• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA. Dalam penelitian ini, tahapan analisis yang dilakukan adalah:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V ANALISIS DATA. Dalam penelitian ini, tahapan analisis yang dilakukan adalah:"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

62

BAB V ANALISIS DATA

V.1. Pendahuluan

Berdasarkan data yang diperoleh dari data sekunder (data dari feasibility study jalan tol Solo – Kertosono) dan data primer yang berupa pendapat dari responden, kemudian dilakukan analisis lanjutan yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Dalam penelitian ini, tahapan analisis yang dilakukan adalah:

1. Deskripsi masing – masing alternatif kebijakan usulan responden, yang kemudian disaring alternatif yang akan digunakan dalam simulasi adalah alternatif kebijakan yang digunakan dalam perhitungan analisis kelayakan finansial pada saat awal investasi.

2. Simulasi pelaksanaan PPPs terhadap masing – masing skenario yang sudah ditetapkan pada tahap 1 dengan analisis kelayakan finansial, yaitu melakukan perhitungan BCR (Benefit Cost Ratio), NPV (Net Present Value) dan IRR (Internal Rate of Return). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan bentuk pelaksanaan PPPs yang paling sesuai dengan kondisi jalan tol Solo – Kertosono, serta dukungan pemerintah yang dapat diterapkan agar jalan tol tersebut menarik investor.

Pada sub bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai analisis lanjutan tersebut.

V. 2. Analisis Berdasarkan Faktor Risiko

Dari hasil survey primer terhadap responden, didapat empat risiko pembangunan infrastruktur jalan tol, yaitu sebagai berikut:

1. Risiko Pembebasan lahan 2. Risiko Konstruksi

(2)

63

3. Risiko Biaya uang (cost of money) 4. Risiko Volume Lalulintas

Implementasi risiko – risiko tersebut pada studi kasus, dijelaskan pada sub bab – sub bab berikut ini.

V. 2. 1 Risiko Pembebasan Lahan

Alternatif kebijakan risiko pembebasan lahan dari hasil survei adalah:

• Land Capping

• Harus ditegaskan oleh pemerintah dalam PPJT, kapan lahan akan dibebaskan.

• Penerapan secara efektif Undang-Undang Pencabutan Hak Atas Tanah Permasalahan yang umumnya muncul dari risiko pembebasan lahan adalah:

• Permasalahan mengenai kepastian biaya pembebasan lahan, permasalahan ini sangat sering muncul dalam proyek Infrastruktur, biaya awal pembebasan lahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan membengkak pada saat pembebasan lahan dilakukan.

• Permasalahan mengenai waktu tersedianya lahan, permasalahan ini muncul dikarenakan sulitnya mencapai kesepakatan harga pembebasan lahan. Pemilik tanah umumnya meminta harga di atas harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sehingga menghambat proses pembebasan lahan.

Responden diminta untuk memberikan masukan alternatif kebijakan yang mungkin dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan – permasalahan tersebut.

 Land Capping, Filosofi dasar dari land capping ini adalah pembagian risiko yang adil antara Pemerintah dan swasta (investor), yang bertujuan untuk memberikan kepastian investasi atau beban biaya tanah yang harus ditanggung investor. Dalam konsep dukungan ini, Pemerintah akan menanggung perubahan harga tanah di atas 110%

dari nilai yang disepakati dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) (Permen PU No. 12 Tahun 2008), yaitu pemerintah

(3)

64

menetapkan besaran biaya pembebasan lahan dalam suatu proyek infrastruktur jalan tol, jika pada saat pembebasan lahan dilakukan ternyata besaran biayanya melebihi apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka kelebihan biaya yang terjadi 10% ditanggung oleh pihak investor dan sisanya akan ditanggung oleh pemerintah.

Kebijakan ini menunjukkan seriusnya komitmen pemerintah untuk mendorong tumbuh kembangnya investasi jalan tol. Alternatif kebijakan ini berbentuk jaminan yang diberikan oleh pemerintah kepada investor, dan tidak terkait dengan cashflow sehingga tidak digunakan dalam simulasi.

 Harus ditegaskan oleh pemerintah dalam PPJT (Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol) kapan lahan akan dibebaskan. Dalam PPJT, apabila pembebasan lahan dilakukan oleh pemerintah, maka pemerintah harus dapat memberikan kepastian mengenai waktu selesainya proses pembebesan tanah, agar tidak terjadi keterlambatan pembangunan jalan tol. Karena alternatif kebijakan ini tidak terkait dengan perhitungan análisis kelayakan pada saat investasi maka tidak digunakan dalam simulasi skenario.

 Penerapan secara efektif Undang-Undang Pencabutan Hak Atas Tanah. Karena alternatif kebijakan ini tidak terkait dengan perhitungan análisis kelayakan pada saat investasi, maka tidak digunakan dalam simulasi skenario.

V. 2. 2 Risiko Konstruksi

Alternatif Kebijakan Risiko Konstruksi dari hasil survei adalah:

• Recalculate cost sebelum inplementasi konstruksi

• Sosialisasi/public relationship (PR)

• Dibangun setelah lahan bebas

Permasalahan yang umumnya muncul dari risiko konstruksi adalah:

(4)

65

• Permasalahan mengenai kepastian waktu pelaksanaan konstruksi, permasalahan ini pada umumnya muncul diakibatkan dari proses pembebasan lahan yang berlarut – larut, sehingga jadual pelaksanaan konstruksi pembangunan jalan tol juga ikut mengalami keterlambatan.

