Gustiar et al., 2020) dan kotoran ternaknya dapat menjadi sumber biogas metana dan pupuk kandang.

Dengan demikian, penyulingan minyak serai wangi merupakan proses yang ramah lingkungan.

Pola Relasi Kerjasama untuk Penjaminan Pasok Bahan Baku

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam memproduksi minyak serai wangi terdapat dua rangkaian proses, yaitu budidaya tanaman serai wangi dan penyulingan minyak serai wangi, yang keduanya berelasi sebagai rangkaian produksi atau industri minyak serai wangi. Budidaya tanaman serai wangi pada umumnya dilaksanakan oleh pekebun, sedangkan penyulingan dilaksanakan oleh usaha Gambar 2. Perancangan sistem penyulingan minyak serai wangi berkelanjutan berdasarkan kapasitas

penyulingan dan penjualan

(8)

swasta, koperasi atau kelompok tani.

Penyulingan minyak serai wangi menggunakan daun serai wangi sebagai bahan baku yang dipasok oleh pekebun secara langsung atau tidak langsung. Pada pasok langsung pekebun memasok ke penyuling tanpa perantara, sedangkan pada rantai pasok tidak langsung, pekebun memasok melalui perantara pengumpul atau agen dari penyuling (Gambar 3).

Dalam sebuah industri jaminan ketersediaan bahan baku baik kuantitas, mutu, kontinuitas maupun harganya sangat menentukan keberlanjutan operasi yang membentuk relasi kerja sama industrial (industrial symbiosis) (Harris 2007), sehingga antara pekebun dan penyuling diperlukan pola relasi seperti kerja sama industrial. Berdasarkan tingkat keberlanjutannya pola relasi dalam memasok bahan baku antara pekebun dengan penyuling serai wangi dapat dikategorikan menjadi pola relasi bebas, kemitraan dan terintegrasi. Tingkat keberlanjutan dari ketiga pola relasi tersebut mengikuti piramida terbalik, dimana pola relasi bebas memiliki tingkat keberlanjutan yang paling rendah, kemudian pola relasi kemitraan dan pola terintegrasi lebih berkelanjutan (Gambar 4).

Pola relasi bebas adalah pola relasi dimana antara pekebun dengan penyuling tidak ada

ikatan baik formal maupun informal terutama dalam pengadaan sarana produksi atau penjualan hasil kebun (daun serai wangi) sebagai bahan baku. Dengan demikian, industri dengan pola relasi bebas memiliki risiko pengelolaan yang tinggi dan keberlanjutannya rendah karena tidak ada relasi untuk saling menjamin.

Terjadinya pola relasi tersebut pada umumnya karena berkaitan dengan sejarah terbentuknya usaha penyulingan yang terjadi. Pola relasi bebas kebanyakan terjadi bila keberadaan perkebunan dan penyulingan serai wangi di suatu lokasi sudah lama sehingga ada banyak pekebun yang menanam serai wangi dan ada beberapa usaha penyulingan yang beroperasi yang bisa diakses oleh pekebun, seperti yang terjadi di beberapa lokasi di Jawa Barat (Aviasti et al. 2019).

Selain itu pola relasi bebas juga terjadi di daerah dimana banyak pekebun yang menanam serai wangi diantara tanaman lainnya dan memanfaatkan lahan kosong berkemiringan yang tanaman lainnya sulit dibudidayakan, sehingga luasannya kecil-kecil. Untuk mengumpulkan dari pekebun yang tersebar lokasinya tersebut dilaksanakan oleh pedagang pengumpul bebas atau agen yang bermitra dengan penyuling ( pasokan bahan baku yang tidak langsung).

Sebagai pola relasi bebas, rantai pasok tidak langsung memiliki keberlanjutan rendah, karena mutu bahan baku dan kontinuitas pasokannya tidak terjamin. Walaupun demikian, di daerah dimana banyak penyuling yang bekerja di bawah kapasitas, perannya menjadi penting untuk meningkatkan kapasitas operasi. Pasokan tidak langsung ini terjadi di semua daerah, khususnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Aviasti et al.

