• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Studi Terdahulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Studi Terdahulu"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Studi Terdahulu

Tinjauan studi terdahulu perlu dilakukan untuk mengetahui penelitian- penelitian yang telah membahas mengenai ketidaksantunan berbahasa. Penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa mulai banyak dilakukan, baik oleh dosen, mahasiswa, ataupun peneliti bahasa. Berikut ini dipaparkan beberapa penelitian yang mengkaji mengenai ketidaksantunan berbahasa yakni sebagai berikut.

Wijayanto (2014) mengkaji mengenai ketidaksantunan berbahasa dalam sinetron bertema kehidupan remaja. Penelitian ini membahas mengenai strategi ketidaksantunan yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam sinetron yang diteliti.

Dalam penelitiannya, Wijayanto (2014) menggunakan metode padan referensial untuk mendeskripsikan ketidaksantunan berbahasa yang digunakan oleh tokoh- tokoh dalam sinetron yang diteliti. Dari penelitian ini, simpulan yang didapat adalah tokoh-tokoh dalam sinetron sering menggunakan bahasa yang tidak santun, seperti menghina, menggunakan kata-kata kasar, sumpah-serapah, menghardik, dan sebagainya. Ketidaksantunan negatif dan ketidaksantunan positif merupakan dua jenis ketidaksantunan yang paling sering digunakan dalam sinetron. Penggunaan ketidaksantunan yang dituturkan oleh tokoh biasanya dilatarbelakangi oleh faktor perbedaan power atau strata sosial. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Wijayanto (2014) dari segi metode penelitian dan sumber data yang digunakan.

Wijayanto (2014) menggunakan metode padan referensial dalam menganalisis data commit to user

(2)

sedangkan penelitian ini menggunakan metode analisis kontekstual. Kesamaan yang terdapat dengan penelitian Wijayanto (2014) adalah sama-sama membahas mengenai strategi ketidaksantunan Culpeper.

Rahardi (2014) menelaah mengenai kata fatis yang menandai ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga petani, pedagang, nelayan, pendidik, dan bangsawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kontekstual. Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat sebelas macam kategori fatis yang dapat digunakan sebagai penanda ketidaksantunan berbahasa, yaitu “kok”, “ah”, “hayo”, “mbok”, “lha”, “tak”,

“huu”, “ihh”, “woo”, “hei”, dan “halah”. Dengan penelitian Rahardi (2014), penelitian ini memiliki perbedaan pada tujuan penelitian, jenis penelitian, dan sumber data yang diteliti. Tujuan penelitian dalam Rahardi (2014) adalah menganalisis partikel-partikel fatis sebagai penanda ketidaksantunan dalam berbahasa sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi ketidaksantunan serta respons terhadap ketidaksantunan yang digunakan dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal. Penelitian ini bukan merupakan penelitian lapangan, berbeda dengan penelitian Rahardi (2014) yang merupakan penelitian lapangan. Selain itu, sumber data yang digunakan dalam penelitian Rahardi (2014) adalah tuturan dalam ranah keluarga yang terdiri dari keluarga petani, pedagang, nelayan, pendidik, dan bangsawan sedangkan sumber data penelitian ini adalah film The Raid dan The Raid 2: Berandal. Adapun kesamaan yang terdapat dalam penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metode analisis kontekstual untuk menganalisis datanya.

commit to user

(3)

Selain itu, Saputro (2015) membahas mengenai ketidaksantunan berbahasa dalam film Crazy Love karya Guntur Soeharjanto. Saputro (2015) membahas mengenai wujud-wujud ketidaksantunan pragmatik dan linguistik, penanda ketidaksantunan pragmatik dan linguistik, dan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam film Crazy Love karya Guntur Soeharjanto. Metode analisis data yang digunakan oleh Saputro (2015) adalah metode analisis kontekstual. Hasil dari penelitian ini adalah wujud ketidaksantunan berbahasa yang ditemukan terbagi menjadi dua, yaitu wujud tuturan ketidaksatunan dan wujud ketidaksantunan pragmatik. Wujud tuturan ketidaksantunan yang teridentifikasi adalah kategori ketidaksantunan melanggar norma, kategori ketidaksantunan mengancam muka sepihak, kategori ketidaksantunan melecehkan muka, kategori ketidaksantunan menghilangkan muka, dan kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud ketidaksantunan pragmatik yang ditemukan dalam penelitian adalah cara-cara penutur menyampaikan tuturannya dengan sinis, ketus, kasar, dan tanpa melihat ke mitra tutur. Sementara itu, penanda ketidaksantunan dilihat dari dua aspek, yaitu linguistik dan pragmatik. Penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan adalah diksi, penggunaan kata fatis, gaya bahasa, pronomina persona, tekanan, intonasi, dan nada tuturan dalam setiap tuturan sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik yang ditemukan ditandai dengan tuturan lisan tidak santun berupa paparan konteks yang menyertai setiap tuturan. Adapun maksud dituturkannya ketidaksantunan dapat bermacam-macam, seperti mengungkapkan kekesalan, menyindir, menasihati, menolak, bercanda, memarahi, mengeluh, dan lain-lain.

commit to user

(4)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Saputro (2015) terletak pada tujuan penelitian, sumber data, dan metode penelitian yang digunakan. Penelitian Saputro (2015) bertujuan untuk mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan pragmatik dan linguistik, mendeskripsikan penanda pragmatik dan linguistik, serta mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam film Crazy Love karya Guntur Soeharjanto.

