• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran konformitas dalam hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran konformitas dalam hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KONFORMITAS DALAM HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI

DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA PUTRI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Bernadeta Feni Marettha

099114008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Setiap pilihan yang ada dalam hidup selalu ada tantangannya,

tinggal kita yang memilih siap menerima tantangan itu atau

tidak.

Buatlah yang terbaik dari dirimu, berserah kepada Bapamu,

dan percayakan semua dalam kemuliaan Tuhan karena dalam

nama-Nya kamu yang akan memenangkan pertarungan hebat

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan bagi,

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

yang menjadi sahabat terbaikku disetiap situasi senang maupun

sulit sekalipun.

Orang-orang terkasihku yang sudah berkorban banyak untukku

dan memberikan dukungan serta cintanya yang tulus

Bapak, Ibu, Mas Leo, Sinta dan Christian Ajie.

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Juli 2013 Penulis

(7)

vii

PERAN KONFORMITAS DALAM HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI

DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA PUTRI

Bernadeta F eni Marettha

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperjelas struktur hubungan antara harga diri, konformitas dan impulsive buying pada remaja putri, dengan cara mencari tahu peran konformitas dalam struktur hubungan tersebut apakah sebagai mediator atau sebagai moderator. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah apa peran konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri? Pengambilan sampel dilakukan di pusat perbelanjaan di Yogyakarta. Subjek penelitian ini adalah remaja putri yang berusia 12 – 21 tahun, berjumlah 160 orang. Jenis penelitian ini adalah korelasional dengan teknik pengambilan sampel menggunakan incidental sampling sehingga subjek yang menjadi sampel penelitian adalah remaja putri yang sedang berada pada situasi dan waktu yang sama dengan pelaksanaan penelitian berlangsung. Teknik analisis data adalah analisis regresi dengan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil analisis penelitian ini ditemukan bahwa peran konformitas dalam hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri adalah sebagai moderator (B = 0,047, p = 0,003). Ini menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya tingkat harga diri remaja putri tidak mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat konformitas mereka terhadap tingkat pembelian impulsif.

(8)

viii

THE ROLE OF CONFORMITY IN RELATION BETWEEN

SELF-ESTEEM AND IMPULSIVE BUYING ON FEMALE ADOLESCENT

Bernadeta F eni Marettha ABSTRACT

The research is aimed to clarify the related structure between self-esteem, conformity, and impulsive buying on female adolescent, by finding out the role of conformity in the structure relationships whether as mediator or moderator. The question of research was what is the role of conformity in the structure relationship between self-esteem and impulsive buying on female

adolescent? Research sampling was conducted on a shopping center in Yogyakarta.The subject of

this research were female adolescent who aged 12 21 years old. The amount of subject were 160 people. The research used a correlation design. Techniques used to collect the population sample was incidental sampling, so that the subject in the research were female adolescent who are occurred at the same time and situation when the research was conducted. The data was analyzed using regression analysis by SPSS 16.0 for Windows. The result shown that the role of conformity in a structure relationship between self-esteem and impulsive buying was as moderator (B = 0,047, p = 0,003). It means that high or low level of self-esteem on female adolescent do not affect the level of conformity to impulsive buying.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Bernadeta Feni Marettha

Nomor Mahasiswa : 099114008

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Peran Konformitas dalam Hubungan Antara Harga Diri dan

Impulsive Buying pada Remaja Putri

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 15 Juli 2013 Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaan dan berkat yang melimpah sehingga Skripsi dengan judul “Peran

Konformitas dalam Hubungan Antara Harga Diri dan Impulsive Buying pada Remaja Putri” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak pihak yang telah berkontribusi besar dalam proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., M.Psi sebagai dekan Fakultas Psikologi.

2. Bapak Agung Santoso, S.Psi., M.A selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih atas bimbingan, kerjasama, ilmu, perhatian, dan support yang telah diberikan hingga Skripsi ini selesai pada waktu yang telah ditentukan-Nya.

3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi dan Bapak Dr. T. Priyo W, M.Si selaku dosen penguji yang telah membagikan ilmunya.

4. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Doni, dan Mas Muji, Pak Gie, terima kasih atas keramahan dan pelayanan yang begitu hangat selama empat tahun menimba ilmu di Fakultas Psikologi

(11)

xi

6. Bapak dan Ibu yang tidak pernah hentinya mendoakan dan mengupayakan seluruh tenaga dan jiwanya untuk mendukung penulis sampai masa studi ini selesai, terima kasih. Semua pengorbanan jarak dan waktu yang kita hadapi dapat kupertanggung jawabkan hanya untukmu, Bapak dan Ibu. I proud of you, you are my everything, and I love you so much.

7. Kakak dan adikku yang paling hebat, Mas Leo dan Sinta yang selalu menghiburku dalam keadaan yang menjenuhkan sekalipun. Terima kasih atas kegokilan kalian yang selalu membuatku rindu.

8. Sahabat seperjuanganku, Vivin. Terima kasih untuk dinamika pertemanan kita dari awal sampai sekarang ini yang luar biasa. Mulai dari senang, sedih, kesel, jauh, dekat, cinta, kasih, sayang, sampai perjuangan satu bimbingan dengan Pak Agung, semua kita lalui bersama and we are great, I love you.

9. Seseorang yang selalu mendampingiku, yang menjadi sumber semangatku, yang selalu menghiburku, sabar dan mengerti aku, selalu memberikan cinta, dan perhatian yang tulus dalam setiap hariku, Yohanes Christian Aji. Thanks so much for all, dear.

10.Teman-teman centilku, Manik, Brigit, Vivin, Okvi, dan Jeanet. Terima kasih girls atas pertemanan kita selama ini. Kalian super duper heboh dalam hidupku dan aku sangat bersyukur berteman dengan kalian. I will miss you, guys.

(12)

xii

Nina, Kak Krinyol, dan teman-teman angkatan 2009 khususnya kelas A, terima kasih buat sharing dan dukungannya selama ini.

12.Keluarga besar P2TKP, Pak Adi, Pak Toni, Anju, Efrem, Lito, Tuti, Dara, Marlina, Novi, Pingkan, Sherlot, Riri, Rinta, Mbak Vista, Bella, Marta, Raisa, Alvia, Jeje dan Vivin. Terima kasih atas dukungan dan perhatiannya.

13.Teman-teman kos, Mbak Sum, Kak Bohen, Mbak Ndit, Kak Liza, Ori, Maria, Cilla, Angel, Helen, Indah, Epong, Agnes, Devina, Rosa, Mbak Aik, Cilla Bongsor, Novia, Kak Icha, terima kasih dukungannya.

14.Teman-teman yang jauh atau pun dekat tetap istimewa, Kak Under, Kak Aya, Osi, Kak Dion, Kak Koco, Kak Fika, Kak Adit, Alfons. Thank you for this friendship.

15.Semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terima kasih.

Saya menyadari dalam pembuatan skripsi ini ada kesalahan yang saya perbuat. Oleh karena itu saya mengucapkan maaf kepada semua pihak yang telah dirugikan. Penelitian ini juga masih jauh dari kata sempurna sehingga besar harapan saya untuk mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi perkembangan penelitian selanjutnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xx

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. RUMUSAN MASALAH... 6

C. TUJUAN PENELITIAN... 6

D. MANFAAT PENELITIAN... 6

1. Teoretis... 6

(14)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI... 8

A. REMAJA PUTRI... 8

1. Definisi Remaja Putri... 8

2. Tahap Perkembangan Remaja Putri... 10

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja Putri... 13

B. IMPULSIVE BUYING (PEMBELIAN IMPULSIF)... 16

1. Definisi Pembelian Impulsif... 16

2. Aspek-aspek dalam Pembelian Impulsif... 17

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif... 20

4. Pembelian Impulsif pada Remaja Putri... 24

C. KONFORMITAS... 25

1. Definisi Konformitas... 25

2. Aspek – aspek Konformitas... 26

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas... 27

4. Konformitas pada Remaja Putri... 33

D. HARGA DIRI... 36

1. Definisi Harga Diri... 36

2. Aspek-aspek yang Ada dalam Harga Diri... 37

3. Harga Diri pada Remaja Putri... 39

E. HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI, KONFORMITAS, DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF... 41

