• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lestarikan Tari dan Macapat Melalui Pengabdian Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Lestarikan Tari dan Macapat Melalui Pengabdian Masyarakat"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Lestarikan Tari dan Macapat Melalui Pengabdian Masyarakat

UNAIR NEWS – Sejak Minggu pagi (30/7), puluhan pelajar dan warga meramaikan balai desa Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Mereka bersiap mengikuti lomba tari tradisional kreasi dan nembang macapat yang dilaksanakan atas kerjasama Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga dengan Desa Kemloko.

Lomba itu merupakan rangkaian pengabdian masyarakat yang dilakukan Departemen Sastra Indonesia sebagai bentuk Tri Darma Perguruan Tinggi. Telah empat tahun berjalan, Desa Kemloko menjadi desa binaan Departemen Sastra Indonesia FIB UNAIR.

Komitmen ini dijalankan secara terus menerus dengan mengembangkan Desa Kemloko melalui beragam kegiatan.

Nasrudin Abdul Haris selaku Ketua Panitia Acara mengucapkan terimakasih kepada tim dari UNAIR yang telah memilih Desa Kemloko sebagai desa binaan. Ia berharap, kerjasama yang telah dirintis empat tahun itu dapat terus berlanjut dengan pengembangkan potensi desa yang lain.

“Lomba ini kita selenggarakan untuk nguri-nguri budaya. Mudah- mudahan kerjasama ini berkelanjutan,” ucap Nasrudin.

Sebelum lomba berlangsung, salah satu dosen Drs. Tubiyono M.Si memberikan sosialisasi tentang pemanfaatkan website untuk melakukan promosikan potensi desa. Dalam kesempatan itu, dirilis website resmi Desa Kemloko yang dapat diakses melalui laman www.wisatakemloko.com. Laman itu dikelola langsung oleh Departemen Sastra Indonesia untuk pengembangan bersama.

Selama ini, di Desa Kemloko memiliki tradisi pembacaan serat Ambiya yang dilakukan oleh keluarga yang baru melahirkan.

Pembacaan serat ambiya dilakukan semalam suntuk, dengan rentan waktu sesuai permintaan pemilik hajat.

(2)

“Pembacaan serat Ambiya di Kemloko ini luar biasa. Berbeda dengan di desa-desa lain, karena dibacakan secara bersama-sama setelah kelahiran bayi. Hari ini dibacakan oleh orang-orang tua. Mudah-mudahan di tahun yang akan datang pengmas bisa dilakukan dengan diikuti generasi junior,” ucap Dr. Dra.

Trisna Kumala Satya Dewi, M.S selaku pengampu mata kuliah Metode Penelitian Filologi (MPF).

Pengmas kali ini juga diikuti oleh mahasiswa yang mengambil konsentrasi Filologi dengan mata kuliah MPF. Dari tahun- ketahun, Departemen Sastra Indonesia rutin mengadakan pengmas dengan mengajak serta mahasiswa.

Lomba macapat pada siang hari itu diikuti oleh mayoritas warga yang telah berusia senja. Salah satu peserta lomba macapat Sujianto (77) mengaku gembira dapat berpartisipasi dalam lomba macapat. Pensiunan guru itu memiliki lima anak buah. Mereka biasa diundang macapatan ketika ada warga yang bayen (baru melahirkan).

“Kawit alit pun remen. Panggah demen sampek saiki. Sebulan kadang-kadang ping pindho, kadang ping papat. Tergantung enek bayen apa enggak. (Sejak kecil sudah suka dengan macapatan.

Tetap suka sampai sekarang. Sebulan bisa ditanggap dua kali, kadang empat kali. Tergantung kalau ada hajatan kelahiran bayi, -red),” ujar laki-laki yang nembang Pangkur dan Dandanggula waktu lomba ini. (*)

Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Rio F. Rachman

(3)

Tentang Kebuntuan Itu II

UNAIR NEWS – “Kenapa kau memandangiku begitu”. Muka lonjong ini ganti aneh, ia menatapku seperti seorang psikolog. Entah apa yang ia tulis, tapi ia ulangi tingkahnya hingga beberapa kali. Memandangiku sejenak menulis, dan kuhitung lebih dari lima kali hingga rentetan bait tulisan penuh mengumpulkan sari pati isi ke dalam kertasnya itu.

