• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusunan Naskah Akdemik Ranperda Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyusunan Naskah Akdemik Ranperda Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH AKADEMIS

RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG

WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN

KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA

DENGAN

(2)

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB

BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN

TIM PENELITI

I Ketut Sudiarta, SH., MH.

Ni Luh Gede Astariyani, SH., MH. A.A. I Ari Atu Dewi., MH.

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA BEKERJA SAMA

DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM

(3)

PUSAT PERANCANGAN HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Jalan Bali Nomor 1 Denpasar

(4)

ABSTRAK

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, yang selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar mengatur bahwa, Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing melalui Peraturan Daerah. Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang Wajib Belajar 12 Tahun, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi) membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar >> i

Daftar Isi >> ii

Daftar Gambar >> iii Daftar Tabel >> iv BAB I. PENDAHULUAN >>> 1 A. Latar Belakang >>> 1 B. Identifikasi Masalah >>> 2 C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah

Akademik

>>> 2

D. Metode Penelitian >>> 3 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>> 4 A. Kajian Teoritis >>> 4 B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan

Penyusunan Norma >>> 6 C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>> 8 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan

Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Beban Keuangan Daerah

>>> 10

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT >>> 26 A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>> 26 B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan

Peraturan Perundang-undangan Yang Lain >>> 29 C. Rencana Pengaturan Dari Pemerintah

KABUPATEN JEMBRANA Teantang Wajib Belajar 12 Tahun

>>> 30

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

>>> 31

A. Validitas Peraturan Perundang-undangan :

Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis. >>> 31 B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan

Peraturan Daerah Tentang Wajib Belajar 12 Tahun

>>> 36

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR 12 TAHUN

>>> 39

(6)

BAB VI PENUTUP >>>43 A. RANGKUMAN >>>43 B. SARAN >>>44 DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN >>>46 DAFTAR PUSTAKA >>>47 LAMPIRAN

1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun di Kabupaten Jembrana

(7)
(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Jumlah Rumah Tangga Dan Penduduk di Kabupaten Jembrana Tahun 2013

>>> 2

Tabel 2: Prosentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kecamatan diKabupaten Jembrana Tahun 2014

>>> 2

Tabel 3: Murid Berdasarkan Usia di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah satu tujuan dalam pelaksanaan pembangunan. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengemas sedemikian rupa sehingga seluruh masyarakat dapat menikmati pendidikan, meningat pendidikan merupakan salah satu tujuan negara yang merupakan prioritas utama adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang merupakan salah satu cara dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna mengadaptasi situasi dan kondisi yang selalu mengalami perubahan secara dinamis. Berbagai permasalahan yang muncul terkait pendidikan nasional, mulai fasilitas pendidikan yang memprihatinkan sampai masalah mutu pendidikan yang masih rendah. Ditambah lagi akses pendidikan yang saat ini kurang dapat dinikmati oleh masyarakat karena masalah ekonomi sehingga akan semakin membuka jurang pemisah dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses pendidikan karena lemahnya faktor ekonomi menyebabkan kebodohan dan keterbelakangan sehingga tentunya akan mengganggu laju pembangunan nasional.

Pentingnya pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan mewajibkan setiap pihak untuk melaksanakan pendidikan. Kabupeten Jembrana merupakan salah satu Kabupaten di Bali yang belum memiliki Peraturan Daerah tentan Wajib Belajar 12 Tahun. Kabupaten Jembarana

(10)

dilihat bahwa jumlah rumah tangga dan jumlah penduduk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan jumlah yang paling tinggi adalah pada tahun 2013 .

Tabel 1 : Jumlah Rumah Tangga Dan Penduduk di Kabupaten Jembrana Tahun 2013

No. Kecamatan Rumah

Tangga Penduduk 1. Negara 25.557 93.070 2. Mendoyo 20.136 71.023

3. Pekutatan 7.950 31.217

4. Melaya 16.564 62.908 5. Jembrana 17.952 62.790

Jumlah 89.185 321.008 2012 86.685 317.117

2011 82.635 273.918 2010 80.792 272.828

2009 77.043 269.859

Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab. Jembrana, Tahun 2014

Prosentase jumlah penduduk di Kabupaten Jembrana berdasarkan kecamatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Tabel 2 : Prosentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kecamatan diKabupaten Jembrana Tahun 2014

(11)

Jumlah penduduk yang selalu meningkat untuk setiap tahunnya menunjukkan peningkatan pula untuk peserta didik yang sangat membutuhkan pendidikan. Berbagai permasalahan yang muncul terkait pendidikan nasional, mulai fasilitas pendidikan yang memprihatinkan sampai masalah mutu pendidikan yang masih rendah. Ditambah lagi akses pendidikan yang saat ini kurang dapat dinikmati oleh masyarakat karena masalah ekonomi sehingga akan semakin membuka jurang pemisah dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses pendidikan karena lemahnya faktor ekonomi menyebabkan kebodohan dan keterbelakangan sehingga tentunya akan mengganggu laju pembangunan nasional.

