• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN SERTIFIKAT HAK MILIK GANDA ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN SERTIFIKAT HAK MILIK GANDA ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN SERTIFIKAT HAK MILIK GANDA ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Asep Sungkawa, UU Nurul Huda, Tatang Astarudin

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia Email: asepsungkawa@gmail.com, uunurulhuda@uin.ac.id, tatangastarudin@uin.ac.id

INFO ARTIKEL ABSTRAK Diterima

2 November 2021

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan sertifikat ganda yang masih terjadi, Terbitnya dua sertifikat atas tanah dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum, mengingat sertifikat memiliki fungsi sebagai alat bukti hak atas tanah maupun hak tanggungan, pemilik asli tanah dengan sertifikat ganda tersebut juga perlu diberikan jaminan dan perlindungan hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk memganalisis proses penyelesaian sengketa terhadap kepemilikan sertifikat ganda hak milik atas tanah.

kendala penyelesaian sengketa terhadap kepemilikan sertifikat ganda hak milik atas tanah.Dan mengkaji solusi penyelesaian sengketa kepemilikan sertifikat ganda hak milik atas tanah dihubungkan dengan asas kepastian hukum.Penelitian ini menggunakan beberapa teori, yaitu Teori Negara Kesejahteraan sebagai Grand Teory, Teori Kepastian Hukum sebagai Midle Teory dan Teori Hukum Pertanahan dan Agraria sebagai Aplikative Teori.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Dengan mengkaji atau menganalisis secara sistematis fakta atau karakteristik tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.

Hasil penelitian ini adalah solusi penyelesaian sengketa terhadap kepemilikan sertifikat ganda hak milik atas tanah dihubungkan dengan asas kepastian hukum, yaitu melalui pembinaan dan penyadaran terhadap masyarakat bahwa apabila terjadi sengketa kepemilikan tanah terdapat beberapa upaya disamping ke pengadilan. Kemudian juga bahwa pentingnya tertib administrasi baik warga masyarakat maupun jajaran aparatur pemerintahan baik di desa yang memegang buku induk tanah maupun BPN yang menerbitkan surat tanah, maka proses tertibnya pendaftaran tanah menjadi sangat penting karena akan tercipta kepastian hukum Kata kunci:

kata pertama.

(2)

42 JRI, Vol. 2, No. 1, Desember 2021 dan kepastian hak sehingga semua pihak terlindungi hak nya.

Pendahuluan

Masalah pertanahan merupakan salah satu sektor pembangunan yang memerlukan penanganan yang amat serius dan ekstra hati-hati dari Pemerintah. Diperlukannya ekstra kehati-hatian ini karena permasalahan tanah sejak dahulu hingga sekarang merupakan persoalan hukum yang sangat pelik dan kompleks. Salah satunya adalah adanya sertifikat ganda atas tanah, yang mana sebidang tanah memiliki dua sertifikat tanah oleh dua orang yang berbeda.

Terbitnya dua sertifikat atas tanah atas sebidang tanah dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum, mengingat sertifikat memiliki fungsi sebagai alat bukti hak atas tanah maupun hak tanggungan, dan sedangkan pemilik asli tanah dengan sertifikat ganda tersebut juga perlu diberikan jaminan hukum serta perlindungan hukum. Tidak dipungkiri bahwa masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya.

Hal ini adanya beberapa kasus sertifikat ganda hak miliki atas tanah masih banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti kasus sertifikat ganda yang terjadi di Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung yang masuk ke Pengadulan Negeri Bale Bandung, dengan Nomor Perkara PN:61/Pdt/G/2014/PN.Blb. Kasus tanah yang berada di Rancaekek Wetan Kabupaten Bandung dengan luas tanah + 1.530 M2 dengan SHM No. 617/ Desa Rancaekek Wetan Kecamatan Rancaekek Wetan. Penggugat atas nama anak-anak Adang Kardan (Alm) yaitu NY. Etty Mariah. Lukman Iyas dan NY. Tien Kartini dengan tergugat NY. Anak Agung Kartini. Setelah persidangan, maka hakim Pengadilan Negeri Bandung memenangkan tergugat dan membatalkan gugatan.

