PENINGKATAN KUALITAS SEPATU DENGAN
MENGGUNAKAN METODE SIX SIGMA
DI PT. ECCO INDONESIA SIDOARJO
SKRIPSI
Disusun oleh :
SABRINA DWI C
0632010035
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah berkenan memberikan rahmat,taufik serta hidayahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul :
PENINGKATAN KUALITAS SEPATU
DENGAN MENGGUNAKAN METODE
SIX SIGMA
DI PT. ECCO INDONESIA
Penyusunan tugas akhir ini guna memenuhi persyaratan dalam memperoleh
gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Industri pada Fakultas Teknologi Industri
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Penulis menyadari bahwa selama melakukan penelitian dan penyusunan
skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan.
Dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Ir. Sutiyono, MT, selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN
“Veteran” Jawa Timur.
2.
Bapak Ir. M.Tutuk Safirin, MT, selaku Ketua Jurusan Tenik Industri UPN
“Veteran” Jawa Timur.
3.
Bapak DR. Ir. Minto Waluyo, MM, selaku Dosen Pembimbing I.
4.
Bapak Drs. Sartin, Mpd, selaku Dosen Pembimbing II.
5.
Ibu Hj. Rr. Rochmoeljati, MT selaku Dosen Penguji Seminar.
6.
Ibu Erlina Purnamawaty,MT, selaku Dosen Penguji Seminar.
7.
Bapak Bambang S, selaku Pembimbing di PT.ECCO Indonesia.
9.
Kedua orang tua tercinta Heri Agus Rianto dan Sugiyanti yang selalu
memberikan doa, semangat serta bantuan baik moril maupun materiil kepada
penulis selama menyelesaikan skripsi.
10.
Keluarga tercinta Uti, Teteh Riri, Teteh Cicing, Kakak Ruli dan yang lainnya
yang telah membantu dan memberi semangat kepada penulis.
11.
Sahabat-sahabat tersayang Yuni Indah ST , Yuni Kusuma Wardani ST, dan
Aprilianti ST dan tak lupa teman – teman di Teknik Industri angakatan 2006
khususnya paralel A maupun yang diluar kampus atas dukungan dan semangat
yang telah diberikan kepada penulis.
Semoga Allah SWT, senantiasa memberikan balasan atas amal perbuatan
dan segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis
berharap semoga hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini banyak
bermanfaat bagi setiap pembaca pada umumnya.
Surabaya, 11 Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
... i
DAFTAR TABEL
... iv
DAFTAR GAMBAR
... v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang...
1
1.2
Perumusan
Masalah... 3
1.3
Batasan
Masalah... 3
1.4
Asumsi... 3
1.5
Tujuan... 4
1.6
Manfaat
Penelitian... 4
1.7
Sistematika
Penulisan... 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kualitas... 7
2.1.1
Pengendalian
Kualitas... 9
2.1.2 Tujuan Pengendalian Kualitas...
9
2.1.3
Manajemen
Kualitas... 11
2.1.4 Dimensi Kualitas...
11
2.1.5 Teknik Pengendalian Kualitas Statistik...
13
2.1.6 Keuntungan Pengendalian Kualitas...
15
2.2.1 Konsep Six Sigma...
18
2.2.2 Faktor Penentu Dalam Six Sigma...
22
2.2.3 Penentuan Kapabilitas Proses...
23
2.2.3.1 Penentuan kapabilitas proses untuk
data variabel……….…………
25
2.2.3.2 Penentuan kapabilitas proses untuk
data atribut.……….………….
26
2.2.4
Proses
DMAIC... 27
2.2.4.1
Define...
27
2.2.4.2
Measure...
32
2.2.4.3
Analyze... 34
2.2.4.4
Improve... 40
2.2.4.5
Control... 43
2.3
DPMO (Defect Per Million Oportunities)……… 43
2.4
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)... 45
2.4.1 Bagaimana FMEA Bekerja... 45
2.4.2
Severity……… 46
2.4.3
Occurance……… 47
2.4.4
Detectibility... 48
2.5 Seven
Tools... 49
2.6 Tahapan
Produksi...
58
2.6.1
Proses
Produksi...
59
2.7.1 Penelitian yang Ditulis Oleh Ama Lusiana
F.A Sarjana Ekonomi UNS, 2007...
75
2.7.2 Penelitian yang Ditulis Oleh Rifki F.A
Sarjana Teknik Industri UPN, 2005...
76
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian...
78
3.2
Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel... 78
3.2.1
Identifikasi
Variabel...
78
3.3 Metode Pengumpulan Data... 79
3.4 Metode Pengolahan Data... 80
3.5 Langkah-langkah Penelitian Dan Pemecahan
Masalah... 83
BAB IV
ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengumpulan
Data... 88
4.2
Define... 90
4.2.1 Identifikasi Obyek Penelitian...
91
4.2.2
Identifikasi
variabel
Critical to Quality (CTQ)
91
4.3
Measure... 92
4.3.1 Menentukan defect terbesar...
92
4.3.2
Baseline
Kinerja... 94
4.4
Analyse... 97
Faktor-Faktor
Penyebar
Defect...
107
4.5 Improve (Usulan)... 110
4.5.1 Usulan Rencana Perbaikan
(Improvement/Action Plan) dengan
FMEA...
112
4.5.2 Usulan Prioritas Tindakan Perbaikan...
116
4.6
Control
(Pengendalian)...
117
4.6.1 Usulan Pengendalian...
117
4.7
Pembahasan Hasil Penelitian...
118
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1
DPMO pada sigma level………... 22
2.2 Contoh Dari Beberapa Peran Generik Dengan Gelar Atau
“Belt” Dalam Program Six Sigma... 28
2.3 COPQ dari Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma...
40
2.4 Penggunaan Metode 5W- 2H Untuk pengembanganRencana
Tindakan. (Gaspersz, 2002)...
42
2.5 Tabel Konversi Sigma Motorola...
44
2.6 Rangking Severity... 47
2.7 Rangking
Occurance... 48
2.8 Rangking
Detectability... 49
2.9 Contoh Data Pengukuran...
54
4.1 Data total produk dan defect sepatu article FLAIR pada
Departemen
QC...
89
4.2 Data defect sep article FLAIR pada Departemen QC...
90
4.3 Data Prosentase defect article FLAIR pada departemen QC...
91
4.4 Data jenis defect article FLAIR departemen QC
Juli – Desember 2009...
91
4.6 Perhitungan Nilai Proporsi, 3
, USL, LSL Untuk
Bulan Juli 2009...
97
4.7 Data defect article FLAIR bulan Juli 2009...
99
4.8 Data defect article FLAIR bulan Agustus 2009...
100
4.9 Data defect article FLAIR bulan September 2009...
101
4.10 Data defect article FLAIR bulan Oktober 2009...
102
4.11 Data defect article FLAIR bulan November 2009...
103
4.12 Data defect article FLAIR bulan Desember 2009...
104
4.13 FMEA (Failure Mode and Analysis)...
120
4.14 Usulan Prioritas Tindakan Perbaikan...
125
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Konsep Six Sigma Motorola dengan
Distribusi Normal bergeser 1,5-sigma...
21
2.2 Bentuk Umum Lembaran Check sheet...
50
2.3 Contoh Bentuk Histogram...
52
2.4 Bentuk Umum Diagram Sebar...
52
2.5 Bentuk Umum Diagram Pareto...
54
2.6 Bentuk Umum Diagram Sebab Akibat...
55
2.7 Peluang dan Tanda Penyebab Variasi...
55
2.8 Contoh Control Chart...
57
2.9 Bentuk Umum Control Chart...
58
3.1 Langkah-langkah Pemecahan Masalah...
83
4.2 Histogram kecacatan produk art. FLAIR pada
Departemen
QC...
90
4.3 Diagram Pareto (defect) pada departemen QC...
92
4.4 Grafik Pola DPMO Bulan Juli-Desember 2009...
95
4.5 Grafik Pola Kapabilitas Sigma Bulan
Juli-Desember
2009...
