• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji daya antibakteri emulgelantiacne minyak serai wangi Jawa (Cymbopogon winterianus) terhadap Staphylococcus epidermidis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji daya antibakteri emulgelantiacne minyak serai wangi Jawa (Cymbopogon winterianus) terhadap Staphylococcus epidermidis."

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

UJI DAYA ANTIBAKTERI EMULGEL ANTIACNE MINYAK SERAI WANGI JAWA (Cymbopogon winterianus) TERHADAP Staphylococcus

epidermidis

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Bernadetta Arum Wijayanti

NIM :098114007

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

UJI DAYA ANTIBAKTERI EMULGEL ANTIACNE MINYAK SERAI WANGI JAWA (Cymbopogon winterianus) TERHADAP Staphylococcus

epidermidis

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Bernadetta Arum Wijayanti

NIM : 098114007

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada:

Ayahku Antonius Wijayadi (Alm) & Ibuku Maria Aluisia Siti Suwarni

Budheku Ceacilia Sitti Wardani

Masku Andreas Wibowo Nugroho

Adikku Klara Tyas Cahyawati

dan Alamamaterku yang kubanggakan

N

N

a

a

l

l

a

a

r

r

h

h

a

a

n

n

y

y

a

a

a

a

k

k

a

a

n

n

m

m

e

e

m

m

b

b

a

a

w

w

a

a

m

m

u

u

d

d

a

a

r

r

i

i

A

A

m

m

e

e

n

n

u

u

j

j

u

u

B

B

,

,

n

n

a

a

m

m

u

u

n

n

i

i

m

m

a

a

j

j

i

i

n

n

a

a

s

s

i

i

m

m

a

a

m

m

p

p

u

u

m

m

e

e

m

m

b

b

a

a

w

w

a

a

m

m

u

u

d

d

a

a

r

r

i

i

A

A

k

k

e

e

m

m

a

a

n

n

a

a

p

p

u

u

n”

n

-

-A

A

l

l

b

b

e

e

r

r

t

t

E

E

i

i

n

n

s

s

t

t

e

e

i

i

n

n

.

.

A

A

p

p

a

a

b

b

i

i

l

l

a

a

d

d

i

i

d

d

a

a

l

l

a

a

m

m

d

d

i

i

r

r

i

i

s

s

e

e

s

s

e

e

o

o

r

r

a

a

n

n

g

g

m

m

a

a

s

s

i

i

h

h

a

a

d

d

a

a

r

r

a

a

s

s

a

a

m

m

a

a

l

l

u

u

d

d

a

a

n

n

t

t

a

a

k

k

u

u

t

t

u

u

n

n

t

t

u

u

k

k

b

b

e

e

r

r

b

b

u

u

a

a

t

t

s

s

u

u

a

a

t

t

u

u

k

k

e

e

b

b

a

a

i

i

k

k

a

a

n

n

,

,

m

m

a

a

k

k

a

a

j

j

a

a

m

m

i

i

n

n

a

a

n

n

b

b

a

a

g

g

i

i

o

o

r

r

a

a

n

n

g

g

t

t

e

e

r

r

s

s

e

e

b

b

u

u

t

t

a

a

d

d

a

a

l

l

a

a

h

h

t

t

i

i

d

d

a

a

k

k

a

a

k

k

a

a

n

n

b

b

e

e

r

r

t

t

e

e

m

m

u

u

n

n

y

y

a

a

i

i

a

a

d

(8)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda

Maria atas rahmat dan penyertaan sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian skripsi yang berjudul “Uji Daya Antibakteri Emulgel Antiacne Minyak

Serai Wangi Jawa (Cymbopogon winterianus) terhadap Staphylococcus

epidermidis” dengan baik dan lancar.

Penulis menyadari selama penyusunan skripsi ini, penulis telah

mendapatkan bantuan doa, bimbingan, arahan, saran dan kritik yang membangun

dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan

ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Maria Aluisia Siti Suwarni atas kerja keras dan kasih sayangnya

kepada penulis sebagai putrinya dan senantiasa menemani selama

penelitian di Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.

2. Bapak Ipang Djunarko, M. Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Agustina Setiawati, M. Sc., Apt. selaku dosen pembimbing yang selalu

memberikan arahan dan evaluasi semenjak pembuatan proposal penelitian

hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt.selaku dosen penguji atas masukan, saran

dan kritik yang membangun kepada penulis.

5. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt.selaku dosen penguji atas masukan, saran dan

(9)

viii

6. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S. Si., atas masukan dan arahan dalam

bidang Mikrobiologi kepada penulis.

7. Bapak Musrifin, Bapak Agung, Bapak Wagiran, Bapak Parlan, Bapak

Kayat, dan Bapak Darto yang telah membantu selama penelitian

berlangsung.

8. Budhe, kakak, dan adik penulis yang telah memberikan motivasi

sepenuhnya hingga penulisan skripsi ini selesai.

9. Jenny Marina, Hermawan Deny, Johanes Putra Wicaksono, Wanda

Indriani dan Ina Juni Natasia atas dukungan selama penelitian.

10.Teman – teman Farmasi Sains dan Teknologi 2009 A Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma atas doa dan dukungan kepada penulis.

11.Victor Purnama Agung FanggidaE atas motivasi dan dukungan kepada

penulis.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

memberikan doa, bantuan, dan dukungan selama penelitian dan

penyusunan skripsi.

Penulis menyadari begitu banyak kekurangan dalam naskah skripsi ini

mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kemajuan

selajutnya.

(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

(11)

x

B. Jerawat (Acne) ... 6

C. Staphylococcus epidermidis ... 8

D. Uji Potensi Antibakteri ... 10

1. Metode difusi ... 10

2. Metode dilusi ... 11

E. Gel dan Emulgel ... 12

1. Parafin cair ... 13

2. Aquades (air suling) ... 14

3. Carbopol 940 ... 14

4. Tween 80 dan Span 80 ... 17

5. Gliserin ... 20

6. Trieathanolamine (TEA) ... 21

7. Metil paraben ... 21

8. Propil paraben ... 22

F. Sifat Fisik Sediaan Topikal ... 22

1. Viskositas ... 22

2. Daya Sebar ... 23

G. Landasan Teori ... 23

H. Hipotesis ... 25

BAB III. METODE PENELITIAN ... 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 26

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 26

(12)

xi

2. Definisi Operasional ... 27

C. Bahan dan Alat Penelitian ... 28

1. Bahan peneltian ... 28

2. Alat penelitian ... 29

D. Tatacara Penelitian ... 29

1. Identifikasi dan verifikasi minyak serai wangi Jawa ... 29

2. Pembuatan stok dan suspensi bakteriStaphylococcus epidermidis .... 30

3. Penanaman bakteri Staphylococcus epidermidis secara pour plate ... 31

4. Uji daya antibakteri minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran ... 32

5. Penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode dilusi padat ... 32

6. Pembuatan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa ... 33

7. Uji sifat fisik emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa ... 35

8. Uji daya antibakteri emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran 36 E. Analisis Hasil ... 36

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Identifikasi dan Verifikasi Minyak Serai Wangi Jawa ... 37

(13)

xii

C. Penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum

(KBM) Minyak Serai Wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis

dengan Metode Dilusi Padat ... 43

D. Pembuatan Emulgel Antiacne Minyak Serai Wangi Jawa ... 46

E. Uji Sifat Fisik Emulgel Antiacne Minyak Serai Wangi Jawa ... 49

F. Uji Daya Antibakteri Emulgel Antiacne Minyak Serai Wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan Metode Difusi Sumuran .. 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

LAMPIRAN ... 60

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hubungan rentang nilai HLB dengan penggunaan surfaktan ... 18

Tabel 2. Formula kontrol basis emulgel antiacne dan emulgel antiacne minyak

serai wangi Jawa dalam 200 g ... 34

Tabel 3. Hasil verifikasi minyak serai wangi Jawa ... 38

Tabel 4. Diameter zona hambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis yang

terbentuk oleh minyak serai wangi Jawa... 40

Tabel 5. Nilai probabilitas uji Shapiro-Wilk diameter zona hambat

pertumbuhan Staphylococcusepidermidis yang terbentuk oleh minyak

serai wangi Jawa... 41

Tabel 6. Hasil uji Wilcoxon diameter zona hambat pertumbuhan

Staphylococcus epidermidis yang terbentuk oleh minyak serai wangi

Jawa ... 42

Tabel 7. Hasil uji daya antibakteri minyak serai Jawa terhadap Staphylococcus

epidermidis secara dilusi padat ... 44

Tabel 8. Hasil penegasan uji daya antibakteri minyak serai Jawa terhadap

Staphylococcus epidermidis secara streakplate ... 45

Tabel 9. Hasil uji sifat fisik emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa ... 50

