• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perhitungan Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan dengan Lattice Gauge Theory

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perhitungan Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan dengan Lattice Gauge Theory"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Perhitungan Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan dengan Lattice Gauge Theory

Tugas Akhir

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains

Heribertus Bayu Hartanto 0302027016

Departemen Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia

Depok

2006

(2)

Lembar Persetujuan

Judul Skripsi : Perhitungan Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan dengan Lattice Gauge Theory

Nama : Heribertus Bayu Hartanto

NPM : 0302027016

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui

Depok, Mei 2006 Mengesahkan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. L. T. Handoko Dr. Terry Mart

Penguji I Penguji II

Dr. Imam Fachrudin Dr. Anto Sulaksono

(3)

Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih karena berkat dan penyertaan- Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih yang tak ter- hingga penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta dan segenap keluarga atas dukungan yang diberikan selama penyelesaian tugas akhir ini. Topik yang di-kerjakan pada tugas akhir ini menurut penulis sangat menarik, karena me- rupakan suatu pendekatan yang baru dalam dinamika fluida. Dinamika fluida yang biasanya diselesaikan dengan mekanika klasik, diformulasikan dengan teori medan gauge dan untuk menghitung energi dilakukan dengan menggunakan Lat- tice Gauge Theory, tool yang biasa dipakai dalam fisika partikel. Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pe- nyelasaian tugas akhir ini baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain:

1. Dr. L.T. Handoko selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis mulai dari awal diskusi hingga penyelesaian tugas akhir ini serta atas ide- ide, dukungan dan saran yang diberikan.

2. Dr. Terry Mart selaku pembimbing II dan ketua peminatan Fisika Nuklir dan Partikel atas bimbingan dan dukungan yang diberikan baik itu selama kuliah maupun pengerjaan tugas akhir ini.

3. Rekan-rekan di Lab Teori, khususnya grup diskusi Lattice: Nowo dan Juju, Beriya, Popo, Handhika, Arum, Ardy, Nita, Harykin, Chandi, Pak Ayung, Pak Sulaiman, Mas Parada.

4. Semua teman-teman fisika angkatan 2002, ”rekan-rekan kerja” di Lab Fi-

sika Dasar, teman-teman di KMK MIPA dan KMK UI yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

(4)

5. Special gift from God, Melvi, untuk dukungan dalam setiap langkah penulis, dalam senang maupun sedih.

6. Juga semua pihak yang tidak dapat disebutkan di sini atas dukungan dan doa kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perkembangan riset di Fisika UI.

Depok, Mei 2006

Heribertus Bayu

(5)

Abstrak

Dinamika fluida berbasis teori medan diformulasikan dalam kisi ruang waktu diskrit. Dengan formulasi tersebut dihitung selisih energi eksitasi (∆E) dari in- teraksi antara materi dengan fluida dengan menggunakan simulasi Metropolis Monte Carlo. Berdasarkan simulasi tersebut, diperoleh bahwa hubungan ∆E de- ngan kecepatan fluida dari interaksi materi dengan fluida tidak bergantung pada besarnya konstanta kopling interaksi g. Formulasi ini memberikan pemahaman dasar untuk perhitungan bermacam-macam observable dari fenomena yang di- modelkan dengan Lagrangian dinamika fluida dimana tidak ada jaminan teori perturbasi berlaku.

Kata kunci: lagrangian Navier Stokes, lattice gauge theory viii+34 hlm.; lamp.

Daftar Acuan: 10(1996-2006)

Abstract

Fluid dynamics based on the gauge field theory is formulated on a discrete space- time lattice. Using this formulation, the difference of excitation energy (∆E) from the interaction of fluids and matter is calculated using Metropolis Monte Carlo simulation. From the simulation, it is found that relation between ∆E with the velocity of fluid from the interaction of fluid and matter is not depend on the interaction coupling constant g. This formulation provides basic knowledge to calculate some observables for phenomenon modeled with the fluid dynamics Lagrangian where the pertubation theory cannot be guaranteed.

Keywords: Navier Stokes lagrangian, lattice gauge theory viii+34 pp.; appendices.

References: 10(1996-2006)

(6)

Daftar Isi

Kata Pengantar iii

Abstrak v

Daftar Isi vi

Daftar Gambar vii

1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang . . . . 1

1.2 Perumusan Masalah . . . . 2

1.3 Metode Penelitian . . . . 2

1.4 Tujuan Penelitian . . . . 3

2 Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan 4 2.1 Dinamika Fluida . . . . 4

2.2 Teori Medan Gauge untuk Dinamika Fluida . . . . 6

2.3 Sistem Multi Fluida . . . . 11

3 Teori Medan Gauge pada Lattice 13 3.1 Path Integral pada Mekanika Kuantum . . . . 13

3.2 Teori Medan Kuantum dengan Path Integral . . . . 16

3.3 Diskritisasi . . . . 18

3.4 Transformasi Gauge pada Lattice . . . . 20

4 Hasil dan Pembahasan 24

5 Kesimpulan 34

(7)

Daftar Acuan 35 A Evaluasi Path Integral dengan Metode Monte Carlo 36

B Pemrograman 40

(8)

Daftar Gambar

3.1 Interval waktu diskrit . . . . 14

3.2 Lintasan partikel . . . . 15

3.3 Lattice atau kisi 3 dimensi . . . . 18

3.4 Lintasan C antara x dan y . . . . 21

3.5 U µνx pada sebuah Plaquette . . . . 22

4.1 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida vuntuk g = 1. . . . 28

4.2 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida v untuk g = 0.01. . . . 29

4.3 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida beberapa nilai N cf . . . . 30

4.4 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk N cf = 100 dengan dan tanpa bootstrap. . . . 31

4.5 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk beberapa nilai a. . . 32

4.6 Grafik ∆E terhadap v untuk m = 500 GeV, g = 1 dengan dan tanpa bootstrap sampling. . . . 33

4.7 Grafik ∆E terhadap v untuk m = 500 GeV, g = 0, 01 dengan dan

tanpa bootstrap sampling. . . . 33

(9)

Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dinamika fluida secara matematis dideskripsikan oleh persamaan Navier-Stokes.

Persamaan ini diturunkan baik itu dari Hukum II Newton maupun hukum kekekal-

an massa. Sifat nonlinier pada persamaan Navier-Stokes mengakibatkan persa-

maan tersebut sulit untuk diselesaikan karena pada sistem nonlinier solusinya

tidak dapat disuperposisikan[1]. Sementara itu, banyak sistem-sistem yang da-

pat dimodelkan dengan menggunakan dinamika fluida seperti kosmologi turbu-

len, quark-gluon plasma, dll yang memerlukan solusi tersebut untuk melakuk-

an perhitungan-perhitungan berikutnya. Pendekatan alternatif untuk dinamika

fluida telah dilakukan dengan menggunakan metode mekanika analitik dengan

menggunakan lagrangian boson yang invarian terhadap transformasi gauge. Me-

tode ini telah diaplikasikan pada sistem fluida yang berinteraksi dengan soliton

yaitu protein α heliks yang berinteraksi dengan biofluida [2]. Lagrangian yang

invarian terhadap transformasi gauge tersebut dapat diformulasikan untuk sistem

relativistik yang invarian terhadap transformasi Lorentz sehingga dengan meng-

gunakan persamaan Euler-Lagrange dapat diperoleh persamaan Navier-Stokes

relativistik [4]. Dinamika fluida berbasis teori medan ini dapat juga digunak-

an untuk mendeskripsikan sistem multi fluida dengan menggunakan lagrangian

yang invarian terhadap transformasi gauge non-Abelian. Dengan menggunakan

pendekatan alternatif dinamika fluida ini kita dapat mengeksplorasi lebih lanjut

sistem-sistem yang dimodelkan dengan menggunakan fluida tanpa harus mencari

solusi persamaan Navier Stokes.

(10)

1.2 Perumusan Masalah

Pendekatan alternatif untuk formulasi dinamika fluida dari first principle telah dilakukan dengan menggunakan mekanika analitik. Persamaan Navier-Stokes di- turunkan sebagai persamaan gerak dari lagrangian boson yang invarian terhadap transformasi gauge dengan menggunakan persamaan Euler-Lagrange. Interaksi antara fluida dengan materi dapat dimodelkan dengan menggunakan lagrangian medan boson yang merepresentasikan materi dengan medan gauge yang merep- resentasikan fluida. Perhitungan observable dari interaksi antara materi dengan fluida dapat dilakukan dengan mengevaluasi path integral. Namun besarnya kon- stanta kopling interaksi g antara fluida dan materi tidak diketahui, sehingga path integral tidak dapat dihitung secara perturbatif.