“Bagaimana ?”

“Tak ada order lagi.”

“Sudahlah, jawabannya akan kita tunggu kapanpun, semua tak ada yang akan mau merendah”

“Aku keluar dulu” tiba-tiba ada teriakan itu terdengar, salah seorang dari kami itu terlihat mulai tak sabaran.

Yang lain bertanya. “Untuk apa ?”

“Waktu sudah mendesak, kita dikejar tempo. Kalau rapat resmi esok hari tidak menghasilkan keputusan. Ini sama saja gagal”

ucapnya dengan ekspresi kelelahan.

“Lebih baik gagal”, si lonjong yang sibuk tadi kini ikut menambah kebuntuan. “Tanggungjawab kita bukan untuk gagal atau bersepakat, kita harus memilih integritas dari pada menuruti order-order yang beresiko tadi”

“Apa kita akan mengambil resiko ?”

Lonjong berseru tegas. “Iya, lebih baik disalahkan atau kita bubar. Itu lebih mulia”. Intonasi terbata-bata “I-N-T-E-G-R-I- T-A-S”

“Tidak mungkin kita mengambil keputusan yang bermasalah.

Mungkin tentang integritas tapi itu bermasalah dan juga menimbulkan permasalahan”

(4)

Jam 12.30. Waktu mulai larut, penghuni kafe juga makin sepi.

Malam mulai terasa dingin, sepoi deburan titik-titik halus dari embun AC membasahi dinding kaca depan kafe. Ku kenakkan jaketku untuk menghalau kantuk.

“Sampai pagi-pun kita tidak akan sepakat.”

“Adakah besok, seorang ksatria yang berjiwa baja untuk mensudahi segalanya”

“Jangan berharap. Dirimu saja masih kolot dan keras, bagai karang yang kesepian di terpa deburan ombak, bukan makin mengalah, justru malah memecah-mecah partikel kokoh deburan air yang digerakkan oleh energi gelombang tersebut”

Karena memang tidak ada kesempatan untuk menyepakati sebuah keputusan yang berarti. Malam sepanjang-panjangnya di ulur- ulur oleh perdebatan yang melahap dari detik demi detik waktu, dari es teh sampai kopi pengulur kantuk, dari suguhan potato hingga makanan ringan yang sama sekali tidak mengenyangkan isi perut.

Ujian untuk memutuskan, diputuskan, dan untuk menjadikan musyawarah mufakat sebagai konsensus penting, atau untuk mensudahi gelap mata kita tentang voting yang meluap-meluap hingga menimbulkan hasil kembar.

“Serahkan saja semua kepada yang kita percayai punya otoritas”. Karena kita tidak percaya pada kekuatan diri sendiri, kepada kemurnian objektivitas nilai tentang ukuran kebaikan dan penciri keunggulan yang harus diberat sebelahi.

Tidak salah golongan atau keputusan itu, tapi salah pada rumus kejujuran yang kita belakangi. Nurani sejati tak akan pernah berbohong. (*)

Penulis: Sukartono (Alumni Matematika Universitas Airlangga) bersambung

(5)

Pakar Antropologi Belanda Menyarankan Agar Masyarakat Cintai Lingkungan

UNAIR NEWS – Era globalisasi memberi kesempatan mobilitas yang tinggi bagi seluruh manusia tanpa batas. Namun, paradigma mobilitas memiliki dampak terhadap lingkungan. Berangkat dari hal tersebut, Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga mengadakan kuliah umum bertema “New Mobility Paradigm Applied to Surabaya Particular Kali Brantas, Jumat (3/3). Pakar antropologi Dr. Freek Colombijn, Associate Professor, Faculty of Social Cultural Anthrophology, Vrije Universieit Amsterdam, memberikan kuliah umum tentang globalisasi.

Kuliah umum bertempat di Ruang Siti Parwati FIB ini mengulas makna globalisasi. “Globalisasi bukan hanya tentang McDonalds, KFC, CocaCola, atau kepadatan penduduk di wilayah urban (perkotaan). Tetapi, tentang bagaimana dampaknya terhadap masyarakat,” tutur Freek.