Berdasarkan atas permasalahan tersebut sehingga memberikan inisiatif kepada Pemerintahan Kabupaten Jembrana untuk mengadakan pendidikan gratis kepada masyarakat. Program yang diusung oleh Kabupaten Jembrana adalah pendidikan bersubsidi di kalangan siswa – siswinya baik dari tingkat SD maupun SMP. Berdasarkan program pendidikan gratis tersebut beberapa indikator pendidikan di Kabupaten Jembrana menunjukkan peningkatan dari tahun – ke tahun.

Jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia di Kabupaten Jembrana terbagi menjadi tiga kelompok usia, yaitu :7- 12 tahun (SD/MI) ; 13 – 15 tahun (SLTP/ MTs) dan 16 – 18 (SMU/SMK/MA). Distribusi penduduk terbanyak pada tahun 2013adalah pada kelompok usia 7 – 12 tahun (SD/ MI) sebanyak 28.353 penduduk sedangkan paling sedikit adalah pada kelompok usia 16 – 18 tahun (SMU/SMK/MA) dengan jumlah sebanyak 12.505 penduduk. Berikut adalah disajikan tabel jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia di Kabupaten Jembrana.

Tabel 3 : Murid Berdasarkan Usia di Kabupaten Jembrana Tahun

2009-2013

No. TAHUN

Murid SD usia 7 - 12

tahun

Murid SLTP usia 13 - 15

tahun

Murid SLTA usia 16 - 18

(12)

4 2012 25.952 10.580 9.686 5 2013 28.353 12.505 12.505

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana

Jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana adalah terbagi menjadi : SD/Sederajat, SLTP/Sederajat dan SMA/Sederajat. Jumlah murid paling banyak pada tahun 2013 adalah jenjang pendidikan SD/Sederajat dengan jumlah sebanyak 28.353 siswa sedangkan paling sedikit adalah jenjang SMA/ Sederajat dengan jumlah sebanyak 12.505 siswa.

Tabel 4 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013

No. TAHUN Jumlah Murid SD

Jumlah Murid

SLTP Jumlah Murid SLTA

1 2009 29.258 12.437 7.775 2 2010 29.485 12.852 10.496 3 2011 30.433 12.845 10.753 4 2012 29.907 12.674 10.957 5 2013 29.472 13.018 11.275 J u m l a h 148.555 63.826 51.156

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana

Dalam ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Dalam kaitannya dengan pendidikan berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :

(1)Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.

(2)Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

(13)

(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Pasal 7

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajaryang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasionalsebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Penyelenggaraan program wajib belajar oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.

(4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah.

(5) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah.

(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan program wajib belajar yang diatur oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk kewenangan memberikan sanksi administratif kepada warga negara Indonesia yang memiliki anak berusia 7 (tujuh) sampai dengan 15 (lima belas) tahun yang tidak mengikuti program wajib belajar

Adanya kewenangan Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah.Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.

Merujuk Pasal 34 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 12 Tahun, mengatur Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah

(14)

Dengan demikian program wajib belajar 12 ( dua belas )tahun mengandung makna pengaturan kewenangn dalam penyelenggaraan. Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12 / 2011) menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU 12

/ 2011). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1) Rancangan

Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) dan Naskah Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Mengingat pentingnya posisi Wajib Belajar 12 Tahun baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah Akademik tentang Wajib Belajar 12 ( dua belas ) Tahun.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4 (empat) masalah pokok:

1. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 (

dua belas ) Tahun.

2. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

3. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

(15)

1. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun sebagai dasar untuk memastikan objek dan subjek Wajib Belajar 12 Tahun, serta struktur dan besarnya tarif Wajib Belajar 12 Tahun.

