• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

31 IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA

RUMAH TANGGA (WKRT)

Ideologi Gender

Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut oleh masyarakat yang mempengaruhi WKRT (Wanita Kepala Rumah Tangga) dalam akses dan kontrol.

Dalam penelitian ini ideologi gender dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa tidak terdapat perbedaan dalam hal akses dan kontrol antara pria dan wanita, sedangkan tidak sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa terdapat perbedaan dalam hal akses dan kontrol antara pria dan wanita. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Keadaaan ideologi gender responden di Desa Cihideung Udik yang dianut tergolong tidak sadar gender terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan ideologi gender di Desa Cihideung Udik tahun 2012

Ideologi gender Jumlah Persentase

Tidak sadar gender Sadar gender

30 11

73.2 26.8

Total 41 100.0

Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa ideologi gender yang dimiliki responden tergolong tidak sadar gender. Mayoritas responden (73.2%) tidak sadar gender, dan sisanya kurang dari setengah jumlah responden termasuk sadar gender (26.8%). Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan terhadap responden, keinginan seluruh responden kuat terhadap keinginan bekerja dalam mencari nafkah untuk membiayai hidup keluarganya. Namun, fakta di lapang seringkali responden kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan tinggi dan ini tidak terlepas dari ideologi yang dimiliki oleh responden sendiri dan masyarakat. Ideologi tidak sadar gender yang yang dimiliki oleh reponden tergolong kuat, namun mereka mengabaikan ideologi gender yang mereka miliki dengan tetap bekerja di sektor publik. Hal tersebut mengakibatkan mereka hanya bisa mengakses pekerjaan yang tidak jauh-jauh dari rumah sehingga meskipun mereka bekerja untuk memenuhi kehidupan, mereka juga tetap dapat melakukan kegiatan rumah tangga. Hasil wawancara mendalam, mayoritas responden yang memiliki ideologi tidak sadar gender mengatakan tidak mau bekerja jauh-jauh dari rumah karena takut meninggalkan anaknya yang masih kecil dan memberatkan urusan rumah tangga, salah satu responden mengatakan:

“Susah neng, kita mah kalo mau kerja. Ini anak kita yang paling kecil udah dari TK ga bisa ditinggal sampe sekarang kelas 1 SD. Waktu itu aja pernah nangis pas kita tinggal sebentar, ga mau kita tinggal deh” (Rm seorang WKRT dengan beban 3 anak, 37 tahun).

(2)

32

Lalu mayoritas responden juga baru mulai bekerja setelah hidup sendiri tanpa suami, sehingga mereka terpaksa bekerja dan memiliki ideologi bahwa pekerjaan yang dimiliki oleh wanita hanya sekedar tambahan saja bukan sebagai pencari nafkah utama apabila ada suami, salah satu responden mengatakan:

“Ga sanggup kalo ninggalin anak buat kerja jauh, ini juga saya baru kerja setelah ga ada suami, harusnya suami yang cari nafkah. Kerja yang bisa saya lakuin juga cuma bersih-bersih rumah, sekarang aja jadi buruh cuci karena ibu saya sakit.

Ya..perempuan mah ga bisa jadi ketua, kan itu jabatan buat laki-laki” (Sr dengan beban 2 anak, 35 tahun).

Responden yang tergolong ideologi tidak sadar gender juga sepakat bahwa urusan keluarga yang terkait rumah, anak, keluarga, dan pendidikan adalah urusan wanita, sedangkan pria kurang baik dalam hal tersebut, salah satu responden mengatakan:

“Kebanyakan di mana-mana ibunya yang ngurus anak, kalo bapak mah ga bisa ngurus anak, paling cuma nyari uang aja. Iya emang paling banyak tugasnya kalo ibu, neng (En 50 tahun).”

Sementara itu konstruksi sosial budaya yang ada di masyarakat seringkali menganggap status WKRT rendah. Hal ini menjadi permasalahan yang dimiliki oleh responden karena ada perasaan rendah diri dengan status yang dimilikinya.

Berdasarkan wawancara mendalam dengan responden, responden jarang keluar rumah selain bekerja, responden sering pulang malam sehingga tidak tahu kondisi sekitarnya, responden yang bekerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) sering menginap, malu untuk bergaul dengan tetangga, banyak saudara responden yang tinggal di sekitar rumah, responden atau mendiang suami responden termasuk salah satu tokoh masyarakat sehingga disegani. Hal tersebut didukung dengan pernyataan salah satu responden, seperti:

“Suami saya orang baik, orang kalo butuh apa-apa ke suami saya. Saya merasa sangat kehilangan bapak” (AK yang memiliki 3 anak, cerai mati).

