• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN PENELITIAN TERDAHULU

2.6 Penelitian Sebelumnya

Secara keilmuan, banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevansi dengan penelitian ini, maka pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil beberapa penelitian pada bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, seperti yang diuraikan berikut ini.

(1) Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk (2008) dengan judul penelitian

Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal yang bertemakan “Mendayagunakan Kearifan Lokal,” Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan terhadap eksistensi kearifan lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat terhadap akses sumber daya alam serta memahami posisi dan kapasitas hukum adat dalam politik pembangunan hukum di Indonesia dalam perspektif antropologi hukum.

Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana pengalaman empiris masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang di atas dan di bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan lokal. Kemudian mendeskripsikan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan berdasarkan kearifan lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah dan cenderung merusak sumber daya pesisir dan lautan.

(2) Penelitian Amri (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan, hasil penelitiannya adalah tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat. Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi

sedikit mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini lebih sering satu hari saja. Faktor penyebabnya adalah finansial dan efektivitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan.

Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata. Penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon pada komunitas remaja di Padangsidimpuan, karena faktor internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak memahami upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan dan kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat. Remaja jarang mendengar leksikon pronominal dan tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untu mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.

(3) Penelitian Yunita (2011) yang bertajuk Analisis Semiotika Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara, hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra pagar diri merupakan salah satu mantra yang termasuk ke dalam tradisi lisan yang perkembangannya dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Mantra pagar diri tidak pernah dibukukan, sehingga dalam pelaksanaannya selalu mengalami perbedaan walaupun mereka seketurunan. Kearifan lokal yang terdapat dalam mantra ritual pagar diri dapat dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta dan alam kesadaran manusia yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal juga terdapat dalam mantra-mantra, jampi-jampi, nyanyian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno dan sebagainya. Interpretasi mantra yang digunakan dalam ritual pagar diri merupakan

semiotika yang terdiri atas mantra itu sendiri sebagai penanda dan suatu persembahan kepada makhluk gaib, semoga pemohon mendapat perlindungan dari segala kejahatan, baik kejahatan yang tampak oleh mata, maupun kejahatan yang kasat mata.

(4) Penelitian Daud (2001), mengenai Mantra Melayu Analisis Pemikiran, menjelaskan bahwa mantra Melayu memang mempunyai banyak fungsi dan digunakan dalam hampir semua aspek hidup individu dan kelompok masyarakat, khususnya untuk kesejahteraan dan keselamatan. Di samping sifatnya yang fungsional, keberkesanan sebuah mantra itu menjamin kedudukan dan pengekalannya dalam masyarakat. Mantra menjadi berkesan karena adanya kuasa magik dan kepadatan serta ketepatan kata dengan suatu maksud, sama ada secara nyata atau simbolik. Ketepatan itu penting untuk memudahkan pengamal berinterakasi dengan Allah, makhluk gaib, roh seseorang dan sebagainya. Mantra sebagai pernyataan sastra memang mempunyai nilai estetik, terutama, apabila dibaca menimbulkan irama yang menarik karena terdapatnya pola rima, aliterasi, asonansi dan perulangan berupa anafora, epifora, dan lain-lain. Dari segi lain mantra dengan jelas memancarkan world-view dan pemikiran orang Melayu berhubung dengan kosmologi, kepercayaan warisan, ketuhanan, makhluk gaib, hakikat diri dan lain-lain. Sehubungan itu mantra memang boleh diterima sebagai dokumen sosiobudaya dan sukar ditandingi karya-karya lain dalam memberikan gambaran tentang masyarakat Melayu.

(5) Penelitian mengenai mantra oleh Jalil, et al. (2008), menjelaskan bahwa mantra merupakan sastra lisan. Sastra lisan adalah susastra yang perkembangannya secara lisan atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan ini di Nusantara yang paling awal dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat tradisional, sebagian pakar lainnya menyebutnya dengan sastra rakyat atau sebagian lainnya mengelompokkan kepada tradisi lisan. Hal tersebut terkait dengan medium pengucapan sastra itu sendiri. Dalam

hal demikian, masyarakat tradisional di Nusantara memang terlebih dahulu mendayagunakan bahasa lisan (orality) sebagai medium pengucapan sastra dari bahasa tulis (literacy) yang baru dikenal dan digunakan kemudian secara intensif sekitar abad ke-19.

