• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

Bahan gambut dari Riau dianalisis berdasarkan karakteristik ekosistem atau fisiografi gambut yaitu gambut marine (coastal peat swamp), gambut payau (brackis peat swamp) dan gambut air tawar (fresh water peat swamp).

Karakteristik ekosistem dan lokasi pengambilan bahan gambut dan penggunaan lahannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Lokasi Pengamatan dan Pengambilan Contoh Bahan Gambut.

No. Karakteristik Ekosistem

Lokasi Gambut

Deskripsi Lokasi Gambut

1 Gambut Marine Kabupaten Perkebunan Kelapa Sawit < 6 tahun (37 bulan) Dumai Perkebunan Kelapa Sawit > 6 tahun (12 tahun) Kabupaten Hutan Campuran, Jenis mangrove dan nipa Bengkalis Profil: BM <6/1, BM >6/2 .

2 Gambut Payau Kabupaten Siak Hutan Sekunder, Pandanus dan Oncosperma (Dipterocarpacea)

Kabupaten Indragiri Hilir

Perkebunan Kelapa Sawit <6 tahun (12 bulan) Perkebunan Kelapa Sawit > 6 tahun (9 tahun) Desa Profil: TKWL 02 <6/1, TKWL 01 SF,

Kempas Jaya KR. Siak 3 >6/3

3 Gambut Air Tawar

Kabupaten Kampar

Perkebunan Kelapa Sawit >6 tahun (15 Tahun) Profil: Galuh 4 >6/4

Didominasi oleh Pholidocarpus

Bahan gambut marine diambil di kebun kelapa sawit yang telah berumur lebih dari 6 tahun (12 tahun) (BM 2) dan kelapa sawit yang berumur kurang dari 6 tahun (37 bulan) (BM 1).

Berdasarkan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (2006), tanah gambut marine di kebun kelapa sawit berumur kurang dari 6 tahun tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 1). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 700 cm, kedalaman air tanah 72 cm di bawah permukaan tanah dan kondisi drainase agak cepat. Tanah gambut ini terletak di Kecamatan Bukit, Kabupaten Bengkalis dengan letak lintang 01o 34’ 22.7” LU dan 101 o 50’ 55.0” BT.

Gambut marine di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (12 tahun) tergolong dalam Teric Tropohemist (Lampiran 2). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 55 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 23 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak cepat. Tanah gambut ini terletak pada lintang 01o 46’ 51.1” LU dan 101 o 18’ 37.6” BT.

Tanah gambut payau diambil pada kebun kelapa sawit yang dikelola lebih dari 6 tahun (KR. Siak 3), dan kebun kelapa sawit yang dikelola kurang dari 6

(2)

tahun (TKWL 02) serta tanah gambut di hutan sekunder (Forest) yang berdekatan dengan wilayah tersebut.

Gambut payau di kebun kelapa sawit berumur kurang dari 6 tahun (12 bulan) tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 3). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 260 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 74 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak lambat. Tanah gambut ini terletak pada lintang 00o 58’ 35.3” LU dan 101 o 58’ 44.7” BT.

Gambut payau di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (9 tahun) tergolong dalam Teric Tropohemist (Lampiran 4). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 44 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 40 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong cepat. Tanah gambut ini terletak pada lintang 01o 07’ 52.6” LU dan 102 o 03’ 53.2” BT.

Gambut payau di hutan tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 5).

Vegetasi yang hidup di hutan gambut payau adalah Pandanus dan Oncosperma (Dipterocarpacea). Tanah ini mempunyai ketebalan bahan gambut lebih dari 480 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 60 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak cepat. Tanah gambut ini terletak pada Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak dengan letak lintang 00o 58’ 42 “ LU dan 101o 57’ 16.7 “ BT.

Tanah gambut air tawar diambil di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (Galuh 4) yaitu di Kebun PTPN V Sei Galuh, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Gambut air tawar di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (15 tahun) tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 6). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 240 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 33 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak lambat.

Tanah gambut ini terletak pada lintang 00o 29’ 58.5” LU, 101o 14’ 40.8” BT.

Tanah gambut marine yang digunakan selama kurang dari 6 tahun memiliki ketebalan lebih besar dibandingkan tanah gambut marine yang dikelola lebih dari 6 tahun. Tanah gambut payau yang digunakan selama kurang dari 6 tahun juga memiliki ketebalan lebih besar dibandingkan tanah gambut payau yang dikelola lebih dari 6 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketebalan tanah gambut berkurang dengan lama penggunaan terutama akibat drainase, dekomposisi maupun pemadatan.

(3)

4.2. Tingkat Dekomposisi, Karbon Organik dan Kadar Abu Bahan Gambut

Kadar serat gambut adalah volume bahan organik tidak terdekomposisi yang menyusun tanah organik yang berasal dari vegetasi di wilayah tersebut.

Jaringan-jaringan tanaman tersebut masih mempertahankan struktur sel yang dapat dikenali tanaman asalnya. Pada bahan-bahan yang sangat terdekomposisi, serat hampir tidak ada. Kadar serat gambut berperan sebagai salah satu faktor penentu klasifikasi gambut berdasarkan dekomposisi dan tingkat kematangannya.

Kadar serat gambut penting peranannya sebagai penyusun dasar atau kerangka tanah gambut.