Anggapan masyarakat terhadap status responden relatif beragam.

Responden yang memiliki anggapan negatif dari masyarakat, menyatakan bahwa status mereka suka dipandang sebelah mata, suka dianggap rendah, suka menjadi bahan pembicaraan, perbedaan sikap pria disekitarnya yang menjadi lebih genit.

Ada perasaan rendah diri jika bergaul dengan masyarakat, terutama pria. Berikut beberapa pernyataan responden:

“Ada aja yang membicarakan saya diam-diam, saya pernah denger katanya saya kerja di Parung tempat remang-remanglah. Padahal kan saya kerja jadi sales nawarin barang dari siang sampe sore” (Ibu Ll 44 tahun, cerai mati).

“Anggapan negatif ada aja mba, katanya saya suka godain laki orang padahal kan laki-lakinya aja tuh yang genit. Pas saya kerja di pabrik juga pernah ada atasan saya yang genit sama saya, dikira kalo janda cerai hidup itu cewek gampangan jadi seenaknya aja genit sama saya. Ya saya laporin aja ke bos, terus orang itu langsung ditegur. Kebanyakan mah dari cowoknya aja tuh yang genit” (Ibu Rs 30 tahun, cerai hidup).

(3)

33

“Tetangga sama sodara disini baik-baik, saya mah suka minder aja karena ga punya baju bagus, neng” (Sf 38 tahun, cerai mati).

“Saya suka nangis, rumah suka dikata-katain. Saya kan orang ga punya, suami udah ga ada. Saya suka malu, yang lain kan pada punya duit” (Wr 45 tahun, cerai mati).

“Sebelumnya saya cerai mati, terus saya nikah lagi baru 7 bulan uda cerai hidup. Ya saya ngerasa malu, janda kan suka dipandang sebelah mata. Saya kerja sendiri biayain hidup anak ni satu-satunya, yang penting kerja” (Ew 26 tahun, cerai hidup).

“Saya sering nangis harus cari duit sendiri. Omongan mah ada aja, kan ga salah yah kalo saya dandan. Ini saya dandan dikit udah diomongin” (Em 42 tahun cerai hidup).

“Iya saya malu kalo kemana-mana. Janda kan suka dipandang rendah” (Um 37 tahun, cerai mati).

Hal yang sama juga dirasakan responden yang termasuk tokoh masyarakat dan biasa dipanggil “Bu Hj” sepeninggal mendiang suaminya yang juga tokoh masyarakat, berikut pernyataannya:

“Setelah suami saya ga ada, banyak cowok yang mulai genit sama saya, terus saya dan keluarga saya juga sering jadi bahan omongan masyarakat. Padahal masalah kecil saya sama anak saya aja suka dibesar-besarkan bahkan ga ada masalah pun dibuat jadi masalah. Iya itu udah kayak selebritis aja” (Ibu As 48 tahun, cerai mati).

Aktifitas yang ada di desa tidak terlalu menarik perhatian WKRT. Kegiatan yang ada memang tidak cocok dengan waktu mereka yang harus bekerja, bahkan tidak pernah diajak dengan alasan tidak punya waktu. Salah satu contoh terlihat dari anggapan mengenai kehadiran rapat-rapat yang biasanya dilakukan pria.

Hasil wawancara mendalam ini menunjukkan bahwa masih kuatnya pikiran dalam membeda-bedakan akses dan kontrol antara pria dan wanita. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden, rapat-rapat yang seringkali mereka hadiri hanya dengan sesama wanita dan terkait masalah pengajian, namun rapat-rapat besar yang kumpul bersama antara pria dan wanita sangat jarang bahkan tidak pernah. Mayoritas responden yang tidak menghadiri rapat-rapat yang melibatkan kepentingan masyarakat seperti acara-acara besar, pembangunan jalan mengatakan bahwa rapat-rapat yang diadakan seringkali malam dan dihadiri oleh pria. Meskipun responden diundang, namun akan diwakili oleh anak laki- lakinya yang dewasa. Ibu Rh (39 tahun) yang cerai mati juga mengatakan,

“Kalau dulu mah sering ada kumpul-kumpul di balai desa, seperti pinjaman modal dari desa atau RT, saya suka hadir tapi sekarang uda ga ada kabar atau undangan lagi, padahal kan saya juga mau tau kalau ada berita-berita dari balai desa, perempuan qo ga pernah diajak lagi”.