95
4.6 Peta P Untuk Bulan Juli 2009...
98
4.8 Diagram Pareto (defect) article FLAIR pada
Departemen QC Pada Bulan Agustus 2009...
100
4.9 Diagram Pareto (defect) article FLAIR pada
Departemen QC Pada Bulan September 2009...
101
4.10 Pareto (defect) article FLAIR pada
Departemen QC Pada Bulan Oktober 2009...
102
4.11 Pareto (defect) article FLAIR pada
Departemen QC Pada Bulan November 2009...
103
4.12 Pareto (defect) article FLAIR pada
Departemen QC Pada Bulan Desember 2009...
104
4.13
Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada
departemen
QC...
105
4.14
Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada
departemen
QC...
106
4.15
Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada
departemen
QC...
106
4.16
Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada
departemen
QC...
107
4.17
Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada
ABSTRAKSI
Perkembangan industri baik industri jasa maupun industri manufaktur
berkembang sangat pesat, perusahaan bersaing untuk mencari pasar konsumen
yang tepat. Untuk memenangkan persaingan ini perusahaan berusaha
memperbaiki sistem pelayanan terhadap kebutuhan pelangggan (customer).
Perusahaan yang mampu bertahan dan bersaing secara efektif adalah perusahaan
yang dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki meliputi
manusia, mesin, material, informasi dan lingkungan kerja, sehingga mampu
menghasilkan produk yang berkualitas baik. Untuk menghasilkan produk yang
berkualitas baik, perusahaan harus mengadakan pengendalian kualitas untuk
menemukan terjadinya cacat (defect), sehingga dapat dilakukan tindakan
perbaikan untuk mengurangi terjadinya cacat (defect) serta meningkatkan kualitas
produk yang dihasilkan.
PT. ECCO Indonesia Sidoarjo merupakan salah satu perusahaan yang
bergerak di bidang manufaktur yang memproduksi sepatu dengan standart tinggi
yang berdiri sejak tahun 1991. Dalam pengoperasiannya PT.ECCO tentu tidak
lepas dari masalah-masalah pengendalian kualitas produk dan menjaga konsistensi
dari kualitas produk mereka. Dalam rangka menjaga kekonsistensian mutu suatu
produk maka perlu dilakukan suatu usaha untuk meningkatkan performa dari
perusahaan salah satunya dengan metode Six Sigma.
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan usulan dalam hal
meningkatkan kualitas untuk mengurangi defect
yang dominan dan
mengidentifikasi faktor-faktor terjadinya kecacatan produk dengan menggunakan
Metode Six Sigma dengan tujuan zero defect.
Penulis menggunakan tools dari six sigma dengan pendekatan metode
DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve-Control) dengan bantuan Software
Minitab 14, agar dapat mengurangi cacat hasil proses yang dihasilkan. Hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan hasil penelitian dari total produksi
sebesar 105.055 dan total defect sebesar 2809 PT.ECCO Indonesia Sidoarjo telah
mencapai level sigma 4.06. Terdapat 5 CTQ terbesar yaitu Cacat Kulit, Cacat
Jahitan, Cacat Warna, Cacat Sol, Cacat Pencetakan. Dengan hasil FMEA terbesar
dari Cacat Kulit, dikarenakan inspeksi dalam pemilihan bahan baku lemah dengan
nilai RPN sebesar 294.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Perkembangan industri baik industri jasa maupun industri manufaktur berkembang sangat pesat, perusahaan bersaing untuk mencari pasar konsumen yang tepat. Untuk memenangkan persaingan ini perusahaan berusaha memperbaiki sistem pelayanan terhadap kebutuhan pelangggan (customer). Perusahaan yang mampu bertahan dan bersaing secara efektif adalah perusahaan yang dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki meliputi manusia, mesin, material, informasi dan lingkungan kerja, sehingga mampu menghasilkan produk yang berkualitas baik. Untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik, perusahaan harus mengadakan pengendalian kualitas untuk menemukan terjadinya cacat (defect), sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan untuk mengurangi terjadinya cacat (defect) serta meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan.
PT. ECCO Indonesia Sidoarjo merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur yang memproduksi sepatu dengan standart tinggi yang terletak di Jl. Candi Sidoarjo, Jawa Timur. Produk yang dihasilkan oleh PT. ECCO Indonesia adalah sepatu untuk orang dewasa dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. PT. ECCO Indonesia Sidoarjo dalam memasarkan hasil produksinya melalui eksport ke berbagai negara, diantaranya adalah : EROPA, AMERIKA SERIKAT, JEPANG, INDIA, THAILAND, BRAZIL. Pada Sepatu
Beberapa masalah yang dihadapi oleh perusahaan ini adalah masih tingginya defect produk yang terjadi pada sepatu article ”FLAIR”. Jenis Defect tersebut adalah cacat jahitan, cacat sol, cacat kulit, cacat warna, dan cacat pencetakan. Kecacatan ini terjadi dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya adalah operator yang kurang teliti, bahan baku yang kurang baik, perawatan mesin dan peralatan yang kurang maksimal dan lain sebagainya. Jika dihitung, jumlah produk cacat rata-rata bisa mencapai 2.7%. Untuk itu diperlukannya suatu strategi yang dapat menjamin kualitas.
Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya cacat tersebut harus dilakukan pengendalian kualitas mulai bahan baku, proses produksi sampai produk akhir sehingga dapat diketahui terjadinya penyimpangan dengan lebih cepat dan efektif. Salah satu metode yang digunakan untuk mengendalikan kualitas adalah six sigma, yaitu suatu metode yang berfokus pada cacat atau variasi, menstabilkan kemampuan proses, mendefinisikan, mengukur, menganalisa, memperbaiki dan mengendalikan proses untuk menghilangkan cacat produk dengan hanya 3,4 cacat diantara sejuta kesempatan.
1.2Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan sutau permasalahan, yaitu :
“Bagaimana upaya perusahaan dalam meningkatkan kualitas dengan
menurunkan prosentase defect yang terjadi pada produk sepatu di PT. ECCO
Indonesia Sidoarjo?”
1.3Batasan Masalah
Dalam penelitian Tugas Akhir ini, batasan yang akan digunakan adalah : 1. Penelitian hanya dilakukan pada akhir proses pada Departemen Quality
Control.
2. Penelitian hanya dilakukan pada produk sepatu article ” FLAIR” 3. Penelitian tidak memperhitungkan waktu dan biaya yang ditimbulkan. 4. Tahap Improve dan Control hanya dalam bentuk usulan pada perusahaan
1.4Asumsi
Dengan menggunakan asumsi sebagai berikut : 1. Kondisi kerja pada saat penelitian dalam kondisi tetap. 2. Sistem manajemen perusahaan dalam kondisi normal.
1.5Tujuan
Tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut :
1. Mengetahui jenis-jenis cacat dan faktor – faktor penyebab terjadinya defect produk sepatu pada proses produksinya.
2. Mengetahui sigma dan kapabilitas proses produksi pembuatan sepatu dengan metode Six Sigma.
3. Memberikan usulan perbaikan pada proses produksi untuk mengurangi terjadinya cacat (defect).
1.6Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dengan melakukan penelitian ini adalah : 1. Bagi Perusahaan:
Dengan adanya penerapan metode six sigma, pihak Perusahaan memperoleh masukan berupa kerangka DMAIC untuk mengendalikan kualitas produk yang dihasilkan dan mengetahui tingkat kualitas produk dan penyebab yang dapat menimbulkan terjadinya Defect.
