• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. memahami linguistik makro atau linguistik murni. Terima kasih kepada semua pihak, terutama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. memahami linguistik makro atau linguistik murni. Terima kasih kepada semua pihak, terutama"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penulisan buku

pengantar sosiolinguistik ini, sebagai upaya membantu dan mempermudah mahasiswa dalam

memahami linguistik makro atau linguistik murni. Terima kasih kepada semua pihak, terutama

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta, yang telah membantu dalam berbagai hal

sehingga proses penyusunan buku ini dapat terwujud sesuai yang diharapkan.

Buku ini dimaksudkan untuk memberikan berbagai cara memandang dan memahami

hakekat bahasa bagi seluruh dosen dan mahasiswa dalam rangka membangun keutuhan dan

kedalaman pemahaman bahasa secara apa adanya, yang dipakai oleh masyarakat sehari-hari

dalam berbagai fungsinya yang berbeda. Dengan kata lain buku ini dapat menjadi referensi bagi

dosen dan mahasiswa berkenaan dengan tugas-tugas kelinguistikannya dan hal-hal lain yang

terkait dengan bahasa, masyarakat, dan analisisnya. Disamping itu buku ini juga dimaksudkan

sebagai bekal dan pendorong bagi para mahasiswa agar mereka tidak ragu-ragu dalam analisis bahasa dan pemakaiannya terkait dengan “siapa berbicara kepada siapa dan kapan”.

Kritik dan saran yang membangun penyempurnaan buku ini sangat diharapkan dari semua

pihak. Semoga buku ini dapat memberi manfaat sesuai dengan yang diharapkan, Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, Juli 2013

Penyusun

(2)
(3)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teori linguistik berawal dan berakhir pada rumusan serta temuan yang semakin keluar dari penggunaan bahasa secara nyata dan konkrit. Apabila kita melihat beberapa pembahasan dan penelitian linguistik formal terdapat analisis-analisis yang memisahkan diri dari pemakaian bahasa secara konkrit dalam konteks sosial dan budaya, karena mendasarkan pada logika-logika relasi antarunsur internal bahasa itu sendiri, terlepas dari unsur di luar bahasa. Terdapat pola-pola yang diskrit yang hanya memfokuskan pada hubungan antarunsur dalam kalimat, paragraf ataupun kata dan frase, sehingga terdapat penilaian-penilaian terhadap tuturan yang salah atau ganjil (ill-formed) secara linguistik. Linguis formal melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai sesuatu yang dapat dilupakan dan tidak dapat dianalisis sehingga lebih banyak dihindari dengan berbagai alasan linguistik logis tertentu. Temuan-temuan studi linguistik formal dapat berupa abstraksi-abstraksi pemolaan atau pengkaidahan bahasa yang begitu tertutup dan formal, yang dianggap relatif tetap dan tunggal. Hasil pemolaan ini dinilai merupakan bentuk yang benar dan ideal. Apabila kita melihat pemakaian bahasa secara langsung dan nyata kita jarang menemukan pola-pola tuturan baku, tunggal, dan tetap (sebagai hasil abstraksi) yang dipakai dalam komunikasi nyata, walaupun memang ada. Keidealan dan kebenaran ini terkadang melupakan cara dan strategi penutur itu untuk menyampaikan makna. Terdapat makna-makna tertentu yang harus diungkapkan dengan bentuk tuturan tertentu yang mungkin dinilai tidak benar dan tidak ideal, tetapi sebetulnya dengan cara itulah makna sosial dan kultural penutur itu dibahasakan, sehingga akan mendapatkan respon yang benar dan bermakna dari lawan bicaranya.

Abstraksi-abatraksi ini sering melupakan hakekat yang sebenarnya mengenai bahasa dan melupakan bentuk sumber asli dari bahasa itu sendiri, yakni bentuk-bentuk ujaran yang secara nyata dipakai dalam berinteraksi dan menyampaikan makna-makna sosial dan kultural. Penutur atau tuturan, dalam

(4)

2 interaksi, tidak dapat terlepas dari masuknya unsur-unsur sosial dan kultural yang berlaku. Hal ini dilakukan penutur untuk mendapatkan keberterimaan dan penghormatan secara personal sehingga interaksi berjalan dengan prinsip kerjasama yang cukup dan layak.

Pemakaian bahasa secara nyata memiliki strategi yang relatif berbeda dengan bahasa-bahasa formal yang ada pada abstraksi-abstraksi formal kebahasaan. Sanggahan-sanggahan terhadap pemolaan dari abstraksi di atas muncul dari berbagai disiplin ilmu seperti sosiolinguistik, pragmatik, dan psikolinguistik atau lainnya seperti analisis wacana, dan etnolinguistik. Dalam kaitannya dengan variasi di atas, karena masuknya makna sosial dan kultural, diperlukan adanya pembahasan aspek sosiolinguitik dari sudut pandang latar belakang jenis kelamin yang memunculkan tuturan dan organisasi tuturan berdasarkan peran sosial dan budaya yang diemban oleh kedua jenis kelamin tersebut.

Melihat variasi ujaran yang dipengaruhi oleh latar belakang penutur, sosiolinguis, bahkan linguis formal, mendapatkan kesulitan dalam mengukur keidealan penutur dan keidealan masyarakat bahasa, karena sebetulnya sosiolinguis merasa bahwa mereka mendapat kesulitan dalam menemukan, dan bahkan belum pernah ada, penutur ideal dalam masyarakat bahasa ideal yang begitu abstrak dan bervariasi standarnya.

Pemolaan bahasa semestinya selalu berkembang sesuai dengan kelebatan hubungan antara bahasa, pemakaian, dan pemakainya; dan tidak ada pola yang tetap dan tunggal sebagaimana dikatakan bahwa ada satu-satu korespondensi antara bentuk dan makna (Bloomfield, 1935). Terdapat berbagai tuturan yang benar-benar sama tetapi memiliki makna yang berbeda karena dipakai oleh orang, konteks, tujuan, dan waktu yang berbeda. Kelenturan dan kepekaan pemakaian bahasa dapat diukur secara lebih akurat ketika melekat pada konteks dan situasi yang memunculkan. Situasi merupakan pemicu bentuk ujuran, pemilihan diksi, dan susunan ide yang kemudian disesuaikan dengan konteks budaya yang sedang dijunjung oleh komunitas bahasa tertentu.

Pemakaian bahasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang penutur dan peran dalam situasi tuturan. Makna suatu tuturan itu dapat diterima secara

(5)

3 bermakna dan interaksi tuturan itu dapat berlangsung secara kooperatif apabila petutur dan petutur telah memahami latar belakang masing-masing dan situasi tuturan itu. Terdapat berbagai konflik yang muncul dalam berbahasa yang disebabkan oleh lepasnya pemahaman terhadap latar belakang penutur dan situasi tuturan, atau sering disebut dengan istilah “salah paham”. Konteks budaya dan situasi tuturan sangat menentukan pemilihan susunan dan pemilihan bentuk bahasa untuk menyampaikan makna peran sosial dan budaya.

Hilangnya makna-makna tertentu, seperti kedekatan, ketidakformalan menyebabkan beberapa hasil abstraksi pengkaidahan pada linguitik murni tidak berterima atau ganjil bagi penutur jati pada konteks dan situasi tertentu, karena penutur dalam hal ini, harus menemukan dan memakai secara instan bentuk dan susunan tertentu berdasarkan makna-makna tersebut. Penutur memakai dan mengorganisasi tuturan secara instan dan terkadang keluar tanpa kesadaran penuh mengenai apa yang seharusnya dikatakan dan bagaimana ide itu seharusnya disusun secara formal.

Pengetahuan penutur dan petutur sangat menentukan jenis, susunan, pemilihan bentuk tuturan karena terikat oleh makna yang akan dicapai oleh keduanya. Pengetahuan ini juga mempengaruhi tingkat toleransi dan keakaraban penutur dan petutur, yang akhirnya turut mempengaruhi keakuratan dan kedalaman makna tuturan yang mereka hasilkan.

Bahasa tidak dapat terlepaskan dari aspek interaksi social, karena bahasa adalah alat sosial dan isi dari makna-makna sosial itu sendiri, bukan sekedar ide tuturan dan pertukaran ide secara literal. Makna suatu interaksi ditentukan oleh berbagai variabel yang melekat pada tuturan baik dari aspek pemakai, tuturan, tujuan, maupun situasi tempat interaksi itu berlangsung.

Terdapat berbagai jenis tuturan yang tergantung pada tuntutan keformalan situasi, tujuan, dan tata tutur berinteraksi. Keformalan ini menyangkut properti kode komunikasi/tuturan yang dipakai dan latar sosial (Baugh dan Sherzer,1984:212). Rubin (dalam Baugh dan Sherzer, 1984:212) menyampaikan bahwa keformalan diukur dengan tingkat keintiman dan keseriusan. Latar sosial yang formal menurut Ervin-Tripp (1972:235) melibatkan keseriusan, kesopanan, dan rasa hormat. Bentuk tuturan dalam situasi formal

(6)

4 memerlukan tuturan formal dengan struktur tertentu baik secara semantik, fonologis, sintaktik, maupun morfologis yang memenuhi tuntutan sosial dan kultural pemakainya. Ada kemungkinan bahwa bentuk tuturan dan makna latar sosial memiliki makna yang berbeda menurut siapa berbicara kepada siapa dan tentang apa, atau dengan kata lain, menurut status demografis partisipan yang terlibat. Sebagai contoh menurut berbagai penelitian yang telah ada; bentuk tuturan, kesopanan, rasa hormat, dan keseriusan dapat muncul secara berbeda menurut jenis kelamin partisipannya (Lackoff, 1973; Wardhaugh, 1993:313; Fasold, 1990:114).