2015).

Pola relasi kemitraan adalah relasi kerja sama yang saling mengikat baik formal atau informal dimana pekebun bersedia menjual hasil daun serai wangi kepada penyuling tertentu, tetapi tanpa adanya ikatan kuantitas dan harga.

Kuantitas yang disetor tergantung pada hasil panen dan harganya sesuai harga pasar yang terjadi, tetapi dalam beberapa kasus ada kesepakatan harga tetap. Keberlanjutan industri dengan pola kemitraan lebih baik daripada pola relasi bebas. Pada umumnya pola kemitraan terjadi karena adanya inisiasi pemerintah atau Gambar 4. Pola relasi antara pekebun dan

penyuling berdasarkan tingkat keberlanjutan produksinya

Gambar 3. Arus pasok bahan baku produksi minyak serai wangi dari pekebun kepada penyuling

(9)

pihak tertentu untuk membangun industri minyak serai wangi di lokasi tertentu, sehingga penyulingan dikelola oleh koperasi atau kelompok tani, seperti terjadi di Daerah Sawah Lunto, Sumatra Barat (Ernita et al. 2019).

Pola relasi terintegrasi merupakan relasi kerja sama yang terikat secara formal antara sejumlah pekebun dengan penyuling tertentu di suatu lokasi dimana para pekebun tersebut mengikatkan kebun serai wanginya dengan luasan tertentu untuk dijual hasil daun serai wanginya kepada penyuling pada waktu dan harga yang ditetapkan. Dengan demikian penyuling mendapatkan jaminan pasokan bahan baku secara kontinu dan pekebun mendapat kepastian penjualan hasilnya sehingga tingkat keberlanjutan produksinya tinggi. Menurut survey di beberapa daerah pola relasi terintegrasi belum ditemui, termasuk industri serai wangi yang ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang telah lama keberadaannya (Nugraha et al. 2017).

Berdasarkan atas fakta bahwa sebagian besar pekebun masih tidak ada ikatan dengan penyuling (Hariani, Aviasti, Amaranti, 2019) atau berrelasi bebas sehingga perlu dibangun relasi kerjasama yang lebih erat seperti kerjasama dengan pola relasi kemitraan atau terintegrasi untuk meningkatkan tingkat keberlanjutannya.

Dari aspek ekonomi pekebun bebas cenderung membudidayakan serai wangi tanpa mempedulikan target produktivitasnya, sehingga budidayanya tidak intensif, mutu hasil daunnya rendah. Kondisi demikian mengakibatkan penyulingan kurang efektif dan efisien sehingga biaya produksinya menjadi tinggi. Dari aspek lingkungan budidaya tidak intensif bisa mengakibatkan pengurasan hara tanah, karena daun serai wangi yang dipanen dapat mencapai lebih dari 100 ton/ha/tahun. Dari aspek sosial, masyarakat kehilangan kesempatan untuk bisa bekerja lebih banyak dalam melaksanakan kegiatan budidaya.

Mengingat peran strategis dari pengembangan relasi kerjasama dalam produksi minyak serai wangi yang berkelanjutan, maka harus ada transformasi kelembagaan dari pola relasi bebas yang sulit dikelola menjadi pola relasi kemitraan dan lebih lanjut menjadi terintegrasi. Transformasi yang terlebih dahulu

dilaksanakan adalah bergabungnya para pekebun dalam organisasi ekonomi seperti kelompok tani atau koperasi. Melalui lembaga ini para pekebun memiliki basis kerjasama untuk bisa membangun kemitraan dengan penyuling.

Menurut pengalaman pengembangan kemitraan, misalnya kemitraan untuk pengolahan kelapa sawit dan tebu. Dengan skala kerjasama yang lebih kecil diharapkan pengembangan kemitraan serai wangi dapat lebih berhasil dikelola.