Sementara itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi ketidaksantunan serta respons terhadap ketidaksantunan yang digunakan dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal. Sumber data yang digunakan oleh Saputro (2015) adalah film berjudul Crazy Love karya Guntur Soeharjanto sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah film berjudul The Raid dan The Raid 2:

Berandal. Saputro (2015) menggunakan metode padan intralingual untuk menganalisis data secara linguistik dan metode padan ekstralingual untuk menganalisis data secara pragmatik sedangkan penelitian ini menggunakan metode analisis kontekstual untuk analisis data. Selain perbedaan, penelitian ini juga memiliki persamaan dengan penelitian Saputro (2015), yaitu sama-sama menggunakan media film sebagai sumber datanya. Namun, film yang dipilih berbeda, Saputro (2015) menggunakan film Crazy Love yang bergenre romance drama sedangkan penelitian ini menggunakan film The Raid dan The Raid 2:

Berandal yang bergenre action.

Penelitian mengenai ketidaksantunan selanjutnya dilakukan oleh Gunawan (2017). Dalam penelitiannya, Gunawan (2017) membahas mengenai strategi ketidaksantunan dan respons terhadap ketidaksantunan yang ditemukan dalam

commit to user

(5)

Sherlock TV Series. Gunawan (2017) menggunakan teori ketidaksantunan Culpeper untuk menganalisis datanya. Penelitian ini mengambil simpulan bahwa strategi ketidaksantunan yang digunakan dalam Sherlock TV Series terdiri atas empat strategi, yaitu strategi ketidaksantunan secara langsung, strategi ketidaksantunan positif, strategi ketidaksantunan negatif, dan strategi kesantunan semu atau sarkasme. Sementara itu, respons terhadap ketidaksantunan yang ditemukan dalam Sherlock TV Series terdiri atas empat respons, yaitu tidak merespons, menerima ketidaksantunan, strategi ofensif-ofensif, dan strategi ofensif-defensif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Gunawan (2017) terletak pada sumber data yang digunakan. Gunawan (2017) menggunakan sumber data berupa series yang berjudul Sherlock TV Series, episode yang digunakan hanya episode 1 season 1. Sementara itu, penelitian ini menggunakan film sebagai sumber datanya. Film yang digunakan merupakan film Indonesia dengan judul The Raid dan The Raid 2: Berandal. Selain perbedaan, penelitian ini juga memiliki kesamaan dengan penelitian Gunawan (2017). Kesamaan penelitian ini terletak pada tujuan penelitian, yaitu sama-sama mendeskripsikan penggunaan strategi ketidaksantunan dan respons terhadap ketidaksantunan dengan menggunakan teori Culpeper.

Penelitian mengenai ketidaksantunan yang lain dilakukan oleh Hanif (2018). Dalam penelitiannya, Hanif (2018) membahas mengenai wujud ketidaksantunan serta strategi ketidaksantunan pada tuturan juri dalam sesi food testing ajang pencarian bakat Master Chef Indonesia musim kedua dan keempat di RCTI. Hanif (2018) menggunakan metode analisis kontekstual untuk menganalisis

commit to user

(6)

datanya. Wujud ketidaksantunan yang digunakan oleh juri ajang pencarian bakat Master Chef terbagi menjadi enam subkategori, yaitu subkategori mengejek, subkategori memperingatkan, subkategori memerintah, subkategori menyindir, subkategori kesal, dan subkategori mengancam. Sementara itu, strategi ketidaksantunan yang digunakan juri dalam sesi food testing ajang pencarian bakat Master Chef Indonesia musim kedua dan keempat adalah strategi ketidaksantunan secara langsung, strategi ketidaksantunan positif, dan strategi ketidaksantunan negatif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Hanif (2018) terletak pada tujuan penelitian dan sumber data yang digunakan. Tujuan penelitian Hanif (2018) adalah untuk mendeskripsikan wujud ketidaksantunan tuturan juri dalam sesi food testing ajang pencarian bakat Master Chef Indonesia musim dua dan empat serta mendeskripsikan strategi ketidaksantunan tuturan yang dilakukan oleh juri tetap dalam sesi food testing ajang pencarian bakat Mater Chef Indonesia (MCI) musim dua dan empat. Dalam penelitiannya, Hanif (2018) menggunakan sumber data berupa tayangan sepuluh episode awal penayangan dari MCI2 (2012) dan MCI4 (2015) sedangkan penelitian ini bersumber dari film The Raid dan The Raid 2:

Berandal. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian Hanif (2018) adalah sama- sama mendeskripsikan strategi ketidaksantunan berbahasa yang terdapat dalam data serta menggunaan metode penelitian yang sama.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kharisma (2018). Penelitiannya membahas mengenai strategi serta fungsi ketidaksantunan praktisi hukum terhadap saksi ahli dalam sidang Jessica Kumala Wongso. Untuk analisis data, Kharisma (2018) menggunakan metode analisis kontekstual, cara-tujuan (means-end), dan

commit to user

(7)

heuristik. Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah strategi ketidaksantunan yang digunakan praktisi hukum terhadap saksi ahli dalam sidang Jessica Kumala Wongso adalah strategi ketidaksantunan secara langsung, strategi ketidaksantunan positif, strategi ketidaksantunan negatif, dan strategi sarkasme atau kesantunan semu. Adapun fungsi ketidaksantunan yang ditemukan terdiri dari dua fungsi, yaitu ketidaksantunan yang berfungsi untuk afektif dan ketidaksantunan yang berfungsi untuk memaksa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Kharisma (2018) terletak pada tujuan penelitian, sumber data yang digunakan, dan metode analisis data. Penelitian Kharisma (2018) bertujuan untuk mendeskripsikan strategi ketidaksantunan praktisi hukum terhadap saksi ahli dalam sidang Jessica Kumala Wongso serta mendeskripsikan fungsi ketidaksantunannya. Penelitian ini tidak mendeskripsikan fungsi ketidaksantunan yang terdapat dalam data, melainkan mendeskripsikan respons terhadap ketidaksantunan yang terdapat dalam data.

