• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PANDANGAN ULAMA TERHADAP MUSTAHIK ZAKAT, DAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN ZAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II PANDANGAN ULAMA TERHADAP MUSTAHIK ZAKAT, DAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN ZAKAT"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PANDANGAN ULAMA TERHADAP MUSTAHIK ZAKAT, DAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN ZAKAT

A. Mustahik Zakat 1. Para Mustahik Zakat

Zakat adalah alat yang pertama yang merupakan pungutan atau pajak wajib yang dikumpulkan oleh negara Islam dari si kaya (muzaki) dan didistribusikan atau dikeluarkan pada si miskin (mustahik).1

Allah SWT telah menetukan Mustahik zakat atau orang yang berhak menerima zakat kepada delapan golongan, yakni fakir, miskin, ‘amil (petugas zakat), muallāf qulubuhum (orang yang baru masuk islam), riqāb (budak yang menebus diri agar merdeka), gārim (orang yang berhutang), fi sābilillāh (orang yang berjihad di jalan allah) dan ibnu sābil (orang yang dalam perjalanan). Ketentuan ini tersebut dalam surat At-Taubah ayat: 60:

يِف َو ْمُهُبوُلُق ِةَفَّلَؤُمْلا َو اَهْيَلَع َنيِلِماَعْلا َو ِنيِكاَسَمْلا َو ِءا َرَقُفْلِل ُتاَقَدَّصلا اَمَّنِإ باقرلا

ٌميِكَح ٌميِلَع ُ َّللَّا َو ِ َّللَّا َنِم ًةَضي ِرَف ِليِبَّسلا ِنْبِا َو ِ َّللَّا ِليِبَس يِف َو َنيِم ِراَغْلا َو

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana. ”(QS. At-Taubah : 60).

Berikut ini akan diuraikan bagaimana batasan dari masing-masing mustahik zakat tersebut, dan bagaimana pendistribusian dana zakat kepada masing-masing mustahik.

a. Fakir

Yang dimaksud dengan fakir ialah seseorang yang tidak memiliki harta serta kemampuan untuk mencari penghasilan yang halal untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian maupun tempat tinggalnya. 2

1 Muhammad Sharif Chaundry, Suherman Rosyidi, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2012), hlm 79.

2Rozalinda, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm 262.

(2)

Jika ia memiliki makanan untuk sehari-semalam dan pakaian yang memadai, maka ia bukan fakir tetapi miskin. Dan apabila ia memiliki sehelai gamis (baju panjang) tetapi tidak memiliki penutup kepala, sepatu dan celana, sedang nilai gamisnya itu tidak mencakup harga semua itu, sekadar yang layak bagi kaum fakir sesamanya maka ia disebut sebagai fakir. sebab dalam keadaan seperti itu, ia tidak cukup memiliki apa yang patut baginya dan tidak memiliki kemampuan untuknya. Jadi, untuk dapat dianggap sebagai fakir, tidak harus ia tidak memiliki sesuatu selain penutup auratnya saja. Sebab, persyaratan seperti ini adalah ekstrem. Disamping itu, pada umumnya, tidak ada orang seperti itu.

Demikian pula seseorang yang mempunyai kebiasaan meminta-minta, tetap dianggap fakir. Kebiasaanya itu tidak dapat dianggap sebagai penghasilan yang menegeluarkanya dari kelompok fakir yang berhak menerima zakat. Lain halnya apabila ia mempunyai kemampuan untuk berpenghasilan secara wajar.

Dalam hal ini, kemampuannya itu membuatnya tidak tergolong dalam kelompok fakir.

Tetapi, apabila kemampuannya itu bergantung pada tersedianya suatu alat, sedangkan ia tidak memilikinya, maka ia tetap dianggap sebagai fakir. Boleh dibelikan alat tersebut untunknnya mendapatkan penghasilan dari uang zakat.

Demikian pula apabila ia hanya mampu berpenghasilan dari suatu pekerjaan yang tidak layak bagi kedudukanya ataupun kehormatan orang seperti dia, maka tetap ia dianggap sebagai seorang fakir.

Dan sekiranya ia seorang yang sedang menuntut ilmu, sedangkan upayanya untuk mencari nafkah dapat menghalanginya untuk menuntut ilmu, maka ia dianggap fakir, dan tidak dianggap memiliki kemampuan untuk berusaha.

Tetapi seandainya ia seorang abid (orang yang banyak beribadat) sedangkan upayanya mencari nafkah menghalanginya dari tugas-tugas ibadat serta wirid- wiridnya, maka ia diharuskan tetap bekerja untuk mencukupi nafkahnya sebab yang demikian itu lebih penting. Sabda Nabi saw:

ِةَضْي ِرَفْلا َدْعَب ٌةَضْي ِرَف ِل َلََحلا ُبَلَط

(3)

Artinya: Mencari penghasilan halal adalah fardhu (wajib) setelah ibadah yang fardhu.

Telah berkata Umar bin Khatab r.a, “usaha mencari nafkah walaupun dari sesuatu yang syubhat, lebih baik dari pada meminta-minta.”

Dan seandainya keperluan hidupnya tercukupi oleh pemberian ayahnya atau orang lain dari keluarganya yang wajib memberinya, maka ia tidak dianggap fakir.3

Jadi diantara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota fakir, yaitu orang-orang yang memenuhi syarat membutuhkan. Maksudnya, tidak mempunyai pemasukan atau harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya. Orang-orang tersebut adalah: anak yatim, anak pungut, janda, orang tua renta, jompo, orang sakit, orang cacat jasmani, orang yang berpemasukan rendah, pelajar, para pengagguran, tahanan, orang-orang yang kehilangan keluarga, dan tawanan.

Orang fakir berhak mendapat zakat sesuai kebutuhan pokoknya selama setahun, karena zakat berulang setiap tahun, patokan kebutuhn pokok yang akan dipenuhi adalah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainya dalam batas-batas kewajaran, tanpa berlebih-lebihan atau terlalu irit.4 Diberikan zakat kepadanya sekedar yang dapat mengeluarkanya dari kefakiran kepada kecukupan dan dari senantiasa berhajat untuk memperoleh keperluan terus-menerus dari orang lain.

b. Miskin

Miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan atau usaha tapi penghasilanya hanya mampu mencukupi sebagian kebutuhan hidup diri maupun keluarganya.5 Adakalanya ia memiliki seribu dirham sedangkan tergolong miskin, tetapi adakalanya ia hanya memiliki sebuah kapak dan tali sedangkan ia tergolong orang yang bercukupan. Gubuk yang dimilikinya serta pakaian yang menutupinya sekadar yang layak baginya, tidak mencabut sifat miskin darinya. Demikian pula

3Asrar Ash-Shaum Dan Asrar Az-Zakat, Rahasia Puasa Dan Zakat Al-Ghazali, (Bandung:

Karisma, 1995), hlm 95-97.

4Hikmat kurnia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008), hlm 141.

5Rozalinda, Ekonomi islam, hlm 262.

(4)

parabot rumahnya. Yakni yang benar-benar diperlukan dan yang sekedar layak baginya. Juga kitab-kitab fikih yang dimilikinya. Semua itu tidak meniadakan sifat dirinya sebagai seorang miskin yang berhak memperoleh bagian dari zakat.

Adapun jika seseorang memiliki kitab-kitab hanya digunakan untuk menghibur diri saja, seperti kitab yang berisi syair-syair, kisah-kisah, dan sebagainya, yang tidak bermnanfaat bagi kehidupan akhirat, dan hanya digunakan didunia untuk bersenang-senang semata, maka hal seperti itu tidak termasuk persyaratan “kemiskinan” yang menimbulkan hak bagi seseorang untuk memperoleh bagian dari zakat. Dan apabila kitab-kitab yang dimilikinya untuk keperluan mengajar dan merupakan sumber penghasilan seseorang, seperti seorang guru atau pelatih yang dibayar, maka kitab-kitab dianggap sama seperti alat bagi para tukang yang mnecari penghasilan. Yakni seperti mesin jahit bagi seorang penjahit, ataupun alat-alat lainya yang digunakan oleh pekerja.6

Bank dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD 1 perhari dan kemiskinan menengah dibawah USD 2 per hari sesuai purchasing power parity masing-masing negara. Karena USD 2 di Indonesia yang dapat membeli dua liter beras akan berbeda dengan USD 2 di Amerika serikat yang hanya dapat membeli 1 botol air mineral. Paratas daya beli (purchasing power parity) dalam ilmu ekonomi adalah sebuah metode yang digunakan untuk menghitung sebuah alternatif nilai tukar antar mata uang dari dua negara

Untuk kemiskinan yang dipakai di Indonesia, dengan metode yang disebutkan, nilainya sekitar USD 1,6 PPP (untuk keterbandingan tahun 2006).