1. Konformitas sebagai Mediator... 41

(15)

xv

F. PERTANYAAN PENELITIAN... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 51

A. JENIS PENELITIAN... 51

B. IDENTIFIKASI VARIABEL... 51

C. DEFINISI OPERASIONAL... 51

1. Impulsive Buying (Pembelian Impulsif)... 51

2. Konformitas... 52

3. Harga Diri... 53

D. SUBJEK PENELITIAN... 53

E. METODE PENGAMBILAN DATA... 54

1. Skala Pembelian Impulsif... 55

2. Skala Konformitas... 56

3. Skala Harga Diri... 57

F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR... 58

1. Validitas Skala... 58

2. Seleksi Item... 58

3. Reliabilitas... 61

G. METODE ANALISIS DATA... 62

1. Model Konformitas sebagai Mediator... 62

2. Model Konformitas sebagai Moderator... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 65

A. PERSIAPAN PENELITIAN... 65

(16)

xvi

2. Perizinan... 66

B. PELAKSANAAN PENELITIAN... 66

C. HASIL PENELITIAN... 68

1. Model Konformitas sebagai Mediator 69 2. Model Konformitas sebagai Moderator... 78

D. PEMBAHASAN... 81

E. KETERBATASAN PENELITIAN... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 87

A. KESIMPULAN... 87

B. SARAN... 88

1. Bagi Remaja Putri... 88

2. Bagi Institusi Pendidikan... 88

3. Bagi Orangtua... 88

4. Bagi Peneliti Berikutnya... 89

DAFTAR PUSTAKA... 90

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1Tabel Spesifikasi Skala Harga Diri... 39

Tabel 2Blue Print Skala Pembelian Impulsif... 55

Tabel 3Blue Print Skala Konformitas... 56

Tabel 4Blue Print Skala Harga Diri... 57

Tabel 5Distribusi Item Skala Pembelian Impulsif... 59

Tabel 6Distribusi Item Skala Konformitas... 60

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Model Konformitas sebagai Mediator... 43

Gambar 2 Model Konformitas sebagai Moderator... 48

Gambar 3 Framework Penelitian Konformitas sebagai Mediator... 49

Gambar 4 Framework Penelitian Konformitas sebagai Moderator... 50

Gambar 5. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Harga Diri dan Konformitas... 69

Gambar 6. Grafik Normal P-P Plot of Regression StandardizedResidual Konformitas dan Pembelian Impulsif... 70

Gambar 7. Grafik Normal P-P Plot of Regression StandardizedResidual Harga Diri dan Pembelian Impulsif... 70

Gambar 8. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 71

Gambar 9. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas... 72

Gambar 10. Scatterplot Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 72

Gambar 11. Scatterplot Harga Diri dan Pembelian Impulsif...73

Gambar 12. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 73

Gambar 13. Scatterplot Harga Diri dengan Konformitas... 74

Gambar 14. Scatterplot Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 75

(19)

xix

Gambar 16. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Pengukuran... 99

Lampiran B. Skala Harga Diri... 101

Lampiran C. Skala Konformitas... 104

Lampiran D. Skala Pembelian Impulsif... 107

Lampiran E. Reliabilitas... 110

Lampiran F. Hasil Regresi Model Mediator... 121

Lampiran G. Hasil Regresi Model Moderator... 126

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Studi yang dilakukan oleh Nielsen di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, dan Medan, menunjukkan bahwa jumlah pembelanja di Indonesia semakin meningkat. Kondisi tersebut terbukti dari orang-orang yang tidak membuat rencana sebelum belanja semakin banyak. Peningkatan ini terjadi hampir dua kali lipat dari kondisi tahun 2003 (Industrial Post, 2011). Konsumen Indonesia cenderung lebih tertarik dengan promosi yang dapat memberikan keuntungan, salah satunya adalah diskon atau potongan harga (Intisari, 2009).

Penelitian lain di Indonesia menunjukkan bahwa pembelian impulsif banyak terjadi pada remaja putri dibandingkan remaja putra (Utami & Sumaryono, 2008; Mulyono, 2012). Ditemukan bahwa, 20,9 % dari 1.074 responden yang berstatus sebagai pelajar yang berdomisili di Jakarta dan Surabaya mengaku pernah menggunakan uang spp-nya untuk membeli barang incarannya ataupun hanya sekedar untuk bersenang-senang (Jawa Pos dalam Sihotang, 2009).

(22)

menabung (Nurasyiah & Budiwati dalam Setyawati, 2010). Beberapa fenomena ini sangat jelas menyatakan bahwa pembelian impulsif tidak hanya terjadi pada orang-orang yang berpenghasilan saja, melainkan sudah memasuki kehidupan remaja saat ini dan berdampak negatif pada remaja.

Pembelian impulsif pada remaja sering kali menjadi bagian terpenting dalam marketing karena remaja adalah target mereka dalam pemasaran (Lin & Chuang, 2005; Lin and Chen, 2012). Sasaran yang dijadikan target utama adalah remaja putri karena remaja putri lebih sering melakukan pembelian impulsif dibandingkan remaja putra (Dittmar & Wood dalam Verplanken & Herabadi, 2001; Utami & Sumaryono, 2008; Lin & Lin, 2005).

Pembelian impulsif memiliki konsekuensi negatif terhadap pelaku. Konsekuensi yang harus diterima oleh pembeli yang melakukan pembelian secara impulsif antara lain mendapatkan kesulitan keuangan setelah melakukan pembelian impulsif, mengalami kekecewaan terhadap barang yang sudah dibeli, dan mendapat ketidaksetujuan mengenai barang yang dibeli dari orang-orang di lingkungan sekitar seperti teman ataupun orang tua (Rook, 1987).

(23)

2001; Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009), penilaian negatif dari orang lain (Lin & Chen, 2012), harga yang rendah (Stern,1962), store display (Hadjali, Salimi & Ardestani, 2012)

Remaja yang berbelanja bersama teman-temannya cenderung akan mengunjungi banyak toko dan melakukan pembelian impulsif (Mowen & Minor, 2002). Remaja percaya bahwa pembelian impulsif yang mereka lakukan dapat diterima secara sosial sehingga mereka akan bertindak atas kecenderungan impulsif yang dimiliki (Rook & Fisher dalam Kacen & Lee, 2002). Kecenderungan remaja putri melakukan pembelian secara impulsif dipengaruhi oleh konformitas (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009) dan ketergantungan yang kuat pada kelompok teman sebaya (Affif, 1993). Biasanya tekanan yang dihasilkan oleh pihak mayoritas akan menimbulkan konformitas sehingga pendapat yang sudah disetujui oleh sebagian besar dari anggota kelompok akan diikuti oleh semua anggota kelompok lainnya (Sears, Freedman & Peplau, 1985).

(24)

Penelitian terdahulu menyatakan konformitas berhubungan positif dengan pembelian impulsif. Semakin tinggi konformitas terhadap kelompok teman sebaya maka semakin tinggi pembelian impulsif pada remaja. Sebaliknya semakin rendah konformitas terhadap kelompok teman sebaya maka semakin rendah pembelian impulsif pada remaja (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009). Demi suatu pengakuan, remaja seringkali bersedia melakukan berbagai upaya meskipun bukan sesuatu yang dibutuhkan atau berguna jika dilihat dari kacamata orangtua atau orang dewasa lainnya (Zebua & Nurdjayadi, 2001).

(25)

Selain karena harga diri memiliki korelasi dengan konformitas, harga diri juga memiliki korelasi dengan pembelian impulsif. Ditemukan beberapa penelitian yang mengkorelasikan antara harga diri dan pembelian impulsif. Penelitian tersebut menunjukkan adanya korelasi negatif mengenai harga diri dengan pembelian impulsif, bahwa semakin tinggi harga diri yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah pembelian impulsif yang dilakukan. Sebaliknya, semakin rendah harga diri seseorang, maka semakin tinggi tingkat pembelian impulsif yang dilakukan (Hadjali, Salimi, & Ardestani, 2012; Djudiyah, 2002).