Perhitungan secara non-perturbatif dapat dilakukan dengan menggunakan Lattice Gauge Theory. Lattice Gauge Theory digunakan pada teori Quantum Chromo- dynamics atau sering disebut dengan Lattice QCD untuk menghitung besaran- besaran QCD pada energi rendah, karena konstanta kopling QCD makin besar pada energi rendah. Pada Lattice Gauge Theory, aksi disusun pada kisi ruang dan waktu diskrit sehingga memungkinkan path integral dihitung secara nume- rik dengan menggunakan metode Metropolis Monte Carlo. Dengan menghitung observable dari lagrangian ini maka diharapkan kita bisa mempelajari perilaku atau sifat-sifatnya terutama terhadap konstanta kopling g.

1.3 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat teoritik. Teori yang digunakan ialah dinamika fluida dengan

pendekatan teori medan gauge. Untuk memperoleh observable dari teori ini,

aksi yang menggambarkan interaksi antara materi dengan fluida terlebih dahulu

diformulasikan dalam ruang dan waktu diskrit. Setelah itu dapat dihitung energi

dengan mengevaluasi path integral menggunakan metode Monte Carlo.

(11)

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari teknik dasar perhitungan Lattice

Gauge Theory dengan menggunakan metode Metropolis Monte Carlo dan im-

plementasinya pada pemrograman serta menghitung observable dari dinamika

fluida berbasis teori medan dengan menggunakan Lattice Gauge Theory. Pene-

litian difokuskan pada formulasi teori gauge untuk fluida pada kisi ruang waktu

diskrit dan perhitungan energi dari interaksi fluida dengan materi.

(12)

Bab 2

Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan

Pada bab ini penulis akan membahas secara singkat teori mengenai dinamika fluida baik itu secara klasik maupun dengan pendekatan berbasis teori medan.

2.1 Dinamika Fluida

Fluida didefinisikan sebagai bahan yang mengalami deformasi (perubahan ben- tuk) secara kontinu bila dikenai tegangan geser. Dinamika fluida merupakan cabang dari ilmu fisika yang mempelajari aliran fluida (cairan dan gas). Secara matematis, dinamika fluida digambarkan oleh persamaan Navier-Stokes

∂~v

∂t + (~v · ~ ∇)~v = − 1

ρ ∇P + µ~ ~ ∇ 2 ~v (2.1) dengan ~v ialah kecepatan fluida, P ialah tekanan, ρ ialah kerapatan dan µ ialah koefisien viskositas. Persamaan ini diturunkan dari hukum II Newton dan hukum kekekalan massa. Hukum kekekalan massa menyatakan bahwa fluida tidak da- pat diciptakan maupun dimusnahkan. Bila kita memberi gangguan pada fluida, massa awal dan akhir fluida haruslah sama. Perhatikan volume suatu fluida V dengan S merupakan permukaan tertutup dari volume V . Massa dari fluida ia- lah R

V ρdV , sementara massa fluida per satuan waktu yang melewati permukaan tertutup S ialah H (ρ~v) · dS sehingga hukum kekekalan massa dapat dinyatakan sebagai berikut

I

(ρ~v) · dS = − ∂

∂t Z

V

ρdV (2.2)

(13)

dengan menggunakan teorema Gauss diperoleh, Z

V

∇ · (ρ~v)dV = − ~ ∂

∂t Z

V

ρdV Z

V

 ∂ρ

∂t + ~ ∇ · (ρ~v)



dV = 0

∂ρ

∂t + ~ ∇ · (ρ~v) = 0 (2.3)

Hukum II Newton tidak lain merupakan bentuk kekekalan momentum yang me- miliki bentuk

F = m ~ d 2 ~x

dt 2 (2.4)

Gaya yang dialami oleh fluida yang bergerak ialah

1. Gaya badan, yang bekerja secara langsung pada volume massa dari elemen fluida. Contohnya ialah gaya gravitasi, listrik dan magnet.

2. Gaya permukaan, yang bekerja secara langsung pada permukaan elemen fluida. Hanya ada 2 sumber gaya jenis ini: (a) distribusi tekanan pada per- mukaan dan (b) distribusi regangan dan tegangan normal pada permukaan elemen fluida.

untuk aliran fluida, m → ρV dan percepatan, d 2 ~x

dt 2 → D~v Dt dengan

D Dt = ∂

∂t + ~v · ~ ∇.

Maka hukum II Newton untuk aliran fluida ialah ρ D~v

Dt = F ~

V (2.5)

Gaya yang fundamental pada aliran fluida ialah gradien tekanan yang dapat ditulis sebagai berikut,

F i

V = − ∂

∂x k Π ik , (2.6)

dimana tensor tekanan diberikan oleh

Π ik = P δ ik − σ ik , (2.7)

(14)

dengan P tekanan dan σ ik ialah tensor viskositas. Tensor viskositas secara umum merupakan tensor asimetrik. Tensor viskositas dapat ditulis [3],

σ ij = η  ∂v i

∂x k

+ ∂v k

∂x i − 2

3 δ ij ∇ · ~v ~



+ νδ ik ∇ · ~v, ~ (2.8) dimana η dan ν merupakan koefisien viskositas kinematik dan dinamik. Subs- titusi persamaan (2.6), (2.7) dan (2.8) ke hukum II Newton untuk fluida pada persamaan (2.5),

ρ  ∂~v

∂t + (~v · ~ ∇)~v



= −~ ∇P + η ~ ∇ 2 ~v +

 ν + 1

3 η



∇(~ ~ ∇ · ~v). (2.9)

Untuk fluida inkompresibel ~ ∇ · ~v = 0 dan µ ≡ η/ρ diperoleh persamaan Navier Stokes untuk fluida inkompresibel

∂~v

∂t + (~v · ~ ∇)~v = − 1

ρ ∇P + µ~ ~ ∇ 2 ~v (2.10) seperti pada persamaan (2.1).

2.2 Teori Medan Gauge untuk Dinamika Fluida

Persamaan Navier-Stokes menggambarkan sistem nonlinier dengan kecepatan aliran ~v ≡ ~v(x µ ), dimana x µ adalah ruang 4 dimensi, x µ ≡ (x 0 , x i ) = (ct, ~r) = (ct, x, y, z). Dalam hal ini digunakan ruang Minkowski dengan tensor metrik g µν = (1, −~1) = (1, −1, −1, −1) sehingga x 2 = x µ x µ = x µ g µν x ν = x 2 0 − x 2 = x 2 0 −x 2 1 −x 2 2 −x 2 3 . Karena persamaan Navier-Stokes diturunkan dari hukum II New- ton, secara prinsip persamaan tersebut dapat diturunkan dari mekanika analitik dengan menggunakan prinsip aksi terkecil dan telah dikerjakan dalam sejumlah paper demikian pula dengan formulasi dinamika fluida menggunakan lagrangi- an berdasarkan pada simetri gauge. Beberapa tulisan juga menghubungkannya dengan persamaan Maxwell. Perlu diingat bahwa persamaan Navier-Stokes dan persamaan Maxwell menggambarkan sistem yang berbeda, namun dapat diambil analogi terutama dalam melakukan konstruksi dari lagrangian dinamika fluida.

Pada subbab ini akan dijelaskan konstruksi persamaan Navier-Stokes dari first

principle mekanika analitik yaitu dimulai dari lagrangian density. Diperhatikan

juga bahwa persamaan Navier-Stokes merupakan sistem ruang 4 dimensi, dengan

(15)

demikian dapat digunakan metode pada teori medan relativistik yang memperla- kukan ruang dan waktu dalam dimensi yang sama. Persamaan Navier-Stokes di- turunkan sebagai persamaan gerak dari lagrangian boson yang invarian terhadap transformasi gauge dan transformasi Lorentz melalui persamaan Euler-Lagrange.