• Permasalahan mengenai kepastian biaya konstruksi

Dari tiap detail permasalahan yang ada, responden diminta untuk memberikan masukan berupa alternatif kebijakan yang mungkin dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan – permasalahan tersebut.

 Recalculate cost sebelum implementasi konstruksi, hendaknya sebelum proses konstruksi dilaksanakan, investor melakukan perhitungan kembali biaya konstruksi. Alternatif kebijakan ini tidak digunakan dalam simulasi pelaksanaan PPPs, karena sepenuhnya dilaksanakan oleh investor sebelum kontrak.

 Sosialisasi/public relation (PR), pemerintah perlu melakukan proses sosialisasi kepada masyarakat sekitar rencana jalan tol, mengenai rencana ruas jalan yang akan dibangun, kepentingan dibangunnya ruas jalan tol tersebut dan mengenai proses pembebasan lahan yang akan dilakukan, hal ini untuk menghindari terjadinya protes dari masyarakat ketika proses konstruksi sedang berlangsung. Alternatif kebijakan ini tidak digunakan dalam simulasi pelaksanaan PPPs karena bersifat sosialisasi dan tidak terkait dengan perhitungan analisis kelayakan finansial.

 Dibangun setelah lahan bebas, hal ini akan mengurangi risiko konstruksi terkait dengan permasalahan waktu konstruksi. Dengan telah bebasnya tanah di seluruh ruas yang ditentukan maka pembangunan akan berjalan lancar. Karena hal ini tidak terkait dengan perhitungan kelayakan finansial dari maka tidak diperhitungkan dalam simulasi.

(5)

66

V. 2. 3 Risiko Biaya Uang (Cost of Money)

Alternatif Kebijakan Risiko Konstruksi dari hasil survei adalah:

• Hedge/fixed rate

• Perlu goverment guarantee agar besar bunga kecil

• Perlu tenor pinjaman yang lebih panjang

• Pemerintah melalui Indonesia Infrastructure Fund Facility (IIFF) akan membantu pembiayaan infrastruktur

Permasalahan yang umumnya muncul dari risiko biaya uang (cost of money) adalah:

• Permasalahan mengenai besarnya bunga pinjaman yang harus dibayarkan oleh investor.

• Permasalahan mengenai kapan bunga tersebut mulai dibayar.

Untuk risiko biaya uang (cost of money), alternatif kebijakan yang diusulkan oleh responden adalah sebagai berikut:

 Hedge/fixed rate yaitu bunga pinjaman flat selama tenor pinjaman, hal ini tergantung pada negosiasi antara investor dengan bank.

 Perlu goverment guarantee agar besar bunga kecil, mengenai besar bunga pinjaman adalah kebijakan sektor perbankan, sehingga hal ini terkait dengan negosiasi, alternatif kebijakan ini tidak digunakan dalam simulasi pelaksanaan PPPs.

 Perlu tenor pinjaman yang lebih panjang setidaknya sampai payback period tercapai. Mengenai tenor pinjaman investor terhadap bank, perlu negosiasi antara pihak bank dan investor, sehingga alternatif ini tidak dapat digunakan dalam simulasi.

 Risiko mengenai besar bunga yang harus dibayar oleh investor merupakan risiko investor, hal tersebut seharusnya telah diperhitungkan sebelum badan usaha mengajukan penawaran.

(6)

67

Dalam risiko biaya uang (cost of money), alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh responden sangat tergantung kepada negosiasi antara bank dengan investor, serta tidak terrkait dengan perhitungan analisis kelayakan finansial, sehingga tidak digunakan dalam simulasi kebijakan.

V. 2. 4 Risiko Volume Lalulintas

Alternatif Kebijakan Risiko volume lalulintas dari hasil survei adalah:

• Kepastian implementasi pembangunan jaringan jalan.

• Traffic guarantee. Jika berdasarkan studi kelayakan, volume lalu lintas jalan tol tersebut memang baik, maka pemerintah dapat memberikan dukungan Pemerintah atas risiko demand tersebut

• Kejelasan masterplan jaringan jalan

• Pemerintah harus membantu memberikan akses dan tidak membangun jalan kompetitor,

Permasalahan yang umumnya muncul dari risiko volume lalu lintas adalah:

• Risiko volume lalulintas yang terkait dengan ruas jalan tol lain. Dalam pengoperasian jalan tol, pendapatan yang diperoleh oleh investor sangat tergantung dengan volume lalulintas yang melalui tol yang dibangun tersebut, dan volume lalulintas tersebut dipengaruhi oleh jaringan jalan tol lain yang terkait dengan jalan tol yang dibangun.

• Akses dan jalan alternatif, volume lalulintas jalan tol selain terkait dengan jaringan jalan tol yang terkait dengan jalan tol yang dibangun, juga dipengaruhi oleh jalan akses dan jalan alternatif yang dapat menjadi feeder jalan tol

• Volume lalulintas yang tidak sesuai dengan prediksi, seringkali hasil prediksi volume lalulintas pada studi kelayakan tidak sesuai dengan volume lalulintas yang sebenarnya, hal ini mengakibatkan kerugian pada pihak investor.