Rendahnya harga diri remaja, banyak ditemui pada remaja putri dibandingkan remaja putra (Coopersmith, 2007; Baron, Byrne & Branscombe, 2006; Santrock, 2012). Remaja putri dikatakan akan lebih cenderung melakukan pembelian impulsif dibandingkan remaja putra (Dittmar & Wood dalam Verplanken & Herabadi, 2001; Lin & Lin, 2005).

(26)

impulsif. Namun demikian, belum ditemukan penelitian yang menjelaskan peran dari konformitas dalam struktur hubungan ketiga variabel tersebut. Penelitian ini dirasa penting karena melalui penelitian ini dapat diketahui secara jelas apakah konformitas berperan sebagai mediator atau moderator dalam hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif ?

B. RUMUSAN MASALAH

Apa peran konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif pada remaja putri ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mencari tahu lebih jelas mengenai struktur hubungan antara harga diri, konformitas, dan pembelian impulsif. Selain itu, menegaskan peran dari konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri dan pembelian impulsif pada remaja putri.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah hasil dari penelitian dapat menyumbangkan dan menegaskan peran dari konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif, apakah konformitas berperan sebagai mediator atau moderator ?

2. Praktis

(27)

antara harga diri, konformitas, dan pembelian impulsif dapat dijadikan dasar untuk melakukan tritmen/pelatihan secara tepat khususnya pelatihan peningkatan harga diri.

Pelatihan kepribadian remaja putri dapat dilakukan oleh institusi pendidikan dengan meningkatkan harga diri remaja agar dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Ketika remaja putri memiliki harga diri yang tinggi mereka dapat memilih konformitas yang positif sehingga dapat menekan pembelian impulsifnya.

(28)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. REMAJA PUTRI

1. Definisi Remaja Putri

Masa remaja merupakan bagian dari perkembangan yang dilihat dari aspek genetik, biologis, lingkungan dan pengalaman berinteraksi, baik dengan orang tua, teman sebaya, dan guru. Beberapa peneliti lain juga menambahkan bahwa perkembangan masa remaja melibatkan perubahan besar pada aspek biologis atau fisik, kognitif, dan sosial emosi yang berlangsung sejak awal remaja hingga masa remaja berakhir (Santrock, 2002, 2003, 2007; Papalia, Old, & Feldmen, 2009). Peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan ini, dilalui oleh peristiwa panjang yang disebut dengan masa remaja (adolescene).

Pengertian lain menjelaskan bahwa remaja merupakan suatu periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, ketika remaja harus dapat berdiri sendiri secara mandiri (DeBrun dalam Jahja, 2011; Neidhart dalam Gunarsa & Gunarsa, 1981; WHO dalam Sarwono, 2007). Masa remaja bukan lagi masuk dalam golongan anak-anak, tetapi juga belum pantas dikatakan dewasa.

(29)

2007). Fenomena ini yang membuat remaja merasa bingung untuk menentukan identitasnya sehingga remaja cenderung menunjukkan suatu kepekaan dan labilitas yang meningkat pada tindakannya (Remplein dalam Monks & Knoer, 2002).

(30)

tahun dan masa remaja akhir dengan rentang usia 17 sampai 21 tahun (Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah suatu masa peralihan individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mencakup perubahan perkembangan biologis atau fisik, kognitif, dan sosial-emosi. Masa remaja diawali dari usia 12 tahun sampai 21 tahun yang dibagi menjadi dua masa yaitu masa remaja awal dan remaja akhir.

2. Tahap Perkembangan Remaja Putri

Tahap perkembangan remaja putri sama seperti tahap perkembangan remaja pada umumnya. Remaja putri yang memasuki usia remaja akan mengalami perubahan pada perkembangan fisik, kognisi, dan sosial-emosinya (Santrock, 2002, 2003, 2007; Papalia, Old, & Feldmen, 2009)

Ada beberapa pembagian tahap perkembangan remaja. Beberapa ahli membagi masa remaja berdasarkan usia. Berdasarkan usia, masa remaja dibagi menjadi masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja tengah 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 (Monks & Knoers, 2002; Sarwono, 2007).

(31)

yang dimiliki oleh remaja tengah dapat digolongkan pada masa remaja awal dan masa remaja akhir (Santrock, 2003, 2007; Papalia dkk, 2008; Alwisol, 2004; Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996) sehingga penelitian ini mengacu pada dua pembagian masa tersebut.

a. Masa Remaja Awal

Masa remaja awal sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup perubahan pubertas (Santrock, 2003). Masa remaja awal diawali dari usia 12 tahun sampai 16 atau 17 tahun Alwisol, 2004; Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996; Sarwono, 2009).

Remaja pada masa ini merupakan masa awal untuk bertumbuh tidak hanya secara fisik, melainkan juga dalam kompetensi kognitif dan sosial, otonomi, harga diri, dan keintiman (Papalia dkk, 2009).

Pada masa ini remaja perlu mendapatkan perhatian secara khusus terlebih ketika mereka menghadapi perubahan secara bersamaan dan membutuhkan bantuan orang lain dalam mengatasi masalah. Perhatian secara khusus akan memberikan bantuan pada remaja sehingga membuat remaja merasa lebih aman (Papalia dkk, 2009).

(32)

Sullivan juga menambahkan bahwa keintiman merupakan proses antar pribadi pada remaja awal untuk mendapatkan kebutuhan afeksi dan penghargaan dari teman-teman sebaya meskipun dengan pergaulan dapat memunculkan masalah.

b. Masa Remaja Akhir

Remaja yang dikategorikan sebagai remaja akhir adalah remaja yang berusia 17 atau 18 sampai 21 tahun (Santrock, 2007; 2008; Monks & Knoers, 2002; Sarwono, 2007; Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996). Pada masa ini, remaja cenderung meniru perilaku orang dewasa karena remaja ingin menunjukkan bahwa mereka telah memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). Kriteria khusus yang dimiliki oleh remaja akhir adalah sudah memiliki kestabilan dalam menentukan apa yang baik untuk dirinya, lebih matang dalam menghadapi suatu permasalahan, memiliki ketenangan emosi, dan lebih realistis. Karakteristik pada masa remaja akhir terbentuk demikian berdasarkan tempat lingkungannya (Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996). Di samping itu, remaja akhir memiliki karakteristik cemas karena remaja merasa tidak memiliki kemampuan pada dirinya. Ketika remaja mengalami kecemasan, mereka berusaha menghindar dari sumber kecemasan karena mereka tidak ingin menunjukkan ketidakmampuannya (Soesilowindradini, 1996).

(33)

menunjukkan siapa dirinya (Santrock, 2003). Remaja akhir memiliki tugas perkembangan untuk belajar menjalankan kewajiban, menerima hak, dan bertanggung jawab atas setiap tindakannya di lingkungannya (Sunaryo, 2004)

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja putri memiliki tahap perkembangan yang sama dengan remaja pada umumnya. Tahapan tersebut terbagi menjadi dua masa yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir.

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja Putri

a. Perkembangan Fisik

(34)

yang bermasalah dan tidak mudah menyadari dampak jangka panjang dari tindakannya (Santrock, 2002).

b. Perkembangan Kognitif

Remaja memiliki proses berpikir yang menyatakan bahwa dirinya unik dan tidak terkalahkan sehingga remaja meyakini dirinya menarik bagi orang lain. Ketika remaja mulai berpikir demikian, remaja mencoba untuk memproses informasi yang diterimanya agar memperoleh pengetahuan yang lebih kompleks. Setelah memproses informasi, remaja mencoba mengartikan informasi itu berdasarkan perspektif yang dimilikinya sehingga remaja dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan pilihannya (Santrock, 2011; 2007).

(35)

c. Perkembangan Sosial dan Emosi

Perkembangan berelasi sosial pada remaja berbeda dari masa perkembangan sebelumnya. Remaja memiliki hubungan dengan teman sebaya yang lebih intim dibandingkan hubungannya dengan orang tua (Santrock, 2002). Keintiman remaja dengan teman sebaya diperkuat ketika remaja memasuki usia remaja awal, misalnya dengan berkumpul di mal bersama teman-temannya seperti orang dewasa muda pada umumnya (Sarwono, 2009). Pada masa ini, remaja tidak lagi hanya berhubungan dengan individu yang sama jenis saja, melainkan juga dengan lawan jenis (Jahja, 2011; Rochmah, 2005).

