• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIMBINGAN BERLANDASKAN NEO-SUFISME UNTUK MENGEMBANGKAN PERILAKU ARIF.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BIMBINGAN BERLANDASKAN NEO-SUFISME UNTUK MENGEMBANGKAN PERILAKU ARIF."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

(Suatu Ikhtiar Pemaduan Pendekatan Idiografik dan Nomotetik terhadap Orang Arif dan Mahasiswa)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh

Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Bimbingan dan Konseling

Promovendus Ridwan 1104514

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

UNTUK MENGEMBANGKAN PERILAKU ARIF

Oleh Ridwan

Drs. dalam BP FKIP Universitas Udayana Denpasar, 1986 M.Pd. dalam Penelitian dan Evaluasi Pendidikan IKIP Jakarta, 1994

Dr. dalam BK Universitas Pendidikan Indonesia, 2014

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Sekolah Pascasarajana UPI

© Ridwan 2014

Universitas Pendidikan Indonesia November 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

Judul Disertasi:

Bimbingan Berlandaskan Neo-Sufisme untuk Mengembangkan Perilaku Arif (Suatu Ikhtiar Pemaduan Pendekatan Idiografik dan Nomotetik

terhadap Orang Arif dan Mahasiswa)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI

Promotor Merangkap Ketua

Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd

Kopromotor Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. Syamsu Yusuf L.N., M.Pd.

Anggota

Dr. Mamat Supriatna, M.Pd.

Mengetahui Ketua Program Studi

(4)

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Penelitian 1

A. Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian 8

B. Penjelasan Istilah 12

C. Tujuan Penelitian 13

D. Manfaat Penelitian 14

E. Kerangka Kerja Penelitian 15

BAB II TEORI PERILAKU ARIF DAN KERANGKA

MODEL BIMBINGAN BERBASIS NEO-SUFISME 17

A. Orang ‘Ãrif Billâh Neo-Sufisme

17 1. Pengertian Orang ‘Ãrif, Arif dan ‘Irfãn 17 2. Sufisme (Tasawuf) dan Orang Arif Neo-Sufisme 20 3. Paham Ahli Sunah, Tasawuf Modern dan Neo-Sufisme 25 4. Orang Arif, Insan Kamil dan Kepribadian Utuh

(Kâffah)

28

5. Keteladanan Orang Arif Neo-Sufisme Kontemporer 31

B. Pengembangan Perilaku Arif 33

1. Perilaku dan Akhlak 33

2. Niat dan Perilaku 35

3. Hati sebagai Pusat Pengembangan Perilaku Arif 36 C. Analisis Perilaku Arif dan Hasil Studi yang Terkait 44

1. Analisis Aspek Perilaku Arif 45

2. Hasil Studi yang Terkait dengan Perilaku Arif 58

3. Hubungan Struktural Perilaku Arif 60

D. Tahapan Mencapai Makrifat dan Perilaku Arif Neo-Sufisme 63 1. Tahapan Perjalanan Syariat untuk Mencapai Hakikat 63 2. Tahapan Perjalanan Hati untuk Mencapai Makrifat dan

Perilaku Arif

(5)

3. Penyucian Diri (Tazkiyât an-Nafs) dalam Tahapan Per-jalanan

72

4. Hubungan Tingkatan Usia dengan Pencapaian Makrifat dan Perilaku Arif

1. Pendekatan Penelitian dan Pengembangan (R&D) 86 2. R&D untuk Mengembangkan Pengetahuan Nomotetik dan Ideografik 87 3. Pemaduan Pendekatan Penelitian 88 4. Prosedur dan Tahapan Penelitian Pengembangan BBN 88 B. Subjek Penelitian 94 1. Subjek Penelitian Kualitatif 94 2. Sampel Penelitian Kuantitatif 97 C. Pengembangan Instrumen Penelitian 97 1. Pengembangan Instrumen Penelitian Kualitatif 98 2. Pengembangan Instrumen Penelitian Kuantitatif 104 D. Teknik Analisis Data 113 1. Teknik Analisis Data Kualitatif 113 2. Teknik Analisis Data Kuantitatif 115 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 119 A. Hasil Studi Awal Perilaku Arif Mahasiswa dan Pembahasan 1. Profil Perilaku Arif Mahasiswa STKIP HAMZANWA-DI Selong 119

(6)

D. Pembahasan Hasil Studi Perilaku dan Ajaran Orang Arif 150

1. Perbandingan Perilaku Tokoh Arif 150

2. Perbedaan Dasar dan Bentuk Ajaran 159

E. Pertimbangan untuk Membangun Konsep Pokok BBN 167

F. Hasil Penimbangan Pakar Delphi terhadap Konsep Pokok BBN 169

G. Pengujian Hipotesis 172

1. Uji Hipotesis Efektivitas BBN 172

2. Uji Hipotesis Model Fit antar Dimensi Perilaku Arif 174

3. Uji Hipotesis Hubungan Variabel Laten dengan Varia-bel Manifest 175

H. Testimoni Mahasiswa terhadap Perilaku Arifnya 175

1. Dekat dengan Allah melalui Perilaku Makrifat 176

2. Dekat dengan Allah melalui Perilaku Mencintai-Nya 177

3. Dekat dengan Allah melalui Mementingkan Orang Lain 178

4. Dekat dengan Allah melalui Perilaku Kesatria 179

5. Dekat dengan Allah melalui Perilaku Produktif 180

I. Refleksi Keefektivan BBN 182

1. Perbandingan Perilaku Orang Arif dan Mahasiswa 182

2. Perilaku Arif Mahasiswa sesuai dengan Teori 183

3. Perkembangan Perilaku Arif Mahasiswa 184

4. Mengapa Hubungan Indikator Perilaku Tertentu tidak Signifikan? 186

J. Keterbatasan Penelitian 189

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 191

A. Kesimpulan 191

B. Rekomendasi 192

DAFTAR PUSTAKA 197

RIWAYAT HIDUP PENELITI 211

(7)
(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

1.2 Hubungan perilaku orang arif dengan studi terdahulu yang re-levan

61

2.2 Ketokohan dan ajarannya untuk mencapai makrifat dan perilaku arif

65

3.2 n Titik temu maqam Syahadat Tafsir, persinggahan al-Jauziyah dan maqâm Pertama Hawwa

67

4.2 Titik temu maqam Salat Tafsir, persinggahan al-Jauziyah dan maqâm Kedua Hawwa

68

5.2 Tingkat makrifat syariat, tharîqat dan hakikat dari Sayyid‘Amuli 70 6.2 Tingkatan kehadiran hati untuk mencapai makrifat menurut

al-Khumaini

71

1.3 Ringkasan subjek penelitian 94

2.3 Daftar nama expert judgment metode Delphi 96 3.3 Ringkasan pengembangan instrumen penelitian BBN 98

4.3 Kisi-kisi instrumen perilaku arif 109

5.3 Masukan dan komentar pakar terhadap instrumen perilaku arif 111

6.3 Ringkasan teknik analisis data 114

7.3 Kategori analisis masukan pakar Delphi 115

8.3 Kriteria perilaku arif 116

9.3 Kategori dan deskripsi perilaku arif 117

1.4 Gambaran Umum Perilaku Arif Mahasiswa STKIP HAMZAN-WADI Tahun Akademik 2013/2014

123 2.4 Gambaran Perilaku Arif Mahasiswa STKIP HAMZANWADI

Tahun Akademik 2013/2014

124

3.4 Gambaran Indikator dari Aspek Perilaku Arif Mahasiswa STKIP HAMZANWADI Tahun Akademik 2013/2014

125

4.4 Gambaran Indikator dari Aspek Perilaku Arif Mementingkan Orang lain, Kesatria dan Produktif Mahasiswa STKIP HAM-ZANWADI Tahun Akademik 2013/2014

126

5.4 Perbandingan perilaku tiga tokoh arif 154

6.4 Perbandingan dasar ajaran orang Arif 160

7.4 Perbandingan bentuk ajaran orang Arif 161

8.4 Pemaduan kerangka konsep BBN dengan hasil studi tokoh 168

9.4 Struktur satuan layanan pembukaan BBN 191

10.4 Struktur satuan layanan Tahapan Syahadat 192

11.4 Struktur satuan layanan Tahapan Salat 194

(9)

Tabel Hal

16.4 Ringkasan hasil uji hipotesis korelasi antar dimensi perilaku arif 207 17.4 Ringkasan hasil uji hipotesis model hubungan antar aspek

peri-laku arif

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

1.2 Grand Theory Orang Arif Neo-Sufisme 24 2.2 Faktor-faktor penentu perilaku dari Ajzen dan Fishbein 36 3.2 Interaksi Roh dengan Jasad melahirkan Nafs serta

kompo-nennya

39

4.2 Empat lapisan hati dari Husayn an-Nuri dan at-Tirmidzi 41 5.2 Konstruk perilaku arif dan hubungan di antara mereka 62 6.2 Teori tahapan bimbingan berbasis Neo-Sufisme, tingkat

pencapaian perilaku arif dan orang ‘ârif billâh

79

7.2 Skema kerangka layanan bimbingan dalam BBN 80 1.3 Tahapan penelitian dan pengembangan BBN 87 2.3 Prosedur dan tahapan penelitian untuk mengembangkan BBN 89

3.3 Desain eksperimen efektivitas BBN 92

4.3 Variabel laten dan variabel manifest dalam perilaku arif 106 1.4 Tujuh lapisan hati Ajaran Abah Anom di TQN 141

2.4 Skema Pokok-pokok ajaran Abah Anom dalam TQN 143

3.4 Skema Pokok-pokok ajaran Pak Amin 146

(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Hal

1.4 Profil Perilaku Arif Mahasiswa STKIP HAMZANWADI Selong 123

2.4 Profil Indikator Perilaku Arif Mahasiswa STKIP HAMZANWADI

pada Dimensi Makrifatullah dan Cinta pada Allah dan Rasul-Nya

127

3.4 Profil Indikator Perilaku Arif Mahasiswa STKIP HAMZANWADI

pada Dimensi Mementingkan Orang lain, Kesatria dan Produktif

128

4.4 Profil Dimensi Perilaku Arif, sebelum dan sesudah eksperimen 205 5.4 Profil indikator dari dimensi Kenal Allah dan cinta Alah dan