Untuk risiko volume lalulintas, alternatif kebijakan yang diusulkan oleh responden adalah sebagai berikut:

(7)

68

 Kepastian implementasi perkembangan jaringan jalan. Pemerintah harus dapat memberikan kepastian mengenai pembangunan jaringan jalan disekitar rencana proyek jalan tol, sehingga volume lalulintas yang telah diprediksi yang terkait dengan ruas jalan tol lain dapat terwujud. Alternatif kebijakan ini tidak terkait dengan investasi, sehingga tidak digunakan dalam simulasi pelaksanaan PPP.

 Traffict guarantee, yaitu jaminan volume lalulintas oleh pemerintah.

Jika berdasarkan studi kelayakan, volume lalu lintas jalan tol tersebut memang baik, maka pemerintah dapat memberikan dukungan Pemerintah atas risiko demand tersebut. Dukungan pemerintah yang dimaksud adalah traffic guarantee yang diwujudkan dalam minimum revenue guarantee. Alternatif kebijakan minimum revenue guarantee tidak digunakan dalam simulasi pelaksanaan PPPs, karena hanya bersifat jaminan dari pemerintah.

 Kejelasan rencana induk pembangungan jaringan jalan.

 Pemerintah harus membantu memberikan akses dan tidak memberikan jalan kompetitor, diluar perencanaan pembangunan infrastruktur daerah yang ditetapkan saat pelelangan. Karena menghitung lalulintas saat lelang berdasarkan planning pemerintah ke depan (yaitu 5 thn sampai dengan 20thn).

Untuk alternatif kebijakan pada risiko volume lalulintas yang terkait dengan ruas jalan tol lain dan jaringan jalan tidak digunakan dalam simulasi, karena tidak diperhitungankan dalam analisis kelayakan finansial. Sedangkan untuk traffic guarantee, karena berwujud sebagai jaminan dari pemerintah saja maka tidak digunakan dalam simulasi.

(8)

69

V. 3 Analsisi Dukungan Pemerintah Untuk Pembangunan Jalan Tol

Dari hasil survey primer terhadap responden, didapat empat bentuk dukungan pemerintah yang dapat diberikan pada pembangunan infrastruktur jalan tol, yaitu sebagai berikut:

1. Dukungan pembebasan lahan 2. Dukungan subsidi modal

3. Dukungan minimum revenue guarantee 4. Dukungan pembebasan pajak

Implementasi bentuk – bentuk dukungan pemerintah tersebut pada studi kasus, dijelaskan pada sub bab – sub bab berikut ini.

V.3.1 Dukungan Pembebasan Lahan

Alternatif Kebijakan dukungan pembebasan lahan dari hasil survei adalah:

• Pembebasan lahan oleh pemerintah sebelum lelang

• Revolving fund (BLU dana tanah bergulir)

Masing – masing bentuk dukungan pemerintah yang diusulkan oleh responden dijelaskan sebagai berikut:

 Pembebasan lahan dilakukan oleh pemerintah. Agar proyek infrastruktur jalan tol menjadi layak secara finansial, maka pemerintah dapat melakukan pembebasan lahan seluruhnya sebelum dilaksanakan lelang proyek tersebut, hal ini dapat dilaksanakan juga untuk mengatasi permasalahan mundurnya waktu pembangunan atau konstruksi yang diakibatkan dari tidak jelasnya masalah pembebasan lahan.

 Revolving Fund (Dana Tanah Bergulir) yang dikelola BLU (Badan Layanan Umum), yaitu pemerintah memberikan bantuan pinjaman kepada investor berupa dana talangan untuk biaya pembebasan lahan. Revolving fund dapat membantu investor pada tahap awal investasi. Dengan model ’prepaid’ ini, dana talangan harus dikembalikan kepada Pemerintah setelah tanah satu seksi

(9)

70

dari ruas jalan tol bersangkutan selesai dibebaskan ditambah bunga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditambah 1% (KPS, Oktober 2008). Alternatif kebijakan ini dapat diterapkan oleh pemerintah.

Alternatif kebijakan yang digunakan dalam simulasi adalah Pembebasan lahan oleh pemerintah dan revolving fund.

V.3.2 Dukungan Subsidi Modal

Proyek infrastruktur jalan tol adalah proyek yang membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga modal investor terkadang tidak mencukupi untuk mengikuti lelang, sehingga pemerintah dapat memberikan dukungan berupa subsidi modal.

Alternatif Kebijakan dukungan subsidi modal dari hasil survei adalah:

• Upfront subsidy/cash money

• Pembangunan sebagian oleh Pemerintah

• Investasi Pemerintah sesuai Peraturan Pemerintah 1/2008

Masing – masing bentuk dukungan pemerintah yang diusulkan oleh responden dijelaskan sebagai berikut:

 Upfront subsidy. Pemerintah memberikan dukungan pembayaran tunai di muka sebagai subsidi pembangunan jalan tol kepada investor.

 Pembangunan sebagian oleh Pemerintah. Dukungan ini dapat diberikan agar proyek layak secara finansial, pemerintah melakukan sebagian proses konstruksi sesuai dengan perjanjian antara pemerintah dan investor.

 Investasi pemerintah sesuai dengan PP 1/2008. Dalam Peraturan Pemerintah no 1 tahun 2008 telah dijelaskan bagaimana investasi oleh pemerintah secara detail. Terkait dengan pelaksanaan PPPs, investasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain adalah melalui BLU dana bergulir dan pembangunan oleh pemerintah.