Sumber data yang digunakan oleh Kharisma (2018) adalah video persidangan Jessica Kumala Wongso yang diunduh dari Youtube sedangkan sumber data penelitian ini adalah film The Raid dan The Raid 2: Berandal. Kharisma (2018) menggunakan metode analisis kontekstual, cara-tujuan (means-end), dan heuristik untuk analisis data sedangkan penelitian ini hanya menggunakan metode analisis kontekstual saja. Selain perbedaan, penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian Kharisma (2018), yaitu sama-sama mendeskripsikan strategi ketidaksantunan yang terdapat dalam data.

Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Utami (2019). Dalam penelitiannya, Utami (2019) membahas mengenai strategi serta fungsi ketidaksantunan dalam

commit to user

(8)

reality show 86 di NET TV. Sama seperti Kharisma (2018), Utami (2019) juga menggunakan metode analisis kontekstual, cara-tujuan (means-end), dan heuristik untuk analisis datanya. Simpulan penelitian ini adalah terdapat empat strategi ketidaksantunan yang digunakan dalam reality show 86 di NET TV terdiri, yaitu strategi ketidaksantunan secara langsung, strategi ketidaksantunan positif, strategi ketidaksantunan negatif, dan strategi sarkasme atau kesantunan semu. Sementara itu, fungsi ketidaksantunan yang ditemukan terdiri atas tiga fungsi, yaitu ketidaksantunan yang berfungsi afektif, ketidaksantunan yang berfungsi memaksa, dan ketidaksantunan yang berfungsi menghibur. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Utami (2019) karena penelitian ini tidak mendeskripsikan fungsi ketidaksantunan, melainkan mendeskripsikan respons terhadap ketidaksantunan yang terdapat dalam data. Selain itu, penelitian ini berbeda dalam hal sumber data.

Utami (2019) menggunakan video tayangan reality show 86 di NET TV sebagai sumber datanya sedangkan penelitian ini menggunakan film The Raid dan The Raid 2: Berandal sebagai sumber data. Dalam penelitiannya, Utami (2019) menggunakan metode analisis kontekstual, cara-tujuan (means-end), dan heuristik sedangkan penelitian ini hanya menggunakan metode analisis kontekstual saja.

Kesamaan yang terdapat dalam penelitian ini adalah sama-sama membahas mengenai strategi ketidaksantunan yang berdasarkan pada teori ketidaksantunan Jonathan Culpeper.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan, penelitian ketidaksantunan mulai banyak dilakukan. Objek kajian yang diteliti berbeda-beda, di antaranya ketidaksantunan berbahasa dalam sinetron, ketidaksantunan berbahasa

commit to user

(9)

dalam ranah keluarga, ketidaksantunan berbahasa dalam film, ketidaksantunan berbahasa dalam series, ketidaksantunan berbahasa dalam ajang pencarian bakat, ketidaksantunan berbahasa dalam persidangan, dan ketidaksantunan berbahasa dalam reality show. Walaupun sama-sama mengkaji ketidaksantunan dalam film, penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian terdahulu karena film yang akan digunakan berbeda dengan yang telah dikaji sebelumnya. Film yang dikaji oleh peneliti merupakan film action, berbeda dengan film yang digunakan oleh Saputro (2015), yaitu film dengan genre romance drama.

Secara umum, penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengangkat permasalahan berupa wujud ketidaksantunan, penanda ketidaksantunan, strategi ketidaksantunan, dan fungsi ketidaksantunan. Penelitian ketidaksantunan yang mengangkat perihal respons terhadap ketidaksantunan masih jarang dilakukan sehingga penelitian ini layak untuk dikerjakan. Penelitian ini akan membahas mengenai strategi dan respons terhadap ketidaksantunan dengan bertumpu pada teori ketidaksantunan bahasa Jonathan Culpeper.

B. Landasan Teori

1. Pragmatik

Salah satu cabang ilmu linguistik yang menarik untuk dipelajari adalah pragmatik. Leech (1983: 6) mendefinisikan pragmatik sebagai “…the study of meaning in relation to speech situations.” Pragmatik merupakan studi makna dalam kaitannya dengan dengan situasi ujar. Menurut Leech (1983: 6), pragmatik mempelajari makna tuturan dilihat dari hubungannya dengan situasi commit to user

(10)

ujar yang berlangsung. Hal ini menandakan bahwa pragmatik memiliki keterkaitan dengan semantik. Semantik menganggap makna sebagai suatu hubungan yang menyangkut dua segi (dyadic) sedangkan pragmatik mengganggap makna sebagai suatu hubungan yang menyangkut tiga segi (triadic). Oleh sebab itu, pragmatik memberi definisi makna yang berhubungan dengan penutur sedangkan semantik memberi definisi makna semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, tanpa berkaitan dengan situasi, penutur, dan petuturnya.

