• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN TERHADAP STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN SIRRI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN TERHADAP STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN SIRRI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SKRIPSI"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN SIRRI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2014

TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

TEUKU HANIF IBRAHIM NIM: 140200513

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(2)
(3)

ABSTRAK Teuku Hanif Ibrahim *)

Hasim Purba **) Syamsul Rizal ***)

Pernikahan sirri adalah pernikahan yang dilakukan oleh pria dan wanita tanpa ada pemberitahuan (dicatatkan) di Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi pernikahan sirri ini sudah memenuhi unsur-unsur dalam islam yang meliputi dua mempelai, dua orang saksi, wali, ijab-qabul dan juga mas kawin. Pernikahan sirri hukumnya sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut hukum positif (Hukum Negara). Permasalahan skripsi saya ini adalah keabsahan pernikahan sirri menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pernikahan sirri juga banyak menimbulkan dampak negatif contohnya adalah dapat dicibir atau sebagai bahan omongan lingkungan sekitar.

Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pernikahan sirri adalah tidak sah, hal ini berdampak kepada anak yang terlahir dan dianggap sebagai anak yang lahir di luar nikah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 mengatakan setiap anak yang terlahir memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi tidak dibedakan status anak tersebut.

Penelitian ini adalah yuridis normatif dengan studi kepustakaan (Research Library) yang menganalisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur terhadap permasalahan yang dibahas pada penulisan skripsi.

Kesimpulan dari penulisan skripsi saya ini adalah keabsahan mengenai permasalahan pernikahan sirri antara Kompilasi Hukum Islam dan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 berbeda pendapat. Pada Kompilasi Hukum Islam, pernikahan sirri dianggap sah asal rukun dan syarat nikah terpenuhi, sedangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganggap tidak sah, dikarenakan dilangsungkan secara diam-diam (tanpa sepengetahuan). Pernikahan sirri memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah terhindar dari sex bebas dan beberapa penyakit kelamin lainnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah status istri dan anak yang terlahir, tidak diakui oleh Negara karena tidak memiliki catatan di Kantor Urusan Agama (KUA). Anak yang terlahir dari sebuah pernikahan tanpa membedakan jenis pernikahannya memiliki hak dan kewajiban yang harus terpenuhi serta dilindungi oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Kata Kunci : Pernikahan Sirri, Status Anak

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU/Penulis

**) Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum USU/Staff Pengajar

***) Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum USU/Staff Pengajar

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan karya ilmiah dengan judul “ Perlindungan Terhadap Status Anak Dari Pernikahan Sirri Ditinjau Dari Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak” yang disusun dan diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan ,arahan,serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang banyak membantu,membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara

2. Prof. Dr. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

6. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak membantu penulis dan memberikan masukkan arahan-arahan serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

8. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak membantu penulis dan memberikan masukkan serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

9. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

10. Untuk orang tua saya tersayang Alm. T. Rizal dan Yuniar dan abang saya Teuku Fahmi Nadhif dan adik saya Teuku Muhammad Adam terima kasih atas segala perhatian, dukungan baik moral maupun materil, doa dan kasih sayang sehingga saya dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Kepada sahabat seperjuangan saya selama masa kuliah yang telah menemani hari-hari saya hingga sampai penulisan skripsi ini selesai yaitu kepada geng WR : Reno Jenglot, Azir Ungo, Datok Wijaya, Toke Dias Ane, Pras Black, Ilham dan Juli (komeng acak adul) , Kibot Jupeluka, Mahdi endong, Rachwi Ceret Coro, Al-Drian, Fajar Ayah Tanjung, Teuku Kakek Aris, Sayid Onta, Rahmad Sab, Andika Domba, Michael Gorga.

12. Kepada Muhammad Rachwi Ritonga S.H dan Fachri Husaini S.H sahabat baik saya yang telah banyak membantu dan selalu memberi pelajaran dalam penulisan skripsi ini.

(6)

13. Kepada teman spesial saya yang telah banyak membantu atas penulisan skripsi ini Halimatussa‟diyah S.Ked. dan memotivasi saya hingga penulisan ini selesai.

14. Kepada abangda saya yang telah sangat banyak membantu atas penulisan skripsi ini Rifqi Jamil, SH., M.Kn. dan memotivasi saya hingga penulisan ini selesai.

