• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802012126 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802012126 Full text"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU SEHAT DAN SPIRITUALITAS SEBAGAI

PREDIKTOR SUBJECTIVE WELL-BEING PADA LANSIA

OLEH

VENTY RATNASARI TELAUMBANUA 802012126

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

PERILAKU SEHAT DAN SPIRITUALITAS SEBAGAI

PREDIKTOR SUBJECTIVE WELL-BEING PADA LANSIA

Venty Ratnasari Telaumbanua Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara perilaku sehat dan

spiritualitas terhadap subjective well-being pada lansia. Pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan multistage random sampling dengan jumlah partisipan

sebanyak 123 lansia di Kelurahan Bugel, Salatiga. Peneliti mengambil data

menggunakan Satisfaction With Life Scale yang disusun oleh Diener, Emmons, Laser

& Griffin (1985), The Possitive and Negative Affect Schedule (Watson, Clarck &

Tellegen, 1988), Health Behavior Checklist (Vickers, 1990) dan Spirituality Scale

(Delaney, 2005). Teknik analisa data menggunakan regresi berganda. Hasil yang

diperoleh adalah r = 0,460 dengan sig. 2-tailed = 0,000 (p < 0,05), yang berarti perilaku

sehat dan spiritualitas berpengaruh secara simultan dengan subjective well-being pada

lansia dengan besar kontribusi sebesar 21,2 %.

(9)

ii

Abstract

The aim of the present study is to investigate the influence between health behavior and spirituality toward subjective well-being in older adults. 123 older adults in Bugel, Salatiga were recruited to participate in this study using multistage random sampling. They fill the Satisfaction With Life Scale which prepared by Diener, Emmons, Laser & Griffin (1985), The Possitive and Negative Affect Schedule (Watson, Clarck & Tellegen, 1988), Health Behavior Checklist (Vickers, 1990) dan Spirituality Scale (Delaney, 2005). Data were analyzed using multiple regression. The result shows r = 0,460 with sig. 2-tailed = 0,000 (p < 0,05), which means health behavior and spirituality were significantly infuence simultaneously on subjective well-being in older adults and give contribution 21,2%.

(10)

1

PENDAHULUAN

Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang

dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Usia tua atau

sering disebut senescence merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang

ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh, biasanya mulai pada usia yang

berbeda untuk individu yang berbeda. Perubahan yang terjadi pada fungsi tubuh

membuat lansia menjadi individu lemah dan rentan terhadap penyakit (Papalia, 2003).

Dari perubahan tersebut maka seharusnya lansia menjaga perilaku sehat termasuk gaya

hidup agar bisa tetap aktif dan sehat.

Hidup sehat pada masa lansia merupakan harapan semua orang. Tak hanya

secara fisik, namun juga memiliki kebahagiaan. Erik Erikson (dalam Feist & Feist,

2010) menyatakan bahwa pada tahap perkembangan lansia terjadi krisis identitas

manusia yang terakhir yakni integritas vs keputusasaan. Integritas berarti perasaan akan

keutuhan dan koherensi, kemampuan untuk mempertahankan rasa “kesayaan” serta

tidak kehilangan kekuatan fisik dan intelektual. Perasaan akan keutuhan tersebut

merujuk pada kesejahteraan yang dimiliki oleh individu. Perasaan akan keutuhan

dirinya sendiri yang kemudian mengarahkan lansia untuk memiliki keterikatan dengan

dirinya sendiri dan juga Tuhan sebagai pencipta serta memiliki perasaan akan kepastian

tujuan hidup dari lansia itu sendiri. Hal ini dapat memunculkan perasaan bahagia dan

berhasil dalam hidupnya. Kebahagiaan dapat membantu lansia untuk berhubungan dan

berinteraksi dengan orang lain. Setiap lansia pasti menginginkan hidupnya bahagia dan

memiliki kepuasan hidup. Namun tidak semua dapat merasakan kebahagiaan, jika

gagal dalam tahapan ini maka dapat memunculkan perasaan putus asa, sedih dan

(11)

2

Subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif

seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional untuk setiap

kejadian serta penilaian kognitif tentang kepuasan akan pemenuhan dalam hidupnya.

Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika merasakan banyak

emosi yang menyenangkan dan sedikit emosi yang tidak menyenangkan, terlibat dalam

kegiatan yang dianggap menarik, serta merasa puas dengan kehidupannya (Diener,

2000). Selanjutnya, Diener menyatakan bahwa orang lanjut usia mengalami penurunan

kebahagiaan karena penurunan kemampuan adaptasi terhadap kondisi mereka. Orang

lanjut usia umumnya kondisi fisiknya menurun dan ketika kemampuan adaptasi mereka

menurun akan berpengaruh terhadap kepuasan hidup yang berdampak pada tinggi

rendahnya subjective well-being. Subjective well-being mencakup tiga dimensi yakni

kepuasan hidup (life satisfaction), afek positif dan afek negatif. Kepuasan hidup

merupakan penilaian individu terhadap kualitas hidupnya sedangkan afek positif dan

afek negatif merupakan gambaran keadaan emosi seseorang (Diener, 1984).

Kesejahteraan yang dimiliki lansia cenderung menurun ketika lansia mulai

merasakan dampak dari keluhan perubahan fisik yang mereka alami. Pada masa ini

biasanya keadaan fisiknya sudah jauh menurun dari periode perkembangan sebelumnya.

Selama proses menuju lanjut usia, individu akan banyak mengalami berbagai kejadian

hidup yang penting yang sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif, biasanya

berkaitan dengan fisik, intelektual, kepribadian dan kehidupan. Masalah lain yang

terkait pada masa ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk

cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhkan perhatian lebih. Masalah-masalah ini

(12)

3

penurunan ini dapat mempengaruhi kondisi kesejahteraan lansia tersebut (Turana,

2013).