(10)

71

Alternatif kebijakan yang digunakan dalam simulasi adalah upfront subsidy dan Pembangunan sebagian oleh Pemerintah.

V.3.3 Dukungan Minimum Revenue Guarantee

Dukungan pemerintah yang berupa minimunn revenue guarantee, diterapkan untuk memberikan kepastian pendapatan kepada investor, terkait dengan volume lalulintas pada jalan tol yang akan dibangun.

Alternatif Kebijakan dukungan minimum revenue guarantee dari hasil survei adalah:

• Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006/clawback principle

• Dengan pemasangan alat deteksi lalulintas disetiap gerbang tol

Masing – masing bentuk dukungan pemerintah yang diusulkan oleh responden dijelaskan sebagai berikut:

 Pemerintah menanggung sejumlah pendapatan tol tertentu. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 38/2006, pemerintah dapat memberikan dukungan Pemerintah terhadap demand, yang berdampak langsung pada minimum revenue guarantee.

 Dengan pemasangan alat deteksi lalulintas disetiap gerbang tol untuk mengetahui volume lalulintas pada jalan tol terkait. Alternatif kebijakan ini bersifat teknis.

Alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh responden yang berupa Minimum revenue guarantee tidak digunakan dalam simulasi, karena kebijakan ini bersifat menjamin dan tidak mempengaruhi cashflow. Sedangkan untuk alternatif kedua yaitu pemasangan alat deteksi lalulintas bersifat teknis maka juga tidak disertakan dalam simulasi.

(11)

72

V.3.4 Dukungan Berupa Pembebasan Pajak

Salah satu kewajiban investor kepada negara adalah dengan membayar pajak, sehingga pemerintah bisa memberikan dukungan kepada investor dalam proyek infrastruktur jalan tol dengan memberikan pembebasan pajak.

Alternatif Kebijakan dukungan berupa pembebasan pajak dari hasil survei adalah:

• Pengurangan tarif pajak (meskipun tidak sampai dengan 100%).

Masing – masing bentuk dukungan pemerintah yang diusulkan oleh responden dijelaskan sebagai berikut:

 Pengurangan tarif pajak, pembebasan pajak tentunya tidak mungkin dilaksanakan mengingat pajak adalah kewajiban setiap individu/ warga negara, tetapi pengurangan tarif pajak (meskipun tidak sampai dengan 100%), pemerintah dapat melaksanakannya tetapi dengan seijin Menteri Keuangan.

Alternatif kebijakan yang digunakan dalam simulasi adalah pengurangan tarif pajak.

V. 3. 5 Alternatif Kebijakan Dalam Pemberian Dukungan Pemerintah

Alternatif kebijakan hasil survey dalam pemberian dukungan pemerintah yang dapat digunakan untuk simulasi adalah:

Tabel V.1 Alternatif Kebijakan Dukungan Pemerintah Yang Digunakan Dalam Simulasi

Item Alternatif Kebijakan

Pembebasan Lahan Revolving fund dengan BLU dana tanah bergulir Pembebasan lahan oleh pemerintah

Subsidi Modal Upfront Subsidy

Sebagian ruas jalan dibangun oleh Pemerintah Pembebasan Pajak Pengurangan tarif pajak

Dari alternatif kebijakan dalam hal dukungan Pemerintah yang diusulkan sesuai dengan Tabel V.1 tersebut, dilakukan simulasi pelaksanaan PPPs untuk masing – masing alternatif dengan menggunakan perhitungan kelayakan finansial, kemudian

(12)

73

dari nilai BCR, NPV dan IRR yang dihasilkan dari analisis kelayakan finansial tersebut akan diketahui alternatif kebijakan yang sesuai dengan jalan tol Solo – Kertosono.

V.4 Analisis Tentang Pilihan Pembagian Pendapatan

Dari jajak pendapat dengan para responden, didapatkan hasil bahwa pendapatan tol adalah hak investor sepenuhnya selama masa konsesi, apabila tidak ada dukungan pemerintah terhadap proyek jalan tol tersebuk. Terkait dengan pelaksanaan PPPs, apabila ternyata penerimaan yang diterima oleh investor melebihi penerimaan yang telah disepakati, maka akan dilakukan pembagian keuntungan antara pemerintah – investor, dan hal ini diatur dalam PPJT (clawback principle). Konsep Clawback Principle adalah bahwa pemerintah memberikan jaminan mengenai jumlah pendapatan yang akan diperoleh investor dari jalan tol tersebut, apabila ternyata jumlah pendapatan yang diperolah investor lebih kecil dari yang telah dijamin oleh pemerintah maka pemerintah akan memberikan kompensasi finansial kepada investor, akan tetapi apabila jumlah pendapatan lebih besar daripada yang telah dijamin oleh pemerintah, maka pemerintah akan mendapatkan manfaat finansial dari penerimaan tersebut.

Clawback principle tidak digunakan dalam simulasi karena tidak terkait dengan cashflow.

V. 5 Simulasi Pelaksanaan PPPs Jalan Tol Solo - Kertosono Pada simulasi pelaksanaan PPPs ini, data yang digunakan adalah berupa:

1. Data primer hasil survey.

2. Data sekunder dari feasibility study jalan tol Solo – Kertosono yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (2006) dan The Study On Public Private Partnership for Trans Java Toll Road in The Republic Of Indonesia oleh JICA(2007).

Dalam perhitungan simulasi penelitian ini, diasumsikan pemerintah mengeluarkan sunk cost, agar proyek layak secara finansial. Sunk cost merupakan biaya investasi

(13)

74

yang hilang sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan kelayakan finansial dari proyek publik. Pemberian sunk cost berupa pendanaan awal, dianggap lebih menguntungkan dibandingkan pemerintah harus menanggung seluruh biaya investasi pada ruas tol yang tidak menguntungkan secara finansial.

Untuk simulasi pelaksanaan PPPs ini, dilakukan perhitungan nilai kelayakan finansial untuk masing – masing skenario yang diusulkan oleh para responden untuk mendapatkan nilai benerfit – cost ratio (BCR), net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR). Dari nilai – nilai tersebut diketahui skenario yang memiliki nilai IRR yang paling tinggi, yang dianggap sebagai alternatif kebijakan yang sesuai dengan pelaksanaan PPPs di tol Solo – Kertosono. Nilai BCR, NPV dan IRR didapatkan dengan menggunakan rumus berikut:

0

0

(1 )

(1 )

n t

t t

n t

t t

B BCR r

C r

=

=

= +

+

……….…(V.1)

0 (1 )

n

b t

t t

B C

NPV = r

=

+ ……….…(V.2)

IRR = rate of return (tingkat suku bunga) yang memenuhi kondisi berikut:

0

(1 ) 0

n

t t

t t

B C

= r

=

+ ...(V.3) Keterangan :

B : Benefit/keuntungan, didapat dari perhitungan pendapatan/revenue C : Cost/biaya, total investasi

R : Ratio

Sebelum dilakukan perhitungan nilai kelayakan finansial, maka dilakukan perhitungan revenue (pendapatan) dan cost (biaya). Besarnya biaya investasi (cost) diambil dari hasil studi kelayakan oleh Ditjen Bina Marga Dept. Pekerjaan Umum tahun 2006 yang meliputi biaya pembebasan lahan, detailed engineering design

(14)

75

(DED), konstruksi, peralatan tol, supervisi, eskalasi, kontingensi, PPN 10%, overhead, financial cost dan IDC (Interest During Construction).

Dalam analisis kelayakan finansial, biaya investasi proyek jalan tol Solo – Kertosono yang digunakan dapat dilihat pada Tabel V. 2

Tabel V.2 Biaya Investasi Jalan Tol Solo – Kertosono

Solo – Ngawi Ngawi – Kertosono

TOTAL Rp. 4.438,63 M Rp. 3.609,51 M

Besarnya revenue (pendapatan) dihitung dengan menggunakan asumsi – asumsi.

Sebelumnya dilakukan perhitungan penetapan tarif, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan pendapatan.

Dalam analisis biaya – manfaat harus diperhatikan batasan atau asumsi yang dipergunakan, sehingga dasar perhitungan yang dipergunakan dapat dibenarkan.

Asumsi analisis finansial yang digunakan dalam perhitungan kelayakan finansial pembangunan jalan tol Solo - Kertosono adalah sebagai berikut (Studi kelayakan jalan tol Solo – Kertosono, Ditjen Bina Marga, Dept. Pekerjaan Umum, 2006):

• Tahun dasar operasi : 2010

• Masa konsesi : 35 tahun

• Tingkat harga : 2006

• Pertumbuhan Lalin : 7%

• Discount rate : 13%

• Perkiraan inflasi : 7%

• Biaya desain : 1% dari biaya konstruksi

• Biaya supervisi : 1% dari biaya konstruksi

• Biaya peralatan tol : 1% dari biaya konstruksi

• Biaya overhead : 2% dari biaya konstruksi

• Biaya tak terduga : 5% dari biaya konstruksi

• Financial cost (provisi dan Komitmen) : 1.25% dari biaya konstruksi

(15)

76

• IDC (interest during construction) : 14% dari keseluruhan biaya

• Revenue dihitung dengan menggunakan 5 Golongan (didapatkan dari data traffic counting)

V.5.1 Penetapan Tarif Awal

Penentuan tarif awal pada ruas – ruas Solo – Mantingan, Mantingan – Ngawi dan Ngawi – Kertosono dilakukan satu nilai tarif tol. Hal ini didasarkan pada karakteristik sosial – ekonomi pada wilayah – wilayah yang dilalui oleh ruas – ruas jalan tol tersebut memiliki persamaan sehingga akan lebih baik menetapkan tarif awal yang sama pada ruas – ruas jalan tol yang saling berhubungan ini. Untuk itu, penentuan tarif awal pada ruas – ruas ini merupakan hasil analisa dari usulan tarif tol rata – rata ruas tersebut.

Perhitungan tarif awal dilakukan dengan menyesuaikan tarif tahun 2005 (hasil Studi Kelayakan Jalan Tol Solo – Kertosono oleh Dirjen Bina Marga, 2006) menjadi tarif tahun 2009 dengan eskalasi inflasi 7%. Secara ringkas dapat dilihat pada Tabel V.3

Tabel V.3 Tarif Tol yang Diadopsi

Ruas Tarif Th. 2005 Tarif Th. 2010

Solo – Mantingan 357 500.711

Mantingan – Ngawi 339 475.465

Ngawi – Kertosono 339 475.465

Tarif Awal Rata – rata 483.8803

Berdasarkan perhitungan rata – rata didapat nilai tarif awal di tahun 2010 untuk golongan 1 adalah Rp. 484. Dipertimbangkan tarif awal Rp. 500/km.

V.5.2 Estimasi Pendapatan Tol

(16)

77

A. Penyesuaian Pendapatan Tol

Kenaikan tarif tol diasumsikan terjadi per 2 tahun. Evaluasi dan penyesuaian tarif diusulkan mengikuti laju inflasi 7% yang diterapkan untuk seluruh tahun perhitungan.

B. Sistem Operasi Jalan Tol

Tarif yang diterapkan pada system operasi ini adalah tarif distance proportional, yaitu tarif dasar dengan pendekatan berdasarkan tarif rata – rata tertimbang pada ruas jalan tol eksisting tersebut. Tarif dasar rata – rata tertimbang didapat dari rata – rata tarif per jarak (Rp/km) setiap asal tujuan pada cabang jalan tol tersebut.

Pendapatan ruas jalan tol dengan sistem operasi tertutup, dihitung berdasarkan volume lalulintas cross sectional dikalikan panjang perjalanan yang ditempuh dikalikan tarif tol per-kilometer, atau secara rumus adalah:

Pendapatan system tertutup = kendaraan-km x tarif (Rp./km)…(V.4)

C. Estimasi Pendapatan Tol

Volume lalulintas jalan tol Solo – Kertosono untuk masing – masing ruas adalah:

Solo – Ngawi Ngawi – Kertosono

Lalulintas awal 7.725 kend/hari (2010) 9.320 kend/hari (2010)

Pada perhitungan estimasi pendapatan tol/revenue, digunakan 5 penggolongan kendaraan berdasarkan hasil survey traffic count yang dilakukan pada feasibility study Bina Marga (2006) serta tingkat pertumbuhan lalulintas sebesar 8,5%.

Berikut adalah prosentase penggolongan kendaraan:

• Golongan 1: 72.54%

• Golongan 2: 20.48%

• Golongan 3: 3.70%

• Golongan 4: 3.28%

• Golongan 5: 0%

(17)

78

Berdasarkan volume lalulintas dan asumsi tarif seperti disebutkan diatas, maka dapat dihitung estimasi pendapatan Jalan Tol. Tabel V.4 menunjukkan volume lalulintas pertahun dan hasil perhitungan revenue/pendapatan untuk ruas jalan tol Solo - Ngawi, Tabel V.5 menunjukkan volume lalulintas pertahun dan hasil perhitungan revenue/pendapatan untuk ruas jalan tol Ngawi – Kertosono. Perhitungan cashflow untuk ruas Solo – Ngawi tanpa skenario tersaji pada Tabel V.6, sedangkan perhitungan cashflow untuk ruas Ngawi – Kertosono tanpa skenario tersaji pada Tabel V.7.

Kemudian sebagai dasar perbandingannya, maka dihitung analisis kelayakan jalan tol Solo – Kertosono dengan analisis finansial, yang mana hasil perhitungannya dirangkum pada Tabel V.8 berikut:

Tabel V.8 Tol Solo – Kertosono Tanpa Dukungan Pemerintah

Ruas Panjang

(km)

Biaya Investasi

Total (Rp. M)

LHR IRR on Project

Tarif (2010) (Rp/km)

Solo – Ngawi 90.10 4,438.63 7,725 13.60% 500

Ngawi – Kertosono 87.02 3,609.51 9,320 14.17% 500

Setelah dilakukan perhitungan revenue, dilanjutkan dengan analisis kelayakan finansial berdasarkan skenario alternatif kebijakan, masing – masing perhitungan tersebut dijelaskan secara detail pada sub bab berikutnya.

(18)

