• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN PENELITIAN TERDAHULU - Mantra Melaut pada Suku Melayu Aras Kabu: Interpretasi Semiotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN PENELITIAN TERDAHULU - Mantra Melaut pada Suku Melayu Aras Kabu: Interpretasi Semiotika"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN PENELITIAN TERDAHULU

Mantra melaut dalam kebudayaan etnik Melayu, khususnya di Desa Aras Kabu, Kabupaten Deli Serdang adalah bahagian dari tradisi masyarakatnya. Mantra melaut ini memiliki kaitan erat dengan upacara atau ritual, tradisi lisan (termasuk sastra lisan), dan kearifan lokal. Di dalam mantra melaut ini terdapat makna-makna bahasa yang bisa dimenggerti dengan jalan menafsirkan berdasarkan kebudayaan di mana mantar ini hidup. Untuk kepentingan tersebut, secara saintifik perlu dijelaskan teori semiotika. Pada Bab II ini akan diuraikan konsep-konsep tersebut di atas, serta tinjauan teori semiotika, dan peneltiian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian ini yang telah dilakukan oleh para penulis atau peneliti.

2.1Pengertian Mantra

Mantra adalah salah wujud kebudayaan yang umum dijumpai di Nusantara ini. Mantra selalu menggunakan bahasa verbal dan juga pilihan kata yang khas, yang maknanya baru dapat diketahui melalui pembacaan kultural dan saintifik secara mendalam, berdasarkan kebudayaan di mana mantra itu hidup.

(2)

berbagai etnik lainnya di Nusantara ini terdapat mantra-mantra yang khas kebudayaan setempat. Bagaimanapun, mantra ini berkait erat dengan sistem religi dan kosmologi yang dipercayai dalam suatu kebudayaan etnik.

Menurut Haron Daud (2001:21) mantra ialah semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau bahasa berirama, yang mengandung unsur magis dan diamalkan oleh orang tertentu, terutama bomoh,2

Mantra dipercayai berasal dari arwah leluhur.

dengan tujuan kebaikan atau sebaliknya. Mantra itu mempunyai simbol tersendiri yang perlu diketahui untuk memahami mantra sebagai sastra lisan atau lebih tepat lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi menurut mereka, sebagai tradisi lisan, mantra sangat erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan hidup (world view) masyarakat di mana mantra itu wujud.

3

2

Di dalam kebudayaan masyarakat di Nusantara ini, istilah bomoh dalam bahasa Melayu ini, memiliki kaitan dengan peristilahan yang digunakan oleh berbagai etnik yang merujuk kepada pengertian yang sama atau hampir sama. Dalam bahasa batak Toba dikenal dengan datu atau datu bolon yang artinya adalah dukun atau dukun besar. Dalam kebudayaan masyarakat Mandailing dikenal dengan guru sibaso. Kemudian dalam masyarakat Karo dikenal dengan terminologi guru. Dalam masyarakat Sunda dan Jawa dikenal dengan istilah dukun atau mbah dukun. Selanjutnya pada masyarakat Nias dikenal dengan foere. Prinsipnya bomoh, dukun, atau istilah-istilah rersebut merujuk kepada seseorang yang menguasai mantra dan dapat memanfaatkannya dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya, yang melibatkan sistem religi dan kosmologi, yang berkaitan dan berhubungan dengan makhluk gaib. Pada masa sekarang ini, istilah bomoh atau dukun sering pula digeneralisasi dengan istilah paranormal sebagai unsur serapan yang berasal dari bahasa Inggris.

Kata-kata leluhur juga dianggap berasal dari Tuhan (Yang Maha Kuasa). Pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur melalui media komunikasi yang berbeda. Pada saat nenek moyang mengekspresikan artikulasi pesan Tuhan dalam formula lisan, maka pesan itu menjadi tuturan. Mantra kemudian menjadi sarana komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan makhluk supernatural, dan juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari

3

(3)

kuasa tersembunyi. Mengucapkan mantra atau formula dari leluhur akan dapat membangkitkan kekuatan spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang zaman dahulu kala (Kang, 2005:69).

Menurut Goffman (1979), mantra meliputi tiga tingkatan penutur: (a) Tuhan sebagai penutur tertinggi mantra, (b) leluhur sebagai penulis (author), dan (c) pelaku sekarang sebagai animator. Di luar perubahan penutur, mantra-mantra tetap efektif karena kata-kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan mengulang-ulang kata-kata itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan kreatif yang sama seperti ketika digunakan oleh para leluhur. Melalui kata-kata yang sama dengan yang diucapkan oleh para leluhur, orang dapat membawa kekuatan magis dalam konteks masa kini.