Sedangkan aspek globalisasi meliputi berbagai lingkup, yaitu etnoscapes, landscapes, technoscapes, mediascapes, dan ideoscapes. Lingkup etnoscapes meliputi proses perpindahan manusia dari wilayah satu ke wilayah lainnya, misalnya perjalanan wisata yang saat ini didukung infrastuktur yang memadai. Di sisi lain, landscapes ialah apa yang terlihat bergantung pada posisi. Sebagaimana studi lingkungan erat kaitannya dengan gaya hidup atau perilaku seseorang dalam lingkungannya. Misalnya, seorang petani memiliki selera pakaian kaos oblong dan celana pendek. Berbeda dengan petani, artis lebih berselera mengenakan gaun dan baju-baju mahal.

(6)

Technoscape dan mediascape mengarah pada perkembangan teknologi yang mutakhir dewasa ini. Kecanggihan teknologi mampu mempermudah komunikasi dan distribusi atar wilayah, bahkan antar negara sehingga mobilitas tidak terhambat akses biaya. Sedangkan, ideoscape merujuk pada ideologi dan paham- paham setiap bangsa yang mulai bergerak menyesuaikan tuntunan zaman.

“Menurut Cresswell terdapat tiga pergerakan, yaitu mobilitas fisik, representasi mobilitas atau bagaimana kita memperlihatkan sebuah mobilitas kepada orang lain, dan praktik mobilitas atau ketika kita mengalami perpindahan itu sendiri.’

imbunya.

Perpindahan atau mobilitas memiliki batasan dan hambatan.

Contohnya, hambatan karena kebijakan pemerintah seperti kebijakan proteksionisme Donald Trump. Pelarangan imigran dan muslim dari Meksiko dan beberapa wilayah membatasi mobilitas ke Amerika Serikat. Konflik jalur Gaza pun menjadi salah satu fenomena hambatan mobilitas. Masyarakat terpaksa melewati lubang bawah tanah untuk mobilitas antar wilayah.

Selain mobilitas, Freek juga membahas studi lingkungan.

Cakupan penelitiannya adalah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Ia melakukan penelitian di Surabaya. Freek mencoba menelusuri aliran sampah dari rumah tangga hingga tempat pembuangan air. Ia menemukan pola menyerupai kaktus sebagai direction of waste (arah sampah).

Arah tersebut berawal dari petugas pengambilan sampah di tiap rumah dan dipilah sesuai dengan jenisnya. Sampah dipilah antara bernilai jual dengan tidak. Sampah yang tak bernilai jual, akan dialirkan ke tempat pembuangan sementara (TPS).

Beberapa sampah masih dipilah lagi kemudian dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA).

“Awalnya saya menilai kota-kota di Indonesia termasuk dalam jenis kota kotor. Namun, setelah saya dalami situasinya

(7)

ternyata hanya pada tempat-tempat tertentu saja yang kotor salah satunya, yaitu sungai. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mengontrol jumlah sampah di rumah masing-masing sehingga tidak menyumbang sampah semakin banyak,” jelas Freek.

Penulis: Siti Nur Umami Editor: Defrina Sukma S

Kultur Media Sosial dan Pendakwah Muda

free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin j o g j a p r e w e d d i n g j o g j a p r e w e d d i n g y o g y a k a r t a b e r i t a indonesiayogyakarta wooden craft

Mengkritik Lewat Pementasan Dramaturgi

UNAIR NEWS – Dramaturgi telah memasuki penampilan yang ke 12.

Pementasan yang dibuat oleh mahasiswa mata kuliah Dramaturgi Sastra Indonesia Universitas Airlangga tahun ini menyuguhkan dua pementasan, yakni naskah AA II UU karya Arifin C. Noer dan Malam Jahanam karya Motinggo Boesje. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pertunjukan tahun ini diadakan di gedung Srimulat Taman Hiburan Remaja pada Senin, (16/1). Acara dibuka oleh

(8)

tarian remo dari mahasiswa Sastra Indonesia, dilanjutkan oleh sambutan pimpinan produksi, Citra, dan Puji Karyanto selaku dosen pengampu mata kuliah Dramaturgi.