Kemudian Penggungat mengajukan banding kepada Pengadilan Tingga Bandung No Perkara PT:249/PDT/2015?Pt.Bdg, dan akhirnya dimenangkan oleh Pembanding, dalam hal ini penggugat yang dikalahkan di Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Tinggi Bandung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung. NY. Anak Agung Kartini mengajukan kasasi dengan Nomor perkara MA:501 K/PK/Pdt/2018 dan keputusan Mahkamah Agung menguatkan Pengadilan Tinggi Bandung, kemudian NY.

Anak Agung Kartini mengajukan Peninjauan Kembali (PK), dan akhirnya putusan PK menguatkan putusan Mahkamah Agung.

Kasus lain Seperti yang terjadi di Kabupaten Bogor, bahwa terdapat kasus sertifikat ganda pada Hak Kepemilikan Atas Tanah, pada pembangunan Rumah Susun oleh PT. Gaperi Prima yang terletak di Desa Kedung Waringin, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor. Sertifikat ganda ini disadari ketika pada saat akan melakukan pembangunan dan mengajukan perizinan harus ditunda dahulu karena ada masyarakat yang merasa memiliki, menguasai serta memanfaatkan tanah yang akan dibangun dan merasa belum pernah menjualbelikan dengan pihak manapun. Sedangkan PT. Gaperi Prima sudah menguasai lahan tersebut dengan terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT. Gaperi Prima yang semuanya secara resmi sama-sama diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.

Kemudian kasus sertipikat ganda yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur yaitu sebidang tanah terdaftar atas dua (2) sertipikat. Sertipikat Hak Milik (selanjutnya disebut SHM) No.632 dan No.633 dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut dengan SHGB) No.831. Kedua sertipikat SHM tersebut tumpang tindih dengan SHGB No.831 yang diketahui setelah SHGB atas nama PT.Intiloka akan melaksanakan

(3)

pembangunan dan dihalangi oleh pemilik SHM atas nama Muhamad Rifa’i. Kedua sertipikat SHM dan SHGB semuanya secara resmi sama-sama diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo.Merasa tidak terima dan dirugikan, akhirnya PT.Intiloka menggugat sengketa sertipikat ganda tersebut ke jalur peradilan.Akibatnya adalah timbul sengketa tata usaha negara antar para pihak dan Kantor Pertanahan sebagai pejabat yang menerbitkan sertipikat hak atas tanah.

Dari beberapa kasus-kasus di atas, maka menandakan masih lemahnya penanganan hukum terutama dalam pemegang sah sertifikat asli. Dari kelemahan ini dapat menjadi celah oleh orang yang berkepentingan, sehingga dapat memunculkan masalah yang pelik. Hal ini perlu penangan yang lebih serius dari instansi yang bersangkutan.

Oleh karena itu di dalam sistem hukum nasional demikian halnya dengan hukum tanah, maka harus sejalan dengan konstitusi yang berlaku di negara kita yaitu UUD NKRI Tahun 1945, terutama dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945 yang mengatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

(Pasal 33 Ayat (3)UUD NKRI Tahun 1945). Adalah sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat dengan mekanisme penguasaan oleh negara yang kemudian dijabarkan lebih lanjut antara lain dalam Pasal 1, 2, 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagaimana yang dicantumkan dalam penjelasan umumnya adalah :

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesedehanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikann kepastian hukum mengenai hak-hak atas bagi rakyat seluruhnya (Pasal 1, 2, 3 UUPA No. 5 Tahun 1960).

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bertujuan untuk menyelesaikan konflik dualisme hukum agraria di Indonesia pada saat itu, dimana sebelumnya sebagian besar masyarakat Indonesia masih memberlakukan hukum agraria berdasarkan hukum barat (kolonial) dan sebagian kecil lainnya berdasarkan hukum adat. Lahirnya UUPA, sebagai hukum agraria nasional diharapkan memberikan kepastian hukum bagi seluruh rakyat dan memungkinkan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam sebagaimana yang dicita-citakan tersebut.

Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) adalah pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai (Salim, 2010). Penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti semula. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan, alternative dispute resolution (ADR), dan melalui lembaga adat. Penyelesaian sengketa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, yaitu melalui pengadilan, sementara itu penyelesaian sengketa yang diatur Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu ADR. Ada lima cara penyelesaian sengketa melalui ADR, yang meliputi:

1) Konsultasi 2) Negosiasi

(4)

44 JRI, Vol. 2, No. 1, Desember 2021 3) Mediasi

4) Konsiliasi; atau

5) Penilaian ahli yang menjadi ruang lingkup teori penyelesaian sengketa, meliputi : a. Jenis-jenis sengketa;

b. Faktor penyebab timbulnya sengketa;

c. Strategi dalam penyelesaian sengketa (Murad, 1991).

Penerbitan sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan berupa sertifikat tanah hak milik yang melibatkan pihak pemohon, para pemilik tanah yang bersebelahan, pamong desa dan pihak instansi yang terkait untuk memperoleh penjelasan mengenai surat-surat sebagai alas hak yang berhubungan dengan permohonan sertifikat, sehingga penjelasan dari pihak terkait memiliki peluang untuk timbul sertifikat cacat hukum (Chomzah, 2003b).

Hukum Tanah Nasional (HTN) yang ketentuan pokoknya ada di dalam Undang- Undang Pokok Agraria merupakan dasar dan landasan hukum untuk memiliki dan menguasai tanah oleh orang lain dan Badan Hukum dalam rangka memenuhi keperluannya, hak-hak tanah yang merupakan hak-hak perorangan atas tanah tersebut selaku bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah pada Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Pokok Agraria (Boedi, 1999). Dalam UUPA tersebut diatur macam-macam Hak Atas Tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama- sama dengan orang lain ataupun Badan Hukum menurut Pasal 16 UUPA, Hak Atas Tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada setiap orang dan atau Badan Hukum adalah Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan lain-lain sebagainya.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis solusi penyelesaian sengketa terhadap kepemilikan sertifikat ganda hak milik atas tanah dihubungkan dengan asas kepastian hukum.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objektif yang alamiah, berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika pada objek tersebut (Sukmadinata, 2011). Adapun pendekatan kualitatif ini akan meneliti tentang “Kepastian Hukum Sertifikat Hak Milik Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Sengketa Kepemilikan Sertifikat Hak Milik Ganda)”. Pendekatan ini peneliti gunakan karena peneliti merasa bahwa ada kesesuaian antara permasalahan yang dibahas dengan tujuan yang ingin dicapai. Yaitu akan mengungkap peraturan pemerintah, pelaksanaan, evaluasi, dan implikasinya.

Metode dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, karena bertujuan untuk memberi gambaran mengenai fakta-fakta disertai analisis yang akurat mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori hukum dan praktek mengenai sebab-sebab terjadinya sertifikat Hak Atas Tanah menjadi ganda.

Hasil dan Pembahasan

Dalam pelaksanaannya walaupun pendaftaran tanah sudah dilakukan, namun masih terjadinya sengketa-sengketa hak-hak atas tanah di tengah-tengah masyarakat yang bahkan sampai pada gugatan-gugatan ke Pengadilan, yang mengakibatkan terjadinya pemblokiran sertifikat hak atas tanah tersebut oleh Kantor Pertanahan.

(5)

Permohonan pemblokiran terhadap sertifikat hak atas tanah tersebut dapat dilakukan pihak pengadilan karena adanya gugatan, di antaranya karena terjadinya sertifikat ganda, hutang piutang atau karena pailit dll.

Berangkat dari salah satu permasalahan diatas, Sertifikat ganda atas tanah secara singkat dapat diartikan sebagai sertifikat-sertifikat yang menguraikan satu bidang tanah yang sama atau secara luas sertifikat ganda adalah surat keterangan kepemilikan (dokumen) dobel yang diterbitkan oleh badan hukum yang mengakibatkan adanya pendudukan hak yang saling bertindihan antara satu bagian dengan bagian lain, sehingga terbitlah sertifikat ganda yang berdampak pada pendudukan tanah secara keseluruhan ataupun sebagaian tanah milik orang lain.