2.2Pengertian Ritual

Mantra melaut dalam budaya suku Melayu di Aras Kabu Deli Serdang dipraktikkan sebagai salah satu ritual (upacara). Untuk itu penting diuraikan pengertian ritual. Menurut pendapat Muhammad (2011:1) kata ritual secara etimologis berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara etimologis ritual merupakan ikatan kepercayaan antar orang yang diwujudkan dalam bentuk nilai, bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakat beragama.4

4

(4)

tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat. ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktikkan.

Menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) ritual dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia. Turner juga menjelaskan bahwa ritual memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut antara lain: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau kelompok. Ritual menjadi alat pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan bahwa ritual merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna, memiliki suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai fenomena budaya. Boleh dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang atau berbeda dalam praktik dan penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual dan agama, keduanya sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam praktik di kehidupan masyarakat atau individu penganut ritual tersebut.

(5)

peralatan ritual, dan yang penting adalah tujuan diadakannya ritual. Kegiatan ritual ini ada yang sifatnya kolosal, terbuka, dan umum. namun tidak jarang ritual ada juga yang sifatnya tertutup, hanya untuk kalangan tertentu saja, dan rahasia. namun demikian pola umum dari ritual ini adalah hamper sama dalam setiap kebudayaan manusia di dunia, seperti penulis uraikan di atas.

2.3 Pengertian Tradisi Lisan

Mantra Melaut etnik Melayu di Aras Kabu, dalam konteks pewarisannta adalah melalui tradisi yang disampaikan secara lisan, yaitu dari sumber kepada orang lain. Penyampaian mantra ini dilakukan dalam situasi tidak formal, tetapi informal, alamiah, dan apa adanya. Menurut Pudentia (2008) tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya sangat kompleks dan mengandung, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng,5

Menurut Dick van der Meij (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara tidak tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi, serta berbagai hasil seni.

5Mitos (myth) adala bahagian dari folklor (cerita rakyat). Dari bentuk atau genre

(6)

tertulis. Tradisi lisan merangkumi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang lain, sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya.

Sesungguhnya membicarakan suatu tradisi baik lisan maupun tulisan adalah suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar dibatasi batas waktunya.

Endaswara (2005) mengatakan tradisi lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Setidaknya ada enam ciri-ciri dari tradisi lisan, yaitu sebagai berikut. (1) Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional. (2) Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya. (3) Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik. (4) Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. (5) Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise. (6) Tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling berpengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para pemilik tradisi lisan juga adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan orang, apalagi generasi muda dan juga paling memahami pentingnya tradisi mereka.

(7)

merupakan respon terhadap alam yang menjadi bahagian penting dalam sistenm kosmolog Melayu. Selain itu, di dalam mantra melaut ini terkandung berbagai kearifan lokal suku Melayu Aras jabu, dan juga Melayu Serdang, Sunmatera Utara, dan Dunia Melayu.

2.4Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan.

Istilah lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai- nilai tersebut yang akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka

(8)

lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban.

Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2008), mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno, yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (Ridwan dalam http://ibda.files. wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf

(9)

terdapat dalam tradisi lisan dan cara mengungkapkannya, serta beberapa aspek metode penelitian tradisi lisan.

Lebih jauh Sibarani (2012:109-123) mengemukakan bahwa kearifan lokal telah lama menjadi bahan kajian dalam dunia filsafat. Kaum sofis sejak abad kelima Seb. M. Telah menamai dirinya sebagai sophist yang berarti orang yang bijaksana atau kaum yang arif. Awal kajian filsafat juga dilandasi oleh kajian mengenai kearifan atau kebijaksanaan. Saat itu kajian tentang kebijaksanaan dirasakan sangat penting untuk mengatur tata kehidupan manusia.

Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat pada dasarnya adalah kebenaran yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Kebenaran ini selanjutnya disebut dengan kebenaran pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan kearifan lokal merupakan kebenaran yang sesungguhnya karena benar-benar bermanfaat pada kehidupan manusia. Filsafat kemudian diartikan sebagai pencarian kebenaran sesungguhnya yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan manusia secara arif.

(10)

demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.