2. Merumuskan perimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

3. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun. Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun adalah sebagai acuan:

a. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

c. Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis dan/atau masukan lisan baik dalam penyusunan maupun pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun

1.4. METODE

Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik - digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian hukum.

Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik ini melalui cara-cara sebagai berikut:

(16)

2.Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan konteks saat peraturan perundang-undangan itu dibuat ataupun ditafsirkan dalam rangka pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

(17)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Paradigma filsafat pendidikan, merupakan persoalan yang melekat secaca kodrati di dalam diri manusia.1 Pendidikan menguasai berbagai

sektor baik kegiatan kehidupan masyarakat baik dalam dimensi horizontal maupun vertikal, ketika manusia berinteraksi dengan dirinya disitulah ada pendidikan. Ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam setiap kegiatan kemasyarakatan disitu ada pula pendidikan ketika manusia berinteraksi dengan alamnya disitu juga ada pendidikan. Antara pendidikan dan manusia bagaikan wadah dengan isinya. Dengan kata lain hubungan kodrat pendidikan dan manusia, pada taraf eksistensial, bagaikan hubungan antara jiwa dan badan manusia. Jika jiwa berpotensi menggerakkan badan kehidupan manusiapun digerakkan oleh pendidikan ke arah pencapaian tujuan akhir, tanpa pendidikan manusia kehilangan roh penggerak kehidupan sehingga kehidupan menjadi tidak kreatif dan pada akhirnya mengancam kelangsungan seluruh kehidupan itu sendiri.

Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi anak didik menyangkut intelektual, keterampilan serta kepribadiannya untuk memerankan dirinya ditengah-tengah masyarakat. Tujuan pendidikan menurut Jacques Delors,cs., dikenal Empat Pilar Pendidikan versi UNESCO sebagai berikut:

a. Learning to know (belajar untuk mengetahui);

b. Learning to do (belajar untuk dapat berbuat);

c. Learning to be (belajar untuk menjadi dirinya sendiri); dan

d. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan orang

lain)2

1 Suparlan Suhartono, 2005, Filasat Pendidikan AR-RUZZ Media, hal 91

2 Jacques Delors, 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali Muhdi

(18)

Upaya menyiapkan sumber daya manusia masa depan untuk membangun karakter bangsa (national character building), tujuan pendidikan harus ada keseimbangan antara membangun intelektual, emosional dan spiritualitas. Terlebih-lebih lagi dalam Negara yang berdasarkan Pancasila, tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan pribadi yang bersusila, dan berada sebagai anggota dalam masyarakatnya, masyarakat sekitarnya, masyarakat etnisnya, masyarakat bangsanya yang bhinneka dan sebagai anggota masyarakat yang beradab.3

Menurut Dale ( 1989: 39-43) kontrol Negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui 4 cara antara lain :

1. Sistem pendidikan diatur secara legal;

2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi menekankan pada ketaatan pada aturan dan obyektivitas;

3. Penerapan wajib pendidikan (compulsory education); dan

4. Reproduksi politik dan ekaonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu.4

Dengan demikian, maka penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun, merupakan sesuatu yang amat urgen dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang pendidikan, yaitu dengan tujuan untuk menjadi acuan bersama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan guna mewujudkan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada hakikatnya dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan

3 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk

Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik)”,

2008, Pustaka Pelajar, hal. 30.

4 M Sirozi, Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan

(19)

yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.5

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU P3 2011 (khususnya dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 137 UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang

-undangan yang baik”, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 (khususnya berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan

5 A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

(20)

dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, yang dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:

a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; dan

b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Wajib Belajar 12 Tahun bertujuan: (1)

memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa yang bertanggung jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan pendidikan; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah melakukan Wajib Belajar 12 Tahun dan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan Wajib Belajar 12 Tahun adalah efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:

Pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun dengan Peraturan Daerah dilakukan. Rancangan dapat berasal dari dari DPRD Kabupaten Jembrana.

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan

Pendididkan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah.

Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan

(21)

maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan

sepanjang pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib Wajib Belajar 12 Tahun, sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.

Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan

pembentukan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun yang menjamin kepastian.

Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini

harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.

Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, dalam pengaturan tentang Wajib Belajar 12 Tahun , yakni:

1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat.

