91 BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perppu pada hakikatnya adalah peraturan yang dibentuk
Presiden dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, namun
proses pembentukannya berbeda dengan pembentukan Undang-Undang—meskipun memiliki materi muatan yang sama. Kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu didasarkan atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
92 Undang-Undang (vide Pasal 52 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011). Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 52 ayat (5) UU No 12 Tahun 2011).
Frasa “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, tidak sama dengan frasa ”keadaan bahaya” seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 UUD 1945. Frasa “keadaan bahaya” yang diatur di dalam Pasal 12 UUD 1945 tersebut mengandung unsur objektif sedangkan frasa “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” di dalam Pasal 22 ayat (1) UUD
1945 secara gramatikal mempunyai unsur subjektif. Berdasarkan hal tersebut menurut pendapat penulis, frasa “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” merujuk pada kekuasaan diskresi terjadi pada aras Hukum Administrasi, sedangkan frasa “keadaan bahaya” merujuk
pada kekuasaan darurat terjadi pada aras Hukum Tata Negara. Penggunaan Pasal 22 UUD 1945 berada pada ranah (domain) pengaturan yaitu berkenaan dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu yang lebih menekankan dari aspek internal negara berupa kebutuhan hukum yang bersifat mendesak.
Makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
93 Undang-Undang (Perppu) adalah penilaian subjektif Presiden, bahwa dibutuhkan suatu undang-undang, tetapi dengan mekanisme normal undang-undang tersebut tidak mungkin dihasilkan. Hal inilah yang
menjelaskan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa" sebagai
kewenangan yang sifatnya khusus atau luar biasa, pengertian “hal
ikhwal kegentingan yang memaksa" adalah ranah kebijakan Presiden yang tidak perlu didefinisikan karena sifatnya subyektif. Hal itu hanya dapat diobyektifkan manakala dalam persidangan DPR selanjutnya hal itu dapat disetujui. Selain itu, pandangan penulis tersebut secara kontekstual menggarisbawahi pentingnya fleksibilitas pemerintahan (kewenangan Presiden secara subjektif) dalam menilai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” untuk menerbitkan Perppu.
B. Saran
1. Ranah dalam menilai makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang
memaksa” hendaknya tetap pada koridor konstitusi yaitu
noodverordeningsrecht Presiden—selain itu juga mengingat
pentingnya fleksibilitas pemerintahan.
2. Presiden dalam subyektifitasnya menentukan “hal ikhwal
94 mematuhi konstitusi normatif pada pasal-pasal UUD Tahun 1945 yang mengatur mengenai HAM.
3. MPR perlu meninjau ulang mengenai prosedur dan subjek yang dapat me-review Perppu ke depannyaapabila ada agenda perubahan UUD. Hal ini untuk mengakomodir adanya perdebatan peran dari kekuasaan judicial (Mahkamah Konstitusi) dalam mengawasi Perppu yang
dikeluarkan kekuasaan eksekutif Presiden dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.