• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA,

A. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi

4. Puisi Dewa Ruci

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya. Gila: ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun

secara terperinci – setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis

yang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.

Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri

4. Puisi Dewa Ruci

DEWA RUCI

karya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkan

Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu. Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima - Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu Yang lain tiada, kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku

dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu. a. Penggantian Arti

Pada bait pertama, kalimat “aku adalah engkau” merupakan gaya bahasa metafora. Metafora merupakan bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai laksana, seperti, dan sebagainya (Rahmat Djoko Pradopo, 1993:66). Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd dalam Rahmat Djoko Pradopo, 1993:66). Kalimat “aku adalah engkau” berarti si ‘aku’ seperti halnya si ‘engkau’ yang sama dalam bentuk maupun rupa. Kesamaan tersebut selain bersifat jasmani juga dalam sifat rohani.

Kalimat “Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu” merupakan gaya bahasa metafora. Naga diibaratkan sebagai cobaan atau kesukaran yang sangat berat. Kalimat ini berarti bahwa tokoh Bima telah berhasil menghadapi cobaan kesukaran berat yang menyelimuti batinnya. Dasar laut sebagai kiasan dasar perasaan yaitu batin

Pada bait kedua, “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” merupakan gaya bahasa metafora dan hiperbola. Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys Keraf, 2000: 135). Metafora “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” berarti ganjaran atau karunia yang diperoleh atas usaha atau pengorbanan yang telah dilakukan. Hiperbola “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” menyatakan

proses yang dilalui untuk mendapat anugerah dilakukan dengan sangat berat, harus ditebus atau diperoleh dengan pengorbanan besar dengan melewati penderitaan dan kesusahan.

Pada bait ketiga, kalimat “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” merupakan gaya bahasa hiperbola, personifikasi, dan metafora. Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Gorys Keraf, 2000:140). Metafora “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” berarti bahwa akhirnya kembali hidup dengan kesukaran dan cobaaan yang berat. Personifikasi “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” menyatakan tindakan bergulat atau bergelut dengan seekor naga, seperti kegiatan bergulat atau bergelut yang dilakukan oleh manusia, seakan-akan naga bisa bergulat atau bergelut seperti halnya manusia. Hiperbola dari “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” menyatakan perbuatan sangat berat yang harus dilakukan dengan diibaratkan bergulat dengan seekor naga.

b. Penyimpangan Arti Ambiguitas

Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215).

Kalimat “Aku adalah engkau yang telah mendamba” mempunyai arti si ‘aku’ adalah si ‘engkau’ yang sangat menginginkan sesuatu, mendambakan sesuatu, merindukan sesuatu, mengharapkan sesuatu. Kalimat “Yang lain tiada, kecuali aku” mempunyai arti tidak ada yang lain kecuali si ‘aku’, yang lain tidak mempunyai kepentingan kecuali si aku, tidak ada yang berkenan lainnya, tidak ada pihak atau makhluk lain, tidak ada yang menyamai, bersifat tunggal.

Kalimat “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” mempunyai arti hidup selamanya bergumul atau bergelut dengan naga, hidup selamanya dengan kesukaran, hidup dengan penuh rintangan, hidup penuh dengan kesusahan, hidup dengan penuh penderitaan, hidup dengan penuh perjuangan, hidup dengan penuh kesulitan.

Kontradiksi

Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215-216).

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima - Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu

Pada baris tersebut terjadi peritiwa ketika tokoh Bima menyangkal bahwa bukan si ‘aku’ yang tokoh Bima cari, namun kenyataannya bahwa si ‘aku’ yang tokoh Bima temukan. Dan ternyata, si ‘aku’ merupakan anegerah

bagi tokoh Bima. Hal itu merupakan permulaan yang ironis (bertentangan) bagi tokoh Bima.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

Baris tersebut menyatakan bahwa tokoh Bima menanyakan guna atau manfaat dari tokoh Bima mendapatkan si ‘aku’. Si ‘aku’ menerangkan bahwa kegunaan tersebut adalah untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa. Jawaban yang keluar tersebut tidak sesuai dengan kenyataan bahwa semestinya ketika orang menanyakan manfaat atau kegunaan maka semestinya dijawab dengan jelas manfaat atau kegunaan baiknya bagi orang yang bertanya. Dengan memperoleh jawaban yang jelas, maka orang mudah menerima atau memahami.