(22)

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN

Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dapat diukur dari tingkat pemenuhan kewajiban pemerintah daerah yang diukur dari layanan pendidikan pada semua anak yakni: a) Apakah anak-anak yang masuk SD/MI sudah siap bersekolah, b) Apakah anak-anak yang berusia SD/MI sudah bersekolah, c) Apakah anak-anak yang lulus SD/MI melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP/MTs. Kondisi ini jika dimaknai bahwa sesungguhnya bila ditinjau dari segi kesiapan secara fisik maupun mental dan intelengensi anak-anak tersebut belum siap untuk memasuki jenjang SD/MI . Hal tersebut berdampak pada prestasi belajar anak, utamanya di kelas 1 ketika baru mulai beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran di tingkat SD/MI.

Mutu Pendidikan menjadi salah satu hal penting di dalam menilai keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan yakni bahwa mutu pendidikan dapat dinilai dengan indicator: a) Angka Mengulang Kelas (AMK), b) Angka Putus Sekolah (APS), c) Mutu dan Pemerataan input Pendidikan, dan d) Mutu Lulusan. Berdasarkan hal tersebut maka realitas mutu pendidikan dalam 3 tahun terakhir berupa nilai angka mengulang bagi anak-anak SD dan SMP, serta SLTA, dan angka putus sekolah masih cukup besar.

(23)

Selain hal tersebut, pembangunan pendidikan di diarahkan sejalan dengan rencana strategis program pendidikan yakni pada pelayanan di bidang pendidikan akan mencakupi:

1. Pendidikan anak usia dini (PAUD);

2. Wajib belajar Sembilan Tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan jenjang Sekolah Menengah Pertama;

3. Pendidikan Menengah; 4. Pendidikan Non formal;

5. Peningkatan Mutu Pendidik dan ke Pendidikan; dan 6. Manajemen Layanan Pendidikan.

Dengan demikian ada 6 (dua) isu hukum tentang kepastian hukum yang perlu mendapat perhatian.

Dalam penyelenggaraan praktek empiris pengatuan tentang wajib belajar 12 ( dua belas ) tahun di Kabupaten Jembrana diatur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 ( dua belas ) tahun. Peraturan daerah yang dimaksud apabila dikaji dalam praktek kekinian tidak bisa menampung kondisi perkembangan dan kewenangan pengaturan.

Selain berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 ( dua belas ) tahun, dalam praktek penyelenggraan di Kabupaten Jembrana selama ini didasarkan pada beberapa Peraturan Bupati, antara lain :

1. Peraturan Bupati Jembrana No 49 Tahun 2006 tentang Pemberian Bea Siswa Kepada Siswa Yang tidak Mampu Pada Sekolah Swasta Dan Siswa Berprestasi Pada Sekolah Negeri Maupun Swasta Di Kabupaten Jembrana

2. Peraturan Bupati Jembrana No 50 Tahun 2006 tentang Rintisan WajibBelajar 12 ( Dua Belas )Tahun.

3. Peraturan Bupati Jembrana No 50 Tahun 2006 tentang Subsidi Biaya Pendidikan Pada TK, SD, SMA dan SMK Di Kabupaten Jembrana 4. Peraturan Bupati Jembrana No 25 Tahun 2008 tentang Pemberian

(24)

Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuaran Umum dan Mahasiswa Kabupaten Jembrana.

5. Peraturan Bupati Jembrana No 4 Tahun 2009 tentang Pemberian Bea Siswa Pendidikan Kepada Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Kejuaran Umum dan Mahasiswa Kabupaten Jembrana. 6. Peraturan Bupati Jembrana No 9 Tahun 2011 tentang Pemberian Bea

Siswa Pendidikan Kepada Mahasiswa Kabupaten Jembrana.

7. Peraturan Bupati Jembrana No 20 Tahun 2011 tentang Pemberian Dana Hibah Kepada Sekolah Menengah Atas ( SMA) dan sekolah Menengah Kejuruan Swasta Se Kabupaten Jembrana Berupa Bantuan Operasional Dalam Rangka Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun.