Batas garis kemiskinan di Indonesia jauh lebih layak dibandingkan ukuran nasional yang diaplikasikanya di Cina dan India dengan nilai di bawah 1 USD PPP. Dalam konteks ini batas garis kemiskinan dalam dollar yang digunakan oleh bank dunia dalam pengertian kurs di tiap negara, tetapi purchasing power parity.

6Asrar Ash-Shaum Dan Asrar Az-Zakat, Rahasia Puasa dan Zakat Al-Ghazali, (Bandung:Karisma, 1995), hlm 97-98.

(5)

Dengan USD 1 dibelanjakan di Amerika, maka dihitung nilai setaranya dalam rupiah jika barang dan jasa itu diperoleh di Indonesia. 7

c. Amil zakat

Yang dimaksud dengan amil zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan zakat dari para wajib zakat, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat tersebut kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh ijin darinya atau dipilih oleh intansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan kepada masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang menjadi mustahik, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta.

Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syari’at islam. Oleh karena itu, petugas zakat yang bekerja dilembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.

Untuk dapat melaksakan tugas sebagai amil, seseorang harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ualama fikih, seperti muslim, mukalaf, adil, jujur, memahami hukum-hukum zakat seperti perhitunganya, pembagianya, dan mustahiknnya dan mempunyai kemampuan untuk memelihara harta zakat.

Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. dengan penekanan supaya gaji para amil dan biaya adimistrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat.

Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum.

Misalnya, penyantunan dan ramah kepada para wajib zakat dan selalu mendoakan

7Nurul Huda Dkk, Keuangan Publik Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm 160.

(6)

mereka. Begitu juga kepada para mustahik, mereka mesti dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial. Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahik zakat.8

d. Muallāf

Muallāf (yang di jinakan hatinya) ialah, mereka yang ditarik simpatinya kepada Islam, atau mereka yang ingin dimanfaatkan hatinya dijalan Islam. Juga mereka yang perlu dikhawatirkan berbuat jahat terhadap orang Islam dan mereka yang diaharap akan membela agama Islam. Fuqāhā membagi muallāf kepada dua golongan.

1) Yang masih kafir

Kafir yaitu kafir yang diharap akan beriman dengan di berikan pertolongan, sebagai mana yang dilakukan Nabi Muhammad Saw terhadap Shafwan Ibnu Ummmayah, yang dengan pertolongan Nabi Muhammad Saw Umayyah memeluk Islam. Nabi telah memberi kepada Shafwan sejumlah 100 ekor unta dari rampasan yang diperoleh Nabi dari peperangan Hunayin (Hawazin).

2) Kafir yang diikuti berbuat jahat.

Kafir tersebut kepadanya diberikan hak muallāf untuk menolak kejahatannya.

Kata Ibnu Abbas: “Ada segolongan manusia apabila mendapat pemberian dari Nabi, mereka memuji-muji Islam dan apabila tidak mendapatkan pemberian, mereka mencaci maki dan memburukan Islam”.

Yang telah Islam, terbagi menjadi kepada 4 golongan:

1) Yang masih lemah imannya, yang diharap dengan pemberian itu imannya menjadi teguh, seperti Uyayinah Ibn Hishn, sejumlah 100 ekor Unta dari rampasan peperangan Hawazim juga.

2) Pemuka-pemuka yang mempunyai sahabat yang sebanding dengan dia yang masih kafir seperti Ady Ibn Halib seorang yang sangat kaya dan dermawan.

3) Orang Islam yang berkediaman di perbatasan agar meraka tetap membela isi negeri dari serangan musuh.

8 Hikmat kurnia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008), hlm 142- 144.

(7)

4) Orang yang diperlukan untuk menarik zakat dari mereka yang tidak mau mengeluarkannya tanpa perantaranya peran tersebut.

Muallāf dimasa dahulu, tidak diberikan untuk setiap mereka yang baru masuk Islam hanya diberikan kepada mereka yang dirasa imannya lemah dan perlu disokong imannya itu dengan pemberian. Sudah umum diketahui bahwa pada masa itu yang dinamakan muallāf, hanyalah orang yang diketahui. Ada menerima bagian ini saja. Kita sekarang menamai muallāf segala mereka yang baru masuk Islam tanpa melihat kepada lemah atau kuat Imannya.

Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat: Bahwa bagian muallāf, tidak ada lagi, karena agama Allah sudah sangat kuat. Uyainah Ibn Hashn, Al Aqra Ibnu Habist dan Abbas Ibnu Murdas semua mereka mendapat jaminan dari Abu Bakar akan terus mendapat bagian muallāf. Akan tetapi ketika surat yang mereka dapat dari Abu Bakar diperlihatkan kepada Umar, beliau menyobek surat itu. Beliau berkata: “Nabi Muhammad Saw memberikan kepada kamu bagian ini untuk menjinakan hatikamu. Sekarang Islam telah memuliakan Allah dan tidak merasa perlu lagi kepada kamu. Jika kamu tetap dalam Islam kami terima kamu, dan jika tidak, maka diantara kami dan diantara kamu adalah pedang.” Maka mereka itu kembali kepada Abu Bakar lalu berkata: “Apakah engkau yang menjadi Khalifah, ataukah Umar? Engkau memberikan kepada kami surat, dia menyobeknya. Abu Bakar menjawab: Jika dia mau”.9

e. Hamba yang disuruh menebus dirinya (Riqāb Mukātāb).

Riqāb Mukātāb, adalah mereka yang masih dalam perbudakan yang hendak melepaskan dirinya dari ikatan perbudakan atau budak yang telah dijanjikan oleh tuanya akan dilepaskan jika ia dapat membayar sejumlah uang tertentu. Jika memang benar-benar memiliki perjanjian demikian dengan majikan maka mereka perlu diberi bagian zakat untuk membantu mereka meraih status merdeka, meskipun sebelum jatuh tempo dan meskipun mereka mampu

9 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1999), hlm 179-180.

(8)

menghidupi diri, dengan syarat ia muslim dan tidak memiliki dana yang cukup untuk pembebasan dirinya.10

Mengingat praktek perbudakan sekarang ini telah terhapus dimuka bumi, maka kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahik lain menurut mayoritas ulama fiqih (jumhur). Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.

f. Orang yang berutang (Gārimīn).

Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat golongan ini ialah:

1) Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

2) Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.

3) Utang itu melilit pelakunya.

4) Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi hutangnya.

5) Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.

6) Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.

7) Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kesulitan keuangan.

8) Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, apabila keluarganya (aqilāh) benar-benar tidak mampu untuk membayar denda tersebut, begitu pula kas negara.11

g. Fisābilillāh

Yang dimaksud dengan mustahik fisābilillāh adalah para pejuang yang suka rela berjihad dan berjuang menghalau musuh. Mereka diberi bagian zakat meskipun mereka kaya, guna membantu perjuangan mereka. Termasuk dalam hal

10 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah Tharah, Shalat, Puasa Dan Haji, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 411-412.

11 Hikmat kurnia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, hlm 147.

(9)

itu untuk membeli dan menyiapkan segala perbekalan dan hal-hal yang dibutuhkan pejuang di medan perang, seperti peralatan perang dan persenjataan, sebab semua itu untuk kepentingan peperangan.

