BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Teori Elit
Vilfredo Pareto (1848 - 1923) menggunakan kata elit untuk menjelaskan
adanya ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap lingkup kehidupan sosial
(T.B. Bottomore, 1996). Pareto percaya bahwa dalam setiap masyarakat
diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan
bagi kehidupan mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka
yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan terbaik.
Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang - orang yang berhasil
menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Lebih jauh, Paretto dalam
Bottomore (1996) membagi kelas elit kedalam dua kelas yaitu pertama, elit yang
memerintah (governing elite) yang terdiri dari individu - individu yang secara
langsung dan tidak langsung memainkan peranan yang besar dalam pemerintahan.
Kedua, elit yang tidak memerintah (non - governing elite). Jadi menurutnya,
dalam lapisan masyarakat memiliki dua lapisan, lapisan yang rendah dan lapisan
yang tinggi yang dibagi menjadi dua, elit yang memerintah dan elit yang tidak
memerintah.
Tak jauh berbeda dengan Pareto, Gaetano Mosca (1858 - 1941)
memberikan gagasan tentang elit bahwa dalam semua masyarakat selalu muncul
dua kelas, yaitu kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas yang
menguasai jumlahnya lebih sedikit, melaksanakan semua fungsi politik,
dikuasai jumlahnya lebih banyak, diperintah, dan dikendalikan oleh kelas yang
memerintah dengan cara yang masa kini kurang lebih legal diktatorial dan kejam
(T.B.Battomore, 1996). Mosca percaya bahwa yang membedakan karakteristik
elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik, sekali
kelas yang memrintah tersebut hilang kepercayaan dan orang – orang yang diluar
kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala
kemungkinan bahwa kelas berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh
penguasa yang baru. Kemudian, Bottomore (1996) menegaskan baik Preto,
maupun Mosca, keduanya memusatkan kajiannya pada elit dalam artian kelompok
orang yang secara langsung menggunakan atau berada dalam posisi memberikan
pengaruh yang sangat kuat terhadap penggunaan kekuatan politik.
Skema konseptual yang telah diwariskan oleh Pareto dan Mosca mencakup
gagasan – gagasan umum bahwa setiap masyarakat ada dan harus ada suatu
minoritas yang menguasai anggota masyarakat lain. Minoritas itu adalah adalah
kelas politik atau elit yang memerintah yang terdiri dari mereka yang menduduki
jabatan - jabatan komando politik dan secara lebih tersamar, mereka yang dapat
langsung mempengaruhi keputusan - keputusan politik. Dalam perspektif Pareto
maupun Mosca, elit menunjuk kepada sesuatu yang memerintah menjalankan
fungsi – fungsi sosial yang penting, dan mewakili dari sebagian dari nilai – nilai
sentral masyarakat. (Yusron,2009)
2.2. Teori Konflik
Permasalahan konflik sosial sangatlah konfleks untuk dibahas karena
telah banyak diungkapkan dan dirumuskan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam
kajian sosiologis misalnya, Coser dalam Poloma,1999 : 108) mengatakan bahwa
konflik adalah suatu bentuk interaksi yang bersifat instrumental sebagai upaya
untuk pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial supaya dapat
memperkuat identitas kelompok masing-masing sehingga tidak lebur kedalam
dunia sosial di sekelilingnya.
Berbeda dengan pandangan Coser yang berpijak pada paradigma
sosiologis, Maka dalam kajian antropologi, Persudi Suparlan (1999 : 7)
Mengatakan bahwa konflik adalah sebuah perjuangan individu atau kelompok
untuk memenangkan suatu tujuan yang diinginkan. Artinya setiap individu atau
kelompok mempunyai kepentingan yang ingin di capai melalui persaingan dan
perjuangan. Dalam perjuangan memperebutkan kepentingan tersebut, kadang kala
terjadi konflik antar individu atau kelompok karena mereka menempuh cara-cara
yang dipandang melanggar aturan.
Sedangkan William Chang (2003) mengatakan bahwa konflik merupakan
bagian dari kehidupan umat manusia yang tidak pernah dapat diatasi sepanjang
sejarah umat manusia. Sepanjang manusia masih hidup hampir mustahil untuk
menghilangkan konflik dimuka bumi ini. Konflik antar individu atau antar
kelompok merupakan bagian dari sejarah kehidupan umat manusia. Berbagai
macam keinginan dan perbedaan pandangan dapat menjadi faktor penyebab
terjadinya konflik dalam masyarakat. Walaupun pandangan Chang tersebut adalah
benar, tetapi tidak berarti kita harus pasrah membiarkan masyarakat saling
ilmuan sudah barang tentu kewajiban untuk senantiasa berupaya mengantisipasi
munculnya potensi dalam masyarakat.