Lagrangian untuk medan boson yang invarian terhadap transformasi gauge lokal ialah

L = (∂ µ φ )(∂ µ φ) + V (φ) + L A (2.11) dimana

L A = − 1

4 F µν F µν + gJ µ A µ + g 2 A µ A µ φ φ (2.12) dengan kuat tensor F µν ≡ ∂ µ A ν − ∂ ν A µ , sementara arus vektor empatnya,

J µ = i [φ(∂ µ φ ) − φ (∂ µ φ)] (2.13) memenuhi kekekalan arus ∂ µ J µ = 0. Suku-suku tambahan pada L A dibutuhkan agar lagrangian boson tersebut invarian terhadap transformasi gauge lokal U = exp[−iθ(x)] sehingga,

φ → φ = e −iθ(x) φ ≈ (1 − iθ(x))φ (2.14) A µ → A µ = A µ + 1

g (∂ µ θ) (2.15)

Seperti disebutkan pada [1], kita dapat memperoleh bentuk persamaan yang mi- rip dengan persamaan Maxwell dari persamaan Navier-Stokes dengan mengganti medan magnet dan medan listrik dengan vektor Lamb dan vortisitas

E → ~l = ~ω × ~v ~ B → ~ω = ~ ~ ∇ × ~v

sehingga persamaan ”Maxwell” untuk fluida ialah

∇ · ~l = ˜ ~ ρ

∇ × ~l = − ~ ∂~ω

~ ∂t

∇ · ~ω = 0

∇ × ~ω = α~j + α ~ ∂~l

∂t

(16)

dengan α = 1/~v 2 . Hasil ini memberi petunjuk bahwa kita dapat mengkonstruksi lagrangian yang bentuknya mirip dengan lagrangian elektrodinamika kuantum yaitu L A pada persamaan (2.12). Klaim ini telah dibuktikan dengan mengambil bentuk spesifik dari medan gauge,

A µ =  Φ, ~ A 

=  1

2 |~v| 2 + V, −~v



(2.16) dengan ~v ialah kecepatan fluida dan V ialah potensial yang diakibatkan oleh gaya konservatif. Pemilihan bentuk medan gauge tersebut jelas tidak memenuhi tran- sformasi Lorentz secara eksplisit. Di sisi lain, pemilihan ini menunjukkan bahwa pada dinamika fluida, potensial skalar merupakan energi total per satuan massa yang terdiri dari rapat energi kinetik dan rapat potensial eksternal, sementara potensial vektor menggambarkan dinamika dalam suku kecepatan. Dengan de- mikian, L A pada persamaan (2.12) tidak lain ialah lagrangian yang menghasilkan persamaan Navier-Stokes dengan pemilihan medan gauge di atas, L A = L N S .

Berdasarkan prinsip aksi terkecil δS = 0 dengan S = R d 4 xL N S dapat diperoleh persamaan Euler-Lagrange

∂ ν ∂L N S

∂(∂ ν A µ ) − ∂L N S

∂A µ = 0 (2.17)

Substitusi persamaan (2.12) ke persamaan Euler-Lagrange di atas menghasilkan persamaan gerak dalam A µ ,

∂ ν (∂ µ A ν ) − ∂ 2 A µ + gJ µ = 0. (2.18) A µ diperhatikan sebagai medan fluida. Relasi nontrivial diperoleh untuk µ 6= ν sehingga dapat menghasilkan persamaan Navier-Stokes.

Untuk memperoleh persamaan Navier-Stokes relativistik, kita dapat mendefini- sikan medan gauge A a µ = 

Φ, ~ A 

dengan potensial skalar dan vektornya sebagai berikut [4],

Φ = −c 2 s

1 − |~v| 2

c 2 + V rel , (2.19)

A = −~v, ~ (2.20)

(17)

dengan V rel menyatakan potensial relativistik eksternal. Suku pertama pada per- samaan (2.19) menunjukkan versi relativistik energi kinetik persatuan massa.

Substitusi persamaan (2.19) dan (2.20) ke persamaan (2.18), diperoleh persama- an Navier-Stokes relativistik,

∂~v

∂t − c 2 ∇ ~ s

1 − |~v| 2

c 2 = −~ ∇V rel + g ~˜ J (2.21) dengan ˜ J i ≡ R dx i J 0 = − R dtJ i . Kita dapat memperoleh bentuk nonrelativistik dengan mengambil |~v| ≪ c dan menggunakan relasi

1

2 ∇ |~v| ~ 2 = (~v · ~ ∇)~v + ~v × (~ ∇ × ~v) sehingga,

∂~v

∂t + (~v · ~ ∇)~v = −~ ∇V − ~v × (~ ∇ × ~v) + g J, ~˜ (2.22) di mana diasumsikan relasi eksplisit untuk gaya eksternal ~ ∇V rel non−rel −→ ~ ∇V .

Dengan demikian persamaan Navier-Stokes untuk sembarang gaya konservatif te- lah dibentuk dengan menggunakan teori medan gauge. Terlihat pada persamaan (2.22) terdapat gaya tambahan, yaitu pada suku g ~˜ J dan suku ~v × (~ ∇ × ~v) yang relevan untuk fluida rotasional ~ ∇ × ~v. Rapat potensial yang dialami pada fluida antara lain:

V (~r) =

P (~r)/ρ(~r) : tekanan Gm/|~r| : gravitasi (µ + η)(~ ∇ · ~v) : viskositas

dengan P, ρ, G, µ+η menyatakan tekanan, kerapatan, konstanta gravitasi dan vis- kositas. Bila kita hitung gradien dari potensial tekanan untuk kerapatan konstan dan gradien potensial viskositas,

∇V ~ tekanan = 1 ρ ∇P ~

∇V ~ viskositas = η ~ ∇(~ ∇ · ~v) + µ(~ ∇ 2 ~v) + µ(~ ∇ × ~ ∇ × ~v)

dan memasukkan keduanya pada persamaan (2.22), maka akan diperoleh,

∂~v

∂t + (~v · ~ ∇)~v = − 1

ρ ∇P − η ~ ~ ∇(~ ∇ · ~v) + µ(~ ∇ 2 ~v)

+µ(~ ∇ × ~ ∇ × ~v) − ~v × (~ ∇ × ~v) + g J. ~˜ (2.23)

(18)

Untuk fluida irotasional ~ ∇ × ~v = 0 dan fluida inkompresibel ~ ∇ · ~v = 0,

∂~v

∂t + (~v · ~ ∇)~v = − 1

ρ ∇P + µ(~ ~ ∇ 2 ~v) + g ~˜ J. (2.24) Persamaan di atas tidak lain ialah merupakan persamaan Navier-Stokes untuk fluida irotasional inkompresibel seperti pada persamaan (2.10). Persamaan Na- vier Stokes relativistik (2.21) invarian terhadap transformasi Lorentz,

x i → x i = x i − v i t

p1 − |~v| 2 /c 2 , t → t = t − x i /v i

p1 − |~v| 2 /c 2 dan ~˜ J → J ~˜ = p1 − |~v| 2 /c 2 J. ~˜

Dari model yang dibuat untuk dinamika fluida dengan menggunakan teori med- an gauge, kita dapat melihat interaksi antara fluida (A µ )dan materi di dalamnya (φ). Potensial yang terdapat pada potensial skalar muncul akibat gaya konserva- tif eksternal yang hanya bekerja pada medan fluida (A µ ). Sebaliknya, potensial pada lagrangian menggambarkan interaksi antar medan boson. Pada dinamika fluida klasik, arus vektor empat J µ = (ρ, ρ~v) menggambarkan distribusi makros- kopik dari kerapatan dan vektor rapat arus. Sementara dalam pendekatan ini, J µ menggambarkan fungsi distribusi dari materi di dalam fluida. Hal ini analog dengan arus pada persamaan Maxwell dan elektrodinamika kuantum yang me- rupakan hasil dari interaksi pasangan fermion. Konsekuensi dari hasil ini, arus fluida muncul akibat interaksi dari medan fluida dengan mediumnya. Jadi kita dapat menginvestigasi dinamika fluida biarpun J µ = 0. Dengan menggunakan lagrangian Navier-Stokes, kita juga dapat mempelajari interaksi antara fluida dengan medium lainnya. Seperti contohnya, potensial pada persamaan (2.11) disubstitusi dengan

V (φ) = − 1

2 m 2 φ 2 + λ 4! φ 4

dapat menggambarkan interaksi fluida dengan medium soliton, karena persamaan

gerak terhadap φ yang dihasilkan dari lagrangian ini memenuhi persamaan Klein-

Gordon nonlinear dengan solusi soliton.

(19)

2.3 Sistem Multi Fluida

Model yang telah dikembangkan pada sub-bab sebelumnya dapat digeneralisasi untuk sistem multi fluida. Pada sistem ini kita menggunakan simetri SU (N ) un- tuk menggambarkan sistem multi fluida serta interaksinya dengan materi. Untuk melakukannya, transformasi gauge yang digunakan ialah transformasi gauge lokal yang bersifat non-Abelian

U = exp(−iT a θ a (x)) (2.25)

dimana T a merupakan generator dari grup Lie dan memenuhi relasi komutasi [T a , T b ] = if abc T c dengan f abc merupakan konstanta struktur antisimetrik. La- grangian untuk sistem multi fluida dapat dituliskan

L = (∂ µ φ) (∂ µ φ) + V (φ) + L A (2.26) dimana

L A = − 1

4 F µν a F aµν + gJ µ a A + i

2 f abc g 2 T a φ)A b µ A (2.27) dengan kuat tensor F µν a ≡ ∂ µ A a ν − ∂ ν A a µ − gf abc A b µ A c ν , sementara arus vektor empatnya,

J µ a = i (∂ µ φ) T a φ − φ T a (∂ µ φ) 

(2.28) dengan transformasi gauge untuk tiap-tiap medan ialah

φ → φ = e −iT

a

θ

a

(x) φ ≈ (1 − iT a θ a (x))φ (2.29) A a µ → A a µ

′ = A a µ + 1

g (∂ µ θ a ) + f abc θ b A c µ (2.30) Bila A a µ diperhatikan sebagai medan fluida yang mewakili sekumpulan fluida un- tuk tiap a, maka kita memiliki sistem multi fluida yang digambarkan oleh per- samaan persamaan gerak tunggal dimana L A pada persamaan (2.27) merupakan lagrangian dari persamaan Navier-Stokes (L N S ). Sebagai contoh, untuk meng- gambarkan interaksi antara 2 fluida, dapat digunakan lagrangian yang berbentuk [5]

L total = L a N S + L b N S + L ab int (2.31)

dengan L ab int merupakan lagrangian interaksi antara dua fluida. Dari model yang

dibuat untuk sistem multi fluida, kita dapat melihat interaksi antara fluida (A a µ )

(20)

dan materi di dalamnya (φ) berdasarkan grup simetri SU (N ) untuk n × 1 medan

φ dan n × n generator T a secara umum.

