• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN BEDA AGAMA D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN BEDA AGAMA D"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM

DIBUAT GUNA MEMENUHI TUAGS UAS

MATA KULIAH : ISLAM, HAM DAN HUKUM KELUARGA

DISUSUN OLEH: ZERA AGUSTINA

1420310053

DOSEN PENGAMPU: EUIS NURLAELAWATI, Ph.D

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM KONSENTRASI HUKUM KELUARGA PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA

(2)

A. Pendahuluan

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuatsebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.

Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh,maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama. Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.

(3)

B. Kedudukan Anak Dalam Perniakahan Beda Agama

Mengenai kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan beda agama ini, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 42 UUP yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah yang dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang beragama Islam) maupun Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan yang beragama selain Islam), maka kedudukan anak tersebut adalah anak yang sah di mata hukum dan memiliki hak dan kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang dalam Pasal 45 s.d. Pasal 49 UUP.

Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu memperhatikan ketentuan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UUPA”) yang berbunyi:

(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak

mengikuti agama orang tuanya.

Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UUPA diterangkan bahwa anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4)

Fenomena perkawinan beda agama yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia bisa menimbulkan berbagai macam permasalahan dari segi hukum, seperti dalam masalah hukum kewarisan. perkawinan dan hukum kewarisan merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia, karena dengan proses perkawinan akan terjadi saling mewarisi. Dalam hukum waris Islam, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi antara satu dengan yang lain. Demikian juga anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama tidak bisa mewarisi pula. Adapun mengenai hukum warisnya, menurut fiqh anak dari perkawinanbeda agama bisa mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah yang tidak bolehlebih dari 1/3 dari harta muwaris. Sedangkan menurut KHI, anak tersebut tidakbisa mewarisi dari bapaknya dan hanya bisa mewarisi dari pihak ibu dan keluarga ibunya.

Permasalahan lain yang akan timbul di dalam keluarga beda agama ialah harapan akan lahirnya keluarga sakinah akan sulit dicapai pasangan suami-istri yang berbeda agama, bagaimana mendidik anak-anak mereka. Seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.

(5)

dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya”, sehingga segala hak anak terhadap bapaknya akan hilang dan tidak diakui oleh hukum.

C. Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2

Bagaimana akibat hukum terhadap pencatatan perkawinan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dari adanya penetapan Pengadilan Negeri yang mengabulkan permohonan

Pasal 2 ayat (1) tersebut anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina. adalah anak yang sah apa bila perkawinan itu dilakukan sesuai dengan

Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, status anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina adalah anak sah apabila dilahirkan dari

Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan.

Sebagai contoh, perkawinan campuran 4 , perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Perkawinan beda agama

Namun apabila Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil tersebut dibuat oleh pasangan yang berbeda kewarganegaraan

Terkait nasab anak yang dilahirkan dari pernikahan ini, KHI berpendapat bahwa yang dapat dikatakan sebagai anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, meskipun