Anggapan mengenai rapat yang tidak penting juga diungkapkan oleh Ibu AK (45 tahun) yang cerai mati,

“Iya kalau ada acara-acara besar kayak Maulidan di masjid depan rumah, palingan laki-laki semua dan malem. Kalau saya ya cuma arisan sama tetangga kumpul ibu- ibu. Rapat-rapat besar gitu urusan lelaki, neng”.

(4)

34

Selain itu, masih ada beberapa pernyataan responden yang terkait dengan kehadiran dan kepentingan rapat-rapat yang melibatkan kepentingan masyarakat, seperti berikut:

“Ibu-ibu mah ga ada kumpul-kumpul kalo acara besar gitu, neng. Biasanya anak- anak muda atau bapak-bapak” (Wr 45 tahun, cerai mati).

“Ga usah ikut rapat-rapat, ga penting. Dulu mah pas ada suami diundang, sekarang ga pernah lagi tuh” (SM 42 tahun, cerai mati).

“Ada rapat-rapat, kalo hari besar diundang tapi sayanya males ntar diomongin orang.

Ya daripada diomongin orang mending saya ga usah dateng rapat sekalian, ga penting” (ER 37 tahun, cerai hidup).

“Rapat yah, diundang tapi bukan saya yang dateng. Kalo rapat, diwakilin sama anak saya atau mantu saya kalo ada disini” (Mr 48 tahun, cerai mati).

Wawancara mendalam dengan responden juga memperlihatkan bahwa responden yang berpandangan rapat itu penting untuk dihadiri oleh mereka karena mereka ingin terlibat di dalamnya. Namun, fakta di lapangan tidak memungkinan mereka untuk terlibat dalam rapat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak menganggap penting kehadiran wanita dalam rapat yang melibatkan kepentingan masyarakat dan masih kuatnya ideologi tidak sadar gender.

Ideologi gender yang ada di masyarakat masih berakar kuat dan menjadi ideologi gender yang dianut oleh responden sebagai WKRT. Adanya ketidakadilan gender termanifestasikan dalam bentuk subordinasi yang menganggap wanita tidak penting dalam mengambil keputusan yang melibatkan masyarakat sehingga WKRT jarang terlibat di dalamnya. Lalu marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan ekonomi bagi WKRT dan berhubungan juga dengan stereotipe yang membuat WKRT memiliki keterbatasan dalam mengakses pekerjaan yang jauh dari rumah. Kemudian kekerasan secara mental yang menjadikan WKRT merasa tidak percaya diri karena ada anggapan negatif serta beban kerja lebih berat dengan tetap memikul peran domestik.

Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT)

Adanya peningkatan jumlah WKRT disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Keadaan geografis yang ada di Desa Cihideung Udik masih didominasi oleh persawahan (64.4%) dan perkembangan industrialisasi tidak terlalu berkembang pesat hanya beberapa industri menengah ke bawah saja yang jumlahnya tidak banyak sehingga industrialisasi tidak menyumbang peningkatan jumlah WKRT di Desa Cihideung Udik. Hal yang serupa juga terjadi dengan faktor migrasi yang tidak menyumbang peningkatan jumlah WKRT di Desa Cihideung Udik. Adanya perbedaan mortalitas antara pria dan wanita turut menyumbang jumlah WKRT yang tua dan berstatus cerai mati, dan adanya cerai hidup juga turut menyumbang jumlah WKRT. Jadi gejala WKRT yang ada di Desa Cihideung Udik secara umum disebabkan oleh perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati.

(5)

35 Secara umum, WKRT yang ada di Desa Cihideung Udik kebanyakan karena perbedaan mortalitas antara pria dan wanita sehingga berusia tua dan berstatus cerai mati. Mayoritas WKRT yang berusia tua tersebut sudah tidak bekerja lagi dan hidup bergantung dengan anak yang sudah memiliki penghasilan.

WKRT yang menjadi responden yang masih bekerja jumlahnya sedikit, lalu ditambah dengan kriteria yang masih memiliki anak usia sekolah kurang dari atau setara SMA/sederajat sehingga hanya ada 41 WKRT yang memenuhi kriteria.

