• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUISI KARYA APIP MUSTOPA: TINJAUAN STRUKTUR DAN SEMIOTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUISI KARYA APIP MUSTOPA: TINJAUAN STRUKTUR DAN SEMIOTIKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PUISI KARYA APIP MUSTOPA:

TINJAUAN STRUKTUR DAN SEMIOTIKA

Poem by Apip Mustopa: Structural and Semiotic Review

Muchlas Abror

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

[email protected]

(Naskah Diterima Tanggal 28 Juni 2018—Direvisi Akhir Tanggal 14 Agustus 2018—Diterima Tanggal 2 Oktober 2018)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang ada pada tiga puisi karya Apip Mustopa. Permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan puisi sebagai struktur yang menggunakan bahasa berupa tanda atau lambang dan simbol yang maknanya berada pada tingkat kedua. Dalam penelitian ini untuk menganalisis hal tersebut peneliti menggunakan metode pembacaan retroaktif, heuristik, dan hermeneutik dengan memecahkan lambang dan kode yang membentuk puisi tersebut selain itu juga dilakukan analisis struktur puisi melalui lapis arti dan bunyi selain itu juga dilakukan penilaian dan kritik untuk mengetahui relevansi pada masa sekarang. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa puisi Apip Mustofa mencoba mengungkapkan realitas sosial berupa kelaparan, kesulitan tempat tinggal yang disebabkan oleh banjir dan menyebabkan trauma. Selain itu terdapat juga religiusitas yang berupa teguran Tuhan terhadap tingkah laku manusia yang selalu mengabaikan tanda-tandanya dan juga upaya pertobatan yang tidak sempurna karena beban hidup yang masih menyertai. Sementara pesan yang terkandung dalam puisi tersebut masih relevan dengan keadaan saat ini.

Kata-Kunci: struktur, pembacaan semiotika, kritik, mustofa Abstract

This reseach aims to determine the meanings of the three poems by Apip Mustopa. The problem in this reseach relates to poetry as a structure that uses language in the form of signs or symbols and symbols whose meanings are at the second level. In this reseach to analyze this the researcher used retroactive, heuristic, and hermeneutic reading methods by solving the symbols and codes that make up the poem. Besides that, an analysis of the structure of poetry was carried out through a layer of meaning and sound, and it was also carried out by judgments and criticisms to find out the relevance of the present. From the results of the reseach it was found that Apip Mustofa’s poetry tried to express the social reality of hunger, housing difficulties caused by flooding and causing trauma. In addition there is also religiosity in the form of God’s rebuke of human behavior which always ignores the signs and efforts of imperfect repentance

(2)

because of the burden of life that is still accompanying. While the message contained in the poem is still relevant to the current situation.

Key Words: structur, remiotic reading, criticism, mustofa

pretasi, akan tetapi hal itu menjadikan puisinya memiliki nilai estetis.

Bahasa figuratif dan penggunaan lam-bang atau tanda dalam puisi menjadikannya prismatis. Menurut Waluyo (2005: 140) dalam puisi prismatis penyair mampu menyelaras-kan kemampuan menciptamenyelaras-kan majas, veri-fikasi, diksi, dan pengimajinasian sedemikan rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah dalam menafsirkan makna puisi. Sehingga dalam pengkajiannya perlu metode yang tepat untuk mendapatkan keutuhan makna yang terkandung di dalamnya.

Pengkajian tentang puisi dapat dilakukan dari berbagai aspek. Puisi dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana kepuitisan (Pradopo, 2010:1). Hal ini meng-indikasikan bahwa pengkajian puisi dapat melalui struktur lapis bunyi, dan lapis arti. Akan tetapi mengingat puisi menggunakan bahasa konotatif yang berupa tandaatau lambang, kode, dan format penyusunan kata yang sering kali keluar dari kaidah bahasa baku, maka untuk sampai pada lapis arti, perlu me-lalui pembacaan secara heuristik dan dilanjut-kan pembacaaan secara hermeneutika atau retroaktif untuk menemukan makna kata yang tersembunyi di balik penggunaan lambang-lambang yang digunakan.

Pada makalah ini peneliti akan meng-analisi tiga puisi karya Apip Mustopa yang berjudul “Bayang-bayang”, “Tuhan Telah Menegurmu”, dan “Di Dalam Masjid” dengan menganalisis struktur pembentuk puisi dan lambang atau semiotkan puisi yang terdapat PENDAHULUAN

Begitu banyak puisi yang terbentuk dari lam-bang atau tanda karya sastrawan Indonesia, di antaranya puisi karya Apip Mustopa. Puisi Apip Mustopa memiliki ciri yang cenderung menggunakan nuansa cultural dalam penyam-paian pesan religiusitas dan sosial kemasya-rakatan yang menyebabkan puisi-puisinya terasa dekat dengan pembacanya. Puisi Apip juga dapat dikategorikan puisi modern, yang tidak lagi terikat pada bentuk formal puisi.