(36)

membuat keputusan tidak bijaksana dikarenakan situasi emosinya tidak tenang (Paus, Steinberg dalam Santrock, 2011).

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa aspek fisik, aspek kognitif, dan aspek sosial – emosi merupakan aspek yang melekat pada masa perkembangan remaja putri. Setiap aspek memiliki hubungan dengan perilaku remaja putrid di masa perkembangannya baik secara intrapersonal maupun secara interpersonal.

B. IMPULSIVE BUYING (PEMBELIAN IMPULSIF) 1. Definisi Pembelian Impulsif

Beberapa ahli mengartikan pembelian impulsif (impulsive buying) sama dengan pembelian tidak terencana (unplanned purchase) (Rook, 1987; Stern, 1962). Pembelian impulsif adalah pembelian yang dilakukan secara spontan atau tiba-tiba karena adanya daya tarik terhadap stimulus sehingga pembeli melakukan keputusan untuk membeli secara cepat. Selain itu, pembelian impulsif terjadi tanpa melakukan pertimbangan dan tidak berdasarkan pada penilaian atau evaluasi tertentu terhadap produk atau manfaat dari produk yang dibeli (Davis & Sajtos, 2009; Rook & Fisher, 1995). Pembelian impulsif bersifat kuat atau powerful karena membuat pembeli bersemangat ketika dihadapkan pada stimulus dan langsung membuat keputusan untuk membeli (Rook, 1987; Kacen & Lee, 2002; Verplanken & Herabadi, 2001).

(37)

merasa kecewa atau menyesal dengan produk yang dibeli, merasa bersalah, dan tidak mendapatkan persetujuan mengenai produk yang sudah dibeli oleh orang di sekitarnya (Rook, 1987).

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan, maka pembelian impulsif dapat disimpulkan sebagai suatu pembelian yang dilakukan secara spontan atau tiba-tiba tanpa adanya perencanaan atau pertimbangan sebelumnya. Biasanya pembelian impulsif terjadi karena adanya stimulus tertentu sehingga pembeli dapat melakukan pembelian secara cepat dan biasanya berujung pada penyesalan.

2. Aspek-aspek dalam Pembelian Impulsif

Pembelian impulsif memiliki dua aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Kedua aspek ini merupakan komponen yang dialami oleh pembeli sehingga menciptakan suatu perilaku pembelian impulsif. Pembelian impulsif dapat terjadi berdasarkan dua aspek secara bersamaan, tetapi dalam dinamikanya, terdapat salah satu aspek yang lebih dominan (Herabadi, Verplanken, van Knippenberg, 2009; Verplanken, Herabadi, Perry & Silvera, 2004).

a. Aspek Kognitif

(38)

Knippenberg, 2009). Contohnya, ada suatu produk branded yang memiliki harga yang tinggi tetapi mendapatkan diskon sebesar 70%. Proses kognitif pada individu yang impulsif akan bekerja ketika pembeli melihat produk tersebut, ada keinginan secara tiba-tiba untuk memiliki produk tersebut tanpa adanya pemikiran yang matang sehingga secara cepat pembeli memutuskan untuk memilikinya (Coley & Burgess, 2003) maka terjadilah pembelian. Pembelian terjadi tidak berdasarkan kebutuhan atau perencanaan sebelumnya sehingga dapat dikatakan pembelian impulsif. Sedangkan pembeli yang tidak impulsif cenderung tidak mudah terpengaruh akan diskon atau harga yang miring pada produk branded tersebut karena pembeli merasa tidak berencana dan tidak memiliki kebutuhan untuk membelinya.

b. Aspek Afektif

(39)

untuk memilikinya, serta merasa harus membeli produk itu untuk memuaskan diri (Coley & Burgess, 2003).

Hirschman & Holbrook dan Lai (dalam Herabadi, dkk, 2009; Lai, 2010) menjelaskan bahwa aspek afektif merupakan aspek paling kuat yang melekat pada diri pembeli ketika melakukan pembelian impulsif. Beberapa peneliti juga menjelaskan bahwa kekuatan aspek afektif ini dikarenakan pembeli memiliki mood yang positif. Mood positif dapat mendorong seseorang untuk melakukan pembelian impulsif. Mood positif meliputi perasaan suka atau tertarik, senang, loyal, bersemangat dan merasa berharga ketika melakukan pembelian impulsif (Rook, 1987; Rook & Gardner dalam Herabadi dkk, 2009; Coley & Burgess, 2003). Selain itu, pembeli dapat memanjakan diri dan seperti mendapatkan hadiah ketika melakukan pembelian impulsif (Rook, 1987).

(40)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif

Secara umum, pembelian impulsif dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor lingkungan dan personal.

a. Faktor Lingkungan

Sebuah penelitian menyatakan bahwa penilaian negatif pada remaja dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Remaja memiliki ketakutan tersendiri ketika mendapatkan penilaian negatif dari teman sebayanya. Kecemasan secara sosial ini, dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan pembelian impulsif (Lin & Chen, 2012).

Penelitian lain menyebutkan bahwa konformitas adalah prediktor atau variabel independen dari variabel pembelian impulsif (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009). Penelitian ini menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat konformitas seseorang, maka semakin tinggi pula pembelian impulsif yang dilakukan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat konformitas seseorang, maka semakin rendah tingkat pembelian impulsif seseorang Pengaruh kelompok tergolong besar dalam pemberian norma tingkah laku sehingga apabila kelompok dalam situasi membeli impulsif, maka anggotanya akan cenderung berperilaku sama (Ewert dalam Monks 2002).

(41)

impulsif. Individu yang impulsif cenderung menyukai harga yang rendah dan mendapatkan keuntungan dari hasil pembeliannya (Stern, 1962). Misalnya, awalnya pembeli hanya ingin membeli 2 buah baju. Harga dua buah baju Rp 200.000,-.Akan tetapi individu menemukan harga spesial di toko baju tersebut yang menuliskan “buy 3 get 1 free”.

Individu akan mendapatkan baju sebanyak empat buah dengan menambahkan uang Rp 50.000,- saja. Contoh tersebut merupakan contoh pembelian impulsif berdasarkan harga. Pembelian dua baju yang tidak direncanakan semua adalah hasil dari pembelian impulsif.

Pelayanan yang dilakukan sendiri oleh pembeli seperti swalayan dapat meningkatkan kesempatan pembelian impulsif daripada pelayanan yang dilakukan oleh petugas. Pembelian impulsif terjadi karena pembeli dapat mengambil produk secara bebas dan cepat sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan jika dilayani oleh petugas, pembeli tidak leluasa memilih produk yang akan dibeli (Stern, 1962).

(42)

lainnya merupakan hal-hal yang dapat membuat store display menarik (Stern, 1962; Hoyer & MacInnis dalam Lin & Lin 2005).

b. Faktor Personal

Faktor personal berasal dari dalam diri individu yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Berdasarkan gendernya, perempuan cenderung memiliki tingkat pembelian impulsif yang lebih tinggi dibandingkan pria (Wu & Huan, 2010; Gasiorowska, 2011; Lin & Lin, 2005; Pantecost & Andrews, 2010) dan melihat-lihat produk lain selama berbelanja (Gasiorowska, 2011). Hal tersebut dikarenakan kesenangan berbelanja dianggap perilaku yang wajar secara sosial dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki (Gasiorowska, 2011).

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa mood pembeli dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Seseorang yang memiliki mood positif biasanya lebih mudah tertarik, senang, loyal, bersemangat, dan merasa berharga ketika melakukan pembelian secara impulsif (Verplanken & Herabadi, 2001) daripada seeorang yang memiliki mood negatif (Rook, 1987; Rook & Gardner dalam Herabadi dkk, 2009). Selain itu, motivasi untuk mendapatkan kesenangan dengan memiliki emosi yang positif pada individu dapat mempengaruhi pembelian impulsif (Virvilaite, Saladiene & Zvinklyte, 2011).

(43)

menahan setiap stimulus yang mendukung pembelian impulsif, mudah dipengaruhi dan tidak dapat mengelola dirinya, maka pembelian impulsif dapat terjadi. Sedangkan orang yang memiliki kontrol diri yang baik akan membeli produk sesuai kebutuhan jangka panjang (Baumeister, 2002)

Sebuah penelitian menghubungkan kecerdasan emosi dengan pembelian impulsif. Penelitian tersebut menyatakan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, pembelian impulsifnya lebih rendah dibandingkan orang yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah (Lin & Chuang, 2005).