Oleh karena itu, responden masih harus menanggung biaya pendidikan anaknya yang masih berusia sekolah. Tingkat pendidikan anak secara umum tergantung dari usaha WKRT dalam membiayai pendidikan anak dan tidak luput dari motivasi anak sendiri dalam mengenyam pendidikan tinggi.

Masyarakat lebih memperhatikan kondisi anak WKRT yang berstatus cerai mati karena dianggap anak yatim sehingga tidak luput dari pemberian bantuan terhadap WKRT berstatus cerai mati. Namun, secara umum tidak ada bantuan yang diarahkan khusus untuk membantu WKRT selain berstatus cerai mati.

WKRT di lapangan mayoritas termasuk dalam golongan ekonomi menengah bawah bahkan paling banyak golongan ekonomi bawah. Pekerjaan yang dimiliki oleh WKRT juga hanya sebatas pekerjaan yang berpenghasilan rendah, sedangkan WKRT memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan rumah tangganya.

Anggapan masyarakat terhadap status WKRT rata-rata relatif beragam dan bergantung usia dan penyebab menjadi WKRT. Jika WKRT berusia muda dan menjadi WKRT karena status cerai hidup seringkali menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Selain itu, sikap WKRT seringkali menjadi sorotan masyarakat sehingga WKRT sering merasa tidak percaya diri. Menurut informan, pelibatan WKRT dalam mengambil keputusan yang terkait kepentingan masyarakat termasuk penting namun tidak terealisasikan dalam kehidupan nyata. Waktu yang telah tersita untuk bekerja dan mengurus rumah tangga menjadikan WKRT jarang dilibatkan dalam kepentingan masyarakat.

Karakteristik Responden

Responden mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda satu sama lainnya. Hal tersebut berguna untuk mengetahui kondisi responden dan membantu menganalisa hasil pembahasan. Responden pada penelitian ini adalah Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) yang bekerja dan memiliki anak usia sekolah sampai setara SMA/sederajat. Keseluruhan responden bertempat tinggal di Desa Cihideung Udik dan diperoleh 41 responden yang memenuhi kriteria melalui sensus yang dilakukan oleh peneliti.

Usia Responden

Usia adalah jumlah tahun sejak responden lahir hingga penelitian ini berlangsung pada tahun 2012. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa dari 41 responden, usia responden yang termuda adalah 26 tahun dan tertua berusia 67 tahun. Berdasarkan data tersebut, karakteristik usia responden dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah kelompok usia muda dengan

(6)

36

rentang usia 26-47 tahun, dan kategori kedua adalah kelompok usia tua dengan rentang usia 48-67 tahun. Sebaran usia responden WKRT dapat dilihat lebih terperinci pada Tabel 14.

Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia di Desa Cihideung Udik tahun 2012

Usia Jumlah Persentase

Muda ( ≤47 tahun) Tua ( >47 tahun)

33 8

80.5 19.5

Total 41 100.0

Pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa mayoritas responden termasuk kategori kelompok usia muda sejumlah 80.5%, sedangkan hanya 19.5%

responden yang termasuk kategori kelompok usia tua.

Lamanya menjadi Wanita Kepala Rumah Tangga

Lamanya menjadi Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) adalah jumlah tahun sejak menjadi WKRT hingga penelitian ini berlangsung pada tahun 2012.

Lamanya menjadi WKRT diukur dengan waktu. Hal ini dapat memperlihatkan seberapa lama pengalaman WKRT yang berjuang sendiri dalam mencari nafkah.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa lamanya menjadi WKRT responden yang terendah adalah 6 bulan dan tertinggi 25 tahun. Berdasarkan data tersebut, lamanya menjadi WKRT responden dibagi menjadi dua kategori.

Kategori pertama adalah kelompok 5 bulan-14 tahun yang termasuk baru, dan kategori kedua adalah kelompok 15-25 tahun yang termasuk lama, seperti pada Tabel 15.

Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lamanya menjadi WKRT di Desa Cihideung Udik tahun 2012

Lamanya menjadi WKRT Tahun Persentase

Baru ( ≤14 tahun) Lama ( >14 tahun)

38 3

92.7 7.3

Total 41 100.0

Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa berdasarkan lamanya menjadi WKRT, responden di Desa Cihideung Udik paling banyak berada pada kategori 5 bulan- 14 tahun, yaitu sebanyak 92.7%. Berdasarkan data di lapangan juga dapat diketahui, lamanya menjadi WKRT terbanyak adalah 3 tahun, yaitu sebanyak 7 responden dan terbanyak kedua adalah 4 tahun, yaitu sebanyak 6 responden.