Pemakaian bahasa oleh penutur asli pada komunitas bahasa yang apa adanya dipengaruhi oleh genre dan seting penggunaan bahasa. Genre seminar memiliki strategi interaksi yang terpola dan tersusun sesuai dengan kesempatan dan kelebatan ide yang akan disampaikan. Sehingga penanya diharapkan memilih strategi yang efisien dan efektif sesuai dengan tuntutan kesantunan, ketegasan, kelugasan, dan berorientasi masalah. Peserta seminar merupakan komunitas bahasa dalam situasi tutur yang memiliki jarak sosial dengan penyaji seminar, keseriusan tinggi, rasa hormat dan kesopanan yang tinggi juga. Peserta dalam bertanya kepada penyaji tidak hanya berorientasi pada dirinya sendiri dan penyaji, tetapi juga kepada peserta lainnya. Bentuk latar sosial memberi tekanan dan pengaruh lebih ketat kepada peserta dalam bertanya, karena peserta merasakan adanya tuntutan gaya dan laras dalam bertanya, penampilan, kesadaran tentang apa yang akan dikatakan, kedalaman makna, dan kekhususan personal penanya.

Penelitian ini merupakan usaha dalam mencari bentuk dan strutktur tuturan kalimat tanya, susunan ide dalam menyampaikan pertanyaan, pemilihan kata oleh peserta, yang tidak dapat dirumuskan secara abstraksi dan terlepas dari pemakaian kalimat tanya yang sesungguhnya. Walaupun di sisi lain, dalam linguistik murni, kalimat tanya telah terumuskan secara relatif tetap dan homogen.

Lackoff (dalam Wardhaugh, 1993) percaya bahwa perbedaan pemakaian bahasa oleh perempuan dan laki-laki merupakan gejala masalah budaya dan intinya bukan masalah bahasa itu sendiri, yakni lebih merefleksikan

(7)

5 bahwa laki-laki dan perempuan diharapkan memiliki kepentingan dan peran yang berbeda, mempertahankan peran itu, melaksanakan jenis percakapan yang berbeda, dan merespon terhadap yang lain secara berbeda. Dikatakan bahwa semakin berbeda peran sosial yang diisi oleh kedua jenis kelamin, semakin besar perbedaan berbahasanya. Pada masyarakat yang tidak begitu terstratifikasi dengan tajam, peran sosial antarjenis kelamin tidak dibedakan dengan jelas.

Masyarakat bahasa Surakarta sangat erat dengan stratifikasi peran sosial berdasarkan jenis kelamin dan dikenal sebagai pusat budaya adi luhung dan tua dengan berbagai peninggalan kratonnya, sehingga mengakuinya sebagai the spirit of Java. Refleksi situasi perbedaan peran sosial, sebagai peninggalan kraton, ini dapat dilihat dari bahasa yang digunakan dan, kemungkinannya, arah perubahannya dapat diprediksi.

Di atas disampaikan bahwa perbedaan peran sosial berdasarkan jenis kelamin akan memunculkan perbedaan pemakaian tuturan dan sikap menerima bentuk tuturan tersebut. Perbedaan ini akan memunculkan konflik sikap dan makna karena perbedaan persepsi yang disebabkan oleh perbedaan peran sosial dan budaya, khususnya berdasarkan jenis kelamin sebagaimana dikatakan oleh Maltz dan Borker (dalam Wardhaugh, 1993:320). Untuk menghindari konflik dan kesalahpahaman ini diusulkan persamaan cara pandang dan persepsi percakapan yang sama atau dengan pemahaman perbedaan peran-peran sosial yang diemban oleh kedua jenis kelamin.

Saya mencurigai bahwa ada beberapa konflik sikap yang disebabkan oleh persepsi peran dan cara pandang yang berbeda ini pada kedua jenis kelamin di Surakarta. Secara historis kota ini smemiliki budaya kesantunan yang kental di Jawa Tengah. Inilah pentingnya studi ini untuk mengungkap dan melihat perbedaan pola peran dan makna peran dari kedua jenis kelamin itu, sehingga terhindar dari konflik-konflik yang disebabkan oleh perbedaan peran sosial dan persepsi tentang bagaimana cara bertanya dan menjawab pertanyaan yang berterima secara sosial.

Dari perbedaan berbagai fakta di atas dapat disimpulkan bahwa konteks situasi dan budaya sangat mempengaruhi pola-pola bagaimana semestinya perempuan dan laki-laki berinteraksi dan berperilaku. Cara laki-laki dan

(8)

6 perempuan berinteraksi dan berinterpretasi terpolakan secara kultural dan pola itu diwujudkan pada bentuk pemarkah linguitik tertentu yang membedakannya (Fasold, 1990:114). Sebetulnya perbedaan tuturan dan cara pandang antara kedua jenis kelamin itu merupakan hubungan pengaruh timbal balik (interplay). Peran perempuan dibentuk oleh peran dan respon laki-laki, sebaliknya peran laki-laki dibentuk dan direspon oleh perempuan. Perlakuan laki-laki mempengaruhi keberadaan perempuan dan cara berbicara menyampaikan pesannya atau sebaliknya.

Penelitian ini memfokuskan pada tuturan yang dipakai untuk bertanya jawab karena bahasa memiliki salah satu fungsi pokoknya untuk bertukar pikiran, nilai, keakuan dengan menyampaikan pertanyaan dan jawaban. Pikiran manusia berkembang dengan bertanya dan menjawab berbagai hal yang mengganggu ketenangan hidupnya sehari-hari, baik bertanya dan menjawab dengan diri sendiri atau orang lain. Pertanyaan dan jawaban, walaupun dengan pokok proposisi yang sama, muncul dengan berbagai bentuk dan susunan tuturan yang berbeda, yang salah satunya dipengaruhi oleh latar belakang jenis kelamin penutur.

B. Kajian Teori Sosiolinguistik

Berikut ini merupakan beberapa definisi mengenai studi sosiolinguistik:

a. Halliday (1970): linguistic institutional, sosiolinguistik berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu.

b. Pride dan Holmes (1972): studi bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat yaitu language in culture bukan language and culture.

c. Firshman (1972): memberi nama, yang pada beberapa aspek mirip bahkan sama, yakni dengan nama sosiologi bahasa, yang berarti bahwa sosiologi bahasa adalah keseluruan topic yang berkaitan dengan organisasi sosial dari perilaku bahasa, bukan saja pemakaian tetapi juga sikap terhadap bahasa dan penggunanya.

d. D.Hymes (1973): sosiolinguistik dapat mengacu kepada pemakaian data kebahasaan dan menganalisisnya ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangut kehidupan sosial atau sebaliknya mengacu pada data kemasyarakatan dan

(9)

7 menganalisisnya ke dalam linguistic. Dia melihat bahwa bahasa untuk masyarakat dan masyarakat untuk bahasa

e. Trudgill (1974): sosiolinguistik adalah bagian dari lingustik yang berhubungan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala budaya, sehingga budaya masuk dalam bahasa.

f. Criper dan Windowson (1975): studi sosiolinguistik adalah studi bahasa dalam pemakaiaanya. Tujuannya adalah untuk menunjukkan hubungan konvensi bahasa dengan aspek-aspek lain dari budaya.

g. Hudson(1980): studi sosiolinguistik adalah studi tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat.

h. Nababan(1984): seperti Halliday: studi sosiolinguistik adalah studi bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.

Sosiolinguistik timbul berdasarkan asumsi bahwa bahasa bukanlah monolitik dan homogen, tetapi bahasa bersifat heterogen dan bervariasi. Keheterogenan dan kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar bahasa yang sifatnya sosial, sebagaimana dikatakan bahwa bahasa merupakan fenomena sosial (Saussure, 1973; Halliday, 1978) dan bukanlah fenomena fisik (Bloomfield, 1935) atau Kognitif dan mental (Chomsky, 1963). Variasi-variasi ini berpola secara konvensional. Oleh karena itu tugas utama sosiolinguistik adalah membuat model atau pola hubungan antara bahasa dan faktor-faktor sosial (tatanan sosial). Struktur sosial menentukan perilaku bahasa dan keduanya tidak dapat dipisahkan (Fishman, 1971:114).

Cakupan ilmu ini memfokuskan pada penggunaan konkrit dari bahasa dalam konteks sosial, yakni studi bahasa tidak dapat dipisah dari bagaimana dan di mana bahasa itu dipakai (Fishman, 1971). Sedangkan linguistik merupakan ilmu yang melihat bahasa semata-mata, sebagai beberapa definisi sistem logika bukan sosial dan budaya. Secara sosiolinguistik bahasa dilihat sebagai: (1) sistem yang tertutup, yang berarti bahwa bahasa terdiri dari hubungan antarunsur yang saling mempengaruhi, (2) sistem yang hidup, yakni bahasa merupakan sesuatu yang bergantung dan ditentukan keberadaannya oleh lingkungan di luar bahasa dan merupakan sistem yang berevolusi, (3) sistem yang terbuka, yakni bahwa ada hubungan saling mempengaruhi antarelemen dan ada pengaruh dari

(10)

8 konteks penggunaannya. Untuk menganalisis bahasa, sebagai konsekuensinya diperlukan adanya data-data sosial. Sebaliknya juga dalam menganalisis suatu tatanan status sosial suatu masyarakat (seseorang) bisa diketahui atau dimulai dari bahasanya dengan melihat variasi-variasi penggunaan bahasanya.

Variasi bahasa dan tatanan sosial berjalan paralel atau beriring pada arah yang sama pada urutan yang sama. Dikatakan juga bahwa sosiolinguistik muncul karena gagasan bahwa fenomena sosial dan linguistik berada pada tingkat yang sama (Penalosa, 1981:61) sehingga data yang sama dapat digunakan untuk menganalisis baik bentuk bahasa maupun kategori-kategori sosialnya. Suatu bentuk bahasa dipilih sebetulnya semata-mata sebagai suatu realisasi dari nilai sosial dan segala kategori-kategorinya.

Bahasa merupakan alat interaksi budaya, tidak sekadar pertukaran informasi. Pertukaran informasi hanyalah sebagai bagian fungsi bahasa (Bolinger, 1975:24). Walfram (1971:96) juga mengatakan bahwa ada hubungan kausal langsung antara perbedaan variasi bahasa dan perbedaan sosial. Bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi dan saling menentukan dalam arti bahwa variasi bahasa tertentu menunjukkan status sosial tertentu dan status sosial sebaliknya juga menentukan jenis variasi bahasa.