Nilai rataan kadar serat gambut di Riaubervariasi dengan kedalaman. Nilai kadar seratrata-rata meningkat dengan makin dalamnya lapisan gambut. Kenaikan nilai kadar seratmenunjukkan kandungan karbon organik yang semakin tinggi, yang berarti laju dekomposisi bahan gambut lebih lambat dibandingkan lapisan atasnya. Nilai kadar serat gambut Riau disajikan pada Tabel 3.

Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar serat berkisar dari 30-50% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 0 sampai pada kedalaman 60 cm. Berdasarkan klasifikasi bahan gambut menurut Soil Survey Staff (1999), kadar serat dan indeks pirofosfat tersebut tergolong mempunyai tingkat dekomposisi hemik. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun memiliki kadar serat berkisar dari 60-70% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 1,5-4 sampai pada kedalaman 110 cm dan mempunyai tingkat dekomposisi hemik, sedangkan pada kedalaman 110-200 cm mempunyai tingkat dekomposisi fibrik.

Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar serat 40% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 0-1 pada kedalaman 0-50 cm tergolong mempunyai tingkat dekomposisi Hemik. Gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun kadar serat berkisar dari 60-70% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 2-4 sampai pada kedalaman 250 cm tergolong mempunyai tingkat dekomposisi hemik. Pada gambut payau di hutan memiliki kadar serat berkisar dari 40-70% sampai pada kedalaman 250 cm dan 80% pada kedalaman 250-350 cm. Dengan kadar serat dan indeks pirofosfat tersebut sampai kedalaman 250 cm mempunyai tingkat dekomposisi hemik, sedangkan pada kedalaman 250-350 cm mempunyai tingkat dekomposisi fibrik.

(4)

Tabel 3. Hubungan Kadar Serat, Indeks Pirofosfat dengan Tingkat Dekomposisi Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marine, Payau, dan Air Tawar.

Umur Kelapa Sawit >6 Tahun

Fisiografi Marine Fisiografi Payau Fisiografi Air Tawar

Ketebalan

KS IP Tingkat Ketebalan

KS IP Tingkat Ketebalan

(cm) KS IP Tingkat

(cm) Dekomposisi (cm) Dekomposisi Dekomposisi

0-20 30% 0 Hemik 0-14 40% 1 Hemik 0-10 30% 2 Hemik

20-60 60% 0 Hemik 14-44 40% 0 Hemik 10-35 40% 3 Hemik

- - - - - - - - 35-80 50% 4 Hemik

- - - - - - - - 80-240 60% 4 Hemik

Umur Kelapa Sawit <6 Tahun dan Hutan Sekunder

Fisiografi Marine Fisiografi Payau Fisiografi Hutan Sekunder

0-20 60% 1,5 Hemik 0-20 60% 2 Hemik 0-20 40% 4 Hemik

20-60 60% 1,5 Hemik 20-78 60% 2 Hemik 20-50 50% 3 Hemik

60-110 60% 4,0 Hemik 78-115 60% 2 Hemik 50-75 50% 4 Hemik

110-200 70% 4,0 Fibrik 115-260 70% 4 Hemik 75-120 50% 4 Hemik

- - - - - - - - 120-250 70% 4 Hemik

- - - - - - - - 250-350 80% 4 Fibrik

Keterangan: KS = Kadar Serat, IP = Indeks Pirofosfat

(5)

Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun kadar serat berkisar dari 30-60% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 2-4 sampai pada kedalaman 240 cm dan mempunyai tingkat dekomposisi hemik.

Tanah gambut air tawar lebih dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar serat yang lebih tinggi pada lapisan teratas gambut (0-20 cm) daripada gambut marine dan payau lebih dari 6 tahun. Hal tersebut menunjukkan gambut air tawar memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dari gambut marine dan payau. Pada pengelolaan yang sama nilai kadar serattersebut menunjukkan bahwa gambut marine telah terdekomposisi lebih lanjut daripada gambut air tawar walaupun laju dekomposisi gambut beragam dengan kedalaman tanah.

Tanah gambut payau lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar serat yang lebih tinggi pada lapisan teratas gambut (0-20 cm) daripada gambut marine dengan pengelolaan yang sama. Hal tersebut menunjukkan gambut payau memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dari gambut marine. Pada pengelolaan yang sama nilai kadar serattersebut menunjukkan laju dekomposisi gambut marine lebih cepat dari gambut payau dan air tawar.

Gambut marine dan transisi berumur kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar seratyang lebih tinggi daripada gambut berumur lebih dari 6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur dan waktu pengelolaan tanaman kelapa sawit berpengaruh terhadap laju dekomposisi semakin lama waktu pengelolaan lahan gambut, maka laju dekomposisi semakin meningkat.

Tingginya kadar serat gambut air tawar disebabkan gambut ini terbentuk pada lokasi yang mendapatkan air yang berasal dari air hujan saja. Ketebalan gambut air tawar yang tinggi membuat air sungai tidak dapat melimpas sampai ke wilayah pembentukan gambut. Berdasarkan proses pembentukannya, gambut air tawar tergolong sebagai gambut ombrogen yang terbentuk terutama dalam lingkungan yang dipengaruhi genangan air hujan dan vegetasi yang tumbuh di atasnya miskin hara dan bersifat oligotropik dengan ciri kemasaman yang tinggi dan kadar hara rendah.

