1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang tidak asing bagi masyarakat di dunia, dapat dikatakan bahwa semua lapisan masyarakat melakukannya. Interaksi antar manusia dan negara menjadi sangat mudah untuk dilakukan seakan tidak ada batasan. Menurut Smith dan Baylis, globalisasi dapat dipahami sebagai proses peningkatan keterkaitan atau ketergantungan antar masyarakat di seluruh dunia. Semua peristiwa yang terjadi di belahan dunia manapun akan mempengaruhi belahan dunia lainnya.
Setiap orang akan dengan mudah terpengaruh dengan orang yang lainnya.
Dunia semakin mengecil dan antar masyarakat sudah tidak lagi merasakan keasingan. Semua manusia dapat merasakan bahwa mereka termasuk bagian dari dunia. Maka bisa diartikan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
1Jika berbicara mengenai globalisasi maka erat kaitannya dengan hubungan internasional. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, globalisasi mempengaruhi hilangnya batas-batas negara menyebabkan semakin mudahnya untuk saling berinteraksi antar individu atau negara satu sama lain.
Mudahnya terjalin interaksi itu berpengaruh kepada lahirnya isu global karena semakin meningkatnya saling ketergantungan antar negara. Aspek dalam
1 Efan Setiadi, Pengaruh Globalisasi dalam Hubungan Internasional, Universitas Satya Negara Indonesia, FISIP, Hubungan Internasional, Hal. 1-2.
2
globalisasi pun sangat luas, mulai dari ekonomi, politik, komunikasi, informasi, teknologi, budaya bahkan sampai badan intelijen. Keuntungan lain dengan adanya globalisasi adalah semua yang sedang terjadi di belahan dunia lain dapat kita ketahui dengan cepat. Informasi ataupun pengetahuan apapun yang kita butuhkan dapat dengan cepat kita cari tahu melalui internet. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh dari globalisasi sangatlah besar terhadap kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan hubungan antar bangsa.
2Di paragraf sebelumnya telah dijelaskan bahwa aspek-aspek dalam globalisasi cukup banyak, tiga aspek yang paling penting adalah politik, ekonomi dan budaya. Budaya yang menjadi identitas suatu negara turut serta dalam globalisasi karena globalisasi dimanfaatkan sebagai sarana negara untuk penyebaran dan pertukaran kebudayaannya. Menurut Phillippe Legrain, Cultural Globalization merupakan sebuah proses arus budaya di seluruh dunia. Interaksi yang semakin dalam antara orang-orang dan budaya. Cultural Globalization mengacu kepada pemaparan orang terhadap nilai-nilai, ide-ide dan cara hidup serta hibriditas sebagai hasil dari proses ini. Budaya dan globalisasi adalah dua hal yang saling mempengaruhi di era modern ini.
Budaya biasanya secara otomatis akan tersambung satu dengan yang lain, dunia modern penuh dengan peluang pencampuran budaya.
3Orang cenderung merasa penasaran dengan kebudayaan selain kebudayaannya sendiri serta cenderung ingin menyebarkan atau memperkenalkan kebudayaannya kepada orang lain, hal itu juga terjadi pada negara. Semua negara mempunyai kecenderungan untuk menyebarkan
2 Ibid., Hal. 6-7.
3 Tanner Mirrlees, 2013, Global Entertainment Media: Between Cultural Imperialism and Cultural Globalization, Routledge: UK, Hal. 38.
3
kebudayaannya kepada negara lain dan memiliki keingintahuan akan budaya negara lain, maka hasil dari proses ini disebut hibridasi atau pencampuran budaya dikarenakan hilangnya hal-hal yang membatasi. Peluang pencampuran budaya dapat dengan mudah terjadi dengan turut berkembangnya teknologi, informasi, dan komunikasi. Seperti yang sudah dijelaskan di paragraf kedua, sangat mudah untuk mengetahui informasi yang ada di belahan dunia lain dengan media internet. Sama halnya dengan penyebaran budaya, tentu bisa sangat mudah dilakukan dengan media elektronik dan internet.
Salah satu negara yang cukup berhasil dalam menyebarkan kebudayaannya adalah Korea Selatan. Jika berbicara tentang Korea Selatan, tentu hal pertama yang terlintas adalah K-POP dan K-Dramanya, dua hal tersebut sudah sangat familiar sejak awal tahun 2000-an. Selain terkenal akan musik dan tariannya, makanan Korea Selatan juga memiliki keistimewaan dan cukup dikenal oleh masyarakat dunia. Bagi Korea Selatan, makanan memiliki banyak makna yang berarti. Makanan dan budaya makanan adalah simbol negara dan budaya bagi Korea Selatan. Budaya makanan didefinisikan sebagai budaya dimana memperoleh makanan, bahan makanan, jenis makanan, pengolahan makanan, peralatan makanan dan sistem perilaku makan terintegrasi.
4Makanan memiliki kesinambungan dengan masyarakat dan memiliki makna warisan sejarah oleh karena itu makanan merupakan budaya yang penting bagi Korea Selatan. Dengan percepatan era globalisasi saat ini, makanan dan budaya makanan sekarang menjadi simbol perwakilan negara dan menghormati negara.
5Seperti halnya menurut peneliti pangan, Goo Nan
4 Agenda Research Group, Globalisasi Makanan dan Budaya Makanan Korea Selatan, Hal. 1.
5 Ibid.
4
Suk pada jurnalnya ‘Budaya Makanan di Seluruh Dunia’ budaya makanan merupakan budaya yang mengintegrasikan serangkaian sistem untuk memasak dan mengolah makanan khususnya bagaimana makanan diperoleh dan disimpan, bagaimana makanan dimasak, bagaimana makanan diberikan kepada siapa dan bagaimana makanan dikonsumsi.