Tabel 10. Diameter zona hambat yang terbentuk oleh emulgel antiacne minyak

serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode

(15)

xiv

Tabel 11. Hasil uji Wilcoxon diameter zona hambat pertumbuhan

Staphylococcus epidermidis yang terbentuk oleh emulgel antiacne

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Staphylococcus epidermidis dan infeksi akibat Staphylococcus

epidermidis pada kulit ... 8

Gambar 2. Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 dan Staphylococcus epidermidis ATCC 35894 ... 9

Gambar 3. Struktur monomer dari carbopol ... 14

Gambar 4. Gambaran skematik crosslink dari polimer akrilik ... 15

Gambar 5. Gambaran skematik molekul carbopol dalam kondisi terurai dengan ikatan higrogen ... 16

Gambar 6. Gambaran skematik molekul carbopol dalam kondisi terurai setelah dinetralkan dengan suatu basa ... 16

Gambar 7. Struktur molekul dari tween 80 dan span 80 ... 17

Gambar 8. Gambaran skematik droplet minyak pada emulsi minyak dalam air 20 Gambar 9. Struktur molekul dari gliserin. ... 20

Gambar 10. Struktur molekul dari TEA ... 21

Gambar 11. Struktur molekul dari metil paraben ... 21

Gambar 12. Struktur molekul dari propil paraben ... 22

Gambar 13. Zona hambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis yang terbentuk oleh minyak serai wangi Jawa... 40

(17)

xvi

Gambar 15. Emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa dengan konsentrasi 15%;

17,5%; dan 20% ... 49

Gambar 16. Zona hambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis yang

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Sertifikat analisis minyak serai wangi Jawa... 60

Lampiran 2. Sertifikat hasil uji Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 .. 61

Lampiran 3. Verifikasi minyak serai wangi Jawa ... 62

Lampiran 4. Gambar uji daya antibakteri minyak serai wangi Jawa terhadap

Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi padat ... 64

Lampiran 5. Pengukuran diameter zona hambat minyak serai wangi Jawa

terhadap Staphylococcus epidermidis ... 65

Lampiran 6. Hasil perhitungan statistik zona hambat minyak serai wangi Jawa

terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi

sumuran ... 66

Lampiran 7. Hasil uji daya antibakteri minyak serai wangi Jawa terhadap

Staphylococcus epidermidis dengan metode dilusi padat ... 73

Lampiran 8. Hasil uji penegasan daya antibakteri minyak serai wangi Jawa

terhadap Staphylococcus epidermidis ... 75

Lampiran 9. Perhitungan rHLB sistem emulsi ... 76

Lampiran 10. Emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa ... 78

Lampiran 11. Daya sebar dan viskositas emulgel antiacne minyak serai wangi

Jawa ... 80

Lampiran 12. Hasil uji daya antibakteri emulgel antiacne minyak serai wangi

Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi

(19)

xviii

Lampiran 13. Hasil perhitungan statistik zona hambat emulgel antiacne minyak

serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan

(20)

xix

INTISARI

Sitronelal, geraniol, sitronelol merupakan kandungan utama dalam minyak serai wangi Jawa yang berpotensi sebagai antibakteri. Minyak serai wangi Jawa dapat diformulasikan menjadi emulgel untuk meningkatkan penerimaan dan kenyamanan pengguna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya daya antibakteri minyak serai wangi Jawa dan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis (salah satu penyebab jerawat) serta mengetahui kualitas sediaan emulgel minyak serai wangi Jawa berdasarkan sifat fisiknya.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Tahapan penelitian meliputi pengujian antibakteri minyak serai wangi Jawa dengan metode difusi sumuran (variasi konsentrasi 100%; 50%; 20%; 10% dan 5%); penentuan nilai KHM dan KBM minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode dilusi padat. Penelitian dilanjutkan dengan memformulasikan minyak serai wangi Jawa dalam emulgel dengan variasi konsentrasi 15%; 17,5%; dan 20%. Selanjutnya, dilakukan pengujian sifat fisik berupa viskositas dan daya sebar serta pengujian daya antibakteri emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa dengan metode difusi sumuran. Daya antibakteri diukur berdasarkan diameter zona hambat yang dihasilkan dan dianalisis secara statistik dengan uji Kruskal-wallis dilanjutkan uji Wilcoxon. Data dianalisis menggunakan software R 2.14.1.

Hasil penelitian menunjukkan nilai KHM dan KBM minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis berturut-turut 12,5% dan 15%. Emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa memiliki sifat fisik 48 jam setelah formulasi serta memiliki daya antibakteri pada konsentrasi 15%. Hasil analisis statistik menggunakan uji Kruskal-wallis dilanjutkan uji Wilcoxon menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara daya antibakteri emulgel antiacne

minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis pada variasi konsentrasi 15%; 17,5%; dan 20%.

(21)

xx

ABSTRACT

Citronellal, geraniol, and citronellol are the major chemical compounds of Java citronella oil that have potential as an antibacterial. Java citronella oil can be formulated into emulgel to enhance acceptance and convenience of users. This study aimed to determine the antibacterial potency of Java citronella oil and Java citronella oil antiacne emulgel against Staphylococcus epidermidis (one cause of acne) and to determine the quality of emulgel based on its physical properties.

This study is a purely experimental study with randomized study design complete unidirectional pattern. Stages of research were involving the evaluation of antibacterial potency of Java citronella oil against Staphylococcus epidermidis

which was done by using diffusion method (variations concentration are 100%; 50%; 20%; 10% and 5%); determine MIC and MBC value of Java citronella oil against Staphylococcus epidermidis which was done by using dillution method. Java citronella oil then formulated into emulgel with variations concentration to 15%; 17,5%, and 20%. Furthermore, the quality of emulgel based on its physical properties and the antibacterial potency of emulgel are determined. The data of measurement result of inhibition zones statistically analyzed with the Kruskal-Wallis test followed the Wilcoxon test. Data were analyzed using the R 2.14.1 software.

The results showed the value of MIC and MBC Java citronella oil against Staphylococcus epidermidis respectively 12.5% and 15%. Java citronella oil antiacne emulgel had good physical properties in 48-hours-storage and showed antibacterial activity at a concentration of 15%. Statistical analysis using the Kruskal-Wallis test followed Wilcoxon test showed no significant difference between the antibacterial potency of Java citronella oil antiacne emulgel against

Staphylococcusepidermidis at various concentration of 15%, 17.5% and 20%.

Keyword: antibacterial potency, Java citronella oil, emulgel,

(22)

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Jerawat (acne) merupakan salah satu masalah kulit yang pernah dialami

oleh sebagian besar masyarakat. Menurut Herawati dan Presley (2012) dalam

Pusat Informasi Obat dan Layanan Kefarmasian (PIOLK) Universitas Surabaya

menyebutkan catatan kelompok studi dermatologi kosmetika Indonesia yang

menunjukkan terdapat 60% penderita jerawat di Indonesia pada tahun 2006 dan

80% pada tahun 2007. Jerawat dapat terjadi hampir 85% pada remaja dan usia 12

– 25 tahun. Jerawat biasa terdapat pada area wajah, punggung, dada bagian atas,

dan bahu. Jerawat dapat mengurangi rasa kepercayaan diri seseorang sebab

memperburuk penampilannya sehingga perlu dilakukan suatu terapi jerawat.

Salah satu cara dalam terapi jerawat adalah dengan menggunakan suatu

antibakteri untuk menekan pertumbuhan bakteri flora normal penyebab jerawat

yang berlebihan. Bakteri-bakteri tersebut berkembang biak dengan baik dalam

kondisi lingkungan yang dihasilkan dari perpaduan sebum yang berlebihan dan

keratinosit sehingga menghasilkan mediator proinflamasi penyebab peradangan

(Breedlove, Bruck, Comerford, Donofrio, Labus, Mayer et al., 2006).