Gambut payau mendapatkan deposit air tidak hanya dari air hujan tetapi juga dari limpasan air sungai yang membawa garam-garam mineral berupa kation- kation basa K, Ca dan Mg sedangkan gambut marine mendapatkan deposit air juga dari pengaruh pasang surut air laut, sehingga garam-garam mineral yang terkandung lebih tinggi dan kadar serat pada lokasi ini menjadi lebih rendah.

Kadar serat meningkat dengan bertambahnya ketebalan gambut. Semakin tebal gambut semakin rendah laju dekomposisinya. Gambut terbentuk akibat

(6)

proses dekomposisi bahan-bahan organik tumbuhan yang terjadi secara anaerob dengan laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dibandingkan laju dekomposisinya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada kondisi yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Adanya keragaman tingkat kematangan pada tiap gambut di setiap fisiografi (marine, payau, dan air tawar) disebabkan oleh adanya faktor yang mempengaruhi pembentukan gambut seperti vegetasi yang tumbuh diatas permukaan, bahan mineral yang berada di bawahnya, aktivitas mikroorganisme, lingkungan pembentukan gambut dan pengelolaan yang sama untuk kebun kelapa sawit. Umur dan waktu pengelolaan tanaman kelapa sawit berpengaruh terhadap proses laju dekomposisi. Semakin lama pengelolaan kebun kelapa sawit maka semakin tinggi laju dekomposisi gambut sehingga mengakibatkan berkurangnya ketebalan gambut.

Kadar C-organik adalah parameter laju dekomposisi bahan organik dimana C-organik dioksidasi menghasilkan CO2, sehingga dengan meningkatnya laju dekomposisi bahan organik maka kadar C-organik akan menurun. Karbon merupakan penyusun utama bahan organik. Karbon ditangkap tanaman berasal dari CO2 udara, menjadi jaringan tanaman melalui fotosintesis, kemudian bahan organik didekomposisikan kembali dan membebaskan sejumlah karbon.

Kadar C-organik tanah gambut berbeda dengan bertambahnya kedalaman tanah gambut. Nilai rata-rata C-organik menunjukkan peningkatan nilai pada lapisan bagian bawah gambut, karena gambut pada lapisan laju dekomposisinya lebih tinggi daripada lapisan yang ada di bawahnya. Kadar C-organik tanah gambut asal Riau disajikan pada Tabel 4.

Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun kadar C-organik berkisar dari 12,91-34,70% sampai pada kedalaman 120 cm. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun memiliki kadar C-organik berkisar dari 24,25-46,45% sampai pada kedalaman 200 cm.

Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar C-organik berkisar dari 9,70-47,70% sampai pada kedalaman 120 cm. Gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun kadar C-organik berkisar dari 7,19-53,66% sampai pada kedalaman 350 cm. Pada gambut payau di hutan memiliki kadar C-organik berkisar dari 56,77-57,25% sampai pada kedalaman 350 cm.

Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun kadar C-organik berkisar dari 56,53-57,69% sampai pada kedalaman

(7)

240 cm. Kadar C-organik gambut air tawar lebih tinggi daripada gambut payau dan marine. Hal ini karena laju dekomposisi gambut marine dan payau lebih tinggi daripada gambut air tawar, sehingga C-organik tersisa dalam gambut air tawar lebih tinggi. Kadar C-organik gambut menurun pada tingkat dekomposisi yang lebih tinggi.

Kadar C-organik gambut payau di hutan lebih tinggi dibandingkan gambut yang dikelola sebagai perkebunan kelapa sawit. Gambut payau yang dikelola pada kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki kadar C-organikyang lebih tinggi daripada gambut marine pada pengelolaan yang sama.

Gambut marine dan payau yang berumur lebih dari 6 tahun memiliki kandungan C-organik yang lebih rendah dibandingkan gambut berumur kurang dari 6 tahun. Adanya tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu yang lebih lama dapat mempercepat laju dekomposisi dan proses pematangan gambut, sehingga kandungan C-organik gambut menjadi rendah.

Pengelolaan gambut untuk perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kadar C-organik tanah menurun. Pengaruh fisiografi berpengaruh pada kadar C-organik didalam tanah gambut. Laju dekomposisi gambut air tawar yang lebih lambat akibat lebih miskin membuat kandungan C-organik tanah gambut ini menjadi lebih tinggi di bandingkan gambut payau dan pantai. Berdasarkan tingkat kesuburannya gambut marine digolongkan sebagai gambut eutrofik yang banyak mengandung bahan mineral, terutama kalsium karbonat. Gambut eutrofik termasuk gambut yang subur karena memperoleh perkayaan hara mineral secara alami dari lingkungannya. Sebagai akibat laju dekomposisi gambut marine lebih tinggi dibandingkan gambut pada fisiografi lainnya sehingga kadar C-organiknya tergolong rendah.

(8)

Tabel 4. Nilai C-organik Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marine, Payau, dan Air Tawar.