(21)

Bab 3

Teori Medan Gauge pada Lattice

Sejak diperkenalkan oleh Feynman pada tahun 1948, metode path integral telah menjadi alat yang penting untuk fisikawan partikel elementer. Banyak pengem- bangan modern pada fisika partikel elementer teoritik dibuat berdasarkan metode ini. Salah satunya ialah formulasi lattice dari teori medan kuantum yang mem- berikan langkah baru untuk melakukan studi nonperturbatif pada suatu teori seperti Quantum Chromodynamics[6].

3.1 Path Integral pada Mekanika Kuantum

Untuk melihat bagaimana path integral bekerja, pertama-tama perhatikan sistem mekanika kuantum satu dimensi yang digambarkan oleh Lagrangian L = L(q, ˙q) atau Hamiltonian H = H(p, q),

L = 1

2 m ˙q 2 − V (q) (3.1)

H = p 2

2m + V (q) (3.2)

dimana p dan q dihubungkan oleh p = ∂L/∂ ˙q = m ˙q. Pada mekanika kuantum, p dan q menjadi operator dengan relasi komutasi [p, q] = i~.

Amplitudo transisi mekanika kuantum ialah

hq , t | q, ti = hq | e −iH(t

−t) |qi

= hq | U(t , t) |qi (3.3)

dengan U (t , t) = exp(−iH(t − t)) merupakan operator evolusi waktu. Selan-

jutnya kita lakukan diskritisasi waktu T = t − t = n∆t dengan ∆t merupakan

(22)

Gambar 3.1: Interval waktu diskrit

interval potongan waktu dan q(t) = q n serta memasukkan n−1 relasi kelengkapan 1 =

Z

dq |qi hq | (3.4)

ke elemen matriks pers.(3.3) diperoleh hq , t | q, ti =

Z

dq 1 . . . dq n−1 hq | e −iH∆t |q n−1 i hq n−1 | e −iH∆t |q n−2 i

× . . . hq 2 | e −iH∆t |q 1 i hq 1 | e −iH∆t |qi (3.5)

Matriks transfer ˆ T didefinisikan sebagai amplitudo transisi suatu sistem pada selang waktu ∆t dengan elemen matriksnya

hq k+1 | ˆ T |q k i = hq k+1 | e −iH∆t |q k i

≈ hq k+1 | e −i∆tp

2

/2m |q k i e −i∆tV (q

k

) (3.6) Elemen matriks hq k+1 | e −i∆tp

2

/2m |q k i dapat dievaluasi dengan menggunakan per- samaan

hq| pi = 1

√ 2π e qp , Z

dq |pi hp| = 1 (3.7)

sehingga diperoleh

hq k+1 | e −iH∆t |q k i ≈  m 2πi∆t



12

exp i∆t ( m

2

 q k+1 − q k

∆t

 2

− V (q k ) )

(3.8)

Amplitudo transisi pers.(3.3) setelah mengevaluasi semua elemen matriks transfer ialah

hq | U(t , t) |qi =

Z  m 2πi∆t



n2

dq 1 . . . dq n−1 exp i

n−1

X

k=0

∆t ( m

2

 q k+1 − q k

∆t

 2

− V (q k ) )

(3.9)

(23)

Gambar 3.2: Lintasan partikel

pada n → ∞ atau ∆t → 0, hq | U(t , t) |qi =

Z

Dq exp i Z T

0

dt n m

2 ˙q 2 − V (q) o

= Z

Dqe iS (3.10)

dengan

Dq ≡  m 2πi∆t



n2

dq 1 . . . dq n−1 (3.11) Di sini, S merupakan aksi fungsional dari suatu sistem,

S(q) = Z t

t

dtL(q(t), ˙q(t)), (3.12)

dan R Dq menunjukkan integrasi terhadap semua fungsi q(t). Path integral me- rupakan penjumlahan terhadap semua lintasan q(t). Lintasan klasik, yang me- menuhi persamaan gerak δS(q) = 0 atau

∂L

∂q − ∂

∂t

∂L

∂ ˙q = 0 (3.13)

hanya merupakan satu dari banyak kemungkinan lintasan yang tak berhingga.

Setiap lintasan memiliki bobot exp(iS) [7].

(24)

3.2 Teori Medan Kuantum dengan Path Inte- gral

Teori medan kuantum memiliki formulasi lagrangian, dengan demikian kita dapat melakukan kuantisasi dengan path integral. Pembahasan pada mekanika kuantum sebelumnya merupakan contoh teori medan pada dimensi ruang 0 dan dimensi waktu 1: q(t) → φ(t) → φ(x). Untuk mendapatkan formulasi path integral dari teori medan, dapat dilakukan dengan penggantian variabel dasar q(t) menjadi medan skalar φ(x, t). Penggantian variabel tersebut antara lain [8]

q(t) ↔ φ(x, t) Y

t

dq(t) ↔ Y

t,x

dφ(x, t) ≡ Dφ

S = Z

dtL ↔ S = Z

d 4 xL

Besaran yang penting di teori medan ialah nilai ekspektasi vakum dari produk time-ordered operator medan, yaitu fungsi Green:

h0| φ(x 1 )φ(x 2 ) . . . φ(x n )) |0i , t 1 > t 2 > . . . > t n (3.14) seperti contohnya ialah propagator

h0| φ(x 1 )φ(x 2 ) |0i (3.15)

Dengan analogi path integral mekanika kuantum kita dapat menuliskan represen- tasi fungsi Green dalam integral fungsional [9],

h0| φ(x 1 )φ(x 2 ) . . . φ(x n ) |0i = 1 Z

Z

Dφ φ(x 1 )φ(x 2 ) . . . φ(x n )e iS (3.16) dengan

Z = Z

Dφe iS (3.17)

Agar path integral dapat dihitung secara numerik, maka dilakukan kontinua-

si analitik ke waktu imajiner. Hal ini dilakukan karena path integral pada

pers.(3.17) terdapat integran yang berosilasi akibat eksponen yang imajiner. De-

ngan melaku-kan substitusi waktu imajiner ini kita bekerja dalam ruang waktu

(25)

Euclidean dimana sebelumnya ialah ruang waktu Minkowski. Teori medan da- lam ruang waktu Euclidean disebut dengan teori medan Euclidean atau Euclidean Field Theory . Kontinuasi dilakukan dengan melakukan substitusi

t = x 0 → −ix 4 (3.18)

Sebagai contoh, kita akan lakukan kontinuasi ini pada medan skalar. Perhatikan aksi untuk medan skalar

S = Z

d 4 x  1

2 (∂ µ φ)(∂ µ φ) − m 2 2 φ 2



(3.19) Aksi tersebut dapat ditulis dalam bentuk

S = 1 2

Z

d 4 xφ −∂ 2 − m 2  φ (3.20) bila kita melakukan kontinuasi ke waktu imajiner maka,

d 4 x = dx 0 dx 1 dx 2 dx 3

= −idx 1 dx 2 dx 3 dx 4

= −id 4 x E

2 = ∂ 0 2 − ∂ 1 2 − ∂ 2 2 − ∂ 3 2

= −∂ 4 2 − ∂ 1 2 − ∂ 2 2 − ∂ 3 2

= −∂ E 2

Maka eksponen pada path integral di ruang waktu Euclidean ialah iS = i 1

2 Z

(−i)d 4 x E φ ∂ E 2 − m 2  φ

= − 1 2

Z

d 4 x E φ −∂ 2 E + m 2  φ

= −S E

dengan

S E = 1 2

Z

d 4 x E φ −∂ E 2 + m 2  φ (3.21) merupakan aksi medan skalar pada ruang waktu Euclidean. Kemudian fungsi Green versi Euclidean

h0| φ(x 1 )φ(x 2 ) . . . φ(x n ) |0i E = 1 Z

Z

Dφ φ(x 1 )φ(x 2 ) . . . φ(x n )e −S

E

(3.22)

(26)

Gambar 3.3: Lattice atau kisi 3 dimensi

dengan

Z = Z

Dφe −S

E

(3.23)

Selanjutnya huruf E untuk menunjukkan versi Euclidean akan dihilangkan untuk mempermudah penulisan. Kita lihat bahwa setelah dilakukan kontinuasi ke waktu imajiner, integran dari Z tidak lagi berosilasi sehingga integrasi tersebut dapat dihitung secara numerik.