AA II UU yang disutradarai oleh Chendra Mitra membuka jalannya pementasan. Setting panggung menggambarkan keadaan sebuah rumah dengan ruang tamu dan kamar tidur. Tampak tokoh UU dan Mama di dalam kamar. Terlibat percakapan panjang antara UU dan Mama yang membicarakan tentang sejarah. UU mengaku pada Mama ingin menjadi ahli sejarah, namun dibalas bahwa lulusan Sejarah akan sulit mencari kerja.

Adegan selanjutnya mengambil fokus di ruang depan. Adegan tersebut merupakan adegan usai makan malam keluarga yang dihiasi dengan obrolan-obrolan seputar jurusan yang diambil anak-anak Rustam. Di sela-sela perbincangan, UU mengutarakan niatnya menjadi ahli sejarah. Keinginannya itu ditentang Papa.

Hal tersebut membuat UU kecewa dan marah sehingga memutuskan mengunci diri di kamar. Kedatangan Om Bahar dan Tante Seli diharapkan mampu mencairkan kemarahan UU. Namun UU tetap saja tidak bergeming, ia tetap ingin belajar di Jurusan Sejarah.

Terjadi obrolan panjang antara Om Bahar, Tante Seli, Papa, dan Mama yang sama-sama memikirkan jalan keluar agar UU menyerah.

Pergantian adegan dilakukan kembali di kamar untuk mengecek keadaan UU. Keluarga tersebut membicarakan keanehan UU yang selalu menjawab dengan kalimat ‘Ya, Ma’. Mereka mulai berspekulasi kalau UU kesurupan. Hingga pada akhir adegan Mama menyetujui pilihan UU untuk masuk Sejarah dan lampu dipadamkan.

Malam Jahanam

Sama seperti pertunjukan pertama, pertunjukan kedua yang disutradarai oleh Faridah Eka Fatmala digarap dengan alur dan setting realis sebuah perkampungan. Awal adegan, suara tawa menggelegak terdengar dari ujung panggung. Muncullah sesosok lelaki bernama Utai yang berpakaian compang-camping dan

(9)

berjalan serampangan, lalu menuju sebuah rumah dan meminta rokok. Tidak mendapatkan sambutan, ia pergi menuju rumah Paijah. Paijah muncul mengangkat jemuran dan meminta bantuan Utai memasukkan jemuran ke dalam rumah. Di depan Utai, Paijah mengadu sedang menunggu suaminya pulang. Panggung dibiarkan kosong hingga datang Tukang Pijat yang lewat dengan suara rombeng. Adegan selanjutnya menampilkan tokoh Mat Kontan yang berperan sebagai suami Paijah yang terlibat pertikaian dengan Soleman karena Burung Mat Kontan yang mati dan menuduh Soleman membunuh Burung Beonya. Hingga pada akhirnya Paijah mengaku bahwa ia yang membunuh burungnya. Ia juga mengaku kalau anak mereka adalah hasil perselingkuhan Paijah dengan Soleman lantaran Mat Kontan jarang di rumah. Hal tersebut memicu pertengkaran antara Mat Kontan dan Soleman hingga menyebabkan tewasnya Soleman. Mat Kontan membicarakan kematian Soleman pada Tukang Pijat, lalu keluar dari panggung. Masih dalam bingkai adegan yang sama, terdengar teriakan histeris Paijah dari dalam rumah. Ia keluar menggendong bayinya yang sudah mati karena sakit. Adegan ditutup dengan tangisan Paijah dan disaksikan Tukang Pijat di sebelahnya.

Dua pementasan dramaturgi ke 12 memiliki keragaman dalam segi penceritaan. Pementasan pertama berisi kritikan terhadap masyarakat yang meremehkan jurusan yang jarang diminati, sedangkan pementasan kedua menggambarkan konflik rumah tangga.

Gedung pementasan dipenuhi tamu undangan tidak hanya dari keluarga Sastra Indonesia, melainkan berbagai jurusan.

“Mata kuliah ini memberikan kesempatan pada mahasiswa yang ingin merasakan ekstase main teater. Adik-adik kita dengan penuh semangat dalam waktu yang relatif singkat, mereka berproses mulai menyiapkan naskah, latihan, sampai eksekusi malam ini. Melalui teater, kita diberi ruang untuk belajar tentang masalah-masalah yang dihadapi dan kemungkinan memecahkannya,” tutur Puji Karyanto. (*)

Penulis : Lovita Marta Fabella Editor : Faridah Hari

(10)

Museum Sejarah dan Budaya UNAIR Resmi Dibuka

UNAIR NEWS – Museum Sejarah & Budaya UNAIR secara resmi dibuka Kamis (1/12). Diresmikannya Museum Sejarah & Budaya UNAIR ini menambah daftar museum yang ada di Universitas Airlangga.