Fisiografi

Marine (> 6 Thn) Payau (> 6 Thn) Air Tawar (> 6Thn) Hutan Sekunder Marine (< 6 Thn) Payau (< 6 Thn) Ketebalan

(cm)

C- organik

Ketebalan (cm)

C- organik

Ketebalan (cm)

C- organik

Ketebalan (cm)

C- organik

Ketebalan (cm)

C- organik

Ketebalan (cm)

C- organik

0-20 24.78% 0-14 54.59% 0-10 56.00% 0-20 56.77% 0-20 55.69% 0-20 55.26%

20-60 18.27% 14-44 54.70% 10-35. 56.70% 20-50 57.27% 20-60 56.80% 20-78 57.07%

60-110 11.40% 44-55 43.84% 35-80 57.52% 50-75 57.87% 60-110 57.16% 78-115 57.04%

110-200 7.53% 55-120 9.86% 80-240 57.87% 75-120 57.16% 110-200 28.25% 115-260 50.40%

120-250 57.87%

250-350 57.25%

Tabel 5. Nilai Kadar Abu Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marin, Payau, dan Air Tawar.

Fisiografi

Marine (> 6 Thn) Payau (> 6 Thn) Air Tawar (> 6Thn) Hutan Sekunder Marine (< 6 Thn) Payau (< 6 Thn) Ketebalan

(cm) KA Ketebalan

(cm) KA Ketebalan

(cm) KA Ketebalan

(cm) KA Ketebalan

(cm) KA Ketebalan

(cm) KA

0-20 57.18% 0-14 5.67% 0-10 3.23% 0-20 1.90% 0-20 3.77% 0-20 4.50%

20-60 68.42% 14-44 5.48% 10-35. 2.03% 20-50 1.04% 20-60 1.85% 20-78 1.39%

60-110 80.31% 44-55 - 35-80 0.61% 50-75 1.04% 60-110 1.23% 78-115 1.43%

110-200 86.99% 55-120 - 80-240 0.61% 75-120 1.22% 110-200 - 115-260 91,54%

120-250 1.22%

250-350 1.06%

Keterangan: KA = Kadar Abu

(9)

Kadar abu tanah gambut menunjukkan volume bahan mineral yang dikandung oleh bahan gambut. Kandungan mineral yang besar didalam tanah, mengakibatkan kadar abu yang tinggi. Kadar abu adalah sisa proses oksidasi/pembakaran dari bahan mineral yang terkandung di dalam gambut. Kadar abu gambut Riau bervariasi menurut kedalaman, nilai kadar abu rata-rata menunjukkan penurunan dengan semakin dalamnya gambut. Nilai kadar abu pada lapisan atas tanah gambut lebih tinggi dari lapisan gambut dibawahnya.

Rendahnya kadar abu pada lapisan bawah gambut menunjukkan bahwa pada lapisan ini didominasi oleh bahan-bahan organik yang belum terlapuk.

Rataan kadar abu gambut Riau berdasarkan fisiografi gambut (marine, payau, dan air tawar) disajikan pada Tabel 5. Hanya pada gambut marine yang digunakan lebih dari 6 tahun yang memiliki kadar abu yang tinggi sekitar 50-80%.

Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu berkisar dari 57,18-80,31% sampai pada kedalaman 80 cm. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun memiliki kadar abu berkisar dari 3,77-51,59% sampai pada kedalaman 200 cm.

Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu berkisar dari 5,48-5,67% sampai pada kedalaman 50 cm. Gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun kadar abu berkisar dari 4,50-91,54% sampai pada kedalaman 350 cm. Pada gambut payau di hutan memiliki kadar abu berkisar dari 1,04-1,90% sampai pada kedalaman 350 cm. Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun kadar abu berkisar dari 0,61-3,23% sampai pada kedalaman 80 cm.

Kadar abu gambut air tawar lebih rendah daripada gambut payau dan marine. Umumnya kadar abu gambut meningkat pada tingkat dekomposisi yang lebih tinggi. Kadar abu lapisan terbawah gambut marine dan payau beberapa lebih tinggi dibandingkan lapisan atasnya. Hal ini disebabkan pada lapisan terbawah gambut terdapat lapisan mineral liat yang mengandung banyak kation-kation.

Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu yang tergolong tinggi. Hal ini disebabkan tingginya laju dekomposisi tanah gambut yang membuat gambut semakin matang sehingga proporsi komponen mineral terhadap bahan gambut lebih tinggi.

Kadar abu gambut payau yang masih berupa hutan sekunder rata-rata lebih rendah dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi lainnya. Gambut payau lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar abu yang lebih

(10)

rendah daripada gambut marine lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun. Hal ini menunjukkan tingkat laju dekomposisi gambut payau lebih rendah daripada gambut marine.

Berdasarkan umur tanaman kelapa sawit, gambut marine dan payau pada umur tanaman lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut umur tanaman kurang dari 6 tahun. Tanah gambut yang telah diusahakan sebagai perkebunan kelapa sawit telah mengalami peningkatan kadar abu sebagai akibat pengelolaan kebun kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu yang lebih lama dapat mempercepat pematangan bahan gambut, sehingga kadar abu gambut menjadi tinggi.

Pengelolaan gambut untuk perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kadar abu meningkat. Pengaruh fisiografi menentukan kadar abu di dalam gambut.

Tanah gambut marine yang mendapat deposit air dari limpasan sungai dan pasang surut air laut membuat kadar abu menjadi lebih tinggi dibandingkan gambut payau dan air tawar karena tanah banyak mengandung garam-garam mineral (Ca, Mg, K).