6Banyak sekali cara dan media yang dilakukan Korea Selatan untuk menyebarkan budaya makanannya ke masyarakat global, salah satunya melalui media tayangan televisi. Menanggapi kepopuleran budaya makanan Korea Selatan di masyarakat dunia , maka dalam penilitian ini penulis akan membahas upaya penyebaran makanan Korea Selatan melalui media tayangan televisi. Tayangan televisi pada era modern ini, tidak hanya tayang di negara asalnya saja, tetapi bisa dinikmati oleh orang dari luar negara produksi melalui TV kabel atau aplikasi streaming yang bisa dengan mudah diakses di handphone maupun laptop. Dari sini dapat dipahami bahwa Korea Selatan memanfaatkan adanya globalisasi untuk menyebarkan kebudayaannya kepada dunia, sesuai dengan konsep Cultural Globalization.
Tayangan televisi berupa reality show sedang banyak digemari oleh masyarakat dunia karena merupakan tayangan yang fresh. Reality Show sendiri bisa dipahami sebagai sebuah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak umum biasa. Reality show umumnya menampilkan kenyataan yang dimodifikasi seperti menaruh partisipan di lokasi-lokasi eksotis, memancing reaksi tertentu dari partisipan
6 Jeon Yeon Kyeong, Pengembangan Tabel Klasifikasi Budaya Makanan Korea, Universitas Yehwa, Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Hal. 506.
5
dan melalui penyuntingan dan teknik-teknik pascaproduksi lainnya. Reality show merupakan acara yang penontonnya sebagian besar remaja dan kaum muda. Menurut Tessitore, Pandelaere, dan Kerckhove (2013) “Reality television is one of the most frequently watched television programming and its popularity is still growing”.
7Reality show tidak pernah kehilangan popularitas, media televisi merupakan media yang paling banyak disukai oleh orang-orang, tidak seperti media tulis yang ada beberapa orang terkadang merasa bosan jika membaca, televisi digemari karena orang-orang lebih menyukai melihat langsung, tidak akan merasa bosan. Di Indonesia sendiri, menurut berita tempo, Kantor Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat 90 persen penduduk usia diatas 10 tahun lebih gemar menonton daripada membaca, berbeda dengan penduduk usia dibawah 10 tahun yang lebih gemar membaca.
8Reality show termasuk yang diunggulkan juga oleh Korea Selatan, dimana mereka dikenal akan reality shownya yang menarik dan selalu mempunyai konsep yang fresh. Dengan bintang tamu yang sering berasal dari kalangan „idol‟ menambah rating tayangan tersebut. Seperti halnya dengan reality show yang berfokus untuk memperkenalkan makanan Korea Selatan, tidak pernah kehilangan peminat dari masyarakat Korea Selatan sendiri maupun masyarakat global. Beberapa reality show yang fokus pada makanan adalah adalah Youn‟s Kitchen, Chef and My Fridge, Three Meals A Day, NCT
7 Regina Juwana, Studi Ekspreimental Dampak Menonton Reality Show My Trip My Adventure Terhadap Destination Image, Destination Knowledge, Sikap Wisatawan dan Travel Intention Kota Makassar, Jurusan Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomi, Vol. 4, No. 1, 2015.
8 Budi Purwanto, 90 Persen Orang Indonesia Doyan Nonton Ketimbang Baca Buku, diakses dalam https://nasional.tempo.co/read/713809/90-persen-orang-indonesia-doyan-nonton-ketimbang-baca- buku (13/12/2018, 23:08 WIB)
6
Life K-Food Challenge, Sumi‟s Side Dish, Home Food Rescue, Kang‟s Kitchen. Semua Reality show tersebut menampilkan macam-macam budaya makanan representatif Korea Selatan. Reality show tersebut juga akan menyampaikan filosofi makanan, bahan-bahan utama, cara memasak, hingga cara memakannya. Beberapa reality show tersebut termasuk yang fresh dan populer di kalangan penggemar global.
Dengan derasnya arus globalisasi yang semakin memudahkan masyarakat untuk terhubung satu sama lain, peluang menyebarkan nilai-nilai, ide-ide, dan kebiasaan hidup terbuka lebar. Reality show Korea Selatan yang terkenal akan kesegaran tema dan konsepnya berhasil menarik minat banyak orang di seluruh dunia. Reality Show bertemakan makanan yang sudah disebutkan di paragraf sebelumnya termasuk yang paling populer di dunia karena ditayangkan di banyak negara dan digemari untuk ditonton. Selain untuk kepentingan rating dan entertainment, kebudayaan akan makanan Korea Selatan berhasil terpromosikan dengan baik dan menambah kepopularitasannya. Menanggapi fenomena kepopularitasan reality show itu, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana globalisasi budaya makanan Korea Selatan melalui media tayangan televisi reality show dan dampak yang dihasilkannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, penulis bisa menarik rumusan masalah adalah “Bagaimana globalisasi budaya makanan Korea Selatan melalui media tayangan TV Reality Show?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
7 1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, penulis bertujuan untuk mendeskripsikan globalisasi budaya makanan Korea Selatan dengan melalui Reality Show yang fokus menayangkan jenis-jenis budaya makanan representatif Korea Selatan, bahan-bahan, hingga cara memasak sampai akhirnya bisa diterima masyarakat global.