Atas dasar ini, mujāhid (orang yang berjuang dijalan Allah) halal menerima bagian zakat, meskipun ia kaya. Sebagaimana yang terlansir dalam hadits shahih dari sabda Nabi saw:

: ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر :لق هنع الله يضر يردخلاىديعس يبأ نع ٍّ يِنَغِل َةَقَدَّصلا ُّل ِحَتَلا ْوَأ , ٍّم ِراَغ ْوَأ ,ِهِلاَمِب اَها َرَتْشِأ ٍّلُج َر ْوَأ اَهْيَلَع ٍّلِماَعِل: ٍّةَسْمَخِل لاِأ

َأ ,ِالله ِلْيِبَس ْيِف ٍّزاَغ وبأو دمحأ هاور( يِنَغِل اَهْنِم ىَدْهَأَف اَهْنِم ِهْيَلَع َقَّدَصُت نْيِكْسِم ْو

)هجام نباو دواد

Artinya: Dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda: “sedekah (zakat) tidak halal bagi orang kaya kecuali dalam lima kondisi: 1. Ia sebagai amil (pemungut zakat), 2. Ia membelinya (benda zakat) dengan uangnya, 3. Ia banyak menanggung hutang, 4. Ia ikut berperang dijalan Allah, 5. Ia diberi hadiah oleh orang miskin yang mendapat harta zakat.” (H.R. Ahmad, Abu daud, dan Ibnu majah.)

Bagian zakat fisābilillāh ini di peruntukan bagi para pejuang sukarelawan yang tidak memiliki gaji dari negara, meskipun mereka orang-orang kaya. Adapun alokasi yang paling tepat untuk mendistribusikan bagian fisābilillāh pada masa sekarang ini adalah untuk usaha mengembalikan hukum islam dan menjaganya dari sentimen orang-orang kafir, dan ini lebih penting dari jihad. Alokasi lainya adalah untuk kegiatan dakwah Islamiyyah dan mempertahankanya dengan pena maupun lisan jika kekuatan pedang sudah tidak dimungkinkan lagi untuk digunakan 12

h. Ibnu sābil

Orang yang berada dalam perjalanan (ibnu sābil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:

12 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah Tharah, Shalat, Puasa Dan Haji, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 417.

(10)

1) Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan yang membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.

2) Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syari’ah islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk membuat maksiat.

3) Tidak mempunyai biaya untuk kembali kenegrinya, meskipun di negrinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo,atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaanya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengikari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya untuk berhak menerima zakat.13

Ibnu sābil berhak mendapatkan zakat untuk menutupi kebutuhannya ditempat yang asing agar ia sampai kenegaranya, meskipun dinegaranya tergolong orang kaya. Hal ini jika tidak ada orang yang dapat meminjaminya, jika ada orang yang meminjaminya uang maka ia wajib meminjam.14

2. Pengaruh Pembagian Zakat Kepada Delapan Asnaf Bagi Individu dan Masyarakat Bila di renungkan dengan cermat pengaruh zakat yang di salurkan kepada delapan asnaf tersebut akan melihat i’jāz al-illāh (mu’jizat ketuhanan) dalam pengaruh zakat yaitu.

a. Tārbiyāh Ruḥiyāh yaitu penguatan iman, ketaatan dan syukur kepada Allah serta membebaskan diri dari penghambaan terhadap harta dan kekuasaanya.

b. Realisasi keadilan sosial, yang mana zakat merealisasikan solidaritas dan tākāful antar manusia, mendekatkan perbedaan antar kelas dan memperkuat perasaan cinta dan kasih sayang, sehingga akan muncul masyarakat utama.

c. Pertumbuhan ekonomi, yang mana zakat mencegah akan adanya penimbunan dan penyimpanan harta yang berlebihan, ikut berperan dalam mengobati masalah kemiskinan, inflasi pengangguran dan ketidak adilan distribusi pendapatan.

d. Zakat mempunyai pengaruh yang besar dalam merealisasikan penghormatan politik dengan mempersiapkan kekuatan aqidah bagi para pejuang (mujāhidin) dan infaq kepada tawanan mereka serta pembiayaan kekuatan materi untuk berjihad. Begitu

13 Hikmat kurnia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008), hlm 147.

14 Penuntut Ilmu, Munawarah Hanan, Mukhtasharu Syahri Arkanil Islam, Panduan Praktis Rukun Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2001), hlm 188.

(11)

juga zakat berpengaruh kepada kegiatan dakwah kepada Allah swt. Dengan ḥikmah dan mau’iẓah ḥāsānah serta menolong umat Islam yang teraniaya dan tertindas.

e. Pemeliharaan pribadi dimana zakat memenuhi kebutuhan pokok penerima zakat, menjaga agama, aqal, jiwa, kehormatan, dan hartanya. Peran ini berpengaruh atas ketenangan rumah tangga dari segi terpenuhinya semua pokok kebutuhanya.

f. Pemeliharaan masyarakat, dimana zakat ikut andil dalam mewujudkan masyarakat yang utama, saling mnyempurnakan, solid, kuat, terhormat dan merdeka.

Dari pribadi yang aman dan dari masyarakat yang utama menjadikan pememrintah yang mampu untuk menjaga kebutuhan kebutuhan pokok bagi rakyatnya, yaitu aqidah, jiwa, aqal, kehormatan, agama dan harta.

3. Hukum Distribusi Zakat Kepada Delapan Asnaf

Pada saat pembagian hasil zakat kepada delapan asnaf yang terdapat pertanyaan yaitu berapa besar yang diberikan kepada masing-masing delapan asnaf, apakah hasil zakat harus diberikan kepada delapan asnaf dengan porsi yang sama, dan adakah hukum syar’i yang harus diikuti oleh pemimpin dan wakilnya dalam pembagian zakat.

Tidak ada satu pendapat yang disepakati dalam masalah ini. Proses penentuan, penghitungan dan pendistribusian hasil zakat berbeda-beda dari zaman ke zaman dan dari kondisi yang satu kekondisi yang lain. Oleh karena itu pemimpin dan wakilnya harus menggunakan pendapatnya dalam pembagian zakat tersebut dengan tetap berada dalam koridor nilai syārā’ ilmu, wawasan, dan musyāwārāh ah-lul hil wāl’aqād. Namun terdapat hukum umum yang bisa membantu proses pembagian zakat, diantaranya yang terpenting adalah:

Mengetahui kondisi delapan asnaf yang delapan dari segi ḍārurāh dan ḥājiyāt.

a. Beriltizam dengan prioritas keislaman, dimana prioritas diberikan untuk memenuhi hal-hal yang ḍārurāh kemudian yang ḥājiyāt. Karena itu mereka yang tidak mampu sekali didahulukan dari mereka yang tidak mampu atau dibawah kecukupan. Mereka yang ada didalam negri diaman zakat itu diperoleh lebih diprioritaskan dari pada mereka yang didaerah tau negara lain jika kebutuhanya sama.

(12)

b. Dan mereka yang dalam kebutuhan untuk menjaga jiwanya lebih diprioritaskan dari mereka yang membutuhkan untuk penjagaan kehormatan begitu seterusnya.

c. Tidak ada perhatian berlebih pada salah satu penerima zakat saja tanpa menyentuh penerima zakat yang lain padahal semua membutuhkan zakat. Tidak boleh mengarahkan semua hasil zakat untuk kaum fakir miskin dan meninggalkan penerima zakat yang lain atau mengarahkan semua hasil zakat kepada jihād fisābilillāh pada saat penerima yang lain memerlukanya.

d. Harta hasil zakat tidak diarahkan kepada non muslim yang kafir atau untuk menautkan hati mereka kecuali umat Islam cukup atau terpenuhi.

e. Bijaksana dan adil dalam pembiayaan penarikan dan pembagian zakat, tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit.

f. Mengambil sebab dalam mencari mereka yang berhak menerima zakat sehingga harta zakat tersebut tidak jauh ketangan mereka yang tidak berhak atau tidak pada tempatnya. 15

B. Yang Tidak Berhak Menerima Zakat 1. Al-gāni (orang kaya)

Orang kaya ialah orang yang tidak membutuhkan orang lain (dalam hal menyangkut harta), yang pendapatanya lebih banyak dari apa yang dibutuhkanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hadits telah menerangkan tentang siapa yang termasuk orang kaya. Sebagai mana hadits Rasulullah saw bersabda: Abdullah bin mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw Bersabda:

“Tidak seorangpun yang meminta-minta sesuatu padahal ia kaya kecuali pada hari kiamat ia datang dengan keadaan mukanya luka, terkoyak, dan terkelupas.