4.3. Kadar Air Kritis dan Porositas Bahan Gambut

Kadar air kritis menggambarkan ikatan antara air dan bahan organik yang terdapat dalam tanah gambut di mana jika terjadi pengeringan lebih lanjut maka gambut dapat mengalami kejadian kering tidak dapat balik. Ikatan antara air dengan bahan organik memiliki peranan yang penting dalam ketersediaan air di dalam tanah gambut. Air yang terikat oleh asam organik berpengaruh terhadap stabilitas ikatan unsur hara dalam tanah.

Kering tidak balik gambut adalah keadaan di mana tanah gambut tidak dapat menyerap air kembali setelah terjadi proses pengeringan. Gugus karboksil dan fenolik dari asam, humus, dan lignin berpengaruh terhadap sifat kering tidak balik tanah gambut. Dengan berkurangnya gugus-gugus karboksil dan fenolik yang bersifat hidrofilik pada tanah gambut akan menurunkan ketahanan gambut terhadap kejadian kering tidak balik setelah terjadi pengeringan lebih lanjut.

Berkurangnya kadar air tanah gambut dapat meningkatkan proporsi kering tidak balik. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan.

Akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun karena laju dekomposisi meningkat sehingga gugus-gugus karboksilat COOH dan fenolat (–OH) yang

(11)

bersifat hidrofilik berkurang dan berubah bentuk menjadi senyawa yang bersifat hidrofobik, sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian.

Tabel 6 menyajikan kadar air kritis pada peluang 60-80% untuk kejadian kering tidak balik berdasarkan klasifikasi Azri (1999). Jika mengacu pada hasil pengamatan (Tabel 7) terdapat perbedaan nilai kadar air kritis di setiap fisiografinya, hal ini dikarenakan adanya perbedaan sifat fisik dan kimia gambut dari berbagai lokasi pengambilan tanah gambut dan perbedaan pengelolaan lahan gambut.

Tabel 6. Kisaran Kadar Air Kritis pada Peluang 60-80% Kejadian Kering Tidak Balik (Azri, 1999).

Fisiografi Gambut Kadar Air Kritis (%)

Pantai 229,07 - 306,64

Transisi 252,92 - 338,57

Pedalaman 271,79 - 365,02

Tabel 7. Nilai Kadar Air Kritis Tanah Gambut asal Riau dengan Peluang 60-80 % Kering Tidak Balik.

Fisiografi Tingkat Kematangan Nilai Kadar Air (%)

Gambut Marine < 6 Tahun Hemik 164,13 - 182,65

Gambut Marine > 6 Tahun Hemik 126,38 - 130,01

Gambut Hutan (Payau) Hemik 318,69 - 326,65

Gambut Payau < 6 Tahun Hemik 236,83 - 248,94

Gambut Payau > 6 Tahun Hemik 160,77 - 165,36

Gambut Air Tawar> 6 Tahun Hemik 266,67 - 303,17

Hasil penelitian Azri (1999) menunjukkan bahwa gambut Riau memiliki rata-rata nilai kadar air kritis sebesar 229,07-306,64% untuk gambut Pantai, 252,92-338,57% untuk gambut Transisi dan 271,79-365,02% untuk gambut pedalaman, yang artinya bahan gambut Riau memiliki variasi nilai kadar air kritis pada tiap fisiografinya. Gambut marine Riau memiliki nilai kadar air kritis yang lebih rendah dari gambut payau dan air tawar. Gambut pantai, transisi dan pedalaman sepadan dengan gambut marine, payau dan air tawar.

Hasil pengamatan pada penelitian ini menghasilkan pola yang sama yaitu , batas kadar air kritis gambut marine lebih rendah dari gambut payau dan air tawar.

Kadar air kritis gambut hutan (payau), air tawar (>6 tahun), payau (<6 tahun), payau (>6 tahun), marine (<6 tahun), dan marine (> 6 tahun) berturut-turut mempunyai kisaran sebesar 318,69-326,65%, 266,67-303,17%, 236,83-248,94%, 160,77-165,36%, 164,13-182,65%, dan 126,38-130,01%.

(12)

Dari kedua hasil pengamatan, didapati nilai kadar air kritis gambut marine yang paling rendah dibandingkan dengan fisiografi yang lain. Hal ini disebabkan gambut marine memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi dibandingkan gambut payau dan air tawar yang artinya kemampuan menahan air lebih tinggi pada gambut yang lebih matang karena proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme akan menghasilkan asam-asam organik seperti asam fulvat dan asam humat yang merupakan sumber muatan negatif. Dengan demikian akan terjadi ikatan organo-kation sehingga air akan terikat kuat sehingga gambut pantai memiliki nilai kadar air kritis yang lebih rendah dan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap kejadian kering tidak balik. Adanya perbedaan lokasi juga mempengaruhi kadar air kritis gambut. Selain itu, gambut pantai yang terbentuk pada lokasi yang dipengaruhi pasang surut air laut menyebabkan kation-kation basa yang terkandung di dalam gambut mengikat kuat partikel-partikel air membentuk jembatan air (water bridge) sehingga lebih tahan terhadap terjadinya kering tidak balik.