Mengetahui dan mempelajari bahasa dalam sosiolinguistik, harus dilihat dalam konteks yang sesungguhnya di mana bahasa dipakai serta situasi penggunaannya, dan harus dilihat secara empiris dan aktual karena bahasa bukanlah konsep-konsep abstraksi yang ideal tanpa melihat variabel yang mempengaruhi dalam penggunaannya. Sosiolinguistik menggunakan konsep ranah dalam mengklasifikasikan keteraturan-keteraturan yang ditimbulkan oleh hubungan antara variasi bahasa, fungsi sosial, dan situasi (Fishman, 1964). Kaidah keteraturan inilah yang perlu ditemukan oleh sosiolinguistik sebagai kaidah bahasa yang sebenarnya dan bersifat empiris. Kaidah ini secara konvensional diakui dan ditaati untuk dipergunakan oleh setiap penutur. Tugas sosiolinguistik pada dasarnya adalah untuk (1) menganalisis bahasa di luar kalimat dan menekankan pada studi penggunaan bahasa oleh kelompok sosial (Bell, 1976:25) sehingga analisisnya melibatkan data-data sosial untuk

(11)

9 membuatnya deskriptif dan umum (2) Pike (dalam Bell, 197:28) menciptakan teori yang integral dari perilaku manusia (3) Kjolseth (dalam Bell, 1976) mengatakan bahwa sosiolinguistik sebagai ancangan yang integral, interdisipliner, multimetode dan multitingkat terhadap studi perilaku bahasa alami, urut, dan berada dalam situasi sosial

Di lain pihak, Fishman (1972) mengatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari hal-hal yang terjadi sewaktu-waktu dan mencakup eksolinguistik sebagai bagiannya (Fishman, 1972:10). Deskripsi sosiolinguistik menggunakan kalimat sebagai bagian atau komponennya, tidak hanya pada kalimat tertentu pada penutur tertentu tetapi fokusnya pada interaksi penutur-penerima. Jadi titik tolaknya adalah interaksi atau terjadinya interaksi, bukanlah abstraksi-abstraksi bagaimana penutur yang ideal dan pendengar yang ideal sehingga melupakan proses komunikasi (interaksi) dan penerima tuturan yang sebenarnya dan aktual.

Jadi jelas bahwa ancangan sosiolinguistik makro bukanlah pada model-model abstraksi yang terpisah dari penggunaan nyata, alami, serta terpisah dari kontak budaya yang mempengaruhi, tetapi sosiolinguistik melihat suatu hal yang empiris, nyata, faktual dan mengakui keheterogenan bahasa bukanlah kemonolitikannya.

Motivasi awal dari sosiolinguistik dinyatakan secara jelas pada beberapa dekade yang lalu, yakni untuk menunjukkan korelasi antar variasi secara bersama yang sistematis antara bahasa dan susunan sosial serta hubungan sebab akibat dalam suatu tujuan interaksi maupun yang lain (Bright, 1966:11), karena tujuan merupakan hal yang penting. Sebagaimana yang akan kita lihat, yakni dalam suatu pendekatan penelitian yang saling berkaitan yang mengasumsikan bahwa susunan bahasa dan susunan sosial itu hal yang berbeda dan merupakan suatu kesatuan yang terpisah yang sebagian didiskripsikan dalam rumpun ilmu bahasa dan sebagian lain pada rumpun ilmu sosial. Sedikitnya ada 2 pendekatan berbeda dalam pendiskripsian situasi sosial mengenai dimana bahasa itu digunakan. Pendekatan yang pertama adalah bahwa pada umumnya sosiolinguistik sebagaimana tujuannya sebagai data sosial yang akan membuat model bahasa deskriptif lebih umum dan kuat. Sebagai contoh adalah bahasa

(12)

10 dasar dan meluasnya ilmu bahasa yang melampaui level susunan grammar dalam interaksi antara pembicara dengan pendengar. Pendekatan yang kedua yakni sosiolinguistik bertujuan untuk mencari perluasan cabang ilmu pengetahuan, penggabungan bahasa dan struktur sosial di dalam beberapa teori yang akan menyatukan ilmu bahasa dengan pengetahuan manusia di mana bahasa itu digunakan dalam konteks sosial. Seperti pandangan linguistik itu sendiri yang diungkapan oleh De Saussure (1915:33) dalam bukunya semiologi dan kemudian dilengkapi oleh Pike (1967) di dalam penelitiannya untuk membuat sebuah teori penggabungan tingkah laku manusia. Sebuah definisi yang kuat telah diungkapkan oleh Kjolsets (1972) yang mengatakan bahwa sosiolinguistik dapat dilihat sebagai penggunaan berbagai cabang ilmu pengetahuan, berbagai metode, dan tingkat pendekatan dalam rangka pembelajaran bahasa secara alami serta rangkaian dan kebiasaan dan kemampuan bahasa seseorang pada situasi sosial.

Sejauh ini kita hanya memperhatikan hubungan antara linguistik dengan sosiolinguistik secara umum. Oleh karena itu, nampaknya penting untuk mencoba menyatakan dua pandangan yang berbeda dari seorang ahli bahasa yang mempelajari ilmu ini. Disini akan terlihat secara mendasar dua tujuan yang berbeda tergantung pada kekuatan tuntutan dari bidang ilmu yang dipelajarinya: (1). Tuntutan yang lemah yang melihat sosiolinguistik sebagai suatu mata kajian tambahan yang terkait dan berhubungan dengan pengertian grammar dalam syntax, semantik, dan fonologi. (2) Tuntutan yang kuat adalah yang menyangkal kecukupan pemahaman ilmu bahasa/linguistik yang ada sekarang dan mendesak adanya penetapan tujuan dan metode kebahasaan untuk memasukkan data sosial pada model simiontik dari penggunaan bahasa.

Beberapa ahli bahasa seperti Fromkin, (1968) menerima usul dari Chomsky (1965:15) untuk penggabungan data dari penggunaan bahasa secara aktual sebagai kerangka pendiskripsian bahasa seperti halnya beberapa ahli bahasa yang harus memperhatikan pembuatan model penggunaan bahasa (performance). Tujuan melakukan hal ini adalah semata-mata sebagai hasil kerja grammar secara umum. Seorang pendiskripsi harus menerima dua perbedaan antara kompetensi dan perfomansi dan harus memiliki cara pandang bahwa teori

(13)

11 linguistik memfokuskan pada pembicara dan pendengar yang ideal, bukan berfokus atau berkutat pada kondisi yang tidak relevan secara gramatikal yang disebabkan oleh keterbatasan gramatikal. Sedangkan beberapa ahli bahasa yang lain mengikuti cara kerja para filosofi seperti Austin (1962) dan Searle (1969) yang menekankan pada fungsi tuturan dan tuturan itu sendiri. Mereka menolak keterkaiatan status sebagaimana yang diungkapkan di atas dan akan menyangkal adanya pemisahan dua cabang antara kompetensi dan penampilan (Langue dan parole), khususnya pada implikasi struktur yang kurang aplikatif pada situasi yang nyata.

Mereka berpendapat bahwa penggunaan bahasa itu membawa ‘pengetahuan bahasa’ yang merupakan bagian dari kompetensi pembicara dan pendengar yang ideal. Untuk itu tujuan pokok dari ilmu bahasa yang akan dikemukakan oleh pembuat tuntutan yang kuat ini adalah spesifikasi antara kompetensi komunikatif antara pembicara dan pendengar. Contohnya pengetahuannya tidak hanya pada grammar yang benar tetapi juga pada bagaimana bahasa itu digunakan dan diterima dalam masyarakat. Searle secara khusus, yang paling penting dalam pembuatan model kompetensi adalah pengguanaan bahasa yang bisa diterima oleh masyarakat dan tidak hanya pada grammar.

Seorang ahli sosiologi bahasa dalam upayanya untuk mengkorelasikan antara ilmu bahasa dan struktur sosial mempertanyakan banyak prinsip dasar dari bahasa. Dia mencari-cari variasi yang secara tradisional hanya memiliki perhatian yang sedikit dari seorang ahli bahasa dan mencoba untuk mendemonstrasikan tidak hanya pada tipe variasi yang berbeda tetapi juga menonjolkan pada sisi yang sistematik bukan secara acak. Dia memilih sebuah orientasi yang dalam datanya yang memasukkan pemikiran atau konsep tentang kewajaran dan keberterimaan secara riel sehingga dengan cara demikian ditekankan pada perealisasian model yang induktif sedangkan cara-cara deduktif untuk tujuan ini sering dinilai tidak tepat.

Berdasarkan jangkauannya kajian sosiolinguistik dibedakan menjadi dua yaitu sosiolinguistik makro dan sosiolinguistik mikro. Sosiolinguistik makro melihat atau menemukan distribusi atau sebaran dari variasi bahasa dalam

(14)

12 masyarakat dengan melihat status demografis penutur seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan dan keanggotaan etnik (dalam Bell, 1976:27). Jadi sosiolinguistik makro bukanlah pada interaksi individual tetapi mengacu pada keanggotaan pada suatu kelas atau kategori sosial baik jenis kelamin, pekerjaan, dan lain-lain. pada intinya sosiolinguistik makro mempelajari komunikasi atau interaksi intergrup bukan intragrup.

Kami menyarankan bahwa salah satu dari karakteristik sosiolinguistik yang ditekankan adalah pada studi penggunaan bahasa dari kelompok sosial tertentu. Walaupun sangat mungkin untuk mengadopsi pandangan yang bermacam-macam dalam struktur kelompok, ketika dihubungkan dengan bahasa, cenderung menghasilkan hasil yang berbeda. Pandangan yang berbeda mungkin diringkas dalam hubungan yang diambil antara individu dan kelompok. Fitur linguistik dapat dipakai untuk melihat hubungan antarindividu dan antarkelompok, dan fitur itu dapat dideskripsikan dalam dinamika individu dan kelompok.