Museum resmi dibuka secara langsung oleh Wakil Rektor III Prof., Ir., Moch. Amin Alamsjah M.Si., Ph.D., dan Direktur Sumber Daya Manusia Dr. Purnawan Basundoro, M.Hum.

Museum Sejarah & Budaya UNAIR ini dikelola oleh Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), UNAIR, sebagai bagian dari pembelajaran akademik sekaligus wisata museum.

Nama ‘Museum Sejarah & Budaya’ diambil karena sebagai identitas sekaligus mewakili koleksi-koleksi yang ada di dalam museum yang merupakan warisan benda-benda sejarah dan budaya.

Dalam sambutanya, Prof Amin mengutip kata-kata Bung Karno

‘Jasmerah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’. Karena di dalam sejarah, terdapat peristiwa masa lalu yang dapat diterapkan sebagai pembelajaran di masa kini.

“Peresmian Museum Sejarah & Budaya ini mengingatkan kembali urgensi perkataan Presiden pertama RI Ir. Soekarno yaitu

‘Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’ atau disingkat Jas Merah,” kata Prof Amin.

(11)

Wakil Rektor III Prof. Amin memberikan tumpeng pertama kepada dr. Haryadi Suparto (depan), disaksikan oleh Gayung Kasuma (Kadep. Ilmu Sejarah), Purnawan Basundoro (Direktur SDM), Samidi (Dosen Sejarah), Wayan (Ketua UP2D FIB) (Foto:

Istimewa)

“Pembelajaran dari sejarah masa lalu salah satunya diwakili dengan keberadaan museum. Oleh karena itu harapannya, museum ini dapat menjadi media pembelajaran kita bersama untuk menjadi manusia yang lebih baik,” tambahnya.

Museum ini dibagi menjadi dua ruangan. Ruangan pertama berisi berbagai buku kuno dan arsip-arsip penting dalam penelitian sejarah. Bagian kedua berisi benda dan foto-foto lama yang merepresentasikan kegiatan sehari-hari manusia pada masa lalu, seperti proyektor kuno, keris, pedang, tombak, dan wayang.

Sebagian besar koleksi disumbangkan oleh pengelola Museum Kesehatan Surabaya dr. Haryadi Suparto secara bertahap sejak tahun 2007. Museum yang terletak bersebelahan dengan ruang Departemen Ilmu Sejarah ini memiliki total koleksi benda kuno

(12)

sekitar 102 buah, arsip lebih dari 200 buah, dan beberapa jurnal serta majalah lama.

Peresmian museum juga dihadiri segenap pimpinan dekanat, kasubbag, ketua prodi dan sekretaris prodi di lingkungan FIB.

Dengan hadirnya Museum Sejarah & Budaya di FIB ini, sekaligus sebagai media pembelajaran utama mata kuliah Museologi.

Sebelumnya di UNAIR, beberapa museum sudah lebih dulu berdiri, seperti Museum Etnografi (FISIP) dan Museum Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran (FK).

Museum Sejarah & Budaya ini terbuka untuk umum, khususnya mahasiswa UNAIR sebagai media belajar alternatif selain dari perpustakaan dan ruang koleksi yang terdapat di setiap fakultas dan prodi. (*)

Penulis : Ikhsan Rosyid dan Yudi Wulung Editor : Binti Q. Masruroh

Budaya Sebagai Bahasa Universal Pemersatu Bangsa

UNAIR NEWS– Himpunan Ikatan Alumni Perguruan Tinggi Indonesia (HIMPUNI) bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) menggelar acara Dialog Budaya di Ruang Kahuripan, Kampus C UNAIR, Kamis (24/11).

Acara dihadiri oleh puluhan akademisi dengan mengangkat tema Merajut Indonesia Melalui Budaya Guna Memperkuat NKRI. Acara tersebut menghadirkan empatpembicara.Ketua HIMPUNI Nur Sidiq, Anggota Dewan Pengawas RRI Dwi Hernuningsih, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR Puji Karyanto, S.S., M.Hum,

(13)

dan Direktur Universitas Brawijaya Televisi Riyanto.