1.3.2 Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis
Manfaat akademis penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses sebuah reality show dapat mengglobalkan budaya makanan. Reality show Korea Selatan sangat terkenal dengan konten-konten yang kreatif dan sangat banyak yang memperkenalkan produk-produk makanan Korea Selatan.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih spesifikasi mengenai Cultural Globalization dan penyebaran budaya makanan oleh Korea Selatan melalui reality show. Seberapa besarnya tingkat penerimaan masyarakat global terhadap budaya makanan Korea Selatan.
1.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu bertujuan untuk menganalisa dan menghindari kesamaan dengan peneliti sebelumnya sehingga penulis akan mencantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah dibaca sebelumnya, diantaranya adalah :
Penelitian pertama berupa Jurnal yang ditulis oleh Syafril Alam dan
Ansgrasia Jenifer Nyarimun dengan judul “Musik K-POP Sebagai Alat
8
Diplomasi dalam Soft Power Korea Selatan”.
9Jurnal tersebut menjelaskan bagaimana K-POP bisa menjadi media diplomasi Korea Selatan terhadap masyarakat global. Menggunakan konsep soft power, penulis menjabarkan bagaiamana awal mulanya munculnya K-POP dan penyebarannya di dunia.
Menjabarkan industri entertainment yang ada di Korea Selatan, artis-artisnya serta dampak dari penyebaran K-POP untuk branding Korea Selatan sendiri.
Karena K-POP, orang mulai mengenal Korea Selatan mulai dari makanan, budaya, tradisi, sejarah yang ada. Persamaannya dengan penelitian penulis yaitu mengenai Korean Wave dan K-POP akan sedikit dibahas. Perbedaannya terletak pada konsep yang dipakai, penulis memakai Soft Power sedangkan penulis memakai Cultural Globalization yang berfokus pada budaya makanan.
Penelitian kedua berupa jurnal hasil penelitian yang ditulis oleh Tobias Hubinette dengan judul “The Reception and Consumption of Hallyu in Sweden: Preliminary Findings and Reflections”.
10Jurnal tersebut mejelaskan bagaimana persebaran semua yang berkaitan dengan Korea Selatan terutama K-POP ke Sweden. Jarak negara Korea Selatan dan Sweden yang cukup jauh tidak menghambat persebaran hallyu, persebaran hallyu sendiri didukung oleh media massa koran, majalah, radio, media sosial, dan tayangan televisi. Persamaannya dengan penelitian penulis yaitu proses penyebaran hallyu yang merupakan budaya Korea Selatan ke Sweden.
Perbedaannya, penelitian penulis melihat persebaran budaya Korea Selatan berupa makanan yang lebih luas, tidak berfokus pada satu negara.
9 Syafril Alam dan Ansgrasia Jenifer Nyarimun, 2017, Musik K-POP Sebagai Alat Diplomasi Dalam Soft Power Korea Selatan, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Satya Negara Indonesia, Vol. 3, No. 1.
10 Tobias Hubinette, 2012, The Reception and Consumption of Hallyu in Sweden: Preliminary Findings and Reflections, Korea Observer, Institute Of Korean Studies, Vol. 43, No. 3.
9
Penelitian ketiga berupa Jurnal yang ditulis oleh Seong Cheol Choi dengan judul “South Korean Culture Goes Latin America: Social network analysis of Kpop Tweets in Mexico”.
11Jurnal tersebut menjelaskan tentang bagaimana K-POP bisa dikenal oleh masyarakat Mexico yang pada awalnya sama sekali tidak mengenal K-POP. K-POP mulai dikenal di Mexico pada tahun 2000-an dengan munculnya banyak drama-drama lalu dilanjutkan oleh beberapa penyanyi K-POP yang melakukan konser di Mexico contohnya Junsu JYJ pada tahun 2012. Persebaran K-POP di Mexico dapat dikatakan mendapat bantuan dari media sosial yaitu twitter, dimana segala informasi tentang K-POP bisa diakses di twitter dengan waktu singkat sehingga memudahkannya tertransfernya semua hal yang berkaitan dengan Korea Selatan. Persamaannya dengan penelitian penulis terletak pada proses persebaran budaya Korea Selatan, pada penelitian ini K-POP ke Mexico.
Perbedaannya, fokus penulis di bidang makanan dan media penyebarannya Reality Show, berbeda dengan penilitian ini yang media penyebarannya social network twitter.
Penelitian keempat berupa buku oleh Ian Condry dengan judul “Hip- Hop Japan: Rap and the Paths of Cultural Globalization”.
12Buku tersebut berfokus pada asal mula munculnya genre musik hip-hop di Jepang yang merupakan hasil dari proses Cultural Globalization. Genre hip-hop pertama kali diperkenalkan oleh Amerika, sama halnya dengan menyebarkan Coca cola, Pepsi, Mc Donalds, Disney, Nike ke seluruh dunia, musik juga
11 Seong Cheol Choi, Maret 2014, South Korean Culture Goes Latin America: Social Network Analysis of Kpop Tweets in Mexico, International Journal of Contents, Vol.10, No.1.
12 Ian Condry, 2006, Hip-Hop Japan: Rap and the Paths of Cultural Globalization, Duke University Press.
10
mengalaminya. Penyerapan budaya hip-hop dan rap inipun menimbulkan beberapa efek terhadap Jepang, salah satunya efek political music, bagaimana para rapper yang membuat lirik rap mereka untuk mengkritik sebuah pemerintahan yang mereka anggap tidak benar. Persamaannya dengan penelitian penulis adalah pembahasan mengenai masuknya budaya asing, di penelitian ini rap dan hip-hop ke Jepang akibat Cultural Globalization.
Perbedaannya, penulis berfokus tentang persebaran makanan Korea Selatan di dunia global.