Rasul-Nya sebelum dan sesudah eksperimen

205

6.4 Profil indikator dari aspek mementingkan orang lain, kesatria dan produktif, sebelum dan sesudah eksperimen

(12)

ABSTRAK

Ridwan. 2014. Disertasi “Bimbingan Berlandaskan Neo-Sufisme untuk

Mengembangkan Perilaku Arif (Suatu Ikhtiar Pemaduan Pendekatan Ideografik dan

Nomotetik terhadap Orang Arif dan Mahasiswa).” Dibimbing oleh Prof. Dr. H. Sunaryo

Kartadinata, M.Pd. (promotor); Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M.Pd. (ko-promotor); dan Dr. H. Mamat Supriatna, M.Pd. (anggota promotor). Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Penelitian ini berawal dari permasalahan berupa masih rendahnya perilaku arif mahasiswa, yakni masih dalam tingkat dominan akal, dan belum menggunakan akal dan hati. Perilaku tersebut meliputi perilaku kenal Tuhan (makrifat), cinta Allah dan Rasul-Nya, mementingkan orang lain, kesatria dan produktif, padahal umumnya mereka diproyeksikan setelah menyelesaikan studi akan menjadi pendidik dan atau tenaga kependidikan, yang dalam bertugas selalu berhubungan atau melayani manusia. Permasalahan perilaku arif mahasiswa menuntut perlunya suatu pendekatan bimbingan untuk membantu mengatasinya. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan bimbingan berlandaskan Neo-Sufisme (BBN) untuk mengembangkan perilaku arif mahasiswa. Bimbingan tersebut dikembangkan dari studi literatur dan studi perilaku serta ajaran tokoh (orang) arif pondok pesantren, tokoh arif akademik dan tokoh arif pemerintahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan melalui metode kuantitatif dan kualitatif. Penelitian terdiri atas tiga langkah yaitu, studi pendahuluan, pengembangan BBN, uji BBN dan sosialisasi. Hasil studi pendahuluan penelitian menunjukkan: (1) perilaku tiga tokoh arif kontemporer sesuai dengan perilaku orang arif klasik, (2) ajaran mereka dikelompokkan ke dalam dasar ajaran dan bentuk ajaran; (3) perilaku arif mahasiswa STKIP HAMZANWADI Selong secara umum dan juga ditinjau per jurusan berada pada kategori Tingkat II, perilaku arif dengan dominan akal. Artinya bahwa mahasiswa tersebut umumnya belum sampai kepada pencapaian perilaku arif kategori Tingkat III, yakni dengan akal dan hati. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa orientasi perilaku mahasiswa berkisar pada untung-rugi atau pahala-dosa. Hasil validasi pakar Delphi dan empirik menunjukkan bahwa BBN efektif untuk mengembangkan perilaku arif mahasiswa pada semua indikator perilaku arif. Dengan demikian, BBN dapat dipertimbangkan dalam penerapan program bimbingan untuk mengembangkan perilaku arif. Rekomendasi penelitian ini ditujukan untuk Kemendikbud, ABKIN, UPT LBK, Program Studi BK, dan peneliti selanjutnya.

(13)

ABSTRACK

Ridwan. 2014. Dissertation “Neo-Sufism Based Guidance for Developing Noble

Behaviour (Ideographic and Nomothetic Study on Noble People and Students”).

Supervised by Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. (promoter); Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M.Pd. (co-promoter); and Dr. H. Mamat Supriatna, M.Pd. (member of dissertation committe). Guidance and Counseling Studies Program, School of Postgraduate Studies, Indonesia University of Education, Bandung.

The study was conducted due to the problem of insufficiency of students’ noble

behavior on which students merely put it on their minds and do not use both their minds and hearts as they perform it. The behavior included knowing God (makrifat), loving Allah and His Messenger, and being altruistic, chivalric, and productive. Most of students did not possess those such qualities, whereas they would be either an educator or education personnel in the future who would work with and serve people. The problem of

insufficiency of students’ noble character needed to be overcome by an approach of

appropriate guidance model. The purpose of the study was to produce Neo-Sufism Based

Guidance Model (BBN) for developing students’ noble behavior. That model was developed through literature and behavior studies and also lessons shared by individuals whose noble behavior at Islamic boarding schools, educational institutions, and government. This study employed research and development approach with both quantitative and qualitative methods. The study consisted of three phases which were preliminary study, model development, model testing and dissemination. The preliminary study found that: (1) the behavior of the tree contemporary figures suited the behavior of the classic figures; (2) their teaching was categorized into teaching foundation and form; (3) the noble behavior of the students at STKIP HAMZANWADI Selong in general and in each department was at the category of level II, the noble character merely employing minds. It meant that the students had not reached yet the noble behavior with its category of level III that employed both minds and hearts. This fact indicated that the orientation

of the students’ behavior was about cost-benefit or reward-sin. The results of validation by the expert, Delphi, and empirical facts revealed that Neo-Sufism based guidance model could be considered in the development of guidance program to build noble behavior. The recommendations of this study were for the ministry of education and culture, ABKIN, UPT LBK, the program of guidance and counseling studies, and future researchers.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Penelitian

1. Generasi Emas 2045 dan Reformasi Mindset

Keadaan akhir-akhir ini menghendaki reformasi atau bahkan revolusi

ter-hadap tata pikir (mindset) dan moral bangsa (Kartadinata, 2014: 89). Karena seba-gian orang tidak lagi bijak (arif) dalam menyikapi hidup. Di masyarakat, orang

le-bih mudah curiga daripada saling percaya, lele-bih mudah mengambil daripada memberi, lebih mudah menerjang atau mendahului daripada memberi jalan (At-mosutidjo, 2012: xiii). Di bidang pendidikan, ditengarai adanya isu mindset yang sakit, menyederhanakan arah dan tujuan pendidikan, membentuk perilaku instant, dan mengingkari hakikat pendidikan (Kartadinata, 2010: 49-50; 2012a: 10). Pada ujian nasional (UN) 2013, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi memandang

“carut-marutnya UN sebagai masalah serius, di mana penyelenggaraannya makin

buruk” (Kompas, 24 April 2013: 3). Abbas mengatakan bahwa, “proses pendi

-dikan seperti inilah (UN, pen.) yang akan menjauhkan anak dari kejujuran, kerja keras, dan kemandirian (Kompas, 24 April 2013: 6); bahwa lulusan pendidikan juga sanggup berbohong, merampas hak orang lain, tega korupsi, ingin benar sen-diri, tidak peka terhadap rakyat jelata (Tafsir, 2012c: 129).

Di pihak lain, dengan diberlakukan Kurikulum 2013 menampilkan harap-an baru dharap-an kekhawatirharap-an. Harapharap-an barunya adalah bahwa, Indonesia akharap-an mela-hirkan generasi emas pada 2045 (Furqon, 2013). Generasi emas tersebut ber-landaskan pada tujuan utuh pendidikan nasional Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Kartadinata, 2013). Oleh para pakar, tujuan utuh tersebut dituangkan ke dalam empat gugus, yakni sikap spiritual, sikap so-sial, pengetahuan dan keterampilan (Supriatna, 2014a), sehingga generasi emas

(15)

Penelitian ini menghendaki generasi emas dengan kepribadian utuh ter-sebut harus ditegakkan oleh kekuatan penyatu, yakni Tuhan Yang Maha Menya-tukan. Karena itu, untuk dapat menegakkannya perlu kenal Tuhan (makrifat pada-Nya) terlebih dahulu. Mengenal-Nya secara baik berarti telah menjadi orang arif. Mengenal Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya menjadi jati diri bangsa Nusantara ini. Dasar Negara Pancasila, yang merupakan intisari dari budaya

bang-sa, diawali dengan pernyataan bahwa setiap warga negara harus meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Esa. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Kartadinata (2014: 27) mengatakan bahwa kebudayaan bangsa menjadi rujukan utama pem-bentukan jati diri bangsa. Oleh karena itu, mengamalkan nilai-nilai Pancasila, yang diawali dengan mengenal Tuhan (makrifat) dengan baik dan benar, berarti jalan utama menuju kearifan. Tetapi yang terjadi adalah masih jauh dari harapan, Pancasila lebih sering menjadi hafalan bukan pengamalan.

Dengan demikian, pada paparan di atas ditunjukkan adanya inkonsistensi dan kesenjangan. Generasi emas yang dimaksud tidak akan tercapai bila tidak dilakukan reformasi atau revolusi tata pikir secara utuh. Dalam agama, agar pikir-an lurus perlu dibersihkpikir-an dari tarikpikir-an hawa nafsu. Seseorpikir-ang tidak dapat membe-baskan diri dari kesalahan karena sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan (QS. Yusuf [12]: 53).

Nabi Muhammad bersabda, “Musuhmu yang paling besar adalah nafsumu yang

berada di antara kedua lambungmu” (HR. Baihaqi, dalam al-Jaylani, t.th.: 54). Nafsu lebih cenderung mengikuti jalan yang dibuatnya sendiri, enggan mengikuti jalan Tuhan karena berisi larangan (Tafsir, 2012a: 16). Nafsu (nafs) yang meng-arah pada keburukan adalah nafs ammârah atau diri yang zalim (Frager, 2002:

87) Dengan demikian, mengikuti hawa nafsu menjadi penghalang utama berpikir lurus.