79

Tabel V.4 Perhitungan Revenue Jalan Tol Solo – Ngawi

TAHUN LHR Golongan 1 Golongan 2 Golongan 3 Golongan IV Golongan V TOTAL 2010 7725 92,143,286,673.75 39,021,805,440.00 9,399,783,862.50 10,415,976,712.50 - 150,980,852,688.75 2011 8382 101,357,615,341.13 42,923,985,984.00 10,339,762,248.75 11,457,574,383.75 - 166,078,937,957.63 2012 9094 111,493,376,875.24 47,216,384,582.40 11,373,738,473.63 12,603,331,822.13 - 182,686,831,753.39 2013 10282 122,642,714,562.76 51,938,023,040.64 12,511,112,320.99 13,863,665,004.34 - 200,955,514,928.73 2014 11310 134,906,986,019.04 57,131,825,344.70 13,762,223,553.09 15,250,031,504.77 - 221,051,066,421.60 2015 12441 170,657,337,314.08 72,271,759,061.05 17,409,212,794.65 19,291,289,853.54 - 279,629,599,023.32 2016 13685 187,723,071,045.49 79,498,934,967.16 19,150,134,074.12 21,220,418,838.89 - 307,592,558,925.66 2017 15054 237,469,684,872.55 100,566,152,733.45 24,224,919,603.76 26,843,829,831.19 - 389,104,587,040.95 2018 16559 261,216,653,359.80 110,622,768,006.80 26,647,411,564.14 29,528,212,814.31 - 428,015,045,745.05 2019 18215 330,439,066,500.15 139,937,801,528.60 33,708,975,628.63 37,353,189,210.11 - 541,439,032,867.49 2020 20037 363,482,973,150.16 153,931,581,681.46 37,079,873,191.50 41,088,508,131.12 - 595,582,936,154.24 2021 22040 459,805,961,034.96 194,723,450,827.05 46,906,039,587.24 51,976,962,785.86 - 753,412,414,235.11 2022 24244 505,786,557,138.45 214,195,795,909.75 51,596,643,545.97 57,174,659,064.45 - 828,753,655,658.62 2023 26669 639,819,994,780.14 270,957,681,825.83 65,269,754,085.65 72,325,943,716.53 - 1,048,373,374,408.15 2024 29336 703,801,994,258.15 298,053,450,008.42 71,796,729,494.21 79,558,538,088.18 - 1,153,210,711,848.97 2025 32269 890,309,522,736.57 377,037,614,260.65 90,822,862,810.18 100,641,550,681.55 - 1,458,811,550,488.95 2026 35496 979,340,475,010.22 414,741,375,686.71 99,905,149,091.20 110,705,705,749.71 - 1,604,692,705,537.84 2027 39046 1,238,865,700,887.93 524,647,840,243.69 126,380,013,600.37 140,042,717,773.38 - 2,029,936,272,505.37 2028 42950 1,362,752,270,976.72 577,112,624,268.06 139,018,014,960.41 154,046,989,550.72 - 2,232,929,899,755.90 2029 47245 1,723,881,622,785.55 730,047,469,699.09 175,857,788,924.91 194,869,441,781.66 - 2,824,656,323,191.22 2030 51970 1,896,269,785,064.11 803,052,216,669.00 193,443,567,817.40 214,356,385,959.83 - 3,107,121,955,510.34 2031 57167 2,398,781,278,106.10 1,015,861,054,086.29 244,706,113,289.02 271,160,828,239.18 - 3,930,509,273,720.58 2032 62884 2,638,659,405,916.71 1,117,447,159,494.92 269,176,724,617.92 298,276,911,063.10 - 4,323,560,201,092.64 2033 69172 3,337,904,148,484.64 1,413,570,656,761.07 340,508,556,641.66 377,320,292,494.82 - 5,469,303,654,382.19 2034 76089 3,671,694,563,333.10 1,554,927,722,437.18 374,559,412,305.83 415,052,321,744.30 - 6,016,234,019,820.41 2035 83698 4,644,693,622,616.37 1,966,983,568,883.03 473,817,656,566.88 525,041,187,006.54 - 7,610,536,035,072.82 2036 92068 5,109,162,984,878.01 2,163,681,925,771.33 521,199,422,223.56 577,545,305,707.19 - 8,371,589,638,580.10 2037 101275 6,463,091,175,870.69 2,737,057,636,100.74 659,317,269,112.81 730,594,811,719.60 - 10,590,060,892,803.80 2038 111402 7,109,400,293,457.75 3,010,763,399,710.81 725,248,996,024.09 803,654,292,891.56 - 11,649,066,982,084.20 2039 122542 8,993,391,371,224.06 3,808,615,700,634.18 917,439,979,970.47 1,016,622,680,507.82 - 14,736,069,732,336.50 2040 134797 9,892,730,508,346.47 4,189,477,270,697.59 1,009,183,977,967.52 1,118,284,948,558.60 - 16,209,676,705,570.20 2041 148276 12,514,304,093,058.30 5,299,688,747,432.46 1,276,617,732,128.91 1,414,630,459,926.63 - 20,505,241,032,546.30 2042 163104 13,765,734,502,364.10 5,829,657,622,175.70 1,404,279,505,341.80 1,556,093,505,919.30 - 22,555,765,135,800.90 2043 179414 17,413,654,145,490.60 7,374,516,892,052.26 1,776,413,574,257.38 1,968,458,284,987.91 - 28,533,042,896,788.20 2044 197356 19,155,019,560,039.70 8,111,968,581,257.49 1,954,054,931,683.12 2,165,304,113,486.70 - 31,386,347,186,467.00

(19)