Penelitian kelima berupa buku oleh Paul Grainge berjudul “Brand Hollywood: Selling Entertainment in A Media Global Age”.
13Buku tersebut berisi tentang analisa penjualan dari film hollywood yang memanfaatkan era globalisasi. Pertumbuhan dunia perfilman telah menjadi pusat ekonomi modern. Dalam analisis luas yang berfokus pada perusahaan-perusahaan seperti Disney, Dolby, Paramount, New Line dan, khususnya, Warner Bros, Brand Hollywood cukup memberikan penjelasan mengenai bisnis film kontemporer. Penulis menjabarkan perubahan pemasaran dan media selama tahun 1990-an dan 2000-an serta menganalisis melalui pendekatan khusus terhadap penjualan filmnya. Hal-hal yang bisa ditemui dalam dunia perfilman hollywood adalah tentang branding negara. Dengan menggunakan metode interdisipliner yang diambil dari studi film, studi budaya, periklanan dan studi media, Brand Hollywood menunjukkan kompleksitas penjualan hiburan di media global, bagaimana pentingnya branding untuk film komersial dan budaya industri. Persamaannya dengan penelitian penulis terletak pada
13 Paul Grainge, 2008, Brand Hollywood: Selling Entertainment in A Media Global Age, published by Routledge.
11
pembahasan bagaimana dunia entertainment cukup mempengaruhi di era global saat ini. Perbedaannya, penelitian ini berfokus ke hollywood, penulis lebih ke Reality Show Korea Selatan.
Penelitian keenam berupa Tugas Karya Akhir yang dikerjakan oleh Pettisa Rustadi dengan judul “Korean Wave sebagai Instrumen Diplomasi Korea Selatan dilihat dari Paradigma Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme”.
14Tugas akhir tersebut fokus menjelaskan bagaimana Korean Wave sebagai instrumen diplomasi Korea Selatan dilihat dari berbagai perspektif. Menurut perspektif Realis dengan konsep soft power, Korea Selatan sangat sadar akan potensi diplomasi budaya untuk membangun citra nasionalnya, untuk itu Korea Selatan menggunakan Korean Wave sebagai komponen kunci untuk melakukan diplomasinya dan cukup efektif karena pandangan negara-negara kepada Korea Selatan mulai membaik dan Korea Selatan mulai dikenal luas. Menurut perspektif liberalis dengan konsep globalisasi, Korean Wave telah mempengaruhi permintaan pasar terhadap produk-produk buatan Korea Selatan, dirasakan produsen berbagai komoditas.
Menurut perspektif konstruktivis dengan konsep identitas, munculnya Korean Wave menyebabkan terbentuknya identitas bagi para penikmat musik dan film yang dijuluki fandom, serta munculnya fansite di dunia maya yang mendedikasikan dirinya untuk membantu meningkatkan kepopuleran idola mereka. Persamaannya ada di pembahasan budaya Korea Selatan, di penelitian ini Korean Wave yang meningkatkan citra Korea Selatan. Perbedaannya, penulis lebih berfokus ke budaya makanan.
14 Pettisa Rustadi, 2012, Korean Wave Sebagai Instrumen Diplomasi Korea Selatan Dilihat dari Paradigma Realisme, Liberalisme, Konstruktivisme, Skripsi, Depok : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
12
Penelitian ketujuh berupa jurnal oleh Firman Budianto yang berjudul
“Anime, Cool Japan, dan Globalisasi Budaya Populer Jepang”.
15Jurnal tersebut meneliti bagaimana kebudayaan Jepang berupa anime mendapatkan kepopuleran yang cukup tinggi di dunia global. Jepang telah tumbuh sebagai negara cultural-super-power karena Jepang dapat mempengaruhi orang-orang dari negara lain untuk tertarik pada Jepang melalui budaya, nilai-nilai, musik, makanan, maupun anime. Jepang kemudian menerapkan „Cool Japan‟ sebagai kebijakannya dengan Doraemon sebagai maskot. „Cool Japan‟ sebelumnya merupakan program tentang budaya populer Jepang disiarkan NHK TV pada tahun 2004 yang kemudian diadaptasi oleh pemerintah menjadi sebuah kebijakan. „Cool Japan‟ merupakan strategi diplomasi Jepang melalui budaya populer dan industri kreatif, termasuk anime, manga, kuliner, film, musik, dan lain sebagainya, yang melibatkan pihak pemerintah dan juga swasta.
Persamaannya dengan penelitian penulis adalah persamaan pembahasan mengenai globalisasi budaya melalui tayangan televisi. Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah fokus penulis pada Korea Selatan dan budaya makanannya.
Penelitian kedelapan berupa jurnal oleh Woongjae Ryoo berjudul
“Globalization, or the Logic of Cultural Hybridization: The Case of The Korean Wave”.
16Jurnal tersebut meneliti fenomena K-Wave yang berdampak pada hibriditas di Asia. Industri teknologi dan komunukasi sedang dalam
15 Firman Budianto, 2015, Anime, Cool Japan, dan Globalisasi Budaya Populer Jepang, Pusat Penelitian Sumber Daya Regional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 6, No.2.
16 Woongjae Ryoo, Juni 2009, Globalization, or the logic of cultural hybridization: the case of the Korean wave, Center for Communication Research, Hanyang University, Asian Journal of Communication, Vol. 19, No. 2.