2. Bagi Peneliti:
Dapat menambah pengetahuan serta wawasan mengenai metode six sigma. 3. Bagi Universitas:
1.7Sistematika Penulisan
Sistematika ini menjelaskan rangkaian tahapan masalah sebagi berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, asumsi, manfaat penelitian serta urutan sistematikanya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang konsep dan teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian, terutama yang berkaitan dengan konsep Six Sigma. Tujuan dalam bab ini adalah untuk memberikan dasar atau acuan secara ilmiah dan berguna dalam membentuk kerangka berpikir yang akan berguna dalam penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang siklus DMAIC (Define, Measure, Analyxe,
Improve, Control). Tahap Define memaparkan pemilihan obyek penelitian, Measure berisi pengumpulan data dan pengukuran kinerja, Analyze tenang analisa terhadap kemampuan proses dan mengidentifikasi sumber penyebab Defect, tahap Improve menjelaskan usulan tindakan perbaikan dan Contol dilakukan oleh pihak perusahaan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian, serta berisi saran yang dapat digunakan sebagai masukan bagi perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kualitas
Kualitas merupakan topik yang hangat di dunia bisnis dan akademik. Namun
demikian, istilah tersebut memerlukan tanggapan secara hati–hati dan perlu
mendapat penafsiran secara cermat. Faktor utama yang menentukan kinerja suatu
perusahaan adalah kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Produk dan jasa yang
berkualitas adalah produk dan jasa yang sesuai dengan apa yang diinginkan
konsumennya. Oleh karena itu organisasi atau perusahaan perlu mengenal
pelanggannya dan mengetahui kebutuhan dan keinginannya. Pengertian kualitas
menurut beberapa ahli antara lain adalah :
1.Joseph M. Juran (1993) “Kualitas adalah kecocokan untuk pemakaian
(fitness for use) yang mengandung pengertian bahwa suatu produk atau
jasa harus dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh konsumen.
2.Philip B. Crosby (1979) “Kualitas adalah conformance to requirements,
yaitu sesuai dengan yang diisyaratkan atau distandartkan. Suatu produk
memiliki kualitas apabila sesuai dengan standart kualitas yang telah
ditentukan.
3.W. Edwards Deming (1982) “Kualitas adalah suatu tingkat yang dapat
diprediksi dari keseragaman dan ketergantungan pada biaya yang rendah
4.Feigenbaum (1991) “Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk
dan jasa yang meliputi marketing, engeneering, manufacture, dan
maintenance,di mana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan
sesuai dengan kebutuhan dan pelanggan’
5.Scherkenbach (1991) “Kualitas ditentukan oleh pelanggan-pelanggan
menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan
harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai
produk tersebut”.
6.Elliot (1993) “ Kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang
berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, atau dikatakan sesuai
dengan tujuan”.
7.Goetch dan Davis (1995) “Kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang
berkaitan dengan produk, pelayanan, orang proses, dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan”.
Istilah kualitas memang tidak terlepas dari manajemen kualitas yang
mempelajari setiap area dari manajemen operasi, dari perencanaan lini produk dan
fasilitas sampai penjadwalan dan memonitor hasil. Kualitas merupakan bagian
dari semua fungsi usaha yang lain (pemasaran, sumber daya manusia, keuangan,
dan lain-lain). Dalam kenyataannya, penyelidikan kualitas adalah suatu penyebab
umum (common cause) yang alamiah untuk mempersatukan fungsi-fungsi usaha.
Ada beberapa alasan perlunya kualitas bagi suatu organisasi. Russel
mengidentifikasi 6 peran pentingnya kualitas yaitu :
1. Meningkatkan reputasi perusahaan
3. Meningkatkan pangsa pasar
4. Dampak Internasional
5. Adanya pertanggungjawaban produk
6. Untuk penampilan produk dan mewujudkan kualitas yang dirasakan
penting dan masih banyak lagi alasan mengapa kualitas begitu penting
bagi perusahaan.
2.1.1 Pengendalian Kualitas
Pada tiap produk terdapat sejumlah unsur yang bersama – sama
menggambarkan kecocokan penggunaannya. Parameter – parameter ini biasanya
dinamakan ciri – ciri kualitas. Ciri – ciri kualitas menurut (Douglas C.
Montgomery,1998:3) ada beberapa jenis :
1.Fisik : panjang, berat, voltage, kekentalan.
2.Indera: rasa, penampilan, warna.
3.Orientasi waktu: keandalan (dapat dipercaya), dapat dipelihara, dapat dirawat.
Pengendalian kualitas adalah aktivitas keteknikan dan manajemen, yang
dengan kualitas itu kita ukur ciri – ciri kualitas produk, membandingkannya
dengan spesifikasi atau persyaratan, dan menggambil tindakan penyehatan yang
sesuai apabila ada perbedaan antara penampilan yang sebenarnya dan yang
standard.
2.1.2 Tujuan Pengendalian Kualitas
Pengendalian kualitas merupakan suatu pengendalian untuk memeriksa
untuk penilaian atas kemampuan proses produksi yang dikaitkan dengan standar
spesifikasi produk.
(Ghalia Indonesia. Manajemen Kualitas Pendekatan Sisi Kualitatif. Dorothea
Wahyu Ariani, S.E, M.T. Hal. 8-9)
Tujuan dari pelaksanaan kualitas adalah:
1. Pencapaian kebijaksanaan dan target perusahaan secara efisien.
2. Perbaikan hubungan manusia.
3. Peningkatan moral karyawan.
4. Pengembangan kemampuan tenaga kerja.
Dengan mengarahkan pada pencapaian tujuan–tujuan diatas akan terjadi
peningkatan produktivitas dan profitabilitas usaha.
Secara spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan pengendalian kualitas
adalah :
1. Memperbaiki kualitas produk yang dihasilkan.
2. Penurunan ongkos kualitas secara keseluruhan.
Ada beberapa alasan perlunya kualitas bagi suatu organisasi. Russel
mengidentifikasi 6 peran pentingnya kualitas yaitu :
1. Meningkatkan reputasi perusahaan
2. Menurunkan biaya
3. Meningkatkan pangsa pasar
4. Dampak Internasional
6. Untuk penampilan produk dan mewujudkan kualitas yang dirasakan
penting dan masih banyak lagi alasan mengapa kualitas begitu penting
bagi perusahaan.
2.1.3 Manajemen Kualitas
Penataan atau biasa disebut manajemen sangat diperlukan di setiap
organisasi. Baik buruknya organisasi banyak bergantung pada masing-masing
manajemen di setiap bagiannya, misalnya manajemen perawatan, manajemen
keuangan, manajemen pemasaran, manajemen mutu, manajemen lingkungan,
dsb. Menurut Trry (syamsi, 1983 : 23), manajemen merupakan suatu proses
yang terdiri dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengoperasian, dan
pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang
telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber-sumber daya yang telah ada atau
tersedia.
Sementara itu, menurut Gasperz (1997), manajemen kualitas dapat
dikatakan sebagai semua aktivitas dari fungsi manajemen secara keseluruhan
yang menentukan kebijaksanaan kualitas, tujuan dan tanggung jawab, serta
mengimplementasikannya melalui alat-alat manajemen kualitas, seperti
perencaan kualitas, pengendalian kualitas, penjamin kualitas, dan peningkatan
kualitas.
(Ghalia Indonesia. Manajemen Kualitas Pendekatan Sisi Kualitatif. Dorothea
Wahyu Ariani, S.E, M.T. Hal. 17)
Menurut Garvin (dalam Lovelok, 1994; Peppard dan Rowland, 1995;
Fandy Tjiptono, 2000: 68) ada 8 dimensi kualitas yang dikembangkan dan dapat
digunakan sebagai kerangka perencanaan strategi dan analisis. Dimensi tersebut
adalah :
1. Performansi (Performance) berkaitan dengan aspek fungsional dari produk
dan merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan ketika
ingin membeli suatu produk.Sebagai contoh, performa dari produk TV
berwarna adalah memiliki gambar yang jelas. Untuk mobil, memiliki
kenyamanan, kecepatan, dan lain sebagainya.
2. Features merupakan aspek kedua setelah performansi yang menambah
fungsi dasar dengan beberapa pilihan dan pengembangan. Misalnya dalam
produk penerbanganadalah memberikan minuman atau makanan gratis
dalam pesawat, pembelian tiket melalui telepon.
3. Keandalan (Reliability) berkaitan dengan kemungkinan keberhasilan suatu
produk dalam melakukan berfungsi.Dengan demikian keandalan merupakan
karakteristik kemungkinan tingkat keberhasilan, misalnya kehandalan mobil
adalah kecepatan.