Harga diri juga menjadi salah satu faktor yang dapat menciptakan pembelian impulsif pada individu. Penelitian (Hadjali, Salimi, & Ardestani, 2012; Djudiyah, 2002) menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat harga diri seseorang maka semakin tinggi pembelian impulsif dilakukan. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat harga diri seseorang, maka semakin rendah tingkat pembelian impulsif.

(44)

4. Pembelian Impulsif pada Remaja Putri

Remaja merupakan bagian yang penting bagi marketing karena remaja sering menghabiskan waktunya untuk berbelanja (Lin & Chang, 2005; Lin & Chen, 2012). Biasanya remaja berbelanja dengan teman-teman sebayanya. Interaksi sosial dengan teman-teman-teman-teman sebaya dapat meningkatkan pembelian impulsif karena remaja memiliki ketakutan untuk dinilai negatif oleh teman sebayanya (Lin & Chen, 2012).

Remaja putri cenderung lebih impulsif daripada remaja pria (Lin & Lin, 2005; Pantecost & Andrews, 2010) karena remaja putri memiliki intensitas kegiatan yang dekat dengan pembelian lebih tinggi. Misalnya, remaja putri lebih sering menemani ibunya berbelanja mulai dari kebutuhan makanan sampai asesoris kecantikan (Loudon & Bitta dalam Utami & Sumaryono, 2008). Remaja putri lebih signifikan melakukan pembelian impulsif dan melihat-lihat produk lain selama berbelanja daripada remaja putra. Tindakan tersebut dikarenakan remaja putri cenderung menganggap wajar bahwa kesenangan dalam berbelanja wajar dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki (Gasiorowska, 2010). Biasanya remaja putri melakukan pembelanjaan bersifat impulsif hanya karena ingin mencari sensasi dibandingkan dengan remaja pria (Gasiorowska, 2011).

(45)

taman-teman sebayanya dan hanya mencari sensasi semata. Remaja putri memiliki aktivitas membeli lebih dekat daripada remaja putra karena mereka lebih sering menemani ibunya berbelanja

C. KONFORMITAS

1. Definisi Konformitas

Sebagai makhluk sosial, manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Keadaan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan segala sesuatu sesuai dengan norma sosial serta dapat diterima secara sosial atau dapat disebut juga dengan konformitas (Hafiyah, 2009). Konformitas menampilkan suatu perilaku tertentu berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh orang lain dan juga adanya tekanan dari kelompok acuan. Tindakan menjadi selaras dengan kelompok akan dilakukan individu yang konform meskipun bertentangan dengan prinsip yang dimiliki individu tersebut (Sears, Freedman, & Peplau, 1985). Terkadang, konformitas juga terjadi pada individu yang ingin berperilaku sama dengan kelompok meskipun sebelumnya belum pernah melakukan tindakan tersebut (King, 2010). Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya pernyataan lain bahwa individu yang melakukan konformitas cenderung berperilaku berbeda dari biasanya ketika individu tersebut berada dalam keadaan sendiri (Asch dalam Gerungan, 2009; Myers, 2012).

(46)

diyakini seseorang berdasarkan norma sosial agar dapat diterima secara sosial. Konformitas tetap dilakukan meskipun bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya. Konformitas biasa terjadi dikarenakan adanya tekanan dari kelompok acuan.

2. Aspek – aspek Konformitas

Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan di atas, terdapat poin penting bahwa konformitas merupakan suatu keyakinan individu terhadap perilaku atau aturan dari kelompok dan tindakan mengikutinya agar menjadi sama dengan kelompok. Ini bertujuan agar individu tersebut dapat diterima oleh kelompok acuan meskipun tindakannya bertentangan dengan keyakinannya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, konformitas yang berdasarkan keyakinan terhadap orang lain seperti memilih ide atau gagasan berdasarkan banyaknya suara mayoritas (Wade & Tavris, 2008).

Sedangkan contoh konformitas yang berupa tindakan meliputi mengolok-olok orang lain (Levianti, 2008), mengikuti gaya berpakaian yang sama dengan kelompok acuan, belajar bersama dan berorganisasi, (Santrock, 2002), pembelian aksesoris (Natalia, 2009), dan melakukan pembelian impulsif bersama teman-teman (Lin & Chen, 2012).

(47)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konformitas yaitu faktor personal dan faktor situasional. Faktor situasional terdiri dari :

a. Kejelasan Situasi

Penelitian Sherif menunjukkan bahwa, semakin tidak terstruktur dan tidak jelas situasi yang dihadapi, maka semakin besar kecenderungan orang untuk mengikuti kelompoknya (Rakhmat, 2008). Biasanya seseorang akan ikut serta untuk konform ketika kebanyakan orang melakukan sesuatu pada situasi tertentu (Baron & Byrne, 2005) b. Kesepakatan

Pendapat atau keputusan yang sudah dibuat dan ditetapkan oleh kelompok memiliki tekanan yang kuat sehingga konformitas dapat meningkat. Remaja harus dapat menyesuaikan pendapatnya dengan kelompok jika ingin meningkatkan konformitas. Nilai-nilai yang ada pada kesepakatan yaitu:

1) Kepercayaan sangat penting untuk membentuk suatu kesepakatan dalam kelompok. Tingkat kepercayaan akan menurun ketika di dalam kelompok terjadi perbedaan pendapat sehingga berdampak pada menurunnya tingkat konformitas dalam kelompok tersebut.

2) Persamaan pendapat akan meningkatkan konformitas yang ada

(48)

akan menurun. Pendapat satu individu yang tidak sama dengan pendapat kelompok akan menunjukkan perbedaan yang berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok.

3) Penyimpangan terhadap pendapat kelompok. Remaja yang

menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan dan akan berdampak pada berkurangnya tingkat konformitas pada suatu kelompok. Remaja dikatakan menyimpang ketika orang tersebut memiliki pendapat atau pandangan yang tidak sesuai atau berbeda dengan kelompok. Dampak dari penyimpangan tersebut adalah dikucilkan dan ditolak dari kelompok.

c. Ukuran Kelompok

Aturan atau norma kelompok terbentuk berdasarkan atas penilaian dari ukuran mayoritas kelompok. Semakin besar ukuran kelompoknya, maka semakin tinggi tingkat konformitasnya (Rakhmat, 2008; Taylor, Peplau & Sears, 2009). Pernyataan ini diperkuat oleh Asch, Gerrard, Wilhelmy & Conolley yang menyatakan bahwa konformitas meningkat karena adanya peningkatan jumlah anggota kelompoknya (Baron & Byrne, 2005).

d. Norma Deskriptif dan Norma Injungtif / Perintah

(49)

itu. Sedangkan norma injungtif dapat mempengaruhi individu dengan cara sudah menetapkan perilaku yang diterima atau tidak diterima kelompok pada situasi tertentu (Baron & Byrne, 2005).

e. Tekanan Kelompok

Tekanan dalam kelompok dapat berupa pemberian ganjaran, ancaman atau hukuman pada anggota kelompok akan meningkatkan ketaatan remaja. Semakin besar tekanan dalam kelompok maka semakin besar ketaatan remaja untuk konform dengan kelompok (Sears, Freedmen, & Paplau, 1985).

f. Informational influence (pengaruh informasi)

Informasi yang diberikan orang lain akan bermanfaat bagi individu yang belum mengetahui informasi. Informasi yang diterima berguna untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Kesesuaian tersebut bergantung pada dua aspek situasi, yaitu seberapa besar keyakinan kepada kelompok dan seberapa besar keyakinan pada diri sendiri. Keyakinan individu pada informasi yang disampaikan kelompok memungkinan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut, terutama pada situasi penilaian yang ambigu atau tidak jelas. Oleh karena itu, meningkatnya konformitas seseorang dikarenakan adanya peningkatan kepercayaan pada informasi yang diberikan oleh kelompok yang bersangkutan.