Menurut pendapat penulis, kearifan lokal juga terdapat di dalam konteks pengamalan mantra melaut dalam kebudayaan suku Melayu Serdang di Aras Kabu. Di antaranya adalah sebagaii berikut. (a) Terdapat kearifan lokal bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang harus mempertanggungjawabkan hidupnya nanti di hadapan Tuhan, (b) di dalamn mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini, terdapat sistem kosmologi, bahwa manusia adalah bahagian dari alam, jadi jangan mengeksploitasi alam berdasarkan keinginan manusia, tetapi pelihara keseimbangan dengan kepentingn makhluk-makhluk lain, (c) di dalam aktivitas mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini terdapat pula kearifan lokal tentang bagaimana cara menangkap ikan di laut dan memfungsikannya untuk kepentingan ekonomi nelayan, (d) adanya kearifan bagaimana bekerja secara berkelompok dan membentuk organisasi nelayan secara tradisional, yang merupakan ekspresi bahwa manusia termasuk nelayan adalah makhluk sosial, (e) di dalam mantra melaut ini terekspresi adat Melayu yang bersumber dari konsep adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, artinya orang Melayu adalah orang beradat yang mendasarkan kegiatannya menurut ajaran agama Islam yang dibumikan menurut keadaan budaya orang Melayu.

(11)

Begitu juga dapat dilihat melalui benda-benda budaya masyarakat Melayu seperti rumah, sampan kolek, perahu, ramuan rinjisan, tepung tawar, sirih genggam, tumbuk lada, keris, dan lain-lainnya. Kesemua ini dapat dilihat secara menyeluruh sebagai bahagian dari kearifan lokal etnik Melayu, termasuk melayu Serdang di Aras Kabu.

2.5 Semiotika

2.5.1 Pengertian Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ihnu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:l). Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Saussure seperti yang dikutip oleh Piliang (2003:256) mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.

Pada awalnya semiotika merupakan ilmu yang mempelajari setiap sistem tanda yang digunakan dalam masyarakat manusia. Dengan kata lain, semiotika adalah ilmu yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang berkaitan dengan makna tanda-tanda dan berdasarkan atas sistem tanda-tanda. Teeuw (1982:50) mengatakan bahwa semiotika merupakan tanda sebagai tindak komunikasi.

(12)

Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedangkan Peirce semiotika. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya.

Wardoyo (2005: l) mengatakan semiotics is the science of signs. Masalahnya adalah bagaimdna tanda (sign) dapat diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi sebuah tanda terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam semiotika, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan makna.

Dalam hubungannya dengan tanda, Saussure mempunyai peranan penting dalam mengidentifikasikan sebuah tanda. Saussure dalam Pilliang (2003:90) menjelaskan “tanda" sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda (signifier) dan petanda (signfied). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya kata “ayah” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti “orang tua laki-laki.”

Berkaitan dengan proses pertandaan seperti di atas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social cowention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004:90).

(13)

tanda, maka terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified) atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbol (Zoest, 1993:23-24). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotika yang fundamental.

(14)

2.5.2 Teori dan Metode Semiotika Michael Riffaterre

Dalam menginterpretasikan makna lirik (tekstual) mantra melaut suku melayu Aras kabu ini, penulis menggunakan teori dan metode semiotika yang ditawarkan seorang ahli sastra yaitu Riffaterre. Menurutnya, sistem bahasa dan sastra merupakan dua aspek penting dalam semiotika. Karya sastra merupakan sistem tanda yang bermakna yang mempergunakan medium bahasa. Preminger (1974:981) mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem semiotika tingkat pertama yang sudah mempunyai arti (meaning). Dalarn karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotika tingkat kedua.

Riffaterre (1978:166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotika dari tanda ke tanda terjadi. Dalarn Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalaur pemaknaan puisi secara semiotika. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai berikut.

2.5.2.1 Ketidaklangsungan Ekspresi

(15)

langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005:124). Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penympangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).

(1) Penggantian arti (displacing of meaning). Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori. Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk manyebutkanhal yang bertautan dengannya.

(16)

Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Kedua kontradiksi berarti mengandung pertentangan dibebabkan oleh paradots dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran. Sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.

Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra atau puisi yang bergaya mantra. Salah satu contohnya adalah mantra melaut suku Melayu Aras Kabu yang fungsinya untuk mengatasi angin mati, seperti berikut.

Bismillah

Oiii.. sang penyejuk

Singgalah kau barang sekejap Bila tak hendak

Maka aku tahu asalmu jadi Berkat kata

Laillahaillah …

(17)

(3) Penciptaan arti (creating of meaning). Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjabement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini menrpakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Sebagai contoh adalah mantra melaut suku Melayu Aras Kabu berikut ini.