Berdasarkan Susenas 2012 (dalam Turana, 2013) menyatakan separuh lebih

lansia (52,12%) mengalami keluhan kesehatan sebulan terakhir, dan tidak ada

perbedaan lansia yang mengalami keluhan kesehatan berdasarkan jenis kelamin

(laki-laki 50,22%; perempuan 53,74%). Secara umum derajat kesehatan penduduk lansia

masih rendah, yang dapat dilihat dengan peningkatan persentase penduduk lansia yang

mengalami keluhan kesehatan dari tahun 2005-2012. Keluhan yang sering terjadi adalah

mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan, saluran kencing, fungsi indra

dan menurunnya konsentrasi. Keluhan-keluhan tersebut membuat mereka merasa tidak

nyaman dan hal ini berdampak pada kesejahteraan diri yang dimiliki lansia terhadap

dirinya sendiri.

Keluhan yang mereka alami membuat mereka merasa tidak berdaya dan tidak

berguna serta menyusahkan orang lain di sekitarnya. Perasaan tidak berguna dan tidak

diinginkan membuat banyak lansia mengembangkan perasaan rendah diri dan marah.

Perasaan ini tentu saja tidak membantu untuk penyesuaian sosial dan pribadi yang baik.

Lansia menjadi tidak memiliki keutuhan akan dirinya sendiri sehingga dibutuhkan

kondisi yang dapat menunjang kehidupan yang memuaskan bagi lansia sehingga mereka

dapat menjalani masa lansia dengan baik. Hurlock (dalam Hutapea, 2011) menyatakan

bahwa kondisi hidup yang menunjang tersebut dapat berupa kesehatan, sosial ekonomi,

kemandirian dan kesehatan mental. Sedangkan pada masa ini lansia banyak

mengeluhkan masalah kesehatan dan perilaku sehat sangat dibutuhkan dalam

(13)

4

Schaie dan Willis (1991) mengemukakan bahwa kepuasan hidup yang

merupakan salah satu aspek dari subjective well-being dapat dicapai dengan menjaga

kesehatan fisik dan psikis melalui kebiasaan mengatur gizi, olahraga dan terlibat dalam

aktivitas yang membutuhkan pemikiran. Artinya kepuasan hidup dapat dicapai dengan

memiliki kecenderungan hidup sehat agar kesehatan fisik terjaga. Menurut Vickers dkk

(dalam Monroig, 2012) perilaku sehat merupakan upaya untuk mempertahankan atau

meningkatkan kesehatan. Kategori yang berbeda dari perilaku kesehatan yang positif

meliputi perilaku yang seharusnya membantu mencegah timbulnya penyakit (seperti

menghindari zat seperti tembakau dan alkohol), menghindari melakukan perilaku

beresiko (seperti bahaya kecelakaan kendaraan bermotor ataupun berjalan kaki),

perilaku yang mengurangi resiko adaptif tubuh (seperti menghindari bahaya lingkungan

serta zat berbahaya) dan perilaku yang dapat meningkatkan kesehatan dengan menjaga

dan meningkatkan kesejahteraan (seperti mengunjungi dokter secara teratur).

Membiasakan diri melakukan perilaku sehat diharapkan dapat membuat lansia

memiliki kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan lansia yang tidak terbiasa

melakukan perilaku sehat. Lansia dengan kesehatan yang baik merasa lebih semangat

dan antusias dalam menjalani masa lansia mereka serta dapat melakukan aktivitas

dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Ketika lansia melakukan perilaku sehat maka

lansia cenderung memiliki hidup yang sehat sehingga tidak akan menjadikan lansia

cenderung sakit. Lansia menjadi lebih nyaman dalam menjalani hidupnya tanpa

terganggu dengan sakit di tubuhnya, tidak cemas, dan tetap tenang menjalani hidupnya.

(Basar, 2006). Perasaan senang, semangat, antusias, nyaman dan tenang dapat membuat

lansia menilai bahwa hidupnya lebih baik dan merasa lebih puas dalam menjalani masa

(14)

5

kesehatan yang cenderung menurun. Sedangkan mereka tetap merasa semangat dan

antusias dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Lansia yang menjalani hidupnya dengan

perasaan tenang, tidak cemas akan sakit penyakit mendukung lansia untuk memiliki

afek positif lebih tinggi. Kepuasan dan afek positif yang dimiliki lansia membuat lansia

memiliki tingkat subjective well-being yang cenderung tinggi.

Selain itu aktivitas spiritual sering dihubungkan dengan terjaganya fungsi

kognitif pada usia lanjut. Dengan rutin menghadiri acara-acara keagamaan, maka dapat

membantu pemulihan fungsi kognitif dan mencegah kepikunan. Dengan mengikuti

aktifitas spiritual, maka dapat memberikan arti hidup, rasa berarti, dan harapan hidup

pada lansia, sehingga dapat menstimulasi fungsi kognitif mereka. Penelitian pada 3.050

lansia yang dilakukan Hill dkk (2003) menyatakan bahwa selama pemantauan 8 tahun

menunjukkan bahwa lansia yang menghadiri acara keagamaan secara rutin cenderung

mengalami penurunan kognitif lebih lambat dibandingkan dengan kelompok yang tidak

aktif dalam aktifitas keagamaan.