Salah satu bentuk kemitraan yang umum dikelola adalah kontrak usaha tani (contract farming), yang menurut pengalaman dari kontrak usaha ayam broiler dapat memberikan manfaat paling tidak dalam akses pasar, kredit, teknologi dan manajemen risiko yang lebih baik (Simmons et al. 2005). Risiko utama yang dapat dikelola dalam kontrak usaha tani ini adalah manajemen pasokan bahan baku dari pekebun untuk mencapai jumlah dan waktu yang tepat, sehingga kapasitas penyulingan bisa dipenuhi. Selain itu risiko harga bahan baku juga dapat dikelola melalui kesepakatan harga secara berkala.

KESIMPULAN

Untuk mewujudkan produksi minyak serai wangi yang berkelanjutan perlu diterapkan sistem produksi yang terangkai dari hulu hingga hilir. Sistem produksi minyak serai wangi yang berkelanjutan merupakan rangkaian dari sistem budidaya serai wangi yang berkelanjutan untuk memproduksi bahan baku, penyulingan untuk memproduksi minyak serai wangi yang keduanya dirangkai dalam relasi kerja sama industrial. Mengingat bahwa pada saat ini kebanyakan masih belum terbangun kerja sama industrial tersebut, maka diperlukan adanya transformasi kerjasama dari pola relasi bebas antara pekebun dan penyuling menjadi kemitraan atau terintegrasi.

Budidaya serai wangi yang berkelanjutan merupakan budidaya yang dapat memelihara kelestarian lingkungan terutama konservasi tanah dan air. Budidaya serai wangi berkelanjutan dapat diterapkan terhadap aktivitas budidaya tanaman yang terdiri atas penanaman, pemeliharaan dan panen.

Manajemen waktu dalam pelaksanaan aktivitas

(10)

merupakan kunci keberlajutan selain ketepatan teknik budidaya yang berorientasi pada konservasi tanah dan air.

Produksi minyak serai wangi yang berkelanjutan dapat dicapai bila penyulingan dapat beroperasi sesuai dengan kapasitas dan target produksi secara kontinu. Penyulingan minyak serai wangi berkelanjutan diterapkan untuk menjamin pasokan bahan baku tepat mutu, kuantitas dan tepat waktu sehingga penyulingan dapat beroperasi sesuai target kapasitas produksi minyak serai wangi dan target penjualan dapat dicapai. Penjualan diterapkan untuk memperoleh harga jual yang paling menguntungkan melalui sistem penyimpanan.

DAFTAR PUSTAKA

A’yun, Q., Hermana, B. & Kalsum, U. (2021) Analisis Rendemen Minyak Atsiri Serai Wangi (Cymbopogon nardus (L.) pada Beberapa Varietas. Jurnal Pertanian Presisi (Journal of Precision Agriculture). 4 (2), 160–

173. doi:10.35760/jpp.2020.v4i2.3343.

Adiwijaya, J.C. & Malika, U.E. (2016) Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Atsiri Berdasarkan Aspek Finansial Dan Teknologi. Jurnal Ilmiah Inovasi. 16 (3).

Alighiri, D., Eden, W.T., Supardi, K.I. &

Purwinarko, A. (2017) Potential Development Essential Oil Production of Central Java, Indonesia. In: Journal of Physics: Conference Series. 824 (1), IOP Publishing, p.12021.

Altieri, M.A. (2018) Agroecology: The Science of Sustainable Agriculture. CRC Press.

Ansyarullah, A., Emmyzar, E., Rubaya, Y., Herman, H. & Daswir, D. (2006) Pengaruh Pemupukan Terhadap Produksi dan Mutu Seraiwangi. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 17 (2), 59–65.

Anwar, A., Nugraha, N., Nasution, A. &

Amaranti, R. (2016) Teknologi Penyulingan Minyak Sereh Wangi Skala Kecil dan Menengah di Jawa Barat. Teknoin. 22 (9).

doi:10.20885/teknoin.vol22.iss9.art4.

Arsyad, S. (2009) Konservasi Tanah dan Air. PT Penerbit IPB Press.