Bismillahirahmanirahim Raja Anggun

Raja Turun Raja Merurun Aaaa ...

Mantra di atas juga bisa berfirngsi untuk mengatasi badai laut. Pada akhir larik hanya terdapadat fonem /A/. Secara linguistik larik terakhir ini tidak memiliki arti. Namun, dalam kesatuan isi mantra "A" mengandung makna konotatif, yaitu sebuah perintah. Perintah itu ditujukan pada satu wujud yang tidak terlihat. Dalam mantra di atas, "A" diartikan dengan “kembalilah ke asalmu.”

Contoh lain adalah puisi “Tragedi Winka dan Sihka" karya Sutardji Calzoum Bachri. Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zigg-zag. Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metatesis, secara Iinguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu. Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif yaitu perkawinan itu menimbulkan angan-angan hidup.

(18)

2.5.2.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Untuk dapat memberi makna secara semiotika, pertama kali dapat dilakukan dengan heuristik dan hermeneutik atau retoaktif (Riffaterre, 1978:5-6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.

Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.

Menurut Santosa (2004: 231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak gramatikal. HaI ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2005:135) memberi definisi parnbacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotika adalah berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat pertama.

(19)

Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (lihat Riffaterre, 1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut. (1) Membaca untuk arti biasa. (2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa. (3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks. (4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pemyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.

2.5.2.3 Matriks dan Model

(20)

Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogamatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.

2.5.2.4 Hubungan Intertekstual

Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begltu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga benrsatra menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980:l2). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra maka prinsip kesejarahan itu harus diperhatikan. Mantra melaut suku Melayu Aras Kabu misalnya, mantra ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya.

(21)

dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat kebudayaan, film, drama dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus.

Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar pencipkan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre (1978:1l) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983:65).

Julia Kristeva dalam Pradopo (2005: 132) mengemukakan bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan menfransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks lain.

2.5.3 Teori Semiotika Sosial

(22)

semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.

Bahasa adalah interaksi, dan semua interaksi adalah multimodal. Implikasinya adalah bahasa adalah semiotika multimodal karena merupakan tanda atau simbol yang dihasilkan dalam komunikasi manusia. Ilmu semiotika meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut baik tanda-tanda visual, tanda-tanda yang dapat berupa imaji dalam lukisan dan foto dalam seni dan fotografi, tanda pada kata-kata, bunyi-bunyi, imaji bahasa tubuh, ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-unsur komunikasi. Imaji adalah gambaran yang terbentuk dari sebuah objek visual. Gramatika didalam bahasa menjelaskan kata, klausa, frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan gramatika visual memperlihatkan orang, tempat, dan benda-benda dikombinasikan dengan kompleksitas dan perluasan penjelasan visual dari sebuah objek. Fokus gramatika visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara komposisi imaji yang digunakan untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress dan van Leeuwen, 1996:1).

Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of representing patterns of experience…. It enables human beings to build a mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on around them and inside them (Halliday, 1985: 101)

(23)

bahasa visual itu spesifik secara budaya, misalnya komunikasi visual dalam dunia barat berbeda dengan dalam dunia timur.

Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai sumber makna semiotika yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma-norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa melalui kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-nilai dan norma-norma dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Sebagai dampaknya nilai-nilai dan norma-norma kultural ini cenderung untuk berubah secara terus menerus, apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah, wilayah, dan negara menjadi tidak tampak.

Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa-peristiwa kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotika karena manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan interaksi dan komunikasi agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi tersebut. Supaya tanda itu bisa dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep yang universal untuk menghindari salah pengertian.

(24)

kostum (Bogatyrev). Setiap sistem-sistem semiotika dapat memenuhi fungsi komunikasi yang sama (fungsi refensial dan fungsi puitis).

Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer, fotografi (Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik (Frenault-Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran ini pada studi kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi, juga dikatakan post-strukturalisme. Istilah-istilah semiotika “langue” dan “parole,signifier” dan “signified,” “arbitrary” dan “motivated,” “sign”, “icons,” “indexes,” dan “symbols,” “syntagmatics” dan “paradigmatics.