Kemudian rasulullah ditanya, wahai rasulullah, bagaimana seseorang dapat dikatakan kaya?, rasulullah menjawab, ia mempunyai 50 dirham atau hitungan yang

setara dengan emas.” (HR. Al-khamsah).

Jadi barang siapa yang mempunyai 50 dirham perak atau 148,75 gram perak, karena 1gram dirham setara dengan 2,975 perak atau emas dalam hitungan yang setara, yang merupakan kelebihan (harta) setelah memenuhi kebutuhan makanan,

15 Husayn Syahatah, A. Syakur, At-Tathbiq Al-Mu’ashir Li al-Zakat, Akutansi Zakat, (Jakarta:

Pustaka Progresif, 2004), hlm 202-206.

(13)

pakaian, tempat tinggal, serta nafakah bagi istri, anak, dan pembantunya, maka dia dianggap kaya. Dalam kondisi seperti ini dia tidak boleh menerima harta zakat.16

Imam Syafi’i berpendapat, standar kaya yang tidak boleh menerima zakat adalah atas dasar kelayakan, yakni layak digolongkan sebagai orang kaya.

Abu hanifah berpendapat, orang kaya adalah orang yang mempunyai harta satu nishab atau lebih. Ini berdasarkan hadits Mu’adz:

َأف ِب ْخ ْر ْم ُه َأ َالله َّن َر َف َض َع َل ْي ِه ْم َص َد َق ًة ُت ْؤ َخ ِم ُد ْن َأ ِن َي ْغ ِئ ا ِه َو ْم َر ُت َع ُّد َل ُف ى َر َق ِه ِئا ْم . هجرخا(

)يئاسنلاو يراخبلا

Artinya: “Rasulullah berpesan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil dari mereka yang kaya dan dibagikan kepada mereka yantg miskin.” (HR. Bukhari dan Nasai).

Menurut Malik tidak ada standarnya yang baku, dasarnya adalah Ijtihād.

Sebab perbedaan tersebut adalah apakah kaya yang dilarang menerima zakat itu menurut arti syār’i atau lugāwi?. Bagi ulama yang mengartikan syār’i berpendapat bahwa orang kaya yang dilarang menerima zakat adalah orang yang mempunyai harta sampai batas nisāb.

Para ulama berbeda pendapat tentang orang kaya yang berhak dan tidak berhak menerima zakat, dan standar yang bagaimana yang melarang orang kaya untuk menerima zakat. Jumhur Ulāmā menetapkan bahwa orang kaya tidak boleh menerima zakat, kecuali karena lima hal seperti yang disebutkan dalam hadits:

ديعس يبأ نع ُّل ِحَت َلا :ملسو هيلع الله ىلص لله لوسر :لق هنع الله يضر يردخلأ

ِأ ٍّيِنَغِل ُةَقَدَّصلا َّلا

ِل ْم َخ َس ٍّ ة ِل : َع ٍّل ِما َع َل ْي َه َأ,ا َر ْو ٍّل ُج ِأ ْس َر َت ِب ا َها َم ِلا ِه َأ , ْو ِرا َغ ٍّم َأ , ْو ٍّزا َغ ِف ي

ِب ْي َس ِل ِالله َأ , ْو ِم ِك ْس ٍّن ْي َص ُت ِ د َع َق َل ْي َه ِم ا َه ْن .ا

Artinya: Dari Abu sa’id Al-Khudri ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sedekah zakat tidak dihalalkan zakat untuk orang kaya kecuali dalam lima kondisi:

1. Ia sebagai amil (pemungut zakat), 2. ia membelinya (benda zakat) dengan uangnya, 3. Ia banyak menanggung hutang, 4. Ia ikut berperang di jalan Allah, 5. Ia diberi hadiah oleh orang miskin yang mendapat harta zakat. ” (H.R Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majjah).

16 Nurul Huda dkk, Keuangan Publik Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm 156-157.

(14)

Ibnu Qasim berpendapat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya walaupun bersetatus sebagai pejuang di jalan Allah ataupun sebagai amil zakat.

Ulama yang tidak memperbolehkan amil yang kaya menerima zakat, berarti secara mutlak orang kaya tidak boleh menerima harta zakat.17

2. Keluarga Rasulullah

Zakat diharamkan atas Bani Hasyim karena zakat adalah kotoran manusia.

Mereka diperbolehkan mengambil khumus dari Baitul Maal untuk mencukupi kebutuhan mereka. Yang termasuk Bani Hasyim yaitu: Nabi dan kerabatnya. Mereka adalah keluarga ‘Abbas, keluarga ‘Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, dan keluarga al-Harits bin Abdil Muththalib. Nabi Muhammad saw bersabda:

ِسا نلا ْخاَس ْوَأ يِه ام نِأ ,ٍّدَّمَّحُم ِلَ ِلِ يِغَبْنَتَلا ُةَقَدَّصلا َّنِأ

Artinya: “Sesungguhnya sedekah itu tidak sesyogianya diterima oleh keluarga muhammad. Zakat itu adalah daki manusia” (HR.Muslim).

Dan berselisih paham para Ulama tentang Bani Muthalib dalam boleh tidaknya menerima harta zakat. Asy Syafi’y berpendapat bahwa Bani Muthalib tidak boleh mengambil harta zakat, sama dengan Bani Hasyim, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Asy Syafi’i, Ahmad dan Al Bukhari dari Jubair ibn Muth’im,

َعَض َو َرَبْيَخ ُم ْوَي َناَكاَمَف ىلص ُّيِبَّنلا

َمْهَس م لسو هيلع الله َب ْرُقلا ىِوَذ

ىِف ىِنَب ِمِشاَه

ىىِنَب َو ِبِلَّطُملا

َك َرَت َو ىِنَب

َلَف ْوَن ىِب َو ل

ِدْبَع ,س ْمَش ُتْيَتَأَف َنَأ اَمْثُع َو ْن

ِنْب َل ْوُس َر َناَّفَع الله ىلص ُالله

ِالله ُل ْوُس َر اَي اَنْلَقَف ىملسو هيلع رِكْنُيَلا ِمِشاَه ْوُنَب ِء َلاُؤاَه

ِع ِض ْوَمْلِل ْمُهَلْضَف

ىِذ لا َكَعَض َو ل ُالله

ِهِب اَمَف ْمُهْنِم ىِنَب اَنِناوْخِأ ُلَب

اَنَتْك َرَت َو ْمُهَتْيَطْعَأَطُم

؟ ٌةَد ِحا َو اَنُتَبا رَق َو ُّىِبَّنلا َلاَق َو

الله ىلص وُنَب َو َنَأ : ملسو هيلع

ِبِ لَطُملا ىف ُق ِرَتْفَن لا

, ٍّم َلَْسِأَلا َو ٍّةَّيِلِهاَج ٌء ْيَش

نْيَب َكَّبَش َو ٌد ِحا َو ِهِعِباَصَأ

Artinya: “pada hari khaibar Rasulullah meletakan bagian dzawilqurba pada bani Hasyim dan bani Muthalib, tidak memberikan kepada bani Naufal dan bani Abdisy syams. Aku dan Ustman bin Affan pergi kepada Rasulullah, kami

17 Ibnu Rusdy, Imam Ghazali dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm 614-615.

(15)

berkata: ya Rasulullah kami tidak mengingkari keutamaan bani Hasyim, tetapi mengapa engkau berikan pula kepada bani Muthalib, sedang kepada kami tidak engkau berikan, padahal kekerabatan kami, satu. Mendengar itu Nabi menjawab: Aku dan Bani Muthalib tidak dapat berpisah, baik di masa jahiliyyah maupun di masa Islam. Bahwasanya

Zakat diharamkan atas Bani Hasyim, yaitu dikarenakan sebuah pemuliaan terhadap mereka, karena mereka adalah kerabat Nabi. Nasab Nabi adalah nasab yang paling mulia sehingga tidak pantas menerima zakat yang merupakan kotoran manusia, karena zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa).

:لاق هنع الله يضر ثراحلا نب ةعيبر نب بلطملا دبع نعو

هيلع الله ىلص الله لوسر

ِأ :ملسو َّصلا َّن

َد َق َة ل َلا َت ْن َب ْي ِغ ِل ِلِ

ُم َح م َو ٍّد ِأ َما َّن َي ِه ْو َأ َس ُخا َّنلا ِسا .