Pendekatan pertama, mengambil individu sebagai fokus perhatian, membagi wilayah pada psikologi pada umumnya dan psikologi sosial pada khususnya. Sedangkan pendekatan kedua lebih sosiologis dalam penekanannya dan mengikat sosiologi itu sendiri, ekonomi, antropologi dan pengetahuan politik, tergantung pada alam, komposisi dan ukuran kelompok.

Pada dasarnya, divisi antara dua pendekatan itu jauh dari ketepatan tetapi sangat baik secara temporer untuk mengadopsi dan mengadaptasi pada analogi dari sosiologi (Timasheff, 1957:269) hal mikro dan makro memasukkan label mikro sosiolinguistik untuk menganalisis yang menekankan pada individu dalam hubungan kelompok intra informal yang kecil dan makro linguistik dimana tempat investigasi adalah interaksi pada tingkat inter kelompok yang besar.

Perbedaan sosiolinguistik mikro dengan makro, sebetulnya terletak dalam hal filosofis yaitu pada definisi tentang “individualitas”, melihat perbedaan antarindividu yaitu sejumlah ciri-ciri individual yang membedakannya dari individu lainnya (Krech et al. dalam Bell, 1976) yaitu

(15)

13 penekanannya terletak pada cara di mana individu tidak termasuk pada beberapa kategori sosial yang terbentuk secara mana suka, artinya jika seorang penutur mempunyai ciri-ciri perilaku yang tidak ada pada kelompok sosial tertentu, maka ciri-ciri ini ditangani oleh sosiolinguistik mikro. Variabel-variabel mikro biasanya ditemukan dalam tindak tutur atau boleh dikatakan bahwa sosiolinguistik mikro adalah studi tentang hubungan struktur bahasa dengan struktur sosial dalam tingkat interaksi tatap muka, dengan begitu bisa dilihat dan diketahui atau dibedakan antara perilaku bahasa dan perilaku nonbahasanya. Tugas sosiolinguistik mikro adalah menemukan hubungan antarkedua perilaku tersebut (Ervin Tripp dalam Penalosa, 1981:60) selanjutnya Ervin Tripp mengatakan bahwa sosiolinguistik mikro adalah studi tentang komponen-komponen interaksi tatap muka yang berhubungan atau dipengaruhi oleh struktur formal dari tutur. Komponen-komponen itu mencakup : personil, situasi, fungsi, interaksi, topik, pesan dan saluran. Leech (1983) mengatakan bahwa makna tuturan yang betul-betul bermakna adalah makna yang ditimbulkan oleh interaksi antara bentuk tuturan, makna formal tuturan, dan konteks. Konteks mencakup siapakah penutur dan petuturnya, situasi ujaran, tujuan, norma sosial, dan aspek lain seperti waktu dan tempat tuturan dihasilkan. Jadi di sini memperhatikan bukan saja pada ko-teks tetapi juga melihat pada konteks budaya maupun pada konteks situasi. Konteks ini bersifat nonverbal, yang akan juga menentukan isi pesan dalam interaksi.

Sosiolinguistik mikro berkenaan dengan usaha untuk menghubungkan karakter-karakter atau variasi bahasa dengan ciri-ciri atau karakter penutur dalam situasi komunikasi yang menyertai. Pendekatan yang digunakan dalam analisis sosiolinguistik mikro etnometodologi yang selalu menyatakan dan mencari sistem simbol yang tetap pada makna yang tetap yang dipakai oleh anggota masyarakat dan dalam hal ini diklasifikasikan dalam etnografi komunikasi yang memfokuskan pada “bagaimana sebenarnya orang berinteraksi?” dan “apa saja yang terjadi dalam suatu percakapan, suatu ujaran, humor atau peristiwa tutur lainnya?”.

(16)

14 Sosiolinguistik tidak mempelajari hal-hal yang abstrak, menciptakan penutur-pendengar ideal dalam suatu guyup yang benar-benar harus homogen sebagaimana dikatakan oleh Chomsky (1963), tetapi lebih pada penutur-pendengar yang aktual dalam guyup tutur dan guyup sosial yang heterogen. Hal ini tidak hanya menyangkut apa yang penutur ketahui atau potensi penutur, tetapi juga pada apa yang sebenarnya mereka katakan atau maksud yang didukung oleh faktor-faktor nonbahasa.

Pendekatan dalam sosiolinguistik memerlukan suatu deskripsi yang sistematis terhadap perilaku yang komunikatif. Perilaku komunikatif ini telah distandarisasi secara alami dalam konteks sosiokultural di mana perilaku itu terjadi. Standarisasi itu tidak bersifat perskriptif tetapi secara tidak sadar ditaati dan dilaksanakan dalam perilaku tutur. Pola perilaku dan interprestasinya merupakan hal pokok dalam sosiolinguistik yang dikerjakan secara empirik dan aktual serta deskriptif.

Sosiolinguistik menekankan pada pencarian pola hubungan antara kedua struktur yang direaliasasikan pada perilaku berbahasa dan perilaku social pemakai bahasa. Beberapa tipe teori bahasa dan kajian dalam hubungannya dengan ilmu lain, interdisipliner, memperlakukan bahasa dengan melihat hakekat bahasa itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui perilaku bahasa itu terlebih dahulu mengenal hakekat bahasa dalam perannya pada masyarakat atau guyup tutur.

Sebagai awal pencarian hakekat pembicaraan tentang sosiolinguistik, Bell (1976) memulainya, sebagaimana dengan cara yang digunakan oleh ahli bahasa untuk meng gambarkan dan menjelaskan tentang fenomena yang dikenal sebagai bahasa. Pencarian hakekat itu bergantung pada jawaban terhadap pertanyaan ‘apakah bahasa itu?’, walaupun jawaban itu masih berupa asumsi samar ataupun yang sudah dinyatakan denga jelas. Jawaban untuk pertanyaan ‘apakah bahasa itu?’ pada abad 19 yaitu didefinisikan bahwa ‘bahasa adalah perubahan’. Ternyata jawaban itu kurang tegas dalam penyepadanan antara penjelasan turunan yang dipakai, dengan tujuan pembangunan kembali bentuk asli dari bahasa. Selama abad itu, ilmu bahasa yang berhubungan dengan sejarah

(17)

15 jadi kurang sesuai dengan perkembangan terakhir tetapi belum sepenuhnya hilang. Sedikit mahasiswa Bahasa Inggris di perguruan tinggi gagal untuk mempelajari paling tidak tentang sejarah bahasa ibu mereka, tak peduli seberapa kuatnya jurusan itu diorientasikan pada ulasan sastra atau ilmu bahasa modern.

Selama abad itu, pada dasarnya meneruskan pengaruh De Saussure bahwa bahasa dilihat sebagai sebuah obyek yang bisa digambarkan dengan metode deduktif yang serupa dengan metode dalam ilmu alam. Lebih tepatnya, bahasa dilihat sebagai sebuah sistem dengan komponen-komponennya tersendiri dan hubungan-hubungan yang bisa digambarkan di dalam dan untuk sistem itu sendiri bukan dalam istilah penggunaan yang menempatkan bahasa sebagaimana adanya yang memiliki hubungan ke luar bahasa (extralinguistik). De Saussure sangat gigih untuk menuntut otonomi ilmu bahasa – ‘la linguistique a pour unique et véritable objet la langue envisagée en elle-même et pour elle-même’ (De Saussure, dalam Bell, 1976:18).

Singkatnya, selama lima puluh tahun pertama pada abad itu, kebanyakan ahli bahasa berpaling dari pertimbangan aspek-aspek eksternal bahasa, yakni tentang perubahan dan penggunaan yang mengenal bahasa sebagai perilaku sosial manusia. Hal ini dikarenakan mereka lebih memusatkan perhatiannya pada segi internal bahasa yaitu sebagai sistem dan struktur yang otonom. Bukannya mengatakan kalau penelitian tentang bahasa dalam konteks sosial telah mati bersama mahasiswa Eropa terakhir yang mempelajari retorika pada abad 19, tetapi usaha untuk menghubungkan bentuk ilmu sosial dengan fungsi sosial masih berlanjut. Namun, pada umumnya keberlanjutan tersebut hanya sebagai tambahan pada penelitian-penelitian sosiologi, pendidikan, atau psikologi. Hanya beberapa ahli antropologi bahasa seperti Firth dan Malinowski di Inggris serta Sapir dan Whorf di AS yang masih memperhatikan aspek-aspek eksternal penggunaan bahasa, seperti juga para ahli dialektologi. Namun, mereka bahkan cenderung dibatasi oleh tradisi sejarah yang kuat dalam tujuannya walaupun kebanyakan ahli dialektologi tersebut sudah terlatih. Hasilnya yaitu bahwa survei dialek mereka, hampir tanpa pengecualian, lebih bersifat pedesaan, diorientasikan pada ‘pemeliharaan’ cara bicara kaum tua, dan penemuan atas

(18)

16 perluasan bentuk cara bicara kaum tua yang telah bertahan dalam komunitas yang terisolasi.

Akar permasalahan, yang dihadapi ahli bahasa dalam memilih sebuah definisi tentang bahasa yang dipakai dalam membahas bahasa dan sebagai metodologi untuk menghadapi dan membuat temuan-temuannya, terletak pada sifat dasar bahasa yang aneh, komplek, dan bersifat dualitas dengan sendirinya. Hal ini merupakan sistem yang terstruktur dengan sangat abstrak dan yang dipakai oleh sebuah komunitas tutur, yang dapat diamati lewat perilaku individual. System sebagai perilaku perseorangan dan pada saat yang sama cenderung berubah-ubah. Ahli bahasa tidak sendirian dalam mengatasi dilema semacam itu. Dalam interaksi sosial, ahli psikologi sosial melihat hal yang sama yaitu sebagai obyek penelitian yang mempesona dan mengagumkan. Di satu sisi terasa dekat dan akrab lalu di sisi lain terasa misterius dan tidak dapat diungkapkan. Tampaknya tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan atau konsep yang bisa menjelaskan.