Aliran ketiga dinamakan semiotika sosial social semiotics) yang diperkenalkan oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori linguistik Sistemik Fungsional (SFL). Semiotika sosial ini diterapkan pada kajian sastra oleh Threadgold, Thibault dan kawan-kawan, semiotika visual oleh O’Toole, Kress, van Leeuwen, musik oleh van Leeuwen dan sarana semiotika oleh Hodge dan Kress. Konsep semiotika sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut. Potensi arti dalam proses belajar menciptakan sistem bahasa sebagai sistem sosial yang terdiri atas struktur ideologi, budaya, situasi, semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau grafologi.

(25)

ditandai oleh perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini mengakibatkan setiap partisipan memahami secara maksimal. Partisipan yang mempunyai kekuasaan dapat memaksakan partisipan lain mengikuti interpretasi yang kuat dengan pemahaman yang maksimal, sehingga partisipan tersebut mampu melakukan atau menghasilkan pesan-pesan terbaik dengan usaha yang maksimal untuk memberi interpretasi. Sebaliknya partisipan yang tidak mempunyai kekuasaan harus bekerja keras untuk memahami pesan-pesan penting tersebut secara maksimal. Yang kedua, representasi memerlukan pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk ekspresi yang ada didalam pikiran mereka, membentuk pandangan apa yang menurut mereka cocok pada tempatnya dan dapat dipercayai pada konteks yang diberikan.

Menurut Halliday (1978) bahasa adalah suatu sistem semiotika sosial. Sistem semiotika bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotika. Terdapat tiga (3) hal penting sistem komunikasi bahasa menurut Halliday (1985), yaitu metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Metafungsi ideasional merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di luar khususnya sebagai sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara internal maupun eksternal.

(26)

Tabel2.1. Hubungan struktur Semiotika Situasi dengan Komponen Fungsi Semantik

Semiotic structures associated with functional component

of situation of semantics

field (type of social action) experiential tenor (role relationships) interpersonal mode (symbolic organization) textual

Prinsip semiotika sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna semiotika baik berupa ungkapan verbal dan visual seperti imaji, tanda atau simbol, seperti berikut. (1) Imaji yang terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi mantra melaut tersebut, (2) Pola semiotika (tanda atau simbol) yang terdapat pada mantra ritual mantra melaut yang mencerminkan simbol gaib dan magis. (3) Tanda dan simbol digunakan pada ritual mantra melaut, untuk menjelaskan praktik berbahasa pada masyarakat suku Melayu Aras Kabu. (4) Ungkapan yang dituturkan oleh setiap nelayan sebagai mantra melaut.

Dalam menganalisis aktivitas sosial tradisi mantra melaut ini akan digunakan teori semiotika multimodal dan teori semiotika yang dikemukan oleh Charles Sanders Peirce. Semua interaksi disebut multimodal. Setiap berinteraksi oral manusia secara otomatis mendengar suara prosodik, intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling berpandangan atau menatap, kita memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara During interaction, (1) you’re aware of your friends’ spoken language in order to hear

the verbal choices, the content, the prosody and the pitch, (2) aware of facial

expression, clothing, standing/sitting, nodding/leaning back or forward, 3) aware of

(27)

Teori semiotika multimodal lebih dikenal dengan nama analisis multimodal. Analisis multimodal mengungkapkan representasi visual dan verbal bahasa dan menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress dan van Leeuwen (2006: 178) “multimodal texts”, i.e. “any text whose meanings are realized through more than one semiotic code”. Analisis multimodal dapat diintegrasikan dengan analisis kode semiotika bahasa misalnya dengan aspek metafungsi bahasa untuk menjelaskan bagaimana gramatika dapat menjelaskan ekspresi efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal dalam teks multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada disain visual tanda baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan komunikasi lainnya. Semua aspek multimodal ini potensi menjadi sumberdaya semiotika mendekorasi suatu komunikasi untuk menunjukkan potensi penguatan wacana sebagai suatu semiotika sosial.

Menurut Sinar (2011, 2012) di dalam analisis multimodal, teks-teks dianalisis dan dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal tetapi juga teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat pada iklan media cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis kecenderungan analisis multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul dalam teks dianalisis seluruhnya secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotika kebahasaan maupun aspek dan unsur semiotika non-kebahasaan. Yang terakhir ini lazim disebut sebagai aspek dan unsur yang dikategorikan sebagai visual representation (lihat misalnya Kress dan Leeuwen 1996).