4. Konformansi (Conformance) berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk
terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan
keingginan konsumen. Karakteristik ini mengukur banyaknya atau
persentase produk yang gagal memenuhi sekumpulan standar yang telah
ditetapkan dan karena itu perlu dikerjakan ulang atau diperbaiki. Sebagai
contoh, apakah semua pintu mobil untuk model tertentu diproduksi dengan
5. Daya tahan (Durability) merupakan ukuran masa pakai dan daya tahan suatu
produk. Misalnya masa pakai dalam produk ban mobil.
6. Kemampuan Pelayanan (Service ability) merupakan karakteristik yang
berkaitan dengan kecepatan, keramahan, kesopanan, kompetensi,
kemudahan serta akurasi dalam perbaikan. Misalnya pelayanan melalui
telepon dan perbaikan mobil dilakukan dirumah.
7. Estetika (Aesthetics), yaitu karakteristik yang bersifat subyektif sehingga
berkaitan dengan pertimbangan atau pilihan individu. Seperti keelokan,
kemulusan, suara yang merdu.
8. Kualitas yang dirasakan (Perceived Quality)
Karakteristik yang bersifat subyektif, berkaitan dengan perasaan pelanggan
dalam mengkonsumsi produk seperti meningkatkan harga diri. Seperti
seseorang yang akan membeli produk Sony karena memiliki reputasi
sebagai produk yang berkualitas, meskipun dia belum pernah
menggunakannya.
2.1.5 Teknik Pengendalian Kualitas Statistik
Statistika digunakan dalam proses kendali kualitas kapan saja dan
dimana mungkin. Ada empat macam metode statistik yang dapat digunakan
secara terpisah maupun bersamaan atau kombinasi antar mereka.
a. Distribusi frekuensi.
Suatu tabulasi atau cacah (tally) yang menyatakan banyaknya suatu ciri
kualitas muncul dalam sampel yang diamati. Ini dapat digunakan untuk melihat
1.Kualitas rata-rata.
2.Penyebaran kualitas.
3.Perbandingan kualitas dengan spesifikasi yang diinginkan.
Teknik ini digunakan dalam analisis kualitas suatu proses atau alat yang
diketahui.
b. Gambar kontrol (control chart / peta kontrol).
Suatu yang menyajikan secara grafis keadaan produksi secara kronologis
(jam perjam atau hari per hari). Jika kurve yang dihasilkan melampaui
batas-batas yang ada, maka suatu perubahan atau penyesuaian dalam proses produksi
bisa dianjurkan, bahkan mungkin diperlukan suatu penyelidikan mendalam.
Teknik ini mungkin dilakukan untuk mengontrol suatu proses setelah cara
teknik distribusi frekuensi menunjukkan hasil, bahwa proses dalam keadaan
terkontrol. Gambar kontrol ini sangat sederhana, sehingga para insinyur maupun
inspektur sangat menaruh perhatian.
c. Tabel sampling.
Tabel yang terdiri dari jadwal untuk pengamatan kualitas biasanya dalam
bentuk persentase. Hal ini dilakukan untuk menjamin pencapaian kualitas yang
dikehendaki untuk produksi maupun barang kiriman.
d. Metode khusus.
Metode ini digunakan untuk kontrol kualitas dalam industri . Analisis yang
digunakan secara statistik yang cukup rumit, antara lain korelasi, analisis
2.1.6 Keuntungan Pengendalian Kualitas
Keuntungan dari pengendalian kualitas adalah :
1. Dengan pengendalian kualitas akan terlihat variasi dari kualitas, sehingga
menolong untuk secara langsung atau tak langsung memperbaiki kualitas
atau menurunkan biaya atau kedua-duanya.
2. Menjaga kualitas lebih uniform (merata atau tidak banyak variasi).
Produksi barang tidak dapat dibuat sama persis satu sama lain,pasti timbul
variasi Selama variasi kualitas tidak menunjukkan gejala yang besar maka
proses produksi dikatakan cukup terkontrol secara statistik. Sering juga
dikatakan bahwa produksinya tidak menunjukkan banyak variasi kualitas
atau singkatnya produksinya uniform. Pengendalian kualitas akan menjaga
ke-uniforman ini.
3. Menolong menentukan penilaian sumber bahan baku.
Jika dalam produksi digunakan bahan baku dari beberapa sumber, maka
metode statistik akan menolong menentukan penilaian sumber bahan baku.
Apalagi jika biaya produksi untuk menjaga kualitas produksi sangat
dipengaruhi oleh sumber bahan baku, maka penilaian ini menjadi sangat
penting. Suatu contoh, pabrik gula akan memproduksi gula dengan
kualitas tertentu. Tebu sebagai bahan baku datang dari ladang-ladang yang
berbeda mutunya. Jika tanpa penyesuaian proses produksi maka kualitas
4. Penggunaan alat produksi yang lebih efisien.
Didalam suatu industri sering digunakan beberapa mesin untuk
memproduksi barang yang sama. Tentunya tiap mesin mempunyai
karakteristik tersendiri, perlu penyetelan atau bahkan perlu direparasi. Jika
digunakan gambar kontrol untuk setiap mesin, maka petugas akan segera
tahu akan keadaan mesin, apakah perlu segera penyetelan atau perlu
dihentikan. Tentunya untuk hal ini juga digunakan statistika.
5. Mengurangi kerja ulang atau pembuangan.
Produk yang kurang baik kadang masih dilakukan perbaikan atau diproses
kembali. Hal ini sangat merugikan , karena perlu biaya dan waktu.
6. Memperbaiki hubungan produsen–konsumen.
Banyak industri sekarang ini menggunakan komponen-komponen dari
hasil industri lain. Disini akan tampak bahwa bahan baku dari industri lain
akan sangat mempengaruhi kualitas produksi, atau mungkin malah
merusak kualitas. Jika produsen bahan baku itu memberikan kualitas yang
baik, maka tentunya akan meningkatkan hubungan antar produsen dan
konsumen. Saling percaya mempercayai dan tentunya tidak akan ada
keluhan dari konsumen.
2.2 Six Sigma
Huruf kecil “Sigma” dalam alfabet Yunani –σ- merupakan sebuah simbol
yang digunakan dalam notasi statistik untuk menunjukkan deviasi standar dari
sebuah populasi. Deviasi standar merupakan indikator jumlah “variasi” atau
Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan
peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak
tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas.
Karena Six Sigma mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik
menuju tingkat kegagalan nol (zero defect) dan mampu memberikan solusi yang
ampuh dalam hal terobosan–terobosan yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol. Prinsip–prinsip
pengendalian dan peningkatan kualitas Six Sigma telah dilakukan oleh Motorola
selama kurang lebih 10 tahun dan telah mampu mencapai tingkat kualitas 3,4
Defect Per Millon Opportunities –kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO).
(Gasperz, 2002)
Sedangkan menurut Pyzdek (2000), Six Sigma adalah suatu Implementasi
yang secara ketat, terfokus dan sangat efektif dalam meningkatkan kualitas. Six
Sigma bertujuan untuk kinerja bisnis yang hampir sepenuhnya bebas dari error
atau kegagalan. Kinerja suatu perusahaan diukur dengan level sigma proses bisnis
mereka.
Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh
pelanggan, dalam hal ini ada beberapa defect dalam konsep Six Sigma yaitu:
a) Defect Per Opportunity (DPO)
Ukuran kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six
Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan persatu
kesempatan, untuk menghitung menggunakan formula
DPO = Banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan
misalnya , dari 500 pesanan yang diterima diketahui bahwa terdapat 12
pesanan yang dikembalikan dan/ dikeluhkan karena 9 hal defect dengan nilai
DPO = 12/ (500 x 9) = 0,002667
b) Defect Per Million Opportunities(DPMO)
Ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang
menunjukkan kegagalan persejuta kesempatan, untuk menghitung
menggunakan formula
DPMO = DPO 1.000.000
Selanjutnya jika ingin mengetahui tingkat kegagalan per satu juta kesempatan
(DPMO), dalam Microsoft Excel menggunakan formula berikut :
DPMO = 1.000.000-normdist (– 1,5 + Nilai Sigma) 1.000.000
Dalam metode ini, parameter yang dipakai : DPMO (defect per million
opportunities), yaitu kegagalan per sejuta kesempatan dan COPQ (cost of poor
quality), yaitu biaya yang dikeluarkan karena kualitas yang rendah.
