• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Melalui Semiotik Peirce

ANALISIS SEMIOTIKA MANTRA MELAUT

5. Mantra Melaut (V) Oleh: Buyung

5.3 Analisis Melalui Semiotik Peirce

Melalui semiotik Peirce, maka penulis menganalisis aspek verbal yaitu mantera itu dari sisi intrinsik dan juga aspek nonverbal seperti visual, ruang, dan perilaku nelayan dalam pelaksanaan ritual mantra melaut ini. Di dalam pemaknaan tersebut penulis menggunakan tiga unsur semioti yang ditawarkan Peirce yaitu ikon, indeks, dan simbol atau lambang. Kemudian dimensi triadik yang ditawarkan oleh Peirce yaitu berupa representamen, objek, dan interpretasn. Representamen adalah sesuatu yang dapat dipersepsi, kemudian objek adalah sesuatu yang mengacu pada hal lain, dan representamen adalah sesuatu yang dapat diinterpretasi baik oleh masyarakat maupun peneliti.

Yang pertama adalah dari aspek verbal. Materi analisis adalah mantra melaut yang disajikan oleh Haji Amiruddin. Selengkapnya larik-larik atau baris mantra melaut itu adalah sebagai berikut.

1. Mantra Melaut (I) Oleh: Haji Amiruddin

Auzubillahiminas syaithonirrajim Bismillahi rahmanirrahim

Allahumma shali ala saidina Muhammad Wa ala ali syaidina Muhammad

Alhamdulillahi rabbil alamin Arrahmanirrahim

Maliki yaumiddin

Iyakanakbudu waiyakanastain Ihdinassirathal mustaqim Sirathalazina anamt ‘alaihim Ghairil maghdubi alaihim Waladhallin Amiin

Allahumma shali ala Saidina Muhammad Wa ala ali Saidina Muhammad

Allahumma shali ala Saidina Muhammad Wa ala ali Saidina Muhammad

Hai… kuala tempat berdiri bagai diarah bagai diiring Khaidir datanglah ke mari Ikan pun masuklah ke jaring

Hai… jembalang laut

Kami datang mencarilah ikan Tidak menggangu tempatnya tuan Harap kita terus berkawan

Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau, Ijinkan kami menangkap hasil laut

Pada sunnah Allah kami pun ikut Menjaga semua yang telah dianut

Semua itu berkat Laa ilaha ilallah Muhammadarrasulullah

Aaa ...

Dari aspek verbal atau bahasa, maka mantra melaut tersebut disusun dari kata-kata yang diatur baris demi baris. Pemilihan kata atau diksinya diambil dari bahasa Arab dan bahasa Melayu. Bahasa Arab yang diambil sebahagian besar berasal dari teks Al-Qur’an terutama Surat Al-Fatihah sebagai induk Qur’an (Ummul Qur’an). Sementara bahasa Melayu yang digunakan adalah bahasa khas mantra dan menggunakan unsur-unsur pantun seperti rima (persajakan), isi yang terbagi ke dalam stanza-stanza.

Dalam mantra di atas ada kata-kata yang memiliki makna ikon. Di antaranya Nabi Khaidir adalah ikon Nabi Allah yang memiliki ilmu yang relatif tinggi atas berkat rahmat Tuhan. Bahkan Nabi Musa pun pernah berguru kepada beliau. Dalam kepercayaan umat Islam Nabi Khaidir ini terus hidup sepanjang zaman sampai hari kiamat dan datangnya kembali Nabi Isa ke dunia. Khaidir adalah ikon hamba Allah yang pandai, bijaksana, dapat membaca tanda-tanda zaman, dan lain-lainnya.

Dalam mantra melaut ini terdapat pula contoh indeks, yaitu suatu kenyataan yang sebenarnya akan diikuti kenyataan lain. Misalnya ada asap tentu ada muasalnya yaitu api. Di dalam mantra ini contoh indeks adalah kuala tempat berdiri yang berupa daratan dan berbatasan langsung dengan lautan. Kuala adalah indeks dari nelayan yang tujuan

utamanya adalah melaut di lautan lepas. Kuala dan tangkahannya adalah tempat hubungan antara daratan dan lautan.

Selain itu terdapat juga terdapat istilah sunnah Allah atau hukum Tuhan, yang merupakan indeks dari apa yang seharusnya dilakukan manusia. Adanya hukum Tuhan yang diturunkan Tuhan ke atas bumi ini karena perlunya menjaga eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan. Dalam konsep ajaran agama Islam, Tuhan tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk berbakti kepada Allah. Jadi tujuan Allah menciptakan manusia itu adalah sesuai dengan kehendak Nya ada yang tidak mau mengikuti jalan Allah dan ada juga yang mengikutinya. Untuk itu diciptakan Tuhan sunnah atau hukum.