Beberapa teori berusaha untuk menjelaskan alasan keterlibatan aktifitas spiritual

dengan proses penuaan kognitif yang sehat. Pertama, keterlibatan diri dalam kegiatan

religius berkaitan dengan rasa berarti dan harapan yang mampu membantu individu

mengatasi stres secara efektif, ansietas, dan depresi yang berhubungan dengan usia yang

semakin menua. Diskusi filosofis dapat secara langsung maupun tidak langsung

memperlambat penurunan kognitif melalui sisi psikologis seperti rasa optimis dan

kebahagiaan. Selain itu, aktifitas spiritual sebagai bentuk gaya hidup aktif dan

keterikatan sosial dapat mengisi waktu senggang dengan kegiatan aktif yang

menstimulasi fungsi kognitif sehingga akan menambah kapasitas cadangan otak, dan

(15)

6

Berangkat dari tahap perkembangan milik Erikson tentang integrity vs despair

yang menghasilkan perasaan utuh akan dirinya sendiri membuat lansia merasa memiliki

keterikatan dengan dirinya sendiri dan juga terhadap pencipta yakni Tuhan dan

memiliki kepastian tujuan hidup. Menurut Markstrom (1999); Ray & McFadden (2001)

(dalam Kiesling, 2009) dalam teori identitas, spiritualitas telah lama diakui sebagai

domain penting dalam pembentukan identitas dan sebagai kontributor untuk

perkembangan orang dewasa. Oleh karena itu, masa perkembangan dewasa lanjut yang

bahagia dan merasa puas dalam hidupnya juga dapat dipengaruhi oleh tingkat

spiritualitas dari dewasa lanjut.

Delaney (2005) menyatakan bahwa spiritualitas memiliki 4 aspek. Keempat

aspek itu adalah higher power or universal intelligence, yakni kepercayaan akan sesuatu

yang lebih tinggi; self-discovery, yakni perjalanan spiritual yang dimulai dari refleksi

diri; relationships, yakni hubungan antara orang lain dengan rasa hormat yang

mendalam; eco-awareness, yakni hubungan dengan alam berdasarkan rasa hormat dan

menghargai lingkungan. Selanjutnya Delaney menggabungkan aspek higher power or

universal intelligence dengan eco-awareness menjadi satu.

Myers, (dalam Hoyer & Roodin, 2003) menyatakan bahwa kesejahteraan

subjektif dapat dipengaruhi oleh faktor yang berbeda untuk orang dewasa lanjut dan

yang lebih muda. Misalnya, orang dewasa lanjut cenderung memiliki skor yang lebih

tinggi pada kesejahteraan ketika hubungan sosial mereka memuaskan, kesehatan mereka

secara keseluruhan baik, dan keyakinan agama mereka yang kuat. Koenig (2012)

menyatakan bahwa kesehatan merupakan prediktor terkuat dari kesejahteraan baik pada

populasi yang lebih muda dan juga yang lebih tua. Selain itu. studi empiris yang

(16)

7

religiusitas dan spiritualitas dan kesehatan. McCullough et al. (dalam Lunstad et al,

2011) menyatakan bahwa spiritualitas mempunyai hubungan positif dengan kesehatan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Boswell (2006) menyatakan bahwa spiritualitas,

kegiatan fisik dan diet yang sehat berkontribusi pada kesejahteraan subjektif fisik.

Namun penelitian lain dari Das & Ghose (2012) menyatakan bahwa spiritualitas

merupakan prediktor negatif dari subjective well-being. Hipotesa yang diajukan oleh

peneliti yakni terdapat pengaruh perilaku sehat dan spiritualitas terhadap subjective

well-being pada lansia. Karena hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui perilaku sehat dan spiritualitas sebagai prediktor terhadap subjective

well-being pada lansia.

METODE PENELITIAN

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah individu yang sudah memasuki masa

lanjut usia yang dimulai dari umur 60 tahun. Partisipan harus mempunyai kemampuan

mendengar yang baik, mengerti dan mampu merespon kuesioner yang diajukan oleh

peneliti atau dengan kata lain partisipan dalam penelitian ini tidak memiliki sakit kronis.

Lokasi penelitian adalah di Kota Salatiga yang terdiri dari 4 kecamatan dan 23

kelurahan. Teknik sampling yang digunakan adalah multistage random sampling.

Dengan cara mengundi, dari 4 kecamatan didapatkan Kecamatan Sidorejo. Peneliti

kemudian melakukan undi lagi dari 6 kelurahan yang termasuk dalam wilayah

Kecamatan Sidorejo. Berdasarkan hasil undi, yang menjadi wilayah penelitian adalah

(17)

8

perhitungan jumlah sampel yang dikembangkan dari Isaac dan Michael untuk tingkat

kesalahan 5% didapatkan jumlah sampel sebanyak 123 orang (Sugiyono, 2011).

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara door to door oleh peneliti karena tidak

memungkinkan untuk mengambil data secara klasikal melihat kondisi dari partisipan

yang sudah tua dan membutuhkan perhatian khusus langsung dari peneliti dalam

pengisian kuesioner. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner

untuk mengukur subjective well-being yang terdiri dari satisfaction with life scale

(SWLS) dan positive affect and negative affect scale (PANAS), dan pengukuran perilaku

sehat menggunakan health behavior checklist (HBC), serta untuk mengukur spiritualitas

menggunakan spirituality scale (SS).

1. Satisfaction With Life Scale (SWLS)

Satisfaction With Life Scale (SWLS) merupakan skala yang dikembangkan oleh

Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin (1985) untuk mengukur kepuasan dalam hidup

yang terdiri dari 5 item. Skala ini menggunakan format jawaban 7 poin skala Likert,

yaitu: 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (sedikit tidak setuju), 4 (tidak memilih

setuju ataupun tidak setuju ), 5 (sedikit setuju), 6 (setuju), 7 (sangat setuju). Pada skala

SWLS dari 5 item yang diujikan, 5 item dinyatakan memiliki daya diskriminasi baik

(p > 0,20) dengan nilai korelasi yang berada antara 0,459 sampai dengan 0,662.