Penggunaan antibakteri yang sama dalam waktu yang cukup lama dengan

frekuensi yang tinggi menimbulkan mekanisme resistensi sekunder sehingga

diperlukan sumber antibakteri baru yang dapat digunakan untuk menghambat

pertumbuhan bakteri flora normal penyebab jerawat.

(23)

Adanya tren “back to nature” di kalangan masyarakat menyebabkan

terapi menggunakan bahan alam lebih diminati dibandingkan dengan bahan kimia

yang sintetis maupun semisintetis. Minyak serai wangi Jawa atau disebut juga

Java citronella oil disuling dari Cymbopogon winterianus Jowitt memiliki

kandungan utama sitronelal (monoterpen aldehida) dan geraniol serta sitronelol

(monoterpen alkohol) yang dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri

(Lertsatitthanakorn, Taweechaisupapong, Arunyanart, Aromdee dan Khunkitti

(2010). Flora normal yang dapat menimbulkan jerawat antara lain

Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis (Dunkin, 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lertsatitthanakorn et al. (2010), minyak

serai wangi Jawa memiliki Kadar Bunuh Minimum terhadap Propionibacterium

acnes sebesar 0,625 µL/mL dan Kadar Hambat Minimum sebesar 0,078 µL/mL.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Diaz, Rossi, Mendonça, Silva, Ribon, Aguilar

et al. (2010) ekstrak etanol 80% serai wangi memiliki Kadar Hambat Minimum

terhadap Staphylococcus aureus sebesar 0,5 mg/mL. Penelitian mengenai aktivitas

antibakteri minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis sampai

saat ini belum pernah dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan penelitian

pendahuluan berupa uji daya antibakteri minyak serai wangi Jawa terhadap

Staphylococcus epidermidis secara in vitro dengan metode difusi sumuran.

Penggunaan minyak serai wangi Jawa secara langsung pada kulit

menimbulkan sensasi berminyak yang menurunkan kenyamanan pengguna.

Minyak serai wangi Jawa diformulasikan ke dalam emulgel untuk mengatasi hal

(24)

minyak dalam sistemnya pada tipe minyak dalam air dan gel yang dapat

memberikan sensasi dingin pada saat pengaplikasian. Terkait formulasi sediaan

emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa perlu dilakukan uji sifat fisik dan daya

antibakteri emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus

epidermidis untuk melihat kualitas dari sediaan.

1. Rumusan Masalah

a. Apakah minyak serai wangi Jawa memiliki daya antibakteri terhadap

pertumbuhan Staphylococcus epidermidis?

b. Berapa Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum

(KBM) minyak serai wangi Jawa terhadap pertumbuhan Staphylococcus

epidermidis?

c. Apakah sediaan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa memiliki

daya antibakteri terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis?

d. Apakah sediaan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa memiliki

kualitas yang baik berdasarkan sifat fisiknya?

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian mengenai

uji daya antibakteri emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa terhadap

(25)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Menambah informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai

perkembangan formulasi emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa untuk

menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.

b. Manfaat praktis

Menyediakan alternatif formula emulgel antiacne minyak serai

wangi Jawa untuk mengatasi jerawat.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui adanya daya antibakteri minyak serai wangi Jawa terhadap

pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.

2. Mengetahui Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum

(KBM) minyak serai wangi Jawa terhadap pertumbuhan Staphylococcus

epidermidis.

3. Memastikan adanya daya antibakteri pada sediaan emulgel antiacne minyak

serai wangi Jawa terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.

4. Mengetahui bahwa sediaan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa

(26)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Serai Wangi Jawa

Minyak atsiri atau yang biasa dikenal sebagai essential oil merupakan

minyak hasil penyulingan uap/air yang larut dalam lemak, hidrofobik, dan

benar-benar menguap dari tempat aplikasi tanpa menghilangkan tanda yang terlihat atau

warna bahkan jika minyak asli berwarna. Minyak serai wangi (citronella oil)

diperoleh dari hasil penyulingan tanaman serai. Citronella oil dibagi menjadi 2

tipe yaitu Ceylon citronella oil dari Cymbopogon nardus dan Java citronella oil

dari Cymbopogon winterianus. Minyak serai wangi berwarna kuning pucat hingga

gelap (Balchin, 2006).

Minyak serai wangi Jawa mengandung sitronelal 32 – 45%, geraniol 12 –

18%, sitronelol 11 – 15%, geranil asetat 3,8%, sitronelil asetat 2 – 4%, limonene 2

– 5%, elemol dan alkohol sisquiterpen yang lain 2 – 5%, α-elemene dan α

-cadinene 2 – 5%, dan juga cubebene, calamenene, bourbonene, bisabolene,

eugenol, metil eugenol, isopulegol, nerol, linalool, metil heptanon, myrcene dan

α-pinene. Minyak serai wangi Jawa yang berkualitas baik biasanya mengandung

sitronelal, geraniol, dan sitrinelol masing-masing dari 38%, 16%, dan 12% (Peter,

2007). Standar mutu minyak serai menurut ketentuan EOA (Essential Oil

Association) USA No. 14 yaitu berat jenis ( ) 0,877 – 0,893; indeks bias

(nD20): 1,466 – 1,473; warna: kuning muda – kuning (Panda, 2003).

Minyak serai wangi Jawa biasanya digunakan sebagai bahan dalam

(27)

berupa pewangi dalam pembuatan deodorant, sabun, detergen, pembersih,

insektisida dan produk lainnya (Peter, 2007). Terlepas dari sifat repelan terhadap

serangga, minyak serai wangi (citronella oil) juga diketahui memiliki aktivitas

antibakteri melawan Propionibacterium acnes yang dapat menyebabkan jerawat.

Sebuah studi in vitro menunjukkan bahwa minyak serai wangi Jawa memiliki

aktivitas penangkapan radikal bebas yang sangat baik dan aksi antiinflamasi.

Sebagai tambahan, uji sensitifitas pada kulit dengan local lymph node assay

menyatakan bahwa minyak serai wangi pada konsentrasi 50% b/v diklasifikasikan

tidak sensitif. The United State of America Food and Administration (FDA)

mengelompokkan minyak serai wangi Jawa dalam kategori GRAS (Generally

RecognizedAsSafe) (Lertsatitthanakorn et al., 2010).

B. Jerawat (Acne)

Jerawat (acne) biasanya berhubungan dengan peningkatan sekresi sebum

yang berlebihan dan terjadi pada bagian tubuh yang memiliki kelenjar sebasea

seperti kepala, leher, dada, punggung, dan bahu (Breedlove et al., 2006). Setiap

tanda pada kulit yang dihasilkan oleh jerawat merupakan jenis lesi. Kasus yang

paling ringan, yaitu jerawat menghasilkan blackheads dan whiteheads.

Blackheads merupakan jerawat naik ke permukaan kulit dan terlihat hitam

sedangkan whiteheads merupakan jerawat yang tinggal di bawah permukaan kulit.

Lesi jerawat yang lebih bermasalah lainnya, yaitu papula (lesi meradang yang

biasanya muncul dengan bentuk kecil, benjolan merah muda); pustula (pimple,

(28)

menyakitkan, lesi padat berada jauh di dalam kulit); kista (dalam, menyakitkan,

lesi berisi nanah yang bisa menyebabkan bekas luka) (Anonim a, 2010).

Salah satu penyebab utama jerawat adalah peningkatan hormon seks,

terutama androgen seperti testosteron, yang terjadi selama masa pubertas.

Testosteron dikonversi dalam kulit menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh α

-reduktase, yang merangsang kelenjar sebasea untuk memperbesar dan

memproduksi lebih banyak sebum. Semakin banyak sebum yang diproduksi,

semakin buruk jerawat yang ditimbulkan. Selanjutnya, sebuah studi oleh Lee et al.

(2010) menunjukkan DHT yang juga diperkirakan terlibat dalam produksi sitokin

proinflamasi di jerawat (Chaudhuri dan Marchio, 2011).