Dalam mantra verbal di atas terdapat juga simbol. Dalam hal ini berupa warna-warna dari mambang, yaitu mambang hitam, kuning, dan hijau. Dalam kebudayaan Melayu setiap warna mempunyai simbol sendiri. Warna hitam adalah warna kebijaksanaan yang berkaitan dengan harmoni alam. Kemudian warna kuning adalah warna dari kemegahan dan kekuasaan. Warna kuning melambangkan kekuatan suatu imperium atau kerajaan. Selanjutnya warna hijau adalah simbol dari kedamaian dan alam ini. Hijau simbol dari hukum alam yang diciptakan Tuhan.

Kemudian berdasarkan segitiga triadiknya Peirce, maka mantra melaut tersebut di atas memiliki representamen, objek, dan interpretannya sendiri. Representamen mantra melaut tersebut, di antaranya adalah sebagfai berikut. Jembalang laut dapat dipersepsikan sebagai makhluk gaib dalam sistem alam yang dipercayai orang Melayu. Demikian pula mambang hitam, mambang kuning, dan mambang hijau adalah representamen dari makhluk-makhluk gaib yang ada di lautan. Dalam membina hubungan antara manusia dengan makhluk gaib tadi tidak saling menggangu dan menjaga hubungan dalam hukum Tuhan.

Sedangkan obejk dari mantra tersebut antara lain adalah Khaidir adalah salah seorang nabi dalam sistem kepercayaan Islam. Namun demikian, Khaidir selain acuannya sebagai Nabi juga mengacu kepada Nabi yang bijaksana, pintar dan dikaruniai banyak ilmu. Ia juga sebagai penjaga lautan yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Khaidir juga adalah objek yang maknanya mengacu kepada Dunia Lautan, atau dunia pesisir.

Selain itu dalam mantra ini juga terdapat interpretan yang dapat diinterpretasi atau ditafsirkan baik oleh masyarakat pendukung mantra melaut itu atau juga para peneliti. Secara umum dalam mantra tersebut terkandung kepercayaan akan harmonisasi antara manusia (nelayan) dengan alam lingkungannya (laut, pantai, tangkahan, jembalang, mambang), dan tentu dengan Tuhan. Aspek mantra ini menggunakan unsur kebudayaan dan agama Islam sekali gus. Tujuan utamanya adalah memposisikan manusia sebagai makhluk yang mencari nafkah di laut dengan bertanggungjawab, tidak sembarangan mengeksploitasi alam, dan lain-lain.

Melihat dari teks yang dipergunakan yaitu diambil dari Al-Qur’an dan khususnya Surat Al-Fatihah, ini menunjukkan bahwa teks tersebut telah mengalami perpaduan antara budaya Melayu dengan ajaran-ajaran agama Islam. Teks ini memberikan daya dorong kepada semangat untuk mencari nafkat di laut tetapi tetap dengan menjaga keseimbangan alam, tidak merusakkannya.

Ayat suci Al-Qur’an yang diambil oleh para nelayan ini memberikan semangat, dengan cara menginternalisasikannya ke dalam diri sang nelayan itu. Ia memiliki kepercayaan dan kekuatan dalam rangka mencari ikan di laut. Ini bahagian dari memenuhi kebutuihan hidup mereka, dalam menafkahi kebutuhan keluarga dan lainnya. Mereka sadar dirinya sebagai nelayan adalah fitrah yang sudah digariskan Tuhan. Ayat-ayat Al-Qura’an tersebut terdiri dari berbuat karena Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ucapan terima kasih kepada Tuhan seluruh alam, termasuk lautan. Tuhan adalah penguasa

mutlak di hari pembalasan (selepas haria kiamat kelak). Hanya kepada Tuhan sang nelayan meminta perlindungan dan meminta pertolongan. Seperti pertolongan kepada orang-orang yang beriman sebelum mereka, dan bukan orang-orang yang dimurkai Tuhan.

Di dalam teks mantra ini juga terkandung puji-pujian kepada Nabi Muhammad yang mengindikasikan bahwa dalam kalangan umat Islam, Nabi Muhammad amatlah dicintai dan diharapkan syafaat (bantuan)nya kelak di waktu hari pembalasan. Nabi Muhammad lah yang mengenalkan sinar Islam kepada mereka. Demikian kira-kira tafsiran terhadap mantar melaut tersebut dengan pendekatan teori semiotiknya Peirce.

BAB VI