).ميلسم هاور(

Artinya: Dan dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin Al Harits ia berkata: Rasulullah bersabda: “sungguh sedekah (zakat) itu tidak layak bagi keluarga Muhammad, karena zakat itu adalah kotoran manusia.”(H.R. Muslim).

Kedua hadis ini menunjukkan haramnya zakat bagi mereka. Hadits yang kedua menunjukkan bahwa sebabnya adalah zakat merupakan kotoran manusia, karena zakat yang dikeluarkan membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa). Suatu pembersih tentu saja bercampur dengan kotoran yang dibersihkannya. Dalil bahwa zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran adalah firman Allah pada Surat At- Taubat: ayat 103.18

Adapun tentang keluarga Abu Lahab, ada perbedaan pendapat tentangnya.

Asy-Syaukani berkata, “Keluarga Abu Lahab tidak termasuk dalam hukum ini, berdasarkan apa yang dikatakan (bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang masuk Islam pada masa hidup Nabi). Namun hal ini terbantah dengan apa yang disebutkan dalam Jami’ul Ushul bahwa dua putra Abu Lahab yang bernama ‘Utbah dan Mu’attib masuk Islam pada Fathu Makkah. Rasulullah pun bergembira dengan keislaman keduanya. Keduanya juga ikut Perang yaitu di Hunain dan Thaif.1 Menurut ahli nasab, keduanya memiliki keturunan.”

18 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1999), hlm 200-202.

(16)

3. Orang kafir

Kata Ibnu Mundzir : telah sepakat segala ahli ilmu bahwa orang kafir tidak diberikan harta zakat kecuali jika ia muallaf. Menurut Madzhab Maliki dan Hambali zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir, apapun alasanya; berdasarkan hadits Mu’adz r.a terdahulu,

ْذُخ ِئا َرَقُف ىِف اَهُّد ُر َو ْمِهِئاَيِنْغَأ ْنِم اَه ْمِه

Artinya:

Ambillah zakat dari orang-orang kaya dari mereka (muslim) dan berikan kepada orang-orang fakir (muslim).”

Mu’adz diperintahkan untuk memberikan zakat kepada orang-orang fakir diantara mereka (orang-orang muslim) yang diambilkan dari orang-orang kaya, yaitu orang-orang muslim oleh karena itu, zakat tidak boleh dibayarkan kepada selain orang-orang muslim.19 Adapun pemberian selain zakat mal, misalnya zakat fitrāh, kāfārāt, dan nāżār, maka tidak syah lagi bahwa pemberianya terhadap orang muslim dianggap lebih utama. Karena memberikan bentuk-bentuk pemberian itu kepada mereka berarti membantu mereka untuk melakukan ketaatan kepada Allah swt. Maka menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad pemberian semacam itu boleh diberikan kepada orang kafir żimmī. Berdasarkan firman Allah swt. Qs. Al-Baqarah:

ْمُكَل ٌرْيَخ َوُهَف َءا َرَقُفلا اَه ْوُت ْؤُت َو اَه ْوُفْخُت ْنِأ َو َيِه َّمِعِنَف ِتاَقَدَّصَّلا ا ْوُدْبُت ْنِا ْمُكِتَأِ يَس ْنِ م

ْمُكْنَع ُرِ فَكُي َو

Artinya: jika kamu menapakkan sedekahmu, itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikanya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka meneyembunyikanya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu. (QS 2:271)

4. Setiap Orang Yang Wajib Dinafkahi Oleh Muzaki a. Kerabat yang dinafkahinya

19Wahbah Al-Zuhayl1y, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT Rekmuaja Rosdakarya, 2008), hlm 301.

(17)

Apabila kerabat itu termasuk kerabat yang jauh, yang tidak wajib bagi orang yang berzakat memberi nafkah kepadanya, seperti saudara-saudara lelaki, maupun perempuan, paman-paman dan bibi-bibi dari pihak ibu maupun ayah berikut anak-anak mereka, dan lain-lanya. maka tidak berdosa memberi kepadanya zakat kerabat, bahkan merekalah yang lebih patut diberi dari pada orang lain. apakah yang memberikan kerabatnya sendiri secara langsung atau orang lain dari orang yang berzakat, penguasa atau wakilnya, yaitu kantor pembagian zakat; dan sama saja apakah dia diberi dari bagian fakir dan miskin atau dari bagian lain. Adapun kerabat yang benar-benar dekat, seperti kedua orang tua, anak-anak, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman maupun bibi dan seterusnya, para fuqaha sepakat menetapkan bahwa tidak boleh memberikan zakat kepadanya.20

Apabila kerabat itu termasuk orang yang berhak menerima zakat, seperti petugas zakat, atau dalam memerdekakan budak belian, atau orang yang berutang atau orang yang dalam membela agama allah, maka bagi kerabat boleh memberikan zakat kepadanya, dan tidak berdosa, karena dalam kondisi demikian dia berhak menerima zakat dengan sifat yang tidak ada pengaruh apa-apa terhadap hubungan kekeluargaan. Dan tidaklah wajib kepada kerabat, dengan nama kekeluargaan, untuk membayar utangnya, atau memikul biaya perangnya di jalan Allah.

b. Istri

Seorang suami wajib menafkahi istrinya secara mutlak, baik istrinya miskin maupun kaya. Haram baginya memberikan zakatnya kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhannya yang seharusnya dipenuhi dengan nafkahnya. Karena akan bermakna menggugurkan kewajiban memberikan nafkah kepadanya, ini tidak boleh. Ibu mundzir berkata: “para ahli ilmu telah bersepakat bahwa seorang suami tidak boleh memberi zakat kepada istrinya, karena nafkah istrinya itu wajib kepadanya, sehingga si istri tidak perlu lagi mengambil zakat, karena suami tidak

20 Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha Ali Asy-Syirbaji, Anshori Umar Sitanggal, Al-Fiqh Al-Manhaji ’Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, Fiqih Syafi’i Sistematis, (Semarang: Cv. Asy Syifa, 1987), hlm 73.

(18)

dibenarkan menyerahkan zakat kepada istrinya.” Dan karena hubungan istri dengan suaminya itu seolah-olah dirinya sendiri atau bagian dari dirinya sendiri, sebagai mana firman Allah swt:

ْمُكِسُفْنَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْنَأ ِهِتاَيآ ْنِم َو اًجا َو ْزَأ

Artinya: “dan diantara tand–tanda kekuasaaNya ialah, dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri.”

Adapun jika si istri kaya, sedang hartanya wajib dizakati, ia disunatkan memberi zakat kepada suaminya, jika suaminya fakir. dan disunatkan pula dia menafkahkanya kepada anak-anaknya, jika mereka fakir. karena memberi nafkah kepada suami dan anak-anak bukan kewajiban ibu dan istri.

Menurut riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Zainab istri Abdulah bin Mas’ud, ia berkata: “Rasulullah saw. Telah bersabda:

“bersedekahlah kamu sekalian wahai para wanita, walaupun dari perhiasanmu.

“Zainab berkata: “aku kembali pada Abdullah, lalu aku berkata kepadanya:

“engkau adalah seorang laki-laki ringan yang mempunyai tangan (kiasan dari keadaan fakir), dan sesungguhnya Rasululah saw telah menyuruh kami untuk bersedekah, datanglah kepadanya dan tanyakanlah, apabila hal itu diperbolehkanya kepadaku; kalau tidak akan aku berikan sedekah itu pada orang selain kamu. Dari Zainab, berkata Abdullah: “pergilah kamu sendiri!” Zainab berkata: kemudian aku berangkat, ternyata ada seorang wanita dari golongan anshar di pintu rumah rasulullah saw. Yang keperluannya sama dengan keperluanku. Wanita itu merasa berat bertemu dengan Rasulullah saw. Kemudian keluarlah menyongsong kami bilal, lalu kami berkata kepadanya: datanglah anda kepada Rasulullah saw. Lalu ceritakanlah bahwa ada dua orang wanita di pintu yang menanyakan kepadamu: apakah sedekah keduanya dianggap sah bila diberikan kepada suaminya, dan anak-anak yatim yang dipelihara keduanya?.