(18)

9

2. The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS)

The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) merupakan skala yang

dikembangkan oleh Watson, Clark, and Tellegen (1988) untuk mengukur perasaan

positif dan negatif. Masing-masing skala perasaan positif dan perasaan negatif terdiri

dari 10 item. Skala ini menggunakan format jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1

(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu).

Skor skala didapatkan dengan menjumlahkan 10 item untuk merefleksikan lebih tinggi

perasaan positif atau perasaan negatif. Pada penelitian ini, skala PANAS yang

digunakan adalah PANAS yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan analisis item didapatkan 9 item memiliki daya diskriminasi baik untuk

perasaan positif dengan korelasi item total sebesar 0,213-0,679 dan reliabilitas sebesar

0,766 sedangkan terdapat 7 item yang memiliki daya diskriminasi baik untuk perasaan

negatif dengan korelasi item total sebesar 0,268-0,573 dan reliabilitas sebesar 0,727.

3. Health Behavior Checklist (HBC)

Health Behavior Checklist (HBC) merupakan skala yang dikembangkan oleh

Vickers dkk (1990) untuk mengukur perilaku sehat yang terdiri dari 26 item. Subjek

menunjukkan seberapa baik setiap perilaku kesehatan tertentu menggunakan skala

respon 5 poin dari "Sama sekali tidak seperti saya" (dinilai 1) ke "Sangat mirip dengan

saya" (dinilai 5). Berdasarkan analisis item didapatkan 17 item yang memiliki daya

diskriminasi baik dengan korelasi item total sebesar 0,283-0,635 dan reliabilitas sebesar

(19)

10

4. Spirituality Scale (SS)

Spirituality Scale (SS) merupakan skala yang dikembangkan oleh Delaney

(2003) untuk mengukur tingkat spiritualitas yang terdiri dari 23 item. Skala ini

menggunakan format jawaban 6 poin skala Likert, yaitu: 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak

setuju), 3 (hampir tidak setuju), 4 (hampir setuju), 5 (setuju), 6 (sangat setuju).

Berdasarkan analisis item didapatkan 18 item yang memiliki daya diskriminasi baik

dengan korelasi item total sebesar 0,203-0,551 dan reliabilitas sebesar 0,762.

Hasil Penelitian

Analisis Deskriptif

Tabel 1. Statistikdeskriptif skala perilaku sehat, spiritualitas dan subjective well-being pada lansia

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

SWB_Kepuasan_Hidup 123 24.60 5.980 8 34

SWB_Afek_Positif 123 32.86 7.489 13 43

SWB_Afek_Negatif 123 18.20 4.845 7 29

Perilaku_Sehat 123 53.79 16.365 18 83

Spiritualitas 123 53.61 15.033 19 88

Total_SWB 123 148.48 17.409 91 186

Tabel 1 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel

perilaku sehat, spiritualitas dan SWB. Peneliti kemudian membagi skor dari setiap skala

menjadi 5 kategori mulai dari “sangat rendah” hingga “sangat tinggi” menggunakan

rumus kategorisasi (Hadi, 2000). Tabel 2, 3 ,4, menunjukkan kategori skor untuk setiap

(20)

11

Tabel 2. Kriteria skor untuk perilaku sehat

No. Interval Kategori F Persentase Mean

Data di atas menunjukkan tingkat perilaku sehat yang diperoleh dari 123

partisipan yang berbeda dari tingkat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori sangat

rendah diperoleh persentase sebesar 2,44%, kategori rendah sebesar 34,96%, kategori

sedang sebesar 39,03%, kategori tinggi sebesar 17,07% dan kategori sangat tinggi

sebesar 6,50%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada pada

kategori sedang dengan persentase 39,03%.

Data di atas menunjukkan tingkat spiritualitas yang diperoleh dari 123 partisipan

yang berbeda dari tingkat sedang hingga sangat tinggi. Pada kategori sedang diperoleh

persentase sebesar 19,51 %, kategori tinggi sebesar 35,77% dan kategori sangat tinggi

sebesar 44,72%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada

(21)

12

Tabel 4. Kriteria skor untuk kepuasan hidup

No. Interval Kategori F Persentase Mean

Data di atas menunjukkan tingkat kepuasan hidup yang diperoleh dari 123

partisipan yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori

sangat rendah diperoleh persentase sebesar 4,07 %, kategori rendah sebesar 7,32 %,

kategori sedang sebesar 16,26%, kategori tinggi sebesar 39,02% dan kategori sangat

tinggi sebesar 33,33%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan

berada pada kategori tinggi dengan persentase 39,02%.

Tabel 5. Kriteria skor untuk afek positif

No. Interval Kategori F Persentase Mean

Data di atas menunjukkan tingkat afek positif yang diperoleh dari 123 partisipan

yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori sangat

rendah diperoleh persentase sebesar 2,44 %, kategori rendah sebesar 10,57 %, kategori

sedang sebesar 26,02%, kategori tinggi sebesar 27,64% dan kategori sangat tinggi

sebesar 33,33%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada

(22)

13

Tabel 6. Kriteria skor untuk afek negatif

No. Interval Kategori F Persentase Mean

Data di atas menunjukkan tingkat afek negatif yang diperoleh dari 123 partisipan

yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga tinggi. Pada kategori sangat rendah

diperoleh persentase sebesar 12,20 %, kategori rendah sebesar 37,40 %, kategori sedang

sebesar 35,77%, dan kategori tinggi sebesar 14,63%. Dari tabel di atas diketahui bahwa

sebagian besar partisipan berada pada kategori rendah dengan persentase 37,40%.