Dalam kondisi sosial politik dan ekonomis indonesia yang kacau seperti
dewasa ini, setiap individu atau kelompok manusia senantiasa berjuang keras
untuk memenuhi keinginan, memperoleh sumber penghidupan yang memadai,
baik melalui sektor pertanian, perdagangan maupun melalui jabatan strategis
dalam pemerintahan. Dengan demikian, terjadilah persaingan atau kompetisi yang
ketat dan terkadang berupaya menghalalkan segala cara untuk mencapai
keinginannya. Upaya-upaya yang demikian sudah barang tentu bertentangan
dengan nilai dan norma sosial politik dan ekonomi yang berlaku dalam
masyarakat. Dengan demikian terjadilah akumulasi ketidakpuasan antara mereka
dan pada akhirnya menjelma menjadi potensi konflik dalam masyarakat.
2.3. Teori Pemekaran Wilayah
Sejarah pemekaran wilayah di indonesia sudah ada sejak Era perjuangan
kemerdekaan (1945-1949) kala itu indonesia memiliki 8 Propinsi yaitu sumatera,
Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku
dan sunda kecil. Pada masa itu pula, indonesia mengalami perubahan wilayah
akibat kembalinya belanda untuk menguasai indonesia dan sejumlah negara
-negara boneka”di bentuk Belanda dalam wilayah -negara Indonesia.
Hal ini terus berlanjut dengan di hadirkannya berbagai landasan
konstitusional produk politik penting yang memiliki kapasitas untuk membingkai
hubungan antara Jakarta dan daerah-daerah dalam keserasian dan keseimbangan.
memberikan kekuasaan politik kepada daerah-daerah untuk menentukan arah
politik lokal masing-masing. Kemudian, UU berikutnya diarahkan secara
langsung untuk mencapai sebuah format hubungan pusat –daerah yang ideal yakni
UU No 22 Tahun 1948, UU No .32 Tahun 1956, UU No 1 Tahun 1957, perpu No.
6 Tahun 1959 dan perpu No. 5 Tahun 1960 (Cormelis Lay, 2001 : 140).
Sejumlah penelitian yang lebih serius mengungkapkan hasrat-hasrat yang
tampaknya sparatis’sekaligus di ikuti oleh hasrat yang sama kuatnya untuk
menjadi bagian dari format negara kesatuan yang ada. Tidak mengherankan bila
penelitian Sjamsuddin pada tahun 1999 tentang Aceh , misalnya, sampai pada satu
kesimpulan bahwa apa yang terjadi disana adalah pemberontakan kaum
republican, jauh dari hasrat untuk memisahkan diri. (Lay, 2001 142)
Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat berbagai gerakan sparatis lebih
sebagai tindakan koreksi guna memaksa jakarta melakukan perubahan mendasar
format hubungan jakarta-daerah ketimbang sebuah hasrat pemisahan diri yang
memang dalam setiap gerakan separatis (Kahin, 1989).
Sulit di pastikan mengapa pemekaran wilayah yang terjadi semenjak
bergulirnya Otonomi daerah sering berakhir dengan kekerasan atau konflik.
Terkadang hasil dari pemekaran memunculkan kesenjangan kesejahteraan
masyarakat di wilayah yang akhirnya dibagi dua. Ada beberapa faktor yang
diduga telah menjadi penyebab mengapa konflik sering muncul ketika pemekaran
wilayah.
Setiap usulan mengenai pemekaran wilayah atau pembentukan propinsi
komitmen mayoritas warga, bukan semata-mata itikad ditingkat elit. Sadu
wasistiono mengatakan bahwa rencana pemekaran wilayah yang terus menembus
dalam era otonomi daerah ini, harus benar-benar diarahkan demi semakin
mendekatnya fungsi pelayanan birokrasi pemerintah daerah terhadap rakyatnya.
Karena tanpa hal itu, persepsi yang mengaitkan wacana pemekaran wilayah
sekedar euforia otonomi yang semata terkait dengan logika kekuasaan. Sadu
menambahkan bahwa setidaknya ada beberapa bagian untuk mengukur kelayakan
pemekaran wilayah yakni batas wilayah dan jumlah penduduk, potensi ekonomi,
sumber daya alamnya serta sumber daya manusianya (Pikiran rakyat 2004).
Batas wilayah, hal ini diyakini sebagai faktor penting dalam setiap usulan wacana
pemekaran wilayah, kemungkinan seperti ini harus tetap di amati karena beberapa
daerah yang dimekarkan selalu diperhadapkan oleh persoalan-persoalan
prosedural dari persyaratan pemekaran wilayah. Selain itu jika pemekaran wilayah
tidak melalui kajian yang tepat dan cermat serta komperehensif maka usulan
tersebut bisa saja di tunda. Alasannya adalah bahwa tujuan pemekaran wilayah
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan menghindari
terjadinya sentimen-sentimen etnisitas. Misalnya terjadi konflik antara daerah
dalam perebutan resources didalam satu kawasan.
