• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Outlook Energi Indonesia (2014), konsumsi energi dalam berbagai sektor di Indonesia meliputi sektor komersial, transportasi, industri, dan rumah tangga terus mengalami peningkatan pada tahun 2000-2014. Sumber energi yang digunakan terdiri dari minyak bumi, gas, batu bara, nuklir, matahari, angin, air, biomassa, dan geotermal. Ketergantungan sumber energi terbesar terdapat pada sumber energi fosil meliputi minyak bumi, gas, dan batu bara di mana penggunaannya mencapai 87% dari sumber energi total (Li et al., 2006), padahal sumber energi fosil merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui sehingga ketersediaan di alam terbatas dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat memperbaharuinya. Hal ini bertolak belakang dengan konsumsi energi di dunia yang dipredisikan akan terus meningkat pada tahun 2014-2050. Kondisi ini paradoks sekali di tengah krisis energi terdapat sumber energi yang belum optimal dimanfaatkan yaitu energi matahari (Plass, 2004). Jumlah energi yang dipancarkan matahari ke bumi sebesar 3x1024 J/tahun atau 10.000x energi yang dibutuhkan saat ini (Li et al., 2006). Data tersebut menunjukkan bahwa energi matahari dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar fosil dan digunakan sebagai media konverter untuk mengubah energi matahari menjadi energi listrik yang disebut sel surya (Grätzel, 2001).

(2)

menjadi energi listrik berdasarkan beberapa komponen seperti semikonduktor tersensitasi dye sebagai fotoanoda, zat pewarna (dye), dan elektrolit (Grätzel, 2003). DSSC mendapat perhatian yang sangat besar dari para ilmuwan sebagai alternatif sel surya konvensional berbasis silikon karena harga murah, prosedur preparasi sederhana, dan memiliki efisiensi konversi energi mencapai 10% di bawah penyinaran 1000 W/m2 (B. O’Regan dan Grätzel, 1991; Hao et al., 2004; Nazeerudin et al., 2005). Elektrolit yang banyak dimanfaatkan dalam DSSC yaitu elektolit cair pasangan redoks I-/I3- sebagai hole transport material (HTM) (Yang

et al., 2007). Namun penggunaan I-/I3- masih terbatas karena memiliki kelemahan antara lain terjadi evaporasi pada elektrolit, degradasi pada elektrolit maupun dye ketika sel surya belum tersegel secara sempurna, serta perembesan air maupun molekul oksigen sehingga ketika bereaksi dengan elektrolit dapat menurunkan performa DSSC (Snaith et al., 2007).

Kelemahan elektrolit cair tersebut dapat diatasi dengan dikembangkannya

Solid State Dye Sensitized Solar Cells (SSDSSC). Pada SSDSSC, penggunaan

elektrolit cair digantikan dengan elektrolit berbasis solid state (zat padat) sebagai

hole transport materials (HTM). HTM pada SSDSSC dapat diklasifikasikan

menjadi tiga yaitu semikonduktor anorganik tipe-p, elektrolit cair ionik, dan elektrolit polimer (Fujishima et al., 2006). Ketiga HTM tersebut yang paling banyak digunakan dalam fabrikasi DSSC adalah semikonduktor anorganik tipe-p (Hatch et al., 2013; Pattanasattayavong et al., 2013; Kumara et al., 2001). Ada berbagai macam semikonduktor anorganik tipe-p seperti SiC dan GaN (Nishino et

al., 1983). Namun proses pendeposisian semikonduktor SiC dan GaN pada substrat

(3)

menghasilkan efisiensi konversi energi lebih dari 2% dengan semikonduktor TiO2 tersensitasi ruthenium bipiridil (Fujishima dan Zhang, 2005).

Salah satu komponen penting pada SSDSSC adalah fotoanoda berupa semikonduktor tipe-n yang berperan sebagai substrat dalam adsorpsi dye dan jalur transport elektron (Chen et al., 2012). Material yang sering digunakan adalah titanium dioksida (TiO2). Penelitian TiO2 sebagai fotoanoda DSSC berkembang pesat dari bulk (3 dimensi) hingga skala nanopartikel (2 dimensi). Pada skala nanopartikel dapat diperoleh fotoanoda dengan luas permukaan material yang lebih luas dibandingkan material bulk (Wahyuningsih et al., 2008), tetapi pergerakan elektron lambat disebabkan oleh distribusi partikel masih acak (Li et al., 2010). Rekayasa struktur 1 dimensi nanorods dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah tersebut. Struktur nanorods memiliki kristalinitas tinggi, cacat permukaan rendah, dan batas butir rendah sehingga laju elektron cepat dan mengurangi rekombinasi (Jennings et al., 2008). Selain itu, material nanorods memiliki luas permukaan besar sehingga dye yang terserap makin banyak dan foton yang dihasilkan besar sehingga efisiensi konversi induksi foton ke arus listrik makin tinggi (Wang et al., 2002).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini difokuskan pada pembuatan CuSCN sebagai HTM berbasis solid state dan rekayasa struktur TiO2

nanorods serta evaluasi kinerja SSDSSC yang dihasilkan.

B. Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Penggunaan elektrolit cair pada DSSC memiliki kekurangan seperti terjadinya degradasi dye, evaporasi, dan kebocoran elektrolit (Snaith et al., 2007). Oleh karena itu, telah dikembangkan elektolit berbasis solid state sebagai hole

transport materials (HTM). Tennakone et al. (1995) pertama kali memprakarsai

(4)

optik dan listrik yang dihasilkan. Penelitian Amalina et al. (2012) mengkaji pengaruh variasi konsentrasi prekursor CuI 0,05; 0,075; 0,1; 0,25; dan 0,5 M yang dideposisi pada lapis kaca konduktif secara spin coating. Pada karakterisasi sifat optik dengan spektrofotometer UV-Vis hanya diperoleh serapan ultraviolet pada panjang gelombang 200-300 nm dan tidak terdapat serapan pada daerah tampak. Hal ini mengindikasikan bahwa material bersifat transparan sehingga dye mampu menyerap foton dari cahaya secara optimal tanpa adanya kompetisi dari CuI. Hasil pengukuran konduktivitas listrik dengan metode Two Point Probe menunjukkan bahwa CuI 0,075 M diperoleh resistivitas (hambatan) tertinggi dan secara signifikan menurun hingga CuI 0,25 M. Semakin kecil hambatan maka kemampuan material menghasilkan arus listrik (konduktivitas) semakin besar sehingga dihasilkan konduktivitas tertinggi pada CuI 0,5 M. Selain variasi konsentrasi prekursor juga dapat dipengaruhi oleh variasi pelarut dalam pembuatan CuI. Gu et al. (2010) mensintesis kristal tunggal CuI pada pelarut asam HI, aseton dan asetonitril. Hasil kristal menunjukkan sifat transparan terbentuk pada pelarut asetonitril dan diperoleh konduktivitas tertinggi. Sifat optik dan sifat listrik yang dihasilkan tersebut mempengaruhi konversi energi pada SSDSSC di mana diperoleh efisiensi tertinggi pada konduktivitas tertinggi sehingga CuI dapat dimanfaatkan sebagai HTM pada SSDSSC. Namun CuI memiliki kelemahan di antaranya terjadi pengkristalan CuI yang sangat cepat akibat terkena cahaya sehingga transfer elektron terhambat menyebabkan stabilitas dan efisiensi rendah (Hodes dan Cahen, 2012). Selain itu pada proses sintesis CuI adanya kelebihan iodin menyebabkan transfer elektron juga terhambat (Zainun et al., 2013).

(5)

2008). Cu+ sebagai kation diperoleh dari proses reduksi Cu2+ menjadi Cu+ oleh agen pereduksi Na2S2O3.5H2O membentuk reaksi kompleks [Cu(S2O3)]-. Kompleks tersebut kemudian bereaksi dengan SCN- sebagai anion membentuk endapan CuSCN (Chao et al., 2013). Sintesis CuSCN dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain Modified Chemical Bath Deposition (M-CBD) (Ahirrao et al., 2011), Succesive Ionic Layer Adsorption And Reaction (SILAR) (Chao et al., 2013), elektodeposisi, dan reaksi presipitasi (Skoog, 1999). Hasil kakterisasi XRD pada sintesis CuSCN dengan metode SILAR diperoleh α-CuSCN dan β-CuSCN dan morfologi pemukaan CuSCN pada SEM menunjukkan telah terbentuk butir secara homogen (Sankapal et al., 2004). Penelitian mengenai variasi konsentrasi prekursor terhadap sifat optik dan sifat listrik CuSCN yang dihasilkan belum pernah dikaji sebelumnya. Analog dengan CuI maka variasi konsentrasi prekursor dalam pembentukan CuSCN dapat diterapkan pada SSDSSC sehingga dapat dikaji sifat optik dan listrik CuSCN yang dihasilkan.

Salah satu komponen penting pada SSDSSC yaitu fotoanoda TiO2. Pendekatan material TiO2 nanopartikel menjadi perhatian intensif para peneliti karena meningkatkan sifat kimia, mekanika, optik, listrik, dan magnetik yang lebih baik dibandingkan TiO2 bulk (Nahwa H.S., 2000). Namun koneksi antar partikel pada TiO2 nanopartikel masih terdistribusi secara acak menyebabkan gerakan elektron menjadi lambat (Li et al., 2010). Oleh karena itu, diperlukan rekayasa struktur TiO2 1 dimensi nanorods untuk meningkatkan luas permukaan material dengan gerakan elektron yang semakin teratur sehingga kecepatan transfer elektron semakin cepat dan performa SSDSSC semakin baik. Sintesis TiO2 nanorods dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti elektrodeposisi, elektrospun (Chen et al., 2015), assisted template, sol gel (Yuwono et al., 2010) dan hidrotermal (Liu et al., 2009). Metode hidrotermal mampu menghasilkan material dengan kristalinitas dan aktivitas fotonik yang lebih baik (Jeng et al., 2013) dibandingkan metode lain sehingga tepat diaplikasikan pada SSDSSC. Prekursor dalam sintesis TiO2

nanorods secara hidrotermal di antaranya titanium butoksida dengan pelarut asam

(6)