15. Kepada teman teman saya dari semester 1 hingga saat ini yaitu kepada Geng Kawan Selamanya : Jeannyper oye, Meutia Gondut, Wikye wixy, Diva longor, Mahdi endong, Kibot jupeluka, Eki lenje, Aldrian ahok.

16. Kepada teman teman saya dari SMA hingga saat ini yaitu Sayur : Noval ahay, Reyza Pk, Ian keleng, Akbar Bordom, Pandin, Julyan Jerikho, Dani Celup, Fadhel kaki 11, Fauzan ngakak, Imam Colay, Ivan kocik, Nok Balohan, Rory Opung.

17. Semua teman seperjuangan stambuk 2014 serta Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata kesempurnaan, namun penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkhusus bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Medan, Juli 2018 Penulis

TEUKU HANIF IBRAHIM NIM: 140200513

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 12

C. Tujuan Penulisan ... 13

D. Manfaat Penulisan ... 13

E. Metode Penelitian ... 14

F. Keaslian Penulisan ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : KEABSAHAN PERKAWINAN SIRRI MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 A. Sejarah Hukum Pernikahan Di Indonesia ... 19

B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan ... 32

C. Pengertian Pernikahan Sirri... 42

D. Faktor-Faktor Terjadinya Pernikahan Sirri ... 47

E. Keabsahan Pernikahan Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 ... 48

BAB III : DAMPAK DARI PERNIKAHAN SIRRI A. Dampak Positif dan Negatif Dari Pernikahan Sirri Terhadap Suami ... 51

B. Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Sirri Terhadap Istri ... 53

C. Akibat Yang Didapat Dari Masyarakat Sekitar ... 56

BAB IV : STATUS HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI PERNIKAHAN SIRRI MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO. 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Pengertian Anak ... 59

B. Akibat Hukum Pernikahan Sirri Terhadap Anak Yang Lahir ... 69

C. Dasar Hukum Perlindungan Anak ... 75

(8)

D. Status Hukum Anak Yang Lahir Dari Pernikahan Sirri Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak ... 81

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... 94 B. SARAN ... 95

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN WAWANCARA

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia pada hakekatnya merupakan Makhluk Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diberi kelebihan berupa akal dan fikiran. Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di sini, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Pada umumnya seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama antara lain syarat-syarat untuk peresmian hidup bersama, pelaksanaannya, kelanjutannya dan berakhirnya perkawinan itu. 1

Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Bagi Bangsa Indonesia yang memiliki alam pikiran magis (percaya pada hal-hal gaib), ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami isteri. Seorang pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada di antara mereka merupakan ikatan lahiriah,

1 Rusli, SH. An R. Tama, SH. Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya. Penerbit : Shantika Dharma. (Bandung : 1984) hal. 10

(10)

rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.

Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara keduanya. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan.2

Pernikahan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 3

Pernikahan juga diartikan sebagai suatu akad yang menyebabkan kebolehan bergaul antara laki-laki dengan seorang wanita dan saling menolong di antara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban di antara keduanya. 4

2 Ibid, hal. 11

3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Cet.II (Jakrta : Prenada Medi, 2007) hal. 40

(11)

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama. Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat. 5

Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama dan kepercayaannya masing- masing, serta perkawinan tersebut harus dicatatkan. Namun dalam kompilasi hukum islam perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama islam, kemudian syarat pencatatan yang ada agar menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Berdasarkan kedua aturan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perkawinan itu tetap harus dicatatkan demi terciptanya suatu ketertiban perkawinan dalam masyarakat. 6

Secara etimologi (bahasa) nikah sirri artinya nikah yang dilakukan secara diam-diam (rahasia). Sirri berasal dari bahasa Arab yaitu sirrun yang artinya diam

4 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung (Bandung : Pustaka Setia, 2000) hal.

13

5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

6Ibid, hal 45

(12)

(rahasia) sebagai lawan kata dari jahr yang mengandung arti terang-terangan, nikah sirri dikenal dalam konteks hukum positif.7

Menurut arti terminologis nikah sirri mempunyai tiga pengertian, yaitu:

1. Pengertian yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Syaltut, ada dua bentuk nikah sirri yaitu: Menurut arti terminologis nikah sirri mempunyai tiga pengertian, yaitu:

a. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa pencatatan. Para ahli fiqh bersepakat melarang nikah sirri semacam ini.

b. Akad pernikahan yang dihadiri oleh para saksi, tetapi mereka diharuskan untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai sahnya nikah sirri seperti ini, sebagian ulama seperti Hanafiyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah sebab adanya saksi telah menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi. Sebagian ulama yang lain seperti Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya, berpendapat bahwa adanya pesan untuk merahasiakan pernikahan telah mencabut kesaksian dari ruh dan tujuan disyariatkannya, yaitu publikasi (i‟lan) oleh karena itu maka pernikahan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum nikah sirri semacam ini adalah makruh.8

7 IKAHI, Majalah Hukum Varia Peradilan No. 297 Agustus 2010, (Jakarta: IKAHI, 2010), hal. 49

8 Muhammad Sahnun bin Said al-Tanukhi, Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), hal. 143.

(13)

2. Pengertian nikah sirri yang berkembang di kalangan mahasiswa pada tahun 1980-an yaitu suatu akad pernikahan yang dilangsungkan antara seorang lakilaki dan perempuan dengan wali yang bukan wali nasab, melainkan cukup wali sesama mukmin, guru, kyai atau yang lain, dan disaksikan oleh para saksi yang diminta untuk merahasiakan pernikahan itu kecuali pada pihak-pihak tertentu. Dalam pernikahan ini kedua mempelai ditekankan untuk sebisa mungkin tidak melakukan hubungan suami istri, melainkan cukup dengan bentuk-bentuk kemesraan selain hubungan suami istri. Apabila kedua mempelai telah merasa memiliki kemampuan yang cukup maka dipersilahkan untuk melangsungkan pernikahan seperti yang diatur dalam Hukum Islam.9

3. Pengertian nikah sirri yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang terdapat dalam syariat Islam, tetapi tanpa melalui Pegawai Pencatat Nikah sehingga pernikahan tersebut tidak dicatat dalam Akta Perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

4. Kamus Arab-Indonesia, kata sirri berasal dari kata assiru berarti “rahasia”.

Menurut Zuhdi dalam terminologi fiqih Maliki, nikah sirri adalah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya sekalipun keluarga setempat. 11

9A. Malik Madani, Makalah :“Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam”, (Yogyakarta, 2001), hal. 3.

10 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal.109.

11 Effi Setiawati, Nikah Sirri di Jalan Yang Benar, (Bandung: Kepustakaan Eja Insani, 2005), hal. 36

(14)

Sedangkan, Pernikahan sirri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan : 1. Pernikahan tanpa wali, pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia

(sirri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju, atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali, atau hanya ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan-ketntuan syari'at.

2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara. Banyak factor yang menyebabkan seseorang tidak mncatatkan prnikahannya di lembaga pencatatan sipil Negara. Ada yang karena faktor biaya, akad tidak mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan larena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri sipil nikah lebih dari satu dan lain sebagainya.

3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan sirri atau karena pertimbangan- pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.12

Menurut Aulawi sebelum lahir UU Perkawinan, di masyarakat telah ada pernikahan yang disebut dengan pernikahan sirri. Pngertian nikah sirri mengalami perkembangan dan diartikan secara lebih luas. Zuhdi membagi pengertian nikah sirri menjadi 3 bentuk yaitu :

1. Nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut syariat agama. Bersifat intern keluarga-keluarga dan belum dilakukan pencatatan oleh PPN serta belum dilakukan sesepsi pernikahan. Suami istri belum

12 Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan (Yogyakarta: LKIS, 2000), hal. 207

(15)

tinggal dan hidup bersama sebagai suami istri karena istri pada umumnya masih anak-anak.

2. Nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syarat agama dan sudah dilakukan penataan oleh PPN dan memperoleh akta nikah, namun nikahnya bersifat intern keluarga dan belum hidup bersama sebagai suami istri karena mungkin salah satu atau keduanya masih menyelesaikan studinya atau belum memperoleh pekerjaan.

3. Nikah sirri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syari'at Islam karena terbentur dengan peraturan pemerintah.

Pada pernikahan ini adalah suami menikahi calon istri secara diam-diam dan dirahasiakan hubungannya sebagai suami istri untuk menghindari hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang.13

Ada beberapa tokoh ulama yang memberikan definisi mengenai pernikahan sirri, diantaranya adalah :

1. Menurut Yahya bin Yahya (ulama kalangan Malikiyah)

Nikah sirri adalah nikah yang dipersaksikan oleh dua orang saksi sebelum digauli (dukhul).

2. Al Baji

Mendefinisikan nikah sirri adalah nikah yang terjadi dimana suami istri dan wali sepakat menyembunyikan pernikahan itu dan tidak mempersaksikannya (mengekspose).