Di sisi lain, Thomas (1996: 22) memberikan definisi mengenai pragmatik sebagai meaning in interaction (makna dalam interaksi). Menurut pendapatnya, definisi ini mencerminkan pandangan bahwa makna tidak hanya sesuatu yang melekat dalam kata-kata, tidak juga dihasilkan oleh pembicara saja atau oleh pendengar saja. Pemaknaan kata merupakan suatu proses yang dinamis. Proses ini melibatkan negosiasi makna antara penutur dan mitra tutur, konteks tuturan (fisik, sosial, dan linguistik), dan potensi makna ucapan.

Sementara itu, Mey (2001: 6) menyatakan bahwa “pragmatics studies the use of language in human communication as determined by the conditions of society” Pragmatik mempelajari penggunaan bahasa dalam komunikasi manusia sebagaimana ditentukan oleh kondisi masyarakat. Mey (2001: 6) memaparkan bahwa pragmatik mempelajari cara manusia menggunakan bahasa dalam komunikasi, mendasarkan diri pada studi tentang tempat mereka dan menentukan bagaimana mereka mempengaruhi, dan mengefektifkan penggunaan bahasa manusia.

commit to user

(11)

Adapun pragmatik menurut Yule (1996: 3) adalah “…the study of meaning as communicated by a speaker (or writer) and interpreted by a listener (or reader).” Jika diartikan, pengertian tersebut menyebutkan bahwa pragmatik merupakan ilmu tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan diinterpretasikan oleh pendengar. Pragmatik berhubungan erat dengan analisis mengenai maksud orang dari tuturan-tuturannya daripada makna terpisah dari kata atau frasa yang dipakai dalam tuturan tersebut. Yule (1996: 3) juga memaparkan empat batasan dalam studi pragmatik, yaitu:

1) Pragmatics is the study of speaker meaning (Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur).

2) Pragmatics is the study of contextual meaning (Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual).

3) Pragmatics is the study of how more gets communicated than is said (Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan).

4) Pragmatics is the study of the expression of relative distance (Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan).

Selain itu, definisi yang lebih lengkap diungkapkan oleh Levinson. Ia menggagas sedikitnya delapan definisi pragmatik yang dirinci sebagai berikut (Levinson, 1985: 5-27).

1) “Pragmatics is the study of language usage.” (hal. 5) (Pragmatik adalah kajian penggunaan bahasa)

commit to user

(12)

2) “Pragmatics is the study of those principles that will account for why a certain set of sentences are anomalous, or not possible utterances.” (hal.

6)

(Pragmatik adalah kajian mengenai prinsip-prinsip yang akan mengungkapkan mengapa serangkaian kalimat tertentu adalah anomali, atau tidak mungkin diucapkan)

3) “Pragmatics is the study of language from a functional perspective, that is, that it attempts to explain facets of linguistic structure by reference to non-linguistic pressures and causes.” (hal. 7)

(Pragmatik merupakan ilmu bahasa dari perspektif fungsi yang mencoba memaparkan aspek-aspek struktur linguistik dengan merujuk pada pengaruh dan sebab nonlinguistik)

4) “Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in structure of a language.” (hal.9) (Pragmatik merupakan ilmu mengenai hubungan-hubungan antara bahasa dengan konteks yang secara gramatikal, atau disandikan dalam struktur bahasa)

5) “Pragmatics is the study of all those aspects of meaning not captured in a semantic theory.” (hal. 12)

(Pragmatik merupakan ilmu mengenai semua unsur makna yang tidak dapat dijelaskan dalam teori semantik)

6) “Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding.” (hal. 21)

commit to user

(13)

(Pragmatik merupakan ilmu tentang hubungan-hubungan antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar dari pemahaman bahasa)

7) “Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the contexts in which they would be appropriate.” (hal. 24)

(Pragmatik merupakan ilmu mengenai kemampuan penggunaan bahasa untuk mencocokkan kalimat dengan konteks sehingga kalimat tersebut layak dituturkan)

8) “Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition, speech acts, and aspects of discourse structure.” (hal. 27) (Pragmatik merupakan ilmu mengenai deiksis (sedikitnya sebagian), implikatur, pranggapan, tindak tutur, dan unsur-unsur struktur wacana) Bertumpu pada beberapa pendapat yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan kajian tentang makna dalam komunikasi yang dilihat dari sudut pandang penggunanya. Pengkajian tersebut terikat dengan konteks yang melatarbelakangi ujaran yang dituturkan, bagaimana tuturan tersebut dihasilkan, dan bagaimana tuturan tersebut mempengaruhi komunikasi antara penutur dan mitra tutur.

2. Situasi Tutur

Aspek-aspek situasi tutur dapat digunakan untuk menyelisik apakah suatu fenomena yang terjadi adalah fenomena pragmatis atau fenomena semantis.