Uji Asumsi

Penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian korelasional yang bertujuan

untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan perilaku sehat, spiritualitas dan

subjective well-being. Sebelum melakukan analisis data maka perlu untuk melakukan

uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistik yang akan digunakan.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan hasilnya menunjukkan

(23)

14

2. Uji Linearitas

Dari hasil uji linearitas antara perilaku sehat dan SWB didapatkan nilai F sebesar

1,668 dan signifikansi deviation from linearity sebesar 0,030 sedangkan untuk

spiritualitas dan SWB didapatkan nilai F sebesar 0,946 dan signifikansi deviation

from linearity sebesar 0,570. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku sehat dan

spiritualitas memiliki hubungan yang linear dengan SWB.

3. Uji Multikolinearitas

Dari hasil uji multikolinearitas didapatkan bahwa tidak terdapat

multikolinearitas antara perilaku sehat dan spiritualitas sebagai variabel

independen dengan nilai tolerance 0,777 dan VIF 1,287.

4. UjiHeteroskedastisitas

Berdasarkan hasil perhitungan heteroskedastisitas variabel perilaku sehat

memiliki nilai signifikansi 0,372 dan variabel spiritualitas sebesar 0,063. Jadi

dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas dalam pengujian ini.

Hasil Analisis Data

Berdasarkan hasil uji asumsi yang meliputi uji normalitas, linearitas,

multikolinearitas, dan heteroskedastisitas maka dapat dilakukan perhitungan regresi

berganda. Hasil regresi antara perilaku sehat, spiritualitas terhadap subjective well-being

dapat dilihat di tabel di bawah ini.

Tabel 8. Hasil uji regresi secara simultan

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 7839.373 2 3919.686 16.143 .000a

Residual 29137.327 120 242.811

Total 36976.699 122

a. Predictors: (Constant), Perilaku_Sehat, Spiritualitas

(24)

15

perilaku sehat dan sipritualitas terhadap subjective well-being adalah sebesar 0,460

dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada

pengaruh secara simultan antara perilaku sehat, spiritualitas terhadap subjective

well-being. Dari data di atas juga didapatkan bahwa nilai R Square sebesar 0,212 yang

berarti bahwa perilaku sehat dan spiritualitas secara bersama-sama berkontribusi sebesar

21,2 % pada subjective well-being sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor yang lain.

Tabel 9. Hasil uji korelasi spiritualitas, perilaku sehat dan SWB

Spiritualitas Perilaku_Sehat TOTAL_SWB

Spiritualitas Pearson Correlation 1 .493**

.285**

Sig. (2-tailed) .000 .001

N 123 123 123

Perilaku_Sehat Pearson Correlation .493** 1 .455**

Sig. (2-tailed) .000 .000

N 123 123 123

TOTAL_SWB Pearson Correlation .285** .455** 1

Sig. (2-tailed) .001 .000

N 123 123 123

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari hasil tersebut di atas didapatkan bahwa koefisien korelasi perilaku sehat

dengan SWB adalah sebesar 0,285 dengan taraf signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,005).

Hasil ini menunjukkan adanya hubungan positif antara perilaku sehat dan SWB.

Sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel perilaku sehat terhadap subjective

(25)

16

signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif

antara spiritualitas dan SWB. Sumbangan efektif yang diberikan spiritualitas terhadap

subjective well-being adalah 18,92% (β x rx2y x 100%).

Tabel 10. Hasil korelasi antara perilaku sehat, spiritualitas dan aspek-aspek SWB

Perilaku_

Pearson Correlation 1 .582** .517** .542** -.119

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .188

N 123 123 123 123 123

Spiritualit as

Pearson Correlation .582** 1 .326** .400** -.109

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .229

N 123 123 123 123 123

SWB_Ke puasan_ Hidup

Pearson Correlation .517** .326** 1 .526** -.119

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .192

Pearson Correlation -.119 -.109 -.119 -.393** 1

Sig. (2-tailed) .188 .229 .192 .000

N 123 123 123 123 123

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari data di atas didapatkan bahwa hubungan variabel perilaku sehat dengan

aspek kepuasan hidup memiliki koefisien korelasi 0,517 dengan taraf signifikansi

sebesar 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku

sehat dengan aspek kepuasan hidup. Selanjutnya, koefisien korelasi antara perilaku

sehat dengan aspek afek positif sebesar 0,542 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p

< 0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku sehat dengan

(26)

17

negatif sebesar -0,119 dengan taraf signifikansi sebesar 0,188 (p > 0,05) yang

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara perilaku sehat dengan afek negatif.

Kemudian hubungan variabel spiritualitas dengan aspek kepuasan hidup memiliki

koefisien korelasi sebesar 0,326 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas dengan kepuasan

hidup. Sedangkan koefisien korelasi antara spiritualitas dan aspek afek positif sebesar

0,400 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada

hubungan positif antara spiritualitas dan aspek afek positif. Selanjutnya koefisien

korelasi antara spiritualitas dengan afek negatif sebesar -0,109 dengan taraf signifikansi

sebesar 0,229 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

spiritualitas dengan afek negatif.

PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa data secara simultan antara perilaku sehat dan spiritualitas

menunjukkan bahwa ada pengaruh antara perilaku sehat dan spiritualitas secara

bersama-sama terhadap peningkatan subjective well-being. Hal ini berarti bahwa

hipotesis awal penelitian terbukti bahwa individu yang perilaku sehat dan tingkat

spiritualitas yang juga tinggi akan mempengaruhi subjective well-being yang tinggi.