Dasar pengaturan tentang Wajib Belajar 12 ( dua belas ) Tahun yang selama ini menjadi dasar pengaturan sudah tidak mempu menampung perkembangan sumber hokum dan kebutuhan masyarakat, hal tersebut nampak pada adanya beberapa hal yang masih memiliki kelemahan antara lain sebagaimana dipaparkan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 5 : Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 ( Dua Belas ) Tahun

PERATURA DAERAH NO 15 TAHUN 2006 TENTANG RINTISAN WAJIB BELAJAR 12

( DUA BELAS) TAHUN

ANALISIS

1. Pembuatan lambang seharusnya menggunakan Parmendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

2. Dalam lampiran 3 Permendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah seharusnya menggunakan burung garuda PERATURAN DAERAH KABUPATEN

JEMBRANA NOMOR 15 TAHUN 2006

TENTANG

RINTISAN WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEMBRANA,

1. Dalam penulisan judul tidak sesuai dengan Pasal 112 Permendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

(25)

Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka dipandang perlu untuk mengatur jenjang pendidikan minimal yang telah mencapai standar pelayanan minimal (SPM), maka perlu dirintis menjadi wajib belajar 12 (dua belas) tentang Rintisan Wajib Belajar 12 (dua belas) tahun;

Kajian : Lampiran UU P3

17. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.

18. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

19. Pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.

- Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan

pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

- Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

- Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

(26)

tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya

Saran :

Dalam konsiderans huruf c perlu disesuaikan agar menunjukkan adanya landasan yuridis

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara 2. Undang-Undang Nomor

28 Tahun 1999 tentang Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang tentang Pemerintahan

Kajian : Lampiran II UU P3

b. Peraturan Perundang-undangan yang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.

Saran

Perlu ditambahkan bahan hukum :

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang ini bukan merupakan UU yang berkaitan dengan dasar penedelegasian kewenangan dan bukan memuat manteri muatan Peraturan Daerah yang dimaksud. 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seharusnya diganti dengan Undang_undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seharusnya UU No 32 Tahun 2014 tersebut diganti dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

(27)

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 6. Undang-Undang Nomor

33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3512) sebagaimana telah

8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005

Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. PP ini tidak dapat dijadikan dasar kewenangan dan dasar pengaturan terkait dengan materi muatan Peraturan Daerah. 6. Harus ditambahkan Peraturan

(28)

tentang Pengelolaan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN JEMBRANA dan

BUPATI JEMBRANA

-

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RINTISAN WAJIB BELAJAR 12 (DUA BELAS)

1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Jembrana.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana. 3. Bupati adalah Kepala Daerah

Kabupaten Jembrana.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana.

5. Dinas adalah Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jembrana.

6. Wajib Belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh seluruh warga masyarakat Kabupaten Jembrana atas tanggung jawab Pemerintah Daerah.

7. Rintisan adalah usaha paling awal yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Kajian: Lampiran II UU P3

97. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.

98. Ketentuan umum berisi:

a. batasan pengertian atau definisi;

b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau

c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang umum peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.

101. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.

(29)

103. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.

104. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang-undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundang-undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.

105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.

106. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.

107. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.

108. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran.

(30)

a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;

b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai

kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.

Saran :

Terdapat beberapa perumusan dalam ketentuan umum yang hanya sekali

muncul dalam Pasal misalnya kata “dinas”

BAB II

FUNGSI DAN TUJUAN

Pasal 2

Program wajib belajar berfungsi menumbuh kembangkan kemampuan untuk membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pasal 3

Program wajib belajar bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang terampil, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional.

-

BAB III

PENYELENGGARAAN RINTISAN WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN

Pasal 4

Setiap warga Kabupaten Jembrana yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 (sembilan) tahun diwajibkan mengikuti wajib belajar 12 (dua belas) tahun.

Pasal 5

Orang tua dan masyarakat wajib berperan secara aktif mendukung penyelenggaraan rintisan wajib belajar 12 (dua belas) tahun.

Pasal 6

Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan atas terselenggaranya rintisan wajib belajar 12

1. Pelu pengkajian kembali terkait perumusan norma Pasal 4

(31)

(dua belas) tahun. bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan.

(2) Pemerintah Daerah memberikan subsidi untuk membiayai semua kebutuhan pokok pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai kebutuhan pokok pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Bupati.

1. Norma terkait dengan pendanaan seharusnya disusun dengan jelas mengingat dalam norma juga mengatur tentang beban keuangan daerah 2. Materi dalam ayat (2) tidak tepat

dituangkan mengingat adanya pendelegasian kewenangan dalam ayat (2)

BAB V PENGAWASAN

Pasal 8

(1) Pemerintah Daerah, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan rintisan wajib belajar 12 (dua belas) tahun sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip ejukatif, persuasif, transparan dan akuntabel.