Mengawali pembicaraan, Nur Sidiq mengungkapkan bahwa seluruh alumni perguruan tinggi di Indonesia memiliki kewajiban dan rasa tanggung jawab atas keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

“Sebagai insan akademis, kita memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga keutuhan NKRI yang kokoh. Sehingga kita merasa perlu memberikan sumbangsih berupa ide-ide dan gagasan,”

ujarnya.

Kendati keberadaan alumni tidak berada di parlemen ataupun pemerintahan, Nur Sidiq menegaskan bahwa peran alumni akan sangat dibutuhkan. “Kita tidak berada di parlemen, kita tidak berada di pemerintahan, tapi secara moral kita memiliki dukungan yang kuat,” kata dia.

“Secara singkat, kita rasa bahwa kita ini sebuah negara.

Sebuah bangsa tidak akan lepas dari yang namanya gangguan, ancaman, baik dari luar atau dari dalam sendiri. Salah satu untuk menyatukan kekuatan kita ini adalah melalui budaya,”

jelasnya terkait kondisi Indonesia terkini.

Seraya mengamini, Dwi Hernuningsih menambahkan bahwa Indonesia dapat disatukan melalui budaya, salah satunya adalah melalui seni.

“Saya ingin mempertegas, bahwa budaya, salah satunya adalah seni, itu adalah bahasa universal yang tidak membedakan bagaimana latar belakang orang. Melalui seni, kita bisa menyatu, bisa berkumpul bersama,” serunya.

Mewakili dari akademisi, Puji Karyanto mengungkapkan bahwa slogan Bhineka Tunggal Ika itu sudah ditanamkan dan selalu ditemui dalam kehidupan kampus.

“Kita kan dari universitas. Kalau berbicara universitas, sebenarnya sudah berbicara tentang kebhinekaan. Karena ada

(14)

kata versi, itu artinya bhineka, uni itu artinya satu. Jadi, kebhinekaan itu selalu ada di sekitar kita. Tapi jangan lupa, kesatuannya ada di pendidikan,” pungkasnya. (*)

Penulis : Dilan Salsabila Editor : Binti Q. Masruroh

Satu Tahun Berdiri, “Pustaka Saga” Turut Hidupkan Budaya Literasi

UNAIR NEWS – “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena dengan buku aku bebas.” Kalimat di atas pernah keluar dari mulut seorang proklamator yang juga sekaligus wakil presiden pertama Indonesia, Drs. Muhammad Hatta. Semasa perjuangan kemerdekaan, tokoh yang dijuluki Bapak Koperasi Indonesia tersebut berkali-kali diasingkan dan harus menghuni jeruji besi. Namun, beliau tidak pernah surut karena tetap bisa produktif memantau perkembangan dunia dan menambah wawasan dari balik penjara. Apalagi kalau bukan bersama buku.

Apa yang ditunjukkan oleh Bung Hatta menjadi contoh nyata betapa pentingnya buku dalam kehidupan seorang cendekiawan.

Bahkan, bisa dipastikan bahwa para pemimpin besar bangsa, juga dunia, selalu berkawan akrab dengan buku. Hal itu seharusnya menjadi pelajaran bagi mahasiswa, cendekiawan muda yang akan menjadi calon pemimpin bangsa di masa mendatang, untuk gemar membaca buku.

Namun, bagaimana jadinya jika mahasiswa justru jauh dari buku?

Perkembangan teknologi yang sangat pesat dewasa ini membuat mahasiswa lebih akrab dengan media sosial ketimbang membaca

(15)

buku referensi.

Hal-hal itulah yang menjadi sumber kegalauan kami, alumni Universitas Airlangga, Arif Syaifurrisal (Budidaya Perairan, FPK 2009) dan Gading Ekapuja Aurizki (Pendidikan Ners, FKP 2010), atas minimnya minat baca mahasiswa sebagai kaum intelektual. Atas dasar kekhawatiran tersebut, kami mencari cara untuk mendekatkan kembali para mahasiswa dengan buku.