(16)

mengikuti hawa nafsu berarti telah mengaburkan sifat insaninya sehingga me-nutup pencapaian kemanusiaan yang Lebih Tinggi (Schumacher, 1988: 160). Ka-rena itu, reformasi mindset harus sampai pada pengendalian nafsu, sementara hal tersebut belum mendapat perhatian semestinya karena keterbatasan psikologi.

Dengan demikian, ada masalah serius sehubungan dengan kearifan bangsa. Kearifan mungkin merupakan aspek yang lebih vital daripada kecerdasan (Surya,

2003: 73). Karena itu, dalam pendidikan seharusnya lebih mengedepankan pen-didikan hati (Hawwa, 1995: 112; Furqon, 2014). Bagaimana halnya dengan ke-arifan mahasiswa yang sering disebut sebagai pelopor perubahan?

2. Fenomena Kearifan Mahasiswa

Mahasiswa dan pemuda pada umumnya, selalu identik dengan perubahan sosial di Indonesia, yang memiliki semangat perubahan, idealisme yang luhur dan semangat kepeloporan yang membentuk zaman yang berpihak pada keadilan dan kemanusiaan (Dault, 2008: 8). Pada hakikatnya pernyataan tersebut menghendaki agar pada pemuda menjadi arif, terutama untuk berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Di samping itu, hasil penelitian Mutmainnah, Wahyudi dan Said (2013) menyimpulkan perlunya wawasan mahasiswa pada kearifan lokal dalam khazanah nilai-nilai kebijaksanaan bangsa.

Tetapi dalam kenyataannya, Dault (2008: 8) mencatat bahwa “mahasiswa

sebagai kaum intelektual muda, kini tengah berada di persimpangan: antara per-juangan idealisme dan pragmatisme. Jargon sebagai agent of change and social control, kini mulai pudar ….” Karsono (2008: 162) mengidentifikasi bahwa, realitas pemuda saat ini begitu larut dalam budaya hedonisme dan materialisme; bangga dengan materi yang didapatnya, dan hidup glamour menjadi sesuatu yang

dibanggakan, yang merambah sampai ke pedesaan; terbuai mimpi enak tanpa per-juangan, dan telah melupakan sejarah.

(17)

mengaki-batkan meninggalnya dua orang mahasiswa Universitas Negeri Makasar; pada tahun itu pula perkelahian terjadi di Universitas Veteran Republik Indonesia Makasar yang dipicu oleh pelemparan batu dari FKIP ke Fakultas Teknik yang mengenai seorang mahasiswi (Anonim, 2012c). Pada 2013 terjadi tawuran ma-hasiswa, dengan membawa badik di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makasar yang dipicu oleh perselisihan dalam pertandingan olah raga yang

berlarut-larut (Anonim, 2012d). Pada 2014 terjadi tawuran antar mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Teknik Universitas Samratulangi Manado, yang berlanjut dengan pembakaran sejumlah gedung milik Fakultas Teknik (Anonim, 2012e). Mungkin masih banyak lagi bentrok di antara mereka, yang menunjukkan betapa rapuhnya sebagian mentalitas mahasiswa.

Catatan Dault, Karsono dan Suryo di atas serta sejumlah kasus perkelahian di atas, menguatkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia sedang kehilangan ke-arifan. Dengan itu, mereka dilanda budaya materialisme dan hedonisme, serta mudah terprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan. Hidup glamour yang ditunjukkan mahasiswa dan terbuai mimpi enak tanpa perjuangan sama sekali tidak mencirikan mereka sebagai peserta didik. Tidak hanya hanya itu, perbuatan mereka juga telah menjerumuskan diri kepada kebinasaan.

Bila dianalisis, ternyata ada yang hilang pada diri mereka. Senang hidup glamour dan mimpi enak tanpa perjuangan adalah ciri perilaku instant. Bila

se-perti itu keadaannya, maka yang hilang dari diri mereka adalah sikap arif. Me-reka tidak sabar untuk menunggu hasil perjuangan, ingin menikmati hasil dengan segera, atau bahkan mengambil jalan pintas untuk dapat mencapai kesenangan. Yang diinginkan mereka adalah uang, dan untuk mendapatkan uang tak segan

melakukan tindak kriminal.

Dengan demikian, ada masalah psikis mereka yang perlu mendapat

per-hatian. Tetapi sayangnya, ada keterbatasan psikologi yang digunakan dalam Bim-bingan dan Konseling dalam memandang hakikat manusia.

3. Keterbatasan Aliran Psikologi dalam Memandang Hakikat Manusia

(18)

1986; Muro dan Kottman, 1995). Bila dikaitkan dengan sistem pendidikan nasio-nal, tujuan tersebut mengacu kepada tujuan pendidikan suatu bangsa (UU Sis-diknas, 2003). Berdasarkan tujuan tersebut, para pakar mengembangkan model-model bimbingan dan konseling dengan landasan filosofis tertentu (Corey, 2005). Akan tetapi, model-model tersebut memiliki sejumlah keterbatasan sehingga hasil

bimbingan hanya bersifat “kulit luar saja” (Dahlan, 1988: 15; Sutoyo, 2009: 4).

Aliran Psikodinamik terlalu pesimistik, deterministik, dan reduksionis dalam memandang manusia (Corey, 1985: 15; Dahlan, 1988: 15); Behaviorisme terlalu berani dalam menganalogikan manusia dengan binatang, terlalu menekankan aspek lingkungan dan kurang menghargai potensi manusia (Dahlan, 1988: 16). Sebaliknya, Humanisme terlalu optimistik, terlalu mendewakan manusia (Dahlan, 1988: 22). Tiga rumpun Psikodinamik, Behavioristik dan Humanistik tersebut disebut mewakili Kekuatan I, Kekuatan II dan Kekuatan III dalam psikologi (Pedersen, 1996).

Selanjutnya, ketiga rumpun psikologi di atas menggunakan pendekatan klinis (Sutoyo, 2009: 10). Timbul pertanyaan: model manusia bagaimana yang diinginkan setelah konseli mampu menyelesaikan masalahnya? Pertanyaan ter-sebut sangat penting, karena model manusia yang diinginkan menjadi rujukan se-mua upaya bimbingan dan konseling. Bisa jadi pula dengan tidak adanya pegang-an, lahirlah orang-orang pintar tapi tak benar: pintar karena mengutamakan akal, tapi tak benar karena menyingkirkan hati (Frager, 2002: 62). Bila hati disingkir-kan, pintu untuk mengenal Tuhan jadi tertutup (al-Ghazali, 2002b: 225; Hawwa, 1995: 112; Shihab, 2011: 151). Karena itu, bila hanya bersandar pada aliran di atas maka generasi emas 2045 tidak akan tercapai.

4. Pandangan Multikultur dan Spiritual terhadap Manusia

Kelemahan pendekatan klinis di atas diperbaiki dengan konsep bimbingan dan konseling berbasis tugas-tugas perkembangan (Departemen Pendidikan

(19)

dengan bangsa Indonesia yang religius, maka model akan mengadopsi tugas-tugas perkembangan individu dalam Islam, dalam Kristen, Hindu, Budha, dan Confu-sius. Model ini adalah model manusia berbasis ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan agama, yakni dari ilmu pengetahuan dibawa ke dalam agama.

Di samping itu, muncul model manusia dalam Bimbingan dan Konseling Islami. Sutoyo (2006) meneliti tentang model konseling Qur‟anik untuk mewu

-judkan manusia kãffah (utuh) pada mahasiswa; dan Suherman AS (2011: 30) mengembangkan bimbingan dan konseling komprehensif berbasis nilai-nilai

al-Qur‟an. Model tersebut adalah model manusia kãffah Islam untuk pengembangan

pengetahuan, yakni dari internal ajaran Islam untuk ilmu pengetahuan (model internal), sementara model multikultur adalah model eksternal.

Dua model terakhir merupakan Kekuatan IV dan V dalam perkembangan psikologi (Pedersen, 1996: 227-231). Kekuatan terakhir perlu disambut secara khusus karena ia memberikan kekuatan baru. Witmer dan Sweeney (1992: 140-142) mengembangkan apa yang disebut dengan wellness, yakni suatu konsep tentang keutuhan internal dan eksternal dari kepribadian yang sehat. Witmer dan Sweeney menunjukkan bahwa inti wellness adalah spiritualitas, yang menentukan regulasi diri. Spiritualitas adalah tugas hidup pertama dan yang paling inti serta sentral dalam kebulatan wellness.

Oleh karena itu, model manusia yang perlu dikembangkan perlu berbasis kekuatan inti manusia. Sejarah membuktikan bahwa, dengan menggunakan hati nurani, yang dipandang sebagai hakikat manusia, telah lahir manusia-manusia utuh yang disebut dengan orang arif atau insan kamil (Muthahhari, 2002: 34; Takeshita, 2005: 135). Beberapa waktu belakangan ini, sebagian orang

menge-nyampingkan faktor hati dalam pendidikan, dan percaya pada kemampuan rasio sehingga melahirkan Rasionalisme.

5. Kegagalan Rasionalisme dan Kebutuhan untuk Kembali ke Hati Nurani

(20)

rasio akan menjadi Rasionalisme, padahal telah diketahui bahwa rasio atau akal terbatas (Shihab, 2010a: 75; Suherman AS, 2011: 24; Tafsir, 2012c: 14). Karena keterbatasannya, maka Rasionalisme gagal dalam mengantarkan manusia manuju kebahagiaan sejati.

Rasionalisme bekerja dengan nafsu (Frager, 2002: 86; Afif, 2012: 68). Nafsu tidak mau diajak hidup menderita, ia senang dengan kesenangan, sehingga

orang cenderung menjadi hedonis. Hedonisme adalah turunan Pragmatisme; Prag-matisme bersama Liberalisme lahir dari Rasionalisme. Karena itu, yang paling strategis adalah memerangi Rasionalisme, bahwa ia pemikiran yang salah (Tafsir, 2012b: 105). Hal ini menghendaki agar kembali ke hati.