Hal ini dikarenakan pragmatik adalah studi yang menelaah tentang makna commit to user

(14)

dalam hubungannya dengan situasi tutur. Leech (1983: 13-14) merumuskan lima aspek situasi tutur, yaitu sebagai berikut.

a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)

Individu yang menyapa disebutkan oleh Leech sebagai n (penutur) sedangkan individu yang disapa disebutkan sebagai t (petutur). Dalam pragmatik, n dan t tidak hanya digunakan pada bahasa lisan saja, tetapi juga digunakan dalam bahasa tulis.

b. Konteks sebuah tuturan

Leech menjelaskan konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama diketahui baik oleh n ataupun oleh t. Konteks tersebut akan membantu t menginterpretasikan makna dari tuturan yang didengar.

c. Tujuan sebuah tuturan

Penggunaan istilah tujuan atau fungsi lebih bermanfaat daripada makna yang dimaksud atau makna n menuturkan sesuatu. Menurut Leech, istilah tujuan bersifat lebih netral daripada maksud. Hal ini dikarenakan istilah tersebut tidak membebani penggunanya dengan suatu keinginan atau motivasi yang sadar sehingga dapat dimanfaatkan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan.

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar

Leech menerangkan bahwa pragmatik berkaitan dengan tindak-tindak atau performansi-performansi verbal yang berlangsung dalam situasi dan waktu tertentu sehingga pragmatik menangani bahasa dalam tingkat yang lebih konkret dari tata bahasa.

commit to user

(15)

e. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Dalam pragmatik, kata ‘tuturan’ dapat dimanfaatkan sebagai produk dari suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri).

3. Ketidaksantunan

Dalam berbahasa, bentuk ketidaksantunan yang berpotensi merusak muka mitra tutur sering ditemukan. Teori mengenai ketidaksantunan ini pertama kali dicetuskan oleh Jonathan Culpeper. Teori ini merupakan pengembangan dari teori kesantunan Brown dan Levinson. Culpeper (1996: 350) menyatakan bahwa ketidaksantunan merupakan strategi yang dilakukan untuk menghancurkan hubungan sosial antar penutur. Ketidaksantunan juga termasuk membentak, menghardik, membantah, meremehkan, dan lain sebagainya, tidak hanya penggunaan kata-kata yang kasar saja (Wijayanto, 2014: 116).

Menurut Terkourafi (dalam Bousfield dan Locher, 2008: 70), ketidaksantunan “…occurs when the expression used is not conventionalised relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face (and, through that, the speaker’s face) but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.” Ketidaksantunan terjadi ketika ungkapan yang dituturkan tidak dikonvensionalkan relatif dengan konteks kejadian; itu mengancam muka penerima (dan, melalui itu, muka pembicara), namun tidak memiliki niat mengancam yang dikaitkan dengan pembicara oleh pendengar.

Dari definisi tersebut, perilaku berbahasa yang tidak santun menurut commit to user

(16)

Terkourafi dapat disimpulkan bahwa apabila mitra tutur merasakan ancaman kehilangan muka, namun penutur tidak menyadari bahwa tuturannya tersebut menyebabkan ancaman kehilangan muka bagi mitra tutur.

Locher dan Bousfield (2008: 3) menjelaskan ketidaksantunan adalah

“...behavior that is face-aggravating in a particular context.” Perilaku yang melecehkan muka dalam konteks tertentu. Definisi tersebut memberi pemahaman bahwa sebuah tuturan yang dapat melecehkan muka mitra tuturnya dikategorikan dalam tuturan yang tidak santun. Rahardi (2018: 90-91) menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan face-aggravating menurut Locher bukan hanya merujuk pada ‘melecehkan muka’ mitra tutur saja, tetapi juga ‘memain-mainkan muka’ mitra tutur.

Bousfield (2008: 132) menerangkan ketidaksantunan sebagai “…the issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully performed.” Ketidaksantunan dipandang sebagai pencanangan dari tindak pengancaman muka (FTA) yang dilakukan secara sembrono dan konfliktif yang sengaja dilakukan. Definisi tersebut memberi pemahaman bahwa ketika seseorang menyampaikan sebuah tuturan yang dilakukan secara sembrono dan tuturan tersebut dilakukan dengan sengaja hingga menimbulkan konflik atau pertengkaran maka tuturan tersebut tergolong dalam ketidaksantunan. Rahardi (2018: 91) menjelaskan bahwa Bousfield memberi penekanan pada kata gratuitous (kesembronoan) dan conflicitive (konfliktif) untuk menjelaskan bahasa yang tidak santun tersebut.

commit to user

(17)

Dalam Bousfield dan Locher (2008: 36), Culpeper memaparkan ketidaksantunan sebagai “…involves communicative behavior intending to cause the ‘face loss’ of a target or perceived by the target to be so.”

Ketidaksantunan melibatkan perilaku komunikatif yang dimaksudkan untuk menyebabkan ‘kehilangan muka’ dari suatu target atau dirasakan oleh target menjadi demikian. Menurut Rahardi (2018: 91), Culpeper menitikberatkan pada konsep ‘face loss’ yang berarti kehilangan muka. Perilaku komunikatif yang dilakukan dengan sengaja untuk membuat orang kehilangan muka itu disebut ketidaksantunan. Selain itu, Culpeper (1996: 350-353) juga menguraikan bahwa ketidaksantunan memiliki dua perspektif, yaitu inherent impoliteness (ketidaksantunan yang melekat) dan mock impoliteness (ketidaksantunan semu).

Inherent impoliteness (ketidaksantunan yang melekat) adalah ketidaksantunan yang muncul dari tuturan yang benar-benar tidak santun.