Keratinisasi folikel abnormal juga terlibat dalam perkembangan jerawat

(Chaudhuri dan Marchio, 2011). Campuran keratinosit dan sebum dalam folikel

memberikan peluang untuk flora normal berkembang biak (DiPiro, Talbert, Yee,

Matzke, Wells, Posey, 2005). Bakteri flora normal tersebut mensekresi lipase

yang kemudian bereaksi dengan sebum menghasilkan asam lemak bebas yang

menginduksi adanya peradangan (Durkin, 2013). Persentase keberadaan

Staphylococcus epidermidis di kulit sekitar 85 – 100% menunjukkan bahwa

Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal alami yang ada di kulit

(29)

C. Staphylococcus epidermidis

(a) (b)

Gambar 1. Staphylococcus epidermidis (a) dan infeksi akibat Staphylococcus epidermidis pada kulit (b) (Anonim c, 2013)

Staphylococcus epidermidis dikenal sebagai flora normal kulit dan

permukaan mukosa. Staphylococcus epidermidis tergolong dalam kelompok

bakteri Gram positif non-motil berbentuk kokus yang membentuk susunan seperti

anggur. Koloni Staphylococcus epidermidis memiliki diameter sebesar 1 – 2

milimeter. Staphylococcus epidermidis bersifat katalase positif, koagulase negatif,

dan fakultatif anaerob (Weiser dan Busse, 2000). Ciri-ciri koloni (dalam uraian

Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 Balai Laboratorium Kesehatan

Yogyakarta) yaitu koloni sedang – besar, keping, halus, dan berwarna putih.

Terdapat 2 tipe strain Staphylococcus epidermidis, yaitu Staphylococcus

epidermidis ATCC 12228 (strain yang tidak membentuk biofilm) dan

Staphylococcus epidermidis ATCC 35984 (strain yang membentuk biofilm)

(Motoyama, Yamaguchi, Matsumoto, Ichijo, Nagumo, Kagami et al., 2009).

Biofilm merupakan multiseluler ditunjukkan dengan adanya aglomerasi

permukaan suatu mikroorganisme. Biofilm berfungsi dalam resistensi terhadap

(30)
[image:30.595.99.518.114.601.2]

(a) (b)

Gambar 2. Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 (a) dan Staphylococcus epidermidis ATCC 35894 (b) (Motoyama et al., 2009)

Staphylococcus epidermidis merupakan salah satu bakteri penyebab

jerawat yang memegang peranan penting pada patogenesis jerawat. Lovečková

dan Havlíková (2002) menyatakan bahwa dalam patogenesis jerawat bakteri flora

normal kulit berperan dalam sekresi lipase. Lipase tersebut dapat mengubah

sebasea diasigliserol dan triasigliserol menjadi gliserol dan asam lemak bebas

yang dapat menginduksi hiperkeratosis pada kanal folikel kemudian menyebabkan

efek komedogenik. Staphylococcus epidermidis memiliki enzim fosfatase,

neuraminidase, dan deoksiribonuklease yang merupakan manifestasi inflamasi

pada jerawat akibat terjadinya penutupan susbstansi pada prostaglandin.

Gambaran infeksi lokal Staphylococcus epidermidis menurut Jawetz, Melnick,

dan Adelberg (1986) yaitu suatu pimple, infeksi folikel rambut, atau suatu abses,

biasanya suatu peradangan yang hebat, terlokalisir, dan mengalami pernanahan

(31)

D. Uji Potensi Antibakteri

Menurut Farmakope Indonesia IV (1995), antibakteri adalah obat

pembasmi bakteri, khususnya bakteri yang merugikan manusia. Uji potensi

antibakteri digunakan dalam rangka pemilihan obat antimikroba yang efektif

untuk pengobatan atau pengendalian penyakit yang disebabkan oleh bakteri.

Menurut Agbor, Ma’ori, dan Opajobi (2011) metode yang umum dilakukan

adalah sebagai berikut:

1. Metode difusi

Berikut termasuk dalam metode difusi:

a. Metode disc diffusion.Metode ini paling banyak yang digunakan dalam

laboratorium klinis. Dalam uji ini, disk yang terbuat dari kertas diresapi

dengan sejumlah tertentu agen antibakteri yang diketahui konsentrasinya

dengan tepat. Disk tersebut diletakkan pada medium agar yang telah

diinokulasikan dengan bakteri uji. Senyawa antibakteri berdifusi ke dalam

medium sekitarnya membentuk gradien konsentrasi sekitar disk.

Pertumbuhan bakteri uji dihambat hingga terbentuk jarak dari disk dengan

konsentrasi dari senyawa tersebut kurang lebih sama dengan Konsentrasi

Hambat Minumum (KHM). Penghambatan pertumbuhan bakteri tampak

sebagai zona melingkar pada cawan agar. Diameter zona hambat yang

terbentuk proposional terhadap aktivitas antibakterinya.

b. Metode ditch.Metode ini dilakukan dengan cara menghilangkan potongan

agar dari cawan dan mengisi lubang yang terbentuk dengan agar yang telah

(32)

sedemikian hingga beberapa bakteri dapat diinokulasikan secara streak plate

tegak lurus pada agar yang telah mengandung antibakteri tersebut. Metode ini

cocok untuk uji suatu senyawa terhadap sejumlah besar bakteri. Kerugiannya

plat harus selalu baru tiap harinya. Metode ini tidak lagi digunakan dalam

laboratorium.

c. Metode punch hole diffusion. Metode ini terdiri dari pembuatan lubang

sumuran atau meletakkan suatu tabung dengan lobang di kedua sisinya pada

cawan agar. Agar tersebut sebelumnya telah diinokulasikan bakteri uji.

Masing-masing sumuran diisi dengan senyawa uji dengan konsentrasi yang

berbeda.

2. Metode dilusi

Metode dilusi digunakan untuk mengukur Kadar Hambat Minimum

(KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Kadar Hambat Minimal (KHM)

merupakan kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan

bakteri sedangkan Kadar Bunuh Minimum (KBM) merupakan kadar minimal

yang diperlukan untuk membunuh bakteri.

Berikut termasuk dalam metode dilusi (Anonim b, 2012) :

a. Broth dilution. Broth dilution merupakan sebuah teknik yang di dalamnya

terdapat suspensi bakteri uji pada konsentrasi optimal atau sesuai diuji dengan

berbagai konsentrasi dari suatu senyawa antibakteri dalam medium cair yang

telah ditentukan.

b. Agardilution. Agardilution meliputi penggabungan berbagai konsentrasi dari

(33)

koloni bakteri pada permukaan agar. Hasilnya sering dianggap paling dapat

diandalkan dalam penentuan nilai Kadar Hambat Minimum (KHM).

Kemampuan antibakteri dikatakan kuat apabila memiliki nilai KHM

antara 0,05 – 0,50 mg/mL, sedang apabila nilai KHM antara 0,6 – 1,50 mg/mL

dan lemah apabila di atas 1,50 mg/mL (Diaz et al., 2010). Pengukuran adanya

kekuatan antibiotik dan antibakteri berdasarkan besarnya zona hambat menurut

Suryawiria (1978) cit Moerfiah dan Supomo (2011) dipergunakan metode Davis

Stout dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Sangat kuat (daerah hambat 20 mm atau lebih)

2) Kuat (daerah hambat 10 – 20 mm)

3) Sedang (daerah hambat 5 – 10 mm)

4) Lemah (daerah hambat kurang dari 5 mm).

E. Gel dan Emulgel

Menurut Farmakope Indonesia IV (1995), gel merupakan sistem

semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil

atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel dapat

digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau yang dimasukkan ke

dalam lubang tubuh. Kelemahan utama pada gel adalah dalam penghantaran obat

yang bersifat hidrofobik kemudian dilakukan pendekatan berbasis emulsi untuk

mengatasi kelemahan tersebut. Ketika gel dan emulsi dikombinasikan bersama

menjadi suatu sediaan, sediaan tersebut dikenal sebagai emulgel (Panwar,

(34)

Emulgel (emulsion in gel) merupakan emulsi baik tipe oil-in-water

maupun water-in-oil yang dimodifikasikan dengan gelling agent. Emulgel

memiliki tingkat penerimaan yang tinggi sebagai sediaan topikal sebab memiliki

gabungan kelebihan dari gel dan emulsi (Bhanu, Shanmugam, Lakshmi, 2011).

Gel pada penggunaan topikal memiliki beberapa kelebihan menurut Voigt (1994)

yaitu kemampuan penyebaran pada kulit baik; efek dingin yang dijelaskan melalui

penguapan lambat dari kulit; kemudahan pencucian dengan air; dan pelepasan

obat yang baik sedangkan kelebihan emulsi memiliki kemampuan terpenetrasi

pada kulit yang tinggi (Bhanu et al., 2011). Monografi bahan yang digunakan

sebagai bahan tambahan emulgel adalah sebagai berikut.

1. Parafin cair

Parafin cair pada umumnya digunakan pada sediaan topikal. Dalam

emulsi parafin cair digunakan sebagai bahan tambahan pada tipe emulsi minyak

dalam air dengan konsentrasi 1,0 – 32,0%. Pemerian dari parafin cair yaitu

transparan, tidak berwarna, cairan berminyak yang kental, tidak berfluoresensi di

siang hari, hambar, tidak berbau ketika didinginkan, dan berbau samar ketika

dipanaskan. Titih didih > 360oC. Viskositas 110 – 230 mPas pada 20oC. Kelarutan

parafin cair yaitu praktis larut dalam etanol (95%), gliserin dan air; larut dalam

aseton, bensen, kloroform, karbon disulfida, eter, dan petroleum; mudah larut

dalam minyak atsiri dan minyak; pengecualian pada minyak jarak (Rowe,

Sheskey, Owen, 2006). Nilai rHLB parafin cair adalah 11,8 (Meher, Yadav, Sahu,

(35)

2. Aquades (air suling)

Bobot molekul air suling adalah 18,02. Air suling dibuat dengan

menyuling air yang dapat diminum. Pemerian dari air suling yaitu cairan jernih,

tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Direktorat Jendral Pengawas Obat

dan Makanan, 1979).

3. Carbopol 940

Gellingagent untuk keperluan farmasi dan kosmetik idealnya harus inert,

aman dan tidak reaktif dengan komponen formulasi lainnya. Dimasukkannya

gelling agent dalam formulasi harus menyediakan matriks seperti solid yang baik

selama penyimpanan, dapat dipecah dengan mudah ketika mengalami gaya geser

yang dihasilkan ketika dikeluarkan dari botol atau ketika tube diremas dan selama

aplikasi topikal (Liberman, Rieger, Banker, 1996). Gellingagent dapat digunakan

untuk menghasilkan berbagai macam konsistensi dari yang agak mengental

[image:35.595.102.516.221.598.2]

hingga yang sangat keras (Winfield dan Richard, 2004).

Gambar 3. Struktur monomer dari carbopol (Rowe et al., 2006)

Carbopol (carbomer) merupakan polimer sintetik dengan bobot molekul

yang tinggi dari asam akrilat yang membentuk ikatan silang (crosslink) dengan

sukrosa alil atau eter alil dari pentaeritritol. Pemerian dari carbopol yaitu berwarna

(36)

sediaan topikal carbopol digunakan sebagai gelling agent pada konsentrasi 0,5 –

2% (Rowe et al., 2006). Carbopol 940 memiliki sifat sangat kental dan sifat alir

[image:36.595.99.511.211.614.2]

yang sangat singkat (Braun dan Rosen, 2000).

Gambar 4. Gambaran skematik crosslink dari polimer akrilik (Braun dan Rosen, 2000)

Pada kondisi kering, polimer carbopol berada dalam konfigurasi

gulungan (coiled) yang erat. Ketika didispersikan dalam air, terjadi sedikit

penguraian molekul disertai pengentalan yang minimal pada sistem (Braun dan

Rosen, 2000). Terdapat dua mekanisme yang dapat menyebabkan carbopol

menjadi benar-benar dalam keadaan terurai (uncoiled), pengentalan yang

maksimum, pembentukan dan stabilitasi emulsi, dan kinerja bioadhesi. Dua

mekanisme pengentalan dalam carbopol, yaitu:

a. Donor hidrosil Curteis (1991). Sistem ini menunjukkan penggunaan pelarut

yang mampu menyumbangkan gugus hidroksil. Ikatan higrogen yang

dihasilkan antara gugus karboksil dari carbopol dan gugus donor hidroksil

dari pelarut menyebabkan molekul menjadi terurai dan terjadilah proses

(37)

biasa digunakan sebagai donor hidroksil adalah gugus-gugus poliol (seperti

gliserin, propilenglikol, PEG dan sebagainya), gula alkohol (seperti mannitol,

sorbitol dan sebagainya), surfaktan nonionik dengan lima atau lebih

[image:37.595.99.516.214.622.2]

gugus-gugus etoksi, dan sebagainya.

Gambar 5. Gambaran skematik molekul carbopol dalam kondisi terurai dengan ikatan hidrogen (Curteis, 1991)

b. Netralisasi (Chikhalikar dan Moorkath, 2002). Metode netralisasi merupakan

metode yang paling umum digunakan dengan cara menetralkan polimer

dengan suatu basa yang cocok. Netralisasi mengionisasi carbopol,

menghasilkan muatan negatif di sepanjang rantai polimer. Tolakan muatan

negatif menyebabkan molekul terurai sepenuhnya menjadi struktur yang

diperpanjang (extended structure). Reaksi ini berlangsung cepat dan

menghasilkan kinerja yang efisien. Beberapa agen penetral yang dapat

digunakan adalah natrium hidroksida, TEA, dan amonia.

[image:37.595.244.383.638.721.2]
(38)

4. Tween 80 dan span 80

O

(OCH2CH2)z

HO(CH2CH2O)w (OCH2CH2)xOH

(OCH2CH2)yOH

O C17H33

O

w + x + y + z = 20

[image:38.595.98.514.123.594.2]

(a) (b)

Gambar 7. Struktur molekul dari tween 80 (a) (Tejwani, Joshi, Viria, dan Serajuddin, 2000) dan span 80 (b) (Naskar, Patra, dan Chatterjee, 2005)

Emulsifying agent (emulgator) merupakan surfaktan yang mengurangi

tegangan antarmuka antara minyak dan air dengan meminimalkan energi

permukaan dari droplet yang terbentuk (Allen, 2002). Emulgator memiliki bagian

hidrofilik dan lipofilik dalam struktur kimianya. Semua emulgator teradsorbsi

pada antar muka minyak dan air untuk menyediakan barrier pelindung di sekitar

droplet. Emulgator juga menstabilkan emulsi dengan mengurangi tegangan

antarmuka dari sistem. Beberapa emulgator meningkatkan stabilitas dengan

memberikan muatan pada permukaan droplet dan mengurangi potensi koalesensi.

Syarat emulgator yaitu stabil dalam sistem, inert, tidak beracun dan tidak

mengiritasi (Anonim d, 2013).

Surfaktan nonionik (misalnya tween dan span) termasuk dalam surfaktan

sintetik. Tipe ini digunakan dalam pembuatan baik tipe emulsi minyak dalam air

maupun tipe emulsi air dalam minyak pada penggunaan internal dan eksternal.

Kelebihan tipe nonionik dibandingkan dengan tipe anionik dan katioik yaitu tidak

rentan pada perubahan pH dan penambahan elektrolit. Hal ini menyebabkan

(39)

terhadap perubahan pH (Winfield dan Richard, 2004; Swarbrick, Rubino, dan

Rubino, 2006).

Kelarutan emulgator pada suatu fase dapat mempengaruhi tipe emulsi

yang dihasilkan. Jika emulgator lebih larut dalam air (hidrofilik) maka air menjadi

fase luar dan emulsi tipe minyak dalam air terbentuk. Sebaliknya, jika emulgator

lebih larut dalam minyak (lipofilik) maka minyak menjadi fase luar dan emulsi

tipe air dalam minyak terbentuk. Hal ini menyebabkan konsep bahwa tipe emulsi

berkaitan dengan keseimbangan antara sifat hidrofilik dan lipofilik dari surface

active emulsifying agent (Winfield dan Richard, 2004; Swarbrick et al., 2006).

Hidrophile-Lipophile Balances (HLB) merupakan perhitungan polaritas

surfaktan. Semakin rendah nilai HLB maka surfaktan bersifat lipofilik sebaliknya

semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan bersifat hidrofilik (Kim, 2004). Nilai

HLB suatu surfaktan dihitung berdasarkan formula empiris. Rentang nilai HLB

[image:39.595.101.514.330.639.2]

untuk surfaktan nonionik adalah 0 sampai 20 (Florence dan Attwood, 2006).