Apabila dintinjau dari pengertian sertifikat itu sendiri maka sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan. Sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa seseorang atau suatu badan hukum, mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Pada kenyataannya bahwa seseorang atau suatu badan hukum menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang bersangkutan tidak serta merta langsung membuktikan bahwa ia mempunyai hak atas tanah yang dimaksud.

Adanya surat-surat jual beli, belum tentu membuktikan bahwa yang membeli benar- benar mempunyai hak atas tanah yang di belinya. Apalagi tidak ada bukti otentik bahwa yang menjual memang berhak atas tanah yang dijualnya.

Hal ini seperti kasus sertifikat ganda yang terjadi di Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung yang masuk ke Pengadulan Negeri Bale Bandung, dengan Nomor Perkara PN: 61/Pdt/G/2014/PN.Blb. Kasus tanah yang berada di Rancaekek Wetan Kabupaten Bandung dengan luas tanah + 1.530 M2 dengan SHM No. 617/ Desa Rancaekek Wetan Kecamatan Rancaekek Wetan. Penggugat atas Nama anak-anak Adang Kardan (Alm) yaitu NY. Etty Mariah. Lukman Iyas dan NY. Tien Kartini dengan tergugat NY. Anak Agung Kartini. Setelah persidangan, maka hakim Pengadilan Negeri Bandung memenangkan tergugat dan membatalkan gugatan.

Kemudian Penggungat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Bandung No Perkara PT:249/PDT/2015?Pt.Bdg, dan akhirnya dimenangkan oleh Pembanding, dalam hal ini penggugat yang dikalahkan di Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Tinggi Bandung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung. NY. Anak Agung Kartini mengajukan kasasi dengan Nomor perkara MA:501 K/PK/Pdt/2018 dan keputusan Mahkamah Agung menguatkan Pengadilan Tinggi Bandung, kemudian NY.

Anak Agung Kartini mengajukan Peninjauan Kembali (PK), dan akhirnya putusan PK menguatkan putusan Mahkamah Agung.

Pendaftaran tanah perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap orang yang menguasai dan memiliki tanah agar nantinya mempunyai kekuatan hak didepan hukum dan Negara. Jadi misalnya seseorang memiliki tanah tapi belum ada sertifikatnya otomatis belum bisa diakui dan hanya bisa mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanahnya dan mungkin saja orang lain ikut mengakuinya juga, karna itulah pentingnya pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat di atas tanah yang dimiliki agar seseorang mempunyai dasar kepemilikan hak atas tanah.

Sengketa hak atas tanah timbul karena adanya pengaduan/keberatan dari orang/Badan Hukum yang berisi keberatan dan tuntutan terhadap suatu keputusan tata usaha negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dimana keputusan pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu (Chomzah, 2003a). Menurut Sarjita, sengketa pertanahan adalah: “Perselisihan yang

(6)

46 JRI, Vol. 2, No. 1, Desember 2021 terjadi antara dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikanpihak-pihak tersebut untuk penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui musyawarah atau melalui pengadilan” (Sarjita & Pertanahan, 2005).

Edi Prajoto juga mengatakan bahwa “Sengketa tanah adalah merupakan konflik antara dua orang atau lebih yang sama mempunyai kepentingan atas status hak obyek tanah antara satu atau beberapa obyek tanah yang dapat mengakibatkan akibat hukum tertentu bagi para pihak (Prajoto, 2006). Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan- keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku (Murad, 1991).

Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam (Murad, 1991):

1) Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum ada haknya.

2) Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.

3) Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar.

4) Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat strategis).

Mengkaitkan sifat permasalahan suatu sengketa tanah berkaitan dengan penelitian ini maka fokus yang akan dibahas adalah mengenai sertifikat ganda. Seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya sertifikat ganda merupakan keadaan yang tumpang tindih antara sertifikat yang diterbitkan saat ini dengan yang akan datang, hal ini muncul akibat karena faktor dalam pelaksanaan tertib administrasi yang kurang maksimal.

