BAB II
KAJIAN PUSTAKA, TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Pustaka
1. Landasan Teori
Pemaknaan istilah “regulasi” di Indonesia masih secara sempit terbatas pada sekedar peraturan perundang-undangan. Terkadang istilah regulasi juga berkelindan dengan legislasi dimana kemudian antara keduanya dibuat pemisahan. Legislasi dimaknai sebagai produk hukum dari pembentuk Undang- Undang sementara regulasi adalah peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UU. Dalam wacana akademik dengan kacamata global, konsep regulasi tidak lagi diartikan sebatas peraturan perundang-undangan semata.
Regulasi dianggap sebagai “alat” untuk mencapai tujuan sosial, selain juga tujuan ekonomi9. Selain itu, teori tentang regulasi dipandang bisa memperbaiki sistem hak asasi manusia internasional 10 . Di Indonesia, para sarjana masih memperdebatkan mengenai gagasan negara kesejahteraan ( welfare state) 11 . Meskipun, dikotomi antara negara regulasi dan negara kesejahteraan ditolak oleh Levi-Faur yang mempopulerkan konsep “regulatory welfare state”12.
9 Tim Connor dan Fiona Haines, “Networked Regulation as a Solution to Human Rights Abuse in Global Supply Chains? The Case of Trade Union Rights Violations by Indonesian Sports Shoe Manufacturers”, Theoretical Criminology, Vol. 17, 2013, h. 197
10 Hilary Charlesworth, “A Regulatory Perspective on the International Human Rights System”, Regulatory Theory, 2017, h. 357.
11 I Dewa Gede Palguna, Welfare State vs Globalisasi: Gagasan Negara Kesejahteraan di Indonesia, Depok, Rajawali Pres, 2019, h. 224
pendekatan RBR dalam perizinan berusaha dan pengawasannya serta integrasi berbagai perizinan ke dalam perizinan berusaha. Berdasarkan pendekatan risiko,
“perizinan berusaha” dibuat berjenjang dimana “izin” hanya diperlukan untuk usaha dengan resiko tinggi sedangkan untuk tingkat resiko menengah dan rendah tidak diperlukan izin.
Izin
Pendafatran (NIB)
Penapisan Perizinan Berusaha
Pendafatran (NIB)
Sertifikat Standar
Pengawasan
Pendafatran (NIB) Risiko Rendah
Risiko Menengah Pendekatan Berbasis Risiko
(PBR)
Risiko Tinggi
Seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut dengan UUCK), batasan mengenai konsep regulasi yang tidak sekedar peraturan perundang-undangan mulai berkembang. Salah satunya adalah dengan diadopsinya “regulasi berbasis risiko” (selanjutnya disebut dengan RBR). Dalam UUCK, penyederhanaan perizinan dilakukan dengan beberapa mekanisme, diantaranya adalah melalui
Gambar 2.1
Pendekatan Berbasis Risiko dalam Undang-Undang Cipta Kerja13
13 Istilah “perizinan berusaha” berbeda dengan “izin”. “Perizinan Berusaha” adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya (Pasal 1 angka 4 UUCK). Sementara “izin” merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 10 ayat92) UUCK). Untuk memahami konteks keseluruhan mengenai perizinan berusaha lihat Pasal 6 s.d. 12 UUCK.
Perubahan mendasar perizinan yang dicanangkan melalui UU ini adalah perombakan paradigma perizinan di Indonesia, utamanya perizinan berusaha.
Perubahan tersebut dari model berbasis izin biasa (license approach) menjadi perizinan berbasis resiko (risk-based licensing). Tujuannya untuk menyederhanakan perizinan berusaha di Indonesia. Pendekatan seperti ini membuat pemerintah memberikan izin berdasarkan tingkatan resiko dan ancaman lingkungan eksternal dari suatu kegiatan usaha. Konsekuensinya, pemerintah memberikan kepercayaan kepada tiap pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha sesuai standar risiko yang telah ditetapkan pemerintah.
Risk-based licensing bukanlah hal yang baru di dunia ini. Inggris menerapkan model ini dengan menyertakan sebuah risk assessment terhadap suatu usaha. Hal ini dinyatakan oleh Philip Hampton dalam laporannya pada tahun 2005 yang berjudul Reducing Administrative Burdens: effective inspection and enforcement. Untuk menilai dan melakukan asesment tersebut, terdapat lembaga The Financial Services Authority nantinya melakukan sebuah inspeksi (on-site visits) terhadap kegiatan usaha. Australia menerapkan risk- based licensing oleh Environment Protection Authority (EPA) terhadap resiko lingkungan. EPA mengeluarkan sebuah licensing guidelines yang menentukan tingkat resiko beserta rekomendasi penggunaan izinnya. EPA juga menerapkan beberapa standard conditions yang wajib dipenuhi bagi semua pemegang izin, salah satunya adalah laporan tahunan dari pemegang izin jika terdapat insiden yang mengancam lingkungan.
Indonesia perlu melakukan kajian perbandingan penerapan dengan negara lain, khususnya kedua negara di atas. Indonesia perlu menerapkan risk assesment14 berbasis penilaian lapangan seperti yang dilakukan oleh Inggris untuk mempertimbangkan dengan tepat sifat bisnis serta semua faktor eksternal yang dapat mempengaruhi risiko kegiatan perusahaan. Indonesia juga perlu mengadaptasi skema standard conditions15 seperti di Australia. Skema ini akan memberikan persamaan hukum bagi seluruh pemohon izin dan bertujuan memberikan proteksi untuk meminimalisir resiko pelanggaran, bahkan bagi kegiatan usaha dengan tingkat resiko paling kecil. Penerapan Perizinan Berbasis Risiko ditekankan pada perizinan berusaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 – 12 UU Cipta Kerja (Dokumen Final Paripurna DPR, Oktober 2020).
Perizinan berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat resiko kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha berisiko rendah, menengah, dan tinggi. Kategori Rendah, hanya memerlukan Nomor Izin Berusaha (NIB) saja sebagai legalitas pelaksanaan izin berusaha.
Kategori menengah, memerlukan NIB dan Sertifikat Standar. Sedangkan terhadap Kategori Tinggi barulah memerlukan NIB dan izin. Izin tersebut merupakan persetujuan Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. pemerintah juga harus membuat indikator dan sekaligus klasifikasi usaha. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam Catatan Terhadap Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (2020) menyatakan pengaturan perizinan berbasis resiko tidak dapat diterapkan dengan baik di Indonesia, karena penentuan resiko cenderung subyektif, mudah diperdebatkan, serta memerlukan banyak data dalam pemeringkatan resiko.
