13 2.1 Tax Amnesty
2.1.1 Pengertian Tax amnesty
Terdapat beberapa definisi tax amnesty yang dikemukakan oleh beberapa ahli,yaitu:
Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bahwa:
“Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini..”
Menurut Sony Devano dan Siti Rahayu Kurnia (2006:137) menjelaskan bahwa:
“Tax amnesty adalah merupakan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi Wajib Pajak yang tidak patuh menjadi Wajib Pajak patuh. Sehingga diharapkan akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak di masa yang akan datang.”
Sedangkan Zainal Muttaqin (2013:30) menjelaskan bahwa:
“Pengampunan pajak merupakan kesempatan yang di berikan dalam waktu terbatas kepada kelompok pembayar pajak tertentu untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai pembebasan tanggung jawab (termasuk bunga dan denda) dalam kaitan dengan tahun pajak sebelumnya tanpa adanya kekhawatiran untuk dituntut pidana.”
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Tax amnesty adalah kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang yang tidak akan dikenai sanksi administrasi maupun sanksi pidana di bidang perpajakan dan kebijakan ini diberikan dalam waktu yang terbatas guna meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Menurut Zainnal Muttaqin (2013:29), terdapat beberapa hal pokok yang terkait dengan amnesti, yaitu:
a. Kewenangan amnesti hanya berada pada wewenang Presiden dalam kedudukan sebagai kepala negara atau simbol negara. Jabatan atau apapun yang ada dalam negara tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan amnesti.
b. Pemberian amnesti mempunyai akibat hukum, hilangnya kesalahan pelaku kejahatan/pelanggaran, sehingga terhadap pelaku dibebaskan dari sanksi atau ancaman baik pidana maupun administrasi.
c. Sesuai dengan tuntutan konsep negara hukum modern, penjatuhan amnesti harus diberi wadah dalam bentuk undang-undang dengan pertimbangan bahwa selain sanksi yang dihapuskan diatur dalam undang-undang juga pengaturan dalam undang-undang lebih kuat mempunyai dasar hukum, karena mendapat persetujuan dari legislatif. Pengampunan pajak menyebabkan tidak diterimanya sejumlah uang oleh negara berdasarkan hukum.
d. Amnesti diberikan pada moment ternetu tidak setiap saat. Moment tersebut dapat dikaitkan dengan pertimbangan politik, ekonomi nasional, keutuhan persatuan dan kesatuan negara, dan sebaginya.
2.1.2 Alasan Melaksanakan Pengampunan Pajak
Menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:37), terdapat tiga pertimbangan dilaksankannya pengampunan pajak, yaitu:
a. Underground economy
Underground economy adalah kegiatan ekonomi yang sengaja
disembunyikan untuk menghindarkan pembayaran pajak, yang berlangsung di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kegiatan ekonomi ini lazimnya diukur dari besarnya nilai ekonomi yang dihasilkan, dibandingkan dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan penelitian Dr. Enste dan Dr. Schneider (2002), besarnya presentase kegiatan ekonomi bawah tanah di negara maju dapat mencapai 14-16% PDB, sedangkan di negara berkembang mencapai 35- 44% PDB. Kegiatan ekonomi bawah tanah ini tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, sehingga masuk dalam kriteria penyelundupan pajak (tax evasion).
b. Pelarian Modal ke Luar Negeri Secara Ilegal
Kebijakan tax amnesty adalah upaya terakhir pemerintah dalam meningkatkan jumlah penerimaan pajak, karena pemerintah mengalami
kesulitan memajaki dana atau modal yang telah dibawa atau diparkir di luar negeri.
c. Rekayasa Transkasi Keuangan yang Mengakibatkan Kehilangan Potensi Penerimaan Pajak
Kemajuan infrastruktur dan instrumen keuangan internasional seperti tax heaven countries dan derivatives transaction telah mendorong perusahaan
besar melakukan illegal profit shifting ke luar negeri dengan cara melakukan rekayasa transaksi keuangan. Setelah itu, keuntungan yang dibawa ke luar negeri sebagian masuk kembali ke Indonesia dalam bentuk pinjaman luar negeri atau investasi asing. Transaksi ini disebut pencucian uang (money laundry). Ketentuan perpajakan domestik tak mampu memajaki rekayasa transaksi keuangan tersebut. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka timbul potensi pajak yang hilang dalam jumlah yang signifikan.