13 Effi Setiawati, Op.cit, hal. 38

(16)

3. Dalam Kitab Al Fiqh Al Islami wa Adilatuh, Wahbah Az Zuhaili menulis bahwa suami berpesan saksi agar nikahnya tidak diberitahukan kepada istrinya atau kepada orang lain walupun keluarganya sendiri.14

Pendapat lain mengatakan bahwa nikah sirri adalah nikah yang tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai dan tidak dicatat di KUA. Dari sisi syarat dan rukunnya, nikah sirri telah telah memenuhi sebagaimana layaknya pernikahan berdasarkan agama Islam. Selain itu, Abdullah mengemukakan bahwa untuk mengetahui bentuk pernikahan sirri (rahasia) dapat mengamati indikator sebagai berikut :

1. Pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan ketentuan dalam agama Islam yaitu akad nikah yang terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dan dua orang saksi.

2. Pernikahan tidak memenuhi persyaratan yang dibuat oleh pemerintah untuk memperoleh kepastian hukum dari pernikahann yaitu hadirnya Pegaai Pencatat Nikah (PPN) saat akad nikah berlangsung yang menyebabkan peristiwa nikah itu memenuhi "legal procedure" sehingga nikah itu diakui secara hukum dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum berupa adanya kepastian hukum, sehingga kepada suami istri diberi masing-masing sebuah bukti adanya nikah yaitu berupa akta nikah.

3. Pernikahan tidak melaksanakan walimah al nikah yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk menunjukan kepada masyarakat luas bahwa diantara kedua calon suami istri telah menjadi suami istri.15

14 Tim Redaksi Tanwirul, Op.cit; hal. 207

15 Effi Setiawati, Op.cit; hal. 39

(17)

Pernikahan sirri menimbulkan akibat hukum bagi pasangan suami istri hingga status anak yang dilahirkan dalam suatu pernikahan sirri. Anak yang terlahir dalam status pernikahan sirri, merupakan anak yang tidak sah.

Dikarenakan terlahir dalam suatu ikatan yang tidak sah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sebagaimana yang diketahui, bahwa anak adalah Anak adalah putra putri kehidupan memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara maksimal.16

Menurut KUH Perdata anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai ayahnya (Pasal 250). Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh (6 bulan) dari perkawinan.Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Menurut KUH Perdata anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak itu benih orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat dalam perkawinan. Sedangkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.17

Menurut BW, dengan perkawinan suami isteri memperoleh keturunan.

Yang dimaksudkan dengan keturunan disini adalah hubungan darah antara bapak,ibu dan anak-anaknya. Jadi antara bapak dan ibu serta anak ada hubungan biologis. Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan biologis ini dan ditumbuhkan

16 Darwan Prints dalam Imam Jauhari (1), Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta:

Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 80

17Hilman Hadikusuma, (Bandung : Graha Indo, 2002) hal. 124

(18)

sepanjang perkawinan adalah anak-anak yang sah (wettige of echte kinderen).

Undang-undang memberikan beberapa pandangan tentang terminologi anak berdasarkan fungsi dan kedudukannya antara lain sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hakhak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.18

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah di letakan oleh generasi sebelumnya.19

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang

18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak

19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

(19)

memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan social secara utuh,serasi,selaras dan seimbang.20

4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.21

5. Undang-Undang Pengadilan

Anak Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-undang No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun,tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.22

6. Anak dalam Hukum Perburuhan

Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan (Undang-undang No. 12 Tahun 1948) mendefenisikan, anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 ke bawah.23

20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

21 D.Y. Witanto , Hukum Keluarga , (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012), hal. 5

22 Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997

23 Undang-Undang Perburuhan Pasal 1

(20)

7. Anak menurut KUHP

Pasal 45 KUHP, mendefenisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya.walinya atau pemeliharaannya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997.24

8. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan

Pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (aembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.25

B. Rumusan Permasalahan

1. Bagaimana Keabsahan Perkawinan Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ?

2. Apa Dampak Bagi Seseorang Yang Melakukan Pernikahan Sirri ?

3. Bagaimana Status Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Dari Pernikahan Sirri Menurut Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 ?

24 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

25 Darwan Prinst , Op.cit; hal. 2-3

(21)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Sah atau Tidaknya Pernikahan Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2. Untuk mengetahui dampak Bagi Seseorang Yang Melakukan Pernikahan Sirri terhadap Diri Sendiri dan Masyarakat.