Melihat hal semacam ini, kebanyakan mahasiswa ilmu bahasa modern menjelaskan bahasa tersebut secara internal dan otonom -- yang berawal dari sintaksis lalu berubah menjadi semantik. Mereka mengabaikan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan acuan struktur bahasa itu sendiri, lebih buruk lagi, diberi panggilan ‘variasi bebas’.

Dua asumsi kunci yang masih bisa diandalkan oleh kebanyakan ahli bahasa deskrptif adalah kembali menuju De Saussure (1915). Hal ini, walaupun, dinyatakan dalam bentuk yang agak ekstrim.

1. Ada sebuah dikotomi (pembagian dua ektrim) antara langue (kode yang dipakai bersama oleh komunitas tutur) dan parole ( penggunaan bahasa yang aktual oleh individual). Semenjak dikotomi ini dapat diterima, maka parole itu tidak cukup terstruktur dengan baik sebagai obyek studi penelitian, tetapi langue muncul sebagai obyek yang tepat untuk penelitian ilmu bahasa. Tetapi bagaimanapun penelitian langue tetap akan melihat pemakaian bahasa secara individual atau parole. Sehingga langue ditemukan melalui beberapa parole. 2. Ada sebuah dikotomi antara deskripsi sinkronis atau deskripsi kondisi-statis dan deskripsi diakronis atau deskripsi system-dinamis. Dalam suatu pengertian,

(19)

17 pandangan De Saussure ini mengikuti dikotomi langue-parole tapi lebih dirangsang terutama pada kasus De Saussure dengan keinginannya untuk melepaskan diri dari orientasi sejarah ilmu bahasa abad 19. Melalui pandangan ini, deskripsi ilmu bahasa didefinisikan sebagai deskripsi sinkronik atas ‘perumusan bahasa’ pada titik waktu yang ditetapkan daripada deskripsi diakronik atau kronologi atas mekanisme perubahan ilmu bahasa.

Kesulitan operasional muncul ketika ahli bahasa mulai menggambarkan langue, karena tampak jelas pada saatnya jika sebuah pendekatan empiris itu hanya dapat diamati pada deskripsi parole. Parole mampu mengarahkan pengamatan dengan indera manusia dan yang diwadahi oleh langue dalam ‘kesadaran bersama’ dari komunitas tutur. Dua solusi untuk mengatasi dilema tersebut dapat dicoba: (1) induksi, generalisasi yang berdasarkan pada data yang dihasilkan oleh satu sumber dan (2) deduksi, penggunaan introspeksi untuk memperoleh wawasan menuju struktur bahasa itu. Keduanya akan didapati berbeda walaupun kedua pendekatan ini muncul untuk membuat asumsi mendasar yang sama yaitu bahwa bahasa dalam suatu hal adalah lambang dari pengguna individual. Hal itu nyata pada kasus pertama dan pada kasus kedua itu hanya teori semata.

C. Hubungan Sosiolinguistik dengan Studi Lainnya (dalam studi interdisipliner) a. Ilmu Sosiologi: studi sosiolinguistik memerlukan data atau subyek lebih dari

satu orang individu, secara metodologis, keduanya menyangkut metode kuantitatif sampling, statistik, wawancara, rekaman, dokumen, dsb. Penggolongannya mengunakan deskriptif. Perbedaannya adalah pada objek, yakni sosiologi menitik beratkan pada deskripsi masyarakat bukan bahasa, sedangkan studi sosiolinguistik pada bahasa bukan masyarakatnya.

b. Linguistik umum, relatif mirip dengan linguistik dekriftif, yang memiliki ciri: monolistik closed-system, homogen, satu atau beberapa informan pilihan. Analisis menitik bratkan pertama pad bunyi, baru makna kedua; yang berkisar pada mayoritas kalimat. Sedangkan studi sosiolinguistik memiliki cirri sebagai berikut:

(20)

18 2) fungsi dalam masyarakat, pada makna,informan banyak data

3) verbal dan non- verbal.

4) terbesardari wacana mulai dari situ. 5) pendekatan makna disiplin.

c. Dialetologi memiliki ciri pada metode komparatif, historis, diakronis, variasi berdasarkan batas regional, alam, sedangkan studi sosiolinguistik komparatif, deskriptif sinkronis, variasi berdasarkan bahasa, berdasarkan batas-batas kemasyarakatan

d. Retorika (selected speech) atau dengan kata lain laras (gaya bahasa)

Retorika memiliki kecondongan ke studi tutur individual, studi sosiolinguistik tidak hanya unsur terpilih tetapi seluruhnya, dalam studi sosiolinguistik mencari variasi yang ada kemudian mencari factor yang memunculkan variasi itu.

e. Psikologi Sosial, secara metodologis, menitik beratkan pada personal-orionted; sedangkan studi sosiolinguistik sosial-oriented. Psikologi sosial dapat dipakai dalam studi sosiolinguistik seperti sikap.

f. Antropologi: studi tentang kebudayaan dalam arti luas seperti adat, hukum kekerasan, lembaga sosial,dsb. Sedangkan studi sosiolinguistik meneliti bahasa denga nilai-nilai sosialnya, yang kemungkinan sama-sama memakai metode pengamatan berpartisipasi.

Studi sosiolinguistik memiliki dua subbagian, yakni mikro dan makro sosiolinguitik. Mikro menangani masalah-masalah kecil atau sempit sepert pekerjaan, usia, jenis kelamin, tempat tingal. Seperti pada situasi pesta adat yang di dalam ada peristiwa tutur dapat dianalisis dengan melihat siapa bicara dalam bahasa apa kepada siapa, tentang apa, situasi apa, maksud apa (yakni dengan konsep ranah). Makro menangani interaksi yang bersifat :intergroup interaction.

D. Langue-Parole dan Kompetensi-Perfomansi

Sepanjang abad, para ahli bahasa telah berusaha untuk menemukan bentuk yang sempurna dan ideal dari bahasa yang disembunyikan di tengah-tengah masyarakat yang sesungguhnya dan penggunaan data bahasa yang

(21)

19 berubah-ubah. Bagi ahli bahasa pada abad 19, termasuk juga Plato, bentuk ‘murni’ bahasa hanya ada di masa lalu dan cara bicara masa kini dilihat sebagai sebuah versi yang lebih buruk dari sebelumnya. Begitu juga De Saussure, bagi seluruh bentuk bahasa baru dan ide-ide rintisannya masih berada dalam pencarian sistem homogen yang murni dan dipercayanya ada, bukan di masa lalu tapi di pikiran bersama dari komunitas tersebut. Bagi Chomsky, letak dari bentuk murni itu lebih abstrak yaitu pikiran dari ‘pembicara dan pendengar yang ideal’.

Yang paling mengejutkan yaitu kognisi umum/lazim – cara bicara yang nyata, parole, pelaksanaan, cara bicara, kegunaan, atau apapun istilah yang digunakan terlalu berubah-ubah untuk digambarkan. Ahli sosiolinguistik tidak bisa kecuali mengambil masalah bersama hal ini. Tak seorangpun akan menolak bahwa cara bicara itu berubah-ubah tetapi ahli bahasa yang mencoba untuk menciptakan sebuah ‘ilmu bahasa sosial yang nyata’ (Labov, 1966:14). Tidak bisa menerima bahwa pelaksanaan itu tidak lebih dari sebuah refleksi kemampuan yang tak berarti dan terlalu menyimpang, sangat kacau jika hal itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan pada ganbarannya. Dia akan menunjukkan bahwa bagian dari ‘mengetahui bahasa dengan sempurna’ (Chomsky, 1965:3) terdiri dari mengetahui bagaimana dan kapan menunjukkan dan jika tanpa kemampuan-kemampuan ini, pembicara-pendengar yang ‘diidealkan’ akan menjadi ‘monster yang berbudaya’ (Hymes, 1967:639).

Seberapa jauh ahli sosiolinguistik menegaskan pendapatnya untuk diterima tergantung pada gambarannya tentang tujuan linguistik umum dan tentang sosiolinguistik khususnya. Dia mungkin menerima seperti Fromkin (1968), bahwa sasaran utama sosiolingustik adalah membangun realisasi dan penampilan sebuah teori. Sebaliknya, dia bisa membuat sanggahan yang lebih dramatis. Searle (1969) menyatakan bahwa teori kompetensi tidak cukup dan kenyataannya sosiolingustik adalah “ilmu bahasa” yang telah mempunyai posisi tersendiri sehingga dikatakan sebagai “peralihan tata bahasa”.

(22)

20

E. Penggambaran singkronik dan diakronik

Ketepatan pembagian antara singkronis dan diakronis disampaikan oleh De Saussure, pengertian ini sebagai reaksi ulang atas kekuatan diakronis biasanya ilmu-ilmu bahasa pada abad 19, dengan meningkatnya telah terlihat sebagai ketepatan metodologi yang menguasai tingkat kegunaannya yang lebih tinggi. Hal ini benar, tidak hanya dalam ruang lingkup penelitian yang berorientasi scara sosiologikal dan utamanya diman usaha- usaha yang tlah tersusun untuk memproduksi sebuah analisa kepuasan dalam situasi yang berkelanjutan akan tetapi dalam bekerja yang telah surut dengan jelas tanpa ada sebuah kedisiplinan yang tak beralasan. Contohnya, beberapa transformasionalisasi (Chomsky dan Halle, 1968) sekarang sanggup menerima tanpa kerangka umum pada model singkronis, data bahasa dari sumber- sumber terdekat dalam bahasa dan memasukkan contoh data tanpa ada jalur sistem di awal permulaan bahasa. Terutama, keputusan untuk membuat “bentuk dasar“ dari masuknya leksIkal representasi orthograpis yang menyatakan secara tidak langsung bahwa bagian yang ideal dari pendengaran pembicara yaitu “pengetahuan bahasa” adalah beberapa dugaan Middle baru-baru ini dan pokok-pokok leksikal yang bersumber dari awal Modern English. Namun, pemikiran pada skala waktu lebih pendek, baru saja bekerja dalam “perkiraan-perkiraan” yang menyatakan sebagai “pengetahuan” digunakan lebih awal dan konotasi-konotasi memulai untuk membawa ke dalam realisasi bahasa yang tajam. Bahkan, ketika pemikiran itu sebagai statik atau ketetapan, kenyataannya, sistim dinamis itu adalah pengucapan yang lebih utama terdorong atas perubahan – seperti De Saussure (1915:37) sendiri meletakkan itu ”enfin c’est la parole quifait ‘evoluer la langue”