Ketika lansia melakukan perilaku sehat dan juga memiliki tingkat spiritualitas yang

tinggi secara bersama-sama maka keduanya dapat berkontribusi terhadap subjective

well-being. Namun besar kontribusi keduanya terhadap subjective well-being dalam

penelitian ini hanya sebesar 21,2 % sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor lain yang

tidak diteliti dalam penelitian ini. Sener (2011) menyatakan bahwa faktor yang besar

(27)

18

dari keluarga, tetangga dan lingkungan sosial. Ditambahkan juga oleh Sener bahwa

lansia yang memiliki dukungan sosial yang tinggi cenderung memiliki kepuasan hidup

yang tinggi dan juga dapat mendukung untuk kesehatan lansia.

Dari pengujian korelasi diketahui bahwa perilaku sehat memiliki hubungan

positif dengan subjective well-being pada lansia. Lansia yang selalu melakukan perilaku

sehat akan lebih merasa tenang karena penurunan kondisi fisik yang mereka alami jika

tetap dijaga dengan berperilaku sehat menjadikan mereka tidak khawatir mengenai sakit

dan penyakit. Basar (2006) menjelaskan bahwa dengan berperilaku sehat, lansia

cenderung merasa lebih tenang, senang, nyaman, tidak sakit, dan lebih semangat

melakukan aktivitas setiap harinya. Perasaan-perasaan positif pun lebih banyak

dirasakan dibanding dengan perasaan negatif. Perasaan-perasaan positif tersebut dapat

mendukung lansia untuk menilai hidupnya lebih baik dan merasa puas dengan hidup

mereka. Hal tersebutlah yang dapat menunjang lansia untuk memiliki subjective

well-being yang tinggi. Dari hasil analisa data juga di dapatkan bahwa rata-rata subjek

memiliki tingkat perilaku sehat yang sedang. Sumbangan efektif perilaku sehat sebesar

18,92 %. Kondisi ini dimungkinkan karena di wilayah penelitian sebagian subjek

mengikuti posyandu lansia yang setiap bulannya rutin diadakan berupa pemeriksaan

dari puskesmas dan juga sering diadakannya penyuluhan tentang kesehatan serta adanya

senam lansia yang di beberapa wilayah rutin diadakan sehingga membuat mereka selalu

memperhatikan kondisi tubuh mereka.

Selanjutnya, diketahui juga bahwa spiritualitas memiliki hubungan yang positif

dengan subjective well-being. Dengan melakukan aktivitas spiritual dapat memberikan

harapan, perasaan berarti dan makna hidup. Hal ini juga didukung dengan sebagian

(28)

19

Sang Pencipta dan dengan alam sekitar membuat mereka memiliki kekuatan batin. Hal

ini sejalan dengan penelitian Lun & Bond (2013) yang menyatakan bahwa di

negara-negara yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, spiritualitas berhubungan positif

dengan subjective well-being. Walaupun demikian, sumbangan efektif yang diberikan

spiritualitas terhadap subjective well-being dalam penelitian ini hanya sebesar 2,28 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku

sehat dan kepuasan hidup. Lansia yang cenderung melakukan perilaku sehat lebih

mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa khawatir akan sakit di tubuhnya. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Basar (2006) bahwa kecenderungan

untuk berperilaku sehat berkorelasi positif dengan kepuasan hidup pada lansia. Dalam

penelitiannya Basar menjelaskan bahwa ketika lansia cenderung untuk berperilaku sehat

maka akan meminimalisir resiko sakit bagi lansia dan mereka akan tetap merasa sehat

serta memungkinkan mereka bergerak seperti keinginan mereka dan tidak terganggu

dengan keluhan rasa sakit sehingga lansia lebih menikmati kehidupannya. Dalam

penelitian ini juga lansia yang menjadi subjek penelitian kebanyakan masih aktif

bekerja di ladang ataupun mengurus keperluan sehari-hari mereka tanpa harus dibantu

oleh anak ataupun cucu mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih merasa kuat

akan kondisi fisik mereka serta tidak perlu bergantung dengan keberadaan orang lain.

Mereka merasa mandiri dan dapat melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Mereka

tidak cemas jika hanya sendiri di rumah jika ditinggalkan oleh anaknya ketika bekerja

pada siang hari. Hal inilah yang dapat menunjang lansia untuk menilai hidupnya lebih

baik dan merasa puas akan kehidupannya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Borg, Hallberg & Blomqvist (2006) menemukan bahwa kepuasan hidup ditentukan oleh

(29)

20

Lansia yang merasa puas dengan hidupnya melaporkan bahwa mereka jarang sekali

merasa cemas dan tingkat perasaan kesepian yang rendah serta lebih aktif ikut dalam

kegiatan olahraga.

Selain itu terdapat hubungan positif antara perilaku sehat dengan afek positif.

Lansia dalam penelitian ini sebagian besar merasa masih merasa penuh semangat dan

antusias serta tidak khawatir akan kehidupan mereka. Walaupun kondisi fisik mereka

menurun, akan tetapi mereka tidak khawatir jatuh sakit karena mereka selalu

memperhatikan kesehatan mereka. Sebagian besar rutin untuk memeriksakan kesehatan

ke puskesmas, menghindari pekerjaan dan aktivitas yang beresiko tinggi akan

kecelakaan sehingga mereka merasa lebih aman dan tenang. Hal inilah yang mendukung

mereka untuk memiliki afek positif. Mereka juga mengakui bahwa mereka masih

merasa kuat. Perasaan kuat tersebutlah yang menunjang mereka untuk tetap melakukan

aktivitas mereka seperti biasa karena sebagian besar partisipan masih produktif

misalnya bekerja di ladang, membuat tempe, tukang ojek, berjualan di pasar, dll.

Mereka masih dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan juga membantu ekonomi

keluarga tanpa harus bergantung dari anggota keluarga yang lain. Hal tersebut membuat

mereka merasakan tetap berguna dan berdaya di usia lanjut. Hal ini ditunjukkan dengan

sebagian besar subjek berada pada tingkat emosi positif yang tinggi. Kecenderungan

berperilaku sehat membuat mereka lebih nyaman dan merasakan perasaan positif akan

kondisi tubuh mereka (Basar, 2006).