Atmoko, B. I. (2017) Analisis nilai tambah produksi

minyak atsiri Serai wangi (Studi Kasus ASSA Citronella Agung Bogor) (Bachelor's thesis, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas islam negeri syarif hidayatullah Jakarta).

Aviasti, N, Rukmana, A.N, Bachtiar, I dan Amaranti, R. (2021). Sensitivity Analysis Of Investment Feasibility On Citronella Oil Distillation Industry In Indonesia. Journal of Engineering Science and Technology, 16(5), 4250-4262.

Aviasti, A., Nugraha, N., Amaranti, R. &

Nurrahman, A.A. (2019) Industrial Symbiosis of Fragrant Lemongrass Distillation in West Java.In: Journal of Physics: Conference Series. 1375 (1), IOP Publishing, p.12054.

Aviasti, N., Nasution, A. & Amaranti, R. (2015) Pemetaan Rantai Pasok Minyak Sereh Wangi Skala Kecil dan Menengah di Jawa Barat. In:

Proceeding 2nd Annual Conference on Industrial and System Engineering 2015. p.33.

da Costa, A.S.V., Hott, M.C. & Horn, A.H. (2020) Management of Citronella (Cymbopogon winterianus Jowitt ex Bor) for The Production of Essential Oils. SN Applied Sciences. 2 (12), 1–7. doi:10.1007/s42452-020- 03949-8.

Daswir, D. (2010) Peran seraiwangi sebagai tanaman konservasi pada pertanaman kakao di lahan kritis. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 21 (2), 117–128.

Ditjenbun (2020) Serai Wangi : Kaya Akan Manfaat dan Peluang yang Menjanjikan.

http://ditjenbun.pertanian.go.id.2020

Ermiati, Pribadi, E.R. & Wahyudi, A. (2015) Pengkajian Usahatani Integrasi Seraiwangi-Ternak Sapi. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 26 (2), 133–142.

Ernita, Y., Novita, S.A., Jamaluddin, J., Laksmana, I. & Rildiwan, R. (2019) Analisis Nilai Tambah Dan Kelayakan Finansial Industri Minyak Serai Wangi. Journal of Applied Agricultural Science and Technology. 3 (1), 91–104. doi:10.32530/jaast.v3i1.79.

Fadilla, S. P., & Astuti, H. D. (2019). Dampak Penanaman Serai Wangi Terhadap Lingkungan Dihubungkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Di

(11)

Kecamatan Sukanagara). Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 5(2), 164-179.

Feriyanto, Y.E., Sipahutar, P.J., Mahfud, M. &

Prihatini, P. (2013) Pengambilan minyak atsiri dari daun dan batang serai wangi (Cymbopogon winterianus) menggunakan metode distilasi uap dan air dengan pemanasan microwave. Jurnal Teknik ITS. 2 (1), F93–F97. doi:10.12962/j23373539.v 2i1.2347.

Floreno, A. (1996) Citronella oil prices fall as use tapers, supply rises. Chemical Marketing Reporter. 249 (6), 19.

Gustiar, F., Munandar, M., Negara, Z. P., &

Efriandi, E. (2020). Pemanfaatan Limbah Serai Wangi Sebagai Pakan Ternak dan Pupuk Organik di Desa Payakabung, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Abdihaz: Jurnal Ilmiah Pengabdian pada Masyarakat, 2(1), 16-23.

Hamim (2006) Respon Pertumbuhan Spesies C3 dan C4 terhadap Cekaman Kekeringan dan Konsentrasi CO2 tinggi. Majalah Ilmiah Biologi BIOSFERA: A Scientific Journal. 22 (3), 105–113. doi:10.20884/1.mib.2005.

22.3.174.

Hariani, D., Aviasti, A., & Amaranti, R. (2019).

The Design of Improvement for Supply Chain Flow of Citronella Fragrance Oil Refinery Industry as an Effort to Meet Customer Demand in Cimungkal Village of Sumedang Regency.