14 I Wayan Bhayu Eka Pratama, Model Perizinan Berbasis Resiko yang Penuh Resiko dalam UU Cipta Kerja, Mongabay, 2020.
15 Ibid
Terdapat beberapa ketentuan pengaturan dalam UU Omnibus Law yang ditentukan akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. Misalnya Aturan turuan UU Cipta Kerja yaitu PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, menugaskan pemberian izin kepada Menteri. Dalam hal tersebut, kesesuaian pemanfaatan ruang diterbitkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang (Menteri Agraria dan Tata Ruang). Peraturan Pemerintah merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah secara mandiri, tanpa adanya peran dari unsur atau lembaga perwakilan rakyat. UU Omnibus Law dibuat dengan maksud untuk mengatasi banyaknya peraturan saat ini. Namun di sisi lain, UU Omnibus Law ini mensyaratkan adanya berbagai aturan turunan. Meskipun sebenarnya ada mekanisme pengujiannya ke MK dan MA jika terjadi pertentangan norma, namun itu tetap membutuhkan proses yang lama untuk menyelesaikannya. hal tersebut berpotensi akan merugikan usaha yang telah berjalan, karena harus menyesuaikan lagi dengan aturan yang baru.
Kebijakan reformasi regulasi menjadi elemen kunci dalam reformasi administrasi publik Indonesia. Reformasi regulasi mengurangi hambatan terhadap daya saing dan keterbukaan pasar serta dinamika pasar untuk memastikan tercapainya kesejahteraan sosial. Omnibus Law di Indonesia menjadi daya tarik bagi kalangan pengambil kebijakan, akademisi dan praktisi.
Dalam iklim berusaha yang penuh dengan persaingan, kenyataan menunjukkan kondisi regulasi Indonesia sangat banyak (hyper regulation) dan tumpang tindih
(overlap) antara satu dan yang lain, serta tidak sesuai lagi dengan keadaan era Revolusi Industri Keempat saat ini.
Perdebatan mengenai Omnibus Law sebagai sarana utama untuk penataan regulasi, mengemuka ketika metode Omnibus Law yang sebelumnya tidak banyak dikenal di Indonesia−negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental, menjadi digunakan dalam penyusunan Rancangan Undang−Undang (RUU) yang menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020. Terdapat dua RUU dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020 yang menggunakan metode Omnibus Law yaitu: RUU tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang diusulkan oleh Pemerintah dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (Omnibus Law) yang diusulkan oleh Pemerintah.
Regulatory capture adalah kejadian ketika intervensi negara atas kegiatan ekonomi, termasuk didalamnya proses regulasi seperti pembentukan peraturan perundang-undangan, kegiatan perizinan dan pengawasan, diarahkan oleh kepentingan tertentu16. Kajian mengenai capture menjelaskan bahwa apabila kepentingan dari suatu kelompok adalah besar dan jumlah kelompoknya sedikit, maka kelompok tersebut akan memiliki posisi yang lebih baik dalam memengaruhi jalannya regulasi. Kelompok pengusaha memiliki kepentingan per kapita yang besar dibandingkan dengan konsumen, buruh atau kelompok lainnya juga memiliki sumber daya yang lebih besar untuk memengaruhi regulasi.
16 Ernesto Dal Bo, “Regulatory Capture: A Review”, Oxford Review of Economic Policy, vol. 22, 2006 h.
203.
Dalam konteks UUCK, kepentingan bisnis yang besar ini bisa dimanifestasikan dalam bentuk lobi untuk kemudahan perizinan, pengawasan atau standar yang lebih ringan. Dalam proses RBR di UUCK dengan sebisa mungkin: (i) mengategorikan suatu kegiatan usaha dalam resiko rendah atau menengah sehingga tidak memerlukan izin; (ii) menurunkan standar; dan (iii) menurunkan frekuensi pengawasan. Hal tersebut berpotensi terjadi dalam proses analisis dan penjenjangan resiko. Hal ini bukan berarti bahwa seluruh kegiatan atau usaha harus diawasi secara ketat. Pengawasan ketat hanya diperlukan pada kegiatan dengan risiko tinggi dengan memperhatikan kapasitas dan catatan kepatuhan perusahaan. Artinya, pengawasan bisa lebih longgar apabila perusahaannya patuh dan mekanisme kontrol internalnya baik.
2. Landasan Perudang-Undangan
Menindaklanjuti pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pemerintah tengah menyusun aturan pelaksanaan berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres). Dalam proses penyusunan RPP dan RPerpres, Pemerintah membentuk tim independen yang akan berkunjung ke beberapa kota untuk menyerap masukan dan tanggapan dari masyarakat serta seluruh pemangku kepentingan terkait.
Sektor Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, pada UU Cipta Kerja memperkenalkan perubahan paradigma dan konsepsi perizinan berusaha, yakni mengubah pendekatan aturan berbasis izin atau license based menjadi aturan berbasis risiko atau Risk Based Approach (RBA). Perizinan berusaha, hanya diterapkan kepada kegiatan usaha yang berisiko tinggi, baik dilihat dari segi kesehatan, keselamatan, lingkungan, maupun kepentingan umum.
Perizinan berusaha di lapangan cukup bervariasi dan pengawasan terhadap kegiatan usahanya tidak optimal dilaksanakan. Hal-hal tersebut melatarbelakangi disusunnya perizinan berusaha berbasis risiko. "Perizinan dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha," demikian tertulis dalam Pasal 7 BAB III dalam UU Cipta Kerja. Dalam bagian penjelasan, tingkat risiko ini adalah potensi terjadinya bahaya terhadap kesehatan hingga lingkungan. Itu sebabnya, sebelum mendapatkan izin, ada penilaian terhadap potensi bahayanya dari bisnis yang dilakukan investor. Penilaian ini akan mencakup lima aspek, yaitu kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya, dan risiko volatilitas. Perlu digarisbawahi bahwa sumber daya yang dimaksud termasuk frekuensi radio.
a. Bisnis Risiko Rendah
Izin yang dibutuhkan hanya satu yaitu Nomor Induk Berusaha (NIB). Hal tersebut merupakan bukti registrasi pelaku bisnis untuk melakukan usaha dan identitas atas usahanya tersebut, namun UU Omnibus Law belum menjelaskan contoh bisnis risiko rendah itu seperti apa.
b. Bisnis Risiko Menengah
Pemerintah membagi dalam dua kelompok. Pertama, menengah rendah yaitu seperti wisata agro dan jasa manajemen hotel. Izinnya hanya dua yaitu NIB dan pernyataan sertifikat standar. artinya, hanya memerlukan pernyataan pelaku usaha bahwa bisnisnya telah memenuhi standar. Kedua menengah tinggi seperti industri mesin pendingin dan industri konstruksi berat siap pasang dari baja untuk bangunan. Izinnya dua yaitu NIB dan pemenuhan sertifikat standar yaitu ada kewajiban standar yang perlu
dipenuhi. Jika kedua jenis bisnis tersebut memerlukan standarisasi produk, maka pemerintah pusat yang akan menerbitkannya berdasarkan hasil verifikasi. Standarisasi produk wajib dipenuhi pelaku bisnis sebelum barangnya dipasarkan.
c. Bisnis Risiko Tinggi
Izinnya tetap dua yaitu NIB dan izin yaitu persetujuan dari pemerintah pusat untuk memulai usaha. Jika memerlukan standarisasi produk, maka pelaku usaha wajib untuk memiliki sertifikat standar yang diterbitkan pemerintah pusat sebelum barangnya dipasarkan.