Potensi ekonomi. Di dalam konsep otonomi daerah, pemekaran wilayah
harus bisa memberikan peluang yang sama terbuka untuk mengembangkan
kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi
ekonomi didaerahnya. Hal ini sangat penting, karena setiap daerah yang di
daerah (PAD) semakin mengalami penurunan setelah terjadinya pemekaran
wilayah.
Sumber daya alam, pengalihan kekuasaan secara besar-besaran kepada
daerah untuk sumber daya alamnya (SDA) akan dengan cepat menderivasi
keuntungan-keuntungan ekonomi jangka pendek yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Akan tetapi akan dibayar secara sangat mahal dalam jangka panjang.
Lalu eksploetasi SDA bisa saja akan mencapai sebuah fase tanpa kendali, kecuali
sebuah kesadaran baru secara sungguh-sungguh dikalangan pengambil
kebijaksanaan di daerah-daerah pemilik SDA.
Sumber daya manusia; Salah satu aspek penting yang sangat menentukan
kinerja pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah adalah pengembangan
kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Selain itu kompetensi dan profesionalisme pemerintah daerah perlu dibangun dan
peningkatan kemampuan pemda sangat bermanfaat dalam pembangunan daerah
terutama untuk mengembangkan investasi dan menciptakan iklim usaha yang
kondusif. Oleh karena itu dibutuhkan sumber daya manusia yang sesuai
kompetensi dan profesionalisme untuk memberikan kontribusi positif bagi daerah
yang dimekarkan.
Kondisi sosial politik; Banyak daerah yang dimekarkan ternyata tidak
melihat berdasarkan pertimbangan potensi ekonomi daerah yang dimiliki. Akan
tetapi pertimbangan politis selalu menjadi ancaman utama bagi daerah yang
dimekarkan. Hal itu disebabkan adanya segelintir elit yang semata-mata bertujuan
kekuasaan dibungkus dengan wacana keinginan untuk pelayanan birokrasi yang
efisien demi terjadinya pemekaran wilayah. ( Riadi, 2004 :205-207).
2.4.Pemekaran Kecamatan
Wacana Pemekaran Wilayah didasari oleh undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang pemerintah Daerah, pada pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa daerah
dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah. Norton dikutif dari Muluk
(2007) mengungkapkan bahwa penataan batas ini berkaitan dengan efisiensi
ekonomi dan efektivitas demokrasi. Pertimbangan efisiensi ekonomi yang
menjadi dasar bagi penentuan batas daerah meliputi beberapa hal:
a) Biaya perjalanan dan komunikasi yang rendah.
b) Sejauh mana pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan finansial, tanah
dan sumber daya lainnya dari dalam daerahnya sendiri sehingga meminimalkan
ketergantungan ekonomi.
c) Meminimalkan biaya akibat aktivitas suatu daerahnya yang ber-spill over.
d) Mempasilitasi kolaborasi dan koordinasi di antara pelayanan beberapa jenis
yang diberikan.
e) Menyesuaikan wilayah dengan bagian swasta, sukarela, dan publik beserta
kepentingan terkait untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi guna
kepentingan bersama.
Syarat pemekaran kecamatan berpedoman dari undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dipertegas dengan keputusan dalam
Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tentang pedoman pembentukan kecamatan yang
penduduk (b) luas wilayah (c) jumlah desa atau kelurahan. Ada beberapa tujuan
dibentuknya sebuah daerah baru atau dilakukannya pemekaran wilayah menurut
peraturan pemerintah No.129 Tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan
kriteria pemekaran dan pembentukan dan penggabungan daerah yaitu:
a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.
c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah.
d. Percepatan pengelolaan potensi daerah.
e. Peningkatan keamanan dan ketertiban.
f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Pemekaran merupakan istilah Indonesia untuk menyebut subdivisi
distrik-distrik dan Provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif
baru. Di Amerika Serikat istilah pemekaran “ redistricting” yaitu pembentukan
kembali distrik-distrik dan menyangkut politik pemilihan (Bernart, 2002:25).
Penggunaan istilah pemekaran tersebut tidak mengarah keluar dari sebuah sistem
Negara melainkan menambah subsistem dari Negara. Istilah pemekaran di
Indonesia lebih kongkrit di gunakan karena merujuk pada pemisahan dari tingkat
Provinsi menjadi Kabupaten atau dari Kabupaten menjadi Kecamatan.