13
perkembangannya yang pesat, pertukaran budaya dan ikatan universitas telah memperkuat hubungan di seluruh dunia antara orang, organisasi, kota dan pemerintah dari berbagai negara-bangsa. Penulis meneliti bahwa kebudayaan antar negara bisa bercampur satu sama lain serta bagaimana hal itu bisa mempengaruhi bidang perekonomian. Penulis berpendapat bahwa K-Wave adalah indikasi trend global baru, transformasi dalam budaya dan ekonomi. K- Wave juga dapat menyebabkan terbentuknya sebuah integrasi serta munculnya argumen bahwa tidak hanya negara-negara kuat saja yang dapat menyebarkan kebudayaannya, negara-negara berkembang juga dapat melakukan hal yang sama. Persamaannya dengan penilitian penulis ada pada globalisasi budaya dan K-Wave. Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah hibriditas sebagai fokus utama penelitian ini sedangkan penulis pada mekanisme penyebarannya.
Penelitian kesembilan merupakan jurnal karangan Kim Soo Chul yang
berjudul “1980년대 이후 한국 텔레비전
음식프로그램과음식문화의관계에 대한 고찰: <오늘의 요리>에서
<냉장고를 부탁해>까지(Hubungan Program Makanan Televisi Korea
dan Budaya Makanan Sejak 1980)”.
17Jurnal tersebut menjelaskan bagaimana program tayangan televisi dapat mempengaruhi hubungan global lokal budaya makanan sejak 1980. Kim Soo Chul menjabarkan macam- macam program yang bertemakan makanan yang sudah ada sejak tahun 1980, program makanan tersebut menampilkan adegan-adegan memasak makanan-
17 Kim Soo Chul, 2015, 1980년대이후한국텔레비전음식프로그램과음식문화의관계에
대한 고찰: <오늘의 요리>에서 <냉장고를 부탁해>까지(Hubungan Program Makanan Televisi Korea dan Budaya Makanan Sejak 1980), Studi Perdamaian, Universitas Hanyang.
14
makanan tradisional Korea Selatan sebagai upaya pemerintah untuk menumbuhkan nasionalisme masyarakat Korea Selatan pada saat itu. Konten dalam tayangan program makanan semakin beragam hingga menampilkan restoran-restoran Korea Selatan membuat pengetahuan masyarakat lokal terhadap makanan meningkat dan popularitas tayangan program makanan menyebar ke negara tetangga China dan Jepang. Beberapa restoran Korea Selatan pun mulai dibangun di luar negeri walaupun memang tidak langsung banyak saat itu. Persamaannya dengan penelitian penulis adalah sama-sama membahas bagaimana tayangan televisi bisa berpengaruh untuk menyebarkan budaya makanan. Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah cakupan atau batasan penelitiannya, dalam penelitian ini program televisi yang diteliti diproduksi pada tahun 1980, efek yang terlihat baru di kawasan Asia Timur saja, dan tujuan utama program makanan saat itu malah untuk menumbuhkan nasionalisme masyarakatnya, bukan untuk menyebarluaskan.
No .
Nama Peneliti dan Judul Jenis Penelitian dan Alat Analisa
Hasil 1. Syafril Alam dan
Ansgrasia Jenifer Nyarimun. Musik K- POP Sebagai Alat Diplomasi Dalam Soft Power Korea Selatan.
Jenis Penelitian : Deskriptif Alat Analisa : Konsep Soft power, diplomasi budaya
Cara yang ditempuh oleh pemerintah Korea Selatan dalam mengembangkan industri kreatifnya sangatlah luar biasa
dimana dalam
perkembangannya terjadi sinergisitas antara
pemerintah dan
pengusaha. Semua pihak,
baik pemerintah Korea
Selatan sendiri maupun
perusahaan atau
manajemen, artis K-Pop,
dan masyarakat Korea
Selatan, memperoleh
keuntungan. Dengan
meningkatnya
15
perekonomian Korea Selatan maka akan
meningkat pula
kesejahteraan masyarakatnya.
2. Tobias Hubinette. The Reception and
Consumption of Hallyu in Sweden: Preliminary Findings and
Reflections.
Jenis Penelitian : Deskriptif Alat Analisa : -
Persebaran hallyu ke Sweden dilakukan melalui banyak cara, media sosial, tayangan televisi, majalah, koran, radio, dan masih banyak lagi. Hallyu mulai dikenal di Sweden pada awal tahun 2000-an sejak munculnya drama-drama bergenre romance, sejak saat itu pula K-POP mulai banyak yang mengetahui dan menyukainya.
Penelitian ini menjabarkan bagaimana respon positif masyarakat di Sweden dengan masuknya Hallyu ke negara mereka dan berbagai macam hal yang berhubungan dengan Hallyu menjadi konsumsi mereka. Penelitian ini juga memberikan pandangan tentang masa depan Hallyu di Sweden selanjutnya, walaupun memang ada beberapa orang yang tidak terlalu tertarik dengan Hallyu, ada juga yang kontra, tetapi bisa dikatakan penerimaan akan Hallyu cukup baik di Sweden.
3. Seong Cheol Choi. South Korean Culture Goes Latin America: Social network analysis of Kpop Tweets in Mexico.
Jenis Penelitian : Deskriptif Alat Analisa : Social Network Analysis
Masuknya budaya Korea
Selatan ke Amerika Latin
dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satunya
melalui network atau
media sosial, yang
dijadikan fokus disini
adalah twitter. Twitter
berhasil menyebarkan
lebih luas lagi kebudayaan
16
K-POP dan berhasil diterima dengan baik oleh masyarakat di Mexico Amerika Latin.
4. Ian Condry. Hip-Hop Japan: Rap and the Paths of Cultural Globalization.
Jenis Penelitian : Deskriptif Alat Analisa : Cultural Globalization
Cultural Globalization yang terjadi menyebabkan efek penyerapan budaya oleh Jepang yaitu genre hip-hop dan rap.