Kemudian Bilal masuk lalu menayakan kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw berkata: “siapa mereka berdua itu?” Bilal menjawab: “wanita dari anshar beserta Zainab.”Rasulullah berkata “Zainab yang mana?” Bilal berkata: “Zainab istri Abdullah. Rasulullah saw bersabda: “mereka mendapatkan dua pahala, pahala

(19)

kerabat dan pahala sedekah.” (Hadis Riwayat Imam Akhmad dan Bukhari Muslim).

Imam Syaukani berkata: “bisa dijadikan alasan dengan hadis ini, bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita untuk menyerahkan zakat, pada suaminya.

Pendapat ini dinyatakan pula oleh Imam Tsauri, Syafi’i, dan dua sahabat Imam Abu Hanifah serta salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad.

Dinyatakan pula oleh Imam Hadi, Nasir dan Muayyid Billahi: “ini semua dianggap menyempurnakan dalil, setelah diketahui bahwa sedekah, itu adalah sedekah wajib.

Pendapat ini dipegang teguh oleh Imam Maaziri. Ia memperkuatnya dengan ucapan dua wanita tadi (apakah sah bagiku). Ulama lain memahami hadis ini dengan pemahaman bahwa sedekah itu adalah sedekah sunat. Dengan alasan ucapan Nabi (walaupun dari perhiasanmu). Mereka mengartikan makna (apakah itu sah bagiku), yaitu dari pemeliharaanya terhadap siksa neraka; seolah-olah wanita tersebut takut, jika seandainya memberi sedekah kepada suami, tidak mencapai sasaran, yaitu mendapat pahala dan terjauh dari siksa.21

5. Orang yang berfisik kuat

Hadis telah mengharamkan orang kaya menerima zakat, juga bagi orang yang sehat dan berfisik kuat.

Sesungguhnya diharamkannya zakat bagi orang yang zakat bagi orang yang sehat dan berfisik kuat, karena ia masih mampu berkerja untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, tanpa harus menunggu dan menggantungkan harapanya pada sedekah.

Apabila ia kuat dan tidak memiliki pekerjaan, maka hal ini dapat dikecualikan, dan ia patut ditolong dari harta zakat sampai ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam hadits lain dikemukakan: “tidak ada bagian dalam zakat buat orang kuat yang mampu bekerja.”

Ulama Hanafi berbeda pendapat dalam masalah itu. Mereka berkata: “boleh menyerahkan zakat kepada orang yang memiliki kurang dari nisab zakat, walaupun sehat dan mempunyai pekerjaan, karena ia termasuk orang fakir, dan fakir itu adalah

21 Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha Ali Asy-Syirbaji, Anshori Umar Sitanggal, Al-Fiqh Al-Manhaji ’Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, Fiqih Syafi’i Sistematis, (Semarang: Cv. Asy Syifa, 1987), hlm 72.

(20)

salah satu sasaran zakat; dan karena inti dari kebutuhan itu tidak ditangguhkan kepadanya, akibatnya hukum itu berputar pada dalil penerimaan zakat, yaitu tiadanya nisab padanya.

Ibnu Humam berkata: “menurut Ulama yang jumlahnya lebih dari satu, bahwa zakat itu tidak boleh diberikan pada orang yang mempunyai pekerjaan, berdasarkan apa yang telah kita sebutkan terdahulu dari ucapan Nabi: “tidaklah halal sedekah itu buat orang kaya dan orang yang sehat dan kuat.” Dan juga ucapan Nabi pada dua orang laki-laki yang gemuk, kedua-duanya meminta zakat kepada Nabi,: “Adapun anda berdua tidak berhak menerima zakat, tetapi jika anda menghendakinya aku akan memberinya.”

Dikemukakan, bahwa hadis yang kedua maksudnya adalah diharamkannya meminta-minta, berdasarkan ucapan Nabi: “apabila anda berdua menghendakinya aku akan memberinya.” Apabila memberi zakat buat mereka itu haram, tentu Nabi tidak akan melakukanya. Hadits yang berbunyi: “apabila anda berdua menghendakinya, aku akan memeberinya, dan tidak ada bagian didalam zakat, buat orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan.” Menurut pendapat Abu Ubaid Nabi mengatakan hal itu kepada mereka berdua, karena Nabi tidak mengetahui setiap orang yang kuat itu, mempunyai pekerjaan yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya Nabi memberika kepada mereka berdua, setelah Nabi memberi nasihat dan memberi petunjuk kepada mereka, bahwa orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan, adalah tidak berhak menerima zakat. Nabi saw telah menjadikan sifat kaya dan kuat itu, dua hal yang sebanding, walaupun orang yang kuat itu tidak mempunyai pekerjaan, tetapi keadaan mereka dalam hal yang ini adalah sama, kecuali apabila orang kuat itu sudah berusaha bersungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, tapi tetap tidak mendapatkanya. Maka apabila keadaanya seperti demikian, ia berhak menerima bagian dari harta zakat.22 Berdasarkan firman allah swt.

“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. 51:19).

22 Yusuf Qardawi, Salman Harun, Fiqhu` Zakat, Hukum Zakat, (Bogor: PT. Pustaka Liteara Antar Nusa, 1991), hlm 678-679.

(21)

C. Sistem Pendistribusian Zakat Pada Zaman Klasik dan Zaman Kontemporer 1. Pengertian Sistem Pendistribusian Dana Zakat

Sistem merupakan kumpulan dari bagian atau komponen baik fisik maupun non fisik, yang saling berhubungan satu sama lain dan bekerja sama secara harmonis untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan distribusi merupakan penyaluran atau pembagian sesuatu kepada pihak yang berkepentingan. Untuk ini sistem pendistribusian zakat berarti kumpulan atau komponen baik fisik atau non fisik yang saling berhubungan satu sama lain dan bekerja sama secara harmonis untuk mendistribusikan zakat yang terkumpul dari muzaki kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya dalam meraih tujuan sosial ekonomi.23

2. Sistem pendistribusian zakat pada zaman klasik a. Zakat pada masa Rasulullah

Pelaksanaan zakat di zaman Rasulullah dan yang kemudian diteruskan para sahabatnya, yaitu para petugas mengambil zakat dari para muzaki, atau muzaki sendiri secara langsung menyerahkan zakatnya pada baitulmal, lalu oleh para petugasnya didistribusikan kepada para mustahik.

Satu hal yang paling substansial dalam penyaluran zakat masa Rasulullah adalah Rasulullah tidak pernah menunda penyaluran zakat. Bila zakat diterima pagi hari, maka sebelum siang hari tiba Rasulullah telah membagikanya. Bila zakat diterima siang hari maka sebelum malam hari, zakat yang diterima tersebut langsung dibagikan kepada para asnaf. Sehingga sifat penyaluran zakat masa Rasulullah adalah segera dan dibagikan tanpa sisa.

b. Zakat pada masa Abu Bakar Aṣ-ṣiddiq

Pada masa Abu Bakar, selama dua tahun sepeninggal wafatnya Rasulullah saw, sebenarnya belum terjadi perubahan mendasar tentang kebijkan dalam pengelolaan zakat dibandingkan dengan masa Rasulullah saw, karena kebijakan yang diambil oleh Abu Bakar secara garis besar sama dengan kebijakan pada masa Rasulullah.

23 Mutstidi, Akutansi Zakat Konteporer, (Bandung: PT Remaja Posda Karya, 2006), hlm 169.

(22)

Namun pada periode ini terjadi sebuah pristiwa penting menyangkut zakat, yakni menjamurnya para pembangkang zakat diberbagai wilayah Islam. Abu Bakar kemudian menyatakan perang kepada mereka, karena mereka dinilai telah murtad. Setelah dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkan zakat, Abu Bakarpun memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang orang yang berhak menerimanya, menurut cara yang dilakuan oleh Rasulullah dalam penyaluran zakat, yaitu dibagikan segera dan tanpa sisa. Ia sendiri mengambil harta dari baitul maal menurut ukuran yang wajar, Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta baitulmal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum muslimin, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang dijalan Allah. Dalam soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan kemudian masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak menerima harta zakat apabila kondisi kehidupannya membutuhkan serta termasuk kedalam kelompok delapan asnaf yang terdapat dalam surat At Taubah ayat 60. Kebijkan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregat demand dan aggregat suplly yang pada akhirnya menaikan total pendapatan nasional.

c. Zakat pada masa Umar Bin Khatab

Ketika Abu Bakar meninggal, Umar Bin Khatab memanggil sahabat terpercaya, antara lain Abdurahman bin Auf dan Ustman bin Affan untuk masuk dalam baitul maal. Pada masa Umar menjadi Khalifah, penaklukan wilayah semakin meluas, situasi Jazirah Arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua Khabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik Amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada khalifah, untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang semakin kompleks.

Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallāf. Disini Umar melakukan Ijtihād, Umar saat itu memahami bahwa sifat muallāf tidak melekat

(23)

selamanya pada diri seseorang. Pada situasi tertentu memang dipandang perlu menjinakan hati seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan, namun bila ia telah diberi cukup kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik, maka lebih baik tunjangan itu dicabut dan diberikan kepada orang lain yang jauh lebih memerlukan.

Pada masa Kekhalifahan Umar bin Khatab mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat yang diterima langsung didistribusikan sampai habis seperti yang dilakukan pada masa Abu Bakar Shidiq dan Rasulullah Saw, namun ada pos cadangan devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau perang.

Terobosan lain dalam distribusi zakat pada masa Umar adalah beliau memungut zakat dua kali lipat bagi muzaki yang belum membayar zakat pada tahun sebelumnya (piutang negara) dan memberikan zakat dua kali lipat pada mustahik yang tidak menerima zakat pada tahun sebelumnya (utang negara).

Selain itu dalam hal bentuk-bentuk penyaluran zakat, beliau telah mencotohkan pemberian zakat produktif dengan memberikan seekor anak unta beserta dua induknya untuk dapat diternakan.

d. Zakat pada masa Usman Bin Affan

Pengelolaan zakat pada periode Ustman bin Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangkan oleh Umar bin Khatab.

Dalam pendistribusian harta baitul maal, khalifah Ustman bin Affan menerapakan prinsip keutamaan seperti halnya Umar bin Khatab. Khalifah Ustman bin Affan tetap mempertahankan sistem pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda.

Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Ustman bin Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.

Oleh karena itu, khalifah Ustman bin Affan membuat beberapa perubahan adimistrasi tingkat atas dan penggantian beberapa gumbenur.

(24)

Pada masa Utsman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan Ustman sampai harus mengeluarkan zakat dari harta Khārāj dan Jizyh yang diterimanya. Harta zakat pada periode Ustman mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Ustman melantik Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat. Pernah satu masa, Ustman memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Ustman menyuruh Zaid untuk membelanjakan dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan Masjid Nabawi.

e. Zakat pada masa Ali bin Abi Thalib

Imam Ali bin Abi Thalib menggantikan khalifah Ustman dalam situasi politik yang kacau balau, meskipun mekanisme pengelolaan zakat dan baitulmal tidak terganggu, jaminan sosial berjalan terus.

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kondisi Baitul Maal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari baitul maal, seperti disebutkan oleh Ibnu Katsir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separuh kakinya, dan sering bajunya itu terdapat dengan adanya tambalan.

Kebijakan Ali tentang zakat juga mengikuti kebijakan pengelolaan zakat seperti pada masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar. Bahkan Ali terkenal sangat berhati-hati dalam pengelolaan dan pendayagunaan dana hasil zakat. Ali bin Khatab mendistribusikan seluruh harta zakat yang ada di Baitul Maal selalu didistribusikan untuk kepentingan umat Islam. Ia tidak pernah mengambil harta tersebut untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Beliau kembali menerapkan kebijakan sesuai dengan kebijakan seperti masa Rasulullah dan Abu Bakar yang langsung mendistribusikan keseluruhan dana zakat sampai habis, dan meninggalkan sistem cadangan devisa yang telah dikembangkan pada masa Umar bin Khatab. Meski masa kekhalifahannya menghadapi persoalan berat, akibat peristiwa terebunuhnya Ustman yang rentan dengan masalah politik, Ali tidak pernah mengabaikan tugasnya sedikit pun sebagai Khalifah, termasuk dalam pengelolaan zakat. Ali sangat memerhatikan fakir miskin dan sangat bersimpati kepada nasib mereka. Karena beliau memandang penting zakat sebagai suatu

(25)

instrumen fiskal yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan sosial dan mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat.

Ali meyakini bahwa kesejahtraan sosial berdampak positif pada keamanan. Umat sejahtera, negara aman. Sedang keamanan adalah kunci keadilan. Jika keadilan ditegakkan dan hukum jadi panglima, maka dengan sendirinya kemanan akan tercipta.

f. Zakat pada masa Umar bin Abdul Azis.

Sepeninggalnya Ali bin Abi Thalib (661 M) terdapat krisis kepemimpinan dikalangan umat muslimin. Hingga pada tahun 717 Masehi kegemilangan Islam datang kembali dalam masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayah.

Ketika dunia Islam berada dibawah kepemimpinan Bani Umayah, kondisi baitul maal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya baitul maal dikelola dengan kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayah baitulmal berada sepenuhnya dibawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau di kritik oleh rakyat.

Dalam konsep distribusi zakat, penetapan delapan objek penerima zakat atau mustahik, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah sebentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberdayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan meningkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat ikut merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat, yang selanjutnya mendorong meningkaykan supply.

Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan ikut meningkat. Jadi, pola distribusi zakat bukan hanya berdampak pada hilangnya kemiskinan absolut, tetapi juga dapat menjadi faktor stimulan bagi pertumbuhan ekonomi ditingkat makro.

Itulah yang kemudian terjadi di masa Umar bin Abdul Aziz. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah penerima zakat terus mengurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling dipelosok Afrika untuk membagikan harta zakat, tetapi tak seorangpun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahik zakat benar-benar habis secara absolut. Sehingga

(26)

negara mengalami surplus. Maka distribusi kekayaan negara selanjutnya diarahkan kepada subsidi pembayaran utang pribadi (swasta), dan subsidi sosial dalam bentuk pembiayaan kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi tanggungan negara, seperti biaya perkawinan.

Periode pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang berjalan tiga tahun di catat sejarah sebagai masa kegemilangan umat islam di dalam keadilan dan kesejahtraan, karena kepemimpinan yang bersih dan taqwa.24

3. Sistem pendistribusian zakat kontemporer

Sistem pendistribusian zakat kontemporer sudah melakukan pendistribusian zakat secara produktif. Sebagaimana yang telah terjadi di zaman Rasulullah saw yang dikemukakan dalam sebuah hadis Imam Muslim dan Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw, telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi. Dalam kaitan dengan pemberian zakat yang bersifat produktif, terdapat pendapat yang menarik sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf al Qaradhawi dalam fiqih zakat bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan- perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntunganya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Peganti pemerintah, pengelola zakat bisa juga dilakukan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang kaut, amanah dan profesional. BAZ ( badan amil zakat ) atau LAZ, jika memberikan zakat yang bersifat produktif harus pula melakukan pembinaan atau pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan ushanya dapat berjalan dengan baik, dan agar para mustahik semakin meningkat kualitas keimanan dan keIslamanya.25

Hingga saat ini, tidak terdapat keseragaman dalam pengelolaan dan penyaluran zakat diberbagi negara. Masing-masing negara memiliki model pengelolaan dan distribusi zakat yang berbeda-beda. Untuk negara-negara yang menganut prinsip syariah seperti Arab Saudi, Iran, Kuwait maka pengelolaan zakat dilakukan oleh negara. Disebagian negara yang berpenduduk mayoritas muslim

24 Nurul Huda Dkk, Keuangan Publik Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm 173-179.

25 Nurul Huda Dkk, Keuangan Publik Islam, hlm 180.

(27)

namun tidak melandaskan aturan syariah dalam pemerintahan, maka pengelolaan zakat dilakukan oleh pihak swasta atau badan yang ditunjuk oleh negara.

a. Pengeluaran zakat di Indonesia

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, yaitu berdasarkan data tahun 2004 adalah sebesar 210 juta dari 1.254 miliar jiwa dari seluruh penduduk Islam dunia, indonesia menempatkan hukum Islam sebagai salah satu hukum yang hidup berdampingan dimasyarakat di samping hukum nasional dan hukum adat.

Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dianggap mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat beragama. Selain itu, hukum Islam juga dapat menciptakan suatu masyarakat egalitarian tanpa adanya eksploitasi manusia berdasarkan suku, ras, bahasa, agama, dan golongan. Dalam mewujudkan dan menciptakan hal tersebut tidak dengan menerapkan hukum Islam secara mutlak tetapi dengan cara yang lebih optimal dan efesien, yaitu melalui penyerapan nilai- nilai moral positif yang terkandung dalam hukum Islam yang diimplementasikan melalui hukum positif nasional Republik Indonesia.

Dalam mengimplementasikan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat penduduk Indonesia, pemerintah Indonesia juga menyadari akan pentingnya peranan serta fungsi zakat dalam kehidupan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat indonesia demi mewujudkan kesejahtraan sosial dalam setiap lapisan masyarakat, oleh karena itu disahkan pengelolaa zakat yang diatur dalam UUD no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat serta peraturan pelaksanaannya sesuai keputusan menteri agama RI No 581 Tahun 1999. Sesuai perundang-undangan tersebut maka pemerintah wajib memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada para muzaki, mustahik dan amil zakat.26

Undang-undang no 38 Tahun 1999 terdapat beberapa persoalan-persoalan yang justru menghambat terciptanya pemerataan dan kesejahteraan, maka oleh karena itu negara mengatur kembali mngenai pengelolaan zakat yaitu dengan disahkan dan di undangkan nya Undang-undang No 23 Tahun 2011. Dengan

26 Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm 410-411.

(28)

adanya perubahan undang-undang yang baru tentang pengelolaan zakat ada beberapa hal yang wajib digaris bawahi antara lain:

1) Bahwa pengelolaan zakat di Indonesia meliputi tiga aspek yang antara lain:

proses perencanaan, pelaksanaan dan pengkoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

2) Bahwa pengelolaan zakat di Indonesia dlaksanakan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut BAZNAS dapat membentuk LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan UPZ (Unit Pengumpul Zakat) demi memepermudah dan memperlancar pelaksanaaan pengelolaan zakat tersebut.

3) Bahwa pengelolaan zakat di Indoensia zakat di Indonesia memiliki asas-asas yang antara lain syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas.

4) Pengelolaan zakat dalam Undang-undang Zakat yang baru bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat serta mneningkatnkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyrakat dan penanggulangan kemiskinan. Hal ini sesuai dengan maqasid syariah dari zakat itu sendiri, yaitu untuk mengetaskan kemiskinan dan sebagai pendorong kesejahteraan secara sosial dan ekonomi.

5) Jenis zakat yang dikelola berdasarkan undang-undang pengelolaan zakat ini adalah zakat mal dan zakat fitrah, hal ini sebagaimana yang daitur dalam Pasal 4 ayat 1.

6) Dalam praktiknya BAZ dan LAZ tidak hanya mengelola zakat saja namun juga dapat menerima infaq dari pihak ketiga.

7) BAZNAS dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta hak amil, begitu pula dengan BAZNAS di kabupaten atau kota yang dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah dan hak amil. Sementara itu LAZ dapat menggunakan hak amil untuk membiayai segala kegiatannya.

8) Pengawasan BAZNAS dilakukan oleh Menteri Agama.

(29)

9) Dalam undang-undang pengelolaan zakat yang baru ada penambahan sanksi, administrasi dan ada perubahan terhadap ketentuan sanksi pidana, sehingga ancaman piadana dalam undang-undang pengelolaan zakat yan baru ini menjadi lebih berat dari ketentuab sebelumnya.27

Demikianlah perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia dalam pengelolaan zakat oleh pemerintah, dengan disahkanya Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, perubahan-perubahan tersebut diharapkan dapat memaksimalkan peranan serta fungsi zakat di Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara umat Muslim Indonesia khususnya dan seluruh rakyat Indonesia umumnya.

Sesuai dengan maqoshid al syariah dari zakat tersebut, yaitu untuk mengentaskan kemiskinan maka peran dan fungsi dari zakat sekarang ini untuk mewujudkan kesejahtraan secara sosial dan ekonomi adalah suatu cita-cita hukum yang hendak dicapai dengan adanya Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, dalam undang-undang tersebut telah diatur dengan jelas bahwa pada hakekatnya pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pemerintah meliputi tiga aspek penting yaitu: pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan.

Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat yang telah diatur dalam keputusan menteri yaitu:

1) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahik dilakukan berdasarkan peryaratan sebagai berikut:

a) Hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahik 8 asnaf, yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharimin, shabilillah dan ibnu shabil.

b) Mendahullukan orang-orang yang tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.

c) Mendahulukan mustahik dalam wilayah masiang-masing.

2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif dialkukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:

27 Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm 412.

(30)

a) Apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud dalam poin 1 sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapata kelebihan, maka dapat disalurkan untuk pengusaha yang kekurangan modal.

b) Terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan.

c) Mendapat persetujuan tertulis dari dewan pertimbangan.

Prosedur pendayagunaan zakat yang disalurkan untuk usaha produktif ditetapkan sebagai berikut:

Melakukan studi kelayakan mustahik 1) Menetapkan jenis uusaha produktif 2) Melakukan bimbingan dan penyuluhan

3) Melakukan pemantuan, pengendalian dan pengawasan.

4) Mengadakan evaluasi 5) Membuat pelaporan b. Pengeluaran zakat diluar negri

1) Pengeluaran zakat di Malaysia.

BM (baitul mal) merupan lembaga yang dimiliki oleh pemerintah Malaysia dimana zakat yang diterima pusat pungutan zakat dari 14 negeri bagian disetorksn kepada BM. Pemerintah mengizinkan PPZ (pusat pungutan zakat) untuk mengambil 1/8 zakat yang diterimanya untuk membayar gaji para pegawai PPZ. Namun operasionalnya dan gaji pegawai baitul mal dibiayai oleh negara dan zakat yang dikumpulkan di BM keseluruhannya adalah untuk kesejahteraab mustahik. Bila pengumpulan zakat di Indonesia pada tahun 2006 adalah Rp 800 Miliar (0,045 persen dari total PDB), maka Malaysia mencapa RM 600 ringgit atau Rp 1,5 triliun atau sekitar 0,16 persen dari total PDB (produk domestik bruto).

2) pengeluaran zakat di brunei.

Brunei Darussalam merupakan negeri tetangga terdekat Indonesi yanng memiliki tingkat kemakmuran yang sangat tinggi. Tidak ada kemiskinan absolut dalam negara tersebut, yang ada hanyalah kemiskinan relatif. Apabila kita melihat tuntunan (guidelines) dari MUBIB dalam pemberian zakat bagi fakir dam miskin Brunei Darusslam maka standar kehidupan bagi kebutuhan

Referensi

Dokumen terkait

1.2 Hal-hal yang diperlukan dalam penilaian dan kondisi yang berpengaruh atas tercapainya kompetensi ini adalah tempat uji yang mempresentasikan tempat kerja,

a) Menambah variabel usia pendaftar, nilai akreditasi sekolah asal dan jarak rumah calon peserta didik ke sekolah yang digunakan sebagai acuan dalam seleksi PSB

Lembaga Amil Zakat atau Basnas, maka pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat akan lebih optimal dan rasa membantu pada anggota masyarakat dengan muzaki (wajib

lagi dan tidak ditemukan mustahiq yang berhak menerima di daerah tersebut, maka diperbolehkan zakat didistribusikan ke luar daerah, baik dengan menyerahkan

digunakan untuk mengumpan jarak jauh (long passing). Analisis gerak menendang dengan punggung kaki dalah sebagai berikut: posisi badan berada dibelakang bola

Struktur finansiel adalah susunan seluruh sumber dana perusahaan Struktur finansiel adalah susunan seluruh sumber dana perusahaan ( jangka pendek dan jangka panjang ) yang

= 0,3046). Demikian pula, jumlah tenaga kerja memberikan pengaruh negatif sesuai dengan yang diharapkan, namun tidak cukup nyata berpengaruh. Rata-rata jumlah tenaga kerja

Warna dasar yang digunakan untuk motif ini adalah eggplant, reddish purple, magenta dengan warna motif sky blue, pink, cream, dan camel yang dibuat dari pewarna alami