Porositas atau volume pori total tanah adalah bagian/rongga tanah yang tidak terisi bahan padat sehingga dapat diisi oleh udara dan air. Pori-pori tanah dapat berupa pori kapiler dalam partikel tanah atau non kapiler di antara zarah- zarah tanah pada kerangka/matriks tanah. Volume pori total gambut beragam sesuai dengan tingkat dekomposisi dan kepadatannya. Menurut Bouman dan Driessen (1985) bahwa porositas tanah gambut alami dapat mencapai 95%

volumenya pada gambut fibrik dan berkurang sesuai dengan tingkat dekomposisi tetapi tidak lebih kecil dari 80% pada gambut lapisan teratas. Tabel 8 menyajikan nilai volume pori total dan pori aerasi gambut berdasarkan hasil penelitian Nicholas (2002).

Tabel 8. Volume Pori Total (VPT) dan Pori Aerasi Pada Gambut Pantai (Marine) dan Transisi (Payau) asal Pantai Samuda dan Sampit (Nicholas, 2002).

Fisiografi VPT Pori aerasi

Gambut Pantai (Marine) 88,08 15,32

Gambut Transisi (Payau) 88,63 17,64

Hasil penelitian Nicholas (2002) menunjukkan bahwa, gambut dari Pantai Samuda dan Sampit rata-rata memiliki nilai VPT sebesar 88,08-88,71 untuk gambut marine dan 88,63-89,29 untuk gambut payau. Untuk pori aerasi, gambut rata-rata memiliki nilai sebesar 15,32-19,84 untuk gambut marine dan 17,64- 23,12 untuk gambut payau. Pori aerasi didefinisikan sebagai bagian atau ruang di

(13)

dalam tanah (gambut) yang memungkinkan udara dapat bergerak pada kondisi air tanah tertentu.

Porositas tanah gambut marine lebih rendah dari gambut payau disebabkan gambut pantai memiliki laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga tanah gambut menjadi lebih padat dan mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil.

Porositas gambut bergantung pada bobot isi (bulk density) dan kerapatan lindak (particle density). Bobot isi bergantung pada tingkat dekomposisi dan kadar abu.

Porositas menentukan kapasitas menahan air pada kondisi jenuh dan daya menahan beban (bearing capasity) gambut.

4.4. Porositas Bahan Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat, Kadar C-organik, Kadar Abu dan Kadar Air Kritis

Gambut payau memiliki porositas yang lebih tinggi daripada gambut marine. Perbedaan porositas gambut antara gambut payau dan marine diduga terkait dengan adanya perubahan fraksi bahan gambut yang tercermin dengan penurunan kadar serat dan berkurangnya kadar C-organik tanah gambut. Kadar C- organik bergantung pada tingkat dekomposisi bahan gambut, sehingga semakin tinggi kadar C-organik maka semakin tinggi pula nilai porositas. Porositas yang tinggi membuat tanah memiliki banyak ruang pori untuk ditempati air dan udara.

Faktor lain yang memungkinkan berpengaruh terhadap penurunan porositas adalah kehadiran liat sebagai akibat adanya pasang surut sungai dan air laut dan lapisan bahan mineral di bawah bahan gambut. Hal ini selaras dengan kandungan kadar abu gambut marine yang lebih tinggi dibandingkan gambut payau. Kadar abu adalah sisa proses oksidasi/pembakaran dari bahan mineral yang terkandung di dalam gambut.

Penurunan pori aerasi juga banyak diakibatkan adanya pengaruh dari penurunan kadar serat gambut yang menjadi lebih rendah sebagai akibat dari meningkatnya kematangan akibat penggunaan sebagai lahan untuk kebun kelapa sawit karena semakin tinggi tingkat kematangan bahan gambut, kadar serat akan mengalami penurunan dan ukuran partikel gambut menjadi lebih halus dan lebih kecil.

4.5. Kadar C-organik Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat dan Kadar Air Kritis

Kadar C-organik gambut payau yang masih berupa hutan rata-rata lebih tinggi dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi lainnya yang telah dibuka sebagai perkebunan kelapa sawit.

(14)

Berdasarkan umur tanaman kelapa sawit, gambut pada umur tanaman >6 tahun di fisiografi marine dan payau memiliki kadar air kitis yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut umur tanaman <6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu yang lebih lama dapat mempercepat pematangan bahan gambut karena drainase dan pemupukan sehingga kadar serat semakin menurun dan menurunnya kadar C-organik di dalam tanah gambut diikuti penurunan kadar air kritisnya. Tingginya kadar C-organik menunjukkan laju dekomposisi yang rendah pada gambut. Laju dekomposisi yang rendah membuat bahan organik menumpuk.

4.6. Kadar Abu Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat dan Kadar Air Kritis

Gambut Riau memiliki rataan nilai kadar abu yang rendah berkisar di bawah 6%, dan terdapat kecenderungan nilai kadar abu menurun dengan kedalaman sampai kedalaman tertentu. Kadar abu gambut payau yang masih berupa hutan rata-rata lebih rendah dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi lainnya (marine, payau, dan air tawar) yang telah dibuka sebagai perkebunan kelapa sawit.

Kadar abu gambut air tawar lebih rendah daripada gambut payau dan marine. Umumnya kadar abu gambut meningkat pada tingkat dekomposisi yang lebih tinggi yang memiliki kadar serat relatif rendah. Hal ini disebabkan gambut memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi serta pengaruh penambahan ion seperti Ca, Mg, K dari air laut dan limpasan air sungai yang banyak membawa bahan mineral.