80

Tabel V.5 Perhitungan Revenue Jalan Tol Ngawi - Kertosono

TAHUN LHR Golongan 1 Golongan 2 Golongan 3 Golongan IV Golongan V TOTAL 2010 9320 107,368,135,477.20 45,469,384,089.60 10,952,911,532.00 12,137,010,076.00 - 175,927,441,174.80 2011 10117 116,548,111,060.50 49,357,016,429.26 11,889,385,467.99 13,174,724,437.50 - 190,969,237,395.25 2012 10982 126,512,974,556.17 53,577,041,333.96 12,905,927,925.50 14,301,163,376.90 - 207,297,107,192.54 2013 11921 137,329,833,880.73 58,157,878,368.02 14,009,384,763.13 15,523,912,845.63 - 225,021,009,857.50 2014 12940 149,071,534,677.53 63,130,376,968.48 15,207,187,160.38 16,851,207,393.93 - 244,260,306,200.32 2015 14046 186,089,723,526.33 78,807,227,829.18 18,983,511,911.98 21,035,783,470.03 - 304,916,246,737.51 2016 15247 202,000,394,887.83 85,545,245,808.57 20,606,602,180.45 22,834,342,956.72 - 330,986,585,833.57 2017 16551 252,162,142,948.35 106,788,268,973.99 25,723,736,666.91 28,504,681,171.44 - 413,178,829,760.69 2018 17966 273,722,006,170.43 115,918,665,971.27 27,923,116,151.93 30,941,831,411.60 - 448,505,619,705.23 2019 19502 341,694,023,352.70 144,704,168,698.58 34,857,123,970.36 38,625,461,696.89 - 559,880,777,718.53 2020 21170 370,908,862,349.36 157,076,375,122.31 37,837,408,069.83 41,927,938,671.97 - 607,750,584,213.46 2021 22980 463,014,805,592.26 196,082,365,974.56 47,233,382,428.77 52,339,694,042.69 - 758,670,248,038.27 2022 24944 502,602,571,470.40 212,847,408,265.38 51,271,836,626.43 56,814,737,883.34 - 823,536,554,245.54 2023 27077 627,411,355,030.79 265,702,740,922.88 64,003,915,456.68 70,923,257,668.22 - 1,028,041,269,078.57 2024 29392 681,055,025,885.92 288,420,325,271.79 69,476,250,228.23 76,987,196,198.85 - 1,115,938,797,584.78 2025 31905 850,178,015,189.04 360,042,302,544.90 86,728,940,066.16 96,105,041,694.93 - 1,393,054,299,495.03 2026 34633 922,868,235,487.70 390,825,919,412.49 94,144,264,441.81 104,322,022,759.85 - 1,512,160,442,101.85 2027 37594 1,152,039,490,065.18 487,877,765,850.60 117,522,638,909.32 130,227,789,061.68 - 1,887,667,683,886.79 2028 40809 1,250,538,866,465.76 529,591,314,830.83 127,570,824,536.07 141,362,265,026.46 - 2,049,063,270,859.11 2029 44298 1,561,078,930,480.87 661,102,078,086.19 159,249,849,538.99 176,466,049,489.15 - 2,557,896,907,595.20 2030 48085 1,694,551,179,036.98 717,626,305,762.56 172,865,711,674.58 191,553,896,720.48 - 2,776,597,093,194.59 2031 52197 2,115,350,600,571.34 895,830,858,141.05 215,792,589,526.16 239,121,518,123.59 - 3,466,095,566,362.14 2032 56659 2,296,213,076,920.19 972,424,396,512.11 234,242,855,930.65 259,566,407,923.15 - 3,762,446,737,286.10 2033 61504 2,866,420,189,246.40 1,213,901,684,775.98 292,411,213,129.63 324,023,236,170.67 - 4,696,756,323,322.67 2034 66762 3,111,499,115,426.96 1,317,690,278,824.32 317,412,371,852.21 351,727,222,863.26 - 5,098,328,988,966.76 2035 72471 3,884,162,133,265.36 1,644,905,717,313.37 396,233,799,092.41 439,069,885,480.78 - 6,364,371,535,151.93 2036 78667 4,216,257,995,659.55 1,785,545,156,143.66 430,111,788,914.82 476,610,360,689.39 - 6,908,525,301,407.42 2037 85393 5,263,260,262,431.71 2,228,940,657,043.04 536,919,298,897.09 594,964,628,507.58 - 8,624,084,846,879.41 2038 92694 5,713,269,014,869.62 2,419,515,083,220.22 582,825,898,952.79 645,834,104,244.98 - 9,361,444,101,287.60 2039 100619 7,132,016,542,987.11 3,020,341,166,260.88 727,556,140,310.24 806,210,858,181.62 - 11,686,124,707,739.80 2040 109222 7,741,803,957,412.51 3,278,580,335,976.18 789,762,190,306.76 875,141,886,556.14 - 12,685,288,370,251.60 2041 118561 9,664,287,425,136.97 4,092,733,797,907.47 985,879,886,214.69 1,092,461,495,535.20 - 15,835,362,604,794.30 2042 128698 10,490,583,999,986.20 4,442,662,537,628.56 1,070,172,616,486.05 1,185,866,953,403.46 - 17,189,286,107,504.20 2043 139701 13,095,658,271,782.70 5,545,886,712,285.17 1,335,923,231,474.94 1,480,347,364,607.37 - 21,457,815,580,150.20 2044 151646 14,215,337,054,020.20 6,020,060,026,185.55 1,450,144,667,766.05 1,606,917,064,281.30 - 23,292,458,812,253.10

Referensi

Dokumen terkait

TASPEN (Persero) KCU Semarang) tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam rangkaian

Dari hasil uji hipotesis melalui regresi linear sederhana Dengan SPSS versi 25 diperoleh ada korelasi (hubungan) yang signifikan antara variable manajemen tenaga

Selisih terkendali (controlable variance) yaitu selisih antara BOP ss dengan BOP yang dianggarkan dalam jam standar (Anggaran BOP tsb terdiri dari : Total BOP

Dengan demikian bahwa secara statistik variabel emosional quotient dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai Poltekkes

Pengertian di atas, dapat memberi pemahaman bahwa an-Nubuwwah adalah sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang diberikan oleh Allah kepada

Perseroan mengajukan usul kepada RUPST untuk menyetujui Laporan Tahunan Perseroan Tahun 2020 termasuk didalamnya Laporan Pengawasan Dewan Komisaris, Laporan Direksi mengenai

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh context, communication, collaboration,

c. Fasilitas belajar sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa. Fasilitas belajar sekolah yang memadai