2.1.3 Tujuan Pengampunan Pajak
Suatu kebijakan diterapkan pasti memiliki tujuan tersendiri begitu juga dengan salah satu kebijakan pengampunan pajak. Menurut Zainal Muttaqin (2013:31) tujuan dari pengampunan pajak, yaitu:
1) Meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek.
2) Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sehingga dapat meningkatkan keadilan horizontal dan meningkatkan pendapatan dalam jangka menengah.
Sisi positif dari program pengampunan pajak adalah peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak pada dasarnya mengambil hak negara yang belum/tidak dibayar dengan cara Wajib Pajak membayar sesuai kewajibannya tanpa dikenai sanksi apapun (Muttaqin, 2013:33).
2.1.4 Jenis-Jenis Amnesti
Terdapat empat jenis amnesti menurut (Erwin Silitonga dalam Zainal Muttaqin, 2013:34), yaitu:
1. Pengampunan hanya diberikan terhadap sanksi pidana perpajakan saja, sedangkan kewajiban untuk membayar pokok pajak termasuk pengenaan sanksi administrasi seperti bunga dan denda tetap ada. Tujuan yang ingin dicapai oleh model pengampunan pajak ini adalah memungut dan menagih utang pajak tahun-tahun sebelumnya yang tidak dibayar tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga penerimaan negara meningkat sekaligus jumlah Wajib Pajak semakin bertambah.
2. Pengampunan pajak yang diberikan tidak hanya berupa penghapusan sanksi pidana, tetapi juga sanksi administrasi berupa denda. Wajib Pajak yang diberikan pengampunan tetap mempunyai kewajiban untuk melunasi hutang pokok pajak yang tidak/kurang bayar pada tahun-tahun sebelumnya dengan disertai bunga atau kekurangan pembayaran pajak. Tujuan pengampunan pada model ini pada dasarnya sama dengan tujuan pada model pertama, yang berbeda adalah jenis sanksi administrasi yang dikenai oleh fiskus hanya sebatas bunga atas kekurangan pajak.
3. Pengampunan pajak diberikan atas seluruh sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Konsekuensi dari pengampunan model ini, maka Wajib Pajak hanya dikenai kewajiban sebatas melunasi utang pokok untuk tahun-tahun sebelumnya tanpa dikenakan sanksi administrasi baik bunga, denda maupun kenaikan serta sanksi pidana.
4. Pengampunan diberikan terhadap seluruh utang pajak untuk tahun-tahun sebelumnya dan juga atas seluruh sanksi baik yang bersifat administrasi maupun pidana. Sasaran yang akan dicapai pada model ini lebih difokuskan pada harapan meningkatnya penerimaan pasca diterapkannya pengampunan pajak, dengan asumsi masyarakat yang sebelumnya belum atau tidak membayar diharapkan pada tahun-tahun yang akan datang akan melaksankaan kewajibannya tanpa diliputi rasa takut dikenakan penagihan.
Dengan menggunakan bentuk-bentuk pembebasan pada pengampunan pajak, maka masih dimungkinkan model lain selain empat model di atas, dengan membuat tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Bentuk Pembebasan Model Utang Pokok Sanksi
Adm/denda
Penuntutan
Pidana Bentuk Lain I Tidak ada
pembebasan
Tidak ada
pembebasan Bebas -
II
tidak ada pembebsan + bunga
kekurangan
Bebas Bebas -
III Tidak ada
pembebasan Bebas Bebas -
IV Bebas Bebas Bebas -
V Tidak ada
pembebasan Bebas Tidak ada pembebasan
Tarif lebih rendah atas utang pokok.
Dasar pengenaan:
Nilai Perolehan VI Tidak ada
pembebasan Pengurangan Bebas Tarif lebih rendah
VII Bebas Bebas
Tidak bebas, bagi WP yang sedang dalam proses
penyidikan/penu ntutan
Utang tebusan
Sumber: Tax amnesty di Indonesia, Zainal Muttaqin (2013:36)
2.1.5 Upaya Mengatasi Implikasi Tax amnesty
Dampak negatif timbul akibat kelonggaran pajak yang dinikmati para pengempalang pajak, rasa keadilan dalam pemungutan pajak yang tidak dihargai, adalah memotivasi Wajib Pajak patuh menjadi tidak patuh karena pembyar pajak yang jujur tidak mendapat penghargaan atas kejujurannya. (Devano dan Siti Kurnia, 2006:139). Adapun upaya yang dilakukan untuk mengatasi dampak dari kebijakan tax amnesty menurut Devano dan Siti Kurnia (2006:139), yaitu:
a. Sanksi bunga, denda, atau kenaikan pajaknya saja. Bahwa pokok pajaknya tidak termasuk yang diampunkan. Dan rencana ini diumumkan secara terbuka melalu situs internet atau iklan layanan masyarkat lainnya kepada seluruh lapisan masyarakat, untuk memberi kesempatan berpartisipasi dan emmebrikan masukan atau pendapat sebelum draft RUU Pengampunan Pajak disampaikan kepada wakil rakyat.