(50)

kurangnya keyakinan terhadap penilaiannya sendiri. Hal lain yang ditemukan bisa dikarenakan kurangnya kompetensi diri atau terlalu minimnya informasi yang diketahui mengenai suatu topik (Baron & Byrne, 2005; Taylor, Peplau, & Sears, 2009; King, 2010).

g. Normative influence (pengaruh normatif)

Pengaruh normatif adalah pengaruh yang berasal dari orang lain agar individu dapat disukai dan diterima secara sosial. Pengaruh normatif dapat menjadikan individu rela mengubah perilakunya untuk menyesuaikan diri dengan standar kelompok seperti menggunakan pakaian yang menjadi cirri khas dari kelompok, menggunakan kata-kata gaul yang sama, dan perilaku lain yang sama dengan kelompok (King, 2010). Biasanya, pasca konformitas, terjadi perubahan pada keyakinan orang tersebut karena ada proses ketika pelaku melakukan pemahaman terhadap perspektif kelompok dan melakukan interpretasi baru sehingga memunculkan penyesuaian diri di kelompoknya (Buehler & Griffin, 1994 dalam Taylor et al, 2009).

Sedangkan faktor personal terdiri dari : a. Usia dan jenis kelamin

(51)

yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi (Santrock, 2012; Alwisol, 2004; Sarwono, 2009). Selain itu, remaja putri pada umumnya memiliki sifat yang penurut, pasif, tunduk pada otoritas, mengalah, dan enggan memunculkan konflik (Tapiheru dalam Astasari & Sahrah, 2009).

b. Ketaatan

Ketaatan merupakan perilaku patuh pada aturan yang berkuasa (King, 2010). Ketaatan remaja pada suatu kelompok akan meningkatkan konformitas pada kelompok. Remaja rela melakukan tindakan sesuai dengan kesepakatan kelompok meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Kerelaan tersebut dikarenakan adanya tekanan atau tuntutan dari kelompok sehingga remaja memiliki ketaatan pada kelompok itu. Remaja yang melakukan penyimpangan akan ditolak dan diasingkan dalam kelompok. Anggota kelompok yang konform akan memperhatikan setiap tindakan kelompoknya (Sears, Freedmen, & Paplau, 1985).

c. Kohesivitas

(52)

yang mempengaruhi konformitas. Jika karakter sumber pengaruh memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk terjadinya konformitas, maka konformitas akan terbentuk. Akan tetapi, jika pengaruhnya tidak cukup kuat, maka konformitas tidak akan terbentuk (Rakhmat, 2008). d. Kekompakan

Remaja menyukai suatu kelompok yang memiliki kekuatan di dalamnya sehingga mereka tertarik untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut. Ketertarikan remaja dengan kelompok yang diinginkan membuat remaja berharap untuk memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar ketertarikan dan harapan mendapatkan manfaat pada suatu kelompok, maka semakin besar pula kekompakan kelompok dan konformitasnya. Kekompakan yang terbentuk pada suatu kelompok mempengaruhi anggota kelompok tersebut untuk semakin konform satu sama lain. Remaja cenderung menyesuaikan diri dengan keadaan kelompok apabila ingin menjadi bagian dari kelompok tersebut. Remaja yang ingin diterima dalam kelompok akan mengikuti tindakan kelompok ketika kelompok melakukan sesuatu (Sears, Freedmen, & Paplau, 1985).

e. Harga diri

(53)

diri yang dilakukan, maka semakin tinggi tingkat konformitasnya (Cipto & Kuncoro, 2010; Sulistyowati, 2009; Nashihin, 2012). Seseorang yang memiliki harga diri yang rendah akan merasa takut untuk ditolak sehingga mereka memilih untuk konform (Asch dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2005)

Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas yaitu faktor situasional dan faktor personal. Faktor situasional terdiri dari kejelasan situasi, ukuran kelompok, norma deskriptif dan norma injungtif, pengaruh informasi, dan pengaruh normatif. Sedangkan faktor personalnya meliputi usia dan jenis kelamin, kohesivitas, harga diri.

4. Konformitas pada Remaja Putri

(54)

tersendiri bersama teman sebayanya. Rasa aman yang dimiliki bersama kelompok menimbulkan keberanian melakukan sesuatu secara bersamaan dibandingkan sendiri (Gunarsa & Gunarsa, 2009). Selain itu, pada usia remaja, remaja masih dalam masa perkembangan mencari identitas sehingga banyak hal yang dilakukan remaja untuk membentuk pengetahuan dalam dirinya (Santrock, 2002).

Proses perkembangan mencari identitas dan menciptakan situasi aman pada remaja, membuat remaja melakukan konformitas (Santrock, 2002; Hafiyah, 2009; Taylor dkk, 2009). Beberapa ahli meyakini bahwa remaja yang sering melakukan konformitas adalah remaja putri daripada remaja putra karena remaja putra cenderung memiliki pemikiran yang mandiri daripada remaja putri. Sedangkan remaja putri cenderung lebih ingin mempertahankan hubungan daripada mengendalikan relasi dengan orang lain (Timmers, Fischer & Manstead dalam Baron & Byrne, 2004).

(55)

serupa dengan kelompok (Santrock, 2002), berhenti saat lampu lalu lintas berwarna merah, mengemudi pada jalur yang tepat (King, 2010), mengantri saat membeli tiket (Baron & Byrne, 2005).

Remaja melakukan konformitas agar dapat diterima secara sosial dan terhindar dari ejekan atau penolakan dari teman-temannya dan memuncaknya konformitas remaja terjadi pada kelas delapan dan sembilan (Berndt, 1979; Berndt & Perry, 1990; Leventhal, 1994 dalam Santrock, 2002; 2012). Tekanan sosial biasa terjadi pada remaja putri dibandingkan remaja putra karena remaja putri lebih terampil dalam bersosial (Margalit & Eysenck dalam Baron & Byrne, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Prinstein (dalam Santrock, 2012) menambahkan bahwa remaja yang tidak yakin akan identitas diri di lingkungan sosialnya, memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang dianggap memiliki status lebih tinggi. Di samping itu, remaja yang melakukan konformitas biasanya berdampak negatif pada dirinya (Constanzo dalam Worchel & Cooper, 1979) dan memiliki harga diri yang rendah (Stang dalam Worchel & Cooper, 1979).

(56)

dimiliki oleh kelompok tersebut. Konformitas juga biasa terjadi pada remaja putri dibandingkan remaja putra karena remaja putri dianggap sebagai pribadi yang lebih mempertahankan hubungan.

D. HARGA DIRI

1. Definisi Harga Diri

Harga diri merupakan penilaian yang dilakukan oleh seseorang yang berkaitan dengan dirinya. Penilaian tersebut menunjukkan sikap penerimaan atau penolakan pada dirinya sendiri, percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan, menganggap dirinya penting, berhasil, dan berharga (Coopersmith, 1967). Sikap yang dimiliki individu dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari seperti dengan diri sendiri, teman sebaya, orang tua, sekolah, dan kegiatan berelasi sosial lainnya seperti kegiatan akademis, olahraga, serta berhubungan interpersonal (Coopersmith, 1967; Deaux, Dane, & Wrightsman, 1992 dalam Pelupessy, 2009; Baron & Byrne, 2005).

Harga diri juga didefinisikan sebagai evaluasi diri secara keseluruhan dan juga sebagai penghargaan terhadap diri atau kesan terhadap dirinya sendiri. Perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai dirinya. Pengetahuan tersebut juga berdasarkan penilaian atau evaluasi terhadap dirinya, baik secara positif maupun negatif (Myers, 2012).

(57)

terhadap kemampuan, keberhargaan, dan keberhasilan dirinya sendiri baik secara positif maupun secara negatif.

2. Aspek-aspek yang Ada dalam Harga Diri

Berdasarkan definisi yang telah disampaikan oleh Coopersmith (1967), secara implisit dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri melalui penilaian. Oleh karena itu, peneliti mengidentifikasi aspek harga diri dengan mengidentifikasi aspek dari sikap dan aspek-aspek dari objek sikapnya yaitu diri sendiri.

Sikap merupakan suatu konstrak yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang terdiri dari kognisi, afeksi, dan konasi. Aspek kognisi dilihat sebagai suatu respon berupa persepsi dan pernyataan mengenai apa yang diyakini. Aspek afeksi merupakan respon secara otomatis dan menyatakan tentang perasaan. Sedangkan aspek konatif dilihat sebagai suatu respon berupa tindakan atau perilaku (Azwar, 1988).