Dengan keterbatasan psikologi, pengendalian hawa nafsu belum menda-pat perhatian semestinya. Hawwa (1995: 12) mengatakan bahwa sekarang ini

barada dalam zaman materialisme, zaman hawa nafsu yang besar, “yang penuh

dengan lompatan-lompatan hawa nafsu.” Melalui fasilitas Kapitalisme dan Libe-ralisme memberikan kesempatan besar untuk menyalurkan hawa nafsu; rasa yang pusatnya di hati, kini telah terbiasa diperalat oleh nafsu (Rahmat, 2010: 179). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa manusia sedang menzalimi dirinya sen-diri dengan mengurung sen-dirinya di Bumi, menolak masuk Surga tetapi akhirnya tidak sengaja masuk Neraka (Schumacher, 1988: 160).

Oleh karena itu, fenomena di atas telah mengakibatkan hati tak suci, kalbu jadi kelabu dan rohnya keruh. Dalam beberapa tahun terakhir menjadi fenomena

bahwa orang pintar adalah orang yang tidak benar. “Banyak orang pintar, banyak

orang kaya, banyak orang berkuasa, banyak orang kreatif, tapi sedikit sekali orang

baik” (Budiman, 2012: 14). Kasus perjokian yang terjadi hampir dalam setiap kali

penyelenggaraan ujian masuk perguruan tinggi negeri adalah dilakukan oleh orang-orang pintar (Kartadinata, 2010: 49). Mereka juga adalah orang kreatif dan

berani, tetapi kreativitas tersebut dimanfaatkan oleh hawa nafsu sehingga hanya mementingkan diri sendiri dan duniawi (Frager, 2002: 62).

(21)

tersebut ditunjukkan antara lain dari data dokumen orang-orang yang butuh pembelajaran (talqin) zikir. Data empat bulan terakhir menunjukkan peningkatan: September 2013 tercatat 92 orang, Oktober 199, November 281, dan sampai 26 Desember jam 07.00 terdapat 446 orang (Buku Tamu Pondok Pesanteren Surya-laya TasikmaSurya-laya, Jawa Barat). Data tersebut menunjukkan bahwa mereka ingin kembali ke hati untuk makin dekat kepada Allah.

Dengan demikian, terdapat masalah kearifan bangsa pada umumnya dan mahasiswa (generasi muda) pada khususnya. Hal tersebut sangat mendesak untuk diungkap lebih jauh dan dicarikan solusi yang tepat. Penelitian ini memandang bahwa solusi yang ditawarkan adalah solusi sejati: mendekati Tuhan.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian

Fenomena di atas telah banyak mendapat perhatian, antara lain dalam ben-tuk model bimbingan dan konseling unben-tuk mengatasinya. Penelitian Sutoyo (2006) dan Suherman AS (2011) yang disebut di atas berupaya melahirkan sebuah model manusia utuh (kâffah) dengan subjek mahasiswa yang berbasis nilai-nilai

Qur‟ani. Penelitian mereka dapat dikatakan menjadi landasan yang baik untuk

membangun manusia utuh. Hanya saja, “keutuhan” manusia Muslim tidak cukup dipandang dari segi pelaksanaan syariat Islam. Disertasi ini memandang perlu mengembangkan keutuhan manusia melalui pemberdayaan hati, sehingga tercapai

perilaku arif di mana kemudian terwujud perilaku orang arif (insan kamil). Data berikut menunjukkan bahwa pengamalan syariat saja tidaklah cukup. Analisis terhadap respons 95 mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling STKIP HAMZANWADI Selong provinsi NTB, dengan adaptasi angket kera-gaman iman Hassan (2006) menunjukkan bahwa, hampir seluruhnya (98%) per-caya Allah itu ada dan tidak ragu sedikitpun. Kemudian 86% mengatakan sa-latnya paling tidak lima kali sehari. Namun, hasil angket juga menunjukkan 86% bahwa nafsunya suka mengajak kepada keburukan. Data tersebut menunjukkan sekedar melaksanakan syariat belum akan menghasilkan kepribadian utuh.

(22)

peng-amalan syariat (Amuli, 2005: 162; al-Khumaini, 2006: 88-89). Al-Ghazali (w. 1111 M), Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 801 M), Abu Yazid Bistami (w. 874 M), al-Hallaj (w. 922 M) dan Ibnu „Arabi (w. 1264 M) adalah contoh tokoh-tokoh arif yang telah mencapai keutuhan secara hakikat (Shihab, 2009; Siregar, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang sangat mendesak untuk mela-kukan penelitian untuk mengembangkan perilaku arif mahasiswa. Kesabaran yang

hilang dari diri mereka, yang berakibat munculnya perilaku-perilaku negatif di atas, perlu dihidupkan kembali dengan mengenalkan Tuhan yang benar kepada mereka, melalui keteladanan orang-orang arif klasik dan kontemporer.

Orang yang kenal Tuhan (makrifatullah) secara sempurna disebut orang

ârif billâh (adz-Dzakiey, 2008: 86; Armstrong, 1998: 35; Lings, 1995: 37). Dari merekalah dapat dicontoh perilaku-perilaku arif untuk mengatasi masalah di atas. Dengan makin mendekati Tuhan berarti perilaku makin arif. Orang menjadi arif („ãrif billâh) biasanya dicapai melalui jalan tasawuf. Dalam literatur tasawuf, biasanya diacu beberapa tokoh Sufi di atas yang mencapai pengalaman puncak dalam kedekatan (takarub) dengan Tuhan, yang kalau dalam bidang bimbingan dan konseling mereka disebut telah mencapai perkembangan optimal. Mereka adalah orang „ârif billâh, baik yang klasik maupun kontemporer, yang telah me-ngembangkan dan sangat berpengaruh dalam dunia tasawuf.

Tasawuf bukan satu-satunya jalan untuk sampai pada Tuhan dan menjadi arif. Nicholson (1998: 55-56), dengan mengutip Sufi Niffari dari Mesir, menga-takan bahwa mereka yang mencari Tuhan ada tiga kelompok, sementara hasil analisis al-Ghazali (1999: 15) ada empat. Pertama, kelompok mutakallimin (go-longan ahli pikir dan analisis). Kedua, kelompok batiniah yang tunduk (taklid) di

bawah seorang imam, mungkin Nicholson menyebutnya dengan ahli ibadah. Keti-ga, kelompok filosuf yang ahli logika dan pakar dalam argumentasi. Keempat,

(23)

bisa menjadi shiddîqûn, yakni bila mereka menjalankan agama dengan sebenar-nya. Mereka dapat mendekatkan diri kepada Tuhan dengan hidup zuhud dan mencurahkan diri untuk beribadah (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 555).

Jalan tasawuf adalah menggunakan rasa di hati untuk kenal Tuhan agar menjadi arif. Shihab (2010i: 374) mengatakan bahwa mencari dan berkenalan dengan Tuhan cukuplah melalui perasaan atau informasi jiwa dan intuisinya, tidak

perlu menempuh jalan berliku dan memasuki lorong-lorong sempit guna melayani akal, sehingga banyak jalan dapat disingkat dan tidak sedikit kelelahan dapat disingkirkan. Sementara itu, Umar (2014: 205) mengatakan bahwa jalan paling efektif menuju Tuhan ialah dengan menempuh jalur rasa cinta. Pendapat Shihab dan Umar tersebut mengajak orang untuk mengenali Tuhan melalui kalbu, bukan dengan akal-pikiran (melalui kaum mutakallimin dan filosuf).

Munculnya tasawuf pada abad pertengahan (abad ke-8 M) adalah sebagai solusi keadaan masyarakat yang tidak/ kurang peduli pada nilai-nilai rohani dan menghamba duniawi (Schimmel, 2000: 34-35; Siregar, 2002: 37-38). Pada awal-nya, tasawuf dibutuhkan ketika hati gelisah dan gersang. Setelah itu bila dijalani, tasawuf menawarkan persamaan dan bukan perbedaan, mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, mengetengahkan kelembutan dan feminity bukannya keke-rasan dan masculinity (Umar, 2014: 5). Akhirnya dengan tasawuf, individu dapat mencapai kedekatan dengan Tuhan, sedekat-dekat-Nya sehingga ia menjadi orang

ârif billâh atau insan kamil (Ensiklopedi Tasawuf (2008: 1; Umar, 2014: 97). Dengan demikian, pilihan terhadap jalan tasawuf sebagai solusi terhadap perma-salahan di atas adalah karena ia menawarkan ketenangan, kadamaian, kebaha-giaan, dan untuk menemukan kembali apa yang telah hilang. Kemudian ia

mem-berikan model bagi proses penyempurnaan diri manusia.

Melalui tasawuf, individu berupaya mendekat sedekat-dekat-Nya sehingga

(24)

sayang kepada sesama makhluk, yang merupakan perilaku utama orang arif. Dengan makrifatullah orang menjadi pintar, benar, dan bijak (Frager, 2002: 62; Hidayat, 2010: 109).

Selanjutnya di dalam tasawuf (Sufisme) ada beberapa aliran, yakni aliran Suni (tasawuf ortodoks) dengan beberapa variasinya dan tasawuf Falsafi. Dari kedua aliran utama tersebut, kemudian lahir Neo-Sufisme (Schimmel, 2000: 96,

329; Rahman, 2003: 198-203; Siregar, 2002: 69, 141, 293; Syukur, 1999: 36-39). Penelitian ini memilih Neo-Sufisme, dengan alasan teoretis dan praktis. Secara teoretis, Neo-Sufisme adalah Sufisme yang diperbaharui, yakni suatu aliran tasa-wuf baru yang merupakan pembaharuan dari aliran tasatasa-wuf Suni (Rahman, 2003). Perilaku arif menurut pandangan Neo-Sufisme adalah perilaku yang aktif dan terlibat dalam kerja-kerja kemasyarakatan” (Syukur, 1999: 146).