b. Melalui penerapan differential tax amnesty, yang membedakan perlakuan pengampunan pajak, di mana terhadap Wajib Pajak yang belum pernah menyampaikan SPT diwajibkan membayar pajak-pajaknya di masa lalu, sedangkan terhadap Wajib Pajak yang sudah patuh menyampaikan SPT dapat memperbaiki pembayaran pajaknya, tanpa dikenai sanksi bunga, denda, atau kenaikan. Dengan demikian, terdapat kesetaran perlakuan pengampunan terhadap penyelundupan pajak dan pembayar pajak yang patuh, karena meskipun keduanya sama-sama dibebaskan dari snaksi bunga, sanksi denda, dan sanksi kenaikan (termasuk sanksi pidana fiskalnya), namun keduanya tetap diwajibkan membayar pokok pajaknya (Erwin Silitonga, 2005).
Menurut Zainnal Muttaqin (2013:37) alasan dilaksankaannya kebijakan pengampunan pajak, yaitu:
a. Tahun 1964, pengampunan pajak didasarkan pada pertimbangan adanya kebutuhan dana yang besar untuk kepentingan Revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana.
b. Tahun 1984, pengampunan pajak dilatarbelakangi oleh adanya perubahan sistem perpajakan baru yang bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2.1.6 Bentuk Pengampunan
Adapun bentuk dari pengampunan pajak tahun 1964 dan 1984 (Muttaqin, 2013:39), yaitu:
1) Tahun 1964, berdasarkan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1964 a. Pasal 7 ayat (1), memberikan keringan berupa pernyataan bahwa modal
yang dimintakan pengampunan, tidak akan dijadikan alasan oleh instansi pemerintah yang bertugas di bidang fiskal untuk melakukan pengusutan atas asal-usul modal tersebut.
b. Pasal 7 ayat (2), menyatakan bahwa laporan tentang kekayaan dalam rangka pengampunan pajak tidak dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk apapun.
c. Pengenaan uang tebusan pada tahun ini mengenal 2 (dua) macam tarif yaitu 5% dikenakan apabila modal Wajib Pajak yang pada saat mengajukan pengampunan, telah atau sedang ditanamkan dalam bidang- bidang usaha pertanian, perikanan, perternakan, pertambangan, perindustrian, dan pengangkutan yang ditetapkan oleh Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan. Sedangkan 10% dikenakan terhadap modal/kekayaan Wajib Pajak yang pada saat mengajukan pengampunan belum dikenakan pajak dan digunakan diluar bidang usaha yang ditentukan oleh Menteri di atas.
2) Tahun 1984, Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1984
a. Pasal 7 ayat (1), menyatakan bahwa Wajib Pajak yang melapor untuk mendapatkan pengampunan pajak dibebaskan dari pengusutan fiskal, terhadap hutang pajak PPd, PPs, PKk, PBDR, PPd 17a, MPO dan PPn yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar sebelum tahun 1964.
b. Pasal 7 ayat (2), menyatakan bahwa laporan tentang kekayaan dalam rangka pengampunan pajak tidak dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk apapun.
c. Pasal 3 ayat (1), menyatakan hawa atas pajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut dikenakan tebusan dengan tarif:
i. 1% dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang diminta pengampunan bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden No 26 Tahun 1984 telah memasukan SPT.Pd/P.Ps tahun 1983 dan P.Kk tahun 1984.
ii. 10% dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1984 ini belum memasukkan SPT P.Pd/P.Ps tahun 1983 dan P.Kk tahun 1984.
2.1.7 Sasaran Pengampunan
Sesuai dengan Kep. Pres No. 26 Tahun 1984, pengampunan pajak ditunjukkan kepada Wajib Pajak (orang pribadi maupun badan), baik yang belum terdaftar ataupun yang sudah terdaftar (Pasal 1 ayat(1)). Wajib Pajak yang belum
atau tidak terdaftar diartikan sebagai orang atau badan yang secara materiil sudah memiliki tatbestand (syarat objektif) tetapi tidak melaksanakan kewajiban pembayaran pajak (Muttaqin, 2013:41).