3. Untuk mengetahui Status anak Terhadap Anak Yang Lahir Dari Pernikahan Sirri Menurut Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi kajian dan pengembangan ilmu hukum tentang perlindungan hukum terhadap status anak yang lahir dari perkawinan siri.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pelaksanaan Undang- Undang perkawinan serta masukan kepada pemerintah yang juga ikut bertanggung jawab atas masyarakat, selain itu hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan acuan masyarakat dalam melakukan perkawinan.

(22)

E. Metode Penelitian

Metode merupakan sebuah instrument penting agar penelitian itu bisa terlaksana dengan rasional dan terarah, sehingga tercapai hasil yang maksimal. Di samping itu juga bisa mempermudah penelitian. Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka dan data di analisa secara kualitatif.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskripsi analitis. Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini, bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh, mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap status anak yang lahir dari perkawinan siri online berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

3. Data penelitian

Jenis sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro data sekunder adalah data yang

(23)

diperoleh melalui bahan kepustakaan.26 Penelitian ini yang dijadikan data sekunder adalah data yang bersumber dari:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Penelitian ini yang dijadikan data sekunder adalah data yang bersumber dari: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya.

Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

4. Teknik pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara :27 studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang di bahas dalam skripsi ini.

26Ronny Hanitijo Sumitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Ghlmia Indonesia, Jakarta,1998),hlm. 76.

27Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum UI Press, Jakarta, 2010, hlm. 24.

(24)

5 Analisis data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara normatif kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktifinduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan-laporan penelitian ilmia :

Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.28 Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan ini.

F. Keaslian Penulisan

Proses penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Terhadap Status Anak Dari Pernikahan Sirri Ditinjau Dari Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, sejauh ini pengamatan dan pengetahuan penulis tentang materi yang diangkat pada skripsi ini, belum ada penulis lain yang telah dilakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila dikemudian hari ada judul yang sama sebelum penulisan ini, saya bertanggung jawab sepenuhnya.

28 H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II UNS Press, Surakarta, 1988, hlm. 37

(25)

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memahami dan lebih mudah menelaah pokok bahasan dalam skripsi ini, maka penulis menyusun tulisan ini secara sistematis, Keseluruhan sistematis ini berupa satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain dimana didalamnya terdiri dari (5) bab dan masing-masing bab dibagi lagi atas beberapa sub bab yaitu :

Bab I : Pendahuluan

Di dalam Bab ini berisi tentang ; pendahuluan, latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode

penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II : Keabsahan Perkawinan Sirri Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974

Di dalam Bab ini berisi tentang ; Sejarah Hukum Pernikahan Di Indonesia, Syarat-Syarat Sah Perkawinan, Pengertian Pernikahan Sirri, Legalitas Pernikahan Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974

Bab III : Dampak Dari Pernikahan Sirri

Di Dalam Bab ini berisi tentang : Dampak Positif dan Negatif dari Pernikahan Sirri Terhadap Suami, Dampak Positif dan Negatif Terhadap Istri, Akibat Yang didapat Dari Keluarga dan

BAB IV : Status Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Dari Pernikahan

(26)

Sirri menurut Undnag-Undang RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Bab ini berisi tentang : Pengetian Anak, Akibat Hukum Pernikahan Sirri Terhadap Anak Yang Lahir, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Status Hukum Anak Yang Lahir dari

Pernikahan Sirri menurut Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

BAB V: Kesimpulan dan Saran

Di dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari seluruh Penulisan serta saran yang mudah-mudahan berguna bagi penulis dan pembaca

(27)

BAB II

KEABSAHAN PERKAWINAN SIRRI MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG RI NO. 1 TAHUN 1974

A. Sejarah Hukum Pernikahan di Indonesia

Sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia menjelang abad XVII, XVIII, XIX, baik dalam tatanan intelektual dalam bentuk kitab-kitab dan pemikiran juga dalam praktik-praktik keagamaan dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena Hukum Islam dipraktikkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir dapat dikatakan sempurna, yang mencakup masalah mu‟amalah (perkawinan, perceraian, warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Bukan hanya itu, Hukum Islam menjadi suatu sistem hukum yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di Indonesia.29

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC (Vereenigde Oots-Indische Compagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan Hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan Hukum Adat. Berangkat dari kekuasaan yang dimiliki VOC bermaksud menerapkan Hukum Belanda di

29Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 8.