4.7. Kadar Air Kritis dalam Hubungannya dengan Kering Tidak Balik

Kering tidak balik terjadi setelah terjadinya periode pengeringan intensif.

Sifat gambut yang berhubungan erat dengan peluang kejadian kering tidak balik adalah kadar abu, kadar air, serta komposisi bahan gambut seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, kemasaman tanah, kandungan gugus fungsi COOH dan fenolat (- OH) (Azri, 1999). Gugus karboksil (COOH) dan fenol (-OH) banyak berperan dalam penyerapan air sehingga bila jumlah gugus fungsional tersebut berkurang dapat menyebabkan kering tidak balik. Berkurangnya kadar air tanah gambut karena pengeringan dapat dikaitkan dengan menurunnya konsentrasi gugus COOH dan fenolat (-OH). Dengan demikian berkurangnya gugus COOH dan

(15)

fenolat (-OH) karena pengeringan gambut meningkatkan proporsi kering tidak balik.

Menurut Tan (1986) bahwa tingkat humifikasi mempengaruhi kemampuan tanah gambut dalam mengerap kation, gambut yang telah matang mempunyai proporsi asam humat yang lebih tinggi dibanding asam fulvat. Kedua asam tersebut mempunyai gugus COOH dan fenolat (-OH) yang dapat menentukan besarnya kapasitas tukar kation atau kemampuan menjerap kation-kation. Rataan kering tidak balik disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Rata-rata Kering Tidak Balik Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marin, Payau, dan Air Tawar.

Fisiografi Waktu Pengeringan (Menit)

> 6 Tahun < 6 Tahun Hutan Average

Gambut Marine 120 120 - 120

Gambut Payau 120 120 105 115

Gambut Air Tawar 105 - - 105

Berdasarkan hasil pengamatan, gambut marine (< 6 tahun) mulai mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 55 menit, sedangkan gambut marine (> 6 tahun) mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 65 menit dan keduanya mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 120 menit dimana gambut benar-benar tidak dapat menyerap air kembali. Dari hasil ini gambut marine (> 6 tahun) memiliki ketahanan yang lebih besar dibandingkan dengan gambut marine (<6 tahun) terhadap proses kering tidak balik. Gambut marine yang dikelola untuk kebun kelapa sawit memiliki perbedaan gejala kering tidak balik antara gambut kurang dari 6 tahun dan lebih dari 6 tahun.

(16)

KTB*: Kering Tidak Balik

Gambar 4. Kering Tidak Balik Pada Gambut Marine.

Hubungan antara kadar air dengan gugus fungsional karboksilat (COOH) dan fenolat (-OH) menunjukkan semakin berkurangnya kadar air tanah gambut karena pengeringan pada awalnya dapat menurunkan konsentrasi gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH), kemudian relatif stabil walaupun kadar air telah jauh berkurang. Bahan gambut yang terdekomposisi akan menghasilkan sejumlah asam-asam organik yang mengandung gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) terutama pada gambut yang telah terdekomposisi lebih lanjut (Azri, 1999).

Gambut payau (< 6 tahun) mulai mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 55 menit, gambut payau (> 6 tahun) mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 65 menit, sedangkan hutan sekunder mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 45 menit. Gambut payau (<6 tahun) mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 120, gambut payau (>6 tahun) mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 120 menit, dan hutan sekunder mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 105 menit dimana gambut benar-benar tidak dapat menyerap air kembali.

Gambut payau yang dikelola untuk kebun kelapa sawit memiliki perbedaan gejala kering tidak balik antara gambut kurang dari 6 tahun dan lebih dari 6 tahun, adanya perbedaan tingkat konsentrasi gugus hidroksil fenolik dan karboksilat menyebabkan gejala peluang kering tidak balik berbeda hingga 60 %.

Sedangkan pada peluang 80 %, gambut tersebut sudah memiliki gejala kering tidak balik yang sama.

0 20 40 60 80 100 120

0 15 30 45 55 65 75 90 105 120 135 150

Interval Waktu (Menit)

% KTB

Gambut Marine (<6 tahun) Gambut Marine (>6 tahun)

(17)

KTB*: Kering Tidak Balik

Gambar 5. Kering Tidak Balik Gambut Payau.

Hubungan antara gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) akibat pengeringan dengan proporsi kering tidak balik tanah gambut berbentuk hubungan eksponensial yang berarti dengan berkurangnya gugus COOH akibat pengeringan mengakibatkan terjadinya peningkatan proporsi kering tidak balik.

Gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu penyerapan air sehingga dengan berkurangnya kadar air akibat pengeringan, gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) menjadi berkurang yang menyebabkan proporsi kering tidak balik menjadi meningkat.

Menurut Tschapek et al., (1986) bahwa gugus fungsional seperti COOH dan fenolat (-OH) yang bersifat polar dan bersifat hidrofilik yang dapat berperan dalam membantu proses penyerapan air.

Gambut payau yang masih berupa hutan memiliki gejala kering tidak balik yang lebih cepat dibandingkan dengan gambut yang telah dikelola untuk kebun kelapa sawit. Tingginya peluang kering tidak balik pada gambut ini disebabkan oleh adanya gugus fenolik hidroksil dan karboksil yang mengalami penurunan yang berasal dari asam, humus, dan lignin yang tinggi sehingga mencegah pembasahan kembali (Azri, 1999).