(28)

tetapi juga pada teks multi-semiotika. Interaksi langsung diciptakan melalui tatapan mata seperti pernyataan Kress and van Leeuwen (2006: 116-124) ‘the gaze’ as a central aspect of the interpersonal metafunction establishing interaction between the

participants in the communicative act. Dalam sebuah tayangan, jika pelibat teks sebagai imaji menatapkan mata langsung kepada kamera, maka tatapan tersebut langsung tepat pada mata para penyaksi teks visual, sebagai efeknya hal ini menumbuhkan suatu garis hubungan ‘connecting the participant’s sight line with the viewers’ sehingga pembaca atau penyaksi teks mempunyai interpretasi bahwa imagi membalas tatapan matanya. Analisis ini disebut dengan ‘salience’ (Kress dan van Leeuwen, 2006: 201-203). Salience dari bagian kepala adalah bagian utama yang menghasilkan jarak sosial keakraban antara sender dengan penyaksi dan pembaca dibandingkan bahagian lain dalam tubuh imaji. Tatapan mata menekankan mereka diletakkan dalam ruang luas dan kosong, wajah sekaligus memperoleh salience di dalam lingkup wajah yang juga menanti respon dari penyaksinya. Peran sekunder imaji juga memperlihatkan objek-objek pendukung seperti sarung tangan, topi, sepatu but, jilbab, scarf, bandana, saputangan, dll yang mengekspresikan hubungan eksplisit sebagai pembuat makna atau ‘meaning-maker’ yang tujuannya untuk menjelaskan setiap kekosongan informasi yang bersifat interpretasi atau “interpretive gaps” (lihat juga Baumgarten 2008).

(29)

2.5.4 Teori Semiotika Peirce

Teori semiotika model Peirce disebut sebagai semiotika pragmatik karena bertolak dari wujud luar tanda yang dapat diindera manusia (representamen) (Hoed, 2001:87). Alasan memilih pendekatan teori Peirce digunakan adalah untuk melihat tanda, simbol, dan hubungan bahasa dengan konteks dalam peralatan pembuatan lukah dan teks mantra ritual lukah gilo. Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic), yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan ditandai (Christomy, 2004:16). Dikaitkan dengan data penelitian ini, proses pemaknaan triadic ini yang dinamakan semiosis. Setiap tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya, sebagai mediator antara objek dan interpretan. Cara Peirce melihat realitas dalam tiga kemungkinan itu sangat penting untuk memahami jargon-jargon lainnya.

(30)

Tabel 2.2. Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce (proposisi atau dicent) Ketigaan

(31)

menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang sedang dibawa ke rumah sakit. (8) Rhematic Symbol atau Symbol Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau. (9) Dicent Symbol atau Proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata, “Pergi!”, penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta kita pergi. (10) Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. (Sobur, 2004:42-43)

Bagi Peirce, semiotis dapat menggunakan tanda apa saja (linguistis, visual, ruang, perilaku) sepanjang memenuhi syarat untuk sebuah tanda. Dengan demikian, sebuah tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan.

(32)

Bagan 2.1

Tiga Dimensi Tanda oleh Peirce

(dalam Christomy, 2004:117)

Representamen (R)

Interpretan (I) Objek (O)

(33)

2.5.5 Rangkuman Tiga Teori Semiotika untuk menganalisis Mantra Melaut

Dari uraian-uraian seperti di atas, maka sebenarnya semiotika itu sebuah teori yang luas dan digeluti oleh para ahli dan berbagai bidang disiplin ilmu. Namun inti dari teori semiotika ini adalah mengkaji tanda-tanda yang ternyata sangat kompleks dan rumit. Untuk itu setiap pengkaji yang menggunakan teori semiotika ini perlu untuk memahami seiotika apa yang sesuai untuk mengkaji pokok masalah penelitiannya.

Seperti diketahui bahwa keberadaan mantra melaut di dalam kebudayaan suku Melayu Serdang di Aras Kabu mencakup berbagai hal. Mantra itu sendiri adalah sebagai budaya lirik (sastra) yang di dlaam lirik tersebut mengandung makna-makna. Untuk menganalisis mantra melaut dalam bentuk lirik ini, penulis menggunakan teori semiotika yang ditawarkan Riffaterre. Dalam semiotika Riffaterre ini penulis akan melakukan kajian dalam empat tahap: (a) kitadaklangsungan ekspresi dalam mantra melaut; (b) pembacaan heuristik, yaitu pembacaan tingkat pertama yang merupakan kajian terhadap makna-makana bahasa terutama kosa kata dan frase mantra melaut, dilanjutkan ke pembacaan hermeneutik yaitu menginterpretasi atau menafsirkan makna-makna yang terdapat dalam teks mantra melaut tersebut; (c) mencari dan menggambarkan matriks dan model mantra melaut; dan (d) melkukan kajian terhadap hubungan intertekstual mantra melaut dengan berbagai mantra dan tradisi sastra lainnya di dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu Deli Serdang.

(34)

sosial ini, penulis (peneliti) menggunakan teori semiotik sosial yang ditawarkan oleh Halliday dan semiotika multimodal Peirce.

Pada dasarnya penggunaan semiotika sosial pada penelitian terhadap aktivitas sosial mantra melaut pada budaya Melayu Aras Kabu adalah untuk mengungkap makna semiotika baik berupa ungkapan verbal dan visual. Ungkapan ini berupa (1) Imaji yang terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi mantra melaut tersebut, seperti sampan, dayung, pakian, makanan persiapan ke laut, alat penangkap ikan, dan lainnya, (2) Pola semiotika (tanda atau simbol) yang terdapat pada mantra ritual mantra melaut yang mencerminkan simbol gaib dan magis, seperti yang terkandung dalam sistem kosmologi Melayu yaitu adanya makhluk gaib mambang hitam, mambang kuning, mambang hijau, jembalang, jin, juga Nabi Khaidir, dan lain-lain. (3) Tanda dan simbol digunakan pada ritual mantra melaut, untuk menjelaskan praktik berbahasa pada masyarakat suku Melayu Aras Kabu. (4) Ungkapan yang dituturkan oleh setiap nelayan sebagai mantra melaut. Dalam menggunakan teori semiotika sosial Halliday ini, karena untuk aspek lirik (verbal) dibedah dengan semiotikanya Riffaterre, maka dalam semiotika sosial mantra melaut difokuskan kepada interpretasi visual dan segala perilaku nelayan.

(35)

semiotika yang penulis gunakan dalam mengkaji tradisi lisan mantra melaut dalam kebudayaan suku Melayu di Ras Kabu adalah sebagai berikut.

Bagan 2.2

(36)

2.6 Penelitian Sebelumnya

Secara keilmuan, banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevansi dengan penelitian ini, maka pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil beberapa penelitian pada bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, seperti yang diuraikan berikut ini.

(1) Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk (2008) dengan judul penelitian Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal yang bertemakan “Mendayagunakan

Kearifan Lokal,” Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan Sumber

Daya Alam. Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan terhadap eksistensi kearifan lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat terhadap akses sumber daya alam serta memahami posisi dan kapasitas hukum adat dalam politik pembangunan hukum di Indonesia dalam perspektif antropologi hukum.

Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana pengalaman empiris masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang di atas dan di bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan lokal. Kemudian mendeskripsikan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan berdasarkan kearifan lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah dan cenderung merusak sumber daya pesisir dan lautan.

(37)

sedikit mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini lebih sering satu hari saja. Faktor penyebabnya adalah finansial dan efektivitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan.

Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata. Penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon pada komunitas remaja di Padangsidimpuan, karena faktor internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak memahami upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan dan kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat. Remaja jarang mendengar leksikon pronominal dan tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untu mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.

(3) Penelitian Yunita (2011) yang bertajuk Analisis Semiotika Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi

(38)

semiotika yang terdiri atas mantra itu sendiri sebagai penanda dan suatu persembahan kepada makhluk gaib, semoga pemohon mendapat perlindungan dari segala kejahatan, baik kejahatan yang tampak oleh mata, maupun kejahatan yang kasat mata.

(4) Penelitian Daud (2001), mengenai Mantra Melayu Analisis Pemikiran, menjelaskan bahwa mantra Melayu memang mempunyai banyak fungsi dan digunakan dalam hampir semua aspek hidup individu dan kelompok masyarakat, khususnya untuk kesejahteraan dan keselamatan. Di samping sifatnya yang fungsional, keberkesanan sebuah mantra itu menjamin kedudukan dan pengekalannya dalam masyarakat. Mantra menjadi berkesan karena adanya kuasa magik dan kepadatan serta ketepatan kata dengan suatu maksud, sama ada secara nyata atau simbolik. Ketepatan itu penting untuk memudahkan pengamal berinterakasi dengan Allah, makhluk gaib, roh seseorang dan sebagainya. Mantra sebagai pernyataan sastra memang mempunyai nilai estetik, terutama, apabila dibaca menimbulkan irama yang menarik karena terdapatnya pola rima, aliterasi, asonansi dan perulangan berupa anafora, epifora, dan lain-lain. Dari segi lain mantra dengan jelas memancarkan world-view dan pemikiran orang Melayu berhubung dengan kosmologi, kepercayaan warisan, ketuhanan, makhluk gaib, hakikat diri dan lain-lain. Sehubungan itu mantra memang boleh diterima sebagai dokumen sosiobudaya dan sukar ditandingi karya-karya lain dalam memberikan gambaran tentang masyarakat Melayu.

(39)

hal demikian, masyarakat tradisional di Nusantara memang terlebih dahulu mendayagunakan bahasa lisan (orality) sebagai medium pengucapan sastra dari bahasa tulis (literacy) yang baru dikenal dan digunakan kemudian secara intensif sekitar abad ke-19.

Mantra oleh para pakar dan pengamat kebudayaan, dianggap sebagai susastra yang paling awal dikenal oleh manusia. Sastra lisan mantra dapat dikategorikan sebagai sastra lama atau sastra tradisional. Sastra lama dapat berbentuk puisi dan prosa. Jenis sastra yang termasuk jenis puisi ini misalnya, mantra, pantun, syair, dan lain-lain. Masyarakat tradisional bahkan hingga kini, mantra dan segala aspek yang berhubungan dengannya masih berperanan dalam sebagian kegiatan hidup masyarakat.

(40)

kebudayaan Melayu memberikan gambaran bagaimana sistem kosmologi yang terdapat di dalam kebudayaan Melayu. Kosmologi ini mencakup alam nyata dan faktual dan juga alam gaib. Dalam kedua mantra ini terdapat kesamaan perlunya menjaga keseimbangan antara dunia darat, laut, nyata, dan gaib, dengan dipandu oleh ajaran-ajaran agama Allah.

(7) Chalida Fachruddin menuis disertasi doktor filsafat (falsafah) yang bertajuk Labuhan Deli: Organisasi Sosial Sebuah Komuniti Melayu di Sumatera Utara, 1998. Disertasi ini diajukan ke Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia. Disertasi ini secara umum menganalisis keberadaan masyarakat nelayan Melayu di Labuhan Deli Sumatera Utara. Pendekatan keilmuan yang digunakan oleh Chalida Fachruddin sepenuhnya adalah antropologi dengan menyoroti tentang sejarah orang Melayu di Sumatera Utara, mendeskripsikan budaya yang merangkumi organisasi dan institusi sosial masyarakat Melayu dari segi ekonomi, kekerabatan, keagamaan, dan kepemimpinan, serta membicarakan sejauh mana orang Melayu telah diintegrasikan ke dalam sistem nasional Indonesia sebagai negara yang sedang membangun. Bagaimanapun disertasi ini sangat membantu pemahaman penulis tentang organisasi sosial dan ekonomi masyarakat nelayannya di Sumatera Utara, khususnya di Labuhan Deli. Permasalah yang dihadapi nelayan di kawasan ini sama juga dengan yang terjadi di Aras Kabu Deli Serdang. Namun dalam penelitian ini penulis lebih jauh akan mengkaji mantra melaut, tidak sebatas memerikan kondisi organisasi sosial dan ekonomi nelayan saja.

(41)

Gambar

Tabel 2.2.           Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 4 variabel yang diduga berhubungan, terdapat 2 variabel yang berhubungan dengan kejadian depresi post partum yaitu

Ø Bormann menyatakan bahwa Teori Konvergensi Simbolik adalah teori umum(general theory) yang mengupas tentang fenomena pertukaran pesan yang memunculkan kesadaran

Oleh karena itu, penelitian ini berjudul “ Analisis Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Social Resposibility Terhadap Tindakan Pajak Agresif Pada Perusahaan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam penegakan tindak pidana

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang berarti pada pemahaman bacaan dari teks descriptive siswa kelas sepuluh MA NU Nurul Ulum

Oleh karena itu, sebagian pejantan sapi PO yang saat ini ada di Lolitsapi merupakan sapi generasi keempat (F4) untuk dapat dicalonkan sebagai galur baru sapi PO yang spesifik

Alhamdulillah, praise be to God for blessing and giving favor to the writer, so the writer finally accomplished this skripsi entitled “ Improving the Speaking Ability of the

Hasil penelitian ini mengidikasikan bahwa terdapat tidak terdapat perbedaan antara Abnormal Stock Return (ASR) sebelum dengan Abnormal Stock Return (ASR)