Bab pengawasan sebaiknya dilengkapi dengan pembinaan

BAB VI SANKSI

Pasal 9

(1) Pelanggaran terhadap Pasal 6 Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. (2) Apabila kemampuan daerah tidak

menjangkau maka Pasal 5 dikecualikan.

1. Pengenaan sanksi terkait dengan adanya kewajiban kepada pemerintah daerah perlu dikaji lebih lanjut mengingat kewajiban masih disesuaikan dengan beban keuangan daerah

2. Perumusan norma pada ayat (2) sebaiknya menyesuaikan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana orang mengetahuinya, memerintahkan

-

(32)

Ditetapkan di Negara pada tanggal 24 Mei 2006

BUPATI JEMBRANA,

I GEDE WINASA

Diundangkan di Negara pada tanggal 29 Mei 2006

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN JEMBRANA,

I GDE SUINAYA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TAHUN 2006 NOMOR 15.

berdasarkan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN DAERAH

Dalam lingkup pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun, terdapat dua komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang sifatnya dinamis. Komponen yang sifatnya statis meliputi:

a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip Wajib Belajar 12 Tahun; b. Struktur atau kelembagaan dalam Wajib Belajar 12 Tahun; c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam Wajib Belajar 12

Tahun;

d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan penyelenggaraan pendididkan;

e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan Wajib Belajar 12 Tahun;

f. Ketenagaan; g. Kekayaan; dan h. Sanksi.

(33)

a. Pendirian sekolah;

b. Pengisian kelembagaan pendidikan;

c. Pengambilan keputusan di dalam satuan pendidikan; d. Kerja sama sekolah dengan institusi lain;

e. Status aset sekolah;

f. Pengawasan Wajib Belajar 12 Tahun; g. Pengadaan ketenagaan;

h. Penggabungan dan pembubaran sekolah; dan i. Pengalihan bentuk sekolah.

Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka adanya Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun ini tidak akan menimbulkan dampak terhadap beban keuangan daerah, justru sebaliknya, akan ada penambahan target penerimaan PAD dari sektor ini.

Dalam lampiran Perauran Daerah Kabupaten Jembrana No 2 Tahun 2008 Pengaturan terkait dengan pembiayaan pendidikan pembatasan pengaturannya antara lain :

1. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.

(34)

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA

Dalam ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

Kabupaten Jembrana belum memiliki Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun, berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :

(1)Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.

(2)Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yangdiselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Pasal 7

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajaryang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasionalsebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(35)

(4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah.

(5) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah.

(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan program wajib belajar yang diatur oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk kewenangan memberikan sanksi administratif kepada warga negara Indonesia yang memiliki anak berusia 7 (tujuh) sampai dengan 15 (lima belas) tahun yang tidak mengikuti program wajib belajar

Adanya kewenangan Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah.Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.

Merujuk Pasal 34 UU No 20 Tahun 2003 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 12 Tahun, mengatur Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui

“Peraturan Daerah”. Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana, yang menjadi Kewenangan Kabupaten Jembrana. Dalam Bab II Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten. Dalam Pasal 4

(1)Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah yang berhubungan dengan pelayanan dasar. (2)Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas 26

(dua puluh enam) urusan pemerintahan, meliputi bidang : a. pendidikan;

b. kesehatan;

(36)

Dalam Lampiran Peraturan Daerah No 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembarana terkait dengan Kebijakan Pendidikan mengatur bahwa :

1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi.

2. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional.

3. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten.

4. Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.

5. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal.

6. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dasar bertaraf nasional dan internasional.

7. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal. 8. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan berbasis

keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan menengah.

9. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.

10. Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan dasar dan menengah bertaraf internasional.

11. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten.

(37)

keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU 12

/ 2011). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1) Rancangan

Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) dan Naskah Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Pilihan kedua juga memuat pilihan, memilh Naskah Akademik atau keterangan (atau penjelasan).

Mengingat pentingnya posisi Wajib Belajar 12 Tahun baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah Akademik.

B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN

Materi Pokok Wajib Belajar 12 Tahun yang hendak diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademiknya, mempunyai keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

Tabel 6. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.

(38)

pendidikan Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (8) Ketentuan

mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah.

Sumber : Diolah dari UU Pemerintahan Daerah, UU Pendidikan dan PP Wajib Belajar

C. RENCANA PENGATURAN DARI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR 12 TAHUN

(39)

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,

DAN YURIDIS

A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika, yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.6

Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan

(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.7

Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh

6 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli:

Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), hal. 147.