2.2.1 Konsep Six Sigma
Pada dasarnya pelanggan akan puas jika mereka menerima nilai
sebagaimana yang diharapkan. Apabila produk diproses pada tingkat kualitas
Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta
kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 % dari apa yang
diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Pengendalian Kualitas
Six Sigma sebesar 3,4 DPMO diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk
sebesar 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO). Semakin tinggi target
Sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma
dipandang Sebagai pengendalian proses industri berfokus kepada pelanggan,
melalui penekanan pada kapabilitas proses (process capability)..
Menurut Gasperz (2002), terdapat enam aspek kunci utama dalam
aplikasi konsep Six Sigma, yaitu :
1. Identifikasi pelanggan.
2. Identifikasi produk.
3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan.
4. Definisi proses.
5. Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan pemborosan yang
ada .
6. Meningkatkan proses secara terus – menerus menuju target Six Sigma.
Sedangkan jika konsep Six Sigma akan diterapkan dalam bidang
manufacturing terdapat enam aspek yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan (sesuai
kebutuhan dan ekspektasi pelanggan).
2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas tersebut sebagai Critical To
Quality (CTQ) individual. Critical To Quality adalah atribut–atribut yang
penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan
kepuasan pelanggan. Merupakan elemen dari suatu produk, proses atau
praktek–praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan.
3. Menentukan apakah setiap CTQ tersebut dapat dikendalikan melalui
4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang
diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL,dari setiap CTQ).
5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai
maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ).
6. Mengubah desain produk dan atau proses sedemikian rupa agar mampu
mencapai nilai target Six Sigma, yang berarti memiliki indeks kapabilitas
proses (Cpk) maksimum sama dengan 2(Cpm 2). (Gaprersz, Vincent, 2002 : 9).
Pendekatan pengendalian proses 6-sigma Motorola (Motorola’s Six
Sigma process control) mengizinkan adanya pergeseran nilai rata-rata (mean)
setiap CTQ individu dari proses industri terhadap nilai spesefikasi target (T)
sebesar 1,5–sigma , sehingga menghasilkan 3,4 DPMO (defect per million opportunities). Dengan demikian berdasarkan konsep Six Sigma Motorola,
berlaku penyimpangan :(mean–Target ) =
T
= 1,5 atau
T 1,5 . Disini (mu) merupakan nilai rata–rata (mean) dari proses,
T
- 1,5 sigma +1,5 sigma
mean
LSL USL
- 6sigma - 3sigma - 2sigma - 1sigma + 1sigma + 2sigma + 3sigma + 6 sigma
Keterangan : sigma dalam bagan menunjukkan ukuran variasi dari proses yang
[image:33.612.135.507.132.356.2]stabil mengikuti distribusi normal
Gambar 2.1. Konsep Six Sigma Motorola dengan Distribusi Normal bergeser
1,5–Sigma. (Vincent Gaspersz,2002, hal 11)
Program peningkatan kualitas Six Sigma berorientasi pada
peningkatan kemampuan proses menuju tingkat kegagalan nol atau menuju nilai
spesifikasi terget kualitas (T) yang diinginkan pelanggan, maka terdapat
hubungan antara pencapaian peningkatan kualitas dan nilai toleransi standar
deviasi maksimum (Smaks) yang diijinkan dalam program peningkatan kualitas
Six Sigma.
Jika pelanggan mempunyai dua batas spesifikasi yang ditetapkan (USL
dan LSL) maka menggunakan formula : Smaks = [1 / (2 x nilai kapabilitas
Sigma)] x (USL – LSL).Jika pelanggan hanya menetapkan satu batas spesifikasi
spesifikasi atas(USL), gunakan formula berikut : Smaks = [1 /nilai kapabilitas
sigma] x absolut (SL – T), dimana SL = batas spesifikasi yang ditetapkan
pelanggan dan T adalah nilai target. (Gaspersz, Vincent, 2002 : 10).
Tingkat Six Sigma sering dihubungkan dengan kapabilitas proses, yang
dihitung dalam defect per million opportunities / (DPMO). Berapa tingkat
pencapaian Sigma berdasarkan DPMO dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 DPMO pada sigma level
Sigma Yield DPMO
1 – sigma 31,0 % 691.462 (sangat tidak kompetitif)
2 – sigma 69,2 % 308.538 (rata-rata industri Indonesia)
3 – sigma 93,3 % 66.807
4 – sigma 99,4 % 6.210 (rata-rata industri USA)
5 – sigma 99,97 % 230
6 – sigma 99,99966 % 3,4 (industri kelas dunia) ( sumber : Gaspersz, 2002 )
2.2.2 Faktor Penentu Dalam Six Sigma
Dijelaskan pula bahwa faktor penentu dalam pelaksanaan Six Sigma ini
antara lain (George, 2002) :
1. Customer Centric
Pelanggan adalah tujuan utama Six Sigma dimana kualitas dari produk
diukur melalui perspektif pelanggan dengan jalan :
a.Voice of customer (VOC), menyatakan keinginan pelanggan.
b.Requirements, masukan dari VOC ditransfer secara spesifik dengan
elemen yang dapat diukur.
c.Critical to Quality (CTQ), permintaan yang paling penting bagi
pelanggan.
2.Financial Result
Total Quality Management (TQM) dikenal lebih dulu daripada Six Sigma.
TQM sendiri susah menentukan hal mana yang dijadikan prioritas utama
bahkan hampir semua proyek yang dikerjakan mengenakan biaya pada
pelanggan dan penanam saham, sehingga dapat menghabiskan banyak biaya.
TQM sering dipimpin oleh pihak yang paling kurang pemahaman terhadap
pengendalian kualitas dan cenderung menemukan cara pengukurannya sendiri.
Sedangkan Six Sigma mengakomodasikan penurunan biaya dan kenaikan
pendapatan.
3. Management Engagement
Pada penerapan Six Sigma ini selain pada proses juga memerlukan perhatian
dan kerja sama pada semua lini manajemen perusahaan.
4. Resources Commitment
Komitmen untuk maju lebih ditekankan daripada jumlah personel yang
terlibat dalam implementasi ini.
5. Execution Infrastructure
Six Sigma didukung oleh infrastruktur yang berisi orang–orang dari top
management sampai operasional, dimana keseluruhan memiliki fokus yang
sama yaitu kepuasan pelanggan.
2.2.3 Penentuan Kapabilitas Proses
Kapabilitas proses adalah perangkat untuk mengukur variabilitas yang
peningkatan kualitas Six Sigma ditunjukkan melalui peningkatan kapabilitas
proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero defect).
Oleh karena itu, perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk
dipahami dalam implementasi program Six Sigma.
Pengukuran kapabilitas meliputi :
1) Stabilitas, yaitu keadaan di mana data hasil pengukuran dalam keadaan
stabil, suatu kondisi di mana tidak terdapat data berada di luar kendali dan tidak
terdapat sebab-sebab khusus dalam pola data. Jika sebaliknya, maka penyebab
harus dihilangkan agar bisa dilakukan kapabilitas, atau langsung dihitung cacat
per sejuta bagian dan diterjemahkan ke dalam nilai sigma.
2) Normalitas, apabila data diasumsikan berdistribusi normal maka harus
dilakukan uji kenormalan data melalui plot probabilitas dan uji hipotesis.
1. Plot probabilitas, adalah memplot data ke dalam bentuk distribusi
komulatif. Apabila data mengikuti distribusi normal maka ia akan
mendekati bentuk garis linier
2. Uji hipotesis, yaitu pengujian anggapan bahwa data berdistribusi
normal. Pengujian H0: = 0 dan H1: 0. Penghitungan
menggunakan rumus Zx untuk mendapatkan nilai-P (P-value).