F. Data ilmu-ilmu bahasa

Ilmu bahasa, pada umumnya berhubungan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dengan bekerja terhadap penemuan struktur data tersebut. Model-model pembuatan, kesetaraan rangkaian konstruksi tertentu, dalam rencana abstrak yang seharusnya perkiraan terdekat lebih atau sedikit pada

(23)

21 realita data aktual (Revzin, 1966:3). Hanya untuk model-model ini boleh didiskusikan sesuai data bahasa natural. Sumber-sumber dari yang telah tergambar dan abstraksi kesepakatan yang termasuk dalam penciptaan penggambaran sasaran. Strukturalis mendekati ke bahasa penggambaran mulai dengan asumsi operasional yang memilih satu pelapor yang berkapabilitas secara hati-hati asal data cukup untuk penggambaran umun sebuah data bahasa. Bagaimanapun terpilihnya, ilmu bahasa tetap berdasar pada analisisnya. Sampai akhir–akhir ini, penggambaran ilmu bahasa telah berakhir pada sebuah kalimat. Prosedur khas struturalis lebih baik diilustrasikan oleh sub judul pada bukunya, A.A Hill (1958) yang berjudul “Introduction to Linguistic Structure”. Dari suara menuju kalimat dalam bahasa Inggris, sedangkan transformasionalisasi jelas dalam simbol identitas tata bahasa mereka – E : “kalimat”. Meskipun petunjuknya berbeda, terutama dalam asensi sintesis dan analitis kedua, kedua-duanya diadaptasi, seperti pada kalimat poin terakhir. Penggambaran sosiolinguistik diharapkan mampu memperluas hingga melebihi struktur-struktur kalimat yang lebih lebar, berkomponen, dan perhatiannya akan butuh terpusat tidak saja pada kalimat individual yang diproduksi oleh pembicara-pembicara individual (bagaimanapun idealisasinya) tetapi dalam interaksi pendengaran pembicara dan dalam teks-teks sturktur yang lebih luas, percakapan-percakapan, ungkapan-ungkapan, sumpah-sumpah, pertanyaan dan kebisaaan jawaban dan lain sebagainya

G. Bidang sosiolinguistik

Hal ini telah tampak dari apa yang telah dipaparkan di atas bahwa sosiolinguistik menolak semua yang telah berlangsung sebelum dia ada dalam ilmu-ilmu bahasa, tetapi ini jauh dari kebenaran. Prestasi-prestasi besar pada abad 19 di dekade hasil pemilihan para pekerja keras, meletakkan fonetik fondasi dan fonologi serta kekuasaan mereka; De Saussure berperan penting untuk mencari orientasi baru sebagai sasaran, orientasi ini sendiri telah bekerja keras dan berbuah sesuatu yang berharga. Kita tahu sekarang, lebih jauh tentang bahasa natural daripada dari apa yang kita lakukan 100 tahun yang lalu, prestasi

(24)

22 inteletual; yang tidak dapat ditolak secara gamblang dalam beberapa tingkat pelayanan baru. Tidak. Hal itu bisa berarti mayoritas ilmu-ilmu sosial melihat mereka sebagai ilmu-ilmu bahasan dengan tujuan dinyatakan pengusahaan untuk menemukan korespondensi yang berurutan, antara ilmu bahasa dan stuktur sosial serta lagipula, melihat peran mereka sebagai pemanggilan dari beberapa pertanyaan atas asumsi-asumsi ilmu bahasa. Disamping itu, untuk mempercepat waktu pemenuhan dan lebih memuaskan dalam bahasa penggambaran. Seperti, Labov (1966) meletakkan ini untuk menyelelesaikan masalah ilmu-ilmu bahasa, pemenuhan dalam pemikiran yang akhirnya masalah-masalah analisa perilaku. Di samping itu, sosiolinguistik divariasi atas ketertarikanya dapat melihat sendiri sebagai ahli waris ke dialektologi dan di usaha-usahanya saat ekstensi penggambaran sebuah kalimat bahasa ternyata terlalu sulit sebagai penyegar dari sebuah tradisi berpidato yang masih sangat kuno, sungguh sampai akhir ini yaitu masa disiplin ilmu sejarah, bentuk serta tata bahasan dua arus utama beasiswa ilmu bahasa. Maka dari itu, kemudian boleh digunakan untuk menemukan mengapa sosiolinguitik berbeda dari kedua pekerjaan ini yaitu, dialektogi dan orator.

(25)

23 BAB II

BAHASA DAN PERBEDAAN SOSIAL (STRUKTUR MASYARaKAT)

A. Bahasa, Masyarakat, dan Budaya

Masyarakat memiliki budayanya sendiri. Menguasai bahasa berarti menguasai sebagian besar konsep-konsep budayanya, karena bahasa adalah bagian dari budaya dan sekaligus wadah serta citra dari budaya tersebut. Para ahli sosiologi menggunakan istilah fungsi, fungsi yang diemban oleh objek tertentu, untuk merujuk pada konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan (fungsi sosial/fungsi makro), termasuk di dalamnya fungsi bahasa yang digunakan dalam menghasilkan konsekuensi tindakan pada perorangan maupun kelompok. Hewan meraung dan manusia berbicara memberikan fungsi dasar yang didasarkan atas aktivitasnya untuk mencapai tujuan tertentu dalam rangka pemenuhan kebutuhan.

Konsekuensi-konsekuensi yang dirasa oleh masyarakat disebut sebagai fungsi sosial atau fungsi makro yaitu sebagai akibat-akibat dari struktur masyarakat yang dihasilkan dari aktivitas sosial tertentu. Fungsi makro menghasilkan pengaruh yang kuat pada para pendengar dan pembicara dari bahasa lisan. Untuk menemukan fungsi-fungsi tersebut dapat dilakukan dengan mengetahui pola etnografi dari komunikasi pemakaian bahasa tersebut. Hymes (1974) memaparkan salah satu cara analisis etnografi komunikasi dengan akronimnya SPEAKING, yang biasa dikenal dengan etnografi komunikasi.

Malinowsky (dalam Penalosa, 1981:37) menekankan pada fungsi pragmatik dari bahasa lisan yaitu untuk mengarahkan, mengontrol, dan menghubungkan aktivitas manusia. Fungsi dasar bahasa adalah untuk mengontrol aktivitas manusia, sehingga fungsi utama bahasa sebagai kontrol kerja sama sosial dan mengembangkan kerja sama pada sebuah norma. Bahasa merupakan alat kontrol atau kendali sosial, peta sosial, personal, dan isi dari nilai yang ada pada masyarakat atau individual tertentu.

Budaya adalah sebuah alat untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup, atau dengan kata lain budaya adalah sebuah alat yang dipakai manusia untuk penyesuaian diri sehingga manusia mampu bertahan dalam sebuah lingkungan

(26)

24 yang beraneka ragam. Bahasa pada umumnya adalah alat untuk menyampaikan informasi, termasuk informasi tentang keadaan atau situasi dari para pembicara, di samping bahasa juga sebagai penanda dan alat adaptasi.

Bahasa menentukan sejumlah fungsi yang berbeda-beda dalam masyarakat: sebagai pananda identitas dan status sosial, pencipta dan pemertahan hubungan sosial, dan alat untuk mengungkapkan kebutuhan individual. Sehingga dikatakan bahwa bahasa bukanlah sekadar alat semata, tetapi bahasa itu sendiri merupakan isi atau objek. Seseorang terkadang tidak mengungkapkan isi tuturan, tetapi hanyalah memenuhi tuntutan kerjasama sosial seperti menyapa, memberi salam, dan sebagainya. Bahasa, akhirnya, mampu membentuk sistem integrasi, koordinasi dan hubungan sosial, dan akumulasi dan transmisi budaya. Menurut Wolfram (dalam Penalosa, 1972) ada empat pandangan tentang hubungan bahasa dan sosial:

1. Struktur sosial tergantung pada bahasa. 2. Bahasa tergantung pada struktur sosial.

3. Keduanya saling menentukan atau bergantung.

4. Keduanya tergantung pada faktor ketiga di luar bahasa dan sosial yaitu: world view, organisasi otak manusia atau hakikat dasar kemanusiaan.

Hubungan di atas sangat tergantung pada tingkat sejarah, otonomi, vitalitas, dan standariasi dari bahasa dan masyarakat yang bersangkutan, sehingga dimungkinkan bahwa karakter ketergantungan dari komunitas tertentu akan berbeda dengan komunitas yang lainnya, seperti: (1) nilai kesejarahan (bahasa koloni, etnis, lingua franca), (2) kemandirian yang mencakup kekhususan-kekhususan bahasa, (3) vitaliatas yang berhubungan dengan daya dan dorongan kebutuhan untuk memakai bahasa tersebut, dengan kata lain tidak ada bahasa lain yang mampu untuk kepentingan tertentu, dan (4) standarisasi bahasa yang mencakup kemapanan dan konsistensi bentuk dan maknanya. Budaya memberi pola bagaimana pemakai bahasa memakainya dengan benar sesuai dengan nilai-nilai peran sosial pemakainya, termasuk peran sosial yang berdasarkan jenis kelamin.