Pada bulan Februari 2015, kami memutuskan untuk mendirikan sebuah penerbit dengan nama “Pustaka Saga”. Penerbitan ini sebagai strategi untuk mengajak mahasiswa kembali membaca, khususnya melalui buku-buku karya mahasiswa. Di bawah naungan CV. Saga Jawa Dwipa, “Pustaka Saga” memberdayakan potensi mahasiswa, khususnya mahasiswa UNAIR, sebagai penggerak dapur p e n e r b i t a n . K e g i a t a n d i “ P u s t a k a S a g a ” m u l a i d a r i penyuntingan, mengatur tataletak, perwajahan, yang hampir semuanya dikerjakan oleh mahasiswa UNAIR.

“Saga” merupakan singkatan dari Satria Airlangga. “Pustaka Saga” menerbitkan buku-buku dengan tema organisasi, pergerakan mahasiswa, sejarah, kepemudaan, inspirasi, pemikiran, dan sastra.

Kini, setelah satu tahun berdiri, “Pustaka Saga” telah mencetak sekitar 20 judul buku. Diantara judul-judul tersebut yaitu Menjaga Nafas Gerakan (Gading E.A.), Kuasa Jilbab (Kang Heri Setiawan), Dari Mahasiswa untuk Indonesia Berprestasi (Jawwad dan Hakim, dkk), Mister Gagal (Shalahuddin Al-Fatih), Ayo Main Biar Pinter (Mei Yunlusi Irawati), Jejak-Jejak Mengangkasa (Gading EA, dkk), dan beberapa buku lainnya.

Para penulis buku yang diterbitkan oleh “Pustaka Saga”

mayoritas masih berstatus sebagai mahasiswa. Mereka berasal dari berbagai kota seperti Surabaya, Yogyakarta, Medan, Solo, Jakarta, Bandung, dan Manado. Buku-buku terbitan “Pustaka Saga” juga sudah didistribusikan ke seluruh penjuru Nusantara, serta dibedah di beberapa kota di Indonesia.

(16)

Saat ini “Pustaka Saga” sedang membangun jejaring distribusi agar mampu memenuhi permintaan buku di setiap daerah. Pusat pemasaran dan distribusi berada di Jakarta dan dikelola oleh alumnus FISIP UNAIR yang saat ini melanjutkan studi di Universitas Pertahanan (UNHAN), Anis Maryuni Ardi.

Arif Syaifurrisal sebagai Direktur Utama berharap kehadiran

“Pustaka Saga” dapat menyemarakkan kembali budaya literasi di kalangan pemuda, khususnya mahasiswa.

“Seyogianya, mahasiswa sebagai intelektual masa depan tidak boleh terlepas dari aktivitas literasi. Ke depan, semoga

“Pustaka Saga” dapat semakin mendekatkan mahasiswa dengan dunia literasi,” papar pemuda asal Bojonegoro tersebut.

Mahasiswa dapat memanfaatkan “Pustaka Saga” sebagai sarana untuk belajar. “Pustaka Saga” sangat terbuka bagi mahasiswa yang ingin belajar bagaimana mengurus dapur penerbitan. Kami juga mendorong para penulis muda untuk menerbitkan naskahnya di “Pustaka Saga”. (*)

Penulis:Gading Ekapuja Aurizki Editor: Binti Q. Masruroh

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan hasil evaluasi penawaran saudara, perihal penawaran Pengadaan Belanja Premi Asuransi BMD, dimana perusahaan saudara telah dinyatakan lulus evaluasi

1) Tingkat kecemasan responden kelompok ibu pekerja menunjukkan bahwa sebagian besar tidak terdapat kecemasan. 2) Tingkat kecemasan responden kelompok ibu rumah

[r]

yang terdiri dari Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 4.093.805.000 dan. Belanja Langsung sebesar

[r]

Tujuan merancang sebuah antenna J-Pole yang bekerja pada frekuensi 900 MHz dan 1800 MHz dengan polaradiasi J-pole berpolarisasi vertikal dengan arah pancaran yang omnidirectional

Pada hari ke-7 diperoleh data bahwa hasil perhitungan fraksi berat residual (%) bioplastik dari kombinasi kulit kacang dan bonggol pisang dengan penambahan gliserol 8ml

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meal experience yang terdiri dari variabel makanan dan minuman, kebersihan, suasana, dan harga berpengaruh positif signifikan,