Selain itu, tidak terdapat hubungan antara perilaku sehat dan afek negatif dalam

penelitian ini. Kebanyakan dari lansia mengaku terkadang merasakan kekesalan dan

marah karena masalah dengan cucu dan juga beberapa dari mereka sedang memiliki

(30)

21

bersama anak dan cucu mereka. Anak-anak mereka kebanyakan bekerja pada siang hari

sehingga cucu-cucu lebih banyak berinteraksi dengan kakek-nenek pada siang harinya.

Para lansia merasa sangat susah mengatur cucu-cucu mereka yang kebanyakan masih

kecil dan beberapa juga sudah menginjak usia remaja. Hal itulah yang membuat mereka

merasa sering marah dan kesal karena ulah dari cucu-cucunya. Afek negatif yang

mereka rasakan lebih banyak bersumber dari relasi mereka dengan anggota keluarga

dan orang lain bukan dari efek tidak melakukan perilaku sehat. Hal inilah yang

memungkinkan perilaku sehat tidak berhubungan dengan afek negatif. Hal ini tidak

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Monroig (2012) yang menyatakan bahwa

terdapat korelasi negatif antara perilaku sehat dengan tingkat stres. Selain itu, Lazarus

(dalam Hoyer & Roodin, 2003) menyatakan bahwa afek negatif yang dirasakan oleh

lansia bersumber dari lingkungan yakni dari masalah sosial dengan lingkungan dan juga

dari kegiatan merawat rumah.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara

spiritualitas dengan kepuasan hidup. Nilai spiritualitas yang tinggi yang dimiliki oleh

lansia ternyata mendukung mereka untuk memiliki kepuasan hidup. Hal ini dapat

dimungkinkan karena lansia mengevaluasi apa yang sudah terjadi dalam hidup mereka

selama ini dan rasa syukur yang biasanya diajarkan dalam keagamaan membuat mereka

mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan. Perasaan bersyukur yang mereka miliki

tersebut membuat lansia cenderung untuk merasa puas dengan hidup mereka. Hasil ini

pun sejalan dengan penelitian Lun & Bond (2013) yang menyatakan bahwa spiritualitas

berkorelasi positif dengan aspek kepuasan hidup.

Selanjutnya, diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas

(31)

22

merasakan perasaan positif. Kepercayaan mereka kepada Sang Pencipta sebagai

pemegang kekuatan tertinggi membuat mereka merasa memiliki kekuatan batin dan

hubungan yang erat dengan Sang Pencipta yang diungkapkan melalui doa dan iman

membuat mereka merasa lebih tenang dan senang dengan kehidupan mereka.

Kebanyakan subjek juga sangat aktif dalam kegiatan keagamaan seperti melakukan

ibadah dan juga mengikuti pengajian. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Williams (dalam Stinson, 2013) yang menyatakan bahwa spiritualitas membantu

lansia mengatasi masalah yang muncul dan juga spiritualitas berperan penting dalam

membantu lansia memiliki perasaan kuat dan bermartabat. Selain itu, penelitian yang

dilakukan oleh Whitehead & Bergeman (2012) menyatakan bahwa aktivitas spiritual

yang dilakukan oleh lansia setiap harinya dapat meningkatkan afek positif. Hal ini

didukung juga dengan analisa data bahwa rata-rata lansia dalam penelitian ini memiliki

afek positif yang sedang.

Selain itu, tidak terdapat hubungan antara spiritualitas dengan afek negatif.

Nilai-nilai spiritualitas yang dimiliki oleh lansia tidak berhubungan dengan perasaan

negatif yang dimiliki lansia. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Whitehead & Bergeman (2012) yang menyatakan bahwa aktivitas spiritualitas yang

dilakukan oleh lansia dapat mengurangi perasaan negatif yang muncul setiap harinya.

Hal ini mungkin terjadi karena pemahaman lansia mengenai spiritualitas yakni

hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta dan dengan hal-hal gaib sementara lansia

lebih banyak merasakan afek negatif dari relasi dengan anggota keluarga dan masalah

(32)

23

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara

perilaku sehat dan spiritualitas dengan subjective well-being pada lansia di Kelurahan

Bugel, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Perilaku sehat dan spiritualitas secara simultan dapat menjadi prediktor terhadap

subjective well-being pada lansia di Kelurahan Bugel.

2. Terdapat pengaruh dan hubungan positif antara perilaku sehat dengan subjective

well-being dan memberi kontribusi efektif sebesar 18,92% terhadap subjective well-being. Selain itu juga terdapat hubungan positif antara perilaku sehat

dengan kepuasan hidup, hubungan positif antara perilaku sehat dengan afek

positif sedangkan tidak ada hubungan antara perilaku sehat dengan afek negatif.

3. Terdapat pengaruh dan hubungan positif antara spiritualitas dengan subjective

well-being dan memberi kontribusi efektif sebesar 2,28% terhadap subjective well-being. Selain itu terdapat hubungan antara spiritualitas dengan kepuasan

hidup, hubungan positif antara spiritualitas dan afek positif sedangkan tidak ada

hubungan antara spiritualitas dan afek negatif.

4. Rata-rata lansia di Kelurahan Bugel memiliki tingkat perilaku sehat yang

sedang, spiritualitas yang tinggi, kepuasan hidup yang tinggi, afek positif yang

sedang dan afek negatif yang sedang.