7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal.

(40)

Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.8

Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu adalah:

1.Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia maupun hubungan-hubungan diantara mereka.

2.Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihak-pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi kehidupan mereka.

3.Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau

(41)

petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan diberlakukan.9

Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum, yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:

1.Keadilan sebagai suatu cita, seperti telah ditunjukkan oleh Aristoteles tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.

2.Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum. 3.Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,

keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum. Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan oleh sistem politik masing-masing.10

Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu dengan yang lainnya.11 Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang

demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk

9 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies

Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109.

10 W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan

(susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990), hal. 43.

(42)

bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.12

Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia. Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU P3 2011 memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

(43)

Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis, dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal 57 UU No 12/2011, yang menentukan:

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Berikutnya dalam Pasal 63 UU No 12/2011 ditentukan bahwa ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis

mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Artinya, ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang berlaku bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing unsur-unsur tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, adalah sebagai berikut:

1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

(44)

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan berikut:

Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.

B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG WAJIB BELAJAR 12 TAHUN

Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:

(45)

2.Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, yang meliputi:

a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur tertentu.

b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan materi muatan.

3.Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun adalah pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.

Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia

merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya.

(46)

berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Kedua, Landasan sosiologis adalah dengan disusunya Perda ini

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Wajib Belajar 12 Tahun Wajib Belajar 12 Tahun daerah bukan merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam Wajib Belajar 12 Tahun.Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis bahwa pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempata pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Jadi, Pemerintahan Daerah membuat Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun, berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum Wajib Belajar 12 Tahun di Kabupaten Jembrana.

Ketiga, Landasan Yuridis yaitu memberikan arahan, landasan dan

(47)

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN

DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG

WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN

A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN

Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid

S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het onderwerp”.13 Pada

tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat suatu kajian mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan. Kata materi muatan diperkenalkan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda

Het ondrwerp dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der

wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, Attamimi mengatakan :

“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan undang-undang”.14

Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi muatan peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk, semestinya harus diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi materi muatan yang akan dibentuk. Karena masing-masing tingkatan ( jenjang ) peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri secara berjenjang dan berbeda-beda.15 Sri Sumantari juga berpendapat yang sama

bahwa masing-masing peraturan perundang-undangan mengatur materi

13 A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta, hal. 193-194.

14 Ibid.

15 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu

(48)

muatan yang sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan berbeda dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur dalam Peraturan Presiden.16

Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan isi kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya dan peraturan perundang-undangan pada umumnya.17 Dengan demikian

istilah materi muatan tidak hanya digunakan dalam membicarakan undang-undang melainkan semua peraturan perundang-undangan .Pedoman 98 TP3U menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c.pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.

Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 ( dua belas ) Tahun adalah:

A. JUDUL

B. PEMBUKAAN

1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

16 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia

Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, h 62.

17 Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung

Gambar

Tabel 2 : Prosentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kecamatan diKabupaten Jembrana Tahun 2014
Tabel 4  : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana  Tahun 2009-2013
Tabel 5 :  Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 ( Dua Belas ) Tahun

Referensi

Dokumen terkait

Dihitung dengan metode yang sama selisih volume hasil perhitungan dari kedua data tersebut terdapat perbedaan yang cukup besar, hasil tersebut menunjukkan

Pada rekaman ini kisaran kedalaman batuan dasar akustik antara 2 hingga 18 meter bawah dasar laut dengan kecenderungan makin dalam ke arah tengah perairan Selat Laut baik dari

Dari hasil yang di peroleh pada data awal belum memuaskan karena jumlah siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar ada 9 siswa atau 60 % dari jumlah siswa, di

Pembelajaran Matematika menggunakan metode Lattice oleh guru ternyata hasilnya belum memuaskan. Dari hasil pengamatan refleksi ini diadakan berdasarkan : 1)

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui peningkatan hasil belajar siswa pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tentang energi panas dengan menggunakan

Teman sepermainan seperjuangan yang selalu memberikan dukungan selama proses penulisan skripsi ini, Ningsi, Rahima, Risda, Terimakasih untuk waktu yang diberikan

Temuan penelitian Fanello pada tahun 2011 menunjukkan terdapat hubungan antara kolonisasi oral candidiasis dengan onset dari infeksi jamur candida,dan dari 35 pasien yang

Parfum Laundry Balikpapan Kota Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI PANGSA PASAR PRODUK NYA:.. Chemical Untuk