Dua buku kumpulan Apip diantaranya Srangenge Jakarta dan Angin Bandung. Apip Mustofa memiliki tempat yang tidak perlu diragukan dalam kancah penyair Indonesia, hal itu karena puisi-puisinya tidak hanya sekadar potret kehidupan yang miskin pesan bagi pembacanya. Sebagai potret kehidupan, sastra (puisi) tidak lahir dari kekosongan budaya masyarakat (Teeuw, 1980:11). Dalam suatu budaya, terkadang terdapat sesuatu yang dianggap belum ideal oleh penyair, sehingga melalui suatu karya (puisi) penyair mencoba menawarkan tatanan yang ideal bagi keberlangsungan budaya tersebut. Hal itulah yang dilakukan oleh Apip Mustofa dengan menjadikan puisi-puisinya sebagai media dakwah untuk menyadarkan masyarakat untuk kembali mengingat Tuhan dan peduli terhadap alam semesta.

Dalam puisinya Apip membalut puisi-puisinya dengan bahasa figuratif yang me-nyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna Waluyo (2005:83). Selain figuratif pemakaian lambang-lambang atau semiotik, menjadikan puisi Apip memiliki

(3)

multiinter-di dalamnya melalui pembacaan heuristik, re-troaktif dan hermeneutika, kemudian dilanjut-kan dengan penilaian dan kritik. Pertanyaan penelitian, antara lain 1) bagaimanakah ana-lisis struktur pembentuk ketiga puisi karya Apip Mustopa?; 2) bagaimana analisis semio-tika melalui pembacaan heuristik, retroaktif dan hermeneutika dalam ketiga puisi karya Apip Mustofa?; dan 3) bagaimana kritik dan penilaian terhadap ketika puisi karya Apip Mustofa?

Ditinjau dari struktur pembentuknya puisi memiliki dua struktur yaitu fisik dan struktur batin. Menurut Waluyo (2005: 71) hakikat puisi disebut struktur batin sedangkan metode puisi disebut struktur fisik. Unsur fisik puisi meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), verifikasi dan tata wajah puisi (tipografi). Sedangkan struktur batin puisi terdiri dari atas tema, nada, perasaan, dan amanat.

Selain struktur terdapat semiotik berupa tanda dalam tiga puisi yang akan dijadikan sebagai bahan kajian penelitian ini. Semiotik menurut Cobey dan Liza (dalam Ratna, 2015: 97) berasal dari kata same dalam bahasa Yunani berarti penafsiran tanda. Sedangkan Sudjiman (1992: 6) mengatakan bahwa semiotik merupakan studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya terma-suk fungsi, hubungan tanda dengan yang lain, pengirim, dan penerima. Oleh karena itu puisi yang terbentuk oleh unsur semiotika sering kali memiliki ketidaklangsungan ekspresi dalam penyampaian pesannya hal itu karena makna berada pada lapis kedua dari bahasa secara umum, selain itu terdapat juga kon-vensi tambahan padanya. Riffaterre dalam Pradopo (2010:210) mengemuakan bahwa konvensi tambahan digunakan untuk me-nyatakan suatu hal secara tidak langsung dan berarti hal lain atau dengan kata lain bahasa

pada puisi memiliki arti yang berbeda pada bahasa pada umumnya. Ketidaklangsungan ekspresi puisi disebabkan karena adanya penggantian arti (displacing of meaning). Menurut Riffaterre (1978:2) Kata-kata kiasan mengantikan arti suatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi. Selain pengantian arti ketidaklangsungan ekspresi juga dikarenakan adanya penyimpangan arti (distorting of meaning) yang terjadi bila dalam puisi terdapat ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense (Riffa-tere 1987:2). Ambiguitas terjadi karena dalam puisi sering bermakna ganda, kontradiski terjadi karena terdapat pertentangan arti sedangkan nonsense terjadi karena terdapat bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki arti (Pradopo, 2010: 219).

Selain kedua hal di paragraf sebelumnya ketidaklangsungan terjadi karena adanya penciptaan arti atau (creating of meaning). Menurut Riffaterre (1987: 2) penciptaan arti terjadi bila teks berlaku sebagai prinsip peng-organisasian untuk menjadikan tanda-tanda keluar dari kaidah bahasa yang secara linguis-tik tidak memiliki arti. Dalam hal ini diantaranya adanya enjembement atau ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Adanya ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi membutuhkan metode pembacaan semiotika untuk memperoleh kelengkapan makna yang ada dalam puisi.

METODE

Ada dua tahap dalam melakukan pembacaan puisi secara semiotika. Pertama adalah heu-ristik dan dilanjutkan pembacaaan secara hermeneutika atau retroaktif.

Pembacaan heuristik puisi dengan cara puisi dibaca seperti normalnya yaitu secara linier. Menurut Pradopo (2003: 135) pem-bacaan heuristik adalah pempem-bacaan berdasar-kan struktur bahasanya atau secara semiotik

(4)

adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Heuristik juga digunakan dalam pembacaan puisi yang apabila terdapat kata-kata yang susunannya terbalik untuk mempertegas arti, pada tahap ini dapat dilaku-kan pembalidilaku-kan kata sesuai dengan susunan normatif, agar susunan sintaksisnya lebih jelas. Selain itu pembacaan heuristik dapat pula dengan cara menambah kata-kata yang diperlukan seperti awalan, konjungsi, atau memberikan sinonim pada kata tersebut. Inti dari pembacaan heuristik yaitu mengembali-kan kata dan susunannya secara normatif.

Pembacaan secara semiotika pada puisi tidak cukup hanya dengan heuristik. Hal ter-sebut karena heuristik hanya mengembalikan kata dan sintaksis sesuai asalnya. Pembacaaan semiotika puisi yang kedua yaitu secara re-troaktif atau mengulang pembacaan heuristik dengan menambahkan dengan pembacaan secara hermeneutika atau menafsirkan kata yang mengandung simbolik, sesuai dengan konvensi sastra sebagai semiotika tingkat ke-dua. Hermeneutik dikembangkan oleh Paul Ricoeur sebagai sebuah metode yang sejajar dengan metode di dalam sains, akan tetapi Ricoeur tidak memperlakukan metode herme-neutika ini secara kaku layaknya dalam ilmu-ilmu ilmiah.1

Selain pengkajian melalui struktur dan pembacaan semiotika, juga dapat dilakukan kritik terhadap puisi. Rene Wellek (1995) mengatakan bahwa kritik sastra merupakan bagian dari studi sastra bersama dengan teori sastra dan sejarah sastra. Sebagai bagian dari studi sastra, kritik sastra tidak terlepas dari sifat-sifat yang khas berupa kegiatan interpre-tasi, karakterisasi, cara pandang, dan evaluasi.2 Evaluasi di sini tidak dilakukan sejara subjektif

tentang baik atau tidak baik melainkan me-ninjau kualitas puisi tersebut dan kerelevansi-an puisi terhadap perkembkerelevansi-angkerelevansi-an zamkerelevansi-an. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti akan melakukan analisis sekaligus peninjauan secara kritis dari puisi yang akan dijadikan objek penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Bayang Bayang

Melalui kaca jendela yang lembab oleh isak tangis musim kini

aku telentang memandang cakrawala yang mendung berkabung

bayang-bayang yang akrab bagai malaikat bersayap

berletakan atas genting-genting atap berbisik manja

masihkah nanyi hari ini berjalan seperti seabad lewat diiringi kecapi

dengan tali dari usus-usus yang tak berisi bersulingkan bambu reruntuhan rumah yang dimakan banjir di seluruh wilayah? bayang-bayang itu kemudian ber-senandung semakin samar semakin sumbang

dan hilang

hanya desis hujan yang rata di atap-atap renta

Struktur Puisi

Pada puisi yang berjudul “Bayang-Bayang”, terdiri dari 3 bait dengan rincian bait pertama terdiri dari empat baris, bait kedua terdiri dari sepuluh baris dan bait yang ketiga terdiri dari lima baris. Puisi ini dapat dikategorikan

1 Abdul Wahid B.S. 2015. “Puisi Sufi A. Mustofa Bisri.” Dalam Jurnal Kebudayaan Islam, Vol 13, No. 1. 2 Sarip Hidayat. 2008. “Memahami Studi Kritik Sastra”. Dalam Metasastra, Vol. 1, No.1.

(5)

kedalam puisi moderen yang tidak lagi me-mentingkan jumlah baris pada setiap baitnya. Pada puisi tersebut masing-masing bait saling memperkuat, dan membentuk satu rangkaian cerita. Bait pertama merupakan pengkondisi-an, yaitu pengambaran suasana yang menye-dihkan. Bait kedua mulai masuk pada isi atau bagian inti yang ingin disampaikan yaitu menyampaikan ingatan akan masa lalu yang penuh dengan kesedihan yaitu rasa lapar, rumah yang hancur karena banjir, yang masih selalu menghantui, sedangkan bagit ketiga merupakan anti klimak dari cerita tersebut yaitu ingatan tersebut memudar, akan tetapi meninggalkan kesedihan bagi si aku lirik. Lapis Bunyi