Sementara aspek-aspek dari diri sendiri yang menjadi objek sikap terdiri dari kemampuan (capable), keberhasilan (successful), penting (significant) dan berharga (worthy) (Coopersmith, 1967).

a. Kemampuan (Capable)

(58)

(Coopersmith, 1967). Sedangkan, individu yang memiliki harga diri rendah kurang mengekspresikan diri dan tidak mampu bertanggung jawab atas hasil negatif yang dilakukannya dan tidak memiliki keyakinan untuk melakukan sesuatu. Individu juga lebih memilih mengeluh dibandingkan berusaha mengatur apa yang harus dilakukan (Baron, Byrne & Branscombe, 2006).

b. Keberhasilan (Successful)

Individu yang memiliki harga diri cenderung berhasil dengan cara mandiri, dapat menunjukkan keberhasilannya, aktif, berhasil dalam bidang akademis maupun berhubungan secara sosial, dan dapat menyelesaikan permasalahan di lingkungannya. Selain itu, individu mampu melakukan sesuatu sesuai dengan aturan masyarakat sehingga dapat dijadikan panutan oleh masyarakat lainnya (Coopersmith, 1967; Santrock, 2007; 2012). Sedangkan individu yang memiliki harga diri yang rendah cenderung terfokus pada kelemahan mereka (Dodgson & Wood dalam Baron & Byrne, 2004), mudah tergantung pada lingkungan dan memiliki ketakutan dalam membangun hubungan sosial (Coopersmith, 1967). Selain itu individu cenderung lebih inferior atau merasa bersalah sehingga terlihat seperti orang putus asa dan depresi (Coopersmith, 1967; Santrock, 2007; 2012).

c. Penting (Significant) dan berharga (Worthy)

(59)

diri. Individu mendapatkan rasa peduli, perhatian, dan mengungkapkan kasih sayang dari orang lain. Selain itu, individu melakukan sesuatu sesuai dengan aturan masyarakat sehingga individu diterima oleh lingkungannya (Coopersmith, 1967; Santrock, 2007; 2012). Sedangkan bagi individu yang memiliki harga diri yang rendah tidak memiliki arti secara tertentu bagi orang lain. Individu tersebut dinilai tidak berharga, dan tidak memiliki keberartian bagi orang lain. Individu yang rendah harga dirinya biasanya akan merasa ditolak dan merasa terasingkan dari lingkungan sosial (Coopersmith, 1967). Biasanya juga individu kurang dijadikan sebagai panutan bagi lingkungan (Brown dalam Passer & Smith, 2007)

Menurut paparan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat aspek di dalam harga diri seseorang, yaitu kemampuan, keberhasilan, penting, dan berharga.

Tabel 1

Tabel Spesifikasi Skala Harga Diri

Kemampuan Keberhasilan Penting dan Berharga Kognitif

Afektif Konatif

3. Harga Diri pada Remaja Putri

(60)

penilaian dengan harga diri yang rendah (Baron & Byrne, 2004; 2005). Remaja dengan harga diri yang tinggi dapat menguntungkan bagi dirinya sendiri. Banyak hal-hal positif yang dapat diterima baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang (Baron & Byrne, 2005; Passer & Smith, 2007). Sedangkan bagi remaja dengan harga diri yang rendah akan banyak memunculkan dampak negatif pada dirinya karena mereka tidak dapat menilai atau mengenal dirinya sendiri dan kemampuan dalam dirinya (Baron & Byrne, 2005).

Individu mengalami penurunan harga diri ketika memasuki masa remaja. Akan tetapi, remaja putri cenderung mengalami penurunan yang cukup tinggi dibandingkan remaja putra (Santrock, 2012) sehingga beberapa peneliti menyatakan bahwa remaja putri berpotensi memiliki harga diri yang rendah dibandingkan remaja putra (Kling, Hyde, Showers & Buswell, 1999; Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Remaja putri lebih rendah harga dirinya dibanding remaja putra karena remaja putri cenderung memiliki prasangka buruk akan suatu hal. Selain itu, remaja putri juga lebih suka menerima hasil tindakan yang diberikan dari orang lain daripada memulai tindakan sendiri (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).

(61)

memberikan dampak negatif karena remaja putri cenderung berprasangka buruk sehingga kurang berani menunjukkan tindakannya.

E. HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI, KONFORMITAS, DAN

KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF

1. Konformitas sebagai Mediator

Beberapa penelitian mengkorelasikan antara harga diri dengan konformitas (Cipto & Kuncoro, 2010; Sulistyowati, 2009; Nashihin, 2012), konformitas dengan pembelian impulsif (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009), dan harga diri dengan pembelian impulsif (Hadjali, Salimi & Ardestani, 2012; Djudiyah, 2002). Berdasarkan ketiga hubungan tersebut, harga diri memiliki korelasi negatif dengan konformitas dan juga pembelian impulsif, sedangkan konformitas memiliki korelasi yang positif dengan pembelian impulsif.

Remaja putri yang memiliki harga diri yang tinggi, maka tingkat melakukan konformitas akan rendah karena remaja putri cenderung memiliki pribadi yang tidak mudah terpengaruh dengan orang lain mengenai pernyataan negatif maupun positif tentang dirinya. Mereka juga dapat mengekspresikan dirinya secara mandiri dan memiliki keyakinan untuk mewujudkan keinginannya sendiri (Coopersmith, 1967). Tindakan tidak melakukan konformitas dengan kelompok atau orang lain, maka kemungkinan untuk terjadinya pembelian impulsif semakin rendah.

(62)

sebagai individu, kurang dapat mengekspresikan diri, kurang yakin akan kemampuan dirinya, mudah terpengaruh dengan perkataan teman-temannya, mudah terasingkan (Coopersmith, 1967), dan mudah mengeluh ketika tidak dapat melakukan sesuatu, serta lebih suka menerima hasil perilaku orang lain daripada memulai tindakan sendiri (Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Remaja putri yang memiliki harga diri rendah cenderung melakukan konformitas agar dirinya tidak mengalami penolakan (Asch dalam Aronson, Wilson & Akert, 2005) dan dinilai negatif (Lin & Chen, 2012) oleh kelompok acuan. Remaja putri bersedia melakukan apapun yang menjadi aturan dari kelompok tersebut (Sears dkk, 1985).

(63)

meningkatnya konformitas pada remaja yang memiliki harga diri yang rendah, maka kemungkinan untuk melakukan pembelian impulsif juga meningkat. Pembelian impulsif rentan terjadi saat remaja putri berbelanja bersama teman-temannya di sebuah toko karena remaja putri lebih sering menghabiskan waktu berbelanja (Lin & Chuang, 2005; Lin & Chen, 2012) bersama teman-temannya. Remaja putri cenderung membeli secara impulsif karena takut dinilai negatif oleh kelompoknya (Lin & Chen, 2012)

Berdasarkan paparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja putri yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung tidak melakukan konformitas sehingga pembelian impulsif rendah. Sedangkan remaja putri dengan harga diri yang rendah cenderung melakukan konformitas sehingga pembelian impulsif meningkat.

Gambar 1 Model Konformitas sebagai Mediator

2. Konformitas sebagai Moderator

Berdasarkan struktur hubungan antara harga diri, konformitas, dan pembelian impulsif, kerangka kerja konformitas sebagai moderator menunjukkan bahwa pembelian impulsif terjadi dikarenakan adanya

Harga Diri Pembelian

Impulsif

(64)

interaksi antara harga diri dan konformitas. Oleh karena itu, hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif dimoderasi oleh konformitas.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rambe (dalam Hafiyah, 2009) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara bentuk konformitas dengan tingkat harga diri yang dimiliki oleh individu. Tidak selalu pelajar dengan harga diri rendah menampilkan konformitas, begitu juga tidak selalu pelajar dengan harga diri tinggi tidak menampilkan konformitas (Hafiyah, 2009). Oleh karena itu remaja dengan harga diri yang tinggi maupun rendah dapat memiliki konformitas yang tinggi maupun rendah juga.