2.1.8 Perbandingan Pengampunan Pajak
Berikut adalah perbandingan pengampunan pajak di Indonesia berdasarkan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1964 dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1984 :
Tabel 2.2
Perbandingan Pengampunan Pajak Pen.Pres 5/1964 – Kep.Pres 25/1984
Materi Pen.Pres 5/1964 Kep.Pres 26/1984
1. Tujuan Mengatasi kebutuhan
keuangan negara &
membiayai pembangunan nasional semesta berencana.
Mendukung sistem perpajakan baru dengan landasan kejujuran dan keterbukaan.
2. Objek/jenis pajak PPd, P.Ps dan PKk. P.Pd, P.Ps, PKk, PBDR, P.Pd 17 a, P.Pn.
3. Masa Pengampunan 228 hari +439 hari
4. Bentuk Pengampunan Bebas pengusutan fiskal.
Bebas penuntutan pidana.
Bebas pengusutan fiskal.
Bebas penuntutan pidana.
5. Uang Tebusan
a. 5% dari WP yang menanamkan modal di bidang usaha yang mendapat prioritas
a. 1% dari WP yang telah memasukkan SPT.
b. 10% bagi WP yang
pemerintah.
b. 10% dari yang seharusnya terhutang, bagi WP selain huruf a.
belum memasukkan SPT.
6. Sanksi Pasca Pengampunan a. Sanksi
administrasi b. Sanksi pidana
Denda administrasi 400%
dari jumlah yang kurang disetor.
Kurungan selama- lamanya 5 tahun atau denda Rp. 100 juta, bagi
WP yang tidak
memanfaatkan pengampunan.
Tidak ada.
Sumber: Tax amnesty di Indonesia, Zainnal Muttaqin (2013:47)
2.2 Sunset Policy
2.2.1 Pengertian Sunset policy
Menurut Zainal Muttaqin (2013:51) menjelaskan bahwa:
“Sunset policy merupakan kebijakan pemerintah dalan upaya memperluas jumlah Wajib Pajak dengan tujuan meningkatkan penerimaan negara. Secara sederhana sunset policy adalah fasilitas di bidang perpajakan berupa penghapusan sanksi administrasi berupa bunga dalam waktu yang terbatas”.
Sedangkan menurut Direktorat Jendral Pajak dalam (Ratung dan Adi, 2009) menjelaskan bahwa:
“Sunset policy adalah fasilitas di bidang perpajakan berupa penghapusan sanksi administrasi berupa bunga dalam waktu yang terbatas, yang di atur dalam Pasal 37 A Undang-Undang No. 28 Tahun 2007”.
Adapun isi dari Pasal 37 A Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, yaitu:
a) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang
mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lambat tanggal 28 Pebruari 2009, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
b) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.
2.2.2 Alasan Dilaksanakan Sunset policy
Menurut Ibnu Purna dari Direktorat Jenderal Departemen Keuangan yang dikutip oleh (www.setneg.go.id) menyatakah terdapat beberapa alasan yang menjadi latarbelakang sunset policy, yaitu:
a. Sistem Self Assessment.
Self Assessment memberikan secara penuh pelaksanaan pemenuhan
perpajakan oleh Wajib Pajak diserahkan seluruhnya pada Wajib pajak yang bersangkutan sehingga kemungkinan untuk melakukan ketidakpatuhan akan besar. Dengan adanya indikasi tersebut, terdapat peraturan perpajakan yaitu UU Pasal 35 yang memberikan kewenangan
DJP untuk melakukan penelusuran data pada Wajib Pajak. Sehingga bagi Wajib Pajak yang ditemukan ketidakbenaran pelaporan perpajakannya akan dikenakan sanksi. Untuk menghindari hal tersebut maka diluncurkanlah bentuk pengampunan pajak berupa penghapusan sanksi pajak bagi Wajib Pajak yang melaporkan kekurangan pajak ditahun sebelumnya (Rahayu, 2013:333).
b. Perlu adanya keterbukaan.
Pasal 35 A ayat (1), instansi/lembaga/asosiasi/pihak lain baik swasta maupun pemerintah wajib menyampaikan data perpajakan ke DJP.