Alasan praktisnya, pertama, karena cukup sebagai petunjuk dan penerang, serta bisa tanpa guru rohani (mursyid) (Hawwa (1995: 20-21; as-Sukandari, 2012: 125; Tafsir, 2012a: 24) Kedua, untuk memperbanyak dan berbagi pengalaman tasawuf kepada publik. Untuk sementara ini, pengamalan tarekat menjadi kendala untuk aplikasi nilai-nilai tasawuf pada kalangan lebih luas (Fahrudin, 2013; Shah, 2002: 22). Ketiga, sedikit tahu tapi diamalkan. Inti tasawuf adalah pengamalan.

“Sedikit pengetahuan yang diterapkan membawa kearifan, sedangkan pengeta

-huan buku yang berlebihan mengakibatkan kelemahan mental” (Frager, 2002: 62).

Keempat, pengamalannya berbarengan dengan pengamalan syariat dengan

menja-dikan rukun Islam sebagai tarekat (Tafsir, 2012a). Kelima, dengan itu maka di-harapkan dapat meningkat kesalehan sosial di mana jenis tasawuf sebelumnya pelakunya sering dituduh mengasingkan diri dari kehidupan normal.

Dalam disertasi ini, ajaran Neo-Sufisme di atas diaplikasikan ke dalam bimbingan dan konseling, yang disebut dengan model bimbingan berlandaskan

(25)

bim-bingan dan konseling berpengaruh positif terhadap pembentukan sikap dan kepribadian mahasiswa ke arah yang lebih baik dan kokoh (Supriatna, 2010: 105). Selanjutnya, bimbingan dan konseling dibangun oleh sejumlah ilmu pe-ngetahuan, antara lain psikologi. Namun, karena ada keterbatasan psikologi di atas, fenomena dan kajian teoretik untuk menghasilkan model bimbingan tersebut, maka ia didekati dengan psikologi agama atau psikologi transpersonal (Rakhmat,

2003: 208), atau lebih khusus lagi dengan psikologi sufi (Frager, 2002: 29). Dengan pendekatan itu, maka pengembangan perilaku arif dapat lebih terarah untuk mencapai perkembangan kepribadian yang utuh, sebagaimana diteladankan oleh orang-orang ‘ârif billâh.

Rumusan masalah utama penelitian ini, yakni bagaimana bentuk perilaku dan ajaran beberapa tokoh arif Neo-Sufisme? dan bagaimana bimbingan berlan-daskan Neo-Sufisme (BBN) efektif untuk mengembangkan perilaku arif Maha-siswa STKIP HAMZANWADI Selong provinsi NTB. Rumusan masalah utama tersebut dirinci ke dalam pertanyaan penelitian berikut ini.

1. Bagaimana profil perilaku arif mahasiswa STKIP HAMZANWADI Selong provinsi NTB?

2. Bagaimana bentuk perilaku dan ajaran tokoh-tokoh arif Neo-Sufisme?

3. Seperti apa bimbingan berlandaskan Neo-Sufisme (BBN) yang efektif untuk mengembangkan perilaku arif mahasiswa?

4. Bagaimana hubungan antar dimensi dan indikator perilaku arif

maha-siswa?

C. Penjelasan Istilah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan, yakni bentuk perilaku tokoh atau orang arif, perilaku arif, ajaran tokoh arif, profil perilaku, dan model bimbingan pengembangan perilaku arif yang operasional dan efektif.

Pertama, perilaku orang arif dibedakan dengan perilaku arif. Perilaku

(26)

adalah perilaku orang yang belum termasuk dalam kelompok orang arif, di mana pencapaian makrifat-Nya belum cukup untuk masuk kelompok tersebut, tetapi suka melakukan tindakan kearifan. Perbedaan di antara mereka dapat diibaratkan antara penyanyi dan suka menyanyi (yang belum menjadi penyanyi).

Kedua, bentuk perilaku orang arif adalah wujud perbuatan atau tindakan

yang ditampilkan oleh orang-orang yang menguasai makrifatullah. Wujud

peri-laku tersebut diungkap dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Sementara itu, profil perilaku arif mahasiswa adalah grafik atau ikhtisar yang menggambarkan fakta perbuatan atau tindakan mahasiswa. Profil perilaku mahasiswa disusun dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Ketiga, ajaran tokoh arif adalah ajaran tasawuf yang diwarisi dari

guru-guru rohani (mursyid) mereka, baik berupa tarekat atau tidak. Ajaran mereka men-jadi pertimbangan dalam mengembangkan model BBN.

Keempat, ada BBN dalam bentuk operasional hipotetitk dan yang efektif.

BBN dalam bentuk operasional hipotetik adalah sebuah rumusan tentang layanan bimbingan yang didasarkan atas tasawuf yang diperbaharui (Neo-Sufisme) untuk mengembangkan perbuatan atau tindakan kearifan, di mana hal tersebut dihasilkan dari penimbangan sejumlah pakar pada bidang masing-masing. Sebe-lumnya, bentuk hipotetik tersebut dihasilkan dari studi terhadap perilaku dan ajaran beberapa tokoh arif; sementara BBN yang efektif adalah hasil dari peng-ujian bentuk operasional hipotetik melalui eksperimen.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan akhir penelitian ini adalah dilahirkannya bimbingan berlandaskan Neo-Sufisme (BBN) yang efektif untuk mengembangkan perilaku arif mahasiswa. Tujuan akhir tersebut didukung oleh sejumlah tujuan khusus berikut ini.

1. Ditemukannya fakta empirik tentang bentuk perilaku dan ajaran beberapa

tokoh atau orang arif aliran Neo-Sufisme.

(27)

3. Dihasilkannya rumusan bimbingan berlandaskan Neo-Sufisme (BBN) yang efektif untuk mengembangkan perilaku arif

4. Diperolehnya bentuk hubungan antar aspek dan indikator perilaku arif mahasiswa.

E. Manfaat Penelitian

Apabila tujuan penelitian tersebut tercapai, maka diharapkan dapat

memberikan manfaat tertentu. Karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mem-berikan manfaat antara lain seperti berikut.

1. Manfaat Teoretis

Bila tujuan penelitian di atas tercapai, maka diharapkan temuan penelitian dapat berkontribusi untuk mengembangkan perilaku arif, yang kemudian dapat digunakan untuk membangun konsep perilaku orang arif. Yakni se-bagai model perkembangan manusia yang telah mencapai perkembangan optimal. Bimbingan dan konseling dapat mengadopsi model BBN sebagai sebagai upaya memfasilitasi perkembangan optimal individu.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan bagi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemen-dikbud RI dapat mengambil sikap strategis untuk mengembangkan perilaku arif mahasiswa, dengan mengacu kepada temuan penelitian ini; b. Diharapkan bagi perguruan tinggi, khususnya melalui Unit Pelaksana

Teknis Bimbingan dan Konseling (UPT LBK) dapat mempertim-bangkan hasil studi ini untuk mengemmempertim-bangkan kebijakan pembinaan mahasiswa dengan menerapkan model BBN agar mereka dapat berperilaku arif, dan memberikan pelatihan kepada konselor perguruan tinggi dan dosen PA untuk memiliki kompetensi dalam model BBN. c. Kepada program studi Bimbingan dan Konseling dapat mengambil

intervensi yang mengarah kepada pengembangan perilaku arif pada

(28)

mata kuliah S1 prodi Bimbingan dan Konseling menurut Kurikulum 2010/2011, dan kemudian diperkuat kembali pada Kurikulum 2013. d. Bagi calon konselor sekolah, diharapkan menjadikan temuan studi ini

sebagai bahan kajian, dan menyiapkan diri menjadi konselor kelak. e. Untuk peneliti selanjutnya dapat mempertimbangkan hasil penelitian ini

dengan memperluas subjek penelitian, meningkatkan kualifikasi

ke-arifan, mengembangkan instrumen yang lebih kompleks, dan pengem-bangannya dengan pendekatan bimbingan dan konseling lainnya.

F. Kerangka Kerja Penelitian

Untuk menghasilkan rumusan BBN untuk mengembangkan perilaku arif yang teruji secara empirik, maka digunakan pendekatan penelitian research and development (R&D) dari Borg & Gall (2003: 571). Kerangka kerja penelitian

untuk mencapai tujuan tersebut disajikan dalam bentuk bagan di Bab III.

Sebelum BBN dihasilkan secara empirik, terlebih dahulu menghendaki pemahaman terhadap tokoh arif dan ajarannya. Pengetahuan yang terungkap dari studi terhadap tokoh arif kemudian menghasilkan rumusan BBN, yang kemudian menggunakan sampel mahasiswa untuk pembuktian empirik. Pengetahuan yang terungkap dari studi tokoh disebut dengan ideografi, dan BBN yang teruji secara empirik disebut pengetahuan nomotetik (Guba dan Lincoln, 1981: 59). Nomotetik

adalah nama pengetahuan untuk menghasilkan hukum-hukum yang berlaku umum (Moleong, 2007: 55), sementara idiografi mengarah kepada pemahaman terhadap peristiwa dan kasus-kasus tertentu (Guba dan Lincoln, 1981: 59). Pengetahuan idiografi diperoleh dengan pendekatan kualitatif, sedang nomotetik dengan pendekatan kuantitatif (Moleong, 2007: 51).

Kajian untuk pengetahuan nomotetik adalah meliputi kajian litetarur dan hasil penelitian relevan. Literatur yang dimaksud adalah literatur tasawuf klasik sampai kontemporer, termasuk hasil riset mutakhir yang terkait dengan penelitian. Hasil dari melakukan kajian tersebut adalah berupa kerangka model bimbingan berbasis Neo-Sufisme (BBN). Proses-proses ini ditunjukkan pada Bab II.