Gambut air tawar relatif lebih cepat terjadinya kering tidak balik dibanding dengan gambut payau dan marine diduga karena pada gambut air tawar bahan organiknya belum terdekomposisi sempurna. Adanya pemanasan dan pengeringan gambut dapat menurunkan konsentrasi gugus fenolik hidroksil dan karbosil sehingga dengan adanya penurunan konsentrasi gugus tersebut menyebabkan

0 20 40 60 80 100 120

0 15 30 45 55 65 75 90 105 120 135 150

Interval Waktu (Menit)

% KTB

Gambut Payau Virgin Gambut Payau (<6 tahun) Gambut Payau (>6 tahun)

(18)

gambut rentan terjadi kering tidak balik karena gugus tersebut banyak berperan dalam penyerapan air.

Pada umumnya bahan organik segar dan separuh terdekomposisi akan bersifat menolak air dibanding dengan bahan organik yang terdekomposisi sempurna (Bisdom et al .,1993). Pada gambut yang telah terdekomposisi sempurna akan dihasilkan asam humat dan asam fulvat yang mengandung koloid hidrofilik yang lebih tinggi. Asam humik dan asam fulvik memiliki keterkaitan dengan karakteristik senyawa kimia yang menyebabkan penolakan air. Asam fulvik mempunyai grup karboksil dua atau tiga kali lebih tinggi dari asam humik, tetapi konsentrasi grup phenolik hidroksil grup tidak kelihatan berbeda antara keduanya (Tan, 1992). Biodegradasi biomassa makro molekul organik menyebabkan terjadinya peristiwa kering tidak balik.

Gambut marine merupakan gambut yang paling tahan terhadap proses kering tidak balik dibanding gambut payau dan air tawar, hal ini dikarenakan gambut marine memiliki kadar abu yang lebih tinggi dan kadar serat yang lebih rendah dibanding gambut pada fisiografi yang lain. Gambut marine memiliki laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi. Kandungan gugus fungsional pada gambut marine lebih rendah dibandingkan gambut air tawar. Hal ini disebabkan gambut marine banyak mengandung garam-garam mineral seperti kation-kation basa K, Ca, dan Mg.

Proses kering tidak balik gambut dapat terjadi sebab adanya penolakan air oleh gambut. Penolakan air ini terjadi akibat adanya penyalutan (coating).

Coating adalah faktor penyebab terjadinya penolakan air di dalam tanah karena mengandung bahan organik (Krammes & DeBano 1965; Robert & Carbon 1972;

King 1981 dalam Bisdom et al. 1993). Adaanya penyalutan (coating) disebabkan adanya bahan organik yang tidak mengikat secara kuat sejumlah gugus COOH dan fenolat (-OH) sehingga apabila kadar air telah jauh berkurang tanah gambut rentan terhadap kejadian kering tidak balik. Adanya garam-garam dan basa-basa terlarut yang berasal dari air laut mengikat sejumlah gugus COOH dan fenolat (- OH) dengan kuat membentuk ikatan komplek atau khelat. Hal ini disebabkan dengan adanya gugus COOH dan fenolat (-OH) mampu mengikat molekul air sehingga kation dan unsur hara tidak mudah hilang atau tercuci oleh adanya air.

Bahan organik dengan kandungan asam organik yang rendah dapat memacu terjadinya penolakan air di dalam tanah dengan cara pengeringan, pemanasan bahan organik, pencucian senyawa organik dari serasah tanaman, produk mikroba yang bersifat menolak air, pencampuran bahan organik dengan

(19)

tanah mineral. Kering tidak balik lebih tinggi terjadi di tanah gambut yang mempunyai kerapatan lindak rendah.

Bahan gambut yang mengandung lignin dalam jumlah relatif tinggi biasanya tahan terhadap dekomposisi, sedangkan bahan gambut yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah tinggi tidak tahan terhadap dekomposisi (Barchia, 2006).

Referensi

Dokumen terkait

diatas, maka Mohd: Ridjal poen diserahkan pada seorang politie boeat dibawak kedalam kota (Sigli), c!an M. politie teroes pergi kedalam terrein Voetbal boeat

Virus lain yang termasuk dalam kelompok yang serupa adalah virus yang menyebabkan Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory

(2) Lingkup kerja Fasilitator dan Operator Komputer diatur dalam Kerangka Acuan Kerja, Pedoman Umum (Pedum), Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), PTO Generasi Sehat dan

Maraknya turnamen-turnamen esports yang diadakan di Indonesia pun mendapat lirikan dari pemerintah yang akhirnya turut mendukung penuh pencarian bakat-bakat pemain

kooperatif Teams Games Tournament (TGT) merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang menggunakan game akademik, metode tersebut merupakan salah

Sementara jika dilihat jumlah mahasiswa secara rerata lembaga, setiap STAI memiliki mahasiswa sebanyak 729 mahasiswa per STAI, sementara institut memiliki jumlah rerata

Berdasarkan hasil percobaan didapatkan bahwa dengan menggunakan metode deteksi perubahan pada tegangan dapat mendeteksi pada jarak kurang lebih 30cm baik untuk

Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya bank merupakan suatu lembaga keuangan yang mempunyai fungsi sebagai mediator