Pemerintah telah memiliki 51 peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Hal mendasar yang diatur dalam PP dan Perpres tersebut adalah perubahan untuk kemudahan dan kepastian dalam perizinan serta perluasan bidang untuk investasi, sejalan dengan maksud dan tujuan UU Cipta Kerja. Hal itu akan dapat memperluas lapangan kerja baru, dan diharapkan akan menjadi upaya Pemerintah mengungkit ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sebab, pertumbuhan ekonomi nasional ditargetkan sebesar 5,3 persen pada tahun 2021. UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan perizinan dan kegiatan usaha sektor merupakan upaya reformasi dan deregulasi yang menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi informasi.
Penerapan perizinan berusaha berbasis risiko mengubah pendekatan kegiatan berusaha dari berbasis izin ke berbasis risiko (Risk Based Approach) dengan rincian sebagai berikut:
Cakupan kegiatan berusaha mengacu ke Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 202017.
a. Hasil RBA atas 18 sektor kegiatan usaha (1.531 KBLI) sebanyak 2.280 tingkat risiko, yaitu: Risiko Rendah (RR) sebanyak 707 (31 persen), Risiko Menengah Rendah (RMR) sebanyak 458 (20,09 persen), Risiko Menengah Tinggi (RMT) sebanyak 670 (29,39 persen), dan Risiko Tinggi (RT) sebanyak 445 (19,52 persen).
b. Berdasarkan hasil RBA, maka penerapan Perizinan Berusaha berdasarkan risiko dilaksanakan sebagai berikut: RR hanya Nomor Induk Berusaha (NIB), RMR dengan NIB + Sertifikat Standar (Pernyataan), RMT dengan NIB + Sertifikat Standar (Verifikasi), dan RT dengan NIB + Izin (Verifikasi).
c. Sistem melalui Online Single Submission (OSS) yakni: untuk RR & RMR akan dapat selesai di OSS dan dilakukan pembinaan serta pengawasan, sedangkan untuk RMT dan RT dilakukan penyelesaian NIB di OSS serta dilakukan verifikasi syarat/standar oleh kementerian/lembaga/daerah dan dilaksanakan pengawasan terhadapnya.
d. 51 persen kegiatan usaha cukup diselesaikan melalui OSS, termasuk di dalamnya adalah kegiatan UMK.
Untuk bidang usaha penanaman modal atau investasi, Pemerintah telah mengubah konsep dari semula berbasis kepada Bidang Usaha Daftar Negatif Investasi (DNI) menjadi Bidang Usaha Prioritas. Berbagai bidang usaha yang menjadi prioritas ini akan diberikan insentif dan kemudahan yang meliputi insentif fiskal dan non fiskal. Insentif fiskal terdiri atas: Pertama, insentif
17 Sistem Perizianan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. 2020. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2020. Kementrian Investasi/BKPM.
Perpajakan, antara lain pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang- bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu (tax allowance), pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka investasi, serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu (investment allowance). Kedua, insentif Kepabeanan berupa pembebasan bea masuk atas impor mesin serta barang dan bahan untuk pembangunan atau pengembangan industri.
Insentif non fiskal meliputi kemudahan perizinan berusaha, penyediaan infrastruktur pendukung, jaminan ketersediaan energi, jaminan ketersediaan bahan baku, keimigrasian, ketenagakerjaan, dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan dalam proses perizinan dan perluasan bidang usaha untuk investasi, akan menjadi tantangan dalam percepatan investasi dan pembukaan lapangan kerja baru. Dengan penerapan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya, maka Indonesia telah memasuki era baru dalam memberikan kemudahan dan kepastian perizinan dan kegiatan usaha, sehingga akan meningkatkan daya saing investasi dan produktivitas, serta efisiensi kegiatan usaha. UU Cipta Kerja juga mengatur perlindungan dan peningkatan kesejahteraan pekerja atau buruh. Sebagai aturan turunannya, terdapat 4 PP yang mengatur pelaksanaan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) serta menyempurnakan ketentuan mengenai waktu kerja, hubungan kerja, dan pemutusan hubungan kerja (PHK), serta pengupahan.
Di dalam UU Cipta Kerja juga diperjelas dan dipertegas ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang diperlukan hanya untuk alih
keahlian atau keterampilan dan teknologi baru, serta pelaksanaan investasi Tim Serap Aspirasi dibentuk dengan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 332 Tahun 2020 yang beranggotakan para tokoh, akademisi, dan praktisi dengan berbagai latar keahlian sesuai kebutuhan. Tim Serap Aspirasi secara aktif telah melakukan kegiatan serap aspirasi publik, baik melalui webinar, rapat, dan pertemuan dengan berbagai unsur masyarakat, asosiasi, pelaku usaha, akademisi, LSM, dan pihak lainnya. Sampai 31 Januari 2021, Tim Serap Aspirasi telah mengumpulkan 238 aspirasi masyarakat yang terkait dengan 39 peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja dengan rincian poin sebanyak 2.585 poin.
Perizinan berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. Dalam beleid tersebut, penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha dilakukan berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. Penilaian tingkat bahaya dilakukan terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya; dan/atau risiko volatilitas. Penilaian tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan jenis kegiatan usaha, kriteria kegiatan usaha, lokasi kegiatan usaha; dan/atau keterbatasan sumber daya. Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha (penjelasan Paragraf 1 Pasal 7(1) Omnibus Law Cipta Kerja). Penilaian potensi terjadinya bahaya meliputi hampir tidak mungkin terjadi, kemungkinan kecil terjadi, kemungkinan terjadi atau hampir pasti terjadi.
Berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi bahaya tersebut, tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi kegiatan berisiko rendah, menengah, dan tinggi. Untuk kegiatan usaha berisiko rendah, perizinan berusaha berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha. perizinan berusaha untuk kegiatan berisiko menengah dibedakan menjadi dua, yaitu risiko menengah rendah dan menengah tinggi. Untuk perizinan berusaha menengah rendah, izin berupa pemberian nomor induk berusaha dan pernyataan sertifikasi standar. Sedangkan, perizinan menengah tinggi izin berupa nomor induk berusaha dan pemenuhan sertifikat standar.
Untuk perizinan berusaha kegiatan berisiko tinggi akan melalui proses administratif mencakup pemberian nomor induk berusaha dan izin. Izin tersebut merupakan persetujuan pemerintah pusat untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
Kendala perijinan tidak dapat dipisahkan dari sistem insentif di sektor publik, yang ironisnya, masih heterogen dan tidak semua berorientasi ke outcomes. Naskah Akademik (NA) dan paparan pemerintah mengidentifikasi dengan baik berbagai kendala kelembagaan yang kita hadapi, terutama di perizinan. Namun solusi yang ditawarkan hanya sebatas pada kemudahan berinvestasi, solusi kelembagaan lain tidak disebutkan. NA mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan di Indonesia (masalah kelembagaan), namun rekomendasinya hanya satu hal: kelonggaran investasi.
Banyak konsep mengenai risiko di NA ternyata berbeda dari literatur yang disadur. The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
2010 dan Orange Book 2020 tidak memiliki saran agar perizinan pindah ke RBA.
Keduanya hanyalah buku panduan bagi sektor public untuk menerapkan risk management untuk perbaikan aspek kelembagaan. Terminologi risiko adalah probabilitas munculnya kejadian, bukan kombinasi probabilitas munculnya kejadian dengan potensi kerugian. Risiko ditentukan dari riset dan database yang mumpuni, bukan klasifikasi berdasarkan nilai dan klasifikasi tertentu oleh pemerintah.
NA tidak mengakomodasi perbedaan kondisi antara Indonesia dengan negara acuan (UK dan negara-negara OECD). Penggunaan subyektivitas pemerintah dalam penentuan risiko. Kewenangan Pemda terkait perizinan digantikan oleh Pemerintah Pusat. Database kependudukan di Indonesia belum terbangun sempurna. Untuk memitigasi regulatory capture diperlukan mekanisme transparansi dan pelibatan publik. Dalam konteks UUCK, diperlukan pelibatan publik dalam rangka penentuan dan penjenjangan risiko. Dengan demikian, proses penetapan tingkat risiko secara ideal dilakukan dengan data yang cukup melalui proses yang transparan dan disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan.
Mekanisme transparansi pernah diusulkan dalam proses pembahasan rancangan UUCK dan termuat dalam salah satu DIM (Daftar Inventarisasi Masalah). Akan tetapi, mekanisme mitigasi capture tidak dimuat dalam UUCK.
Konsep RBR merupakan hal yang baru dalam wacana akademik di Indonesia. Seiring dengan diterbitkannya UUCK, konsep itu mendapat tempat dalam upaya menyederhanakan perizinan berusaha. Penerapan konsep RBR dalam UUCK membuka diskursus publik dan wacana akademik mengenai pengertian regulasi yang tidak semata dimaknai hanya dengan peraturan perundang-
undangan. Penerapan konsep RBR merupakan sebuah langkah maju dalam
“pendekatan regulasi” alih-alih pendekatan tradisional yang kerap dianut dalam penyusunan UU di Indonesia, berupa “command-and-control”.
Pendekatan RBR dalam UUCK berbeda dengan praktek RBR yang banyak berkembang, dimana RBR biasanya lebih digunakan dalam konteks pengawasan.
RBR dalam UUCK menekankan pada penapisan perizinan berusaha. Selain itu, penyusunan UUCK dalam format omnibus membuat kerumitan dalam mengidentifikasi tujuan regulasi. Tanpa adanya kejelasan tujuan regulasi maka identifikasi risiko tidak mungkin dilakukan karena identifikasi risiko sendiri merupakan turunan dari tujuan regulasi. Gabungan dari perubahan atas beberapa UU dalam format omnibus membuat tujuan regulasi menjadi tumpang tindih.
Pekerjaan bagi tiap-tiap sektor pasca diterbitkannya UUCK adalah mengidentifikasi tujuan regulasi masing-masing. Tujuan besar yang dimuat dalam UUCK membuat rancu tujuan regulasi tiap-tiap sektornya
B. Temuan dan Pembahasan
1. Temuan Hasil Penelitian
Penelitian ini terfokus pada kebijakan reformasi regulasi melalui Omnibus Law di Indonesia, untuk mendeskripsikan Omnibus Law di Indonesia, sebagai sarana utama dalam penataan regulasi. Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Omnibus Law penting untuk diterapkan di Indonesia, dan mampu untuk melakukan perubahan terhadap berbagai Undang-Undang dalam satu Undang- Undang.
Usulan Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Omnibus Law menuai reaksi publik. Hal ini karena Indonesia menganut sistem hukum civil law, sementara omnibus law dari sistem hukum common law, serta setiap undang- undang memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis berbeda sehingga menyulitkan memastikannya tetap ada dalam omnibus law. Undang-Undang melalui model omnibus law, kemudian bagaimana peluang dan tantangan omnibus law untuk dapat diadopsi dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Manfaat omnibus law bagi pembentuk undang-undang akan mudah mencapai kesepakatan dan menghindarkan dari kebuntuan politik, menghemat waktu dan mempersingkat proses legislasi, pembentukan Undang-Undang menjadi lebih efisien, dan meningkatkan produktivitas dalam pembentukan Undang-Undang. Kelemahan omnibus law adalah pragmatis dan kurang demokratis, membatasi ruang partisipasi maupun disusun tidak sistematis dan kurang hati-hati.
Peluang diadopsinya teknik omnibus law secara permanen dalam sistem perundang-undangan di Indonesia akan sangat tergantung dari keberhasilan dan manfaat Undang-Undang omnibus law yang dihasilkan. Sejumlah persyaratan perlu dipenuhi dalam penggunaan omnibus law di Indonesia yakni pemenuhan azas keterbukaan, kehati- hatian, dan partisipasi masyarakat serta sebaiknya tidak dilakukan untuk kebijakan yang mengandung skala besar utamanya berkaitan dengan HAM. Jumlah regulasi saat ini sudah terlalu banyak dan saling tidak harmonis, saling konflik, serta saling tumpang tindih antara regulasi yang satu dengan yang lain. Banyaknya regulasi sering juga disebut over regulated, banjir regulasi, atau obesitas regulasi. Penelitian diarahkan pada
penelusuran kepustakaan (library research), pendekatan peraturan perundang- undangan (statute approach) dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan pokok bahasan. Dari penelusuran tersebut dihasilkan karya tulis yang sistematis dengan menggunakan pendekatan yuridis-analitis dan akan diperoleh hasil yang kualitatif. Dari hasil penelitian cara yang ditempuh untuk mengatasi kondisi regulasi yang sudah terlalu banyak dan cenderung tidak harmonis tersebut perlu dilakukan simplifikasi regulasi dengan menggunakan pendekatan omnibus law. Omnibus law adalah model penyusunan regulasi yang lazim digunakan di negara-negara dengan tradisi sistem common law.
Perkembangan teknologi merupakan suatu keniscayaan yang mewarnai kehidupan manusia modern saat ini. Untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan masyarakat, peranan hukum menjadi penting dalam mendampingi perkembangan teknologi. Peneliti memberikan saran revisi substansi atas topik yang diwujudkan melalui momentum Omnibus Law tentang Teknologi Informasi dan Komunikasi guna Ius Constituendum hukum Indonesia.
Pemerintah membentuk RUU tentang Cipta Kerja yang bertujuan untuk memudahkan iklim berusaha di Indonesia. RUU ini masuk dalam daftar prioritas Prolegnas Tahun 2020 dan diharapkan dapat meningkatkan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) Indonesia di dunia khususnya terkait indikator memulai usaha (starting a business) yang tertinggal dari negara tetangga dan menjadi peringkat kelima di tingkat ASEAN. Untuk itu, Pemerintah menciptakan terobosan agar setiap orang dapat dengan mudah memulai usaha khususnya bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Sejumlah
klaster RUU sudah disusun dan salah satu dari sub klaster tersebut adalah terkait dengan pembentukan badan usaha.
Dalam rangka mewujudkan kemudahan berusaha, terdapat kebutuhan untuk membentuk satu jenis badan usaha baru khususnya bagi UMK berupa Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan oleh satu orang. PT perseorangan diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi pelaku UMK dalam membentuk perusahaan dengan persyaratan dan permodalan minimum. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, artikel ini membahas konsep PT perseorangan dengan membandingkan pengaturan dengan negara lain, diantaranya adalah negara-negara Uni Eropa, United Kingdom, Malaysia, dan Singapura,sehingga dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia apabila hendak mewujudkan hal tersebut. Dari hasil kajian dibutuhkan pengaturan yang tepat dan komprehensif dalam rangka mewujudkan PT bagi UMK dalam rangka mendukung kemudahan berusaha di Indonesia.
Kebijakan Presiden Jokowi mengajukan metode omnibus law melalui RUU Cipta Kerja untuk menciptakan lapangan kerja patut diapresiasi. Namun demikian, harus tetap sejalan dengan prinsip negara demokrasi konstitusional (negara hukum) yang telah disepakati. Undang-undang dengan konsep omnibus law dalam dunia ilmu hukum di Indonesia merupakan paradigma baru di bidang hukum. Makna dan sifat hukum dalam konsep omnibus law berbeda dengan makna, sifat dan konsep norma hukum dalam undang-undang yang sudah ada.
Konsep omnibus law dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan dalam peraturan perundang-undangan ke dalam satu undang-undang dan
konsekuensinya mencabut beberapa aturan hasil penggabungan yang dinyatakan tidak berlaku, baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan.
Pokok permasalahan dapat ditemukan dalam bahwa undang-undang dengan konsep omnibus law yang dibuat akan mengubah sistem peraturan perundang-undangan, karena konsep dan teorinya berbeda dengan model hukum dan norma hukum yang selama ini berlaku di Indonesia. Perdebatan mengenai Omnibus Law sebagai sarana utama untuk penataan regulasi, mengemuka ketika metode Omnibus Law yang sebelumnya tidak banyak dikenal di Indonesia-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental, menjadi digunakan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020. Terdapat dua RUU dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020 yang menggunakan metode Omnibus Law yaitu: RUU tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang diusulkan oleh Pemerintah dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (Omnibus Law) yang diusulkan oleh Pemerintah.
Banyak pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah mengapa memilih metode Omnibus Law dalam melakukan reformasi regulasi yang mendesak untuk dilakukan. Berbagai upaya untuk mendorong peningkatan investasi dilakukan oleh pemerintah, namun di tengah era Revolusi Industri Keemp at, berbagai kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk perbaikan iklim investasi masih belum memberikan ketertarikan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satu penyebab keengganan investor untuk berinvestasi di Indonesia adalah sulitnya berusaha di Indonesia. Investasi
kemudahan berusaha. Indeks kemudahan berusaha ( Ease of Doing Business/
EoDB) Indonesia yang digunakan untuk mengetahui respon pelaku usaha terhadap berbagai indikator, antara lain perizinan, regulasi, pelayanan publik, akses terhadap terhadap keuangan, dan jaminan kepastian hukum.
Tabel 2.1
Peringkat Ease of Doing Business Indonesia Tahun 2019/2020
dunia terhadap Indonesia masih rendah yaitu 1,97 % dari rata-rata per tahun (2012-2016) sebesar USD 1,417,8 miliar serta pencapaian target rasio investasi sebesar 32,7 persen (2012- 2016) yaitu di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 38,9 % (tiga puluh delapan koma Sembilan persen) pada tahun 2019. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa banyak hal yang masih perlu dilakukan pembenahan oleh pemerintah dalam iklim
No. Indikator EoDB DB 2020
Rank
DB 2019
Rank Change
1. Starting a Business 140 134 -6
2. Dealing with construction permits 110 112 +2
3. Getting electricity 33 33 0
4. Registering property 106 100 -6
5. Getting credit 48 44 -4
6. Protecting minority investors 37 51 +14
7. Paying taxes 81 112 +31
8. Trading across borders 116 116 0
9. Enforcing contracts 139 146 +7
10. Resolving insolvency 38 36 -2
Total 73 73
Sumber: EoDB, 2020
Dari 10 indikator EoDB, yang meliputi: (1) Starting a Business; (2) Dealing with Construction Permits; (3) Getting Electricity; (4) Registering Property; (5) Getting Credit; (6) Protecting Minority Investors; (7) Paying Taxes; (8) Trading Across Borders; (9) Enforcing Contracts; dan (10) Resolving Insolvency, sebagaimana tersaji dalam Tabel. 2.1. menunjukkan bahwa peringkat starting a business Indonesia, pada tahun 2020 turun dari sebelumnya berada pada peringkat 134 turun 6 peringkat menjadi peringkat 140. Padahal, di tahun 2019 Indonesia sudah melaksanakan mekanisme OSS dalam perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik, dengan diperkenalkannya Nomor Induk Berusaha (NIB). Indikator lain yang peringkatnya turun yaitu indikator registering property yang pada tahun sebelumnya berada pada peringkat 100, turun 6 peringkat menjadi berada di peringkat 106. Indikator Getting Credit juga turun dari sebelumnya berada pada peringkat 44 turun 4 peringkat menjadi berada di peringkat 48.
Lebih lanjut indikator Resolving Insolvency turun dari sebelumnya berada pada peringkat 36 turun 2 peringkat menjadi berada di peringkat 38. Meskipun demikian, beberapa indikator yang mengalami peningkatan yaitu Dealing with Construction Permits; Protecting Minority Investors; Paying Taxes; dan Enforcing Contracts. Adapun indikator yang tidak mengalami perubahan peringkat terdapat pada indikator Getting Electricity dan Trading across Borders. Berdasarkan perhitungan score untuk masing−masing indikator, maka diperoleh hasil bahwa peringkat EoDB Indonesia jika dibandingkan pada tahun 2019 dan tahun 2020 adalah sama, yaitu berada di peringkat 73.