(27)

25 Pemakaian bahasa dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan stratifikasi masyarakat bahasa. Perbedaan pemakaian bahasa ini dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, pekerjaan, kelompok etnis atau kelompok masyarakat bahasa, letak geografis, dan usia (Bolinger, 1975:233-342). Stratifikasi sosial mencakup kedudukan seseorang dari kelompok atas berbagai macam strata atau tingkatan status sosial pemakai bahasa (pendidikan, pendapatan, pekerjaan, agama, kasta, dan lain-lain). Christian (dalam Penalosa, 1981:123) menyampaikan bahwa idealisme dari demokrasi bahasa, yang menyatakan bahwa setiap warga negara diperlakukan dengan penghormatan yang sama, dianggap sebagai hal yang paling tidak realistis dari semua idealisme sosial, apalagi dilihat dari pemakaian bahasa. Jadi dalam pemakaian bahasa tidak dapat dilepaskan dari susunan/stratifikasi sosial karena bahasa menjadi salah satu aspek pemertahanan struktur prestise, hubungan sosial, status ekonomi dan lainnya. Keberadaan tuturan adalah alat yang paling efektif dalam menjaga hubungan sosial ekonomi, sebagai penghormatan terhadap suatu hirarki tertentu. Beberapa variasi mungkin secara sosial bermartabat, yaitu mereka telah diadopsi oleh sebuah ketinggian status sosial tertentu. Kita tidak berbicara pada semua orang dengan variasi yang sama. Bagaimana kita berbicara tergantung pada identitas seseorang yang akan diajak berbicara atau apa yang akan dibicarakan (who to whom and when).

B. Stratifikasi Sosial

Kelas sosial adalah golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan, seperti: ekonomi, pekerjaan, kependudukan (ras), kasta dan sebagainya. Terdapat kemungkinan bahwa seseorang mempunyai lebih dari satu kelas sosial. Status kasta memiliki sifat lebih tertutup dibandingkan dengan ciri sosial lainnya. Sedangkan kelas sosial lainnya lebih terbuka, seperti pekerjaan atau tingkat ekonomi. Perbedaan-perbedaan diatas menentukan jenis bahasa atau ragam yang harus dipakai. Labov menemukan pengucapan dengan penyempitan fonem /r/dan letak ke-bawah- belakang-an fonem /o/ ini bukan variasi bebas tetapi dibimbing oleh faktor

(28)

26 sosial, pemakaian /-s/ dan /-es/ pada orang ketiga tunggal juga diteliti dan menunjukkan pemakaian yang dipengaruhi faktor sosial.

Bernstein membagi pemakaian bahasa menjadi dua tampilan: (1) kode terinci (elaborated code) yang memiliki ciri: formal, sebagai ciri seorang individu mandiri, bebas konteks nonlinguistik, sifat khas seseorang (kelas sosial), penggunaan klausa-klausa yang panjang; (2) kode terbatas (restricted code) yang berciri: tidak formal (seperti antaranggota keluarga, antarteman), terikat pada konteks nonlinguistik, bukan ciri individu tetapi menekankan keanggotakan dalam kelompok. Pada kesempatan kemudian, Bernstein mengubah pandangannya bahwa penutur bawah dan menengah hanya mungkin berbeda dalam konteks-konteks tertentu yang mungkin kemudian menghasilkan kode yang berbeda. Kedua kode tidak dilihat sebagai dua ragam yang berdiri sendiri tetapi merupakan petunjuk atau indikasi jenis variasi yang berbeda yang bisa digunakan. Struktur keluarga sebagai faktor pembeda yang sama pentingnya dengan kelas sosial. Keluarga merupakan pembentuk bahasa ibu yang paling menonjol disamping teman bermain. Hipothesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa bahasa ibu seseorang membentuk kategori-kategori yang bertindak sebagai sejenis geruji (kisi-kisi). Melalui kisi–kisi itu si penutur melihat dunia luar dan menerima sehingga bahasa ibu mempengarui penguasaan bahasa kedua dan seterusnya. Sanggahan terhadap Hipothesis Sapir-Whorf menitik beratkan pada bahasa untuk menentukan dunia konsep pemakai bahasa. Pandangan ini disanggah dengan adanya berbagai lingkungan pemakai bahasa. Lingkungan ini dapat berupa:

1) Lingkungan fisik dapat mempengari bahasa masyarakat bukan kemampuan otak manusia, seperti leksikon, yang bukan berarti bodoh.

2) Lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan dapat berpengaruh pada struktur kosa kata, seperti sistem kekeluargaan, sapaan.

3) Adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta juga mempengaruhi bahasa.

(29)

27 5) Ketidakmampuan bukan berarti bodoh karena pengaruh hal-hal di

atas.

Terdapat beberapa perbedaan faktor yang membentuk kelas sosial, yakni: tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan; yang mungkin membentuk kelas sosial ke dalam enam atau sepuluh kelas (Penalosa, 1981:134). Suatu masyarakat memiliki lebih banyak perbedaan bahasa seiring dengan semakin tingginya stratifikasi sosial. Di Inggris, penggunaan /-s/ untuk orang ketiga tunggal pada kata kerja present tense dihubungkan dengan kelas sosial.

Labov (dalam Penalosa, 1981:134) menunjukkan bahwa di kota New York secara kasual, bahasa sehari-hari hanya merupakan kelas tinggi-rendah yang menunjukkan pelafalan /r/ di akhir kata dengan jelas, tapi dalam gaya yang lebih formal (seperti membaca dengan keras) jumlah pelafalan untuk kelompok yang lain muncul dengan cepat dan tidak jelas.

Labov (dalam Penalosa, 1981:135) telah menciptakan bahwa pola ketidakamanan bahasa untuk mengindikasikan kesepakatan pada ketidak cocokkan antara apa yang diyakini pembicara adalah merupakan bentuk yang benar dan bentuk-bentuk yang diyakininya itu digunakannya sendiri sendiri. Pembicaraan kode-kode yang terbatas dan rumit merupakan hasil dari sistem hubungan sosial.

Hipotesis Bernstrein dan Sapir didasarkan pada alasan bahwa bentuk bahasa yang berbeda menghasilkan pengalaman sosial yang berbeda. Sapir dan Bernstein (dalam Penalosa, 1981:136) lebih menekankan pada perbedaan budaya dan lebih pada kelas, yang menyatakan bahwa kode-kode terbatas (restricted code) digunakan pada kelas yang lebih tinggi dibandingkan pada variasi nonrestricted code. Ciri variasi ini adalah lebih kompleks dan susunan bahasanya lebih terstruktur. Menurut Bernstein ada beberapa perbedaan dalam orientasi yang relatif atau tidak tetap dari kelas kelompok sosial antarfungsi bahasa.

(30)

28

C. Kelompok Komunitas dan Bahasa

Setiap kelompok manusia memiliki bahasa, variasi, atau register mereka sendiri. Kelompok orang tertentu biasanya memiliki terminologi khusus sebagai penanda spesifik dari kelompok tersebut. Cara ini atau penanda ini merupkan pencerminan dari penggunaan ilmu bahasa. Bahasa adalah fokus dari aktivitas, misalnya bagi para interpreter, penerjemah, guru bahasa dan ilmu bahasa itu sendiri. Beberapa kelompok agama menggunakan variasi khusus untuk kebaktian, berdoa/upacara, untuk membaca dan mempelajari teks-teks rahasia dalam bahasa tersebut.

Para ahli sosiologi membedakan antara kelompok primer (keluarga, teman dan lain lain) dan kalompok sekunder (kelompok organisasi yang mempengaruhi perkembangan individu). Kelompok primer adalah tempat pertama kali orang belajar bahasa atau beberapa bahasa dan aturan penggunaannya. Sedangkan kelompok sekunder merupakan bentuk bahasa yang diperolih: sekolah, angkatan darat, pasar, spesialisasi keilmuan, profesi, dan lainnya. Para ahli sosiolinguistik tertarik pada hubungan antara struktur dan sifat kelompok pada satu sisi dan sifat penggunaan variasi bahasa oleh beberapa kelompok dengan yang lain pada sisi yang lain.

Kelompok perempuan baik anak-anak atau pun dewasa menciptakan struktur sosial mereka sendiri, dengan norma-norma mereka, konsep, batasan, mekanisme dan kadang-kadang bahasa rahasia untuk membedakan dan mempertahankan perbedaan peran sosialnya. Kelompok masyarakat dan variasi bahasa ini pun dipengaruhi oleh tingkat kelebatan mobilitas pemakainya, dalam kaitannya dengan kontak bahasa dan budaya. Seseorang mungkin akan melaksanakan perpindahan secara bertahap atau permanen. Berubah dari bagian negara ke bagian lainnya atau mengubah daerahnya atau afiliasi budaya. Semua ini menunjukkan pada substansi mobilitas sosial. Disamping itu kaum minoritas dan miskin yang tidak memiliki beberapa variasi bahasa standar akan menemukan kesempatan atas mobilitas yang tertutup.

Sistem pendidikan menyediakan fungsi mengajar, intelektual, dan kemampuan sosial yang sangat bermanfaat bagi mobilitas sebagai wadah yang

(31)

29 menyediakan kesempatan belajar variasi pembicaraan kelas menengah. Ketika seseorang bercita-cita untuk memiliki status yang lebih tinggi, biasanya dia mencoba untuk meniru cara orang yang diidolakanya yaitu referensi kelompoknya. Semua itu dapat membawa pada fenomena pembenaran yang tinggi. Semakin tinggi mobilitas seseorang dan kelompok orang, semakin tinggi variasi dan perubahan bahasa dan juga semakain menerima perubahan-perubahan bahasa yang ada; karena munculnya nilai dan konsep-konsep makna yang baru.

D. Usia Pemakai Bahasa

Ketika usia dapat dipisahkan dan diakui batas-batasnya ke dalam kanak-kanak, remaja, dewasa, maka variasi bahasapun dapat dilihat dari kelompok-kelompok usia ini. Ketiga kelompok ini mempunyai dialek-dialek tersendiri. Dialek itu pindah sejalan dengan usia.

Bahasa anak dalam awal perkembangannya mempunyai ciri antara lain penyusutan (reduksi). Biasanya berdasarkan penelitian R. Brown dan Ursula Belhgi bahwasannya kata-kata yang di hilangkan termasuk golongan kata fungtor atau kata tugas, yang mencakup kata depan, kata sambung, dan lain-lain karena tidak memiliki arti ketika berdiri sendiri dan hanya berfungsi gramatikal saja. Bahasa anak hanya lebih menitik beratkan pada content word dan kata-kata yang penuh.