Tabel 1. Hubungan rentang nilai HLB dengan penggunaan surfaktan(Swarbrick et al., 2006)

Rentang HLB Penggunaan

0 – 3 Antifoamingagent

4 – 6 Emulgator A/M 7 – 9 Zat Pembasah 8 – 18 Emulgator M/A 13 – 15 Deterjen 10 – 18 Zat Pelarut

Tween 80 atau polisorbat 80 merupakan ester oleat dari sorbitol di mana

tiap molekul anhidrida sorbitolnya berkopolimerisasi dengan 20 molekul

etilenoksida. Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan agak pahit.

(40)

mineral dan minyak sayur. Tween 80 dapat digunakan sebagai emulgator pada

kosmetik dan sediaan farmasetis secara tunggal maupun kombinasi. Nilai HLB

tween 80 yaitu 15,0 (Rowe et al., 2006).

Span 80 atau sorbitan monooleat banyak digunakan dalam kosmetik,

produk makanan, dan sediaan farmasetis sebagai surfaktan nonionik lipofilik.

Umumnya, digunakan dalam formulasi farmasi sebagai pengemulsi agen dalam

penyusunan krim, emulsi, dan salep untuk aplikasi topikal. Ketika digunakan

sendiri, ester sorbitan menghasilkan emulsi dan mikroemulsi air dalam minyak

yang stabil tetapi sering digunakan dalam kombinasi dengan polisorbat pada

berbagai proporsi untuk menghasilkan variasi konsistensi emulsi atau krim. Span

80 berupa cairan kental berwarna kuning yang umumnya larut atau terdispersi

dalam minyak; juga larut pada sebagian besar pelarut organik. Dalam air,

walaupun tidak larut span umumnya dapat terdispersi. Nilai HLB span 80 yaitu

4,3 (Rowe et al., 2006).

Atlas-ICI menganjurkan untuk mengkombinasikan tween yang hidrofilik

dengan span yang lipofilik, dengan menggunakan variasi perbandingannya untuk

menghasilkan emulsi yang diinginkan. Misalnya, penggabungan molekul tween

40 dan span 80 dalam menstabilkan emulsi. Bagian hidrokarbon span 80 (sorbitan

monooleat) berada dalam droplet minyak dan radikal sorbitan berada dalam fase

air. Kepala sorbitan yang besar pada molekul span mencegah ekor-ekor

hidrokarbon bergabung rapat pada fase minyak. Ketika tween 40 (polioksietilen

sorbitan monopalmitat) ditambahkan, senyawa ini mengarah pada antarmuka

(41)

bersama dengan cincin sorbitan dan rantai polioksietilen, bersama dalam fase air.

Rantai hidrokarbon molekul tween 40 berada dalam globul minyak di antara rantai

span 80, dan menghasilkan gaya tarik menarik Van der Waals yang efektif.

Dengan cara ini, selaput antarmuka diperkuat dan stabilitas emulsi minyak dalam

[image:41.595.101.492.241.597.2]

air ditingkatkan terhadap penggabungan partikel (Sinko, 2006).

Gambar 8. Gambaran skematik droplet minyak pada emulsi minyak dalam air, menunjukkan orientasi molekul tween dan span pada antarmukanya (Sinko, 2006)

5. Gliserin

Gambar 9. Struktur molekul dari gliserin (Rowe et al., 2006)

Gliserin digunakan sebagai humektan dalam sediaan topikal pada

konsentrasi ≤ 30%. Pemerian dari gliserin yaitu jernih, tidak berwarna, tidak

berbau, kental, larutan higroskopis, dan memiliki rasa manis. Kelarutan gliserin

yaitu larut dalam air, etanol, dan metanol; sedikit larut dalam aseton; dan praktis

(42)
[image:42.595.239.412.146.223.2]

6. Triethanolamine (TEA)

Gambar 10. Struktur molekul dari TEA (Rowe et al., 2006)

Dalam sediaan emulgel, TEA digunakan untuk menetralkan formula

yang mengandung carbopol hingga pH berada di antara 5,6 – 6,5 dan

menyebabkan terurainya rantai polimer dan membentuk struktur gel. Kisaran pH

tersebut ditentukan agar sesuai pH kulit (pH 5) dan mencapai stabilitas maksimum

carbopol dalam air (pH 6 – 8) (Shahin, Hady, Hammad, dan Mortada, 2011).

Pemerian dari TEA yaitu jernih, cairan kental tidak berwarna sampai kuning

pucat, memiliki sedikit bau amonia (Rowe et al., 2006).

7. Metil paraben

Gambar 11. Struktur molekul dari metil paraben (Rowe et al., 2006)

Metil paraben digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik,

produk makanan, dan sediaan farmasetis. Konsentrasi metil paraben dalam

sediaan topikal pada kisaran 0,02 – 0,3%. Pemerian dari metil paraben yaitu

[image:42.595.101.511.263.610.2]
(43)

berbau; dan memiliki rasa sedikit terbakar. Metil paraben dapat digunakan secara

tunggal ataupun dikombinasikan dengan pengawet yang lain (Rowe et al., 2006).

[image:43.595.102.514.197.579.2]

8. Propil paraben

Gambar 12. Struktur molekul dari propil paraben (Rowe et al., 2006)

Propil paraben digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam

kosmetik, produk makanan, dan sediaan famasetis. Konsentrasi propil paraben

dalam sediaan topikan pada kisaran 0,01 – 0,6%. Pemerian dari propil paraben

yaitu putih, kristal, tidak berasa, dan tidak berbau. Propil paraben dapat digunakan

secara tunggal ataupun dikombinasikan dengan pengawet yang lain (Rowe et al.,

2006).

F. Sifat Fisik Sediaan Topikal 1. Viskositas

Viskositas merupakan tahanan suatu sistem untuk mengalir pada suatu

tekanan yang diberikan. Makin kental suatu cairan, makin besar gaya yang

diperlukan untuk membuat cairan tersebut dapat mengalir dengan laju tertentu

(Sinko, 2006). Viskositas termasuk faktor yang penting dalam karakteristik

sediaan semisolid, viskositas suatu sediaan menentukan lama tinggal sediaan pada

kulit sehingga obat dapat terpenetrasi dengan baik (Garg, Aggarwal, Garg, dan

(44)

2. Daya sebar

Daya sebar (spreadability) merupakan istilah yang digunakan untuk

menunjukkan luasnya wilayah dimana sediaan topikal mudah menyebar pada

aplikasi di kulit atau bagian yang terkena (Mishra, Murthy, Pasa, dan Nayak,

2011). Daya sebar, pada prinsipnya, berkaitan dengan sudut kontak dari setetes

cairan atau sediaan semipadat pada substrat terstandar dan berkaitan dengan

koefisien gesekan. Daya sebar merupakan karakteristik penting dari formulasi ini

dan bertanggung jawab untuk transfer dosis yang tepat ke tempat target,

kemudahan aplikasi pada substrat, pengeluaran dari kemasan, dan yang paling

penting, kenyamanan konsumen (Garg et al., 2002).

Parallel-plate method adalah metode yang paling banyak digunakan

untuk menentukan dan mengukur daya sebar sediaan semipadat. Keuntungan dari

metode ini adalah sederhana dan relatif murah. Selain itu, dapat dirancang dan

dibuat sesuai dengan kebutuhan peneliti mengenai jenis data yang dibutuhkan,

rute administrasi, luas permukaan yang dibahas, dan membran model untuk

dipertimbangkan. Di sisi lain, metode ini kurang tepat dan sensitif, dan data yang

dihasilkannya harus ditafsirkan secara manual dan disajikan (Garg et al., 2002).

G. Landasan Teori

Jerawat disebabkan oleh produksi sebum yang berlebihan serta adanya

hiperkeratinasi yang menyebabkan folikel tersumbat sehingga menciptakan

lingkungan yang kondusif bagi flora normal kulit seperti Staphylococcus

(45)

berinteraksi dengan sebum menghasilkan suatu asam lemak bebas. Asam lemak

bebas berlebih inilah selanjutnya mempromotori adanya peradangan pada kulit

yang menyebabkan terbentuknya jerawat.