3.3 Diskritisasi

Setelah melakukan formulasi ruang-waktu Euclidean, selanjutnya kita akan mela- kukan diskritisasi ruang waktu. Dengan demikian teori medan yang kita miliki disusun pada ruang waktu diskrit. Diskritisasi dilakukan dengan membentuk ruang waktu menjadi kisi hiperkubik empat dimensi dengan jarak antar tiap titik kisi ialah a. Dengan demikian pada, medan hanya memiliki nilai pada titik-titik kisi

x µ = m µ a, m µ = 0, 1, . . . , N − 1. (3.24) sehingga panjang sisi dari kotak hiperkubik ialah L = N a dan volumenya L 4 . Medan pada titik kisi x µ = m µ a ditulis dengan notasi φ x . Dengan dilakukannya diskritisasi, maka integral dapat digantikan dengan sumasi

Z

d 4 x → a 4

N −1

X

m

1

N −1

X

m

2

N −1

X

m

3

N −1

X

m

4

= a 4 X

m

= X

x

(3.25)

(27)

Untuk fungsi di limit kontinu, X

x

f (x) → Z L

0

d 4 xf (x), N → ∞, a → 0, L tetap (3.26) Turunan atau derivatif diganti dengan perbedaan atau selisih medan antara dua titik kisi,

∂ µ φ x = 1

a (φ x+aˆ µ − φ x ), (3.27)

µ φ x = 1

a (φ x − φ x−aˆ µ ), (3.28) dengan ˆ µ merupakan vektor satuan pada arah µ. Untuk fungsi pada limit kontinu,

µ f (x), ∂ µ f (x) → ∂

∂x µ f (x), a → 0. (3.29) Sedangkan operator d’Alambertian,

φ x = ∂ µµ φ x

= 1

a 2 (φ x+aˆ µ + φ x−aˆ µ − 2φ x ) . (3.30) Medan-medan pada kisi juga memenuhi periodisitas

φ x+N aˆ µ = φ x (3.31)

Dari kondisi periodisitas, operator turunan ∂ µ dan ∂ µ dihubungkan oleh sumasi parsial (analog dengan integrasi parsial)

X

x

φ 1x ∂ µ φ 2x = − X

x

µ φ 1x φ 2x (3.32) Transformasi Fourier pada lattice dapat dituliskan sebagai berikut

φ ˜ p = X

x

e −ipx φ x , (3.33)

φ x = X

x

e −ipx φ ˜ p . (3.34)

Untuk fungsi f (p) pada limit volume L = N a → ∞, X

p

f (p) = (∆p) 4 (2π) 4

X

m

f  2πm N a



(3.35)

Z π/a

−π/a

d 4 p

(2π) 4 f (p), N → ∞, a tetap, (3.36)

(28)

dimana ∆p = 2π/N a.

Dengan diskritisasi yang telah dijelaskan maka kita dapat menulis aksi untuk medan skalar pada persamaan (3.21) dalam bentuk diskrit

S = a 4 X

m,µ

1 2



−φ x

 φ x+aˆ µ + φ x−aˆ µ − 2φ x a 2



+ m 2 φ 2 x



(3.37)

3.4 Transformasi Gauge pada Lattice

Perhatikan aksi dari medan skalar pada persamaan (3.37). Untuk medan skalar kompleks, aksi tersebut dapat dituliskan

S = a 4 X

m,µ

Re



−φ x

 φ x+aˆ µ + φ x−aˆ µ − 2φ x a 2



+ m 2 φ x φ x



(3.38) Aksi tersebut invarian terhadap transformasi gauge global

φ x → φ x = Ωφ x

φ x → φ †′ x = φ x

dengan Ω = e −iθ merupakan elemen dari grup U (1). Kemudian, aksi tersebut harus invarian terhadap transformasi gauge lokal U (1), dengan elemen grup Ω bergantung pada titik kisi, Ω = Ω x . Sehingga medan φ x bertansformasi sebagai berikut,

φ x → φ x = Ω x φ x (3.39)

φ x → φ †′ x = φ x x . (3.40) Dari transformasi tersebut, perhatikan besaran φ x φ x+aˆ µ dan φ x φ x−aˆ µ . Besaran tersebut tidak invarian terhadap transformasi gauge lokal yang didefinisikan pada persamaan (3.39) dan (3.40)

φ x φ x+aˆ µ → φ x Ω x Ω x+aˆ µ φ x+aˆ µ , (3.41) φ x φ x+aˆ µ → φ x Ω x Ω x−aˆ µ φ x−aˆ µ . (3.42) Agar besaran tersebut invarian, maka kita membutuhkan suatu besaran U µx yang bertransformasi sebagai berikut,

U µx → Ω x U µx Ω x+aˆ µ (3.43)

(29)

Gambar 3.4: Lintasan C antara x dan y

U µx merupakan besaran yang menghubungkan titik kisi yang satu dengan titik kisi lainnya pada lattice, dan disebut dengan variabel ”link ”. Di dalam variabel link terdapat medan gauge A µ agar besaran pada persamaan (3.38) invarian terhadap transformasi gauge lokal. Variabel link didefinisikan sebagai

U µx = U x,x+aˆ µ = e igaA

µx

(3.44)

Sehingga kita memiliki bentuk yang invarian terhadap transformasi gauge lokal pada lattice

φ x φ x+aˆ µ → φ x U x,x+aˆ µ φ x+aˆ µ (3.45) φ x φ x−aˆ µ → φ x U x−aˆ µ,x φ x+aˆ µ (3.46) dimana

U −µx = U x−aˆ µ,x = U x,x−aˆ µ = e −igaA

µx−aˆµ

(3.47) Pada teori kontinum U µx tidak lain merupakan parallel transporter yang analog dengan obyek yang sama pada geometri diferensial, yang memetakan vektor dari titik yang satu ke titik lainnya sepanjang kurva.

U (x, y; C) = e ig R

yx

A

µ

(z)dz

µ

. (3.48) Parallel transporter tidak hanya bergantung pada titik x dan y tetapi juga kurva C yang dipilih.

Dengan diperkenalkannya variabel link U µx yang didalamnya terdapat medan

gauge A µ , maka kita dapat menulis aksi untuk medan skalar pada lattice yang

(30)

Gambar 3.5: U µνx pada sebuah Plaquette

invarian terhadap transformasi gauge lokal S = a 4 X

m,µ

Re



−φ x

 U µx φ x+aˆ µ + U −µx φ x−aˆ µ − 2φ x a 2



+ m 2 φ x φ x



(3.49)

Sementara itu kontribusi medan gauge pada aksi yang berbentuk 1 4 F µν F µν dapat dituliskan dalam variabel link U µx sehingga invarian terhadap transformasi gau- ge pada lattice. Sekarang perhatikan produk dari variabel link terhadap suatu plaquette seperti pada gambar (3.5). Plaquette ini berada pada bidang µ − ν.

Kemudian didefinisikan

U µνx = U µx U νx+aˆ µ U µx+aˆ ν U νx (3.50) Substitusi U µ pada persamaan (3.44) ke persamaan di atas diperoleh

U µνx = e iga

2

F

µνx

(3.51)

dengan F µνx merupakan versi diskrit dari kuat tensor kontinum, F µνx ≡ 1

a [(A νx+ˆ µ − A νx ) − (A µx+ˆ ν − A µx )] . Untuk jarak antar titik kisi a yang kecil, dari persamaan (3.50)

1 2g 2

X

m

X

µ<ν

Re

 1 − 1

2 (U µνx + U µνx )



≈ 1 4

X

m

a 4 F µνx F µνx . (3.52)

(31)

Sehingga aksi medan gauge pada lattice dapat ditulis, S G [U ] = 1

2g 2 X

P

Re

 1 − 1

2 (U P + U P )



(3.53)

dimana P merupakan produk dari variabel link terhadap suatu plaquette P de-

ngan arah berlawanan dengan putaran jarum jam.