Munculnya genre hip-hop dan rap menjadi nuansa musik yang baru bagi Jepang dan selain untuk perkembangan musik, perpolitikan juga berkembang karena rap biasanya mengandung lirik-lirik yang frontal dan kontra, para rapper cenderung membuat lirik mereka yang berisi
kritikan untuk
pemerintahan yang bermasalah.
5. Paul Grainge. Brand Hollywood: Selling Entertainment in A Media Global Age.
Era globalisasi semakin memudahkan penjualan film ke seluruh dunia.
Momen pengglobalan dimanfaatkan dengan baik oleh industri Hollywood yang sebagian besar film- filmnya berisi tentang branding negara dan budaya. Industri perfilman telah menjadi bidang perekonomian yang cukup menjanjikan dan penonton sebagai konsumer tetap.
6. Pettisa Rustadi. Korean Wave Sebagai Instrumen Diplomasi Korea Selatan Dilihat dari Paradigma Realisme, Liberalisme, Konstruktivisme.
Jenis Penelitian : Eksplanatif Alat Analisa : Paradigma Realisme, Liberalisme, Konstruktivisme
Korean Wave sebagai instrumen diplomasi Korea Selatan dilihat dari berbagai perspektif.
Menurut perspektif Realis
dengan konsep soft power,
Korea Selatan sangat
sadar akan potensi
diplomasi budaya untuk
membangun citra
17
nasionalnya, Menurut perspektif liberalis dengan konsep globalisasi, Korean Wave telah mempengaruhi permintaan pasar terhadap produk- produk buatan Korea Selatan. Menurut perspektif konstruktivis dengan konsep identitas, munculnya Korean Wave menyebabkan
terbentuknya identitas bagi para penikmat musik dan film yang dijuluki fandom.
7. Firman Budianto, Anime, Cool Japan, dan Globalisasi Budaya Populer Jepang
Jenis Penelitian : Deskriptif Alat Analisa : Cultural Globalization
Jepang yang berusaha untuk menyebarkan kebudayaannya yang berfokus pada anime dan menjadikan doraemon sebagai maskot utama melalui kebijakan „Cool Japan‟. „Cool Japan‟ pada awalnya sebuah acara TV yang menayangkan tentang budaya populer Jepang yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah kebijakan. Hal ini menjadikan image Jepang berubah menjadi cultural- super-power.
8. Woongjae Ryoo, Globalization, or the logic of cultural hybridization: the case of the Korean wave.
Jenis Penelitian : Deskriptif Alat Analisa : Cultural Hybridization
Teknologi, informasi, dan komunikasi semakin berkembang pesat saat ini.
Penyebaran nilai-nilai dan kebudayaan semakin mudah untuk dilakukan.
K-Wave merupakan
fenomena yang sudah
tidak asing lagi bagi
masyarakat global. K-
Wave berfokus untuk
menyebarkan kebudayaan
berupan jenis musik dan
tarian serta drama yang
menampilkan ciri khas
18
dari Korea Selatan ke dunia. K-Wave bisa dipahami sebagai globalisasi budaya dan proses dari globalisasi budaya tersebut menyebabkan terjadinya hibriditas atau pencampuran budaya dan juga dapat menyebabkan integrasi.
9. Kim Soo Chul, 1980년대 이후 한국 텔레비전
음식프로그램과음식
문화의관계에 대한
고찰: <오늘의
요리>에서 <냉장고를 부탁해>까지(Hubunga n Program Makanan Televisi Korea dan Budaya Makanan Sejak 1980)
Konsep Global- Lokal
Media televisi Korea Selatan mempunyai peran yang siginifikan untuk hubungan global-lokal dalam budaya makanan Korea Selatan. Media televisi sangat aktif mengkomersialkan
makanan tradisional dan mengenalkan restoran yang menyajikan makanan Korea Selatan sejak tahun 1980. Dengan adanya tayangan televisi yang menyiarkan makanan tradisional Korea Selatan, semakin menambah pengetahuan masyarakat lokal Korea Selatan maupun global tentang makanan tradisional Korea Selatan dan bagaimana cara membuat berbagai macam makanan tersebut.
1.5 Kerangka Teori dan Konsep 1.5.1 Global Entertainment Media
Ungkapan „Global Entertainment Media‟ berasal dari tiga kata yaitu
global, entertainment, dan media. Menurut Oxford English Dictionary, global
berarti berhubungan dengan seluruh dunia. Entertainment mengacu pada suatu
19
peristiwa atau pertunjukan yang dirancang untuk menghibur orang lain. Lalu media sendiri adalah sarana utama dan bisa dikatakan produk-produk komunikasi massa. Maka Global Entertainment Media mengacu pada komoditas media yang diproduksi, didistribusikan, dipasarkan, dipamerkan, dan dikonsumsi di banyak negara yang berbeda yang bertujuan untuk memberikan hiburan. Jenis-jenis media hiburan pada Global Entertainment Media difokuskan pada tayangan televisi seperti tv show, game show, reality show dan film. Fenomena lintas batas tayangan televisi dan film telah berkembang sangat cepat.