Nilai-P adalah peluang untuk mendapatkan adalah peluang untuk
mendapatkan suatu nilai Z sebesar atau lebih besar daripada Zhitung bila
memang = 0. Bila nilai-P lebih besar daripada galat jenis I maka
3) Penghitungan nilai indeks kapabilitas, potensial dan aktual. Kapabilitas
potensial adalah variabilitas pada suatu saat dan kapabilitas aktual adalah
variabilitas setiap saat. Indeks kapabilitas:
1. Potensial (Cp, Cpk, Cpm)
2. Aktual (Pp, Ppk)
Cp dan Pp adalah indeks kapabitas umum, Cpk dan Ppk dilakukan untuk
mengetahui kecenderungan dan lokasi proses. Penghitungan Cpk merupakan
nilai minimum antara indeks CPU dan CPL, yaitu penghitungan rentang salah
satu batas spesifikasi dan rata-rata proses proses () terhadap sebaran proses ().. Sedangkan Cpm menghitung penyimpangan rata-rata proses terhadap target. Jika nilai Cp = Cpk = Cpm, maka proses dikatakan berada pada target
capable.
4) Menghitung nilai sigma yang dihasilkan. Dalam metode six sigma, setiap
pengukuran diterjemahkan ke dalam nilai sigma sebagai ukuran performansi.
5) Menghitung jumlah peluang bagian yang berada di luar spesifikasi ke dalam
nilai bagian per sejuta (PPM = part per million).
2.2.3.1 Penentuan kapabilitas proses untuk data variabel
Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan
alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data
variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan keadaan
aktual, diukur secara langsung maka karakteristik kualitas yang diukur
Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data variabel adalah
sebagai berikut :
1. Menentukan proses yang ingin diukur.
2. Menentukan nilai batas spesifikasi atas dan batas spesifikasi bawah.
3. Menentukan nilai target yang ingin dicapai.
4. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi dari proses.
5. Menghitung nilai DPMO,dengan menggunakan formula sebagai berikut : _ _
DPMO =
[
P{
Z ≥ (USL – Xbar)/S}
X1 juta]
+[
P{
Z ≤ (LSL – Xbar )/S}
X1 juta]
6. Mengkonversikan nilai DPMO ke dalam nilai sigma.7. Hitung kapabilitas proses di atas dalam indeks kapabilitas proses dengan
perhitungan sebagai berikut:
(USL-LSL)
Cpm =
{ 6
√
(Xbar – T)2 + S2 }Dimana biasanya dipergunakan criteria sebagai berikut:
Cpm ≥ 2,00 ; proses dianggap mampu dan kopetitif
Cpm antara 1,00–1,99 ; proses dianggap cukup mampu, namun perlu
upaya peningkatan kualitas
Cpm < 1,00 ; proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif untuk
bersaing di pasar global
2.2.3.2 Penentuan kapabilitas proses untuk data atribut
Data atribut adalah data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar
pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut
klasifikasi yang berkaitan dengan sekumpulan persyaratan yang telah
ditetapkan.
Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data atribut adalah
sebagai berikut :
1. Menentukan proses yang ingin diukur.
2. Menentukan banyaknya unit yang dikerjakan pada proses tersebut.
3. Menghitung jumlah unit yang gagal.
4. Menentukan banyaknya CTQ yang dapat mengakibatkan kegagalan.
5. Menghitung nilai DPMO, dengan menggunakan formula sebagai berikut:
banyaknya cacat
DPMO = _____________________________________ X 1juta banyaknya unit yang diproduksi x CTQ
6. Mengkonversikan nilai DPMO ke dalam nilai sigma
2.2.4 Proses DMAIC
Program peningkatan kualitas Six Sigma, dapat dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan Define, Measure, Analyze, Improve dan Control
(DMAIC). Konsep DMAIC merupakan sebuah closed loop dimana output dari
tiap fase akan menjadi input bagi fase selanjutnya, bahkan output dari fase
terakhir dalam satu loop (fase Control), akan menjadi input bagi rencana /
proyek perbaikan (tahapan DMAIC) selanjutnya (Pande, 2002).
2.2.4.1Define
Define (D) merupakan langkah operasional pertama dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, perlu dilakukan:
Pemilihan proyek Six Sigma adalah prioritas, artinya kita harus
menetapkan prioritas utama tentang masalah–masalah dan / atau
kesempatan–kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani
terlebih dahulu.
2. Peran dan tanggung jawab dari orang – orang yang akan terlibat
dalam proyek Six Sigma
Terdapat beberapa orang atau kelompok orang dengan peran generik
beserta gelar–gelar yang umum dipakai dalam program Six Sigma
[image:40.612.182.458.363.522.2]sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.4
Tabel 2.2 Contoh Dari Beberapa Peran Generik Dengan Gelar Atau “Belt”
Dalam Program Six Sigma
No Peran Generik dengan berbagai Gelar atau “Belt”
1 Dewan Kepemimpinan ( Leadership Council ),
Dewan Kualitas ( Quality Council),
Komite Pengarah (Steering Committee) Six Sigma,
Senior Champions
2 Champions
3 Master Black Belts
4 Black Belts
5 Greean Belts
6 Anggota Tim (Team Members)
Sumber : Vincent Gasperz,2002, hal 35
keterangan :
1. Dewan Kepemimpinan
Dewan kepemimpinan, dikenal juga sebagai Dewan kualitas , Komite
pengarah Six Sigma atau Senior Champions, merupakan orang – orang yang
berada pada posisi manajemen puncak ( top management ) dari organisasi
a) Menetapkan visi, peran, dan infrastruktur dari Six Sigma
b) Memilih proyek–proyek spesifik Six Sigma dan mengalokasikan
sumber–sumber daya
c) Meninjau–ulang secara periodik tentang kemajuan dari berbagai proyek
Six Sigma
d) Membantu mengkuantifikasikan dampak dari usaha–usaha Six Sigma
kepada orang–orang yang berada ditingkat bawah dalam organisasi
e) Menilai kemajuan serta mengidentifikasikan kekuatan–kekuatan dan
kelemahan–kelemahan dalam usaha–usaha Six Sigma
f) Membagi atau menyebarluaskan praktek–praktek terbaik dari Six Sigma
ke seluruh organisasi serta kepada pemasok–pemasok kunci dan
pelanggan–pelanggan utama
g) Membantu mengatasi hambatan–hambatan dalam organisasi yang
berdampak negatif proyek–proyek Six Sigma
2. Champions
Merupakan individu yang berada pada manajemen atas (top managemen)
yang memahami Six Sigma dan bertanggung jawab untuk keberhasilan dari Six
Sigma itu. Secara umum , champions bertanggung jawab untuk :
1. Mendefinisikan jalur implementasi Six Sigma ke seluruh oganisasi
2. Menetapkan dan memelihara atau mempertahankan sasaran yang luas
untuk proyek peningkatan kualitas Six Sigma
3. Menyetujui perubahan–perubahan dalam arah atau lingkup dari proyek Six
4. Mengembangkan rencana pelatihan komprehensif untuk implementasi
Six Sigma
5. menemukan dan menegosiasikan sumber–sumber daya untuk proyek
Six Sigma
6. Memberikan pengakuan dan penghargaan
7. Menerapkan pengetahuan yang diperoleh melalui peningkatan proses pada
tugas–tugas manajemen
3. Master Black Belts
Merupakan individu–individu yang dipilih oleh Champions untuk bertindak
sebagai tenaga ahli atau konsultan dalam perusahaan untuk menumbuh
kembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan–pengetahuan stategis yang
bersifat terobosan– terobosan Six Sigma keseluruh organisasi. Secara umum,
Master Black Belts bertanggung jawab untuk :
Bekerja sama dengan Champions
Mengembangkan dan menyebarluaskan bahan – bahan pelatihan tentang
Six Sigma ke berbagai tingkat dalam organisasi
Membantu dalam menidentifikasi proyek – proyek Six Sigma
Mengambil tanggung jawab kepemimpinan dari program – program utama
Memudahkan atau menyediakan fasilitas untuk penyebarluasan
praktek– praktek terbaik berdasarkan Six Sigma keseluruh organisasi
4. Black Belts
Orang yang menempati posisi pemimpin penuh waktu ( full time position)
a) Mengidentifikasikan hambatan–hambatan yang ada dalam proyek Six
Sigma
b) Memimpin dan mengarahkan tim dalam mengeksekusi proyek Six Sigma
c) Menyiapkan penilaian proyek secara terperinci selama tahap pengukuran
d) Mempertahankan jadual proyek dan menjaga kemajuan proyek menuju
solusi akhir dan hasil – hasil
e) Mendokumentasikan hasil –hasil akhir dan menciptakan “Story board”
(peta – peta kemajuan) dari proyek.