(65)

mengikuti konformitas yang negatif. Dalam hal ini, contoh konformitas yang positif seperti belajar bersama kelompok, berorganisasi (Santrock, 2002), membeli aksesoris bersama teman-teman (Natalia, 2009) atau pergi berkumpul dengan teman. Oleh karena itu, pembelian impulsif yang rendah bukan berdasarkan tingkat konformitas yang tinggi, melainkan berdasarkan tingkat harga diri yang tinggi pada remaja putri tersebut.

Remaja putri yang memiliki harga diri yang tinggi dan memilih untuk tidak melakukan konformitas. Remaja putri ini memiliki pribadi yang tidak mudah terpengaruh dengan orang lain mengenai pernyataan negatif maupun positif tentang dirinya. Mereka juga dapat menerima kritik dengan baik, mengekspresikan diri sendiri secara mandiri, aktif, mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang sekitar (Coopersmith, 1967). Berdasarkan pribadi yang telah disampaikan tersebut, maka kemungkinan untuk terjadinya pembelian impulsif semakin rendah. Hal tersebut didukung dengan adanya penelitian yang menjelaskan bahwa semakin rendah tingkat konformitas seseorang maka pembelian impulsif juga akan rendah (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009). Pembelian impulsif yang rendah bukan hanya karena tingkat konformitas yang rendah saja, melainkan juga dikarenakan remaja putri memiliki tingkat harga diri yang tinggi.

(66)

sebagai individu, kurang dapat mengekspresikan diri, kurang yakin akan kemampuan dirinya, mudah terpengaruh dengan perkataan teman-temannya, mudah terasingkan (Coopersmith, 1967), dan mudah mengeluh ketika tidak dapat melakukan sesuatu, serta lebih suka menerima hasil perilaku orang lain daripada memulai tindakan sendiri (Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Remaja putri seperti ini cenderung akan melakukan konformitas agar dirinya mendapatkan kenyamanan bersama teman-temannya sehingga cenderung lebih berani melakukan suatu hal (Gunarsa & Gunarsa, 2009). Biasanya, remaja yang melakukan konformitas cenderung melakukan tindakan negatif (Santrock, 2002; King, 2010) dan berdampak negatif (Constanzo dalam Worchel & Cooper, 1979) terlebih pada mereka yang memiliki harga diri rendah karena mereka tidak ingin mengalami penolakan secara sosial (Asch dalam Aronson, Wilson & Akert, 2005) dan dinilai negatif (Lin & Chen, 2012) oleh kelompok acuan. Remaja putri bersedia melakukan apapun yang menjadi aturan dari kelompok tersebut (Sears dkk, 1985). Oleh karena itu, dengan meningkatnya konformitas pada remaja yang memiliki harga diri yang rendah, maka kemungkinan untuk melakukan pembelian impulsif juga meninggi. Pembelian impulsif meningkat tidak hanya dikarenakan tingginya konformitas saja melainkan rendahnya harga diri remaja putri juga meningkatkan pembelian impulsif.

(67)

impulsif yang dilakukan juga akan rendah. Hal tersebut dikarenakan remaja putri yang memiliki harga diri yang rendah cenderung tidak yakin akan diri sendiri, kurang yakin dalam melakukan sesuatu, kurang dapat bertanggung jawab ketika melakukan tindakan yang yang berdampak negatif, selalu mengeluh (Baron, Byrne & Branscombe, 2006), cenderung lebih inferior, memiliki ketakutan dalam berelasi dengan sosial, kurang dapat mengekspresikan diri, kurang berarti dimata orang lain, kurang dijadikan panutan dan adanya penolakan dari lingkungan (Coopersmith, 1967; Brown dalam Passer & Smith, 2007) sehingga mereka memilih untuk tidak melakukan konformitas dan pembelian impulsif kemungkinan tidak terjadi. Selain itu, beberapa penelitian konformitas dan pembelian impulsif menunjukkan korelasi yang positif. Dalam hal ini berarti jika konformitas seseorang rendah maka pembelian impulsif akan rendah juga (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009).

(68)

Gambar 2 Model Konformitas sebagai Moderator

F. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan dinamika penelitian, maka muncul pertanyaan apa peran konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif pada remaja putri ?

Harga Diri

Konformitas

Harga Diri * Konformitas

(69)

Gambar 3 Framework Penelitian Konformitas sebagai Mediator

Pembelian Impulsif

Tinggi Harga Diri

Pembelian Impulsif

Rendah Konformitas

Rendah

Konformitas Tinggi Harga Diri

Tinggi

(70)

a.

b.

c.

d.

(71)

51

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasi yang menghubungkan antara variabel independen dengan variabel dependen. Peneliti ingin melihat korelasi dari harga diri dengan konformitas, konformitas dengan pembelian impulsif, dan harga diri dengan pembelian impulsif. Berdasarkan struktur hubungan tersebut, peneliti juga ingin mengetahui peran dari konformitas dalam hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif.

B. IDENTIFIKASI VARIABEL

Variabel dependen : Impulsive Buying (Pembelian impulsif) Variabel independen : Harga diri dan Konformitas

C. DEFINISI OPERASIONAL

1. Impulsive Buying (Pembelian Impulsif)

Pembelian impulsif adalah suatu pembelian yang dilakukan secara spontan atau tiba-tiba tanpa adanya perencanaan atau pertimbangan sebelumnya. Biasanya pembelian impulsif terjadi karena adanya stimulus tertentu sehingga pembeli dapat melakukan pembelian secara cepat dan biasanya berujung pada penyesalan.

(72)

merencanakan sesuatu ketika melakukan pembelian. Sedangkan aspek afeksi menjelaskan bahwa pembeli melakukan pembelian impulsif karena memiliki perasaan senang dan gembira ketika menginginkan suatu barang untuk dibeli serta memiliki kesulitan untuk meninggalkan keinginannya itu. Tetapi, setelah melakukan pembelian, biasanya muncul rasa penyesalan

Pembelian impulsif akan diukur menggunakan skala kecenderungan pembelian impulsif seseorang yang dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek dari pembelian impulsif. Kecenderungan yang dimaksudkan adalah seberapa sering pembelian impulsif remaja putri dilakukan. Semakin tinggi skor pembelian impulsif yang dimiliki, maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya pembelian impulsif. Sebaliknya, semakin rendah skor pembelian impulsif, maka kemungkinan melakukan pembelian impulsif semakin rendah.

2. Konformitas

Konformitas ialah tindakan yang dilakukan atau diyakini seseorang berdasarkan norma sosial agar dapat diterima secara sosial. Konformitas tetap dilakukan meskipun bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya. Konformitas biasa terjadi dikarenakan adanya tekanan dari kelompok acuan.

Gambar

Tabel 2 Blue Print Skala Pembelian Impulsif......................................................
Gambar 18.  Scatterplot Model Moderator...........................................................
Tabel 1  Tabel Spesifikasi Skala Harga Diri
Gambar 1 Model Konformitas sebagai Mediator
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih. sebelum masa

telah Allah ajarakan kepada Nabi Adam pada saat di surge yang nantinya menjadi. pengetahuan bagi Adam ketika dia hidup di

Partai politik yang dibentuk akan menyiapkan kader yang faham dengan Islam serta mau berjuang demi Islam, kader-kader ini dibentuk dengan pendidikan pengajian rutin mingguan

Bahasa C merupakan bahasa pemrograman yang bersifat portable, yaitu suatu program yang dibuat dengan bahasa C pada suatu komputer akan dapat dijalankan pada komputer lain

Setiap entitas pelaporan mengungkapkan setiap pos aset dan kewajiban yang mencakup jumlah-jumlah yang diharapkan akan diterima atau dibayar dalam waktu 12 (dua belas)

Berdasarkan ketiga tahapan dalam pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan desa wisata di Desa Sukawening dapat dikatakan bahwa masyarakat mulai memiliki semangat dan

Hasil penelitian tentang urea darah juga ditampilkan pada Tabel 1, dan dapat diketahui bahwa kadar urea darah pada sapi Jawa yang diberi pakan konsentrat dengan

Kepemimpinan dalam lembaga pendidikan islam mencakup kepala madrasah dan guru yang mempunyai peran yang sangat urgen dalam memberdayakan ummat. Tujuannya adalah untuk