Nonsense

Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219). Pada puisi Telinga tidak terdapat nonsense (kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti).

c. Penciptaan Arti

Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di antaranya yaitu simitri (keseimbangan), rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan kata/frase di ujung baris dan meletakkan

sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait sajak), atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).

Puisi Dewa Ruci terdiri dari tiga bait. Tiap bait dalam puisi Dewa Ruci mempunyai jumlah baris yang sama yaitu terdiri dari empat baris. Puisi Dewa Ruci mempunyai rima yang tiap baitnya berbeda.

Biasanya rima ditandai dengan abjad, misal: ab-ab; cde-cde; a-a, dan lain-lain. Penandaan selalu dimulai dengan huruf a, dan setiap bunyi berikutnya yang berbeda ditandai dengan urutan abjad: b, c, d, e dan seterusnya (Atmazaki,1993:80). Puisi Dewa Ruci berima dengan pola sebagi berikut.

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci a

- Aku adalah engkau yang telah mendamba b

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkan c

Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu. d

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima a

- Tapi akulah yang kau temukan c

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu d

Yang lain tiada, kecuali aku. d

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima a

- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa a

kau dapat menerima atau menolakku d

dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu. d

Bait pertama berima dengan pola ab-cd, bait kedua berima dengan pola ac-dd, dan bait ketiga berima dengan pola aa-dd. Pada bait pertama, terdapat penggunaan kata ganti orang yaitu ‘engkau’ yang menonjol yang memberi arti untuk mempertegas bentuk individu yang ada dalam puisi Dewa Ruci.

Pada bait kedua, juga terdapat penggunaan kata ganti orang yaitu ‘kau’ dan ‘aku’ yang menonjol. Penggunaan tersebut untuk mempertegas

bentuk individu (personal) yang ada dalam puisi Dewa Ruci. Adanya penggunaan kata ‘yang’ yang diulang pada baris ke-1, ke-2, ke-3 memberi kesan berirama dan menjelaskan kata sebelumnya.

Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22). Variasi bunyi t dalam baris ketiga “….. dinista, ditipu dan disesatkan”, menciptakan arti memperkeras suasana dan keadaaan yang tidak menyenangkan.

Pada bait ketiga, bunyi a tampak dominan. Bahkan hampir di tiap baris terdapat bunyi a. Terdapat bentuk asonansi bunyi a, yang terdapat pada: Apa gunanya saya … dan segala-galanya… apa-apa.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku

dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

Bunyi a yang dominan dan bentuk asonansi bunyi a memberi kesan berirama dan membuat liris (penuh perasaan). Homologues terdapat pada bait ketiga baris ke-2 dan ke-3.

- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa kau dapat menerima atau menolakku

Dari persejajaran bentuk tersebut menimbulkan persejajaran arti bahwa dengan menerima hal itu dapat digunakan untuk menghadapi segala bentuk permasalahan yang datang sehingga bisa mendapatkan penyelesaian, namun juga bisa untuk tidak mempergunakannya.

Puisi Dewa Ruci tersebut penuh dengan keseimbangan (simitri). Keseimbangan tersebut terdapat pada rima akhirnya, baris-baris dalam baitnya, dan antar bait yang satu dengan bait yang lain. Baris dan bait puisi Dewa Ruci tersusun dalam bentuk yang rapi. Hal ini menyiratkan suasana dialog antara tokoh Bima dan Dewa Ruci yang nyaman dan kondusif.

Puisi Dewa Ruci berbentuk dialog, yaitu dialog Sang Bima dan Dewa Ruci. Puisi Dewa Ruci memiliki tipografi yang dibuat seimbang dan teratur. Pemakaian jumlah baris dan pengaturannya dalam tiap bait seimbang, sehingga secara visual tipografi puisi Dewa Ruci terlihat rata. Hal ini melukiskan bahwa dialog atau percakapan antara tokoh Bima dan Dewa Ruci terbentuk keteraturan dan keselarasan suasana.

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkan

Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu. Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima - Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu Yang lain tiada, kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku

Dokumen terkait