5. Green Belts
Six Sigma Green Belt merupakan individu – individu yang bekerja paruh
waktu dalam area spesifik atau mengambil tanggung jawab pada proyek – proyek
kecil dalam lingkup proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black Belts. Secara
umum, Green Belts memiliki tanggung jawab untuk :
1. Mempelajari metodologi Six Sigma untuk dapat diaplikasikan pada
proyek–proyek tertentu berskala kecil
2. Melanjutkan mempelajaridan mempraktekkan metode–metode dan alat–
alat Six Sigma setelah proyek Six Sigma berakhir
6. Anggota Tim ( Team Members)
Anggota – anggota tim proyek Six Sigma yang harus menerima pelatihan
dasar tentang metode – metode dan alat – alat Six Sigma agar mampu menerapkan
dalam proyek – proyek spesifik atau proses – proses dalam organisasinya.
Pernyataan tujuan proyek harus ditetapkan untuk setiap proyek Six Sigma
yang terpilih. Pernyataan tujuan yang benar adalah apabila mengikuti
prinsip SMART sebagai berikut :
a. Spesific: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma bersifat spesifik.
b. Measureable: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat
diukur menggunakan indikator pengukuran yang tepat guna
mengevaluasi keberhasilan, peninjauan ulang dan tindakan perbaikan
di waktu mendatang.
c. Achiveable: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat
dicapai.
d. Result–Oriented: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma harus
berfokus pada hasil – hasil berupa pencapaian target – target kualitas
yang ditetapkan.
e. Time–Bound: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma harus
menetapkan batas waktu pencapaian tujuan itu dan tepat waktu.
2.2.4.2Measure
Measure (M) merupakan langkah operasional kedua dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat tiga hal yang harus dilakukan pada
tahap Measure (M), yaitu :
1. Menetapkan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang berhubungan
langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.
Pengukuran karakteristik kualitas dapat dilakukan dengan menggunakan
data variabel dan data atribut :
1. Data Variabel : data kuantitatif yang diukur dengan menggunakan alat
pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis.
2. Data Atribut : data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar
pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis.
3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses,
output dan atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja
(performance baseline) pada awal obyek penelitian Six Sigma.
Oleh karena proyek–proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang
ditetapkan akan berfokus kepada upaya–upaya dalam peningkatan kualitas
menuju kegagalan nol (zero defect), maka kita harus mengetahui tingkat
kinerja yang sekarang (current performance) atau dalam terminologi Six
Sigma disebut sebagai baseline kinerja. Baseline kinerja dalam proyek Six
Sigma biasanya ditetapkan menggunakan satuan pengukuran Defects Per
Millon Opportunities (DPMO) atau tingkat kapabilitas sigma (sigma level)
Beberapa cara untuk menghitung dan mengekspresikan ukuran-ukuran
berbasis defect, yaitu :
a. Defect per Opportunity (DPO)
Menunjukkan proporsi defect atas jumlah total peluang dalam sebuah
kelompok.
Formula untuk atribut=
potensial CTQ
Jumlah x
diperiksa Unit
defect Jumlah
P{z (LSL – X-bar)/S}
b. Defect per Million Opportunities (DPMO)
Mengindikasikan berapa banyak defect akan muncul jika ada 1 juta
peluang.
Formula = DPO x 106
2.2.4.3Analyze
Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, perlu dilakukan beberapa hal
berikut :
1. Menganalisa kapabilitas (capability) dari proses.
Process Capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang
menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi
produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan
ekspektasi pelanggan (Gasperz, 2002).
Dalam pengukuran kemampuan proses diasumsikan variasinya stabil.
Variasi adalah ketidak seragaman dalam sistem industri sehingga
menimbulkan perbedaan dalam kualitas pada produk ( barang dan atau
jasa ) yang dihasilkan.
A. Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data varioabel adalah
sebagai berikut :
Untuk mengetahui apakah suatu produk stabil atau tidak, kita dapat
menggunakan formula sebagai berikut :
Sehingga didapat nilai toleransi untuk USL dan LSL adalah :
USL = T + 1.5 Smaks dan LSL = T + 1.5 Smaks
Selanjutnya kita dapat menganalisa kemampuan proses dengan
menggunakan Cpm dan Cpmk . Indeks Cpm dihitung menggunkana
formula berikut :
Cpm =
2 26 x T s
LSL USL
Dimana : Cpm = indeks kapabilitas proses (Process Capability Indeks)
USL = batas spesifikasi atas (Upper Specification Limit)
LSL = batas spesifikasi bawah (Lower Specification Limit)
T = target
s = standart deviasi (S = R-bar/d2 atau S= (xi – x-bar)2 / n - 1 )
x = arithmetic mean
Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya
dipergunakan kriteria (rule of thumb) sebagai berikut :
a. Cpm 2,00; maka proses dianggap mampu dan kompetitif
(perusahaan berkelas dunia).
b. Cpm antara 1,00 – 1,99; maka proses dianggap cukup mampu,
namun perlu upaya giat untuk penigkatan kualitas menuju target
perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan sangat
kecil menuju nol (zero defect oriented). Perusahaan-perusahaan
kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan
kualitas Six Sigma.
c. Cpm < 1,00; maka proses dianggap tidak mampu dan tidak
kompetitif untuk bersaing dipasar global.
Indeks kapabilitas proses (Cpm) digunakan untuk mengukur
tingkat pada mana suatu output proses berada pada nilai spesifikasi
target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan. Semakin tinggi
nilai Cpm menunjukkan bahwa output proses itu semakin mendekati
nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan,
yang berarti pula bahwa tingkat kegagalan dari proses semakin
berkurang menuju target tingkat kualitas kegagalan nol (zero defect
oriented). Dengan demikian indikator keberhasilan program
peningkatan kualitas Six Sigma dapat terlihat melalui indeks nilai
kapabilitas proses Cpm yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Bersamaan dengan penggunaan indeks Cpm , juga digunakan indeks
Cpmk yang mengukur tingkat pada mana output proses itu berada dalam
batas – batas toleransi (batas-batas spesifikasi atas dan bawah, USL
dan LSL) yang diinginkan pelanggan. Indeks Cpmk dihitung dengan
menggunakan formula :
Cpmk =
2 pk
T)/S} -{(X_bar 1
C
Dimana :
Cpk = minimum [(X bar – LSL)/3S ; (USL – Xbar)/3S]
LSL = batas bawah spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan.
T = spesifikasi target CTQ yang diinginkan oleh pelanggan.
Xbar = nilai rata-rata CTQ dari proses.
S = standar deviasi CTQ dari proses.
Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya
digunakan kriteria sebagai berikut :
1. Cpmk > 2,00 ; maka proses dianggap mampu memenuhi batas-batas
toleransi (batas spesifikasi bawah dan atas, LSL dan USL) dan
kompetitif (perusahaan berkelas dunia).
2. Cpmk antara 1,00 – 1,99 ; maka proses dianggap cukup mampu,
namun perlu upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target
perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan sangat
kecil menuju nol (zero defect oriented). Perusahaan-perusahaan
yang memiliki nilai Cpmk yang berada diantara 1,00 – 1,99
memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program
peningkatan kualitas Six Sigma.
3. Cpm < 1,00; maka proses dianggap tidak mampu dan tidak
kompetitif untuk bersaing dipasar global.