Ketidaksantunan ini tergantung pada pandangan seseorang dalam menilai sebuah tuturan. Misalnya, seorang siswa menyuruh temannya untuk segera menyelesaikan tugas dengan mengucapkan “Buruan tugasnya!”. Apabila mitra tutur menganggap tuturan tersebut bermanfaat atau menguntungkan bagi dirinya maka tuturan tersebut akan dianggap santun. Sebaliknya, apabila mitra tutur merasa tidak senang dengan tuturan tersebut maka tuturan itu dikatakan tidak santun.

Mock impoliteness (ketidaksantunan semu) adalah ketidaksantunan yang tetap ada pada luaran karena dimengerti bahwa hal ini tidak dimaksudkan untuk

commit to user

(18)

membuat sakit hati. Leech (dalam Culpeper, 1996: 352) mencoba memaknai fenomena ini dengan prinsip kelakar atau olok-olok. Menurut Leech (dalam Culpeper, 1996: 352) mengolok-olok mencerminkan dan menumbuhkan kedekatan sosial. Dengan demikian, semakin dekat suatu hubungan maka kesantunan yang digunakan akan semakin kecil. Jika ketidaksantunan dikaitkan kedekatan (gagasan dalam model Brown dan Levinson), luaran ketidaksantunan bertentangan bahkan diartikan sebagai olok-olokan di dalam konteks yang tidak dekat.

Penggunaan ketidaksantunan bisa dilatarbelakangi oleh beberapa faktor.

Culpeper (1996) memaparkan ada tiga faktor yang dapat melatarbelakangi ketidaksantunan, yaitu (1) hubungan sosial penutur dan mitra tutur yang sangat akrab atau intim, (2) ketidakseimbangan power atau kekuatan sosial antar penutur, dan (3) keinginan penutur yang sengaja tidak ingin menjaga muka mitra tutur yang mungkin dikarenakan adanya konflik kepentingan.

4. Strategi Ketidaksantunan

Seperti halnya teori kesantunan, teori ketidaksantunan pun memiliki strategi-strategi yang dapat digunakan. Berdasarkan strategi kesantunan yang digagas oleh Brown dan Levinson, Culpeper (1996: 356) merumuskan strategi ketidaksantunan sebagai berikut.

1) Bald on Record Impoliteness (Ketidaksantunan Secara Langsung)

Ketidaksantunan secara langsung merupakan ketidaksantunan yang terjadi karena penutur sengaja tidak ingin bekerja sama dengan mitra tutur

commit to user

(19)

atau penutur tidak mau memelihara hubungan baik dengan mitra tutur.

Tindak pengancaman muka dilakukan secara langsung, jelas, tidak ambigu, dan ringkas dalam situasi di mana muka tidak relevan atau diminimalkan.

2) Positive Impoliteness (Ketidaksantunan Positif)

Ketidaksantunan positif digunakan untuk merusak muka positif mitra tutur. Ketidaksantunan positif terbagi menjadi beberapa substrategi, yaitu 1) mengabaikan orang lain, yaitu dengan tidak memedulikan mitra tutur ketika berada dalam setting yang sama, tidak memberi kesempatan berbicara, tidak mau menghormati pendapat mitra tutur, dan lain-lain, 2) mengucilkan orang lain, yaitu membatasi diri sehingga mitra tutur tidak dapat terlibat komunikasi dengannya, 3) menarik diri atau memisahkan diri dari mitra tutur yang tidak memiliki pendapat yang sama, misalnya membantah, tidak mengakui pendapat orang lain, dan sebagainya, 4) menunjukkan atau mengekspresikan rasa ketidaktertarikan, ketidakpedulian, dan ketidaksimpatian, 5) memakai sebutan atau julukan yang tidak pantas atau memanggil mitra tutur dengan nama atau julukan yang bersifat menghina 6) menggunakan jargon atau slang sehingga orang lain di luar kelompoknya tidak dapat memahami pembicaraan, 7) membuat orang lain merasa tidak nyaman dengan bahasa yang digunakan, dan 8) menggunakan kata-kata tabu, sumpah-serapah, atau bahasa yang kasar.

commit to user

(20)

3) Negative Impoliteness (Ketidaksantunan Negatif)

Ketidaksantunan negatif digunakan untuk merusak muka negatif mitra tutur. Ketidaksantunan negatif terbagi menjadi beberapa substrategi, yaitu 1) menakut-nakuti, yaitu dengan cara menanamkan keyakinan bahwa akan terjadi hal-hal buruk kepada mitra tutur, 2) mencemooh, mengkritik, atau mengejek, penutur menunjukkan superioritasnya, termasuk juga menyalahkan dan mencela kelemahan orang lain, 3) menghina orang lain dan memperlakukan mereka dengan semena-mena, 4) meremehkan atau merendahkan orang lain, 5) melanggar ruang pribadi, seperti menguping pembicaraan, membaca dokumen/arsip orang lain, memaksa mitra tutur berbicara tentang sesuatu yang intim atau pribadi yang tidak semestinya, 6) secara eksplisit mengaitkan mitra tutur dengan hal-hal negatif, dan 7) membuat orang lain seolah-olah berhutang budi kepada pembicara.

4) Mock Politeness (Kesantunan Semu atau Sarkasme)

Kesantunan semu merupakan strategi di mana penutur melakukan kesantunan semu. Tindak pengancaman muka dilakukan dengan strategi kesantunan yang jelas-jelas tidak tulus dan berpura-pura.