Tanggungan Anak

WKRT di desa Cihideung Udik yang menjadi responden masih memiliki anak. Anak-anak WKRT yang umumnya berusia SD-SMP masih harus menjadi tanggungannya. Tanggungan anak, dibagi menjadi dua kategori berdasarkan data di lapang, yaitu banyak (tanggungan anak 4-7), dan sedikit (tanggungan anak 1- 3), seperti pada Tabel 16.

(7)

37 Tabel 16 Jumlah dan persentase berdasarkan beban keluarga responden di Desa

Cihideung Udik tahun 2012

Tanggungan anak Jumlah Persentase

Sedikit ( ≤3 anak)

Banyak ( >3 anak) 32

9 78

22

Total 41 100

Berdasarkan Tabel 16, mayoritas responden memiliki tanggungan anak kategori sedikit (1-3 anak) sejumlah 78%, sedangkan sisanya memiliki tanggungan anak kategori banyak (4-7 anak) sejumlah 22%. Berdasarkan wawancara mendalam, responden memiliki tanggung jawab yang berat dengan adanya peran ganda sebagai pencari nafkah dan ibu rumah tangga. Tanggung jawab dalam mengurus anak, rumah, keperluan pendidikan anak, dan memberi makan anak dilakukan sendiri oleh responden. Berdasarkan hasil data di lapang, responden masih memiliki anak yang belum bekerja dan belum bisa dilepas, atau anak yang sebagian laki-laki sehingga tanggung jawab di rumah tetap dipegang oleh ibu.

Ikhtisar

a. Secara umum, ideologi gender yang dimiliki responden tergolong tidak sadar gender. Mayoritas responden termasuk tidak sadar gender jika dibandingkan dengan ideologi responden yang tergolong sadar gender.

b. Gejala WKRT yang ada di Desa Cihideung Udik secara umum disebabkan oleh perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati. Adanya industrialisasi dan migrasi tidak memberikan sumbangan bagi peningkatan WKRT di Desa Cihideung Udik. Mayoritas WKRT yang berusia tua tersebut sudah tidak bekerja lagi dan hidup bergantung dengan anak yang sudah memiliki penghasilan. Mayoritas WKRT di Desa Cihideung Udik termasuk ke dalam golongan ekonomi menengah bawah dan pekerjaan yang dimiliki oleh WKRT juga hanya sebatas pekerjaan yang berpenghasilan rendah. Waktu yang telah tersita untuk bekerja dan mengurus rumah tangga menjadikan WKRT jarang dilibatkan dalam kepentingan masyarakat.

c. Karakteristik mayoritas responden termasuk kategori kelompok usia muda, yaitu rentang usia ≤47 tahun; lamanya menjadi WKRT berada pada kategori baru, yaitu 5 bulan-14 tahun; dan tanggungan anak kategori sedikit, yaitu 1-3 anak.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala Daerah terhadap rancangan tentang APBD,

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu: Produksi oksigen bersih paling tinggi diperoleh dari Ceratophyllum demersum pada kepadatan 300 g/100L,

Dengan membaca masalah pada teks, siswa dapat mengidentifikasi saran yang mungkin diberikan untuk penyelesaian masalah (sederhana) dengan tepat.. Setelah

Navedeni dokument usmjeren je na poticanje integriranja kulturnih raznolikosti u razvojne politike, isticanjem da cjeloviti razvoj uključuje i multikulturalnu politiku

Perlakuan cahaya monokromatik merah, hijau, dan biru dengan intensitas 15 lux dapat menstimulasi perkembangan fungsional saluran reproduksi dibuktikan dengan adanya

Maka berdasarkan hasil pembahasan peneliti dan pengamat diketahui penyebab keaktifan siswa kelas III dalam belajar pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada siklus

Citra Media Indodata akan menggunakan teknologi ini mengingat tidak semua orang memiliki komputer yang terkoneksi dengan internet untuk bisa mengakses web site,

Keterkaitan hormon steroid pada regulasi VEGF didukung oleh penelitian secara in vitro pada kultur sel endometrium dengan reseptor progesteron positif yang menunjukkan