Sertifikat ganda terjadi disebabkan oleh 2 faktor yakni:

a. Kesalahan Pengadministrasian, sebagai contoh ada oknum/kenakalan oknum

b. Sertifikat tersebut terbit pada tahun 1970-an yang pada waktu itu sistem pengadministrasian belum maksimal pelaksanaannya yang menyebabkan tanah tersebut tidak teridentifikasi letaknya yang belum terpetakan dengan baik, akan tetapi dengan seiring perkembangan jaman dengan alat yang lebih canggih dalam masa sekarang ini tepatnya tahun 2009 keatas sudah tidak mungkin lagi terjadi (Wawancara dengan Bapak Arif Febriyanto).

Oleh sebab itu hal utama dalam pelayanan BPN kepada masyarakat adalah terkait dengan tertib administrasi. Tertib administrasi yang dimaksud dalam hal ini berkaitan dengan subjek petugas BPN yang menjalankan tugasnya sebagaimana fungsinya dan berkaitan dengan objek tanah yang belum terdaftar dengan rapi di Kantor pertanahan setempat. Dari sisi subjek yang menjalankan terkadang terdapat oknum yang tidak memiliki itikad baik dengan memalsukan proses penerbitan sertifikat, tentunya hal ini menjadi pelajaran untuk tidak terulang lagi di kemudian harinya.

Kemudian dari sisi objeknya karena pihak BPN tidak mempunyai peta dasar, jadi dasarnya permohonan penerbitan sertifikat dengan surat dari kepala dan pernyataan bukan sengketa dari kepunyaan orang yang bersangkutan kemudian datang pihak lain dengan bukti yang sama memohon sertifikat pihak pertama inilah yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih sertifikat yang pada akhirnya menjadi sertifikat ganda yang menyebabkan sengketa kepemilikan.

Dalam sengketa tanah tidak seluruh penyelesaiannya harus masuk kedalam ruang lingkup pengadilan melain terdapat upaya yang bisa ditempuh untuk pembatalan hak

(7)

atas tanah jika seseorang merasa dalam penerbitannya terjadi cacat administrasi yakni sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No 9 tahun 1999 Pasal 106 ayat (1) jo Pasal 119, jadi bagi siapa saja yang merasa dirugikan dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah dan dia menganggap penerbitan tersebut cacat administratif ia dapat mengajukan permohonan ke BPN setempat (Wawancara dengan Bapak Agus 2020).

Adapun cacat administrasi yang dimaksud dalam Pasal 107 Permen Agraria 9/1999 disebutkan bahwa Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) adalah:

a. kesalahan prosedur

b. kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan c. kesalahan subjek hak

d. kesalahan objek hak e. kesalahan jenis hak

f. kesalahan perhitungan luas

g. terdapat tumpang tindih hak atas tanah

h. data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau i. kesalahan lainnya yang bersifat administrative

Akan tetapi pada kasus sertifikat ganda tentu tidak dapat dilakukan dengan mekanisme seperti ini, melainkan kebanyakan akan ditempuh melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan Badan Pertanahan Setempat akan tetap berpatokan pada dasar keputusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan kepada keputusan Pengadilan Perdata atau Pengadilan Pidana. Jadi apabila mengacu pada kasus peninjauan kembali yang kedua kalinya status dari pada terpidana adalah dipulihkan hak terpidananya, hal itu hanya sebatas status subjek hukum tersebut saja, tetapi terhadap objek sertifikat maka yang bersangkutan harus menempuh prosedur sebagaimana dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Wawancara dengan Bapak Agus Juni 2020).

Nantinya saat hakim Pengadilan Tata Usaha Negera memberikan sebuah keputusan maka keputusan itu akan menjadi dasar BPN untuk membatalkan sertifikat tersebut. Pelaksanaan Putusan Pengadilan merupakan tindak lanjut atas putusan lembaga peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Wawancara Juni 2020). Amar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan, pembatalan hak atas tanah dan/atau pembatalan penetapan tanah terlantar antara lain:

a) perintah untuk membatalkan hak atas tanah;

b) menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah;

c) menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum;

d) perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam Buku Tanah;

e) perintah penerbitan hak atas tanah;

f) perintah untuk membatalkan penetapan tanah terlantar; dan

g) amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya peralihan hak atau batalnya peralihan hak (Pasal 49 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Tanah).

Selanjutnya Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan, pembatalan hak atas tanah dan/atau pembatalan penetapan tanah terlantar dilaksanakan berdasarkan permohonan pihak yang berkepentingan melalui Kantor Pertanahan setempat.

(8)

48 JRI, Vol. 2, No. 1, Desember 2021 Adapun kelengkapan surat permohonan yang harus dilengkapi antara lain :

1) fotokopi identitas pemohon atau fotokopi identitas penerima kuasa dan surat kuasa apabila dikuasakan;

2) salinan resmi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dilegalisir pejabat berwenang;

3) surat keterangan dari pejabat berwenang di lingkungan pengadilan yang menerangkan bahwa putusan dimaksud telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

4) Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi, dalam hal putusan Perkara yang memerlukan pelaksanaan eksekusi; dan/atau

5) Surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan, apabila diperlukan dapat dipersyaratkan oleh Kabid atau Direktur yang bertanggungjawab menangani Perkara pada Dirjen (Pasal 49 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Tanah).

Apabila permohonan telah diterima maka pejabat yang bertanggung jawab menangani Sengketa, Konflik dan Perkara melakukan penelitian berkas permohonan.

Jika berkas telah lengkap maka selanjutnya akan dilakukan proses penanganan permohonan, akan tetapi bila berkas belum lengkap maka petugas akan mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon dengan memberitahukan kekurang lengkapan berkas permohon secara tertulis. Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan akan menyampaikan hasil analisis putusan pengadilan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN, Menteri.

Setelah menerima hasil analisis putusan pengadilan, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani sengketa, konflik dan perkara akan melakukan pengkajian dan pemeriksaan lapangan dan melakukan paparan apabila diperlukan dan menyusun dan menyampaikan Laporan Penyelesaian Perkara.

Jadi pada dasarnya BPN dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh putusan pengadilan.

Jadi kesimpulannya BPN hanya menjalankan putusan pengadilan di tingkat PN dan PTN dan putusan tersebut tentunya tidak boleh bertentangan dengan putusan lain yang berkekuatan hukum tetap. Sebab apabila terdapat putusan lain yang bertentangan dengan putusan PTUN tersebut maka pelaksanaan putusan tersebut dapat dibatalkan.

Sementara itu menjawab pertanyaan tentang status tanah hak milik sertifikat ganda yang dibatalkan pasca subjek hukum yang dinyatakan tidak bersalah pada putusan PTN dan MA serta PK yang membatalkan sertifikat hak milik ganda tersebut maka pihak yang dinyatakan tidak bersalah tersebut dapat berupaya melakukan permohonan kembali hak atas tanah atau pendaftaran hak atas tanah untuk menghidupkan sebagaimana haknya atas tanah dengan itikad baik.

Sikap BPN dalam menjalankan putusan dari pengadilan dan mengurus tenang hal- hal yang berkaitan pasca putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetapi harus dapat segera ditindaklanjuti. Mengingat ada peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 khususnya tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang diatur dalam Pasal 57, dimana paling lambat 2 (dua) bulan setelah diterimanya Salinan Putusan Pengadilan oleh pejabat yang berwenang melakukan pembatalan, dan apabila dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap diperkirakan akan dapat menimbulkan kasus pertanahan yang lebih luas maka tindakan perlaksaan putusan pengadilan dilakukan gelar eksteranal yang menghadirkan pihak-pihak instansi terkait.

(9)

Mekanisme pelaksanaan pendaftaran tanah pasca telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum cenderung akan dilaksanakan berdasarkan apa yang dikatakan oleh putusan tersebut dan pada umumnya hanya memberikan keputusan membatalkan suatu sertifikat hak atas tanah ganda tersebut tadi, akan tetapi tidak memerintahkan untuk menghidupkan atau memerintah pihak yang memenangkan perkara untuk segera mengurus atau mendaftarakan ulang sertifikat tersebut atau menetapkan siapa yang berhak atas tanah tersebut.

Jadi pokok utama pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah ulang hak atas tanah dengan dasar putusan Pengadilan atas pihak yang dimenangkan dalam putusan Peradilan adalah menyangkut hak keperdataan seseorang, siapa yang memiliki hak keperdataan tersebut, dalam hal ini BPN akan mengundang kembali perangkat desa, lurah, tetangga yang berbatasan dengan tanah tersebut, tokoh masyarakat, mereka yang akan menjadi saksi dan BPN akan meneliti dan mengkaji kembali dan dari sanalah BPN akan menetapkan siapa yang nantinya akan berhak untuk mendaftarkan haknya kembali karena BPN tugasnya hanya sebagai pengadministrasian dan pengukuran dalam arti pengukuran batas-batas atas dasar pemohon dan setiap penerbitan sertifikat akan ada panitia yang melingkup lurah yang turut juga mengetahui (Wawancara dengan Bapak Agus Juni 2020).

Jadi kesimpulannya pada kasus penelitian yang merupakan masuk dalam ranah kasus perdata dalam tingkat peninjauan kembali yang menghadirkan bukti/novum baru yakni adanya putusan PN dan PTN serta MA dan bukti tanda tangan identik yang menguatkan jika tergugat tidak memalsukan surat, maka upaya untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap objek tanah yang dimenangkan dari perkara PN dan PTN tidak langsung menghidupkan sertifikat hak atas tanah, melainkan si terdakwa yang dinyatakan bebas tersebut harus dapat membuktikan kembali bahwa memang ialah yang berhak atas tanah tersebut dengan memohon pendaftaran hak atas tanah.

Akan tetapi hal yang perlu diketahui dalam praktiknya ada terjadi kasus dimana dalam PTN sertifikat telah dibatalkan tetapi subjek hukum yang kalah dalam PTN tersebut tadi kemudian melakukan upaya hukum kembali dengan melakukan gugatan perdata dan apabila dalam gugatan perdata dimenangkan oleh pihak penggugat sementara tadinya ia di PTN kalah maka hak keperdataan untuk memohonkan kembali hak atas tanah adalah hak dari pihak yang dimenangkan dalam gugatan perdata, sebab kembali lagi BPN pada dasarnya hanya menjalankan putusan pengadilan dan putusan pengadilan PTN hanya bersifat pengadministrasian dan yang dibatalkan hanyalah sistem administrasi keluarnya sertifikat, sementara hak keperdataan masuk dalam pengadilan perdata.

Dari hal ini dapat disimpulkan untuk mendapatkan kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah akan ditempuh upaya hukum selanjutnya melalui permohonan kembali hak atas tanah tetapi tidak menutup kemungkinan pihak yang kalah dalam peradilan PTN untuk melakukan upaya hukum lain di tingkat pengadilan perdata untuk menuntut hak keperdataannya sehingga potensi kepastian hukum pihak dalam Perkara perdata, PTN dan Perdata masih saling terbuka sampai hakim memutuskan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Apa yang dikemukakan di atas adalah asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang harus digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang tanahnya dikuasai secara legal oleh pihak yang diminta menyerahkannya. Jika tanah yang diperlukan dikuasai secara ilegal, jika tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, disediakan ketentuannya dalam UU 51/Prp/1960 yang telah disebut di atas.

(10)

50 JRI, Vol. 2, No. 1, Desember 2021 Biasanya mereka yang menguasai tanah tersebut tidak menyadari bahwa penguasaannya adalah ilegal. Mereka memperolehnya melalui pembayaran kepada pihak yang menguasai tanah yang bersangkutan sebelumnya. Mereka merasa mengambil alih "hak garap" secara "legal", karena tidak jarang perolehannya dilakukan secara tertulis, yang diketahui oleh Kepala Desa/ Kelurahan dan Camat.

UU 51/Prp/1960 tersebut diberikan kewenangan kepada para Bupati/Walikota untuk secara arif dan bijaksana menyelesaikan sengketa tanah yang dikuasai secara ilegal itu, dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penguasaan dan yang meliputi kasus yang dihadapi. Penyelesaian bisa dicapai melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai pengosongan tanah yang bersangkutan.

Jika musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan, diberikan kewenangan kepada Bupati/Walikota untuk secara sepihak memutuskan penyelesaiannya, tapi wajib mengajukan tanpa wajib mengadukan soalnya kepada Pengadilan. Dalam hal ini dilakukan pencabutan hak, karena penguasaan tanahnya tidak ada landasan haknya.