Mantra oleh para pakar dan pengamat kebudayaan, dianggap sebagai susastra yang paling awal dikenal oleh manusia. Sastra lisan mantra dapat dikategorikan sebagai sastra lama atau sastra tradisional. Sastra lama dapat berbentuk puisi dan prosa. Jenis sastra yang termasuk jenis puisi ini misalnya, mantra, pantun, syair, dan lain-lain. Masyarakat tradisional bahkan hingga kini, mantra dan segala aspek yang berhubungan dengannya masih berperanan dalam sebagian kegiatan hidup masyarakat.

(6) Penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini, adalah penelitian yang dilakukan oleh Wan Syaifudin (1999) dengan judul penelitian Tarian Lukah atau Jambang Lukah Menari. Hasil penelitiannya membahas mengenai ritual tarian lukah yang di masyarakat Melayu Pesisir Timur tepatnya pada masyarakat Melayu Pesisir Asahan, yang berkaitan dengan teks-teks atau mantra Tarian Lukah atau Jambang Lukah Menari. Selain itu, pada penelitiannya juga membahas mengenai paparan etnografi masyarakat Melayu Pesisir Asahan yang menghubungkan tradisi naratif suatu kebudayaan dalam kegiatan lisan khalayaknya dengan lembaga masyarakat. Buku ini memberikan wawasan kepada penulis, bagaimana mantra berfungsi dalam masyarakat nelayan di Asahan Sumatera Utara. Lukah atau bubu itu sendiri adalah salah satu alat penangkap ikan yang juga digunakan oleh para nelayan di Aras Kabu untuk menangkap ikan di laut. Begitu pula dengan penggunaan mantranya yang juga berkait dengan mantra melaut di Aras Kabu. keduanya merupakan doa kepada Tuhan tentang bagaimana menjaga hubungan manusia, alam, dan Tuhan, dalam konteks perekonomian rakyat. Antara mantra melaut dan mantra lukah menari di dalam

kebudayaan Melayu memberikan gambaran bagaimana sistem kosmologi yang terdapat di dalam kebudayaan Melayu. Kosmologi ini mencakup alam nyata dan faktual dan juga alam gaib. Dalam kedua mantra ini terdapat kesamaan perlunya menjaga keseimbangan antara dunia darat, laut, nyata, dan gaib, dengan dipandu oleh ajaran-ajaran agama Allah.

(7) Chalida Fachruddin menuis disertasi doktor filsafat (falsafah) yang bertajuk

Labuhan Deli: Organisasi Sosial Sebuah Komuniti Melayu di Sumatera Utara, 1998. Disertasi ini diajukan ke Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia. Disertasi ini secara umum menganalisis keberadaan masyarakat nelayan Melayu di Labuhan Deli Sumatera Utara. Pendekatan keilmuan yang digunakan oleh Chalida Fachruddin sepenuhnya adalah antropologi dengan menyoroti tentang sejarah orang Melayu di Sumatera Utara, mendeskripsikan budaya yang merangkumi organisasi dan institusi sosial masyarakat Melayu dari segi ekonomi, kekerabatan, keagamaan, dan kepemimpinan, serta membicarakan sejauh mana orang Melayu telah diintegrasikan ke dalam sistem nasional Indonesia sebagai negara yang sedang membangun. Bagaimanapun disertasi ini sangat membantu pemahaman penulis tentang organisasi sosial dan ekonomi masyarakat nelayannya di Sumatera Utara, khususnya di Labuhan Deli. Permasalah yang dihadapi nelayan di kawasan ini sama juga dengan yang terjadi di Aras Kabu Deli Serdang. Namun dalam penelitian ini penulis lebih jauh akan mengkaji mantra melaut, tidak sebatas memerikan kondisi organisasi sosial dan ekonomi nelayan saja.

(8) Penelitian lainnya yang secara saintifik berkaitan dengan topik penelitian penulis adalah yang dilakukan oleh Nurhayati Lubis. Penelitian yang ditulis dalam bentuk tesis ini, bertajuk Analisis Semiotika dalam Upacara Ritual Jamuan Laut di Jaring Halus, 2008. Tesis ini fokus mengkaji keberadaan upacara dan mantra yang

terjadi di dalam jamuan laut atau jamu laut yang umum dilakukan masyarakat Melayu di seluruh Dunia Melayu, termasuk yang terdapat di Jaring Halus, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Tesis ini berjumlah 93 halaman ditambah bahagian abstrak, kata pengantar dan lainnya, dibagi ke dalam lima bab. Fokus utama kajian skripsi ini adalah upacara atau ritual jamuan laut yang melibatkan pawang, tempat dan waktu upacara, masyarakat pendukung, kegiatan, persiapan, pasca upacara, makan bersama, dan lainnya. Sementara itu teori semiotika dari Umberto Uco, dioperasikan untuk mengkaji upacara dan mantra jamuan laut.

BAB III