Penghilangan fungtor dan pemertahanan kata-kata kontentif menunjukkan bahwa anak-anak itu berbahasa secara sistematis dan ini bukan kesalahan atau ketidakmampuan anak tetapi lebih merupakan stategi anak untuk komunikasi dan menguasai kaidah berikutnya. Hal ini dikatakan sebagai strategi karena dengan cara ini tutur mereka dapat di pahami orang lain. Secara fonologis, kanak-kanak memiliki bunyi-bunyi dengan bunyi yang di hasilkan oleh gerak membuka dan menutup bibir atau bunyi-bunyi bilabial, seperti dalam bahasa Jawa mak, mbak, mbek, meh, meong, pak, bu dan seterusnya. Mereka sulit untuk menggunakan bunyi-bunyi /r/ dan /s/, yang biasanya mereka mengganti bunyi /r/ dengan bunyi /l/ dan /s/ dengan bunyi /c/.

(32)

30 Secara morfologis atau leksikal, kosa kata berkisar pada yang disini dan yang sekarang . Bagi ibu mengira bahwa ada semacam sosial presure, untuk mengajarkan kata-kata apa saja kepada anak dengan meluluhkan dan mengambil peran anak, dirinya seperti anak-anak di mana prestise pemakaian bahasa diajarkannya secara tersembunyi dengan mengajarkan kromo ingil pada anak. Ragam tutur anak bersifat sementara. Penyusutan dalam tutur dapat terjadi pada anak-anak terhadap fungtor atau imbuhan (bahasa indonesia), pada dewasa dalam telegram untuk tujuan ekonomi yang terjadi pada penyusutan berupa kata fungtor. Ragam non baku muncul tidak memiliki kaidah yang pasti dan konsisten dan muncul karena inovasi dan kreatifitas.

Cara berbicara anak seringkali dicirikan sebagai kekanak-kanakan baik dalam fonology, sintaksis, dan kosa kata; sehingga dalam bahasa anak terdapat bunyi-bunyi bilabial yang dominan, kata-kata yang berbeda dengan bahasa dewasa, seperti emeh (sapi), meong (kucing), embek (kambing), mimik (minum), dan berbagai pemendekan struktur atau kalimat tidak lengkap dan sangat kontekstual. Anak-anak mengunakan kata-kata seperti bunny daripada little rabit atau porty daripada bathroom.

Variasi anak remaja sebagai variasi yang bercirikan ‘kurang ajar/melawan’ atau ‘vulgar’, dan bagi yang dewasa sebagai ‘gaya tua’ sebagai pemarkah kemapanan. Anak remaja mencoba untuk menggunakan atau ucapan populer yang segar, yaitu cool daripada oke. Beberapa inovasi dan kreatifitas atau sebaliknya, pelanggaran yang tampak pada bahasa remaja adalah munculnya berbagai hybrid atau campuran bunyi atau sistemnya. Seperti pemakaian bahasa dalam majalah remaja “Aneka Yess” (Ashari, 2007) yang memakai bentuk-bentuk hybrid baik pada tataran kata maupun frase. Pada tataran kata seperti: nge-date, dimake-up, ending-nya, CD-nya, ter-influence, nge-judge, me-request, fashion-nya, nge-jam, ber-budget, nge-dance, performance-nya, nge-down, chemistry-nya, fans-nya, launching-nya, di-casting, nge-fans; sedangkan pada tataran frase dapat dicontohkan: theme song-nya, video clip-nya, atau stage act-nya. Remaja juga sering memakai bahasa rahasia seperti: penyisipan konsonan v + vokal, penggantian suku ahir dengan bunyi

(33)

31 /sye/. Bahasa prokem yang sebenarnya diciptakan oleh pencoleng atau anak nakal, copet atau yang lain.dengan penyisipan bunyi /ok/ di tengah kata yang sudah di susutkan. Semua itu adalah ciri-ciri kreativitas karena kemungkinan mereka melihat bahwa kebakuan menimbulkan kekakuan. Variasi yang dipakai para remaja dapat juga sebagai wujud pemberontakannya terhadap kemapanan yang mereka hadapi, yang menunjukkan monotonitas dan homogenitas serta ketidakkreatifan.

E. Jenis Kelamin dan Bahasa

Bolinger (1975:333) mengatakan bahwa perempuan belajar berbicara lebih awal dan menguasai bahasa kedua lebih cepat dan baik, serta memakai lebih banyak waktunya untuk berbahasa daripada yang dilakukan laki-laki; sehingga dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki bawaan secara linguistik berbeda. Bahasa yang diucapkan oleh wanita berbeda dengan bahasa yang diucapkan oleh laki-laki.. Walaupun laki-laki lebih banyak berbicara, wanita adalah pembicara ulung. Dalam pendidikan awal atau di awal sekolah, anak perempuan lebih mampu dan trampil dalam bahasa daripada laki-laki. Perbedaan antara tuturan laki-laki dan perempuan adalah pada pelafalan dan tata bahasanya. Tuturan wanita lebih tradisional dan terevaluasi lebih baik daripada laki-laki. Ini berlawanan dengan pola stratifikasi pada umumnya, di mana yang lebih kuat dianggap lebih banyak berbicara dengan benar. Wanita secara linguistik lebih inovatif dan, beberapa lainnya, tradisional. Perbedaan ini dihubungkan antara peran wanita dengan kebutuhan bahasa, dan antara posisi sosial wanita dalam komunitas belajar dengan apa yang diinginkan wanita dalam bertutur dan interaksi.

Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam pembicaran yang berhati-hati, wanita suka membuat noda-noda yaitu secara sosial diartikan sebagai bentuk yang salah daripada laki-laki (Labov dalam Penalosa, 1981:126). Wanita juga lebih sensitif pada pola-pola kedudukan. Secara khusus terdapat kelas wanita menengah ke bawah. Labov menyatakan bahwa wanita lebih sensitif daripada laki-laki untuk melahirkan nilai sosiolinguistik.

(34)

32 Robin Lakoft menyatakan bahwa bahasa bekerja juga untuk membantu menjaga hubungan sosial, seperti jenis bahasa wanita memiliki ragam yang berbeda atau dikatakan ragam lebih rendah yaitu dengan istilah bahasa wanita dan bahasa tentang wanita. Pada tataran kebahasaan yaitu bahwa bahasa wanita berbeda pada kosa kata, sintaksis, dan pelafalan. Wanita tidak menggunakan kata-kata yang menyerang untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Wanita lebih suka mengunakan pertanyaan tag atau pertanyaan ekor yang tidak memerlukan jawaban. Wanita juga lebih sering menjawab dengan nada suara meninggi yang biasanya berhubngan dengan pertanyaan ya dan tidak. Wanita lebih banyak menggunakan kata kerja pembantu (can, must, shall, would, dan lain-lain). Pada bahasa wanita ada sebuah eufimisme, sebuah kata untuk menghindari penggunaan kata-kata wanita yang mempunyai konotasi seksual. Kata perempuan menunjukkan kesopanan dan ketidakpentingan. Makna juga didukung oleh perbedaan hanya dalam jenis kelamin seseorang seperti tuan atau nyonya, jejaka atau perawan, janda atau duda dan lain-lain.

Terdapat hubungan antara struktur, kosa kata, dan cara menggunakan bahasa tertentu dengan peran sosial jenis kelamin (Wardhaugh, 1993:313). Secara morfologis dan leksikal juga terdapat perbedaan-perbedaan pembentukan bahasa seperti: ibu rumah tangga, ibu bumi, ibu asuh, ibu pertiwi, ibu jari, dan sebagainya yang merefleksikan peran sosial perempuan. Sedangkan untuk peran sosial laki-laki Indonesia memiliki sederetan pembentukan kata seperti: kepala keluarga (bukan kepala rumah tangga), kepala suku, gagah, perkasa, dan sebagainya. Pada bahasa Inggris, Lackoff (dalam Wardhaugh 1993:315) mengatakan bahwa perempuan menggunakan kata-kata warna, yang tidak dipakai laki-laki, seperti: mauve, beige, aquamarine, dan magenta. Pada kata-kata sifat perempuan sering memakai kata-kata: adorable, charming, divine, lovely, dan sweet, sedangkan kata-kata untuk memberikan efek penekanan perempuan sering memakai kata: so good, such fun, exquisite, lovely, fantastic. Terdapat banyak lagi contoh-contoh kata yang secara morfologis dibedakan antara laki-laki dan perempuan seperti: lady-gentlement, spinter-bachelor, girl-boy, widow-widower, actor-actress, steward-stewardess, prince-princess, office boy, room boy, bell boy, postman, chairman.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian kombinasi pupuk hayati dengan pupuk organik cair memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua parameter yang diamati (persentase bobot pucuk peko, rasio

Adapun saran pada penelitian selanjutnya adalah membangkitkan data dengan varian error yang tidak konstan untuk dapat melihat lebih jelas kemampuan analisis

Dengan adanya beberapa faktor diatas diharapkan tenaga kesehatan akan lebih mudah menyadari bahwa dengan motivasi yang kuat, akan semakin mampu dan paham betapa

1, Memantau penyuluhan gi%i umum sasaran& macam dan  !umlah diet).. Melakukan e+aluasi di bidang 1 Menge+aluasi hasil kegiatan pelayanan gi%i& makanan dan pelayanan

Hasil penelitian telah menunjuk- kan bahwa selama penyimpanan terjadi penurunan nilai “a”, tetapi nilai “a” buah yang disimpan pada kondisi atmosfer terkendali lebih tinggi

Menunjukkan kelemahan dan kelebihan dari teknologi 3D Printing di dunia medis, kemudian juga akan diulas mengenai hal yang sesuai maupun tidak dengan apa yang

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pengaruh umur Pemangkasan dengan perlakuan 6 dan seterusnya ditinggalkan tiga daun (P 3 ) memiliki ksi buah segar per tanaman