Dapat diperintahkan pengosongan, dengan atau tanpa pemberian uang

"pesangon". Apa yang diberikan itu bukan imbalan ataupun ganti kerugian, kecuali mengenai bangunan dan tanaman yang menurut hukum memang merupakan milik pihak yang menguasai tanah. Pengosongan bisa juga disertai penyediaan tempat hunian baru.

Akan tetapi baik pesangon maupun penyediaan tempat baru merupakan semata-mata putusan kebijaksanaan Bupati/Walikota dalam menyelesaikan kasus yang bersangkutan.

Karenanya bukan hak okupan yang dapat dituntut pemberiannya.

Mengenai penyelesaian sengketa itupun pertimbangan kemanusiaan tetap wajib diperhatikan, karena asas dasar utama yang bersumber pada Sila Kedua Pancasila juga berlaku dalam kasus-kasus ini. Seperti telah dikemukakan di atas, menurut UU 51/Prp/1960 terhadap okupan dapat diajukan tuntutan pidana. Penggunaan ketentuan UU 51/Prp/1960 umumnya dilakukan dalam usaha menyelesaikan sengketa mengenai penguasaan tanah negara yang meliputi banyak okupan. Penyelesaian sengketa penguasaan tanah perseorangan dilakukan melalui gugatan perdata pada Pengadilan.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan tentang Penyelesaian Sengketa Hukum Terhadap Kepemilikan Sertifikat Hak Milik Ganda Atas Tanah Dihubungkan Dengan Asas Kepastian Hukum, maka Solusi penyelesaian sengketa terhadap kepemilikan sertifikat ganda hak milik atas tanah dihubungkan dengan asas kepastian hukum, yaitu pendaftaran tanah, karena dengan dilakukanya pendaftaran tanah berarti akan tercipta kepastian hukum, kepastian hak serta tertib administrasi pertanahan sehingga semua pihak terlindungi dengan baik, baik pemegang sertifikat, pemegang hak atas tanah, pihak ketiga yang memperoleh hak atas tanah maupun pemerintah sebagai penyeleggara Negara.

(11)

BIBLIOGRAFI

Boedi, H. (1999). Hukum Agraria Indonesia Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Edisi Revisi. Jakarta: Djambatan.

Chomzah, A. A. (2003a). Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan III-Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV-Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah. Prestasi Pustaka.

Chomzah, A. A. (2003b). Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah. Prestasi Pustaka Publisher.

Murad, R. (1991). Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Alumni.

Prajoto, E. (2006). Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dan Badan Pertanahan Nasional. CV.

Utomo.

Salim, H. S. (2010). Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Rajawali Pres.

Sarjita, T., & Pertanahan, S. P. S. (2005). Tugujogja Pustaka. Yogyakarta.

Sukmadinata, N. S. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya.

Referensi

Dokumen terkait

Program Pembangunan Siaga Desa Swatantra merupakan program inovasi yang dikembangkan daerah yang diarahkan pada kegiatan bidang infrastruktur, lingkungan, pengembangan

Upaya mengembangkan kemampuan sosial emosional dalam berbagi pada anak kelompok A TK Al Madinah Sukoanyar Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri adalah melalui kegiatan

Permasalahan mengenai presensi kehadiran ini terjadi di Desa Pakemitan Kecamatan Ciawi dan Desa Margamulya Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya yang dijadikan

Disamping nyeri muskuloskletal sering juga ditemukan gangguan saraf otonom, gangguan sistem neuroendokrin dan neuropsikiatrik seperti stres dan depresi yang

Leher Burung: didominasi oleh struktur berarah Utara- Barat Laut (Jalur Perlipatan Lengguru, LFB), yang berhenti pada tinggian Kemum pada daerah Kepala Burung.. Tubuh

Pada item pernyataan (Masyarakat yang senantiasa membantu orang lain (misalnya dalam hal berbagi kesempatan kepada pembeli lain untuk membeli beras),

Apakah Ibu bisa menonton tayangan yang tersedia di internet, atau media sosial yang menunjang Ibu untuk menambah wawasan terkait materi pembelajaran Fiqih..

TB milier juga dapat di awali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent ), pasien tampak sakit berat dalam  beberapa hari, tetapi