Ada beberapa kesamaan atau kemiripan bunyi pada puisi “Bayang Bayang”, baik ter-susun secara vertikal atau horizontal. Ke-samaan bunyi yang tersusun secara hori-zontal yaitu, telentang memandang/mendung

berkabung. kesamaan bunyi sengau (ng) pada

bait ke 3 dan 4 di baris pertama tersebut menciptakan bunyi efoni yang mampu me-nambah suasana kesedihan serta keadaan aku lirik yang gelisah. Begitu pulan dengan per-samaan bunyi pada kata : seabad/lewat, mengambarkan keadaan yang telah lama terjadi. Sedangkan kesamaan bunyi yang tersusun secara vertikal sekaligus horizontal yaitu pada kata-kaya: diiringi/kecapi/tali-tak berisi. kehadiran diksi berakhiran i memben-tuk suasan liris menimbulkan efek kesedihan. Selain itu diksi tersebut dalam puisi digunakan sebagai penegas rasa kelaparan yang menya-kitkan. Pengimajinasian bunyi kecapi (alat musik yang dipetik) yang menimbulkan suara-nya merdu, namun pemilihan pada puisi digunakan untuk menghadirkan efek kesakitan yang teramat hal itu karena didukung dengan rangkaian diksi- dengan tali dari usus-usus

yang tak berisi- menambah suasana liris puisi makin terasa.

Kesamaan bunyi yang tersusun secara vertikal pada bait kedua baris 1,2,3 yaitu pada kata: akrab/senyap/atap. kesamaan bunyi b dan p tersebut membangkitkan kehadiran masa lalu serta suasana yang menyedihkan. Begitu pula dengan kesamaan Rumah/wilayah yang mengambarkan suasana kekacauan lingkungan si aku lirik karena musibah yang terjadi.

Pembacaan Heuristik

Melalui kaca jendela yang lembab (aku) terisak

(bersedih) oleh musim kini. (dalam keadaan)

telentang (aku) memandang cakrawala dan

(langit) yang mendung (dan menjadikan diriku)

berkabung (sedih).

(ada) bayang-bayang (yang) akrab (deng-anku) bagaikan malaikat bersayap, berletakkan (berada di) atas genting-genting atap (dan)

berbisik manja. Masihkah nanyi hari ini

(ke-sedihan/kedukaan/ratapan) ber-jalan seperti

seabad lewat (sama seperti masa lalu yang

pernah aku alami) yang (seakan-akan) diiringi (suara) kecapi dengan tali dari usus-usus yang

tak berisi (karena kelaparan yang terjadi), bersulingkan bambu ( karena) reruntuhan rumah yang dimakan banjir diseluruh wilayah. Bayang-bayang itu kemudian bersenan-dung (terdengar dan kembali dalam ingatan), akan tetapi semakin samar semakin sumbang

(semakin tidak jelas dan memudar) hilang.

Hanya desis hujan yang rata (menggenang) di atap-atap (yang) renta (tua, hampir roboh) Pembacaan Retroaktif dan

Hermeneutika

Melalui kaca jendela yang lembab ini aku menangis hingga terisak, itu karena si aku teringat pada musim yang telah lalu. Yang

(6)

tiba-tiba muncul bayang-bayang yang akrab bagi si aku lirik, seperti malaikat yang bersayap, berada di atas genting rumah dan berbisik. Masihkah kesedihan yang terjadi hari ini sama seperti kesedihan yang siaku alami pada masa lalu? Kesedihan ketika kelaparan, rumah-rumah roboh akibat banjir yang meluluh lantakkan wilayah si aku lirik. Bayang-bayang itu kembali bersenandung hingga membuat-nya bersedih, meskipun akhirmembuat-nya memudar dan hilang, tetapi masih menjadi trauma yang menyedihkan.

Lapis Arti

Pada bait pertama diceritakan aku kirik mengamati jendela rumahnya yang lembab karena di luar rumah hujan lebat kemudian dari kaca jendela itu munculah cerita masa lalu yang pernah dialaminya. Bait kedua ini menceritakan kesedihan masa silam yang pernah aku lirik rasakan dan pada bagian ini pula aku lirik menghubungkan keadaan dahulu dengan yang ia rasakan pada waktu sekarang. Hal itu dijelaskan dengan kata-kata “masihkah hari ini berjalan seperti sebabad lewat”. Kali-mat tersebut menyiratkan bahwa duka seperti itu pernah terjadi dimasa lampau, yaitu kelaparan yang dijelaskan dengan “dengan tali dari usus-ususu yang tak berisi” dan keseng-saraan karena pernah terjadi banjir bandang yang dasyat di berbagai wilayah yang akhirnya meluluh lantakan rumah-rumah, yang dilukis-kan dengan kalimat “ bersulingdilukis-kan bambu runtuhan rumah yang diterjang banjir di seluruh wilayah”, atau alimat itu bisa berarti keadaan yang membuatnya trauma.

Bait terakhir merupakan anti klimak dari bait kedua. Bagian bait ketiga ini, diceritakan bahwa bayangan kelam masa silam itu kembali datang menghantuinya, meskipun akhirnya bisa ia lupakan namun masih ada kecemasan hal itu terulang, karena guyuran air hujan

yang deras mengenai atap rumahnya yang sudah renta. Hal itu diperkuat dengan kata-kata “bayangan-bayangan itu kemudian ber-senandung semakin samar semakin sumbang dan hilang. Hanya desis hujan yang rata di atap-atap renta.

Kritik dan Penilaian

Puisi yang berjudul bayang bayang ini menceritakan sebuah kejadian masa silam yang masih sering menghantui yaitu kelaparan dan banjir. Hal itu masih sangat relevan dengan keadaan masa sekarang yang masyarakat selalu dihantui oleh rasa lapar sebab gaji kurang, bahan pokok naik, pekerjaan susah dan lain-lain. Begitu pula dengan kecemasan sewaktu hujan datang karena biasanya selalu disertai banjir. Puisi ini masih dalam tataran Humanis atau menceritakan keadaan sosial masyarakat dan belum mencapai tingkat religius. Mungkin akana lebih baik jika penyair juga menyertakan Tuhan pada puisi tersebut, karena kelaparan dan banjir yang sering datang saat ini di antaranya karena manusia mulai lupa kepada Tuhannya. Namun secara keseluruhan puisi ini mampu mengugah hati pembaca untuk merenungkan jika ancaman-ancaman masa silam masih sering terjadi saat ini dan menyuruh kita untuk terus waspada.

Beberapa majas yang terdapat pada puisi bayang-bayang diantaranya metafora, yaitu kematian yang dilukiskan dengan malaikat bersayap, kelaparan di gambarkan dengan iringan musik kecapi dengan senar yang terbuat dari usus-usus yang tak berisi, porak-porandanya wilayahn yang dilukiskan dengan bersulingkan bambu reruntuhan rumah. Beberapa majas tersebut mampu membangun suasan pada puisi “Bayang-Bayang” semakin liris, menyedihkan. Sementara untuk tema puisi “Bayang-Bayang” bertema kesedihan yang disebabkan suatu musibah, sedangkan

(7)

pesan yang ingin disampaikan menurut pem-bacaan yang telah dilakukan yaitu bencana yang dikirimkan oleh Tuhan, merupakan suatu ujian dan pembelajaran bagi manusia agar selalu tabah dan tidak mengulang ke-salahanya kembali yang menyebabkan bencana itu kembali terjadi.

Tuhan Telah Menegurmu

Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan Lewat perut anak-anak yang kelaparan Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan Lewat semayup suara adzan

Tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran

Lewat gempa bumi yang berguncang Deru angin yang meraung raung kencang Hujan dan banjir yang melintang pukang Adakah kau dengar?

Struktur Bentuk

Puisi yang berjudul “Tuhan telah Menegurmu” terdiri dari empat bait, bait pertama dan kedua terdiri dari dua baris dan bait ketiga yang merupakan penegasan dari bait-bait sebelumnya terdiri dari empat baris. Tentang teguran-teguran Tuhan yang tidak disadari oleh manusia, Dan di bait terakhir yang hanya terdiri dari satu baris tersebut merupakan suatu pertanyaan sekaligus sindiran pada pembacanya yang tidak pernah mampu membaca tanda-tanda tersebut.

Lapis bunyi

Ada kesamaan rima pada bait-bait pada puisi di atas. Pada bait pertama ditemukan kata

sopan dan kelaparan, yang sama-sama

ber-akhir dengan huruf an. Bait kedua terdapat

kata-kata sopan dan Adzan yang juga berakhir dengan rima yang sama, yaitu an. Sedangkan pada bait ketiga kesamaan bunyi ang yang disusun vertikal, sama dengan bait-bait sebe-lumnya yaitu, berguncang, kencang, dan

melintang pukang . Dan di bait terkhir yang

terdiri hanya dari satu baris , merupakan kalimat tanya dari keadaan yang seharusnya dirasakan oleh manusia.

Pembacaan Heuristik, Retroaktif dan Hermeneutika

Puisi ini dapat dikategorikan sebagai puisi diafan yang maknanya dengan mudah dapat ditangkap oleh pembaca, sehingga dalam poin pembacaan semiotikan ini dilakukan secara sekaligus antara heuristik, retroaktif dan hermeneutika, sehingga pembacaannya sebagai berikut.

Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan, lewat perut anak-anak yang kelaparan. Tuhan (juga) telah menegurmu dengan cukup sopan, Lewat semayup suara adzan. (tapi manusia masih tidak mengerti maksud tuhan maka) Tuhan (kembali) telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran, lewat gempa bumi yang berguncang, deru angin yang meraung raung kencang, dan hujan dan banjir yang melintang pukang. (tapi) adakah kau dengar? (manusia memahami itu sebagai teguran?)

Lapis arti

Puisi Tuhan Telah Menegurmu ini, berada pada tataran humanis dan religius. Puisi ini menceritakan bahwa musibah yang terjadi bukanlah karena Tuhan tidak mencintai manusia, namun karena Tuhan sangat cinta kepada hamba-hambanya, sehingga kelapar-an ykelapar-ang terjadi di sekeliling kita, merupakkelapar-an teguran yang sopan, yaitu agar orang yang

(8)

mampu dapat menolong mereka yang meng-alami kelaparan atau kekurangan.

Begitu pula ketika manusia lupa untuk menyembah Tuhan karena kesibukan ke-duniawian, maka Tuhan masih sopan meng-ingatkan dengan terguran lewat suara adzan agar manusia sadar akan kodratnya sebagai makhluk. Namun ketika rasa lapar yang dirasakan orang lain tidak dipedulikan oleh orang yang tidak kelaparan dan manusia tidak sadar akan kodratnya sebagai makhluk, Tuhan masih sabar untuk mengingatkan manusia dengan gempa bumi, angin besar, hujan daan banjir. Bencana bencana yang datang tersebut bukan merupakan kemarahan dari Tuhan, namun rasa sayang Tuhan kepada manusia, karena jika Tuhan benar-benar marah, maka musnah sudah kehidupan di dunia ini.

Kritik dan Penilaian

Puisi ini cukup simpel, gaya bahasa yang digunakan sederhan, mudah ditangkap makna dan pesannya, meskipun sedikit kurang estetis karena disampaikan dengan sangat lugas. Akan tetapi, jika melihat tema dan pesan yang ingin disampaikan, puisi ini dapat dikatakan urgen untuk segera disampaikan sehingga gaya bahasa yang digunakan cukup seder-hana.

Tema puisi tersebut yaitu religius, sedang-kan pesan yang ingin disampaisedang-kan menurut pembacaan yang telah dilakukan yaitu dalam hidup manusia haru selalu mengingat dan dekat kepada tuhan dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Apabila hal itu tidak dilakukan maka Tuhan memiliki kekuasaan untuk menegur manusia lewat bencana-bancana. Ketika bencana itu datang, manusia harus instropeksi diri karena bencana yang terjadi tersebut selain teguran dari Tuhan juga karena manusia tidak

menjalankan perintah Tuhan. Di Dalam Masjid

Aku berusaha menepati lima kali dama sehari

di depan mihrab memaksakan diri ke dalam hening suci

ke bawah keagungan abadi kulebur seluruh

dalam sujud dan bersimpuh tapi sia sia ku kenang dosa dalam lajur lajur usia

dalam hening suci aku hanya mendapati sebatang jarum yang kemarin hilang sejumlah hutang di warung warung

wajah istri yang murung karena harga beras membumbunng

rengekan anakku minta dibelikan layang layang aku berusaha mengenang seluruh dosa

dalam hening suci

untuk memohon ampun abadi tetapi senantiasa sia sia

karena bayang bayang nestapa senantiasa menggoda

Struktur puisi

Puisi ini terdiri dari empat bait dan tiap baitnya tidak beraturan. Hal itu tidak menjadi fokus utama penyair menata bait puisi “Masjid” ini dengan rapi. Namun penyair lebih menekaankan pada rima yang sangat rapi sehingga puisi tersebut sangat indah. Bait pertama merupakan pengondisian diri, kedua usaha penyerahan atau pemasrahan diri, ketiga usaha mengakui segala dosa yang telah dilakukannya dengan berusaha khusuk untuk memohon ampunan, akan tetapi uniknya di bait keempat terjadi kontradiksi bahwa aku

(9)

lirik tidak berhasil mendapatkan kekhusukan ketika bersimpuh dihadapan Tuhan karena dia teringat dengan banyaknya masalah yang masih harus menjadi tanggung jawabnya. Lapis bunyi

Banayak ditemukan kesamaan bunyi aso-nansi (i) yang menghadirkan suasan liris pada puisi “Di Dalam Masjid” pada akhir barisnya, sebagai contohnya pada kata-kata sebagai berikut: menepati/sehari/memaksakan diri/ hening suci/ keagungan abadi. Hal itu ter-susun vertikal pada bait pertama di puisi yang berjudul “Di Dalam Masjid” dan memberikan kesan estetis ketika seseorang membacakan puisi tersebut. Pada bait kedua ada juga kesamaan rima, yaitu baris pertama, sama dengan baris kedu, baris ketiga sama dengan baris keempat. Kesamaan tersebut yaitu kata kata sebagai berikut: kulebur seluruh/ber-simpuh, dosa/ usia. Sedangkan pada bait ketiga kesamaan rima diantaranya pada kata-kata suci/mendapati yang tersusun secara horizon-tal. Kesamaan rima yang tersusun secara vertikal dan berada di tiap akhir baris yaitu kata kata hilang/warung warung/membumbung/ layang layang. kesamaan pada bait terakhir yaitu ditunjukkan dengan kata kata suci/abadi pada baris kedua dan ketiga dan nestapa/menggoda pada baris kelima dan keenam.

Pembacaan Heuristik

Aku berusaha menepati (untuk shalat) lima kali dalam sehari di depan mihrab (masjid) memaksakan diri, ke dalam hening suci (mengkhusukkan diri) ke bawah keagungan abadi (mu Tuhan) kulebur seluruh (kuting-galkan segala persoalan hidup) dalam sujud dan bersimpuh, tapi sia-sia ku kenang dosa dalam lajur lajur usia (merasa percuma meng-ingat dosa-dosa sepanjang usiaku) (aku tidak mampu untuk mengkhusukkan diri karena)

dalam hening suci (ibadah) aku hany men-dapati sebatang jarum yang kemarin hilang (teringat persoalan-persoalan hidup yang sepele) (sampai teringat) sejumlah hutang di warung warung, (terbayang) wajah istri yang murung karena harga beras membumbunng (dan) rengekan anakku minta dibelikan layang layang. Aku berusaha mengenang seluruh dosa dalam hening suci (aku mencoba untuk khusyuk) untuk memohon ampun abadi, tetapi senantiasa sia sia, karena bayang bayang nestapa (persoalan hidup) senantiasa menggoda.

Pembacaan Retroaktif dan Hermeneutika

Aku berusaha menepati shalat lima kali dalam sehari di masjid shaf paling depan agar aku mampu untuk mengkhusukkan dan kulebur bersama Tuhan dengan meninggalkan ke-duniaan dan mengakui segala dosa yang telah akuperbuat, akan tetapi seakan sia-sia, karena dalam kehusukanku, aku masih teringat per-soalan-persoalan hidup yang sepele, sampai sejumlah hutang di warung warung, dan terbayang wajah istri yang murung karena harga beras membumbunng serta rengekan anakku minta dibelikan layang layang. Aku berusaha mengenang seluruh dosa dalam hening suci, mencoba untuk khusyuk dan me-mohon ampun dari segala dosa, tetapi seakan sia-sia karena bayang bayang persoalan hidup yang menyedihkan selalu menggoda.

Lapis arti

Puisi yang berjudul di dalam masjid ini berada pada tataran religius yang jelas bisa kita rasakan, serta mengajak pembacanya untuk berkontemplasi. Puisi ini menecitakan aku lirik yang datang ke masjid untuk menyembah Tuhan dengan berusaha sekhusyuk-khusyuk-nya melupakan segala keduniawiansekhusyuk-khusyuk-nya untuk

(10)

mengharapkan adanya pertemuan suci antara aku lirik dengan Tuhan dalam keadaan yang hening sebagai tempat pengakuan dosa. Na-mun aku lirik tersebut ketika mencoba meng-akui segala kesalaan dalam kekhusyukkannya, terganggu karena beban dan permasalahan hidupnya muncul, di antaranya hutang, istri-nya yang murung dan anakistri-nya yang minta dibelikan layang-layang. Hal itu menyiratkan bahwa terkadang beban hidup manusia selalu menghalanginya untuk benar-benar pasarah, mengakui segala kesalahannya kepada Tuhan. Kritik dan Penilaian

Puisi dalam masjid ini memiliki keselarasan bunyi yang menarik dengan rima yang teratur. Puisi dalam masjid juga ada majas metefora sebatang jarum yang kemarin hilang, untuk mengambarkan kegagalannya dalam mene-mukan khusukkan ketika menyembah Tuhan. Dari judul puisi sudah dapat ditebak bahwa tema puisi tersebut adalah religius atau tentang ketuhanan. Sedangkan jika kembali kepada dalil J. Elena puisi tersebut berada pada tataran Nivean religius atau filosofis, berupa renungan-renungan batin sampai pada hakikat hubungan manusia dengan Tuhan. Pemilihan diksi dalam puisi Dalam Masjid cukup sederhana dengan bahasa keseharian, akan tetapi melalui itulah puisi ini lebih memberikan kedekatan kepada pembacanya selain itu ide dan pesan yang ingin di sam-paikan cukup menarik yaitu tentang bagaiman sikap manusia dalam hidup. Pertobatan bukan sesuatu hal yang bisa direncanakan dan dapat dilakukan dengan mudah, untuk itu selama manusia masih memiliki kesempatan hidup manusia harus selalu berbuat baik dan ber-tanggung jawab baik sebagai manusia mau-pun seorang hamba, agar tidak ada penyesalan dikemudian hari.

SIMPULAN

Dari lapis arti dan bunyi puisi dapat diketahui pesan yang terkandung di dalamnya. Peng-gunaan tanda atau simbol-simbol terkadang menjadi halangan bagi pembaca untuk dapat menginterpretasi makna yang dimaksudkan oleh penarang. Hal tersebut perlu dipecahkan mengenai pembacaan heuristik, hermeneutik dan retroaktif, meskipun tidak sama persis dengan yang pengarang inginkan karena repertoar yang berbeda, akan tetapi setidak-nya dapat diperloleh jawaban yang mendekati seperti yang dimaksudkan.

Analisis struktural dan semiotika dengan menggunakan pembacaan heuristik, retro-aktif atau hermeneutik dan penilaian serta kritik yang telah dilakukan dalam bagian pembahasan, ketiga puisi Apip Mustofa meng-angkat realita kehidupan yang dekat dengan pembaca dan masih relevan dengan keadaan sekarang, seperti dalam puisi “Bayang-Bayang” yang berisi tentang kesedihan karena trauma masa lalu yang terus menghantui yang diaki-batkan karena banjir yang meluluhlantakan segala dan menimbulkan penderitaan. Selain itu puisi “Tuhan Telah Menegurmu”, merupa-kan suatu pelajaran bagi pembaca bahwa apa yang telah terjadi saat ini tidak begitu saja terjadi, melainkan karena ulah manusia itu sendiri dan dalam hal ini Tuhan telah ingatkan akan tetapi manusia selalu meng-acuhkan tanda-tanda dari Tuhan. Sementara di puisi ketiga yang berjudul “Di Dalam Masjid”, menceritakan pertobatan seseorang kepada Tuhannya akan tetapi hal tersebut tidaklah mudah, karena beban hidup yang terus membayangi meskipun dia telah berusaha melepaskan dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Sarip. 2008. Memahami Studi Kritik

(11)

109-110. Internet (diunduh 15 Desember 2018) Tersedia pada http://ejurnalbalai bahasa.id/index.php.metasastra/article/ view/626/395

Pradopo, Rachmad Djoko. 2010. Pengkajian

Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

______________________________ 2003. Beberapa

Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Pene-rapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode

Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Micahel. 197. Semiotics of poetry. Bloomington and London:Indiana University Press.

Sihaloholistick.2014. Puisi-Puisi Apip Mustofa. Internet. [diunduh 2018 Mei 02]. Tersedia pada: http://www.jendelasastra.com/

dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-apip-mustofa.

Sudjiman, Panuti, Aart von Zoest. 1992.

Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Pustaka pelajar.

Teeuw, A. 1980. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wahid B.S., Abdul “Puisi Sufi A. Mustofa Bisri.

Jurnal Kebudayaan Islam”, Vol 13, No 1

Januari-Juni 2015, 169-195. (Diunduh 8 Januari 2018) tersedia pada http:// ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/ ibda/article/view/500/451.

Waluyo, Herman J. 2005. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1995. Teori

Kesusastraan. (terjemahan). Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

  Keywords:  kritik sosial, iklan rokok, analisis semiotika  Abstrak 

Analisis kritik sosial dengan tinjauan semiotik ditunjukan untuk mengungkapkan makna berdasarkan sistem tanda yang menunjukkan kritik sosial dalam kumpulan puisi Refrein di

Skripsi dengan judul Pengaruh Kritik Sosial Dalam Film (Studi Analisis Semiotika Kritik Sosial dalam Film “A Copy of My Mind” Karya Joko Anwar) ditulis sebagai bentuk

Penulisan skripsi yang berjudul Musik Sebagai Media Kritik Sosial (Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” pada Album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca) ini dilakukan dalam

Pada akhirnya, peneliti dapat melaksanakan dan menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi, dengan judul PESAN KRITIK SOSIAL PADA LIRIK LAGU (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Lirik

Penelitian ini berjudul “Musik Sebagai Media Kritik Sosial (Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” pada Album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca)”..

Analisis semiotika Riffaterre dengan menggunakan objek antologi puisi ‘‘Nur ein Duft und Windeswegen‘‘ ini baru pertama kali dilakukan, karena penelitian ini

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada puisi Rumah-Rumah Batu karya Dorothea Rosa Herliany dengan analisis semiotika, ditemukan beberapa hal terkait