ANALISIS SINGKAT POS PIUTANG PAJAK
PADA LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT
TAHUN ANGGARAN 2010 – 2015
SEBAGAI ACUAN UNTUK PENILAIAN KINERJA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DALAM PENERBITAN KETETAPAN PAJAK DAN PENAGIHAN PAJAK
Disusun untuk memenuhi tugas Akuntansi Pemerintah Semester VII
DISUSUN OLEH
I GEDE YUDI HENRAYANA
KELAS 7 A ALIH PROGRAM/24
ANALISIS SINGKAT POS PIUTANG PAJAK
PADA LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT
TAHUN ANGGARAN 2010 – 2015
SEBAGAI ACUAN UNTUK PENILAIAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DALAM PENERBITAN KETETAPAN PAJAK DAN PENAGIHAN PAJAK
PENDAHULUAN
Secara umum, laporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi keuangan yang berguna bagi pengguna laporan keuangan untuk mengambil keputusan. Berdasarkan PSAK, tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Sementara itu, tujuan laporan keuangan pada akuntansi pemerintahan tidaklah jauh berbeda dari tujuan laporan keuangan pada akuntansi komersial. Berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), tujuan umum laporan keuangan adalah menyajikan informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, saldo anggaran lebih, arus kas, hasil operasi, dan perubahan ekuitas suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi para pengguna dalam membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya.
Salah satu informasi keuangan yang dapat kita peroleh dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah mengenai piutang pajak. Pajak adalah salah satu komponen penting dalam keuangan pemerintah pusat. Dalam APBN tahun 2010 sampai dengan 2014, pajak berkontribusi lebih dari 70% terhadap pendapatan negara. Oleh karena itu, tercapainya target penerimaan pajak adalah suatu hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Dari Catatan atas LKPP, kita mengetahui bahwa pajak dikelola oleh dua instansi, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Pada pembahasan kali ini kita akan membahas mengenai piutang pajak yang dikelola oleh DJP dan informasi yang dapat kita peroleh dari pos piutang pajak yang dikelola DJP.
PEMBAHASAN
Wajib Pajak memiliki hak untuk mengajukan pembetulan, keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak, banding, gugatan,dan peninjauan kembali. Nominal ketetapan pajak kurang bayar yang menjadi sengketa pajak tersebut diatas yang belum diterbitkan keputusan atau putusan belum diakui sebagai Piutang Pajak.
Berdasarkan undang-undang perpajakan, hak negara untuk melakukan penagihan pajak daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan skp dan keputusan atau putusan sengketa pajak. Daluwarsa penagihan pajak tersebut tertangguh apabila diterbitkan Surat Paksa, ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atau dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Data tentang perkembangan nilai piutang pajak yang dikelola oleh DJP dari Tahun Anggaran 2010 sampai dengan 2014 dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Data Piutang Pajak Tahun Anggaran 2010 – 2014 (dalam juta rupiah)
Uraian Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
Piutang Pajak
(bruto) 54.008.060 86.801.366 70.721.181 77.366.561 67.750.716 Penyisihan Piutang
tak Tertagih (9.451.456) (46.205.692) (42.929.017) (48.785.110) (45.161.401)
Piutang Pajak
(bersih) 44.556.604 40.595.674 27.792.164 28.581.451 22.589.315
Sumber: diolah dari LKPP Tahun Anggaran 2010 - 2014
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat kita lihat bahwa selama lima tahun terakhir, pada umumnya setiap tahunnya terjadi peningkatan nilai piutang pajak yang dikelola oleh DJP, kecuali pada tahun 2012 dan 2014 di mana nilai piutang pajak yang dikelola oleh DJP mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Penurunan nilai piutang pajak ini utamanya disebabkan oleh pengalihan wewenang pengelolan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dari DJP kepada Pemerintah Daerah, sehingga piutang BPHTB dan PBB P2 pun dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Tren peningkatan nominal piutang pajak ini dapat berarti dua hal, yaitu DJP berhasil meningkatkan kinerja penerbitan ketetapan pajaknya (dalam hal nominal) dan/atau kinerja DJP dalam Penagihan Pajak mengalami penurunan.