Diskursus tentang pemekaran wilayah sudah mengkristal dan menjadi ide
dengan cepat di kalangan masyarakat Indonesia. Isu tersebut terus menggelinding
dalam zona politik lokal. Harus diakui bahwa ide tersebut muncul tidak terlepas
dari keinginan kuat masyarakat dan elit politik untuk mengadakan perubahan
2.5. Pemerintahan Daerah
Berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik
Indonesia. Sejak berlakunya undang-undang Republik indonesia Nomor 22 Tahun
1999 tentang pemerintah daerah yang selanjutnya diubah dengan undang-undang
Republik indonesia Nomor 32 tahun 2004, diharapkan dapat memberikan dampak
nyata yang luas terhadap peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat ke daerah yang memungkinkan adanya ruang
bagi daerah untuk berinovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik berkualitas
yang efesien dan efektif. Dalam desentralisasi tujuan yang ingin di capai adalah
pemberian pelayanan publik.
Menurut Kaho (1988 : 12) terdapat keuntungan yang diperoleh dalam
sistem desentralisasi antara lain
a. Mengurangi bertumpunya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutukan tindakan
yang cepat, daerah tidak perlu menunggu intruksi lagi pemerintahan pusat.
c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan
dapat segera dilaksanakan.
d. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensiasi) yang
lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan atau keperluan dan keadaan
khusus daerah.
e. Dengan adanya desentralisasis teritorial, daerah otonom dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di
seluruh wilayah Negara, sedangkan yang kurang baik dapat di batasi pada
suatu daerah tertentu saja oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan.
f. Mengurangi kemungkinan kesewenangan-wenangan dari pemerintah pusat.
Adanya desentralisasi menimbulkan adanya otonomi daerah. Di dalam
undang-undang No.22 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa otonomi daerah adalah
wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kemudian direvisi menjadi undang-undang 32 Tahun 2004
yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemeberdayaan dan
peran serta masyarakat dalam hal tersebut. Di samping itu melalui otonom luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
perinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keaneka ragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Menurut Kaho (1989 : 60) Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
otonomi daerah adalah fktor pertama yaitu manusia pelaksaannya harus baik
adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Manusia sebagai subjek dalam aktivitas pemerintahan. Faktor kedua adalah
keuangan yang baik, istilah keuangan disini mengandung arti setiap hak yang
berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah
uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan
peraturan yang berlaku. Faktor ketiga adalah peralatan yang cukup dan baik.
Pengertian peralatan disini adalah setiap benda atau alat dapat dipergunakan untuk
memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Faktor keempat adalah
organisasi dan manajemen yang baik. Organisasi yang dimaksudkan adalah
organisasi dalam arti struktur yaitu susunan yang terdiri dari satuan-satuan
organisasi beserta segenap pejabat, kekuasaan, tugasnya dan hubungannya satu
sama lain, dalam rangka mencapai sesuatu tujuan tertentu.
2.6. Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya dari pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti barang, jasa dan pelayanan
administrasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pengertian umum pelayanan
publik menurut keputusan Menteri pendaya gunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
selanjutnya dinyatakan bahwa penyelenggara pelayanan publik adalah intansi
Suryono (2001 : 54) menyebutkan terdapat lima perinsip dalam pelayanan
publik yaitu:
a. Akseptibilitas
Setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau oleh pengguna layanan, tempat,
jarak dan sistem pelayanan harus sedapat mungkin dekat dan mudah di jangkau
oleh pengguna layanan.
b. Kontinuitas
Setiap jenis pelayanan harus secara berkelanjutan bagi masyarakat dengan
kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut.
c. Teknitalitas
Proses pelayanan harus ditangani oleh tenaga yang benar-benar memahami
secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan, dan
kemantapan sistem, prosedur, dan instrumen pelayanan.
d. Profitabilitas
Peroses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan
efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi
pemerintahan maupun masyarakat luas.
e. Akuntabilitas
Proses, produk, dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, karena aparat pemerintah itu pada
hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada
Dalam keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan
publik terdapat sepuluh perinsip pelayanan umum yaitu:
a) Kesederhanaan: prosedur pelayanan publik tidak terbelit - belit, mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan.
b) Kejelasan: 1) persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik. 2) unit
kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan
pelayanan publik. 3) rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
c) Kepastian waktu: pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang sudah ditentukan.
d) Akurasi: produk pelayanan publik diterima dengan benar tepat dan sah.
e) Keamanan: proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan
kepastian hukum.
f) Tanggung jawab: pemimpin penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang
ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan.
g) Kelengkapan sarana dan prasarana kerja: peralatan kerja dan pendukung
lainnya yang memadai termasuk penyedia sarana teknologi, telekomunikasi
dan informatika.
h) Kemudahan akses: tempat dan lokasi sarana dan prasarana pelayanan yang
memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan
i) Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan: pemberi pelayanan harus bersikap
disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j) Kenyamanan: Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang
tunggu yang nyaman, bersih rapi lingkungan yang indah dan sehat, serta