(32)

Bab 4

Hasil dan Pembahasan

Interaksi antara fluida dengan materi dapat dimodelkan dengan menggunakan la- grangian pada persamaan (2.11) untuk kasus Abelian. Dalam persamaan tersebut terdapat suku boson yang merepresentasikan materi dan suku medan gauge yang merepresentasikan fluida, dimana telah dibahas sebelumnya, lagrangian untuk medan gauge bila dimasukkan ke persamaan Euler-Lagrange dan memasukkan bentuk A µ pada persamaan (2.16) akan menghasilkan persamaan Navier Stokes.

Lagrangian pada persamaan (2.11) dapat ditulis dalam bentuk L = (D µ φ )(D µ φ) − m 2 φ φ − 1

4 F µν F µν (4.1)

dengan D µ ialah turunan kovarian yang didefinisikan sebagai berikut,

D µ = ∂ µ + igA µ (4.2)

substitusi D µ ke persamaan (4.1),

L = (∂ µ φ )(∂ µ φ) + ig[φ(∂ µ φ ) − (∂ µ φ)φ ]A µ + g 2 A µ A µ φ φ − m 2 φ φ − 1

4 F µν F µν .

(4.3)

Pada persamaan di atas kita dapat melihat adanya interaksi antara materi (bo-

son) dengan fluida (medan gauge). Permasalahan yang muncul ketika kita hen-

dak melakukan perhitungan dari lagrangian di atas ialah tidak diketahuinya besar

konstanta kopling interaksi g sehingga tidak ada jaminan perhitungan secara per-

turbatif, seperti yang pada umumnya dilakukan untuk perhitungan path integral,

dapat dilakukan. Dengan demikian, evaluasi path integral harus dilakukan secara

nonperturbatif.

(33)

Untuk menghitung path integral secara nonperturbatif, dapat dilakukan dengan menyusun aksi pada persamaan (4.1) dalam ruang waktu diskrit seperti yang dijelaskan pada bab 3. Sebelum melakukan diskritisasi, perhatikan lagrangian untuk medan skalar kompleks

L = (∂ µ φ )(∂ µ φ) − m 2 φ φ (4.4) Aksi dari lagrangian tersebut ialah

S = Z

d 4 x (∂ µ φ )(∂ µ φ) − m 2 φ φ 

(4.5) Dengan menggunakan skema diskritisasi yang telah dijelaskan pada bab 3, yaitu dengan terlebih dahulu melakukan rotasi ke waktu imajiner maka lagrangian pada persamaan (4.4) dapat ditulis dalam bentuk diskrit

S = a 4 X

m,µ

Re



−φ x

 φ x+aˆ µ + φ x−aˆ µ − 2φ x a 2



+ m 2 φ x φ x



(4.6)

Aksi di atas jelas tidak invarian terhadap transformasi gauge lokal pada persama- an (3.39) dan (3.40). Bentuk yang invarian diperoleh dengan memperkenalkan variabel link U µx yang di dalamnya terdapat medan gauge A µ , sehingga diperoleh aksi medan skalar kompleks yang invarian

S = a 4 X

m,µ

Re



−φ x

 U x,x+aˆ µ φ x+aˆ µ + U x−aˆ µ,x φ x−aˆ µ − 2φ x a 2



+ m 2 φ x φ x



(4.7)

Kita dapat memeriksa apakah aksi lattice di atas dapat kembali ke bentuk aksi kontinu bila kita ambil jarak antar kisi a → 0. Dengan melakukan ekspansi U µ pada persamaan (3.50) menjadi

U x,x+aˆ µ = e igaA

µx

≈ 1 + igaA µx − g 2 a 2

2 A 2 µx + O(a 3 ) (4.8) dan

U x−aˆ µ,x = e −igaA

µx−aˆµ

≈ 1 − igaA µx−aˆ µ − g 2 a 2

2 A 2 µx−aˆ µ + O(a 3 ) (4.9)

(34)

dimana,

A µx−aˆ µ = A µx − a∂ µ A µx + O(a 2 ) (4.10) serta mengekspansi φ x+aˆ µ dan φ x−aˆ µ ,

φ x+aˆ µ ≈ φ x + a∂ µ φ x + a 2

2 φ x + O(a 3 ) (4.11) φ x−aˆ µ ≈ φ x − a∂ µ φ x + a 2

2 φ x + O(a 3 ) (4.12) Substitusi persamaan (4.13) - (4.17) ke persamaan (4.12), ambil bagian real dari aksi dan a → 0 didapat

S = Z

d 4 x (D µ φ )(D µ φ) + m 2 φ φ 

(4.13) Maka aksi yang akan digunakan pada simulasi tugas akhir ini ialah aksi boson pada persamaan (4.7) dan aksi dari medan gauge pada persamaan (3.53),

S total [φ, U ] = S boson [φ] + S G [U ] (4.14) dengan

S boson [φ] = a 4 X

m,µ

Re



−φ x

 U x,x+aˆ µ φ x+aˆ µ + U x−aˆ µ,x φ x−aˆ µ − 2φ x a 2



+ m 2 φ x φ x



(4.15) S G [U ] = − 1

2g 2 X

P

Re (U P + U P ) . (4.16)

Berikutnya, kita dapat menghitung selisih energi ∆E dengan terlebih dahulu menghitung propagator pada suatu titik dan waktu tertentu. Dari definisi pro- pagator dalam ruang waktu Euclidean pada persamaan (3.15),

G(τ ) = h0| φ (x 1 )φ(x 2 ) |0i

= h0| φ (~x, τ )φ(~x, 0) |0i

= h0| e φ (~x, 0)e −Hτ φ(~x, 0) |0i

= h0| φ (~x, 0)e −(H−E

0

φ(~x, 0) |0i

dimana H merupakan operator Hamiltonian yang energi pada keadaan dasar- nya E 0 , H |0i = E 0 dan τ merupakan waktu Euclidean. Dengan memasukkan complete set dari eigenstate energi

X

n

|ni hn| = 1 (4.17)

(35)

diperoleh

G(τ ) = X

n

h0| φ (~x, 0) |ni e −(E

n

−E

0

hn| φ(~x, 0) |0i

= X

n

|h0| φ(~x, 0) |ni| 2 e −(E

n

−E

0

. (4.18)

Untuk waktu Euclidean yang besar, τ → ∞ maka keadaan yang berkontribusi hanya keadaan dasar dan eksitasi pertama

G(τ ) τ besar −→ X

n

|h0| φ(~x, 0) |1i| 2 e −(E

1

−E

0

. (4.19)

Sehingga kita dapat mengekstrak selisih energi sebagai berikut G(τ )

G(τ + a t ) = e (E

1

−E

0

)a

t

(4.20) maka,

∆E = 1 a t

ln G(τ )

G(τ + a t ) (4.21)

dengan ∆E ≡ E 1 − E 0 .

Perhitungan propagator dilakukan menggunakan simulasi Monte Carlo dengan mengevaluasi path integral yang berbentuk

G(τ ) = h0| φ (x 1 )φ(x 2 ) |0i

= R DφDUφ (x 1 )φ(x 2 )e −S[φ,U ] R DφDUe −S[φ,U ]

≈ 1

N cf N

cf

X

α=1

φ (α) (x 1 )φ (α) (x 2 ). (4.22)

Konfigurasi acak yang memiliki probabilitas P [φ α ] ∝ e −S[φ,U ]

dibangkitkan dengan menggunakan algoritma Metropolis yang dijelaskan pada Lampiran A.

Simulasi dilakukan pada lattice 4 dimensi dengan jumlah titik kisi 8 3 × 32 dengan

jarak antar titik kisi a = 0, 5 fm, yang berarti volume lattice yang digunakan

(36)

0 50 100 150 200 v (m/s)

0 5 10 15

E (x 0,197 GeV)

Gambar 4.1: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida vuntuk g = 1.

ialah 4 3 × 16 fm 4 , dan beberapa jumlah konfigurasi N cf , massa materi m = 1

dan 500 GeV, serta untuk 2 nilai konstanta kopling interaksi g yang berbeda,

yaitu g = 1 dan g = 0.01 untuk melihat bagaimana pengaruh konstanta ko-

pling interaksi g pada perubahan energi. Untuk melihat pengaruh dari besarnya

konstanta kisi yang digunakan terhadap simulasi, nilai a dan a t juga divaria-

sikan. Dari konfigurasi sebanyak N cf yang dibangkitkan, kita akan memperoleh

nilai ∆E sebanyak N cf buah. Kita dapat merata-ratakan secara langsung untuk

memperoleh estimasi Monte Carlo dari ∆E. Selain dirata-ratakan secara lang-

sung, perhitungan estimasi Monte Carlo dari ∆E juga dapat dilakukan dengan

prosedur bootstrap sampling. Prosedur ini bertujuan untuk memperkecil kesalah-

an statistik. Prosedur bootstrap sampling dilakukan dengan membuat ”bootstrap

copy” dari konfigurasi yang dihasilkan dari simulasi Monte Carlo, yaitu dengan

memilih ∆E secara acak dari konfigurasi yang ada sebanyak N cf kali. Dengan

demikian akan ditemui nilai ∆E yang terulang, namun ada juga yang tidak mun-

cul. Dari ensemble baru yang dimiliki, dapat dirata-ratakan untuk memperoleh

nilai estimasi Monte Carlo untuk ∆E yang baru.