Harris, S. (2007) Industrial symbiosis in the Kwinana industrial area (Western Australia). Measurement and Control. 40 (8), 239–244. doi:10.1177/002029400704000802.

Idjudin, A.A. (2011) Peranan konservasi lahan dalam pengelolaan perkebunan. Jurnal sumberdaya lahan. 5 (2).

Ikerd, J.E. (1995) The role of marketing in sustainable agriculture.In: 87th Annual Meeting of American Society of Agronomy. St. Louis, Mo., Oct.

Ilham, A. (2019) Analisis Nilai Tambah dan Pendapatan Pengolahan Serai Wangi menjadi Minyak Serai di Desa Silang Empat Kecamatan Dua Koto Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Skripsi. Universitas Bengkulu.

Kadang, Y., Hasyim, M.F. & Yulfiano, R. (2019) Formulasi Dan Uji Mutu Fisik Lotion Antinyamuk Minyak Sereh Wangi (Cymbopogon nardus L Rendle.) Dengan Kombinasi Minyak Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Jurnal Farmasi Sandi Karsa. 5 (1), 38–42.

Kardinan, A. (2005) Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Karneta, R. & Wahyuni, R. (2020) Karakteristik Minyak Sereh Wangi dengan Umur Panen Daun dan Lama Destilasi.In: Seminar Nasional Lahan Suboptimal. December. (1).

Lichtfouse, E., Navarrete, M., Debaeke, P., Souchère, V., Alberola, C. & Ménassieu, J.

(2009) Agronomy for sustainable agriculture: a review. Sustainable agriculture. 1–7. doi:10.1007/978-90-481- 2666-8_1.

Luthfi, M., Winarso, R., & Wibowo, R. (2018).

Rancang Bangun Boiler Dan Tangki Penguapan Minyak Atsiri Pada Mesin Destilator Dengan Metode Uap Berbahan Baku Daun Serai (Cymbopogon Nardus). Jurnal Crankshaft, 1(1), 9-20.

Mansyur, M., Maruf, A. & Ashadi, R.W. (2015) Studi Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Serai Wangi (Citronella Oil) di Lembang Bandung. Jurnal Pertanian. 6 (1).

Mason, J. (2013) Sustainable agriculture. Landlinks Press. JSTOR.

Nandi, S. (2019) Perancangan Tata Letak Fasilitas Pabrik Pengolahan Minyak Serai Wangi Di Kota Solok. Skripsi. Universitas Andalas.

Nasution, R. M. S. (2019). Analisis Kelayakan Usahatani Serai Wangi (StudiKasus: Desa Tarlola, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

Nugraha, N., Nasution, A. & Rukmana, A.N.

(2017) Pengembangan Teknologi Tepat Guna untuk Industri Penyulingan Minyak Sereh Wangi Skala Kecil Dan Menengah.

Prosiding SNaPP: Sains, Teknologi. 7 (2), 398–409.

Pretyola, Y. (2019) Penentuan Rute Transportasi Bahan Baku Menggunakan Metode Saving Matrix di PT. Perkebunan Nusantara III

(12)

Kebun Gunung Para. Tugas Sarjana.

Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pribadi, E. R., Kardinan, A., Trisilawati, O., &

Rizal, M. (2020). Analisa Biaya Pokok Dan Kelayakan Agribisnis Serai Wangi Organik. Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 26(2), 119-128.

Rodriguez, J.M., Molnar, J.J., Fazio, R.A., Sydnor, E. & Lowe, M.J. (2009) Barriers to adoption of sustainable agriculture practices:

Change agent perspectives. Renewable agriculture and food systems. JSTOR, 60–71.

doi:10.1017/S1742170508002421.

Rosman, R. (2012) Kesesuaian lahan dan iklim tanamanserai wangi. Bunga Rampai Inovasi Tanaman Atsiri Indonesia Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta, Indonesia. 65–70.

Setiawan, G. & Nurhayati, H. (2018) Respons Tanaman Serai Wangi Terhadap Pemupukan NPKMg Pada Tanah Latosol.

Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

29 (2), 69–78. doi:10.21082/bullittro.v 29n2.2018.69-78.

Simmons, P., Winters, P. & Patrick, I. (2005) An analysis of contract farming in East Java, Bali, and Lombok, Indonesia. Agricultural Economics. 33, 513–525. doi:10.1111/j.1574- 0864.2005.00096.x.

Siregar, A.Z. (2017) Prospek Sereh Wangi di Masa Depan. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sopacua, B.N.H. (2016) Pengaruh Pemupukan Dan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Tanaman Serai Wangi (Cymbopogon citratus). JURNAL TRITON. 7 (1), 51–60.

Syafrizal, M. (2021). Perancangan Alat Destilasi

Penyulingan Minyak Atsiri Berbahan Baku Daun Serai Wangi Dengan Metode Uap dan Air (Doctoral dissertation, Universitas Medan Area).

Sukamto, Djazuli, M. & Suheryadi, D. (2011) Serai wangi (Cymbopogon nardus L) sebagai penghasil minyak atsiri, tanaman konservasi dan pakan ternak.In: Dalam: Proc. Sem. Nas.

Inovasi Perkebunan. pp.175–180.

Sulaswatty, A. (2019) Quo vadis minyak serai wangi dan produk turunannya. LIPI Press.

Suryani, E. (2017) Penampilan Beberapa Klon Unggul Serai Wangi pada Dua Agroekologi Berbeda di Sumatera Barat.

Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

24 (2), 73–78.

Syukur, C. & Trisilawati, O. (2019) Varietas Unggul Seraiwangi, Teknologi Budidaya Dan Pasca Panen. Sirkuler Informasi Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 18p.

Trecyda (2011) Indonesia Essential Oil: The Scent of Natural Life.In: Trade Policy Analysis and Development Agency, Ministry of Trade, Republic Indonesia. p.52p.

Wahyunie, E.D., Baskoro, D.P.T. & Sofyan, M.

(2012) Kemampuan retensi air dan ketahanan penetrasi tanah pada sistem olah tanah intensif dan olah tanah konservasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 14 (2), 73–78.

doi:10.29244/jitl.14.2.73-78.

Wisesa, B.U. & Dahlan, D. (2020) Pengembangan Bioaditif Serai Wangi pada Bahan Bakar Bensin Terhadap Performa Mesin dan Emisi Gas Buang Sepeda Motor. Teknobiz:

Jurnal Ilmiah Program Studi Magister Teknik Mesin. 10 (2), 29–35. doi:10.35814/

teknobiz.v10i2.1486.

Gambar

Gambar  3.  Arus  pasok  bahan  baku  produksi  minyak  serai  wangi  dari  pekebun  kepada penyuling

Referensi

Dokumen terkait

Intensifikasi proses pada penyulingan minyak serai wangi dengan menggunakan gelombang ultrasonik diharapkan mampu meningkatkan kuantitas maupun kualitas minyak

Abstrak — Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pengambilan minyak serai wangi ( Citronella oil ) dari daun dan batang serai wangi dengan metode distilasi uap dan

Minyak atsiri daun serai wangi (C. winterianus ) dalam bentuk sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada

Grafik Asam Lemak Bebas Terhadap Waktu Perendaman dan Rasio Minyak Kayu Manis dan Serai Wangi Berdasarkan dari hasil analisa kadar asam lemak bebas maka diperoleh hasil

Minyak atsiri serai wangi disemprotkan ke kecoa yang ada dirumah, maka kecoa akan mengalami respon tidak bergerak (mati), dan aroma serai wangi ini sangat harum

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah adalah belum adanya perencanaan strategis pengembangan Industri Minyak Serai Wangi di Kota Solok, sehingga

• SERAI WANGI adalah salah satu jenis tanaman atsiri, yang dari hasil penyulingan daunnya diperoleh minyak Serai Wangi yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama Citronella

Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang mencampur kedua minyak tersebut untuk mengetahui potensi minyak serai wangi dan minyak daun cengkeh dalam mengusir dan