(29)

pema-haman tertentu, dan (2) melakukan studi tokoh arif dan ajaran mereka. Tujuan mengamalkan tarekat tersebut adalah agar dapat pengetahuan dan pemahaman yang menjadi bekal penting untuk melakukan studi terhadap perilaku dan ajaran tokoh arif. Di samping itu, pengalaman tarekat dimaksudkan agar model bim-bingan yang dihasilkan didasarkan atas pengetahuan dan pemahaman yang baik.

Hasil pengetahuan ideografi terhadap tokoh arif dan ajarannya disajikan

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Prosedur Penelitian

Tujuan akhir penelitian ini adalah dihasilkannya BBN yang efektif untuk mengembangkan perilaku arif mahasiswa. Sebelumnya, BBN dihasilkan dengan menerapkan metode Delphi untuk menghasilkan bentuk hipotetik. Berikut dibahas hal tersebut.

1. Pendekatan Penelitian dan Pengembangan (R&D)

Penelitian dan pengembangan (R&D) adalah proses penelitian yang digu-nakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk. Menurut Borg & Gall (2003: 571), prosedur pelaksanaan R&D adalah: (1) observasi awal dan pengum-pulan informasi (research and information collecting), (2) perencanaan (plan-ning), (3) mengembangkan format produk awal (develop preliminary form of

pro-duct), (4) pengujian lapangan produk awal (preliminary field testing), (5) revisi

produk pokok (main product revision), (6) pengujian lapangan produk pokok (main field testing), (7) revisi produk operasional (operational product revision), (8) pengujian produk operasional (operational field testing), (9) revisi produk akhir (final product revision), serta (10) penyebaran dan distribusi produk akhir (dissemination).

Dalam pengalaman menerapkan pendekatan tersebut, Sukmadinata (2007: 184) telah melakukan modifikasi sehingga ia dan kawan-kawannya meringkas menjadi tiga tahap: (1) studi pendahuluan, (2) pengembangan BBN, dan (3) uji BBN dan sosialisasi. Berdasarkan modifikasi ini, maka penelitian ini mengikuti modifikasi Sukmadinata, sebagaimana disajikan dalam Gambar 1.3 halaman berikut. Namun, sebagai sebuah penelitian dan pengembangan, penelitian ini tidak sepenuhnya mengikuti pendekatan R&D dari Borg & Gall terutama dari segi waktu. Dengan keterbatasan tersebut, maka produk penelitian ini belum sampai

menghasilkan sebuah model yang sesungguhnya, melainkan menghasilkan ta-hapan bimbingan yang dilandasi oleh landasan filosofis tertentu, yang disebut

(31)

Gambar 1.3

Tahapan Penelitian dan Pengembangan BBN

2. R&D untuk Mengembangkan Pengetahuan Nomotetik dan Ideografik

Prosedur penelitian R&D dijalankan untuk memperoleh pengetahuan nomotetik dan ideografik, sebagaimana disebut di Bab I. Untuk menghasilkan pe- ngetahuan nomotetik dilakukan kajian teoretik untuk menghasilkan hipotesis, di mana kemudian hipotesis tersebut diverifikasi secara empiris (Moleong, 2007: 56). Proses tersebut disebut dengan menggunakan pendekatan penelitian kuan-titatif, disingkat dengan KUAN (Creswell, 2010: 194, 314).

Sementara itu, pengetahuan ideografi dijalankan dengan menggunakan pendekatan kualitatif (KUAL). Pengetahuan ideografik didasarkan atas strategi fenomenologi dan konstruktivis bahwa, individu selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja, melalui fenomena pengalaman kese-harian (Creswell, 2010: 8-9; Heppner, Wampold dan Kivlinghan, 2008:12, 269). Dalam penelitian ini, untuk membangun pengetahuan ideografik ditujukan untuk memperoleh pemahaman tentang perilaku dan ajaran tokoh arif. Untuk

meme-Studi Pendahuluan Pengembangan

BBN Uji BBN dan Sosialiasi

(32)

Ru-roleh pemahaman tersebut, peneliti berusaha memahami dunia tokoh arif dengan: (1) masuk menjadi anggota (ikhwan) tarekat tertentu, dengan dibaiat untuk mengamalkannya; (2) berada di bawah bimbingan wakil talqin untuk memahami dunia tarekat, dan (3) melakukan studi tokoh terhadap mereka. Dengan itu, maka diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang tokoh, selanjutnya dapat diru-muskan BBN yang lebih baik.

3. Pemaduan Pendekatan Penelitian

Pemaduan KUAN dan KUAL di atas sering disebut dengan desain mixed methods (Creswell, 2010; Sugiono, 2012). Dalam penelitian ini penggunaannya

untuk dua tujuan. Pertama, pendekatan KUAN digunakan untuk uji efektivitas

BBN, yang berupa pengujian hipotesis. Kedua, pendekatan KUAL digunakan untuk mencapai tiga tujuan, yakni digunakan untuk memperoleh: (1) data tentang

perilaku dan ajaran tokoh arif, (2) masukan pertimbangan dari pakar metode Delphi tentang konsep pokok BBN, dan (3) data pengalaman mahasiswa tentang kisah mereka dalam takarub kepada Allah, melalui testimoni.

Pemaduan pendekatan KUAN dan KUAL pada Gambar 1.3 di atas

me-nyerupai strategi pemaduan „transformatif sekuensial‟ (Creswell, 2010: 318). Stra

-tegi tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa tujuan akhir penelitian adalah dihasilkannya BBN yang efektif. Digunakan strategi sekuensial karena bentuk efektif tersebut dihasilkan dari perspektif teori tertentu, yang bersifat nomotetik (KUAN), dan dilanjutkan dengan mengungkap pengetahuan ideografik dengan melakukan studi tokoh (KUAL). Selanjutnya, disebut sebagai strategi „transfor

-masi‟ karena dengan BBN diharapkan dapat mengembangkan perilaku dari belum

arif menjadi arif.

Dengan demikian, untuk menguji BBN hipotetik menjadi BBN efektif Gambar 1.3 di atas, maka desain transformatif sekuensial tersebut dijalankan de-ngan desain eksperimen (dede-ngan pra-pasca tes) dan melakukan testimoni maha-siswa. Disain eksperimen dan testimoni dibahas masing-masing di bawah.

4. Prosedur dan Tahapan Penelitian Pengembangan BBN

(33)

kerangka BBN, penimbangan dari pakar Delphi, perumusan BBN hipotetik, uji coba terbatas, uji keefektivan BBN secara empirik (uji lapangan), revisi akhir, perumusan bentuk BBN akhir, dan desiminasi BBN. Pada Gambar 2.3 berikut disajikan tahapan tersebut.

Gambar 2.3

Prosedur dan Tahapan Penelitian untuk Mengembangkan BBN

a. Tahap Pertama: Persiapan Pengembangan BBN

Pada tahap ini ada dua kegiatan, yakni dengan (1) melakukan kajian untuk pengembangan pengetahuan nomotetik. Hal tersebut dipenuhi dengan melakukan kajian teoretik dan analisis penelitian terdahulu, kajian pendekatan untuk mem-bangun kerangka BBN, dan survei lapangan untuk memperoleh kondisi objektif; (2) melakukan kajian untuk pengembangan pengetahuan ideografik, yang dipe-nuhi dengan melakukan studi terhadap tiga orang arif mengenai perilaku dan ajaran mereka.

Studi tokoh adalah upaya untuk menemukan, mengembangkan, mengum-pulkan data dan informasi tentang tokoh yang menjadi perhatian secara sistematis (Rahardjo, 2010: 1). Tujuan studi tokoh adalah untuk mencapai pemahaman tentang ketokohan seseorang individu dalam komunitas tertentu dalam bidang tertentu, melalui pandangan, motivasi, sejarah hidup dan ambisinya selaku indi-vidu melalui pengakuannya (Furchan dan Maimun, 2005: 6-7; Rahardjo, 2010: 1).

Studi terhadap perilaku arif ditujukan untuk mengungkap perilaku mereka yang terkait dengan lima aspek perilaku arif, sebagaimana diteorikan. Sementara

(34)

ajaran. Dasar ajaran meliputi landasan filosofis, afiliasi terhadap mazhab (baik mazhab fikih maupun tasawuf), pandangan terhadap makrifatullah dan mahabah, inti ajaran, tujuan ajaran, sumber masalah dan sumber kebahagiaan.

Perilaku dan ajaran tokoh arif tersebut dianalisis berdasarkan teori Pierre Bourdeau, sebagaimana dibahas di Bab II. Teori tersebut dikenal dengan teori habitus, modal dan ranah. Habitus adalah sifat dan kualifikasi yang dimiliki

tohoh; modal yang digunanakan tokoh meliputi modal kultur, sosial politik, ekonomi dan modal simbolik. Pengembangan instrumen dibahas di bawah.

b. Tahap Kedua: Perancangan Konsep Pokok BBN

Berdasarkan kajian teoretik, hasil-hasil studi penelitian terdahulu, hasil

survei perilaku mahasiswa, hasil studi perilaku dan ajaran orang arif, selanjutnya disusun bentuk utama BBN. Penyusunannya dilakukan dengan mengacu kepada

kerangka konsep BBN (Bab II). Pertimbangan pemaduan antara hasil studi tokoh dengan kerangka BBN disajikan dalam bentuk tabel.