5) Withhold Politeness (Menahan Kesantunan)

Menahan kesantunan merupakan ketidaksantunan yang terjadi karena terdapat kelalaian atau kesengajaan penutur tidak menggunakan kesantunan yang harusnya diperlukan. Penggunaan strategi ini misalnya tidak mengucapkan terima kasih ketika dibantu dan lain sebagainya.

commit to user

(21)

5. Respons terhadap Ketidaksantunan

Dalam berinteraksi, seringkali terjadi serangan muka yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tutur. Ketika seorang penutur mengujarkan sebuah tindak ketidaksantunan yang mengancam muka, mitra tutur dapat merespons ketidaksantunan yang dituturkan tersebut. Respons yang diberikan dapat mengungkap banyak hal tentang bagaimana tuturan tersebut diterima oleh mitra tutur.

Penelitian Harris (dalam Culpeper, 2003: 1562) menyatakan bahwa cara terbaik untuk menyelamatkan muka dalam serangan verbal adalah dengan menyerang balik. Menurut Culpeper (2003: 1562), mitra tutur memiliki dua pilihan ketika merasakan tindak ketidaksantunan yang mengancam muka, yaitu mereka dapat merespons atau tidak merespons tindak ketidaksantunan tersebut.

Ketika mitra tutur memilih untuk merespons tindak ketidaksantunan yang dirasakan, mereka dapat menerima atau melawan serangan muka tersebut.

Untuk melawan serangan muka, mitra tutur dapat menggunakan strategi ofensif-ofensif atau strategi ofensif-defensif. Strategi ofensif-ofensif berarti mitra tutur melawan serangan muka dengan serangan muka. Berikut contoh strategi ofensif-ofensif untuk melawan serangan muka.

A: Lo jelek!

B: Lo yang jelek! Ga usah sok iye deh lo!

Contoh tersebut menunjukkan bagaimana B melawan tindak ketidaksantunan yang dirasakannya. B menggunakan strategi ofensif-ofensif,

commit to user

(22)

yaitu membalas serangan muka dengan serangan muka. A menghina B dengan mengatakan bahwa B jelek, B yang merasa ‘dilecehkan’ menyerang balik A dengan mengatakan bahwa A lah yang jelek.

Sementara itu, strategi ofensif-defensif adalah strategi melawan serangan muka dengan mempertahankan muka sendiri. Strategi ofensif-defensif mencoba untuk membelokkan, memblokir, atau mengelola serangan muka (Culpeper, 2003: 1562-1563). Berikut contoh strategi ofensif-defensif untuk melawan serangan muka.

A: Lo jelek!

B: Enggak, gue ga jelek.

Contoh tersebut menunjukkan bagaimana B melawan tindak ketidaksantunan yang dirasakannya dengan menggunakan strategi ofensif- defensif. A menghina B dengan mengatakan bahwa B jelek, namun B melawan serangan muka tersebut dengan mempertahankan mukanya sendiri; B mengatakan bahwa ia tidak jelek. Untuk lebih jelasnya, pilihan respons yang dimiliki mitra tutur ketika merasakan tindak ketidaksantunan dapat dilihat dalam diagram berikut.

commit to user

(23)

Diagram 1 Ringkasan Pilihan Respons Sumber: Culpeper, 2003: 1563

6. Film The Raid dan The Raid 2: Berandal

The Raid merupakan film action Indonesia yang disutradarai oleh Gareth Evans. Film ini dibintangi oleh Iko Uwais (sebagai Rama) dan tayang pertama kali di Festival Film Internasional Toronto (Toronto International Film Festival) pada tahun 2011 sebagai film pembuka untuk kategori Midnight Madness. Di Indonesia, film ini baru dirilis pada tanggal 21 Maret 2012 dengan durasi 101 menit. Selain Iko Uwais, bintang-bintang yang berperan di film ini adalah Donny Alamsyah (Andi), Pierre Gruno (Letnan Wahyu), Ray Sahetapy (Tama Riyadi), Yayan Ruhian (Mad Dog), Joe Taslim (Sersan Jaka), Tegar Satrya (Bowo), Iang Darmawan (Gofar), Ananda George (Ari), Fikha Effendi (Istri Rama), dan masih banyak lagi (Wikipedia daring: The Raid).

Bercerita tentang tim polisi senjata dan taktik khusus yang ditugaskan untuk menyerbu apartemen ‘tak tersentuh’ milik Tama Riyadi (Ray Sahetapy), seorang gembong narkoba terkenal, di daerah kumuh Jakarta. Tim polisi tersebut berhasil memasuki apartemen, setelah bertemu dengan Gofar (Iang commit to user

(24)

Darmawan), salah satu penghuni di apartemen itu. Tidak berlangsung lama, Tama mengetahui bahwa tim polisi menyerbu apartemennya. Terjadilah pertarungan sengit antara tim polisi dengan penghuni apartemen yang beringas.

Tim polisi sangat kesulitan dan kehilangan banyak anggota. Hanya Rama, Bowo, dan Letnan Wahyu yang berhasil selamat dan keluar dari apartemen tersebut atas bantuan Andi, yang merupakan kakak dari Rama.

Adapun film The Raid 2: Berandal merupakan sekuel dari film The Raid yang disutradarai oleh Gareth Evans. Film ini diproduksi pada tahun 2013 dan rilis tahun 2014. Film ini tayang perdana pada tanggal 21 Januari 2014 di Festival Film Sundance (Amerika Serikat) sebelum akhirnya tayang serentak di Indonesia pada tanggal 28 Maret 2014. The Raid 2: Berandal merupakan bagian dari proyek awal keseluruhan cerita The Raid yang berdurasi 150 menit.