Selanjutnya jika kita ingin mengetahui tingkat kegagalan per satu
kesempatan(DPMO),gunakan formula berikut dalam Microsoft Excel :
= 1.000.000 – normsdist (-1,5 + NILAISIGMA)*1.000.000
B. Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data atribut adalah sebagai
berikut :
b. Menentukan banyaknya unit yang dikerjakan pada proses tersebut.
c. Menghitung jumlah unit yang gagal.
d. Menentukan banyaknya CTQ yang dapat mengakibatkan
kegagalan.
e. Menghitung nilai DPMO, dengan formula sebagai berikut:
DPMO = Banyaknya cacat x 1.000.000
Banyaknya unit yang diperiksa x CTQ
2. Menentukan target – target kinerja dari karakteristik kualitas kunci
(CTQ).
Setelah melakukan analisis kapabilitas proses, maka kita menetapkan
target-target kinerja dari setiap karakteristik kualitas (CTQ) kunci untuk
ditingkatkan. Secara konseptual penerapan target kinerja dalam proyek
peningkatan kualitas Six Sigma merupakan hal yang sangat penting, oleh
karena itu harus mengikuti prinsip “SMART”.
3. Mengidentifikasi sumber–sumber penyebab kecacatan atau
kegagalan.
Untuk mengidentifikasi sumber–sumber penyebab kegagalan, dapat
menggunakan Fishbone Diagram (Cause and Effect Diagram). Dengan
analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah
masalah atau dalam beberapa kasus merupakan akibat atau hasil yang
diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab–penyebab
potensial.
Menurut Gaspersz (2002), setelah akar–akar penyebab dari masalah
telah mengkategorikan sumber–sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M,
yaitu :
a. Manpower (tenaga kerja): berkaitan dalam kekurangan dalam
pengetahuan dan ketrampilan dasar.
b. Machine (peralatan dan mesin–mesin): berkaitan dengan tidak adanya
perawatan, tidak sesuai dengan spesifikasi tugas.
c. Method (metode kerja): berkaitan dengan tidak ada prosedur dan
metode kerja yang benar.
d. Materials (bahan baku dan bahan penunjang): berkaitan dengan
ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan penolong
yang digunakan,ditetapkan dan tidak sesuai dengan cara
penanganannya.
e. Media: berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak
memperhatikan aspek kebersihan, kesehatan dan keselamatan kerja
dan lingkunga kerja yang tidak konduktif.
f. Motivation: berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang benar dan
profesional.
g. Money: berkaitan dengan ketiadaan dukungan finasial (keuangan) yang
mantap guna mmeperlancar proyek peningkatan kualitas Six Sigma
yang akan diterapkan.
4. Mengkonversikan banyak kegagalan ke dalam biaya kegagalan
kualitas ( cost of poor quality).
Hasil-hasil dari peningkatan kualitas Six Sigma, yang diukur berdasarkan
terus-menerus menurun sejalan dengan peningkatan Kapabilitas Sigma, seperti
ditunjukkan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.3 COPQ dari Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma
COPQ (Cost of Poor Quality)
Tingkat Pencapaian Sigma DPMO COPQ
1-sigma 2-sigma 3-sigma 4-sigma 5-sigma 6-sigma
691.462 (sangat tidak kompetitif) 308.538 (rata-rata industri Indonesia) 66.807
6.210 (rata-rata industri USA) 233
3.4 (industri kelas dunia)
Tidak dapat dihitung Tidak dapat dihitung 25-40% dari penjualan 15-25% dari penjualan 5-15% dari penjualan < 1 % dari penjualan (Vincent Gaspersz, 2002, hal 3)
2.2.4.4Improve
Setelah sumber–sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas
teridenfikasi, maka perlu dilakukan penetapan rencana tindakan (action plan)
untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. Pada dasarnya rencana–
rencana tindakan (action plan) akan mendeskripsikan tentang alokasi sumber–
sumber daya prioritas atau alternatif yang dilakukan dalam implementasi dari
rencana itu. Tool yang digunakan untuk tahap improve adalah FMEA (Failure
Mode and Effect Analysis ).
FMEA adalah suatu prosedur tersetruktur untuk mengidentifikasi dan
mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure modes). Suatu mode
kegagalan adalah apa saja yang termasuk dalam kecacatan / kegagalan dalam
desain, kondisi di luar batas spesifikasi yang telah ditetapkan, atau
Melalui menghilangkan mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan
keandalan dari produk dan pelayanan itu. FME dapat diterapkan dalam semua
bidang, baik manufaktur maupun jasa, juga pada semua jenis produk.
Pada tahap ini tim peningkatan kualitas Six Sigma harus memutuskan apa
yang harus dicapai serta alasan kegunaan rencana tindakan itu harus
dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan dilakukan, bilamana rencana
tindakan itu akan dilakukan, siapa yang akan menjadi penanggung jawab dari
rencana tindakan itu, bagaimana melaksanakan, dan berapa besar biaya untuk
melaksanakan serta manfaat positif yang diterima dari implementasi rencana
tindakan itu. Analisis dengan menggunakan metode 5W-2H dapat digunakan
seperti yang telah disebutkan diatas. Adapun penjelasan penggunaan metode
Tabel 2.4 Penggunaan Metode 5W- 2H Untuk pengembangan
Rencana Tindakan. (Gaspersz, 2002)
Jenis 5W-2H Diskripsi Tindakan
Tujuan Utama
What
(Apa)?
Apa yang menjadi target utama dari Perbaikan / peningkatan kualitas?
Alasan Kegunaan
Why
(Mengapa)?
Mengapa rencana tindakan itu diperlukan? Penjelasan tentang kegunaan dari rencana tindakan yang dilakukan.
Merumuskan target sesuai dengan
kebutuhan pelanggan.
Lokasi Where
(Dimana)?
Dimana rencana tindakan itu akan dilaksanakan?
Apakah aktivitas itu harus dikerjakan disana?
Sekuens (Urutan)
When
(Bilamana)?
Bilamana aktivitas rencana tindakan itu akan terbaik untuk dilaksanakan?
Apakah aktivitas itu dapat dikerjakan kemudian?
Orang Who
(Siapa)?
Siapa yang akan mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu? Apakah ada orang lain yang dapat mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu?
Mengapa harus orang itu yang ditunjuk untuk mengerjakan aktivitas itu? Mengubah sekuens (urutan) aktivitas atau mengkombi- nasikan aktivitas-aktivitas yang dapat dilaksanakan bersama.
Metode How
(Bagaimana)?
Bagaimana mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu?
Apakah metode yang digunakan sekarang merupakan metode terbaik?
Apakah ada cara lain yang lebih mudah? Menyederha nakan aktivitas-aktivitas rencana tindakan yang ada Biaya/ Manfaat How Much (Berapa)?
Berapa biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan aktivitas rencana tinadakan itu?
Apakah akan memberi dampak
Memilih rencana
positif pada pendapatan dan biaya(meningkatkan efektif dan efisien), setelah melaksanakan rencana tindakan itu?
dan efisien
2.2.4.5Control
Control (C) merupakan tahap operasional terakhir dalam proyek
peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil–hasil peningkatan
kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek–praktek terbaik yang
sukses dalam meningkatkan proses distandarisasikan dan disebarluaskan,
prosedur–prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standard,
serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim Six Sigma kepada
pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma
berakhir pada tahap ini.(Gaspersz, 2002).
Tujuan dari standardisasi adalah menstandardisasikan sistem kualitas
Six Sigma yang telah terbukti menjadi terbaik dalam bisnis kelas dunia.
Hasil–hasil yang memuaskan dari proyek peningkatan kualitas Six Sigma
harus distandardisasikan, dan selanjutnya dilakukan peningkatan terus–
menerus pada jenis masalah yang lain melalui proyek–proyek Six Sigma yang
lain mengikuti konsep DMAIC. (Sumber: “Pedoman Implementasi Six
Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz, Vincent, 2002).
2.3 DPMO (Defects per million opportunities)
Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh
kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang
menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan. Dihitung
menggunakan formula