c. Tahap Ketiga: Penimbangan Pakar Delphi

Metode Delphi digunakan untuk validasi bentuk utama BBN menjadi BBN hipotetik. Pada umumnya, metode Delphi digunakan dikalangan pemerin-tahan dan bisnis (Listone dan Turoff, 2002: 72). Menurut Dunn (2000), metode Delphi sebagai salah satu cara peramalan pendapat (judgmental forecasting), ada-lah suatu teknik untuk menghasilkan kemungkinan pandangan yang paling kuat untuk menghasilkan suatu kebijakan. Yakni suatu kebijakan yang belum tersedia tenaga ahlinya, yang ada hanyalah penasihat yang berpengetahuan dan orang-orang yang biasa menjadi rujukan. Dalam konseling, teknik ini digunakan oleh Dimmitt, et.al. (2005: 214), untuk mengidentifikasi agenda riset konseling seko-lah. Dimmitt, et.al., menggunakan metode Delphi dengan sebuah panel ahli untuk menurunkan ide-ide, sehingga dapat masukan untuk agenda riset konseling seko-lah. Sementara itu, Yusuf (2007) juga menggunakan metode Delphi untuk

(35)

Penelitian untuk BBN hipotetik juga didasarkan pada pertimbangan seperti di atas, yakni belum tersedia tenaga ahli dalam bidang tersebut secara memadai. Yang ada sekarang ini adalah tenaga ahli yang mengajarkan mata kuliah tasawuf dan psikoterapi di Fakultas Ushuluddin UIN/IAIN, atau yang mengembangkan dan mengajarkan bimbingan dan konseling islami, serta bidang bimbingan dan konseling konvensional. Tenaga ahli dalam ketiga bidang yang berbeda tersebut

dipandang berpengetahuan luas dan relevan untuk dijadikan sumber dan mitra dialog untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang kerangka BBN.

d. Tahap Keempat: Perumusan BBN Hipotetik

Hasil penimbangan pakar Delphi adalah dalam bentuk BBN hipotetik. Masukan pakar Delphi digunakan untuk memperbaiki, menambah atau mengu-rangi bentuk utama BBN. Setelah dirumuskan dalam bentuk hipotetik, selanjutnya diuji untuk menentukan efektivitasnya.

e. Tahap Kelima: Uji Coba Terbatas

Sebelum dilakukan uji coba lapangan, terlebih dahulu dilakukan uji coba terbatas. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah penyusunan rencana dan teknis uji coba, persiapan konselor, penyiapan mahasiswa uji coba, pelaksanaan uji coba, diskusi dan refleksi untuk perbaikan.

Mahasiswa yang dilibatkan dalam uji coba terbatas berjumlah 24 orang

(semester 5 program studi Bimbingan dan Konseling STKIP HAMZANWADI Selong). Pelaksanaan uji coba berlangsung tiga kali pertemuan, yang ditujukan antara lain untuk mengetahui efektivitas waktu, ketepatan teknis dan materi bimbingan. Hasil dari uji coba adalah untuk perbaikan BBN, terutama dalam hal penyesuaian materi bimbingan dan waktu yang dibutuhkan, serta implementasi teknis bimbingan menurut ukuran waktu yang tersedia.

f. Tahap Keenam: Uji Lapangan untuk Uji Hipotesis Efektivitas BBN

(36)

kon-trol. Sebagaimana diketahui, kearifan dapat dicapai melalui tiga kelompok atau jalan, yakni melalui kelompok tasawuf, melalui ibadah (kaum ibadat), dan pencarian Tuhan melalui filsafat (Gambar 1.2 di muka). Penelitian ini telah mene-tapkan perilaku arif dikembangkan melalui jalur Neo-Sufisme, karena itu seha-rusnya menggunakan kelompok jalan ibadat dan jalan filosofis sebagai kelompok kontrol. Namun, mereka tidak dilibatkan. Alasannya: (1) tidak mungkin

menyi-apkan kelompok untuk menjadi ahli ibadah atau ahli filsafat, dan mengisolasinya sebagai kelompok kontrol; (2) bila menggunakan kelompok yang bukan untuk

keperluan tersebut, maka tidak sebanding menurut teori.

Sementara itu, dalam penelitian Sholeh (2007) tentang pengaruh salat tahajud terhadap peningkatan respons ketahanan tubuh imunologik tidak meng-gunakan kelompok kontrol. Karena dalam ibadah, tidak ada yang sebanding dengan salat tahajud, selain salat fardu. Bahkan dalam penelitian Sholeh tersebut tidak digunakan sampel acak, karena sulitnya untuk memenuhi hal tersebut.

Pada Gambar 3.3 berikut disajikan gambar desain eksperimennya. Nama

desain tersebut adalah „pre-posttest group design only’. Disebut demikian karena

tidak menggunakan kelompok kontrol. Seharusnya bila ia menggunakan kelom-pok kontrol maka ia bernama pre-posttest control group design’ (Hepner, Wam-pold, dan Kivlighan, 2008: 152; Campbell, & Stanley, 1966: 32).

Random O1 X O2

Gambar 3.3

Desain Eksperimen Penelitian Efektivitas Model BBN

Keterangan:

Random = penempatan subjek dalam kelompok eksperimen dengan acak

O1 = prates dengan memberikan instrumen perilaku arif O2 = postes dengan memberikan instrumen perilaku arif X = model bimbingan berlandaskan Neo-Sufisme (BBN)

(37)

Dengan eksperimen diperoleh data/ukuran kuantitatif untuk uji efektivitas BBN. Uji efektivitas tersebut juga diberikan oleh data testimoni, yakni penyaksian mahasiswa terhadap pengalaman (kisah) terbaiknya dekat dengan Tuhan.

g. Tahap Ketujuh: Revisi akhir

Proses revisi tersebut berlangsung sepanjang eksperimen berlangsung, hingga akhir eksperimen. Revisi dilakukan terhadap: (a) penyesuaian tahapan dan teknik bimbingan, (b) penyesuaian materi dengan waktu, dan (c) ketepatan teknik dan tujuan yang ingin dicapai.

Revisi tersebut dilakukan dengan melakukan refleksi pada setiap akhir sesi pertemuan bimbingan, dan pada saat muhasabah akhir. Revisi akhir menjadi dasar

untuk merumuskan bentuk akhir BBN.

h. Tahap Kedelapan: Perumusan Bentuk BBN Akhir

Kegiatan tahap ini meliputi: (a) evaluasi dan analisis hasil pengujian la-pangan, (b) menempatkan hasil revisi (langkah g di atas) dalam keseluruhan unsur BBN, (c) penyusunan bentuk akhir BBN yang tested. Meskipun disebut bentuk akhir, ia masih terbuka untuk pengembangan lebih lanjut. Hal tersebut sebagai-mana disajikan dalam rekomendasi hasil penelitian.

i. Tahap Kesembilan: Diseminasi BBN

Kegiatan pada tahap ini adalah mempublikasikan BBN pada khalayak profesi melalui jurnal dan presentasi makalah pada forum ilmiah. Tujuan disemi-nasi di samping untuk publikasi juga untuk mendapat masukan.

Tidak hanya BBN dan artikel yang didesiminasi, materi bimbingannya juga dipublikasikan, yang dimaksudkan untuk mendampingi bahan kuliah dalam mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor.

B. Subjek Penelitian

(38)

Tabel 1.3 teren, perguruan tinggi, dan politik/ birokrasi. Dipilih dengan kriteria: (1) karya yang diha-silkan, (2) pandangan orang dan pandangan masyarakat terhadap tokoh, dan (3) judgement peneliti.

Dipilih dengan kriteria sesuai bidang ilmu yang terkait, yakni bidang (1) tasawuf, (2) BK Islami, (3) BK Konvensional, (4) filsafat

Anggota sampel diperoleh secara acak

(random) dengan teknik ordinal 33 orang

Studi

pen-Anggota sampel diperoleh dengan tidak acak terdiri dari mahasiswa:

Jurusan PBS, prodi Pendd. Bahasa Indonesia Jurusan IPS, prodi Pendd. Sejarah

Jurusan MIPA, prodi Pendd. Biologi Jururan Ilmu Pendd, prodi Bimb. & Kons.

46 orang 50 orang 58 orang 54 orang

Catatan: Pada awalnya sampel penelitian mahasiswa 33 orang. Setelah eksperimen berakhir, jumlah mereka menjadi 25 orang, karena tidak mengikuti sesi eksperimen sebagaimana dikehendaki dan alasan lainnya.

1. Subjek Penelitian Kualitatif

a. Subjek Orang Arif

Subjek tokoh arif yang hendak distudi dipilih dengan prosedur berikut. (1) menetapkan ranah tempat tokoh arif berkiprah, (2) membuat daftar tokoh arif pada ranah yang ditetapkan, (3) memilih tokoh arif sesuai dengan kriteria.

(39)

mencermati perkembangan politik di Indonesia pasca-reformasi di mana beberapa tokoh pesantren muncul menjadi pemimpin politik dan pemerintahan, baik di pusat atau daerah (Zulkarnain, 2013), kemudian dipilih tokoh arif yang berkiprah di ranah pemerintahan. Sementara itu, sebagai akademisi di perguruan tinggi, be-berapa di antara mereka muncul sebagai tokoh arif. Misalnya, dalam peringatan usia emas 70 tahun bagi seorang akademisi, biasanya banyak sambutan dari

ber-bagai pihak yang mengenalnya. Perguruan tinggi memberikan mereka tempat berkiprah sehingga masyarakat mengenali mereka.

Setiap ranah tersebut memiliki massa (jamaah) yang besar; arif pesantren dengan jamaah dan santrinya; arif pemerintahan dengan masyarakat yang di-pimpin, dan arif akademisi dengan mahasiswa dan masyarakat tempat pengab-dian. Dengan demikian, penelitian menetapkan tiga ranah tersebut.

Selanjutnya, disusun daftar orang arif sebagai calon subjek penelitian. Tiap ranah diidentifikasi masing-masing ada dua atau tiga calon. Dari ranah pesantren diidentifikasi tokoh arif Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan Jawa Tengah, Pon-pes Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, dan PonPon-pes di Minomartani Jogjakarta. Dari ranah perguruan tinggi, muncul dosen UIN Sunan Gunungjati Bandung, dosen IAIN Walisongo Semarang, dan dosen UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sementara itu, dari ranah pemerintahan muncul nama Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIY) dan Gubernur provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari sejum-lah tokoh tersebut, dipilih satu tokoh yang mewakili ranah tertentu.