Salah satu usaha untuk menyembuhkan jerawat adalah dengan

mengurangi jumlah bakteri penyebab jerawat yang berkembang biak secara

berlebihan. Tiga komponen utama yang terkandung pada minyak serai wangi

Jawa berupa sitronelal, geraniol dan sitronelol berpotensi untuk membunuh

bakteri termasuk bakteri penyebab jerawat, yaitu Staphylococcus epidermidis.

Oleh karenanya, minyak serai wangi Jawa berpotensi untuk diformulasikan ke

dalam suatu sediaan antiacne. Pengujian daya antibakteri ditunjukkan dengan

diameter zona hambat dengan metode difusi sumuran serta Konsentrasi Hambat

Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dengan metode

dilusi padat. Pengujian ini dilakukan untuk memastikan bahwa minyak serai

wangi Jawa dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.

Penggunaan emulgel diharapkan dapat menutupi ketidaknyamanan dalam

penggunaan minyak serai wangi Jawa secara langsung. Hal ini dikarenakan

minyak serai wangi yang memiliki sensasi berminyak tertutupi dalam sistem

emulsi tipe minyak dalam air kemudian dengan adanya suatu gelling agent dapat

memberikan sensasi dingin pada saat pengaplikasian. Pembuatan emulgel diawali

dengan pembentukan emulsi tipe minyak dalam air dengan minyak serai wangi

Jawa dan parafin sebagai fase minyak. Emulgator yang digunakan berupa

(46)

gelling agent yang ditambahkan pada emulsi terurai polimernya sehingga

konsistensinya mengental setelah ditambahkan TEA.

H. Hipotesis

Emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa memiliki daya antibakteri

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan

rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan di

Laboratorium Teknologi dan Formulasi Padat Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma, serta Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas. Minyak serai wangi Jawa dengan variasi konsentrasi

100%; 50%; 20%; 10%; dan 5%. Konsentrasi minyak serai wangi Jawa

dalam emulgel.

b. Variabel tergantung. Daya antibakteri minyak serai wangi Jawa dan

emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa diukur dari diameter zona

hambat yang terbentuk terhadap Staphylococcus epidermidis. Sifat fisik

emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa meliputi viskositas dan daya

sebar.

c. Variabel Pengacau Terkendali. Asal bahan (minyak serai wangi Jawa

Indaroma), wadah penyimpanan (botol kaca), diameter sumuran (6 mm),

bakteri uji (Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 Balai Laboratorium

Kesehatan Yogyakarta) konsentrasi suspensi bakteri uji setara dengan

kekeruhan larutan standar Mac. Farland 0,5 (1 x 108 CFU/mL), volume

(48)

suspensi bakteri uji yang diinokulasikan ke dalam media (1 mL), waktu

penyimpanan sediaan emulgel (48 jam), volume minyak serai Jawa yang

dimasukkan ke dalam lubang sumuran (50 L), waktu inkubasi (24 jam),

suhu inkubasi (37oC).

d. Variabel Pengacau Tak Terkendali. Kriteria tanaman serai wangi Jawa

yang digunakan produsen sebagai sumber minyak serai wangi Jawa serta

metode destilasinya.

2. Definisi Operasional

a. Minyak serai wangi Jawa merupakan minyak atsiri dari tanaman serai

wangi Jawa (Cymbopogon winterianus) yang diperoleh dari CV Indaroma.

b. Emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa merupakan sediaan topikal

semipadat yang dibuat dengan bahan aktif berupa minyak serai wangi

Jawa sesuai formula yang ditentukan dan dibuat sesuai prosedur

pembuatan emulgel pada penelitian ini.

c. Kontrol basis emulgel antiacne adalah sediaan topikal semipadat yang

dibuat tanpa bahan aktif minyak serai sesuai prosedur pembuatan emulgel

pada penelitian ini.

d. Daya antibakteri sediaan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa

adalah kemampuan sediaan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa

untuk menghambat atau membunuh Staphylococcus epidermidis yang

ditunjukkan oleh zona hambat yang dihasilkan kemudian dengan

(49)

e. Staphylococcus epidermidis merupakan kultur murni bakteri uji

Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 yang diperoleh dari Balai

Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.

f. Zona hambat merupakan zona jernih di sekitar sumuran yang telah

dimasukkan dengan minyak serai wangi Jawa atau emulgel yang dapat

menghambat pertumbuhan atau membunuh Staphylococcus epidermidis

dibandingkan dengan kontrol negatif.

g. Daya sebar merupakan kemampuan emulgel untuk tersebar merata pada

kulit saat diaplikasikan, sehingga obat dapat terpenetrasi dengan baik.

Daya sebar dinyatakan dalam diameter penyebaran sediaan. Rentang

diameter daya sebar yang diharapkan 3 – 5 cm.

h. Viskositas emulgel merupakan tingkat kekentalan emulgel yang dapat

diaplikasikan dengan baik di kulit. Rentang viskositas yang diharapkan

150 – 250 d.Pa.s.

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak serai wangi

Jawa yang diperoleh dari CV Indaroma, bakteri uji Staphylococcus epidermidis

ATCC 12228 yang diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta,

Media MHA (Muller-Hinton Agar), media BHIB (Brain Heart Infusion Broth),

(50)

(Bratachem), carbopol 940 (Bratachem), TEA (Bratachem), parafin cair

(Bratachem), tween 80 (Bratachem), span 80 (Bratachem), dan aquades.

2. Alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hand refractometer,

piknometer, cawan petri (Pyrex), Biological Safety Cabinet (ESCO), jarum ose,

pelubang sumuran, cutton bud steril, autoklaf, neraca analitik, densichek (Vitek),

mixer (Philip Type 1500/A), viscometer Rion seri VT O4 (RION-JAPAN),

lempeng kaca pengukur daya sebar, jangka sorong, mikropipet, waterbath, dan

alat-alat gelas lainnya.

D. Tatacara Penelitian 1. Identifikasi dan verifikasi minyak serai wangi Jawa

Bahan yang diidentifikasi pada penelitian ini, yaitu: minyak serai wangi

Jawa yang merupakan minyak atsiri dari tanaman serai wangi Jawa (Cymbopogon

winterianus) diperoleh dari CV Indaroma Yogyakarta dan telah diuji identitasnya.

Verifikasi minyak serai wangi Jawa meliputi:

a. Pengamatan organoleptis. Pengamatan organoleptis berupa pengamatan

bentuk dan warna minyak serai wangi Jawa.

b. Indeks bias. Indeks bias minyak serai wangi Jawa diukur dengan

menggunakan hand refractometer. Penutup prisma dibuka kemudian minyak

serai wangi Jawa diteteskan 1 atau 2 tetes sampel pada prisma utama, penutup

(51)

atau “3” diatur dengan memutar knob hingga tanda “•” tergantung dari

konsentrasi sampel yang diuji. Berikut adalah jarak jangkauan:

“1”: 1,333 – 1,404 (skala sebelah kiri)

“2”: 1,404 – 1,468 (skala tengah)

“3”: 1,468 – 1,520 (skala sebelah kanan)

Ujung refraktometer diarahkan ke arah cahaya yang terang, dilihat

melalui lensa sambil diputar-putar sampai skala terlihat jelas. Tampak garis

batas yang memisahkan sisi yang terang dan gelap pada bagian atas dan bawah.

Jika garis batas berwarna atau tidak jelas, maka ring diputar untuk

menghilangkan warna hingga garis batas terlihat jelas.

c. Bobot Jenis. Piknometer 10 mL ditimbang dalam keadaan kosong dan bersih.

Piknometer 10 mL diisi air suling. Suhu diturunkan hingga 23oC kemudian

dinaikkan perlahan hingga 25oC. Permukaan air diatur sampai puncak kapiler

kemudian pipa kapiler ditutup. Setelah mencapai suhu kamar, dinding luar

piknometer diusap dan ditimbang. Hal yang sama dilakukan pada minyak

serai wangi Jawa. Bobot jenis minyak atsiri serai sama dengan

kerapatan minyak serai wangi Jawa dibagi kerapatan air pada suhu 25oC.

2. Pembuatan stok dan suspensi bakteri Staphylococcus epidermidis

Sebelum pembuatan stok perlu dilakukan pengaktifan Staphylococcus

epidermidis. Media BHIB dilarutkan dan disterilkan dengan menggunakan

autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah steril, media BHIB

dimasukkan dalam tabung sebanyak 5 mL. Biakan murni Staphylococcus

(52)

suhu 37oC dalam inkubator. Langkah ini dilakukan sekali lagi setelah 24 jam

inkubasi.

Media TSA dilarutkan dan disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada

suhu 121oC selama 15 menit. Setelah steril, media TSA dimasukkan dalam tabung

sebanyak 5 mL, dibiarkan memadat dalam keadaan miring. Diambil 1 ose biakan

murni Staphylococcus epidermidis dan diinokulasikan, diinkubasi selama 24 jam

pada suhu 37oC dalam inkubator. Hasil kultur digunakan sebagai stok bakteri

Staphylococcus epidermidis.

Pembuatan suspensi bakteri dilakukan dengan cara diambil 1 ose koloni

bakteri Staphylococcus epidermidis dari stok bakteri, dimasukkan ke dalam

tabung reaksi yang telah berisi media BHIB steril, inkubasi selama 24 jam pada

suhu 37oC dalam inkubator. Selanjutnya, kekeruhan suspensi bakteri

Staphylococcus epidermidis disesuaikan dengan standar Mac Farland 0,5 dengan

pengencer NaCl fisiologis steril (konsentrasi bakteri 108 CFU/mL).

3. Penanaman bakteri Staphylococcus epidermidis secara pour plate

Suspensi bakteri diinokulasikan sebanyak 1 mL pada MHA steril cair.

Setelah di-vortex, campuran tersebut dimasukkan ke cawan petri. Media yang

telah memadat dilubangi menggunakan pelubang sumuran dengan diameter 6 mm

secara aseptis sebagai tempat kontrol positif, kontrol negatif, dan minyak serai

wangi Jawa dengan berbagai variasi konsentrasi. Pembuatan lubang sumuran

dilakukan hingga dasar petri kemudian dilakukan penambalan dengan

(53)

4. Uji daya antibakteri minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran

a. Penentuan konsentrasi minyak serai wangi Jawa. Minyak serai wangi Jawa

dibuat dalam beberapa seri konsentrasi yaitu 100%; 50%; 20%; 10%; dan

5% dengan menggunakan pelarut parafin cair.

b. Uji daya antibakteri minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus

epidermidis secara difusi sumuran. Minyak serai wangi Jawa dengan

berbagai konsentrasi sebanyak 50 L diletakkan pada masing-masing

lubang sumuran yang tersedia secara aseptis. Kontrol positif yang

digunakan adalah Klindamisin fosfat 0,06% dan kontrol negatif yang

digunakan adalah parafin cair. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC,

kemudian diamati hasilnya. Zona hambat diukur dengan jangka sorong

dengan cara mengukur zona jernih yang terbentuk dikurangi dengan

diameter dari sumuran. Diameter zona hambat yang dihasilkan sebagai

dasar untuk mengamati daya antibakteri yang dibandingkan dengan

kontrol positif dan kontrol negatif. Dilakukan replikasi sebanyak tiga kali.

5. Penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) minyak serai wangi Jawa terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode dilusi padat

Minyak serai wangi Jawa dengan kadar tertentu, sesuai dengan hasil pada

uji sebelumnya, sebanyak 1 mL ditambahkan pada 1 mL suspensi bakteri uji yang

telah disetarakan dengan standar Mac Farland 0,5. Kemudian ditambahkan pada

20 mL media MHA steril cair. Selanjutnya, dituang dalam cawan petri steril

secara pour plate. Pengamatan dilakukan setelah diinkubasikan selama 24 jam

(54)

KHM dan KBM dapat diketahui dengan membandingkan kejernihan media yang

diinokulasikan larutan uji dengan kontrol negatif parafin cair dan kontrol

pertumbuhan bakteri secara visual. Setelah didapatkan media pertumbuhan yang

jernih, dilakukan pengujian berikutnya dengan melakukan menginokulasikan

bakteri dari setiap media yang jernih ke media steril yang baru secara streak plate.

KHM merupakan konsentrasi terkecil yang mampu menghambat pertumbuhan

bakteri yang ditunjukkan dengan media pertumbuhan yang jernih tetapi masih ada

pertumbuhan pada hasil streak. KBM merupakan konsentrasi terkecil yang dapat

membunuh bakteri, ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan dari hasil streak

yang menandakan bahwa bakteri uji mati karena larutan uji dengan konsentrasi

tersebut. Kontrol sterilitas dibuat dengan cara menuangkan media MHA steril cair

tanpa penambahan Staphylococcus epidermidis pada cawan petri steril dan setelah

dibiarkan memadat dilakukan pelubangan pada tengah media. Kontrol

pertumbuhan bakteri dibuat dengan cara parafin cair sebanyak 1 mL ditambahkan

pada suspensi bakteri uji yang telah disetarakan dengan standar Mac Farland 0,5.

Ditambahkan pada 20 mL media MHA steril cair. Selanjutnya, dituang dalam

cawan petri steril secara pourplate.

6. Pembuatan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa

a. Formula. Formula yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada

formula emulgel chlorphenesin (Mohamed, 2004). Formula untuk 100 g

(55)

R/ Chlorphenesin 0,50 g

Carbopol 934 1,00 g

Parafin cair 5,00 g

Tween 20 0,60 g

Span 20 0,90 g

Propilen glikol 5,00 g

Etanol 2,50 g

Metil paraben 0,03 g

Propil paraben 0,01 g

Aquades ad 100,00 g

[image:55.595.101.515.95.682.2]

Formula tersebut dilakukan modifikasi sebagai berikut.

Tabel 2. Formula kontrol basis emulgel antiacne dan emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa dalam 200 g

Material (dalam 200 gram) Kontrol basis emulgel antiacne Emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa 15% Emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa 17,5% Emulgel antiacne minyak serai wangi Jawa 20% Minyak serai

wangi Jawa - 30,00 g 35,50 g 40,00 g Parafin cair 40,00 g 10,00 g 5,50 g -

Carbopol 940 1,00 g 1,00 g 1,00 g 1,00 g Tween 80 31,20 g 31,20 g 31,20 g 31,20 g Span 80 8,80 g 8,80 g 8,80 g 8,80 g Gliserin 4,00 g 4,00 g 4,00 g 4,00 g TEA 1,50 g 1,50 g 1,50 g 1,50 g Metil paraben 0,36 g 0,36 g 0,36 g 0,36 g Propil paraben 0,04 g 0,04 g 0,04 g 0,04 g Aquades 113,60 g 113,60 g 113,60 g 113,60 g

b. Pembuatan Emulgel. Carbopol 940 dikembangkan dalam 70 mL aquades

(56)

cair, dan span 80) dan fase air (sisa aquades, metil paraben, gliserin, dan

tween 80) disiapkan secara terpisah dengan mencampurkan

masing-masing komponennya pada suhu 60oC. Fase minyak ditambahkan pada

fase air kemudian dicampur dengan menggunak

Gambar

Tabel  11. Hasil uji Wilcoxon diameter zona hambat pertumbuhan
Gambar 16. Zona hambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis yang
Gambar 1. Staphylococcus epidermidis (a) dan infeksi akibat Staphylococcus epidermidis
Gambar 2. Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 (a) dan Staphylococcus epidermidis et al.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh minyak serai wangi terhadap infeksi dermatofita yang disebabkan kapang dari spesies Microsporum canis secara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya aktivitas antibakteri minyak atsiri daun sirih merah dan minyak atsiri daun sereh wangi asal Tawangmangu terhadap

Luas zona hambat (cm 2 ) aktivitas antibakteri ekstrak limbah daun serai wangi dengan variasi konsentrasi, kontrol negatif dan kontrol positif terhadap bakteri uji

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KLOROFORM LIMBAH PADAT DAUN SERAI WANGI (Cymbopogon nardus) TERHADAP BAKTERI.. Pseudomonas aeruginosa DAN

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan sediaan krim kaki dengan bahan aktif yang berasal dari minyak atsiri sereh wangi Jawa yang memiliki viskositas

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh insektisida nabati yaitu minyak serai wangi (Cymbopogon nardus) sebagai alternatif yang digunakan untuk menurunkan infestasi

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah proses ekstraksi minyak serai wangi menggunakan metode US-MAHD dari bagian daun menghasilkan yield

Minyak atsiri daun serai wangi (C. winterianus ) dalam bentuk sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada