i
Tinjauan Semiotik Riffaterre
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh AGUS SETYANA
C0202003
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
ii Disusun oleh
AGUS SETYANA C0202003
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Drs. Wiranta, M.S. NIP 131 569 261
Mengetahui
Ketua Jurusan Sastra Indonesia
iii Disusun oleh AGUS SETYANA
C0202003
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 30 April 2009
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua
Sekretaris
Penguji I
Penguji II
Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum. NIP 132 086 961
Asep Yudha Wirajaya, S.S. NIP 132 300 849
Drs. Wiranta, M.S. NIP 131 569 261 Dra. Murtini, M.S. NIP 131 281 867
...
...
...
...
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
iv Nama : Agus Setyana
NIM : C0202003
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterreadalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 7 April 2007 Yang membuat pernyataan,
v
Bapak-Ibu
untuk doa dan harapan
vi
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, karunia, kekuatan dan sebentuk kesadaran, sehingga skripsi dengan judul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterre dapat selesai. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
dan dukungan semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Soedarno, M.A., Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 3. Dengan segala hormat, Drs. Wiranta, M.S., dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menyusun skripsi, terima kasih telah membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
4. Dra. Hesti Widyastuti, M.Hum., pembimbing akademik yang telah banyak memberikan motivasi, perhatian, petunjuk, dan pengarahan selama perkuliahan.
vii
kepada penulis sehingga bermanfaat dalam menyusun skripsi ini.
7. Seluruh staf serta karyawan perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis.
8. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis.
9. Dwi Ayu Febri Kustiyani, terima kasih atas segala bentuk bantuan, semangat, dan pengharapan.
10. Para penyair yang telah menghadirkan tokoh Bima lewat karya puisinya. Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, dan Saini K.M., penulis menyerahkan segala hormat, sebab tanpa puisi mereka tidak mungkin ada skripsi ini.
11. Anung, Dimas, terima kasih atas dorongannya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
12. Semua pihak, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhirnya segala puji dan syukur, hormat dan kuasa serta kemuliaan hanya bagi Allah SWT. Penulis menyadari banyak sekali ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Terlepas dari semua, penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sekalian.
Surakarta, 7 April 2009
viii
HALAMAN JUDUL ………... i
HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii
HALAMAN PENGESAHAN ……… iii
HALAMAN PERNYATAAN ………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ………. v
KATA PENGANTAR ……… vi
DAFTAR ISI ………. viii
ABSTRAK ……… xiii
BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Pembatasan Masalah……….. 7
C. Rumusan Masalah……….. 8
D. Tujuan Penelitian ……….. 8
E. Manfaat Penelitian ……… 9
1. Manfaat Teoretis ……… 9
2. Manfaat Praktis ………. 9
F. Sistematika Penulisan ……… 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR…….……….. 12
A. Studi Terdahulu ……… 12
B. Landasan Teori ….………. 15
1. Pengertian Semiotik ……..……… 15
ix
C. Kerangka Pikir …….……… 22
BAB III METODE PENELITIAN……….. 24
A. Metode Penelitian ………. 24
B. Pendekatan ……… 24
C. Objek Penelitian ……… 25
D. Sumber Data ………. 25
E. Teknik Pengumpulan Data ………. 25
F. Teknik Analisis Data ……… 26
1. Tahap Pengumpulan Data ………. 26
2. Tahap Analisis……….. 26
3. Tahap Melaporkan………... 26
BAB IV ANALISIS PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR,TELINGA, DAN DEWA RUCI………... 27
A. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi ……….. 27
1. Puisi Bima………. 27
a. Penggantian Arti ……… 28
b. Penyimpangan Arti ……… 32
c. Penciptaan Arti …….………. 34
2. Puisi Saudara Kembar ……… 37
a. Penggantian Arti ………. 37
b. Penyimpangan Arti ………. 39
x
b. Penyimpangan Arti ……….. 46
c. Penciptaan Arti ……… 47
4. Puisi Dewa Ruci……….. 49
a. Penggantian Arti ……….. 50
b. Penyimpangan Arti ……….. 51
c. Penciptaan Arti ……… 53
B. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik ………. 57
1. Puisi Bima……… 58
a. Pembacaan Heuristik ……… 58
b. Pembacaan Hermeneutik ………. 59
2. Puisi Saudara Kembar………. 71
a. Pembacaan Heuristik ……… 71
b. Pembacaan Hermeneutik ………. 72
3. Puisi Telinga ………. 79
a. Pembacaan Heuristik ……… 79
b. Pembacaan Hermeneutik ………. 80
4. Puisi Dewa Ruci ……… 84
a. Pembacaan Heuristik ……… 86
b. Pembacaan Hermeneutik ……….. 87
C. Matriks, Model, dan Varian-varian ……… 98
1. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Bima……….. 98
xi
D. Hipogram ……….. 105
1. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan Cerita Dewaruci …….. 118
a. Puisi Bima ……… 118
b. Puisi Saudara Kembar ………. 124
c. Puisi Telinga ……… 132
d. Puisi Dewa Ruci ……….. 139
2. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci……….. 147
BAB V PENUTUP ……… 151
A. Simpulan ………. 151
B. Saran ………. 151
DAFTAR PUSTAKA ………. 153
LAMPIRAN………. 156
1. Data Puisi ………. 157
2. Biografi Ringkas Penyair Puisi ……… 161
3. Biografi Ringkas Yasadipura I ………... 164
4. Bima, dalam Ensiklopedia Wayang Indonesia ………... 167
5. Gambar Tokoh Bima dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia ……… 178 6. Cerita Dewarutji (Kitab Dewarutji tembang Macapat ciptaan
xiii
Agus Setyana. C0202003. 2009. Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterre. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu (1) bagaimana gambaran unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci? (2) Bagaimana hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci? (3) Bagaimana deskripsi makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. (2) Mengungkapkan hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci. (3) Mendeskripsikan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan jenis penelitian yang bersifat deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini adalah puisi-puisi pilihan yang menghadirkan tokoh Bima, yaitu puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka. Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui tahapan pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap melaporkan.
1
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam khasanah perpuisian di Indonesia nuansa pewayangan menjadi
salah satu dimensi yang telah memperkayanya. Salah satu nuansa tersebut adalah
cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi sebuah wacana bagi penyair sebagai tema puisi yang kemudian menjadi inspirasi penyair untuk mencipta sebuah puisi.
Cerita Dewaruci mengandung kefilsafatan serta keagamaan yang dalam karena menggambarkan seorang kesatria dengan kemauan keras mencari jalan
sebaik-baiknya untuk dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang kekal di
surga. Dalam usaha memperoleh cita-cita, kesatria tersebut menjumpai
bermacam-macam kesukaran, tetapi berkat ketabahan hati dan disertai dengan
kemauan tidak mengenal menyerah akhirnya kesatria tersebut dapat mencapai
yang diidam-idamkan. Kesatria tersebut tidak hanya menerima petunjuk tentang
kehidupan di dunia fana saja, tetapi juga memperoleh keterangan mengenai dunia
yang baka serta tentang cara dapat masuk ke surga (Prawiraatmadja, 1954:4).
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra memiliki fungsi dalam
penciptaannya. Fungsi tersebut seperti yang dikemukakan Horatius dalam Ars Poetica-nya yang dikutip Teeuw, “tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaidah untuk
kehidupan”. Horatius memakai kata utile dan dulce bersama-sama bagi tujuan penyair atau efek puisi yang dihasilkan: menggabungkan yang bermanfaat dan
bukan tanpa maksud, melainkan karya sastra (puisi) berusaha memberikan sesuatu
kepada pembacanya seperti nasihat, amanat, atau pelajaran.
Dengan bahasa yang dimiliki, penyair mencoba mengungkapkan
permasalahan sejelas-jelasnya dan seindah-indahnya sebagai upaya untuk menarik
hati pembaca. Untuk hal ini penyair memilih kata yang tepat sehingga dapat
menjelmakan jiwanya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:54). Dalam puisi (karya
sastra pada umumnya), sebuah kata atau bahasa tidak hanya mengandung aspek
denotasinya saja. Bahasa puisi cenderung mengarah kepada makna konotatif
(Atmazaki, 1993:12). Dari hal tersebut, konotasi bahasa menjadi ciri yang
dominan dalam puisi.
Kata atau bahasa tidak hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti
tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi (tautan) yang keluar dari
denotasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:59). Kelebihan puisi sebagai karya
kreatif terletak pada bahasa dan unsur-unsur yang saling berinteraksi dengan
dunia yang di luarnya. Pilihan kata dan pemanipulasian kata mampu
mengkonkretkan imaji-imaji yang memenuhi intuisi seorang penyair. Dalam
penelitian ini akan ditekankan pada karya sastra puisi. Ketertarikan penulis pada
puisi terletak pada pemilihan dan penataan kata yang cermat dan pemanfaatan
simbol atau tanda tertentu. Adanya penggunaan kata tertentu, simbol atau tanda
dalam puisi merupakan bentuk pengungkapan batin pengarang dan penegasan
maksud puisi.
Puisi meliputi dua wilayah makna (denotatif dan konotatif), sehingga
usaha pemberian makna tidak hanya terhenti pada yang tersurat, melainkan juga
kemungkinan makna yang dirasa cukup mewakili untuk menguraikan simbol dan
seperangkat tanda lain dalam puisi. Oleh karena itu, pembaca tidak boleh
mengabaikan sistem tanda kesastraan yang mempunyai konvensi sendiri, baik
konvensi bahasa maupun konvensi sastra sebagai konvensi tambahan (Rachmat
Djoko Pradopo, 1995:115). Di antara konvensi puisi itu adalah ucapan atau
ekspresi tidak langsung. Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu
dari waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang
berubah. Namun ada satu esensi yang tetap, yaitu puisi itu menyatakan suatu hal
dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung.
Penulis tertarik untuk meneliti puisi bertema pewayangan yang salah satu
sumbernya dari cerita Mahabaratadengan alasan sebagai berikut. Pertama, bahwa
intisari cerita Mahabarata berisi tentang keutamaan-keutamaan, keteladanan, kepahlawanan, kejujuran, dan kebenaran. Warna-warni kehidupan manusia
diceritakan dengan segala sebab-akibatnya. Keyakinan, janji, dan sumpah
seseorang akan menjadi kenyataan sesuai dengan pernyataan sebelumnya
(Purwadi, 2004:5). Nilai-nilai luhur dalam cerita pewayangan dapat digunakan
sebagai cermin kehidupan sehari-hari. Kedua, kisah pewayangan mengandung
tontonan serta tuntunan yang menjadi dasar moral, kewajiban dan kebenaran.
Dalam bahasa Mahatma Gandhi, konflik abadi yang di dalam jiwa diuraikan
demikian jelasnya, sehingga menyebabkan untuk berpikir bahwasannya
perbuatan-perbuatan yang dilukiskan di dalamnya seolah-olah benar-benar
dilakukan oleh manusia (Pendit, 1980:xxiii).
Tindakan dan nasib masing-masing tokoh wayang dalam lakon-lakon
realitas yang dihadapinya. Dalam realitas kehidupan, manusia mempunyai dua
dunia yang selalu menyertainya, yaitu lahir dan batin. Segi lahiriah manusia
mengikatkan manusia pada dunia materi yang dapat menjadi hambatan, serta
menjadi hal yang berbahaya. Hambatan atau bahaya tersebut sebagian besar
disebabkan oleh hawa nafsu dan pamrih yang dimiliki manusia (Sardjono,
1995:19).
Penulis memilih puisi dengan judul Bima, Saudara Kembar karya Subagio
Sastrowardoyo dari kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1985 cetakan pertama; puisi dengan judul Telinga karya Sapardi Djoko Damono dari kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 1994 cetakan pertama, dan puisi berjudul Dewa Ruci karya Saini KM dari kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 2000 cetakan pertama. Dari nama penyair yang mencipta puisi
tersebut, menurut anggapan penulis, merupakan nama besar pengarang/penyair
dalam dunia puisi Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan begitu banyak karya
mereka yang diterbitkan baik puisi, kritik, maupun esai-esai.
Penulis memilih puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci sebagai bahan penelitian dengan alasan sebagai berikut. Pertama, adalah adanya
keunikan dalam penggunaan kata atau diksi. Dimulai dari penggunaan judul
keempat puisi yang berbeda, kemudian penggunaan kata-kata tertentu yang
merupakan tanda bermakna. Hal ini merupakan bentuk kreatif penyair dalam
menangkap wacana cerita Dewaruci. Kedua, adalah tipografi. Tipografi merupakan penyusunan baris dan bait sajak. Bentuk tipografi puisi menjadi
berbentuk naratif dan ada yang berbentuk dialog. Ketiga, adalah imaji. Imaji
merupakan kilasan bayangan yang muncul dari pembacaan puisi. Keempat, puisi
tersebut mempunyai suasana serta imajinasi yang kuat. Hal ini muncul dari
kemampuan penyair memanfaatkan segala sarana kepuitisan dengan baik
sehingga menimbulkan kilasan bayangan dalam pikiran pembaca.
Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci mengingatkan pada
sebuah karya sastra lama atau cerita Dewaruci. Adapun nama pengarang asli kitab
Dewaruci hingga sekarang belum diketahui. Mengenai cerita Dewaruci atau Bimasuci ada beberapa macam redaksinya. Di wilayah Surakarta, karya ini pada mulanya dikarang (digubah) oleh Pujangga Yasadipura I. Serat Bimasuci atau Dewaruci digubah oleh Yasadipura I pada tahun 1720 Jawa atau 1793 Masehi (Purwadi, 2002:1).
Dalam kaitannya pergelaran wayang kulit, cerita Dewaruci diciptakan dalam bentuk pakem pedhalangan lengkap dengan judul Lampahan Dewaruci oleh Ki Manteb Soedharsono (Purwadi, 2002:22). Untuk lampahan sejenis, Sudarko juga membuat lampahan Dewaruci yang diterbitkan oleh Cendrawasih Surakarta. Hal ini menunjukkan cerita Dewaruci masih diminati sampai sekarang.
Cerita Dewaruci merupakan cerita perihal pencarian jati diri yang mengandung pelajaran sebagai berikut. 1). Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, artinya bahwa sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau musuh yang terdapat di dalam dirinya, 2). Sapa temen bakal tinemu, artinya
bahwa segala sesuatu akan berhasil jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Di
samping itu, lakon atau cerita Dewaruci merupakan lakon atau cerita yang banyak
2007:200). Semua lakon dalam wayang kulit selalu dikemas dan dibungkus
dengan metafora atau perlambang, sehingga pemahamannya bergantung dari
keluasan pandang masing-masing orang.
Pemegang peranan terpenting dalam cerita Dewaruci adalah tokoh Bima. Tokoh Bima merupakan tokoh yang terdapat dalam cerita Mahabarata. Tokoh Bima telah memerankan peran sebagai seorang individu dalam hal moralitas
kemasyarakatan yang berkaitan dengan kodrat manusia sebagai makhluk individu
dan sosial. Tokoh Bima telah mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan, namun
rela menanggalkan sikap egoisnya demi perjuangan dan pengabdian kepada
negara dan masyarakatnya.
Penulis menganggap tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci sebagai tokoh utama. “Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian”
(Burhan Nurgiyantoro, 2000:177). Altenbernd dan Lewis menyatakan bahwa
tokoh yang dikagumi merupakan tokoh dengan pengejawantahan norma-norma,
nilai-nilai yang ideal bagi kita (Burhan Nurgiyantoro, 2000:178). Tokoh Bima
merupakan alat yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan-pesan
moralnya. “Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan
penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca” (Burhan Nurgiyantoro, 2000:167). Oleh karena itu,
penulis ingin mengungkap makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci
Penulis menggunakan pendekatan semiotik Riffaterre dalam menemukan
Dewa Ruci. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tentang tanda. Bahasa merupakan sistem tanda dan sebagai suatu tanda, bahasa bersifat mewakili sesuatu
yang lain yang disebut makna. Pendekatan semiotik Riffaterre relevan digunakan
dalam penelitian ini karena puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci
banyak menampilkan kata maupun bahasa dan aspek di luar kebahasaan yang
menjadi tanda dan sistem tanda. Hal ini juga disebabkan adanya
ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Riffaterre (1978:1) menyatakan bahwa puisi itu pengertian–pengertian atau hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan
sesuatu hal yang lain.
Sebuah karya sastra biasanya bermakna penuh dalam hubungan atau
pertentangan dengan karya lain (Teeuw, 1983:65). Oleh karena itu, selanjutnya
puisi tersebut akan ditelusuri hipogramnya dengan cerita Dewaruci. Berdasarkan
uraian di atas penelitian ini berjudul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan
Dewa Ruci:Tinjauan Semiotik Riffaterre.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini dimaksudkan untuk membatasi masalah sehingga
tujuan penelitian ini menjadi lebih jelas dan terarah. Penelitian ini dibatasi pada
unsur-unsur struktur puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci,
meliputi metafora, pembaitan, rima, enjambemen dan tipografi yang membentuk
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?
2. Bagaimana hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci? 3. Bagaimana deskripsi makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung
puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki sasaran yang sesuai dengan pemilihan judul dan
permasalahan sebagai tujuan untuk memecahkan masalah yang ada. Sejalan
dengan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.
2. Mengungkapkan hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi
Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci.
3. Mendeskripsikan makna kehadiran tokoh Bima puisi Bima, Saudara
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mewujudkan bentuk penerapan teori
semiotik dalam karya sastra khususnya puisi, dan teori ini dapat dimanfaatkan
untuk menangkap makna kehadiran tokoh Bima yang teraktualisasi dalam
puisi yaitu pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah dapat menambah wawasan dan
pemahaman terhadap karya sastra. Selain itu, dengan mengetahui tema dan
makna yang dikandung puisi dapat memberikan tambahan wawasan tentang
pentingnya mengolah segi batin dan lahir manusia dalam bersikap hidup,
hubungannya dengan kedudukan manusia sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial.
F. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian pada hakikatnya akan mempermudah dan
mengarahkan hasil penelitian tidak menyimpang dari pembahasan yang akan
diteliti. Penelitian yang sistematis akan banyak membantu penelitian dan
pembacaaan serta pemahaman terhadap hasil penelitian. Sistematika penulisan
penelitian ini dapat disusun sebagai berikut.
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penulis
mengambil kajian semiotik untuk meneliti puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Pembatasan masalah yang berupa makna kehadiran tokoh Bima
Perumusan masalah yang berupa makna apa yang terdapat pada kehadiran tokoh
Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Tujuan penelitian yang berguna untuk menjawab rumusan masalah. Manfaat penelitian
diharapkan dapat menambah khazanah penelitian terutama puisi dengan
menggunakan pendekatan semiotik, dan sistematika penelitian untuk
memudahkan dalam proses analisis permasalahan sehingga lebih sistematis.
Bab kedua adalah kajian pustaka dan kerangka pikir, berisi
penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian-penelitian ini serta kajian teori
tentang teori semiotik. Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori semiotik Riffaterre. Teori semiotik Riffaterre berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai makna kehadiran tokoh Bima
dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.
Bab ketiga adalah metode penelitian yang memberikan gambaran proses
penelitian yang di dalamnya diuraikan mengenai metode penelitian, pendekatan
yang digunakan, objek penelitian, sumber data, metode, teknik pengumpulan data,
teknik analisis data, dan teknik penarikan simpulan.
Bab keempat adalah analisis puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan menggunakan teori semiotik Riffaterre. Tahap yang dilakukan dalam analisis yaitu bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi, kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, dilanjutkan dengan
pencarian matriks, dan dilakukan penelusuran hubungan intertekstual atau
Bab kelima adalah penutup. Bab ini berisi simpulan dari hasil analisis dan
dilengkapi dengan saran. Penelitian ini dilengkapi dengan daftar pustaka yang
digunakan sebagai acuan atau referensi dalam melakukan penelitian, dan lampiran
yang berupa puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci, biografi pengarang puisi, biografi Yasadipura I, cerita dan gambar tokoh Bima dalam
pewayangan dari buku Ensiklopedi Wayang Indonesia,cerita Dewa Ruci karangan
(gubahan) Yasadipura I yang diterbitkan oleh Cabang Bagian Bahasa Jawatan
12
KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo menurut sepengetahuan penulis adalahMenyingkap Dunia Kepenyairan Subagio Sastrowardoyo oleh Wahyu Wibowo diterbitkan PN Balai Pustaka tahun 1984. Pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama adalah gagasan cipta puisi Subagio Sastrowardoyo. Ekspresi pengalaman lahir maupun batin penyair, dalam hubungan ini berupa pengalaman lahir maupun batin yang sudah diolah oleh sejumlah kemampuan diri penyair. Berdasarkan kemampuan diri ditambah pandangan hidup yang positif, Subagio Sastrowardoyo “meramunya” menjadi niat dasar dalam menciptakan puisi-puisinya. Bayangan batin yang terjadi setelah melalui proses penglihatan bayangan batin disebut Subagio Sasytrowardoyo sebagai ilham. Obsesi Subagio Sastrowardoyo terhadap kematian, secara nyata menonjol pada citra-citra yang tampak pada puisi-puisinya.
Penelitian terdahulu tentang tokoh Bima menurut sepengetahuan penulis sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Afendy Widayat (1990) berjudul “Tinjauan Struktur dan Makna Cerita Bima Bungkus karya Can Cu An”, sebagai tulisan Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM. Penelitian yang dilakukan Afendy Widayat (1990) ini menunjukkan bahwa tokoh Bima dalam Serat Bimapaksa selalu berorientasi kepada kebagiaan (eudaenomisme) dan berdasarkan nilai-nilai religius (theologis). Cerita Bima Bungkus menjelaskan moralitas yang berkaitan dengan nilai kebenaran, kepahlawan, dan ketabahan hidup.
Penelitian yang dilakukan oleh Purwadi (1995) berjudul “Cerita Sena Sinaraya dalam Pendekatan Struktur dan Makna”, sebagai Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM. Kehidupan Surgawi adalah kehidupan masa muda. Mereka selamat meneliti bayangan surga, kemudahan, kenikmatan dalam bahasa Surgawi, yang di dunia ini dapat dilacak dalam konsekuensi sengsara membawa nikmat. Cerita Sena Sinaraya menjelaskan konsep moral yang berkaitan dengan sikap gagah berani, rela berkorban, dan kebersamaan dalam memperjuangkan cita-cita hidup. Penelitian yang dilakukan Purwadi ini juga menyebutkan bahwa Bima senantiasa mengusahakan tindakan moral yang tujuannya meraih kebahagiaan bersama (eudaemonisme) yang sangat dianjurkan oleh nilai-nilai keagaman (theologis).
kesempurnaan hidup, ilmu sejati, kwaruh begja, dan sangkan paraning dumadi. Dalam cerita tersebut diajarkan bahwa orang hidup hendaknya selaras lahir batin, jiwa raga, cipta-rasa-karsa, dan iman ilmu amal. Cerita Begawan Senaroda menjelaskan konsep moral yang berkaitan dengan budi pekerti, mistik, dan soal kebatinan. Penelitian yang dilakukan oleh Endro Sasmito (1992) juga mempertegas bahwa Bima selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan supaya dapat mencapai kebahagiaan sejati (eudaemonisme) dan memperhatikan moralitas keagamaan.
Yang membedakan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini meneliti jenis karya sastra puisi, berjumlah empat buah puisi. Puisi yang diteliti diambil dari kumpulan puisi oleh 3 penyair, yaitu Bima dan Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo, Telinga karya Sapardi Djoko Damono, dan Dewa Ruci karya Saini KM. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan semiotik Riffaterre, dengan analisis melalui beberapa tahapan, yaitu bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi, pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, pencarian matriks, model, dan varian, serta penelusuran hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi.
B. Landasan Teoretis
1. Pengertian Semiotik
Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics. Berpangkal pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, bahwa orientasi pembentukan istilah tersebut terdapat pada bahasa Inggris. Akhiran bahasa Inggris –ics dalam bahasa Indonesia berubah menjadi –ik atau –ika (Puji Santosa, 1993: 2).
Kata semotika berasal dari bahasa Yunani semion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu tentang tanda dan segala yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Nama lain semiotika adalah semiologi. Kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama yaitu sebagai ilmu tentang tanda.
Peletak dasar teori semotik ada dua orang, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedang Peirce yang seorang ahli filsafat memakai istilah semiotik. Kedua tokoh tersebut berasal dari dua benua yang berjauhan, Eropa dan Amerika, dan tidak saling mengenal, sama-sama mengemukakan sebuah teori yang secara prinsipal tidak berbeda (Burhan Nurgiyantoro, 2000:39).
dengan terdapat kegiatan memparafrasekan (per-bait) puisi. Selanjutnya pembacaan hermeneutik, merupakan proses pembacaan berdasar konvensi sastra (puisi) dan pemberian makna puisi. Tahapan selanjutnya adalah pencarian matriks (kata kunci), model dan varian-varian, serta penelusuran hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi.
2. Semiotik Riffaterre
Dalam buku berjudul Semiotic of Poetry (1978), bahwa untuk mendapatkan makna secara lengkap dan tuntas maka harus diketahui aspek kesejarahan puisi tersebut. Tugas pembacalah untuk menemukan dan menafsirkan respon yang terkandung dalam sajak tersebut. Riffaterre menyatakan bahwa karya sastra (puisi) merupakan a dialectic between text and reader (Riffaterre, 1978:10).
Riffaterre (1978:1) mengangggap puisi adalah sebagai salah satu aktivitas pemroduksian bahasa. Bahasa yang diproduksi tersebut berbicara mengenai sesuatu yang disampaikan secara tidak langsung atau ketidaklangsungan ekspresi. Dikemukakan Riffaterre (1978:1—2) puisi itu menyatakan suatu hal secara tidak langsung. Selanjutnya, Riffaterre menegaskan ketidaklangsungan tersebut disebabkan oleh tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
a. Penggantian Arti (Displacing of Meaning)
penggantian arti, suatu kata (kiasan) berarti sesuatu yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:212).
b. Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning),
Penyimpangan arti dalam sajak disebabkan ambiguitas, kontradiksi, atau pun nonsense (Riffaterre, 1978:2). Ambiguitas, merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215).
Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215-216). Paradoks merupakan pernyataan yang tampaknya berlawanan dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, jika dilihat lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran (Panuti Sudjiman, 1990:59).
c. Penciptaan Arti (Creating of Meaning)
Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di antaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan kata/frase di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dab bait sajak), atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).
Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, serta konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:118). Tanda baru memperoleh makna yang optimal apabila mendapatkan apresiasi dari pembaca (Teeuw, 1983:62). Hal tersebut menunjukkan bahwa antara pembaca dengan teks sastra terjadi dialektika dalam pemaknaan karya sastra.
Pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan struktur bahasa atau secara sistem semiotik tingkat pertama. Dalam pembacaan heuristik, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Yang dilakukan dalam pembacaan heuristik yaitu menerjemahkan atau memperjelas arti kata-kata dan sinonim-sinonim. Untuk memperjelas arti bisa diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya yang ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga dengan struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:136).
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan yang diulang kembali dengan ditafsirkan berdasarkan konvensi sastra (puisi). Konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketidaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:137).
Dalam pemahaman makna karya sastra, pembaca harus memahami bahwa sajak (puisi) bermula dari adanya matriks (Riffaterre, 1978:13). Matriks adalah kata kunci atau inti sari dari serangkaian teks. Selanjutnya, (Riffaterre, 1978:19) mengatakan bahwa matriks bersifat hipotesis yang berupa aktualisasi gramatikal dan leksikal suatu struktur. Matriks tidak muncul dalam suatu kata dalam teks, tetapi diaktualisasikan dalam model, sedangkan model adalah pengembangan teks dengan pemaparan.
Dikemukakan Riffaterre dalam bukunya Semiotic of Poetry, bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak yang lain, baik dalam persamaan maupun pertentangannya. Sajak itu baru dapat dipahami makna secara sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan sajak lain yang menjadi latar penciptaannya. Riffaterre menyatakan bahwa sajak (teks) yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain disebut hipogram (1978:23). Setiap teks, termasuk teks sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi dari teks lain (Kristeva dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002:55).
Hipogram teks ditelusuri untuk mendapatkan makna teks sastra yang optimal secara semiotik. Hipogram bisa berwujud satu kata, frase atau kutipan, atau ungkapan klise yang mereferensi pada kata atau frase yang sudah ada sebelumnya (Riffaterre, 1978:23). Riffaterre (1978:23) menyatakan bahwa hipogram ada dua macam, yaitu potensial dan aktual. Hipogram potensial dapat dilihat pada bahasa atau segala bentuk implikasi makna kebahasaan, baik yang berupa presuposisi maupun makna konotatif yang sudah dianggap umum di dalam karya sastra itu sendiri meskipun tidak diekspresikan secara langsung. Hipogram aktual dapat dilihat pada teks-teks yang sudah ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra lain. Hipogram aktual menjadi latar penciptaan teks (karya sastra) baru atau ditransformasikan menjadi teks (karya sastra) baru.
sebuah teks dengan teks lain yang menjadi hipogramnya maka teks tersebut menjadi jelas, baik teks tersebut mengikuti atau menentang hipogramnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:55). Jadi, ada empat hal pokok dalam analisis semiotik Riffaterre (1978), yaitu (1) ketidaklangsungan ekpresi puisi; (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik; (3) matriks, model, dan varian; dan (4) hipogram.
3. Peranan Pembaca dalam Puisi
Konvensi yang mendasari dalam pemberian makna karya sastra (konkretisasi) yaitu pembaca sebagai pemberi makna. Pembaca mempunyai peranan yang penting dalam konkretisasi makna karya sastra. Dalam hal konkretisasi, pembaca tidak boleh mengabaikan sistem tanda kesastraan yang mempunyai konvensi sendiri, baik konvensi bahasa maupun konvensi sastra. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115).
Dalam proses konkretisasi terjadi hubungan yang dialektis antara teks karya sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca yang memiliki horison harapan tersendiri terhadap karya sastra yang dibaca. Konkretisasi sebuah karya sastra perlu diperhatikan hasil pembacaan atas sebuah karya dari generasi ke generasi karena ada penambahan apresiasi terhadap karya sastra. Hal itu disebabkan oleh horison harapan pembaca dari tiap generasi selalu berubah karena konsep estetika, kepandaian, dan pengalaman (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115—116).
4. Peranan Penyair dalam Puisi
Kedudukan penyair dalam penafsiran karya sastra dikemukakan oleh Juhl melalui tiga dalil. Pertama, ada kaitan antara sebuah arti karya sastra dan niat penyairnya. Kedua, penyair yang nyata terlibat bertanggung jawab atas proporsi yang diajukan dalam karyanya. Jadi karya sastra tidak otonom, ada perkaitan antara sastra dan kehidupan. Ketiga, karya sastra mempunyai satu arti. Arti tersebut bukan yang dinyatakan secara eksplisit oleh penulis, melainkan yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan penyair dalam karyanya. Niat bukan sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan karya sastra; niat terwujud dalam proses perumusan kalimat yang dipakai dalam karya (Teeuw, 1984:177).
Karya sastra merupakan luapan atau penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak dapat diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan (Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 114).
C. Kerangka Pikir
bermakna dalam puisi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori untuk menganalisis puisi dalam usaha untuk mencari makna yang dikandung puisi.
Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci ditulis oleh penyair dengan bahasa mereka dengan terdapat tanda-tanda yang bermakna. Di dalam puisi tersebut terdapat kata-kata sebagai tanda untuk menunjukkan kehadiran tokoh Bima, dan beserta makna yang dikandungnya. Oleh karena itu digunakan teori semiotik Riffaterre untuk menganalisis teks puisi tersebut.
Penelitian ini menggunakan tahap-tahap analisis semiotik Riffaterre, yaitu ketidaklangsungan ekspresi puisi; pembacaan heuristik dan hermeneutik; pencarian matriks, model, dan varian; serta hipogram (hubungan intertekstual), untuk menemukan unsur-unsur yang membangun puisi, mengungkap makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci dan menelusuri hubungan intertekstual atau hipogramatik dengan cerita Dewaruci. Dari analisis yang dilakukan, akan diperoleh simpulan mengenai unsur-unsur yang membangun puisi, hubungan hipogram dengan cerita Dewaruci dan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.
puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.
Teori Semiotik Riffaterre
simpulan
24
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,
dengan bentuk penelitian yang bersifat deskriptif. Metode kualitatif merupakan
jenis penelitian yang data-datanya berupa kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka (Lexi J. Moleong, 2001:6).
Penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep
yang sedang dikaji secara empiris. Penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya
terurai dalam bentuk kata-kata, bukan berbentuk angka (Suwardi Endraswara,
2003:5).
B. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan semiotik
Riffaterre. Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini karena pendekatan
semiotik Riffaterre sesuai dengan permasalahan yang dianalisis oleh peneliti.
Dengan pendekatan Semiotik Riffaterre pemaknaan terhadap puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci tersebut dapat dilakukan dengan maksimal. Hal tersebut dikarenakan pendekatan semiotik Riffaterre menggunakan
tahapan-tahapan analisis, yaitu (1) ketidaklangsungan ekspresi karya sastra (puisi)
disebabkan oleh tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning),
penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of
C. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci, hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci, dan makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.
D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah
1. puisi dengan judul Bima karya Subagio Sastrowardoyo dari buku kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1985,
2. puisi dengan judul Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo dari buku kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1985,
3. puisi dengan judul Telinga karya Sapardi Djoko Damono dari buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 1944, dan
4. puisi berjudul Dewa Ruci karya Saini KM.dari buku kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 2000.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dan teori semiotik Riffaterre.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut.
1. Tahap Pengumpulan Data
Tahap ini merupakan tahap mengumpulkan data-data yang relevan, akurat
yang digunakan dalam menemukan makna yang terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar,Telinga, dan Dewa Ruci.
2. Tahap Analisis
Tahap ini merupakan tahap analisis untuk menemukan makna yang terdapat
pada puisi Bima, Saudara Kembar,Telinga, dan Dewa Ruci.
3. Tahap Melaporkan
Tahap ini merupakan tahap melaporkan hasil penelitian terhadap makna yang
27
DAN DEWA RUCI
Dalam bab ini diuraikan mengenai analisis terhadap makna yang dikandung puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Pemaknaan puisi tersebut melalui empat tahap dalam analisis semiotik Riffaterre, yaitu (1) ketidaklangsunagn ekspresi puisi, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (hubungan intertekstual).
A.
Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Dalam tahap ini diuraikan mengenai bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.
1. Puisi Bima
BIMA
karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo Di dalam pengelanaannya
dilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati Hutan jati hilang kumandangnya dan sudut kota habis diperkata juga langit telah hangus terbakar di nyala matahari
Maka diputuskannya
untuk meninggalkan tanah kapur dan tidur dengan naga
Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi -- makhluk kecil itu
berhuni di lubuk hati
Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi
a. Penggantian Arti
Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, yaitu pada metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Metafora ini untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya, tetapi tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain. Secara umum dalam pembicaran puisi bahasa kiasan disebut dengan metafora. Dalam penggantian arti, suatu kata (kiasan) berarti sesuatu yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:212).
Pada bait pertama, terdapat kalimat “di dalam pengelanaannya” yang merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat, tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya (Gorys Keraf, 2000: 139). “Pengelanaannya” menyatakan hal mengenai rangkaian perjalanan hidup yang telah dilalui oleh tokoh Bima. Rangkaian hidup tersebut terjadi semenjak tokoh Bima muda hingga pada saat tokoh Bima dapat menyadari hal-hal yang terjadi padanya.
bahwa bentuk “dilihatnya” merupakan aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan organ penglihatan yaitu mata. Organ penglihatan ini mewakili dari proses seluruh tubuh manusia beserta perasaan manusia akan suasana hati yang terjadi dari kegiatan melihat tersebut.
Kalimat “pada bahasa yang tinggal mati” merupakan bentuk gaya bahasa metafora dan sinekdoke (pars pro toto). Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Gorys Keraf, 2000: 142). Metafora “bahasa” menyatakan bentuk komunikasi dalam hubungan dan interaksi dengan orang lain. Sinekdoke (pars pro toto) “bahasa” menyatakan bahwa bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam masyarakat itu mewakili bentuk hubungan manusia dalam bermasyarakat.
Pada bait kedua, terdapat kalimat “hutan jati hilang kumandangnya” yang merupakan gaya bahasa metafora. Hutan jati merupakan kiasan untuk hal-hal yang baik, hilang kumandangnya berarti hilang gaungnya.
Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati
Ungkapan tersebut mempunyai arti bahwa benih kejahatan merajalela, benih kebaikan mati (Hariwijaya, 2003: 72). Pohon jati merupakan pohon pilihan yang multiguna. Pohon jati dijadikan simbol kebaikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan terkalahkan oleh kebatilan baik dari kualitas maupun kuantitas.
tidak ada. Kalimat “sudut kota habis diperkata” merupakan gaya bahasa metafora. “Sudut kota habis diperkata” menyatakan tempat atau keadaan yang telah berubah, yang sebelumnya baik telah berubah menjadi buruk. Kenyataan mengenai perihal baik yang tidak ada lagi pada masyarakat.
Kalimat “langit telah hangus terbakar” merupakan gaya bahasa hiperbola. Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys Keraf, 2000: 135). Kalimat “langit telah hangus terbakar” menyatakan keadaan sangat memprihatinkan dengan keadaan langit atau udara yang telah tercemar dan menyebabkan manusia sulit untuk bernafas serta burung kesulitan untuk terbang. Kalimat “di nyala matahari” merupakan bentuk metafora, yang menyatakan bahwa matahari merupakan tanda kehidupan. Keadaan yang telah berubah karena disebabkan oleh perilaku manusia dalam menjalani hidupnya.
Pada bait ketiga, kalimat “meninggalkan tanah kapur” merupakan gaya bahasa metafora. “Meninggalkan tanah kapur” menyatakan bahwa tokoh Bima meninggalkan tempat yang kini telah kering dari sumber penghidupan dan kering dari hal-hal yang baik. Hal ini dilakukan untuk mencari kebenaran atas kejadian yang terjadi. Kalimat “tidur dengan naga” merupakan gaya bahasa metafora dan gaya bahasa hiperbola. Naga diibaratkan sebagai bentuk cobaan atau rintangan yang sangat berat.
Bima melakukan perbuatan atau tindakan yang sangat berat yang tidak dilakukan oleh manusia pada umumnya.
Kalimat “di samudra angan-angan” merupakan gaya bahasa metafora. “Di samudra angan-angan” menyatakan tempat sangat luas manusia jarang mengunjunginya yang telah dicita-citakan oleh tokoh Bima dan menjadi harapan yang terdapat dalam batin tokoh Bima.
Pada bait keempat, kalimat “di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi” merupakan gaya bahasa personifikasi dan metafora. Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Gorys Keraf, 2000:140). Personifikasi “di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi” menyatakan bahwa Bima dapat bertatapan dengan sunyi yang berarti bertatapan dengan keadaan yang tidak ada suara atau bunyi, alam yang kosong, selayaknya manusia yang saling bertatapan. Metafora “bertatapan dengan sunyi” menyatakan suatu tempat atau alam dengan keadaan yang kosong, tidak ada apa-apa, tidak ada kehidupan.
Pada bait kelima, kalimat “matanya cerah seperti punya bocah” merupakan gaya bahasa simile. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan tersebut, yaitu dengan menggunakan kata-kata: seperti, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagianya (Gorys Keraf, 2000: 138). “Matanya cerah
demikian, juga menunjukkan keadaan rohani yang bersih (belum terdapat dosa).
Kalimat “yang hidup abadi” merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Kalimat tersebut menyatakan sifat yang tidak dimiliki oleh makhluk, hanya dimiliki oleh Sang Pencipta (Tuhan). Sifat abadi berhubungan dengan keadaan tokoh Bima yang mempunyai mata cerah.
b. Penyimpangan Arti Ambiguitas
Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215).
Dalam puisi Bima, kalimat “di dalam pengelanaannya” mempunyai arti berkelana, pergi kemana-mana, mengembara, masuk hutan, naik gunung turun gunung. “Di dalam pengelanaannya” juga mempunyai arti pengalaman hidup, cobaan yang datang dan menimpa, kesukaran dan kemudahan, susah, senang bahagia, menderita, dan segala tindakan dan perbuatan baik maupun buruk tokoh Bima dalam menghadapi dan menjalani hidup.
mempunyai arti pikiran, ingatan, cita-cita, maksud, niat, kehendak, gambaran dalam ingatan, harapan-harapan yang luas, terletak dalam batin.
Kontradiksi
Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215-216).
Maka diputuskannya
untuk meninggalkan tanah kapur dan tidur dengan naga
(yang tak jadi dibunuhnya)
Dalam puisi Bima diungkapkan bahwa terdapat yang berlawanan atau berbalikan yaitu bahwa dengan kenyataan dan keadaan buruk yang terjadi, tokoh Bima memilih dan memutuskan untuk meninggalkan lingkungannya tersebut. Semestinya tokoh Bima berusaha untuk memperbaiki hal buruk yang terjadi tersebut. Tokoh Bima memilih pergi dan “tidur dengan naga”.
Nonsense
Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219). Dalam puisi Bima tidak terdapat bentuk nonsense (bentuk kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti).
c. Penciptaan Arti
Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di antaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan kata/frase di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait sajak), atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).
Puisi Bima terdiri dari lima bait, yang tiap baitnya memiliki baris berbeda-beda. Pada bait pertama terdapat tiga baris, bait kedua mempunyai empat baris, bait ketiga terdapat lima baris, bait keempat terdapat tiga baris, dan bait kelima mempunyai dua baris. Tiap bait dalam puisi tersebut mempunyai rima yang berbeda-beda.
berikutnya yang berbeda ditandai dengan urutan abjad: b, c, d, e dan seterusnya (Atmazaki,1993:80). Puisi Bima mempunyai rima dengan berpola:
Di dalam pengelanaannya a
dilihatnya tiada yang kekal b
pada bahasa yang tinggal mati c
Hutan jati hilang kumandangnya a
dan sudut kota habis diperkata a
juga langit telah hangus terbakar d
di nyala matahari e
Maka diputuskannya a
untuk meninggalkan tanah kapur f
dan tidur dengan naga a
(yang tak jadi dibunuhnya) a
di samudra angan-angan g
Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi c
-- makhluk kecil itu h
berhuni di lubuk hati c
Matanya cerah seperti punya bocah i
yang hidup abadi c
Pada bait pertama terdapat rima berpola yang tidak beraturan, yaitu dengan pola a-b-c. Pada bait kedua, mempunyai rima (persamaan bunyi akhir) dengan pola aa-dc. Bait ketiga mempunyai pola af-aag. Bait keempat berpola c-h-c. Bait kelima mempunyai rima dengan pola i-c. Bentuk bait serta rima yang berbeda-beda tersebut menciptakan arti tentang keadaan serta suasana yang menyertai tokoh Bima berbeda dari tiap peristiwa yang dilalui.
Hutan jati hilang kumandangnya dan sudut kota habis diperkata
Kombinasi bunyi u dan a menciptakan arti memperjelas suasana dari keadaan suram atau tidak baik.
Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi -- makhluk kecil itu
berhuni di lubuk hati
Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi
Rima bunyi i yang dimiliki larik puisi pada bait tersebut memberikan kesan suasana yang tenang, nyaman dan teratur. Bunyi a menciptakan arti memperjelas suasana yang tenang, nyaman dan teratur tersebut. Bunyi nya dan ah menciptakan arti tentang kejelasan keadaan bocah kecil. Kombinasi bunyi a, uk, i, dan nyamenciptakan arti berirama dan liris (penuh perasaan).
Terdapat tanda (--) yang memberikan maksud adanya hubungun antara “sunyi” dengan “makhluk kecil”. Bahwa dalam kesunyian tersebut terdapat makhluk kecil yang mendiaminya.
Homologues (persamaan posisi) dalam puisi Bima terdapat pada
Hutan jati hilang kumandangnya dan sudut kota habis diperkata
2. Puisi Saudara Kembar
SAUDARA KEMBAR
karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo tiba-tiba
sebagai kilat cermin di tangannya mengingatkan dia kepada lubuk laut lain di mana ia pernah menjenguk dan berjumpa dengan gambar muka (seperti saudara kembar)
begitu serupa
tercipta dari ilham yang sama ia tidak bertukar kata
hanya tahu
ia ditunggu sejak dulu rindu yang dahsyat
lalu membuatnya berpaling
a. Penggantian Arti
Pada bait pertama, kalimat “sebagai kilat” merupakan gaya bahasa simile. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit,
bahwa langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan tersebut, yaitu dengan menggunakan kata-kata: seperti, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagianya (Gorys Keraf, 2000: 138). Kalimat “sebagai kilat” merupakan kiasan yang menunjukkan sifat cepat seperti halnya cepatnya suatu kilat, yang membuat orang terkejut, kaget dan menjadi waspada dari keadaan sebelumnya.
(Gorys Keraf, 2000: 142). “Kepada lubuk laut lain” mempunyai arti tempat berupa laut tempat terjadi peristiwa yang menyangkut diri tokoh Bima.
Kalimat “dan berjumpa dengan gambar muka” merupakan gaya bahasa personifikasi dan sinekdoke. Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Gorys Keraf, 2000:140). Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) (Gorys Keraf, 2000: 142). Personifikasi kalimat “berjumpa dengan gambar muka” berarti berjumpa dengan sebuah gambar muka yang diibaratkan berjumpa dengan muka seseorang manusia. Sinekdoke (pars pro toto) “berjumpa dengan gambar muka” menyatakan gambar muka yang
mewakili bentuk keseluruhan tubuh yang berarti berjumpa dengan bentuk manusia atau makhluk.
Kalimat “(seperti saudara kembar)” merupakan gaya bahasa simile. Kalimat “seperti saudara kembar” menyatakan perihal seperti saudara kembar yang mempunyai bentuk tubuh dan keadaan sama, yang dilahirkan bersama-sama, yang mempunyai pertalian darah serta perasaan. Kalimat “tercipta dari ilham yang sama” merupakan gaya bahasa metafora. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat, tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya (Gorys Keraf, 2000: 139).
menciptakannya. Terdapat persamaan substansi yang diwujudkan dalam jasmani maupun rohani.
Pada bait kedua, kalimat “ia tidak bertukar kata” merupakan gaya bahasa sinekdoke (pars pro toto). Kalimat “ia tidak bertukar kata” menyatakan bahwa ia tidak hanya tidak bertukar kata, tetapi juga tidak saling berbicara, berkomunikasi, dan bentuk kegiatan yang melibatkan anggota badan, seperti bersalaman, berpelukan, membungkukkan badan, selayaknya dua orang yang saling bertemu.
Pada bait ketiga, kalimat “rindu yang dahsyat” merupakan gaya bahasa hiperbola. Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys Keraf, 2000: 135). Kalimat “rindu yang dahsyat” menyatakan sebuah keadaan rindu yang disebabkan tidak bertemu dalam jangka waktu yang lama sehingga menjadi sangat rindu. Kalimat “lalu membuatnya berpaling” merupakan metafora yang berarti bahwa kembali ke asal atau tempat sebelumnya, tempat asal sebelum bertemu dan melepas kerinduan.
b. Penyimpangan Arti Ambiguitas
Kalimat “sebagai kilat” mempunyai arti seperti cahaya yang berkelebat dengan cepat di langit, dalam waktu singkat, dengan cepat, datangnya sulit diterka, membuat terkejut, menjadi ketakutan, menjadi terdiam. Kalimat “cermin di tangannya” mempunyai arti kaca bening yang salah satu sisi dicat dengan air raksa sehingga memperlihatkan bayangan benda yang ditaruh di depannya, sesuatu bayangan, bayangan perasaan, isi hati, keadaan batin. Kalimat “ia tidak bertukar kata”, mempunyai arti tidak saling berbicara, tidak saling bercakap-cakap, tidak saling berkomunikasi, diam, tidak berdialog, tidak saling menyapa, tidak melakukan hubungan selayaknya dua insan bertemu.
Kontradiksi
Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215-216).
ia tidak bertukar kata hanya tahu
ia ditunggu sejak dulu rindu yang dahsyat
lalu membuatnya berpaling
yang seharusnya bersalaman, berpelukan atau sekedar membungkukkan badan.
Pada bait selanjutnya, “rindu yang dahsyat lalu membuatnya berpaling” memberikan pengertian atas kerinduan besar antara dua insan yang telah lama tidak berjumpa, namun karena suatu hal membuat kedua berpisah kembali. Hal itu tidak seperti orang yang rindu, tidak bertemu dalam jangka waktu yang lama, maka setelah bertemu akan melepas kerinduan tersebut dengan berduaan dalam jangka waktu yang lama, bahkan dimungkinkan untuk hidup bersama untuk selamanya.
Nonsense
Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang secara lingustik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219). PuisiSudara Kembar tidak terdapat bentuk nonsense (bentuk kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti).
c. Penciptaan Arti
sajak), atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).
Puisi Saudara Kembar terdiri dari tiga bait, yang tiap bait memiliki baris yang berbeda-beda. Bait pertama terdiri dari sepuluh baris, bait kedua terdiri dari tiga baris, dan bait ketiga terdiri dari dua baris. Tiap bait puisi tersebut memiliki rima yang berbeda pula.
Rima umumnya ditandai dengan abjad, misal: ab-ab; cde-cde; a-a, dan lain-lain. Penandaan selalu dimulai dengan huruf a, dan setiap bunyi berikutnya yang berbeda ditandai dengan urutan abjad: b, c, d, e dan seterusnya (Atmazaki,1993:80).
Puisi Saudara Kembar memiliki rima dengan berpola:
tiba-tiba a
sebagai kilat b
cermin di tangannya a
mengingatkan dia a
kepada lubuk laut lain c
di mana ia pernah menjenguk d
dan berjumpa dengan gambar muka a
(seperti saudara kembar) e
begitu serupa a
tercipta dari ilham yang sama a
ia tidak bertukar kata a
hanya tahu f
ia ditunggu sejak dulu f
rindu yang dahsyat b
lalu membuatnya berpaling g
Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22). Pada baris puisi Bima terdapat persamaan bunyi yang menambah suasana yang terjadi di dalamnya. Pada baris ketiga dan keempat terdapat persamaan bunyi a.
cermin di tangannya mengingatkan dia
Kombinasi bunyi an dan a memberikan kesan berirama dan memperjelas suasana muram yang terjadi pada tokoh tersebut.
Persamaan bunyi a terdapat pada baris 9 dan 10 begitu serupa
tercipta dari ilham yang sama
Persamaan bunyi a pada baris tersebut menyebabkan berirama dan memberi kesan liris (penuh perasaan).
Kombinasi bunyi u terdapat pada baris 12 dan13 hanya tahu
ia ditunggu sejak dulu
tiba-tiba
karya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni “Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
Gila: ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci – setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis
Kalimat “agar bisa mendengar apa pun” dan “…baiknya apapun yang dibisikkannya” merupakan gaya bahasa sinekdoke. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagaian (totum pro parte) (Gorys Keraf, 2000: 142). Sinekdoke “agar bisa mendengar apa pun” menunjukkan semua atau seluruh hal yang dapat didengar. Pengunaan “apa pun” digunakan untuk mewakili bunyi, suara, yang berupa ucapan maupun perkataan baik dan buruk yang semua dapat diterima.
“Secara terperinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis” merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat, tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya (Gorys Keraf, 2000: 139). Kalimat “setiap kata, setiap huruf” berarti perkataan mengenai rangkaian proses hidup yang terdapat dalam kehidupan manusia di dunia. Kalimat “bahkan letupan dan desis” menyatakan proses yang melibatkan udara dan suara yang keluar atau yang dihasilkan. Udara dan suara merupakan tanda kehidupan.