(v/v) pada suhu 180 oC selama 18 jam (Yu et al., 2013), TiO2 hasil proses milling yang dihidrotermal dengan basa kuat NaOH 8, 10, 12 M pada suhu 120 oC selama 24 jam (Wahyuningsih et al., 2016). Beberapa prekursor tersebut yang paling mudah diperoleh adalah TiO2 hasil proses milling.

Pada proses hidrotermal, variasi konsentrasi basa kuat NaOH juga mempengaruhi struktur TiO2 nanorods. Hasil karakterisasi TEM menunjukkan bahwa hirotermal dengan NaOH 8 M belum diperoleh struktur batang (rod) sedangkan perlakuan NaOH 10 dan 12 M telah terbentuk struktur nanorods dan terjadi transformasi fase anatase menjadi rutile dan hasil karakterisasi SAA menunjukkan bahwa luas permukaan TiO2 nanorods meningkat 6x lipat dari sebelum dihidrotermal (Wahyuningsih et al., 2016). Transformasi fase terjadi karena pemutusan ikatan Ti-O-Ti yang dapat terjadi pada setiap penataan ulang struktur TiO2 menuju konformasi rutile (Wahyuningsih, 2010). Transformasi fase juga dipengaruhi oleh suhu kalsinasi. Penelitian Yuwono et al. (2011) menjelaskan bahwa telah terbentuk TiO2 nanotubes (sintesis pada suhu 150 °C selama 48 jam). Hasil hidrotermal dinetralkan dengan HCl 0,1 M dan dikalsinasi pada suhu 300, 450, dan 600 °C selama 24 jam. Pola difraktogram X-Ray menunjukkan telah terbentuk sodium titanat sebelum proses kalsinasi dan terjadi transformasi fase sodium titanat menjadi anatase dan rutile pada suhu kalsinasi 300 dan 450 °C. Suhu kalsinasi 600 °C menunjukkan telah hilang puncak sodium titanat dan murni terbentuk puncak campuran anatase dan rutile.

2. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. Sintesis CuSCN dilakukan dengan variasi konsentrasi prekursor CuSO4.5H2O, Na2S2O3, dan KSCN dengan metode presipitasi.

b. Hasil sintesis CUSCN dikarakterisasi dengan XRD dan SEM.

(7)

e. Sintesis TiO2 nanorods dilakukan dengan metode hidrotermal pada suhu 150 oC menggunakan NaOH 12 M selama 24 jam dan variasi suhu kalsinasi 400, 500, 600 oC.

f. Hasil sintesis TiO2 nanorods dikarakterisasi dengan XRD, TEM, dan SAA. g. Efisiensi SSDSSC diukur menggunakan Keithley I-V measurement dengan daya

input (P) sebesar 1000 W.m-2.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi prekursor CuSO4.5H2O, Na2S2O3, dan KSCN terhadap sifat optik dan sifat listrik CuSCN yang dihasilkan?

2. Bagaimana pengaruh hidrotermal NaOH 12 M dan variasi suhu kalsinasi terhadap struktur kristal TiO2 nanorods?

3. Bagaimana pengaruh CuSCN sebagai HTM dan rekayasa struktur fotonaoda TiO2 nanorods dan terhadap efisiensi konversi energi pada sistem SSDSSC?

C. Tujuan Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi prekursor CuSO4.5H2O, Na2S2O3, dan KSCN terhadap sifat optik dan sifat listrik CuSCN yang dihasilkan.

2. Mengetahui pengaruh hidrotermal NaOH 12 M dan variasi suhu kalsinasi terhadap struktur kristal TiO2 nanorods.

3. Menentukan persentase efisiensi yang dihasilkan CuSCN sebagai HTM dan rekayasa struktur fotoanoda TiO2 nanorods pada sistem SSDSSC.

D. Manfaat

Referensi

Dokumen terkait

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Hasil penelitian ini menunjukkan dengan menggunakan media Rubu’ Al - Mujayyab kemampuan belajar matematika siswa meningkat, hal ini dapat ditunjukkan dengan peningkatan

Pengukuran karakter siswa dilakukan selama pembelajaran berlangsung dengan teknik sapuan dimana setiap siswa juga sudah mendapatkan nomor absen yang dipasang di kantung baju

maka peristiwa delaminasi katodik (cathodic delamination) dapat terjadi. Delaminasi katodik merupakan peristiwa hilangnya adesi antara substrat dan lapisan

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

Masalah utama yang akan dijawab dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah : Apakah penerapan Metode pembelajaran Make a Match (Menjodohkan) dan MediaKartundapat

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier