• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Batu Ureter 2.1.1 Definisi

Batu ureter adalah proses terbentuknya kristal-kristal batu pada saluran perkemihan (Mulyanti, 2019). Batu ureter merupakan suatu keadaan terdapatnya batu (kalkuli) di saluran kemih. Kondisi adanya batu pada saluran kemih memberikan gangguan pada sistem perkemihan dan memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien (Harmilah, 2020). Batu ureter merupakan suatu keadaan terjadinya terjadinya penumpukan oksalat, kalkuli (batu ginjal) pada ureter, kandung kemih, atau pada daerah ginjal. Batu ureter merupakan obstruksi benda padat pada saluran kemih yang terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Silalahi, 2020).

2.1.2 Etiologi

Menurut Zamzami (2018) terdapat beberapa faktor yang mendorong pembentukan batu ureter yaitu:

1. Peningkatan kadar kristaloid pembentuk batu dalam urine 2. pH urine abnormal rendah atau tinggi

3. Berkurangnya zat-zat pelindung dalam urin 4. Sumbatan saluran kencing dengan stasis urine.

Disamping itu, terdapat pula tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan untuk terjadinya batu ureter yaitu: Retensi partikel urin, supersaturasi urine, dan kekurangan inhibitor kristalisasi urin. Kelebihan salah satu faktor ini menyebabkan batu saluran kemih.

Sedangkan menurut Harmilah (2020) pembentukan batu disaluran kemih dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen adalah faktor genetik seperti hipersistinuria, hiperkalsiuria primer, hiperoksaluria primer, sedangkan faktor eksogen meliputi lingkungan, makanan, infeksi, dan kejenuhan mineral didalam air minum.

(2)

7 2.1.3 Klasifikasi

Menurut Mulyanti (2019), berdasarkan lokasi tertahannya batu (stone), batu saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi beberapa nama yaitu:

1. Nefrolithiasis (batu di ginjal)

Nefrolithiasis adalah salah satu penyakit ginjal, dimana terdapat batu didalam pelvis atau kaliks dari ginjal yang mengandung komponen kristal dan matriks organik (Fauzi & Putra, 2016).

2. Ureterolithiasis (batu ureter)

Ureterolithiasis adalah pembentukan batu pada saluran kemih yang disebabkan oleh banyak faktor seperti, gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan lainnya (idiopatik) (Prihadi, Johannes Cansius, Daniel Ardian Soeselo, Christopher Kusumajaya, 2020).

3. Vesikolithiasis (batu kandung kemih).

Vesikolithiasis merupakan dimana terdapat endapan mineral pada kandung kemih. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak baik sehinggal urine mengendap dikandung kemih (Prihadi, Johannes Cansius, Daniel Ardian Soeselo, Christopher Kusumajaya, 2020).

2.1.4 Patofisiologi

Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urine dan menyebabkan obstruksi, salah satunya adalah statis urine dan menurunnya volume urine akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urine adalah gejala abnormal yang umum terjadi (Colella, J, Kochis E, Galli B, 2005), selain itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi batu yang beragam menjadi faktor utama bekal identifikasi penyebab urolithiasis. Pada umumnya urolithiasis terjadi akibat berbagai sebab yang disebut faktor resiko.

Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang dapat mengubah faktor resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat diubah seperti, jenis kelamin, pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-laki

(3)

8

70-81% dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya adalah adanya peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada laki-laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013).

Umur, urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua, namun bila dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua lebih sering terjadi. Riwayat keluarga, pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan urolithiasis ada kemungkinan membantu dalam proses pembentukan batu saluran kemih pada pasien (25%) hal ini mungkin disebabkan karena adanya peningkatan produksi jumlah mucoprotein pada ginjal atau kandung kemih yang dapat membentuk kristal dan membentuk menjadi batu atau calculi (Colella, et al., 2005). Kebiasaan diet dan obesitas intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat ditemukan pada teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam dapat menjadi penyebab terjadinya batu (Suddarth, 2015).

Faktor lingkungan, faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak geografis dan iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian urolithiasis lebih tinggi daripada daerah lain (Purnomo, 2012). Pekerjaan, yang menuntut untuk bekerja di lingkungan yang bersuhu tinggi serta intake cairan yang dibatasi atau terbatas dapat memacu kehilangan banyak cairan dan merupakan resiko terbesar dalam proses pembentukan batu karena adanya penurunan jumlah volume urin (Colella, et al., 2005). Cairan, asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari, kurangnya intake cairan inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya urolithiasis khususnya nefrolithiasis karena hal ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran urin/ volume urin (Domingos &

Serra, 2011)

(4)

9 2.1.5 WOC (Web of Caution)

Faktor endogen (genetik)

Faktor eksogen (lingkungan, makanan, infeksi, kejenuhan mineral dalam air minum.

Penurunan cairan ke ginjal

Urine menjadi pekat

Terjadi pengendapan mineral menjadi kristal

Endapan kristal membentuk nukleus dan menjadi batu

Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem pelviokalise dan turun ke ureter

Batu ureter

Hambatan aliran urine Obstruksi saluran kemih

Batu tidak keluar/mengendap disaluran kemih Terbentuknya batu pada

saluran kemih

Aliran darah keseluruh tubuh berkurang

esemuta Kesemutan dan kaku

pada ektremitas Hambatan aliran urine

Obstruksi

(5)

10

(Mulyanti, 2019; Harmilah, 2020; Nuari, 2017; Noegroho et al., 2018) Peningkatan tekanan hidrostatik

Peristaltik otot polos ureter 

Nyeri akut

Mengganggu istirahat dan tidur

Gangguan pola tidur

Harus dilakukan pembedahan Pasien mengeluh nyeri

pada perut

Pasien takut

Ansietas

Gangguan mobilitas fisik

Gangguan pada masalah pergerakann

Nyeri kolik Tekanan intra luminal 

Penegangan syaraf

Batu kontak dengan mukosa epitel

Hematuria Trauma mukosa epitel

Risiko perdarahan Hidronefrosis

Distensi saluran kemih

Gangguan eliminasi urine

Gambar 2.1 Skema WOC Batu Ureter

(6)

11 2.1.6 Manifestasi Klinis

1. Nyeri/kolik

Nyeri hebat atau kolik pada sekitar pinggang merupakan penanda penting dan paling sering ditemukan. Nyeri biasanya muncul jika pasien kekurangan cairan tubuh entah itu karena faktor masukan cairan yang kurang atau pengeluaran yang berlebihan. Nyeri yang dirasakan rata-rata mencapai skala 9 atau 10 diikuti keluhan mual, wajah pucat, dan keringat dingin. Kondisi terjadi akibat batu mengiritasi saluran kemih atau obstruksi batu yang menimbulkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi pelvis ginjal serta ureter proksimal yang menyebabkan kolik.

2. Gangguan pola berkemih

Pasien merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urine yang keluar, dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu (Harmilah, 2020).

Disuria, hematuria, dan pancaran urine yang menurun merupakan gejala yang sering mengikuti nyeri. Terkadang urine yang keluar tampak keruh dan berbau.

3. Demam

Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap didalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi (Harmilah, 2020). Sumbatan adalah batu yang menutup aliran urine akan menimbulkan gejala infeksi saluran kemih yang ditandai dengan demam dan menggigil.

4. Gejala gastrointestinal

Respon dari rasa nyeri biasanya didapatkan keluhan gastrointestinal, meliputi keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang memberikan manifestasi penurunan asupan nutrisi umum. Gejala gastrointestinal ini akibat refleks retrointestinal dan proksimitas anatomis ureter ke lambung, pankreas, dan usus besar (Harmilah, 2020). Meliputi mual, muntah, diare, dan perasaan tidak mual diperut berhubungan dengan refluks reointestinal dan penyebaran saraf (ganglion coeliac) antara ureter dan intestinal.

(7)

12 2.1.7 Komplikasi

1. Obstruksi aliran urine yang menimbulkan penimbunan urine pada ureter (Mulyanti, 2019) dan refluks kebagian ginjal sehingga menyebabkan gagal ginjal (Harmilah, 2020).

2. Penurunan sampai kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan dan pengangkatan batu ginjal (Harmilah, 2020).

Gangguan fungsi ginjal yang ditandai kenaikan kadar ureum dan kreatinin darah, gangguan tersebut bervariasi dari stadium ringan sampai timbulnya sindroma uremia dan gagal ginjal, bila keadaan sudah stadium lanjut bahkan bisa mengakibatkan kematian (Haryadi, 2020).

3. Infeksi akibat diseminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi (Harmilah, 2020).

4. Bakteriuria asimptomatik, ISK, serta sepsis (Ruckle, Maulana, &

Ghinowara, 2020).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan teori Harmilah (2020), pemeriksaan penunjang gangguan urolithiasis antara lain:

1. Urinalisis: warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serta serpihan, mineral, bakteri, pH urine asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat.

2. Urine (24 jam): kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin meningkat.

3. Kulture urine: menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (stapilococus aureus, proteus, klebsiela, pseudomonas).

4. Survei biokimia: peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat, protein dan elektrolit.

(8)

13

5. BUN/kreatinin serum dan urine: abnormal (tinggi pada serum/ rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.

6. Kadar klorida dan bikarbonat serum: peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.

7. Hitung darah lengkap: sel darah putih mungkin meningkat, menunjukkan infeksi/septikemia.

8. Sel darah merah: biasanya normal

9. Hb, Ht: abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi (mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi ginjal)

10. Hormon paratiroid: meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang rabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine).

11. Foto rontgen: menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomis pada area ginjal dan sepanjang ureter

12. IVP: memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abdomen pada struktur anatomis (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli.

13. Sistoureteroskopi: visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan efek obstruksi.

14. CT Scan: mengidentifikasi/menggambarkan kalkuli dan massa lain, ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih.

15. USG Ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.

2.1.9 Penatalaksanaan

Tata Laksana Spesifik Batu Ureter 1. Konservatif

Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat keluar spontan dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm. Observasi

(9)

14

juga dapat dilakukan pada pasien yang tidak memiliki komplikasi (infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran ureter).

2. Terapi Farmakologi

Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET), perlu diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak diindikasikan.

Bila direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu ureter, perlu dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan pemilihan terapi. Apabila timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu ditunda.

Penggunaan α-blocker sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan efek samping seperti ejakulasi retrograd dan hipotensi. Pasien yang diberikan α- blocker, penghambat kanal kalsium (nifedipin), dan penghambat PDE-5

(tadalafil) memiliki peluang lebih besar untuk keluarnya batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan tidak diberikan terapi. Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker tidak direkomendasikan. Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana pasien dengan batu ureter, khususnya batu ureter distal ≥ 5 mm. Beberapa studi menunjukkan durasi pemberian terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang mendukung untuk interval lama pemberiannya.

3. Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:

- Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;

- Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;

- Obstruksi persisten;

- Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney);

atau

- Kelainan anatomi ureter

(10)

15

4. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Secara keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-free rate) pada batu ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki efikasi yang sama. Namun, pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik dicapai dengan menggunakan URS. Meskipun penggunaan URS lebih efektif untuk batu ureter, namun memiliki risiko komplikasi lebih besar dibandingkan SWL.

Namun, era endourologi saat ini, rasio komplikasi dan morbiditas secara signifikan menurun. URS juga merupakan pilihan aman pada pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan angka bebas batu dan rasio komplikasi yang sebanding. Namun, pada pasien sangat obesitas (IMT >35 kg/m2) memiliki peningkatan rasio komplikasi 2 kali lipat. Namun, URS memiliki tingkat pengulangan terapi yang lebih rendah dibandingkan SWL, namun membutuhkan prosedur tambahan (misal penggunaan DJ stent), tingkat komplikasi yang lebih tinggi, dan masa rawat yang lebih panjang. Obesitas juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan SWL (Noegroho et al., 2018).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Batu Ureter

Asuhan keperawatan merupakan rangkaian interaksi antara perawat, pasien, dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian pasien dalam merawat dirinya (Tarigan & Handiyani, 2019). Asuhan keperawatan merupakan proses yang sistematis, terstruktur, dan integratif dalam bidang ilmu keperawatan. Asuhan ini diberikan melalui metode yang disebut proses keperawatan (Koerniawan, Daeli, & Srimiyati, 2020). Proses keperawatan adalah pendekatan pemecahan masalah yang melibatkan berpikir kritis, logis dan kreatif yang merupakan salah satu dasar dari praktik keperawatan (Siregar, 2021). Proses keperawatan melibatkan beberapa tahapan yaitu:

2.2.1 Pengkajian 1. Identitas

(11)

16

Secara otomatis, faktor jenis kelamin dan usia sangat signifikan dalam proses pembentukan batu. Namun, angka kejadian batu ureter dilapangan sering kali terjadi pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini karena pola hidup, aktivitas, dan geografis.

2. Keluhan utama

Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit skunder yang menyertai. Keluhan utama biasanya yang sering muncul pada pasien dengan batu ureter adalah nyeri pada perut yang menjalar sampai ke pinggang dan nyeri saat berkemih.

3. Riwayat penyakit sekarang

Keluhan yang sering terjadi pada pasien batu ureter ialah nyeri pada saluran kemih yang menjalar, berat ringannya tergantung pada lokasi dan besarnya batu, dapat terjadi nyeri/kolik renal. Pasien juga mengalami gangguan gastrointestinal.

4. Riwayat penyakit dahulu

Kemungkinan adanya riwayat gangguan pola berkemih.

5. Riwayat penyakit keluarga

Batu ureter bukan merupakan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah keluarga tidak terlalu berpengaruh pada penyakit ini.

6. Riwayat psikososial

Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika pasien memiliki koping adaptif.

Namun biasanya, hambatan dalam interaksi interaksi sosial dikarenakan adanya ketidaknyamanan (nyeri hebat) pada pasien, sehingga fokus perhatiannya hanya pada sakitnya.

7. Pola fungsi kesehatan a. Pola aktivitas

Penurunan aktivitas selama sakit terjadi bukan karena kelemahan otot, tetapi dikarenakan gangguan rasa nyaman (nyeri).

b. Pola nutrisi metabolik

(12)

17

Biasanya pasien dengan batu ureter terjadi mual muntah karena peningkatan tingkat stres akibat nyeri hebat. Anoreksia sering kali terjadi karena kondisi pH pencernaan yang asam akibat sekresi HCL berlebihan.

c. Pola eliminasi

Biasanya pada eliminasi alvi tidak mengalami perubahan fungsi maupun pola, kecuali diikuti oleh penyakit-penyakit penyerta lainnya.

d. Pola istirahat tidur

Biasanya pasien dengan batu ureter mengalami gangguan pola tidur, sulit tidur dan kadang sering terbangun dikarenakan nyeri yang dirasakan.

e. Pola Kognitif perseptual

Biasanya pasien dengan batu ureter memiliki komunikasi yang baik dengan orang lain, pendengaran dan penglihatan baik, dan tidak menggunakan alat bantu.

f. Pola toleransi-koping stress

Biasanya pasien dengan batu ureter, dapat menerima keadaan penyakitnya.

g. Persepsi diri atau konsep diri

Biasanya pasien dengan batu ureter tidak mengalami gangguan konsep diri.

h. Pola seksual reproduksi

Biasanya pasien dengan batu ureter mengalami gangguan ini sehubungan dengan rasa tidak nyaman.

i. Pola hubungan dan peran

Biasanya pasien dengan batu ureter, memiliki komunikasi yang baik dengan keluarga, perawat, dokter, dan lingkungan sekitar.

j. Pola nilai dan keyakinan

Biasanya pasien dengan batu ureter tidak mengalami gangguan dalam pola nilai dan keyakinan.

(13)

18 8. Pemeriksaan fisik

a. Kondisi umum dan tanda-tanda vital

Kondisi klien batu ureter dapat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang ditimbulkan. Pada tanda-tanda vital biasanya tidak ada perubahan yang mencolok, hanya saja takikardi terjadi akibat nyeri yang hebat.

b. Pemeriksaan Fisik 1) Wajah

Inspeksi : warna kulit, jaringan parut, lesi, dan vaskularisasi. Amati adanya pruritus, dan abnormalitas lainnya.

Palpasi : palpasi kulit untuk mengetahui suhu, turgor, tekstur, edema, dan massa.

2) Kepala

Inpeksi : kesimetrisan dan kelainan. Tengkorak, kulit kepala (lesi, massa)

Palpasi : dengan cara merotasi dengan lembut ujung jari kebawah dari tengah-tengah garis kepala ke samping. Untuk mengetahui adanya bentuk kepala pembengkakan, massa, dan nyeri tekan, kekuatan akar rambut.

3) Mata

Inspeksi : kelopak mata, perhatikan kesimetrisannya. Amati daerah orbital ada tidaknya edema, kemerahan atau jaringan lunak dibawah bidang orbital, amati konjungtiva dan sklera (untuk mengetahui adanya anemis atau tidak) dengan menarik/membuka kelopak mata.

Perhatikan warna, edema, dan lesi. Inspeksi kornea (kejernihan dan tekstur kornea) dengan berdiri disamping klien dengan menggunakan sinar cahaya tidak langsung. Inspeksi pupil, iris.

Palpasi : ada tidaknya pembengkakan pada orbital dan kelenjar lakrimal.

4) Hidung

(14)

19

Inspeksi : kesimetrisan bentuk, adanya deformitas atau lesi dan cairan yang keluar.

Palpasi : bentuk dan jaringan lunak hidung adanya nyeri, massa, penyimpangan bentuk.

5) Telinga

Inspeksi : amati kesimetrisan bentuk, dan letak telinga, warna, dan lesi

Palpasi : kartilago telinga untuk mengetahui jaringan lunak, tulang teling ada nyeri atau tidak.

6) Mulut dan faring

Inspeksi : warna dan mukosa bibir, lesi dan kelainan kongenital, kebersihan mulut, faring.

7) Leher

Inspeksi : bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya pembengkakan, jaringan parut atau massa.

Palpasi : kelenjar limfa/kelenjar getah bening, kelenjar tiroid.

8) Thorak dan tulang belakang

Inspeksi : kelainan bentuk thorak, kelainan bentuk tulang belakang, pada wanita (inspeksi payudara: bentuk dan ukuran)

Palpasi : ada tidaknya krepitus pada kusta, pada wanita (palpasi payudara: massa)

9) Paru posterior, lateral, inferior

Inspeksi : kesimetrisan paru, ada tidaknya lesi.

Palpasi : dengan meminta pasien menyebutkan angka misal 7777.

Bandingkan paru kanan dan kiri. Pengembangan paru dengan meletakkan kedua ibu jari tangan ke prosesus xifoideus dan minta pasien bernapas panjang.

Perkusi : dari puncak paru kebawah (suprakapularis/3-4 jari dari pundak sampai dengan torakal 10), catat suara perkusi:

sonor/hipersonor/redup.

(15)

20

Auskultasi : bunyi paru saat inspirasi dan aspirasi (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial, tracheal: suara abnormal wheezing, ronchi, krekels).

10) Jantung dan pembuluh darah

Inspeksi : titik impuls maksimal, denyutan apikal

Palpasi : area orta pada intercostae ke-2 kiri, dan pindah jari-jari ke intercostae 3, dan 4 kiri daerah trikuspidalis, dan mitral pada intercostae 5 kiri. Kemudian pindah jari dari mitral 5-7 cm ke garis midklavikula kiri.

Perkusi : untuk mengetahui batas jantung (atas-bawah, kanan-kiri).

Auskultasi : bunyi jantung I dan II untuk mengetahui adanya bunyi jantung tambahan

11) Abdomen

Inspeksi : ada tidaknya pembesaran, datar, cekung/cembung, kebersihan umbilikus.

Palpasi : epigastrium, lien, hepar, ginjal

Perkusi : 4 kuadran (timpani, hipertimpani, pekak)

Auskultasi : 4 kuadaran (peristaltik usus diukur dalam 1 menit, bising usus)

12) Genitalia

Inspeksi : inspeksi (kebersihan, lesi, massa, perdarahan, dan peradangan) serta adanya kelainan.

Palpasi : palpasi apakah ada nyeri tekan dan benjolan.

13) Ekstremitas :

Inspeksi : kesimetrisan, lesi, massa.

Palpasi : tonus otot, kekuatan otot. Kaji sirkulasi : akral hangat/dingin, warna, Capillary Refiil Time (CRT). Kaji kemampuan pergerakan sendi. Kaji reflek fisiologis : bisep, trisep, patela, arcilles. Kaji reflek patologis : reflek plantar.

(16)

21 2.2.2 Analisa Data

1. SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia)

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaiaitan dengan kesehatan. jenis diagnosis keperawatan terdiri dari diagnosis aktual, risiko, dan promosi kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Masalah keperawatan yang sering muncul pada penderita batu ureter antara lain :

a. Nyeri akut

b. Gangguan eliminasi urine c. Gangguan mobilitas fisik d. Gangguan pola tidur e. Ansietas

f. Risiko perdarahan

2. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)

Intervensi keperawatan adalah segalla treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

Dari diagnosis diatas intervensi utama yang dapat diberikan adalah : a. Manajemen nyeri, pemberian analgesik

b. Dukungan perawatan diri: BAB/BAK, manajemen eliminasi urine c. Dukungan ambulasi, dukungan mobilisasi

d. Dukungan tidur, edukasi aktivitas/istirahat e. Reduksi ansietas, terapi relaksasi

f. Pencegahan perdarahan

Gambar

Gambar 2.1 Skema WOC Batu Ureter
11. Foto  rontgen: menunjukkan  adanya  kalkuli  atau  perubahan anatomis  pada  area ginjal dan sepanjang ureter

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini diketahui penderita BSK berdasarkan riwayat keluarga yang tertinggi adalah pada kelompok tidak memiliki riwayat penyakit batu saluran kemih dalam keluarga

Asam urat dapat mengkristal dalam saluran kemih pada kondisi urine yang bersifat asam dan dapat berpotensi menimbulkan kencing batu, oleh sebab itu fungsi ginjal yang efektif

Data keluarga pasien perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah dalam keluarga klien ada riwayat penyakit yang bisa menurun dan berpengaruh terhadap penggunaan

Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien, daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam medic (medication chart).Data obat

Kesimpulan dari pengertian tentang penyakit infeksi saluran kemih di atas yaitu dapat disimpulkan infeksi saluran kemih adalah penyakit yang bertumbuhnya kuman di saluran kemih

Batu Saluran Kemih (Urolithiasis) merupakan keadaan patologis karena adanya masa keras seperti batu yang terbentuk disepanjang saluran kencing dan dapat menyebabkan nyeri,

Penelitian oleh Rishi et la, memperoleh faktor resiko kejadian ESBL yaitu adanya infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan antibiotik sebelumnya, diabetes mellitus,

Kristal kalsium oksalat ini kemudian akan menempel di permukaan kristal asam urat yang telah terbentuk sebelumnya, sehingga ditemukan batu saluran kemih yang intinya terjadi