Salah satu pertimbangan penanam modal melakukan penanaman modal di suatu negara adalah kepastian hukum. Kepastian hukum meliputi kepastian
pengaturan dalam peraturan perundang−undangan dan kepastian atas penegakan hukum. Omnibus Law merupakan salah satu konsep menata beberapa regulasi yang saling tumpang tindih dengan membuat satu regulasi baru. Omnibus law diperuntukkan untuk menata regulasi demi adanya kepastian pengaturan dalam peraturan perundang−undangangan. regulasi penanaman modal dimulai sejak diundangkan Undang−Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan penataan melalui omnibus law akan disiapkan pada tahun 2020. Penataan regulasi penanaman modal dapat memberikan kepastian hukum dari perspektif pengaturan, namun belum tentu memberikan kepastian hukum dari perspektif penegakan hukum. Pertumbuhan penanaman modal tidak hanya ditentukan oleh penataan regulasi, namun dipengaruhi oleh iklim yang kondusif untuk penanaman modal, termasuk keamanan, kemudahan berusaha, insentif, dan kondisi perekonomian suatu negara.
Berdasarkan Naskah Akademik (NA) (hal. 4-15) Omnibus Law (OL) Cipta Kerja dengan baik mengidentifikasi masalah perijinan di Indonesia yaitu sebagai berikut: (1) Daya saing (Global Competitive Index) rendah disbanding negara tetangga, (2) Kemudahan berusaha (EoDB) lebih rendah dibandingkan negara tetangga, (3) Rumitnya perizinan, (4) Inefisiensi birokrasi, (5) Terlalu banyak jenis perizinan, (6) Daftar Negatif Investasi (DNI) Indonesia tertinggi di ASEAN dan (7) Online Single Submission (OSS) berhasil memangkas perizinan namun dirasa belum optimal. Tujuan Penyederhanaan Perizinan (hal. 115-116): Kondisi saat ini: sulit mengurus izin, prosedur izin berbelit-belit, jenis dan jumlah perizinan banyak, waktu mengurus izin lama, biaya tinggi memulai dan menjalankan bisnis. Hal ini diperburuk oleh rendahnya kualitas dan konsistensi regulasi serta maraknya korupsi.
swasta, Illicit Enrichment, Trading of influence, dan Foreign Bribery, tetap tidak diatur di Indonesia. OL memungkinkan untuk memasukkan revisi UU Tipikor dan menciptakan playing field yang setara antara BUMS dan BUMN. Masalah perijinan tidak dapat dipisahkan dari korupsi di sektor public dan sektor swasta.
120
109
100 114
91
80 72 73
73 60
40
20
0
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Kondisi yang diharapkan: penyederhanaan perizinan berusaha (proses perizinan singkat, prosedur tidak rumit, biaya murah) menggunakan threshold yang ditetapkan RBA. Solusi: transformasi perizinan dari License Approach ke Risk-Based Approach.
Aspek kelembagaan diakui lemah di NA OL, namun perbaikan aspek kelembagaan yang diperlukan tidak tercantum NA dan RUU. NA mengeluhkan tingginya korupsi, namun Revisi UU Tipikor tidak termasuk di OL. Korupsi sektor
Gambar 2.1 Laporan EoDB 2020
2. Pembahasan Rumusan Masalah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja) diterbitkan salah satunya untuk memberikan kepastian hukum bagi pengusaha untuk berinvestasi. Potensi ataupun prospek perubahan yang dapat terjadi dilihat dengan membandingkan UU Cipta Kerja beserta turunannya dengan aturan yang berlaku sebelumnya. Jika dielaborasi, tema kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja dibahas dalam Bab III dan Bab IV. Dua isu terkait kemudahan berusaha dalam Bab III “Peningkatan Ekosistem Investasi dan Perizinan Berusaha” adalah penerapan perizinan berusaha berbasis risiko serta penyederhanaan perizinan dasar yaitu perizinan tata ruang, lingkungan dan bangunan. Terdapat Sembilan isu terkait kemudahan berusaha dalam Bab VI
“Kemudahan Berusaha” UU Cipta Kerja.
Kesembilan isu kemudahan berusaha terkait dengan tema imigrasi, paten, merek, Perseroan Terbatas (PT), penghapusan izin gangguan, Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), larangan praktik monopoli dan persaingan usaha, perpajakan, serta Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Perbandingan UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya dengan aturan yang berlaku sebelumnya dapat digunakan untuk memberikan penilaian apakah perubahan yang terjadi dapat dianggap mempermudah kegiatan berusaha di Indonesia atau belum. Berdasarkan paradigma Risk Based Approach (RBA), semakin tinggi potensi risiko kegiatan usaha, maka semakin banyak perizinan yang dibutuhkan, begitupula sebaliknya. UU Cipta Kerja menegaskan bahwa perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha (Pasal 7 UU Cipta Kera).
Penilaian tingkat risiko yang dimaksud meliputi aspek Kesehatan, keselamatan, lingkungan serta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.
Penilaian tingkat risiko dilakukan dengan memperhitungkan jenis kegiatan usaha, kriteria usaha, lokasi kegiatan usaha, keterbatasan sumber daya dan risiko volatilitas. Hasil penilaian terhadap potensi terjadinya risiko memiliki empat kemungkinan yaitu: hampir tidak terjadi, terjadi, kemungkinan kecil terjadi, kemungkinan terjadi dan hampir pasti terjadi. Dari penilaian terhadap tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya akan diketahui risiko dan peringkat skala kegiatan usaha, mulai dari kegiatan berisiko rendah, menengah, serta tinggi. Kegiatan usaha yang dinilai berisiko rendah hanya membutuhkan izin berupa Nomor Induk Berusaha (NIB). Selain berfungsi sebagai legalitas pelaksanaan kegaitan berusaha, NIB merupakan bukti pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha sekaligus sebagai identitas pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatannya (Pasal 8 UU Cipta Kerja). Untuk mendukung perubahan paradigma perizinan, pemerintah juga menerapkan system perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS). Penerapan OSS yang telah dibuat tahun 2018 diperluas dalam aturan turunan UU Cipta Kerja yaitu PP Nomor 5 Tahun 2021 untuk menyelenggarakan perizinan berusaha berbasis risiko.
Tabel 2.2
Perbedaan UU 11/2020 Beserta Turunannya dengan Aturan Lama terkait Perizinan Berbasis Risiko
Aturan
Lama UU 11/2020 (Cipta Kerja) Turunan UU Cipta Kerja
Pengaturan izin tidak berdasarkan risiko
Pasal 7 UU 11/2020
Mengatur perizinan usaha melalui penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha
Pasal 4 PP 5/2021
Pelaku usaha wajib memiliki 1) Persyaratan dasar perizinan
berusaha dan
2) Perizinan berbasis risiko PP 24018
OSS tidak berdasarkan risiko
OSS tidak disebutkan secara khusus tetapi tersebar serta digunakan istilah
“Sistem Perizinan Usaha secara Elektronik”
Pasal 1 PP 5/2021 Penggunaan OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sumber: bahan hukum primer
Terkait perizinan pemanfaatan ruang, UU Cipta Kerja dan turunannya mengubah kewenangan pemberi dan pencabut izin dari sebelumnya oleh pemerintah pusat dan daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa pemberi dan pencabut izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah (Pasal 27 UU 26/2007). Sedangkan UU Cipta Kerja mengubahnya menjadi pemberi dan pencabut izin pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Perizinan dasar yang juga diselenggarakan dalam UU Cipta Kerja adalah izin mendirikan bangunan. UU Cipta Kerja menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menggantikannya dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Dalam aturan sebelumnya, yaitu PP 36/2005, perizinan untuk mengubah, memperluas, mengurangi dan atau merawat bangunan Gedung sesuai persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gedung. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya yaitu PP 16/2021, perizinan IMB
diganti dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Perbedaan definisi antara IMB dan PBG terletak dalam keterangan kesesuaian persyaratan. IMB memberlakukan kesesuaian dengna persyaratan administrative dan persyaratan teknis. Sedangkan PBG menggunakan kesesuaian dengan standar teknis bangunan Gedung.