Tabel 2
Data Sengketa Pajak Tahun Anggaran 2010 – 2014 (dalam juta rupiah)
Tahun Nominal Sengketa Pajak
Sumber: diolah dari LKPP Tahun Anggaran 2010 - 2014
Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat kita lihat bahwa nominal sengketa pajak mengalami penurunan pada tahun 2011, kemudian terus mengalami peningkatan pada tahun 2012 dan 2013, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2015. Nominal sengketa pajak ini pada dua tahun terakhir malah melebihi nilai Piutang Pajak bruto, seperti yang terlihat pada Tabel 3 di bawah ini. Nominal sengketa pajak yang cukup besar ini menandakan bahwa DJP perlu meningkatkan kualitas penerbitan ketetapan pajaknya.
Tabel 3
Perbandingan Data Sengketa Pajak dengan Nilai Piutang Pajak Bruto Tahun Anggaran 2010 – 2014 (dalam juta rupiah)
Tahun Nominal Sengketa Pajak
Sumber: diolah dari LKPP Tahun Anggaran 2010 - 2014
dan/atau Verifikasi Pajak. Sementara itu, kualitas pegawai yang melaksanakan Pemeriksaan Pajak dan/atau Verifikasi Pajak dapat ditingkatkan dengan cara pelatihan secara terus menerus.
Sementara itu, untuk menilai kinerja DJP dalam Penagihan Pajaknya, kita dapat melihat data umur Piutang Pajak. Data mengenai umur Piutang Pajak yang dikelola DJP dari Tahun Anggaran 2010 sampai dengan 2014 dapat dilihat pada Grafik 1 di bawah ini.
Grafik 1
Data Umur Piutang Pajak Tahun Anggaran 2010 – 2014 (dalam juta rupiah)
2010 2011 2012 2013 2014
- 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000 30,000,000 35,000,000 40,000,000
Kurang dari 1 Tahun 1 Tahun dan Kurang dari 3 Tahun
3 Tahun dan Kurang dari 5 Tahun
5 Tahun atau Lebih
Sumber: diolah dari LKPP Tahun Anggaran 2010 - 2014
Berdasarkan Grafik 1 di atas, dapat kita lihat bahwa nilai piutang berdasarkan umurnya mengalami tren naik turun, kecuali untuk piutang dengan umur 5 Tahun atau Lebih yang memiliki tren untuk mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dari Grafik 1 di atas kita juga bisa melihat bahwa DJP cenderung lebih fokus untuk melakukan Penagihan Pajak terhadap Piutang Pajak yang memiliki umur di bawah 5 tahun. Hal ini dapat dipahami karena pencairan Piutang Pajak biasanya lebih mudah untuk Piutang Pajak yang umurnya belum terlalu lama karena data tentang aset Wajib Pajak belum banyak berubah. Meskipun demikian, tren peningkatan nilai Piutang Pajak dengan umur 5 Tahun atau Lebih juga seharusnya menjadi perhatian DJP agar nantinya tidak menjadi Beban Piutang Tak Tertagih pada negara.
Tabel 4
Data Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa Penagihannya Tahun Anggaran 2010 – 2014 (dalam juta rupiah)
Uraian Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa
Penagihannya
2.643.980 6.217.999 8.638.230 15.331.353 8.560.247
Usulan Penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa
202.240 489.005 1.176.047 860.980 316.069
Persetujuan
Penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa
45.802 - 28.075.790 - -
Sumber: diolah dari LKPP Tahun Anggaran 2010 - 2014
Berdasarkan Tabel 4 di atas, kita dapat melihat bahwa selama tahun 2010 sampai dengan 2013, nilai Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa Penagihannya mengalami peningkatan, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2014. Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa Penagihannya terjadi karena DJP tidak mampu untuk mencairkan Piutang Pajak dalam waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Kecenderungan peningkatan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa Penagihannya selama tahun 2010 sampai dengan 2013 seharusnya menjadi bahan evaluasi DJP dalam melaksanakan Penagihan Pajak. Penurunan nilai Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa Penagihannya pada tahun 2014 (tanpa adanya Persetujuan Penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa), yaitu sebesar 44,17%, adalah suatu prestasi oleh bagian Penagihan DJP yang harus dijaga dan ditingkatkan pada tahun sebelumnya.
Memang, Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa Penagihannya dapat diusulkan untuk dilakukan penghapusan. Mekanisme penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa Penagihannya adalah pertama DJP membuat Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa, kemudian mengajukannya kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan kemudian meneliti dan mempertimbangkan besarnya Usulan Penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa yang dapat disetujui.
Persetujuan Penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa adalah kewenangan dari Menteri Keuangan. Penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa seharusnya hanya dilakukan apabila Piutang Pajak benar-benar tidak dapat dicairkan setelah DJP melaksanakan Penagihan Pajak dengan upaya maksimal. Oleh karena itu, DJP seharusnya tidak menggantungkan diri pada penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa Penagihannya sebagai jalan keluar kurang efektifnya pelaksanaan Penagihan Pajak. Hal ini terbukti dengan data pada Tabel 4 di atas, di mana dalam lima tahun terakhir, ada tiga tahun di mana Menteri Keuangan tidak memberikan Persetujuan Penghapusan Piutang Pajak yang telah Kadaluwarsa sama sekali.
lain dengan cara memperluas basis data yang akurat mengenai aset Wajib Pajak, meningkatkan perlindungan kepada pegawai yang melaksanakan Penagihan Pajak dalam pelaksanaan tugasnya, serta menambah jumlah pegawai dan meningkatkan kualitas pegawai yang melaksanakan Penagihan Pajak. Basis data yang akurat mengenai aset Wajib Pajak adalah hal yang sangat penting dalam Penagihan Pajak. Seringkali yang terjadi di lapangan adalah DJP kalah cepat dengan Wajib Pajak, yaitu ketika DJP melaksanakan Penagihan Pajak, Wajib Pajak telah memindahtangankan aset yang dimilikinya. Perlindungan kepada pegawai ketika melaksanakan Penagihan Pajak juga hal yang harus menjadi perhatian serius DJP. Seringkali, Penagihan Pajak tidak dapat dilanjutkan karena pegawai yang melaksanakan Penagihan Pajak mendapatkan ancaman terhadap fisik dan jiwanya. Oleh karena itu, mekanisme pendampingan oleh TNI atau Polri dalam pelaksanaan Penagihan Pajak harus dipermudah dan ditingkatkan frekuensinya sehingga Penagihan Pajak dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Selain itu, masalah SDM juga harus diperhatikan oleh DJP, yaitu dengan mengalokasikan lebih banyak pegawai untuk pelaksanaan Penagihan Pajak daripada untuk melaksanakan pekerjaan administrasi (klerikal) dan meningkatkan kualitas pegawai yang melaksanakan Penagihan Pajak dengan pelatihan secara terus-menerus.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. Selama lima tahun terakhir, pada umumnya setiap tahunnya terjadi peningkatan nilai piutang pajak yang dikelola oleh DJP, kecuali pada tahun 2012 dan 2014. Tren peningkatan nominal piutang pajak ini dapat berarti dua hal, yaitu DJP berhasil meningkatkan kinerja penerbitan ketetapan pajaknya (dalam hal nominal) dan/atau kinerja DJP dalam Penagihan Pajak mengalami penurunan.
2. Pada dua tahun terakhir nilai Sengketa Pajak melebihi nilai Piutang Pajak bruto. Nominal sengketa pajak yang cukup besar ini menandakan bahwa DJP perlu meningkatkan kualitas penerbitan ketetapan pajaknya.
3. Kualitas penerbitan ketetapan pajak dapat dilaksanakan DJP antara lain dengan cara meningkatkan pelaksanaan peer review, serta menambah jumlah dan meningkatkan kualitas pegawai untuk melaksanakan Pemeriksaan Pajak dan/atau Verifikasi Pajak.
4. DJP juga perlu meningkatkan pelaksanaan Penagihan Pajaknya.
Daftar Referensi:
1. Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis Akrual
2. Ikatan Akuntan Indonesia - Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 3. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2010 s.d. 2014 (Audited)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan 5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 stdtd Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009