(37)

0 50 100 150 200 v (m/s)

0 5 10 15

E (x 0,197 GeV)

Gambar 4.2: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida v untuk g = 0.01.

Gambar (4.1) merupakan hasil simulasi untuk g = 1, sementara Gambar (4.2) merupakan hasil simulasi untuk g = 0, 01, keduanya menggunakan m = 1 GeV.

∆E untuk g = 1 pada kecepatan fluida yang rendah (v < 40 m/s) memiliki nilai yang semakin besar terhadap v, begitu pula untuk untuk v yang besar (v > 160 m/s). Sementara di sekitar kecepatan fluida 40 - 60 m/s nilai ∆E berfluktuasi pada nilai 3-5 (×0, 197 GeV). Untuk hasil simulasi dengan g = 0, 01, sama halnya dengan g = 1, pada kecepatan rendah (< 40 m/s) memiliki nilai yang semakin besar terhadap kecepatan v sementara untuk kecepatan besar (v >

160 m/s) nilai ∆E berkurang bila kecepatan bertambah. Kemudian pada 40 <

v < 160 m/s, nilai ∆E juga berfluktuasi, namun dengan nilai yang sedikit lebih

besar dibandingkan dengan yang teramati pada kasus g = 1. Dari sini kita

mengetahui bahwa dalam intraksi fluida dengan materi untuk kecepatan yang

besar, nilai konstanta kopling yang besar akan menghasilkan ∆E yang bertambah

besar, sementara untuk konstanta kopling interaksi yang kecil, g ≪ 1, ∆E akan

berkurang bila v semakin besar. Dengan demikian, kebergantungan terhadap g

pada interaksi fluida dengan materi tidak terlalu signifikan.

(38)

0 50 100 150 200 v (m/s)

0 5 10 15

E (x 0,197 GeV)

N

cf

= 100 N

cf

= 10 N

cf

= 50

Gambar 4.3: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida beberapa nilai N cf .

Hasil simulasi untuk jumlah konfigurasi (N cf ) yang berbeda-beda dapat dilihat pada Gambar (4.3). Grafik tersebut dihasilkan dari simulasi dengan jarak antar titik kisi a = a t = 0, 5 fm dan konstanta kopling interaksi g = 1 dengan jum- lah konfigurasi yang digunakan ialah 10, 50 dan 100. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa perbedaan jumlah konfigurasi yang digunakan memberikan hasil yang sama untuk masing-masing konfigurasi. Bila kita lihat pada persamaan (A.6) perbedaan jumlah konfigurasi yang digunakan akan berpengaruh terhadap besarnya kesalahan statistik dari estimasi Monte Carlo yang dihasilkan, dimana bila N cf semakin besar maka kesalahan statistiknya akan semakin kecil.

σ 2 Γ = hhΓ 2 ii − hhΓii 2 N cf

Namun pada Gambar (4.3), error bar untuk ketiga jumlah konfigurasi, tidak me-

nunjukkan perbedaan satu sama lainnya. Nilai kesalahan statistik yang kecil pada

simulasi ini disebabkan karena konfigurasi ∆E yang didapat memiliki nilai yang

hampir sama, atau dengan kata lain konfigurasi yang dihasilkan sudah stabil. Hal

ini disebabkan karena banyaknya update yang dilakukan pada saat termalisasi ya-

(39)

0 50 100 150 200 v (m/s)

0 5 10 15

E (x 0,197 GeV)

N

cf

= 100

N

cf

= 100, bootstrap

Gambar 4.4: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk N cf = 100 dengan dan tanpa bootstrap.

itu sebanyak 200N cf . Seperti kita ketahui, termalisasi dilakukan agar didapatkan konfigurasi yang stabil sehingga pada saat perhitungan estimasi Monte Carlo te- lah didapatkan konfigurasi yang stabil. Banyaknya update yang dilakukan pada saat termalisasi juga mengakibatkan penggunaan teknik bootstrap sampling pada simulasi ini tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini dapat dilihat pada Gam- bar (4.4) untuk 100 konfigurasi, nilai ∆E yang dihasilkan sama untuk kedua cara (dengan dan tanpa bootstrap), begitu pula dengan nilai kesalahan statistik yang muncul. Adapun kesalahan statistik yang muncul pada simulasi ini diakibatkan karena diskritisasi yang dilakukan.

Gambar (4.5) merupakan hasil simulasi dengan jarak antar titik kisi a yang ber-

variasi. Dengan berubahnya a, maka jumlah titik kisi yang harus di-update juga

berubah karena volume kisi hiperkubik yang digunakan harus tetap. Pengguna-

an nilai a yang semakin kecil mengakibatkan jumlah titik kisi yang digunakan

semakin banyak, sebaliknya bila a makin besar, jumlah titik kisi semakin sedi-

kit. Hal ini sangat berpengaruh pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk

(40)

0 50 100 150 200 v (m/s)

0 5 10 15 20 25 30

E (x 0,197 GeV)

a = a

t

= 0,5 a = 0,4; a

t

= 0,2 a = a

t

= 0,8

Gambar 4.5: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk beberapa nilai a.

mengeksekusi program. Pada tugas akhir ini dilakukan 3 variasi a dengan g = 1 dan digunakan 100 konfigurasi. Yang pertama ialah a = a t = 0, 5 fm. Kedua, digunakan a yang lebih kecil yaitu sebesar 0,8 fm dan yang terakhir a dibedakan antara kisi temporal dan spasial, a = 0, 4 fm dan a t = 0, 2 fm. Hasil yang di- peroleh ternyata menunjukkan nilai ∆E terhadap v yang berbeda untuk ketiga konfigurasi. Terlihat bahwa semakin kecil a yang digunakan maka ∆E yang di- hasilkan akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan persamaan (4.21) untuk ∆E dimana ∆E berbanding terbalik dengan a.

Pada Gambar (4.6) dan (4.7) dapat dilihat hubungan ∆E terhadap kecepatan fluida v bila parameter massa yang digunakan diperbesar, yaitu 500 GeV, dan pada besar konstanta kopling interaksi yang berbeda, yaitu g = 1 dan g = 0, 01.

Terlihat bahwa nilai ∆E cenderung konstan pada kedua grafik, dan dengan atau-

pun tanpa bootstrap sampling. Hal ini berarti kontribusi dari interaksi fluida

dan materi tidak tampak dan kontribusi yang dominan datang dari massa materi

tersebut.

(41)

0 50 100 150 200 v (m/s)

0 5 10 15 20

E (x 0,197 GeV)

tanpa bootstrap bootstrap

Gambar 4.6: Grafik ∆E terhadap v untuk m = 500 GeV, g = 1 dengan dan tanpa bootstrap sampling.

0 50 100 150 200

v (m/s) 0

5 10 15 20

E (x 0,197 GeV)

dengan bootstrap tanpa boostrap

Gambar 4.7: Grafik ∆E terhadap v untuk m = 500 GeV, g = 0, 01 dengan dan

tanpa bootstrap sampling.

(42)

Bab 5

Kesimpulan

Dari hasil perhitungan dan analisa yang dilakukan pada pemodelan interaksi an- tara fluida dengan materi dengan menggunakan dinamika fluida berbasis teori medan, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara energi eksitasi ∆E dengan kecepatan v tidak bergantung secara signifikan pada besarnya konstanta kopling interaksi yang digunakan. Penggunaan jumlah konfigurasi yang berbeda, begitu pula dengan atau tanpa teknik bootstrap sampling, tidak memberikan perbedaan yang signifikan karena update yang dilakukan saat termalisasi jumlahnya cukup banyak sehingga menghasilkan konfigurasi yang stabil. Sementara itu apabila jarak antar titik kisi a diubah, hubungan ∆E dengan v juga berubah dimana se- makin kecil a maka nilai ∆E yang dihasilkan semakin besar. Untuk massa materi yang besar, didapatkan bahwa hubungan ∆E terhadap v cenderung konstan dan sama untuk konstanta kopling interaksi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bah- wa interaksi materi dan fluida tidak dominan dibandingkan dengan massa materi.

Formulasi dan perhitungan dengan menggunakan lattice gauge theory merupak-

an teknik yang menjanjikan untuk mempelajari lebih lanjut sistem-sistem yang

dimodelkan dengan menggunakan lagrangian dinamika fluida dimana tidak ada

jaminan teori perturbasi berlaku. Selain itu studi lebih lanjut dapat dilakuk-

an dengan menambahkan efek-efek lain pada dinamika fluida, seperti viskositas,

turbulensi, relativistik dll. serta dapat diaplikasikan pada sistem-sistem yang

dimodelkan dengan menggunakan lagrangian fluida.