Dalam hal paten, UU Cipta Kerja memberikan kelonggaran kewajiban pelaksanaan paten. Sebelumnya dalam UU 13/2016, pemegang paten diwajibkan membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia (Pasal 20 UU 13/2016).
Kewajiban tersebut diperlonggar dalam UU Cipta Kerja terkait pelaksanaan paten- produk dan paten-proses. Pelaksanaan paten-produk diatur sebagai kegiatan yang meliputi membuat, mengimpor atau melisensikan produk yang diberi paten.
Sedangkan, pelaksanaan paten-proses diatur sebagai kegiatan yang meliputi:
membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi paten. UU Cipta Kerja juga mempercepat keputusan permohonan paten, dari 12 bulan (Pasal 124 UU 13/2016) menjadi 6 bulan (Pasal 107 UU Cipta Kerja).
Terkait merek, UU Cipta Kerja menambahkan kriteria merek yang tidak dapat didaftarkan dan mempercepat proses pengajuan merek. Dalam aturan lama yaitu UU 20/2016, terdapat enam kriteria merek yang tidak dapat didaftarkan. Kriteria tersebut ditambah menjadi tujuh dalam UU Cipta Kerja. Kriteria yang ditambahkan adalah
“mengandung bentuk yang bersifat fungsional.” Selain itu, pemeriksaan substantif terkait permohonan merek dipercepat, dari paling lama 150 hari (Pasal 23 UU 20/2016) menjadi paling lama 90 hari (Pasal 108 UU Cipta Kerja).
Dalam Pasal 109, UU Cipta Kerja mengubah berbagai ketentuan dalam UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. UU Cipta Kerja mempermudah pendirian perseroan sehingga dapat didirikan oleh satu orang, namun perseroan tersebut harus
memenuhi syarat sebagai usaha mikro dan kecil. Dalam aturan sebelumnya, perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia (Pasal 7 UU 40/2007). Aturan tersebut kemudian diperlonggar oleh UU Cipta Kerja dengan memungkinkan pendirian Perseroan Terbatas oleh satu orang. UU Cipta Kerja mengatur bahwa perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh satu orang (Pasal 109 UU Cipta Kerja). Hal tersebut ditegaskan dalam PP 8/2021 yang menyatakan bahwa perseroan perorangan termasuk dalam perseroran yang memenuhi kriteria untuk usaha mikro dan kecil (Pasa 2 PP 8/2021). Perseroan yang didirikan oleh satu orang tersebut akan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan sertifikan pendaftaran secara elektronik (Pasal 6 PP 8/2021). Aturan terkait legalitas perseroan perseorangna tidak dibahas dalam UU 40/2007, namun secara umum UU 40/2007 menyatakan bahwa pendirian perseroan memerlukan akta notaris.
Upaya pemerintah semakin mempermudah kegiatan usaha dalam UU Cipta Kerja juga dapat dilihat dari larangan praktik monopoli dan persaingan usaha. UU Cipta Kerja mengubah tiga hal penting dari UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perubahan pertama terkait dengan tempat pengajuan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam aturan sebelumnya, keberatan atas putusan KPPU diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 44 UU 5/1999). UU Cipta Kerja mengubah ketentuan tersebut sehingga keberatan atas putusan KPPU diajukan ke Pengadilan Niaga (Pasal 118 UU Cipta Kerja). Ketentuan tersebut juga dipertegas dalam Pasal 19 PP 44/2021.
UU Cipta Kerja menyesuaikan beberapa UU Perpajakan yang ada, yaitu UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, UU 42/2009 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, serta UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Beberapa penyesuaian tersebut meliputi beberapa aspek seperti penghapusan PPh dividen bagi wajib pajak dalam dan luar negeri, perubahan subjek pajak dalam dan luar negeri serta ketentuan umum dan tata cara perpajakan. UU Cipta Kerja menghapus PPh dividen bagi wajib pajak badan dalam dan luar negeri. Dalam ketentuan sebelumnya, diatur PPh bagi dividen dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak badan (WP badan) dalam negeri dengan kepemilikan saham paling rendah 25 persen dikenai PPh (Pasal 4 UU 36/2008). Dalam UU Cipta Kerja, dividen dari dalam negeri yang diterima wajib pajak badan dalam negeri dengan kepemilikan saham berapapun tidak dikenai PPh. UU Cipta Kerja juga menghapus dividen dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu. UU Cipta Kerja juga membukan kemungkinan penghapusan dividen yang diterima dari luar negeri yang memenuhi satu dari beberapa syarat tertentu (Pasal 111 UU Cipta Kerja).
Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan dalam rangka mewujudkan reformasi hukum, yang saat ini dibutuhkan karena sudah terlalu banyak peraturan dengan peraturan lainnya saling bertabrakan.
Reformasi hukum dalam hal ini adalah adanya harmonisasi peraturan perundang - undangan. Perlunya harmonisasi hukum, yaitu dapat menyesuaikan peraturan dengan peraturan lainnya yang sebelumnya saling bertabarkan khusunya dalam klaster
kemudahan perizinan berusaha bagi Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMK-M).
Kemudian pasca dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja untuk saat ini masih dalam tataran peraturan pelaksanaan yang bersifat normatif. dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahahan, Perlindungan, dan Pemmberdayaan Koperasi dan Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah.
Negara Indonesia adalah negara yang mengakui supremasi hukum yang mengisyarakan adanya kebutuhan penegakan hukum yang adil, berintegritas, profesional, dan akntabel. Oleh sebab itu, sistem penegakan hukum yang dibangun haruslah juga bekerja dengan efektif untuk mengungkap dan menyelesaikan seluruh permasalahan hukum yang terjadi dimasyarakat. Hukum yang baik harus memuat unsur-unsur sistem hukum yang terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum..18
Melalui konsep omnibus law diinginkan akan dilakukan penyederhanaan dan penggabungan dari berbagai jenis perizinan kegiatan berusaha ke dalam satu jenis Izin Berusaha. Penerapan konsep omnibus law dilakukan melalui: (1) Pengaturan Kembali (re-design) proses perizinan ke dalam satu system perizinan secara elektronik. (2) Penyederhanaan (simplifikasi) dan harmonisasi regulasi dan perizinan dan (3) Pengaturan kegiatan berusaha dengan menitikberatkan pada pelaksanaan pengawasan, bukan pada instrumen perizinan. Perizinan berusaha dilaksanakan
18 Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara Hukum Pancasila, Bandung: Refika Aditama, 2015, h. 1.
berdasar tingkat risiko kegiatannya. Penilaian tingkat risiko kegiatan dilakukan melalui pendekatan RBA (Risk Base Approach)19.