Kriteria pemilihan tokoh tersebut adalah: (1) karya yang dihasilkan tokoh, (2) pandangan orang dan pandangan masyarakat luas tentang tokoh tersebut, (3) judgement peneliti (Rahardjo, 2010: 1). Dengan kriteria tersebut, akhirnya dipilih:

1) K.H. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (dikenal dengan Abah Anom), dari Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat.

2) Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. (Pak Amin) dari IAIN Walisongo Semarang Jawa Tengah, dan

(40)

Satu di antara tiga tokoh di atas telah wafat, yakni Abah Anom (w. 5 September 2011). Studi terhadap Abah Anom dilakukan terhadap wakil-wakil yang diangkatnya, dan orang yang mengenalnya secara dekat.

b. Subjek Pakar Delphi

Ada tiga kelompok pakar Delphi dari bidang yang berbeda yang memberi pertimbangan, yakni dosen/guru rohani yang menekuni, melakukan kajian, aktif mengembangkan, dan mengamalkan ilmunya serta mengajarkan tasawuf; bidang bimbingan dan konseling islami dan konvensional; filsafat pendidikan, dan ahli instrumentasi, di Fakultas Tarbiyah/ Ushuluddin UIN/IAIN dan di universitas/ institut/sekolah tinggi di Kemendikbud, dan di masyarakat. Berdasarkan kelom-pok pakar di atas, pada Tabel berikut disajikan nama pakar yang dimaksud.

Tabel 2.3

Daftar Nama Expert Judgment Metode Delphi

No NAMA

LENGKAP

NAMA INSTANSI KETER.

1 Prof. Dr. Ahmad Tafsir, M.A

Pascasarjana UIN Sunan Gunung Jati Bandung, dan Wakil Talkin pada Tarekat Qadiriyyah dan Naqsabandiyah (TQN) Ponpes Suryalaya Tasik-malaya, Jawa Barat

Wakil Talkin pada Tarekat Qadiriyyah dan Naqsa-bandiyah (TQN) Ponpes Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat

Bidang tasawuf

3 Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd

Fakultas Pascasarjana Universitas Negeri (Unnes)

Semarang, Jawa Tengah Bimb.& Kons. Islami

4 Prof. Dr. Ahmad

nesia (UPI) Bandung Filsafat pendidikan

6 Dr. Nurhudaya, M.Pd

Laboratorium Jurusan PPB Universitas Pendidikan

Indonesia (UPI) Bandung Instrumentasi

7 Dr. Fauzan, M.Pd

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendi-dikan

(41)

2. Sampel Penelitian Kuantitatif

Sampel ditarik dengan teknik random sampling. Penggunaan teknik ini sesuai dengan desain penelitian pada Gambar 08.3, yakni untuk memenuhi syarat dalam pengunaan teknik analisis statistika parameterik atau inferensial (Hepner, Wampold, dan Kivlinghan: 2008: 146; Furqon, 2008: 146). Sampelnya adalah mahasiswa prodi Bimbingan dan Konseling STKIP HAMZANWADI Selong.

Sebagaimana disebut di atas, BBN menggunakan format kelas. Untuk ukuran pembelajaran pada kelas ideal, biasanya terdiri dari 32 orang. Begitu juga

untuk ukuran bimbingan klasikal, biasanya antara 32-34 orang. Setelah terpilih sebagai anggota sampel, mereka kemudian diminta untuk mengisi angket kese-diaan dan komitmen yang dilandasi oleh prinsip sukarela dan tanggungjawab (Kendal dan Norton-Ford, 1982: 118-119). Prinsip tersebut menghendaki bahwa apapun yang dialami oleh sampel dalam eksperimen harus dilaporkan kepada peneliti dengan sukarela demi penelitian.

Sampel penelitian terdiri dari mahasiswa program studi di atas, yang meliputi semester 1, 3 dan 5. Jumlah mereka adalah 312 orang. Semester 7 tidak diikutkan karena sedang melaksanakan program pengalaman lapangan (PPL). Ukuran sampel ini masih berkisar dalam ukuran kelas yang dikehendaki di atas.

Penarikan anggota sampel dilakukan dengan teknik acak ordinal. Dari semester 1 ditarik 11 orang anggota; semester 3 ada 10 orang, dan semester 5, 12 orang. Mereka terdiri dari 15 laki dan 18 perempuan. Namun, ketika eksperimen berlangsung, delapan orang dinyatakan tidak dapat mengikuti pos-tes karena tiga alasan pokok. Pertama, lima orang menyatakan malu untuk ikuti kembali ekspe-rimen setelah absen antara 4-5 kali. Kedua, dua orang sakit sehingga tidak hadir sampai enam kali, dan ketiga, satu orang menyatakan hatinya bertentangan materi eksperimen. Data tersebut diperoleh dari informasi teman yang bersangkutan.

C. Pengembangan Instrumen Penelitian

(42)

Tabel 3.3

Ringkasan Pengembangan Instrumen Penelitian Model BBN

Tujuan Penelitian Jenis data Metode

Penelitian Bentuk Data pirik tentang profil peri-laku arif mahasiswa

gambaran efektivitas BBN Nomo-tetik

kuanti-Studi tokoh merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif (Furchan dan Maimun, 2005: 15). Instrumen penelitian untuk studi tokoh dikembangkan dari pertanyaan penelitian butir (a) di muka, yakni pertanyaan yang menyangkut perilaku orang arif dan ajaran mereka. Sebagaimana dikemukakan, ada empat kekuatan (modal) untuk melahirkan perilaku orang arif, yakni kekuatan kultur, sosial, ekonomi dan simbolik. Pertanyaan untuk mengungkap kekuatan (modal) tersebut menjadi fokus penelitian. Dilihat dari fokus penelitian, maka pendekatan yang digunakan dalam studi tokoh tersebut adalah pendekatan tematik (Furchan dan Maimun, 2005: 34). Namun, fokus tersebut berkembang selama penelitian (Sugiono, 2012: 313). Untuk mengungkapnya, diperlukan alat pengumpul data

(instrumen).

(43)

tersebut tetap menggunakan human instrument (Sugiono, 2012: 306), yang dilengkapi dengan observasi, wawancara dan dokumen sebagai instrumen.

Observasi telah menjadi dasar dalam semua ilmu pengetahuan, karena itu observasi dalam studi tokoh digunakan untuk mengumpulkan informasi dalam konteks tertentu untuk menemukan makna perilaku mereka. Spradley (1980: 40) mengatakan bahwa dalam setiap situasi observasi senantiasa melibatkan tempat,

aktor dan aktivitas. Menurut Nasution (1988: 64; Sugiono, 2012: 314-315) ketiga dimensi tersebut dapat diperluas, sehingga dalam instrumen observasi

menyang-kut: (1) ruang atau tempat dalam aspek fisiknya, (2) pelaku, yakni tokoh arif yang menjadi perhatian dan orang yang terlibat di dalamnya, (3) kegiatan, yakni apa yang dilakukan, (4) objek, yaitu benda-benda yang terdapat di sana, (5) perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu, (6) kejadian atau peristiwa yang berupa rangkaian kegiatan, (7) waktu yang berupa urutan kegiatan, (8) tujuan, yakni apa yang ingin dicapai tokoh, atau makna perbuatan tokoh, dan (9) perasaan, emosi yang dira-sakan atau dinyatakan. Instrumen studi tokoh tersaji pada Lampiran 01.

Selanjutnya, instrumen wawancara juga dikembangkan dari fokus pene-litian di atas. Dalam mengembangkan instrumen wawancara, Nasution (1988: 76; Moleong, 2007: 322) menyarankan agar isi atau jenis-jenis pertanyaan dalam wawancara meliputi (1) pengalaman dan perbuatan responden, ( 2) pendapat, pan-dangan, tanggapan, tafsiran, atau tafsiran tentang sesuatu, (3) perasaan, respons emosional, (4) pengetahuan, fakta-fakta yang diketahuinya tentang sesuatu, (5) penginderaan, yakni apa dilihat, didengar, diraba, dan (6) latar belakang pendi-dikan, pekerjaan, dan sebagainya. Sementara itu, alat-alat wawancara yang dileng-kapi menyangkut buku catatan, tape recorder dan kamera (Sugiono, 2012: 328). Instrumen wawancara tersaji pada Lampiran 01.

Penelitian ini juga menggunakan dokumen sebagai instrumen. Dokumen

Gambar

Tabel  1.2 Hubungan perilaku orang arif dengan studi terdahulu yang re-
Gambar 1.3 Tahapan Penelitian dan Pengembangan BBN
Gambar 2.3 Prosedur dan Tahapan Penelitian untuk Mengembangkan BBN
Tabel 1.3 Ringkasan Subjek Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya saja jika ada siswa yang mengalami masalah dalam proses pembelajaran dikelas dengan guru maple, guru yang bersangkutan tersebut tidak langsung

Adapun yang dapat DJP lakukan untuk meningkatkan pelaksanaan Penagihan Pajaknya antara lain dengan cara memperluas basis data yang akurat mengenai aset Wajib Pajak,

Pascakualifikasi untuk Paket Pekerjaan Pengadaan Motor Sampah Tiga Roda dengan hasil. sebagai

NC NAIJIA BARANG DAN SPESIFIKASI Volume. 7 DentalSet child

Suatu susunan yang terdiri atas sikap,kepercayaan,emosi,dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu

RIZKA PUTRA UTAMA, SE

dapat diketahui bahwa masih banyak entitas yaitu sekitar 28% LKPD yang masih belum tertib dalam pengelo- laan dan penyajian atau kewajaran laporan keuangannya. Tidak

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus maka dirumuskan simpulan bahwa melalui boneka tangan berbasis musik dapat meningkatkan