Saran

Mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti

(33)

24

1. Bagi lansia di Kelurahan Bugel

Diharapkan lansia meningkatkan perilaku sehat dengan mengikuti kegiatan

posyandu lansia serta memperhatikan pola hidup sehat dan memiliki tingkat

spiritualitas yang tinggi dengan memahami bahwa spiritualitas tidak hanya

berkaitan dengan hubungan kepada Tuhan saja namun juga berkaitan dengan

hubungan kepada sesama dan juga alam sekitar karena keduanya berkontribusi

terhadap tingkat subjective well-being.

2. Bagi peneliti selanjutnya:

a. Peneliti selanjutnya dapat lebih memodifikasi alat ukur yang digunakan sesuai

dengan tempat penelitian dan memperhatikan penggunaan bahasa yang lebih

jelas dan mudah dipahami.

b. Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan analisis kualitatif juga untuk

mendalami setiap cerita yang dituturkan oleh setiap partisipan sehingga hasil

penelitian dapat lebih maksimal.

c. Peneliti selanjutnya berupaya agar suasana dan lingkungan pada saat partisipan

menjawab kuesionernya lebih dikontrol dan meminimalisir intervensi dari

anggota keluarga lain sehingga partisipan lebih bebas mengisi angket sesuai

(34)

25

DAFTAR PUSTAKA

Basar, I. I. (2006). Hubungan antara kecenderungan hidup sehat dengan kepuasan hidup pada lansia. Humanitas 3(2).

Borg, C., Hallberg, I. R., Blomqvist, K. (2006). Life satisfaction among older (65+) with reduced self-care capacity: the relationship to social, health, and financial aspects. Journal of Clinical Nursing 15, 607-618.

Boswell, G. H., et al. (2006). Spirituality and healthy lifestyle behaviors: stress counter-balancing effects on the well-being of older adults. Journal of Religion and

Health, 45(4).

Das, S., Ghose, S. (2012). Optimism, meaning in life, spirituality and subjective well-being in emerging adults in Kolkata : A brief exploratory study. Indian

Journal of Positive Psychology, 3(3), 232-237.

Delaney, C. (2005). The spirituality scale: Development and psychometric testing of a holistic instrument to assess the human spiritual dimension. Journal of

Holistic Nursing, 23, 145-167.

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.

________. (2000). Subjective well-being: the science of happiness and a proposal for national index. American Psychology Association, 55, 34-43.

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.

Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Andi.

Hill, P. C., Pargament, & Kenneth, I. (2003). Advances in the conceptualization and measurement of religion and spirituality: Implications for physical and mental health research. American Psychologist 58(1), 64-74.

Hoyer, W. J., & Roodin, P. A. (2003). Adult Development and Aging. New York: McGraw-Hill, Inc.

Hutapea, B. (2011). Emotional intelligence dan psychological well-being pada manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta. INSAN 13(2).

Kiesling, C., Sorell, G. (2009). Joining Erikson and identity specialists in the quest to characterize adult spiritual identity. Identity: An International Journal of

Theory and Research, 9, 252–271.

(35)

26

Lun, V. M., & Bond, M. H. (2013). Examining the relation of religion and spirituality to subjective well-being across national cultures. American Psychological

Association: Psychology of Religion and Spirituality, 5(4), 304-315.

Lunstad, J. H., et al. (2011). Understanding the connection between spiritual well-being and physical health: an examination of ambulatory blood pressure, inflammation, blood lipids and fasting glucose. J Behav 34, 477488.

Monroig, M. (2012). Associations between positive health behaviors and psychological distress. The University of Central Florida Undergraduate Research

Journal, 6, 10-17.

Papalia, D. E.(2003). Human Development 9th Edition. New York: McGraw- Hill.

Schaie, K. W. & Willis, S. L. (1991). Adult Developmental and Aging. New York. Harper Collins Publisher, Inc.

Sener, A. (2011). Emotional support exchange and life satisfaction. International

Journal of Humanities and Social Science 1(2).

Stinson, A. M. (2013). Spiritual life review with older adults: finding meaning in late life development. Graduate Theses and Dissertations. University of South Florida.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.

Turana, Y. (2013). Stimulasi otak pada kelompok lansia di komunitas. Buletin Jendela

Data dan Informasi Kesehatan Kemenkes.

Whitehead, B. R., & Bergeman, C. S. (2012). Coping with daily stress: differential role of spiritual experience on daily positive and negative affect. Journal of

Gambar

Tabel 1. Statistik deskriptif skala perilaku sehat, spiritualitas dan subjective well-beingpada lansia
Tabel 3. Kriteria skor untuk spiritualitas
Tabel 5. Kriteria skor untuk afek positif
Tabel 7. Hasil uji Kolomogorov-Smirnov
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Implementasi Kebijakan Dana Desa Tahun 2016 di Desa Sukoharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman sesuai dengan kewenangan desa untuk

Faktor-faktor lain yang menyebabkan tingginya kesalahan dalam penggunaan verba frasal oleh para siswa SMA Negeri 2 Manado yaitu bahwa para siswa mengalami ketidakpahaman

After going through some percentages of analysis the data gained through the questionnaire and interview above, it is concluded that the researcher found

Tujuan penelitian adalah membahas tentang jasa endorse melalui akun lambe turah dalam media sosial Instagram perspektif Fatwa DSN MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan

Firewall atau packet filtering yang digunakan untuk melindungi jaringan lokal dari serangan atau gangguan yang berasal dari jaringan internet bekerja pada layer

Ketika gambaran klinis yang khas dan vesikel muncul, HZ oral dapat dibedakan secara klinis dari lesi multiple akut lainnya pada mulut, dimana lesi bilateral dan tidak didahului

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

Sebab Pasal 18B ayat (2) sebagaimana telah diterangkan sebelumnya hanya mengakomodir kesatuan masyarakat hukum adat yang dalam terminologi Undang Undang Nomor 6 tahun