Jenis perizinan berusaha ditentukan berdasarkan tingkat risiko, terdiri dari:
(1) Tingkat risiko rendah - dalam bentuk NIB (legalitas) dengan Tipe Pengawasan 1, (2) Tingkat risiko menengah rendah - dalam bentuk Sertifikat Standar dengan Tipe Pengawasan 2, (3) Tingkat risiko menengah tinggi - dalam bentuk Sertifikat Standar dengan Tipe Pengawasan 3, (3) Tingkat risiko tinggi - dalam bentuk Izin dengan tipe pengawasan 4. Pada proses awal perizinan berusaha dipersyaratkan antara lain Lokasi dan kesesuaiannya dengan Rencana Tata Ruang atau Rencana Zonasi.
Investor akan dimudahkan dalam berinvestasi di Indonesia. Sejak diresmikannya Undang-Undang Cipta Kerja pada 2 November 2020, pemerintah telah mengubah prosedur perizinan usaha menjadi Risk-Based Licensing Approach (Pendekatan Perizinan Berbasis Risiko) yang dilakukan melalui satu platform, yaitu Online Single Submission (Perizinan Daring Terpadu atau OSS). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Risiko, sistem elektronik ini bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan usaha20.
Dalam konteks UUCK, risiko inheren telah diadopsi sementara risiko manajerial diadopsi secara parsial. Secara umum terdapat dua dimensi risiko, walaupun pada prakteknya sering juga diperkenalkan dimensi atau unsur lain. Kedua dimensi, yang juga disebutkan dalam UUCK, adalah bahaya dan kemungkinan terjadinya bahaya. Naskah Akademik UUCK menuliskan bahwa “tingkat risiko = besarnya kerusakan × probabilitas”. Penghitungan kemungkinan terjadinya bahaya
19 Evaluasi Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). 2020. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. DPMPTSP Provinsi Jawa Tengah.
memerlukan data statistik perihal riwayat terjadinya suatu insiden dan kemungkinan terjadinya di masa datang. Dalam hal ini, peranan data sangat penting.
RBR dalam rangka penerapan UUCK berbeda dengan konsep asal RBR sebagaimana berkembang di Eropa, khususnya Inggris. RBR biasanya dilakukan secara sektoral, dari bawah ke atas (bottom-up), tidak secara generik sebagaimana dalam UUCK. Dalam konsep aslinya, RBR diterapkan secara spesifik oleh badan regulator sektoral yang diberi diskresi besar dan penetapan risiko pun ditentukan secara spesifik, tidak secara generik seperti dalam UUCK. Hal ini disebabkan badan regulator sektoral yang dianggap paling mengerti mengenai hal-hal yang menjadi resiko inheren dan resiko manajerial pada masing-masing sektor.
Rumit atau sulitnya berinvestasi di Indonesia berimplikasi pada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara tetangga. Kerumitan atau sulitnya berinvestasi, menjadikan perlunya terobosan dalam reformasi regulasi di Indonesia, melalui adopsi terhadap metode Omnibus Law dalam penataan regulasi. Metode ini tentunya berbeda halnya dengan metode yang seringkali digunakan untuk mengubah satu per satu Undang−Undang, sementara yang akan dilakukan perubahan dengan penataan regulasi melalui Omnibus Law ini sekitar 80 (delapan puluh) Undang−Undang. Satu Undang−Undang yang mengubah berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai Undang−Undang, menjadi inti dari penggunaan metode Omnibus Law. Omnibus Law merupakan sebuah praktik penyusunan peraturan perundang−undangan, yang banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem Common Law atau Anglo Saxon seperti Amerika, Kanada, Inggris, Filipina dan lainnya.
Definisi risiko dalam RBR adalah risiko bagi regulator dalam mencapai tujuannya. Oleh karenanya, langkah pertama dalam RBR adalah mengidentifikasi tujuan regulasi. Tanpa adanya kejelasan tujuan regulasi maka identifikasi risiko tidak mungkin dilakukan karena identifikasi risiko sendiri merupakan turunan dari tujuan regulasi. Dalam konteks UUCK, risiko dapat ditafsirkan bermacam-macam. Apabila tujuannya adalah investasi, maka yang menjadi resiko dari tujuan itu misalnya adalah rendahnya kepercayaan investor, gejolak politik, rumitnya birokrasi dan sebagainya.
Pada saat pemeringkatan risiko dilakukan, regulator juga harus terlebih dahulu menentukan suatu jenis risiko yang bisa bersifat mudah berubah. Cara menangani resiko demikian diantaranya adalah dengan melakukan lebih sering melakukan peninjauan ulang peringkat risiko.
Pendekatan RBR dalam UUCK digunakan dalam hal (i) mengkategorisasikan perizinan atau pendaftaran dan (ii) melakukan pengawasan. Dalam konteks perizinan atau pendaftaran, Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Izin digunakan untuk kegiatan berisiko tinggi sedangkan untuk kategori rendah cukup dengan NIB saja. Apabila terdapat beberapa risiko yang mudah berubah maka kategori perizinan atau pendaftaran dan sasaran pengawasan semestinya dapat berubah. Artinya, akan ada kegiatan yang sebenarnya tidak perlu izin dan tidak perlu banyak diawasi karena risikonya berubah dari tinggi ke rendah. Sebaliknya, akan ada kegiatan yang seharusnya perlu izin, tetapi karena pada waktu pemeringkatan risiko dilakukan risikonya masih rendah sehingga dianggap tidak perlu izin.
Undang-Undang Cipta Kerja menekankan pada kemudahan untuk melakukan usaha. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah penyederhanaan perizinan berusaha. Konsep Regulasi Berbasis Risiko menarik bagi program penyederhanaan
secara luas yang telah jauh berkembang dari pemaknaan sempit dalam wacana akademik di Indonesia yang mendefinisikannya sebatas peraturan perundang- undangan.
perizinan karena diasumsikan bahwa penerapannya dapat mengurangi jumlah perizinan. Namun, penerapan analisis resiko untuk menapis izin merupakan sesuatu yang berbeda dengan penerapan konsep Regulasi Berbasis Risiko di negara-negara lain. Selain itu, penerapan regulasi berbasis risiko juga perlu memperhatikan kritik yang tidak terakomodasi dalam Undang-Undang. Secara konseptual, penerapan regulasi berbasis risiko memantik diskursus akademik mengenai pengertian regulasi