Pasal 35 A ayat (2), bila data DJP kurang mencukupi, DJP dapat secara aktif mencari data tanpa adanya batasan harus sedang dilakukan pemeriksaan.
c. Dengan adanya Pasal 35 A masyarakat yang belum memenuhi kewajiban perpajakan mudah diketahui dan dapat dikenakan sanksi yang memberatkan.
d. Untuk menghindarkan pengenaan sanksi atas kewajiban perpajakan masa lalu dan untuk memulai keterbukaan pelaksanaan perpajakan di masa mendatang diberikan kesempatan sunset policy.
2.2.3 Sasaran Sunset policy
Sasaran dari Sunset policy tahun 2008 menurut Zainnal Muttaqin (2013:52) berdasarkan Pasal 37 A Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007, Peraturan Menteri Keuangan No.
66/PMK.03/2008, Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 27/PJ/2008 yang
kemudian diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 30/PJ/2008, Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-33/PJ/2008, Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE- 34/PJ/2008, yaitu:
a. Orang pribadi yang belum memiliki NPWP, yang dalam tahun 2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menyampaikan SPT tahunan P.Ph untuk tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, paling lambat 31 Maret 2009.
b. Orang pribadi dan badan yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2008 yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh tahun-tahun sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum diperhitungkan dalam SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan.
Selain yang disebutkan di atas, Zainnal Muttaqin (2013:53) menjelaskan bahwa sasaran sunset policy tahun 2008 ini tidak hanya untuk meningkatkan penerimaan negara tetapi lebih kepada pengumpulan pajak, meningkatkan kepatuhan sukarela (Voluntary Compliance) dari Wajib Pajak dalam upaya memperbaiki sistem administrasi perpajakan.
Sedangkan menurut Direktorat Jendral Pajak sasaran untuk sunset policy tahun 2015 adalah:
a. Orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif maupun objektif sebagai subjek pajak namun belum mendaftarkan diri, guna mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak yang baru mendaftar ini diharapkan untuk menyampaikan SPT terkait kewajiban perpajakannnya, sekaligus melunasi pajak yang terutang berdasarkan SPT tersebut. Dengan
aturan tersebut, Wajib Pajak baru akan menikmati fasilitas dibebaskan dari sanksi administrasi yang timbul karena keterlambatan penyampaian SPT maupun keterlambatan penyetoran pajak.
b. Wajib Pajak yang sudah menyampaikan SPT namun belum menjelaskan kondisi yang sebenarnya dalam SPT tersebut, seperti misalnya, mengurangi omset penjualan atau kurang melaporkan penghasilan yang diperoleh, diharapkan segera melakukan pembetulan SPT sekaligus melunasi kekurangan pajak yang terutang.
2.2.4 Perbedaan Sunset policy Tahun 2008 dengan Sunset policy Tahun 2015 Menurut Direktorat Jenderal Pajak terdapat perbedaan antara Sunset policy Tahun 2008 dengan Sunset policy Tahun 2015, yaitu:
Tabel 2.3
Perbedaan Sunset policy Tahun 2008 dengan Tahun 2015
Tahun 2008 Tahun 2015
1. Insentif hanya diberikan atas PPh.
2. Insentif hanya diberikan jika Wajib Pajak menyampaikan pembetulan SPT tahun pajak sebelum 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU KUP 2007.
3. Khusus Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum terdaftar, namun secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU KUP 2007 diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk
1. Insentif diberikan kepada seluruh jenis pajak.
2. Insentif diberikan kepada Wajib Pajak yang menyampaikan SPT pertama kalinya atau SPT pembetulan.
3. Insentif diberikan atas keterlambatan pembayaran maupun keterlambatan pelaporan SPT yang dilakukan di tahun 2015.
Tahun Pajak sebelum diperoleh NPWP dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa SPT yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.
Sumber: www.pajak.go.id
2.3 Tax ratio
2.3.1 Pengertian Tax ratio
Menurut Parmadi (2011:18) menjelaskan bahwa:
“Tax ratio merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dan jumlah PDB.
Tax ratio menunjukkan sejauh mana kemapuan pemerintah mengumpulkan pendapatan pajak atau menyerap kembali PDB dari masyarakat dalam bentuk pajak”.
Menurut Biro Analisis Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR- RI (www.dpr.go.id) pada dasarnya, tax ratio mengukur perbandingan antara penerimaan pajak dengan gross domestic product (GDP) suatu negara. Jadi, tax ratio dapat didefinisikan sebagai berikut:
2.4 Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian
1 Budi Mulyono (2008)
Sunset policy di Indonesia: Beberapa Manfaat dan Kelemahan Dalam Implementasinya (Tesis)
Variabel Dependen : Kepatuhan Wajib Pajak Variabel Independen : 1. Penerapan
Sunset policy 2. Penegakan
1. Hasil survey penerapan sunset policy
menunjukkan sebagian besar responden bersikap netral terhadap penerapan sunset policy.
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Hukum 2. Hasil survey
persepsi mengenai permasalahan implementasi sunset policy menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak setuju terhadap variabel penegak hukum.
2 Danny Wibowo (2013)
Pengaruh Pendapatan Per Kapita, Economic Growth Rate, dan Tax Rate terhadap Tax ratio Pada Negara-Negara OECD dan Indonesia
Variabel Dependen : Tax ratio Variabel Independen :
1. Pendapatan Per Kapita 2. Economic
Growth Rate 3. Economic
Structure 4. Tax Rate
1. Tidak ada pengaruh antara peningkatan pendapatan per kapita terhadap tax ratio.
2. Tidak ada pengaruh antara peningkatan economic growth terhadap tax ratio.
3. Terdapat pengaruh antara economic structure negara yang didominasi oleh sektor industri terhadap tax ratio.
4. Tidak ada pengaruh antara tax rate terhadap tax rate.
3 Ngadiman dan Daniel Huslin (2015)
Pengaruh Sunset policy, Tax amnesty, Dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kembangan
Variabel Dependen : Kepatuhan Wajib Pajak Variabel
Independen : 1. Tax amnesty 2. Sunset policy 3. Sanksi Pajak
1. Rasio sunset policy memiliki pengaruh negatif terhadap kepatuhan wajib pajak.
2. Tax amnesty memiliki pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.
3. Sanksi pajak memiliki pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.
2.5 Kerangka Pemikiran
Perbandingan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau disebut juga dengan tax ratio pada dasarnya mencerminkan jumlah penerimaan pajak yang dapat dipungut dari tiap rupiah pendapatan nasional (Produk Domestik Bruto). Rasio ini biasa digunakan sebagai salah satu tolok ukur atau indikator untuk melakukan penilaian terhadap kinerja penerimaan perpajakan mengingat PDB yang menunjukkan output nasional merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. Kenaikan rasio ini bisa mengindikasikan keberhasilan dalam proses pemungutan pajak, karena menunjukkan semakin tingginya nilai rupiah yang dapat dipungut sebagai penerimaan pajak dari setiap rupiah output nasional (Parmadi, 2011:25).
Untuk meningkatkan tax ratio pemerintah Indonesia salah satu dengan menerapkan kebijakan di bidang perpajakan berupa Tax amnesty dan Sunset Poilicy. Indonesia sudah pernah melaksanakan kedua kebijakan tersebut dan satu
yang sedang berjalan, dimana tax amnesty sebanyak dua kali pada tahun 1964 dan tahun 1984 dan pada tahun 2016 yang sedang berjalan. Sunset policy juga pernah dilaksanakan oleh Indonesia pada tahun 2008 dan tahun 2009.
Teori pendukung yang menghubungkan menurut Melchias Mekeng dalam Budi Mulyono (2008:3) sebagai berikut:
“Faktor utama melatari penerapan sunset policy ini secara makro adalah rendahnya tax ratio. Diharapkan dengan semakin banyak Wajib Pajak yang mendaftarkan diri, maka tax ratio akan meningkat. Hal ini sejalan dengan aspirasi DJP yang menginginkan tax ratio yang tertinggi dengan melakukan proses ekstensifikasi. Salah satu cara ekstensifikasi itu adalah
memberikan kemudahan-kemudahan pada orang yang ingin mendaftarkan sebagai wajib pajak.”
Menurut Djonifar Abdul Fatah dari DJP dalam (Budi Mulyono, 2008:3) menyatakan bahwa DJP memandang sunset policy ini sudah cukup baik untuk mendukung upaya meluaskan basis pajak dan harapan meningkatnya tax ratio semaksimal dan seoptimal mungkin.
Menurut Ragimun dalam penelitiannya menyatakan bahwa:
“Tax amnesty dapat diterapkan terutama pada bidang-bidang atau sektor-sektor industri tertentu saja yang dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan tax ratio dengan syarat terpenuhinya kesiapan sarana dan prasarana pendukung lainnya”.
Dalam penelitian Ngadiman dan Daniel Huslin (2015), yang berjudul Pengaruh Sunset policy, Tax amnesty, Dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kembangan. Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa sunset policy berpengaruh negatif dan tidak signifikan, sedangkan tax amnesty dan sanksi pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.