Dalam film ini, Iko Uwais kembali berperan sebagai Rama. Selain itu, terdapat beberapa pemain baru yang dimunculkan, seperti Alex Abbad (Bejo), Cok Simbara (Bunawar), Roy Marten (Reza), Tio Pakusadewo (Bangun), Arifin Putra (Uco), Oka Antara (Eka), Julie Estelle (Alicia), Cecep Arif Rahman (The Assassin), dan beberapa actor Jepang, yaitu Ryuhei Matsuda (Keichi), Kenichi Endo (Goto), dan Kazuki Kitamura (Ryuichi) (Wikipedia daring: The Raid 2:

Berandal).

Cerita ini dimulai dengan tertangkapnya Andi yang kemudian ditembak mati oleh anak buah Bejo. Rama, Bowo, dan Letnan Wahyu pergi menemui Bunawar atas saran Andi (ending film The Raid). Bunawar mengajak Rama untuk bergabung dengan timnya untuk mengusut kasus korupsi yang

commit to user

(25)

melibatkan komisaris polisi, Reza. Rama dimasukkan ke dalam penjara dengan nama samaran “Yuda” untuk mendekati Uco, anak Bangun. Lama berteman, Uco pun mempercayai Yuda dan membawanya untuk bekerja dengan keluarganya. Dimulailah misi Rama untuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan Reza, Bangun, dan Geng Goto.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan sebuah cara kerja yang dilakukan peneliti untuk menyelesaikan permasalah yang akan diteliti. Secara garis besar, kerangka pikir dalam penelitian ini tergambar dalam bagan berikut.

commit to user

(26)

Bagan 1 Kerangka Pikir Strategi dan Respons terhadap

Ketidaksantunan dalam Film The Raid dan The Raid 2:

Berandal

Masalah penelitian

Tujuan penelitian

Mendeskripsikan strategi ketidaksantunan

dalam film The Raid dan The Raid

2: Berandal

Mendeskripsikan respons terhadap ketidaksantunan dalam film The Raid

dan The Raid 2:

Berandal

Hasil analisis data: bentuk penerapan strategi ketidaksantunan dan respons

terhadap ketidaksantunan Sumber data:

film The Raid dan The Raid 2:

Berandal

Data: tuturan yang mengandung

strategi dan respons ketidaksantunan

Pengumpulan data: metode simak dengan teknik unduh dan

teknik catat

Kajian pragmatik

Teori Ketidaksantunan

n

Respons terhadap Ketidaksantunan

Culpeper Strategi Ketidaksantunan

Culpeper

Analisis data:

metode analisis kontekstual

commit to user

(27)

Bagan 1 menunjukkan bahwa penelitian ini dimulai dengan munculnya fenomena kebahasaan dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal. Sumber data yang diambil dalam penelitian ini adalah film The Raid dan The Raid 2: Berandal.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi ketidaksantunan serta respons terhadap ketidaksantunan yang terdapat dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal. Setelah itu, pendekatan yang digunakan adalah teori strategi ketidaksantunan dan respons terhadap ketidaksantunan dari Jonathan Culpeper.

Oleh sebab itu, metode yang digunakan adalah metode pengumpulan data simak dengan teknik unduh dan teknik catat. Setelah data terkumpul dan telah diklasifikasikan sesuai dengan strategi dan respons terhadap ketidaksantunannya, data dianalisis dengan menggunakan metode analisis kontekstual. Hasil yang diperoleh dari analisis data berupa bentuk penerapan strategi ketidaksantunan dan bentuk penerapan respons terhadap ketidaksantunan yang detail disertai data yang dideskripsikan secara spesifik.

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Persepsi positif dalam penelitian ini digambarkan dengan pemikiran siswa bahwa dengan mengunjungi layanan informasi karir, kebutuhan akan informasi yang berkaitan

Pengendalian persediaan pada Toko Kain TIGA BERLIAN, khususnya pada kain PE dan kerah menunjukkan bahwa penghitungan TIC (Total Inventory Cost) dengan EOQ Probabilistic dapat

Penulis mengucapkan terima kasih atas terselesaikannya penulisan Tugas Akhir dengan judul “Analisis Deforestasi Hutan di Provinsi Jambi Menggunakan Metode

Analisis yang digunakan untuk mengetahui apakah pengendalian internal terhadap proses penggajian CV Genta Shamballa sudah sesuai dengan prinsip pengendalian internal yang

Massa Cabai Perwakktu pada Suhu 400C Grafik menunjukkan pengeringan dengan suhu 40°C hingga cabai dinyatakan kering dengan penurunan massa cabai kurang lebih seperempat

Untuk mengenkripsi data dengan menggunakan algoritma DES, dimulai dengan membagi bit dari teks tersebut kedalam blok-blok dengan ukuran blok sebesar 64-bit,

Maka dari itu diperoleh hasil persamaan regresi menunjukkan bahwa variabel Lingkungan Kerja (X1), Standar Operasional Prosedur (X2), dan Penjadwalan (X3)

Perbedaan kedua produk yaitu pada jenis bahan kain yang digunakan, dimana merk Tugu dibuat dengan menggunakan bahan polyester sedangkan merk Wayang dibuat dengan