18Untuk beberapa pendapat, gerakan lintas batas tayangan televisi dan film adalah bagian dan produk dari sistem sosial-ekonomi tertentu (kapitalisme dan konsumerisme). Menurut Marx, tayangan televisi dan film adalah produk berharga dari mode produksi kapitalis, sebuah sistem yang dominan di seluruh dunia. Di seluruh dunia, tayangan televisi dan film telah menjadi sektor impor produksi dan konsumsi. Menurut Vogel, waktu luang dimana tidak ada pekerjaan dimanfaatkan orang-orang untuk melakukan hal- hal lain, orang-orang di seluruh dunia cenderung pergi berbelanja dan menonton banyak tayangan televisi dan film yang dibuat oleh perusahaan media baik domestik atau asing. Layanan pengunduhan tayangan televisi dan film berbayar maupun gratis sangat banyak peminatnya.
19Selain menjadi bagian dari ekonomi-politik di banyak negara, media hiburan juga penting dalam segi pengenalan budaya, lokal dan global, nasional
18 Tanner Mirrlees, 2013, Global Entertainment Media: Between Cultural Imperialism and Cultural Globalization, Routledge:UK, Hal. 8.
19 Ibid., Hal. 9.
20
dan internasional. Tayangan televisi dan film mewakili cara hidup dan budaya suatu individu, kelompok atau negara. Di banyak negara, media hiburan adalah bagian penting dari budaya. Produk media tidak hanya digunakan oleh penonton untuk bersantai setelah seharian bekerja, tetapi juga untuk membayangkan atau berempati dengan kehidupan orang lain, atau untuk menghilangkan stress serta pembawa simbol sesuatu tentang budaya. Orang- orang dapat merasakan persamaan diri mereka sendiri dan orang-orang di negara lain dengan mengkonsumsi simbol budaya yang dibawa oleh tayangan televisi dan film. Konsumsi tayangan televisi dan film selama waktu luang diterima begitu saja oleh banyak orang dan sudah menjadi rutinitas. Semua tayangan televisi dan film menyiratkan cara tertentu dalam melakukan sesuatu dengan kehidupan.
20Globalisasi tayangan televisi dan film dapat mempengaruhi orang, membentuk cara mereka memahami identitas sosial mereka, komunitas budaya mereka, memberikan gaya hidup kepada orang-orang untuk diidentifikasi dan ditiru. Media hiburan menyampaikan berbagai representasi masyarakat dan budaya, yang dapat membentuk cara orang memandang diri mereka sendiri dan dunia. Media hiburan adalah sarana sosialisasi budaya dan digunakan oleh orang untuk mengembangkan rasa persamaan diri dengan orang lain. Media hiburan adalah bagian penting dan berpengaruh, perusahaan media, warga negara dan konsumen di banyak negara memperdebatkan tujuan dan dampaknya. Singkatnya, media hiburan global adalah bagian substansial
20 Ibid., Hal. 10.
21
dari ekonomi-politik kapitalisme-konsumerisme global serta bagian dari globalisasi budaya dengan banyak negara.
21Global Entertainment Media merupakan sebuah paradigma. Paradigma adalah lensa khusus untuk memandang sebuah fenomena, para cendikiawan biasanya memandang dunia tempat mereka hidup melalui berbagai paradigma.
Paradigma tercipta dari adanya prinsip-prinsip tertentu, konstanta empiris, dan sudut pandang normatif. Tidak ada paradigma yang memberikan gambaran sempurna mengenai fenomena yang terjadi. Paradigma Global Entertainment Media bisa didukung, ditolak, maupun dimodifikasi sesuai kebutuhan masing- masing orang melalui analisa.
22Kepopuleran Paradigma Global Entertainment Media bermula ketika sebuah berita dikeluarkan oleh Sydney Morning Herald pada 24 Maret 2006 berjudul “George Lucas attacks US Cultural imperialism”, dalam berita tersebut Lucas mengatakan bahwa Hollywood memiliki dampak yang besar kepada dunia dan konten media hiburan saat itu bergerak ke Amerika Serikat.
Orang-orang melihat kehidupan yang mewah di Dallas dan Texas membuat orang-orang menginginkan kehidupan seperti itu pula, cukup menggoyahkan dunia. Globalisasi film-film Hollywood dan tayangan TV merepresentasikan Amerika Serikat ke seluruh dunia dan berpandangan industri hiburan akan merugikan penonton. Lucas berpendapat bahwa globalisasi film-film Hollywood dan acara TV membawa representasi Amerika ke seluruh dunia, dan ia memandang ekspor hiburan Amerika Serikat merugikan penonton.
21 Ibid., Hal. 11.
22 Ibid., Hal. 20.
22
Produk hiburan Amerika Serikat merusak penonton dengan budaya non-AS karena menunjukkan kepada mereka standar hidup Amerika Serikat dan gaya hidup itu mereka tidak menikmati, mungkin menuntun mereka untuk merasakan kebencian atau keinginan untuk menjadi seperti dan hidup seperti
‘orang Amerika’.
23Lucas dan Legrain memiliki pendapat yang berbeda satu sama lain tentang media hiburan Amerika Serikat. Lucas menganggap itu adalah kekuatan destabilisasi Amerikanisasi dan homogenisasi budaya, Legrain memandangnya sebagai kekuatan pemberdayaan pertukaran budaya dan keanekaragaman. Komentar Lucas dan Legrain mencerminkan dua paradigma paling berpengaruh dalam studi Global Entertainment Media: Cultural Imperialism (CI) dan Cultural Globalization (CG). Klaim Lucas bahwa pergerakan hiburan lintas-batas adalah suatu ketidakstabilan kekuatan budaya mungkin benar dalam beberapa konteks penerimaan lokal, tetapi tidak semuanya. Klaim Legrain bahwa penyebaran global media hiburan mengarah pada kebebasan individu yang lebih besar, pertukaran budaya, dan budaya hibrida dapat berlaku dalam beberapa hal, tetapi tidak di setiap negara.
Paradigma memberi kita konstruksi realitas ‘tipe ideal’.
241.5.2 Cultural Globalization
Pada tahun 2003, sebuah majalah International Economy mengeluarkan artikel oleh Phillippe Legrain yang berjudul “In Defense of Globalization” dimana Legrain memandang entertainment bukanlah sebuah imperialisme budaya seperti yang dikatakan George Lucas, melainkan sebuah
23 Ibid., Hal. 19.
24 Ibid.
23
bentuk globalisasi. Legrain berpikiran bahwa globalisasi mendukung pertukaran budaya dan sama sekali tidak membahayakan suatu negara, bahkan bisa meningkatkan kebebasan individu untuk berkreasi dan memungkinkan untuk membentuk komunitas baru yang dihubungkan oleh minat dan kesukaan. Globalisasi bukanlah proses satu arah, tetapi merupakan proses dua arah dan saling mempengaruhi. Paradigma Cultural Imperialsm(CI) dan Cultural Globalization(CG) saat ini digunakan oleh jurnalis, pembuat kebijakan dan cendikiawan untuk menggambarkan sejumlah proses dan efek yang berbeda terkait pergerakan lintas batas dunia entertainment.
25Dari awal 1900-an sampai 1970-an Cultural Imperialism masih menjadi landasan utama para cendikiawan walaupun menimbulkan banyak reaksi dan protes dari beberapa kalangan. Pada tahun 1980-an mulai banyak kritikus yang berpendapat bahwa itu tidak lagi mencerminkan kompleksitas hubungan antar budaya. Sebagai upaya untuk memahami kompleksitas hubungan antar budaya di seluruh dunia yang berubah semakin cepat, para sarjana mengembangkan paradigma baru yaitu Cultural Globalization. Perlu dilakukan pemetaan dan pemahaman apa itu globalisasi, aspek-aspeknya, kemudian barulah bisa membahas Cultural Globalization.
26Cultural Globalization merupakan elemen turunan dari Global Entertainment Media. Paradigma Cultural Globalization dikaitkan dengan klaim utama tentang pergerakan lintas batas media dan sifat sistem dunia di mana tayangan televisi seperti tv show, game show, reality show, dan film beredar. Tomlinson dalam bukunya mengatakan bahwa globalisasi mengacau
25 Ibid., Hal. 19-20.
26 Ibid.
24
pada interkoneksi, saling ketergantungan, dan integrasi semua bidang dalam sistem dunia. Sama halnya dengan pemahaman Cultural Globalization yang merupakan sebuah proses arus budaya di seluruh dunia. Interaksi yang semakin dalam antara orang-orang dan budaya. Cultural Globalization mengacu kepada pemaparan orang terhadap nilai-nilai, ide-ide dan cara hidup dan hibridasi sebagai hasil dari proses ini. Budaya dan globalisasi adalah dua hal yang saling mempengaruhi dan biasanya secara otomatis akan tersambung satu dengan yang lain, dunia modern penuh dengan peluang pencampuran budaya.
27Argumen-argumen utama dalam Cultural Globalization antara lain:
1. Paradigma CG dikaitkan dengan klaim utama tentang pergerakan lintas batas media dan sifat sistem dunia di mana tayangan TV seperti tv show, game show, reality show, dan film beredar.
2. Klaim bahwa zaman imperealisme telah berakhir. Dunia tidak lagi terbagi antara negara-negara adikuasa dan pinggiran.
3. Adanya konsep „Asymmetrical interdependence‟ atau saling ketergantungan, yang hadir untuk berbagai hubungan dimana negara menemukan diri mereka memiliki inisiatif yang bervariasi dalam politik, ekonomi, dan budaya.
4. Beberapa sarjana CG mengatakan negara tidak harus menjadi satu-satunya sumber dan penyelamat budaya nasional tetapi elemen individu juga dapat berpengaruh.
27 Ibid., Hal. 46.
25
5. Beberapa sarjana CG mengkritik model fungsionalis struktural masyarakat yang mengutamakan kekuatan ekonomi dan hubungan sebagai penentu utama dari semua fenomena budaya.
6. Cendekiawan CG mengatakan bahwa produk media belum tentu untuk menggambarkan kekuatan sebuah negara dan ideologi kapitalis konsumen.
7. Menekankan bahwa orang-orang di seluruh dunia secara aktif mengonsumsi media hiburan yang mengglobal, dan mereka fokus pada apa yang ‘dilakukan’ orang-orang dengan acara TV dan film dalam konteks penerimaan mereka.
8. Paradigma CG menantang gagasan-gagasan kaum esensialis yang berbasiskan budaya teritorial atau budaya lokal atau nasional.
28Berdasarkan argumen-argumen pokok atau utama yang ada diatas, penulis ingin menggunakan dasar argumen-argumen sebagai media operasionalisasi dalam melihat fenomena globalisasi budaya makanan Korea Selatan melalui reality show. Argumen mengenai berakhirnya imperealisme dan lintas batas media yang luas relevan dan dapat menjelaskan fenomena meluasnya K-Pop, K-Drama, dan K-Reality Show ke global. Dalam CG juga dijelaskan bahwa aktor untuk melakukan globalisasi budaya tidak hanya negara saja, individu, kelompok, atau elemen lain juga bisa turut serta.
Argumen berikutnya yaitu masyarakat global yang cenderung aktif dalam mengkonsumsi media hiburan akan membantu menjelaskan fenomena popularitas industri hiburan Korea Selatan dan banyaknya penikmat tayangan
28 Ibid., Hal. 45-55.