(43)

Daftar Acuan

[1] Sulaiman, A. Constructing Navier Stokes Equation using Gauge Fi- eld Theory Approach. Tesis S2. (2005).

[2] Sulaiman, A. Large Amplitude of The Internal Motion of DNA Im- mersed in Bio-fluid . arXiv:physics/0512206.

[3] http://scienceworld.wolfram.com/physics/Navier-StokesEquation.html [4] Handoko, L.T. dan Sulaiman, A. Relativistic Navier Stokes Equation

from a Gaunge-invariant Lagrangian. arXiv:physics/0508219.

[5] Handoko, L.T. dan Sulaiman, A. Gauge Field Theory Approach to Construct The Navier Stokes Equation. arXiv:physics/0508086.

[6] Rothe, H.J. Lattice Gauge Theories: An Introduction. World Scienti- fic. (1997).

[7] Smit, J. Introduction to Quantum Fields on A Lattice. Cambridge University Press. (2002).

[8] Munster, G. dan Walzl, M. Lattice Gauge Theory A Short Primer.

arXiv:hep-lat/0012005.

[9] Ryder, L.H. Quantum Field Theory. Cambridge University Press. (1996).

[10] Lepage, G.P. Lattice QCD for Novices. arXiv:hep-lat/0506036.

(44)

Lampiran A

Evaluasi Path Integral dengan Metode Monte Carlo

Berikut ini akan dijelaskan metode yang digunakan untuk mengevaluasi path in- tegral secara numerik. Banyaknya integrasi yang harus dilakukan untuk meng- evaluasi path integral, menyebabkan kita harus menggunakan metode statistik untuk menyelesaikannya. Sebagai ilustrasi, misalkan kita melakukan simulasi pa- da lattice dengan 40 titik kisi pada setiap arah. Kita mempunyai variabel link sebanyak 4 · 40 4 . Untuk grup gauge SU(3) memberikan variabel real sebanyak 81.920.000.

Secara prinsip, rata-rata path integral hhΓ[x]ii dari sembarang fungsional Γ[x]

dapat digunakan untuk menghitung bermacam-macam sifat fisis dari keadaan tereksitasi di teori kuantum. Besaran

hhΓ[x]ii = R Dx(t)Γ[x]e −S[x]

R Dx(t)e −S[x] (A.1)

merupakan rata-rata berbobot terhadap konfigurasi dengan bobot e −S[x] . Konfi- gurasi acak dibangkitkan dalam jumlah yang banyak, N cf ,

x α ≡ x α 0 x α 1 . . . x α N −1 , α = 1, 2, . . . , N cf (A.2) sehingga probabilitas untuk memperoleh konfigurasi tertentu x (α) ialah

P [x α ] ∝ e −S[x] (A.3)

Kemudian rata-rata Γ[x] yang tidak berbobot terhadap himpunan konfigurasi

ini mengaproksimasi rata-rata berbobot terhadap konfigurasi yang terdistribusi

(45)

seragam:

hhΓ[x]ii ≈ Γ ≡ 1 N cf

N

cf

X

α=1

Γ[x (α) ]. (A.4)

Γ merupakan ”Monte Carlo estimator ” untuk hhΓ[x]ii di lattice. Estimasi terse- but tentunya tidak akan pernah eksak karena jumlah konfigurasi N cf tidak pernah berjumlah tak berhingga. Ketidakpastian Monte Carlo σ Γ pada estimasi kita me- rupakan sumber kesalahan yang potensial; diestimasi seperti pada umumnya,

σ Γ 2 ≈ 1 N cf

( 1 N cf

N

cf

X

α=1

Γ 2 [x (α) ] − Γ 2 )

(A.5)

Persamaan di atas menjadi

σ 2 Γ = hhΓ 2 ii − hhΓii 2 N cf

(A.6) untuk N cf yang besar. Karena pembilang pada persamaan di atas tidak bergan- tung pada jumlah konfigurasi, ketidakpastian statistik berkurang sesuai dengan 1/ √

N cf ketika N cf bertambah.

Untuk mendapatkan konfigurasi acak dengan probabilitas (A.10), dibutuhkan generator vektor acak tertentu. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk membangkitkan konfigurasi ialah:

• Metode Metropolis

• Algoritma Langevin

• Algoritma Heatbath

• Algoritma Hybrid dan Hybrid Monte Carlo

• Metode Molecular Dynamics

Simulasi yang dilakukan pada tugas akhir ini menggunakan algoritma Metropolis.

Prosedur ini merupakan prosedur yang paling sederhana walaupun bukan yang

paling baik. Prosedur ini dimulai dengan sembarang konfigurasi x (0) dan memo-

difikasinya dengan mendatangi setiap titik kisi pada lattice, dan membangkitkan

(46)

bilangan acak untuk x j pada titik kisi tersebut, dengan cara yang akan dijelask- an berikutnya. Di sini dibangkitkan konfigurasi acak yang baru dari konfigurasi sebelumnya: x (0) → x (1) . Cara ini disebut dengan meng-update konfigurasi. De- ngan menerapkan algoritma tersebut ke x (1) kita mendapatkan konfigurasi x (2) , dan seterusnya sampai terdapat N cf konfigurasi. Himpunan konfigurasi ini mem- punyai distribusi yang benar bila N cf cukup besar.

Algoritma untuk membangkitkan bilangan acak untuk x j pada titik kisi j ialah sebagai berikut [10]:

• Bangkitkan bilangan acak ζ, dengan probabilitas terdistribusi seragam an- tara −ǫ dan ǫ untuk suatu konstanta ǫ.

• Ganti x j → x j + ζ dan hitung perubahan aksi ∆S yang disebabkan oleh penggantian x j .

• Bila aksi berkurang, ∆S < 0, ambil nilai baru untuk x j dan lanjutkan proses ke titik kisi berikutnya.

• Bila ∆S > 0, bangkitkan bilangan acak η yang terdistribusi secara uniform antara 0 dan 1; ambil nilai yang baru untuk x j bila exp(−∆S) > η, selain itu ambil nilai yang lama dan proses ke titik kisi berikutnya.

Ada beberapa hal penting sehubungan dengan penggunaan algoritma ini. Perta- ma, secara umum, beberapa atau benyak nilai x j akan sama pada dua konfigurasi.

Jumlah overlap ini ditentukan oleh parameter ǫ: ketika ǫ sangat besar, perubahan

pada x j biasanya besar dan kebanyakan akan ditolak; ketika ǫ sangat kecil, per-

ubahannya akan kecil, perubahannya kecil dan kebanyakan akan diterima, tetapi

nilai x j yang baru akan mendekati atau sama dengan nilai yang lama. Parameter

ǫ harus di sesuaikan sehingga 40%-60% x j akan berubah untuk tiap update pada

titik kisi. Berapapun ǫ, konfigurasi yang suksesif akan mirip (berkorelasi ting-

gi) dan mengandung informasi yang mirip pula. Kemudian bila konfigurasi x (α)

diakumulasi untuk estimasi Monte Carlo, kita hanya mengambil tiap N cor konfi-

gurasi, memberikan kita konfigurasi yang tidak bergantung secara statistik. Nilai

(47)

optimal dari N cor bergantung dari teori dan bisa diperoleh dengan eksperimentasi.

N cor juga bergantung pada jarak antar titik kisi a, N cor ∝ 1

a 2 (A.7)

Hal kedua yang perlu diperhatikan ialah prosedur untuk memulai algoritma. Kon- figurasi paling pertama yang digunakan untuk mengawali seluruh proses biasanya kurang beraturan. Konsekuensinya kita harus mengabaikan sejumlah konfigurasi di awal, sebelum memulai mengumpulkan x (α) . Dengan mengabaikan 5N cor sam- pai 10N cor konfigurasi biasanya cukup. Ini disebut dengan ”termalisasi lattice”.

Sebagai ringkasan perhitungan Monte Carlo yang lengkap untuk hhΓ[x]ii untuk suatu Γ[x] dari konfigurasi x terdiri dari beberapa langkah berikut:

• Inisialisasi konfigurasi, sebagai contoh, semua x diset menjadi nol.

• Update konfigurasi 5N cor sampai 10N cor kali untuk termalisasi.

• Update konfigurasi N cor kali, kemudian hitung Γ[x] dan simpan, ulangi se- banyak N cf kali.

• Rata-ratakan N cf nilai dari Γ[x] yang disimpan pada langkah sebelumnya

untuk memperoleh Monte Carlo estimator Γ untuk hhΓ[x]ii.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran berbasis masalah terhadap hasil belajar siswa pada materi pokok teori kinetik