(28)

Indonesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap saja menjalankan syariatnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia (1602-1800 M) Hukum Islam dapat berkembang dan dipraktikkan oleh umatnya tanpa ada hambatan apapun dari VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu peraturan yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan berlaku dikalangan umat Islam.30

Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat bahwa sikap Belanda berubah terhadap Hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan. Setidaknya perubahan itu dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi. Ketiga, keinginan Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.31

Perkawinan menurut Subekti adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.32

Kendatipun terbatas pada pelaksanaan hukum keluarga, Hukum Islam telah teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Islam walaupun masih dalam ruang lingkup yang sangat terbatas yaitu hukum kekeluargaan saja. Menarik untuk dicermati, terrnyata pemerintah Belanda memberikan perhatian yang serius terhadap perjalananan Hukum Islam. Hal ini terlihat dari instruksi-instruksi yang diterbitkannya kepada Bupati dan Sultan-sultan berkenaan dengan pelaksanaan

30Ibid, hal. 9

31Ibid hal 10

32Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. Ke-26, (Intermasa, Jakarta, 1994), hal.23

(29)

Hukum Islam tersebut. Sebagai contoh: melalui Stabl. No. 22 pasal 13, diperintahkan kepada Bupati untuk memperhatikan persoalan Agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat Jawa seperti dalam soal perkawinan,pembagian pusaka dan sejenisnya.33

Sedangkan perkawinan menurut Hukum Adat berlaku bagi golongan pribumi, yang tidak memeluk agama Islam maupun Kristen. Peraturan tentang perkawinan adat inipun merupakan konsekuensi politik hukum pemerintah Belanda. Sampai abad XIX istilah Hukum Adat ini tidak dikenal. Istilah ini timbul dalam pikiran seorang warga Belanda yaitu Snouck Hurgrone yang mendalami kesusilaan dan kebiasaan berbagai penduduk di Indonesia.34

Perkawinan adat merupakan suatu hidup bersama yang langgeng dan lestari antara seorang pria dengan seorang perempuan yang diakui oleh persukuan adat yang diarahkan pada pembentukan sebuah keluarga yang dibagi atas tiga kategori, yaitu :

1. Tatanan Patrilineal, yaitu perkawinan dimana pengaturannya menurut garis keturunan ayah atau laki-laki yang merupakan sistem pengaturan kemasyarakatan dimana hanya nenek moyang pria dalam garis pria yaitu ayah, ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya yang dipandang menentukan dalam menetapkan keturunan dari individu. Melalui pengaturan yang seperti ini, maka di dalam keluarga, kekuasaan dan pengaruh lebih berada pada kaum pria (dari pihak ayah).

33 Ibid, hal.10

34 Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 73

(30)

2. Tatanan Matrilineal, yaitu perkawinan dimana pengaturannya menurut garis keturunan ibu atau perempuan terhadap penentuan keturunan yang merupakan kebalikan dari tatanan patrilineal. Ikatan keturunan keluarga hanya ada pada ibu, ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya.

3. Tatanan Parental, yaitu perkawinan yang hubungan kekeluargaan dilihat dari kedua belah pihak yaitu ayah dan ibu.35

Sejak tahun dua puluhan pada masa dibawah kepemimpinan Belanda, dari golongan Bumiputera diajukan permohonan dengan hormat agar diadakan pembaharuan hukum perkawinan. Kongres pertama kaum perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 22 sampai 24 Desember 1928, telah dihadiri oleh wakil-wakil dari 30 organisasi Perempuan Bumiputera (antara lain Wanito Oetomo, Putri Indonesia, Wanita Khatolik, Moehammadiyah bagian Wanita, Serikat Islam bagian wanita). Kongres ini telah berhasil mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).36

Kongres pertama PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) yang berlangsung sejak tanggal 29 sampai 31 Desember 1929, telah mencurahkan perhatian yang cukup besar pada masalah-masalah perkawinan. Topik yang dibicarakan adalah antara lain tentang kewajiban perempuan untuk menentang poligami, perkawinan paksa maupun perkawinan anak-anak. Disini telah diterima resolusi yang memuat antara lain permohonan untuk mendesak pemerintah Belanda agar melarang poligami.37

35Ibid, hal. 74-75.

36Ibid, hal.192

37 Ibid hal 193

(31)

Pada kongres PPPI yang kedua, yang diadakan pada tanggal 20-24 Juli 1935 di Batavia, kembali masalah perkawinan menjadi topik utama. Pada kongres ini, diputuskan bahwa PPPI akan mengadakan penelitian tentang posisi perempuan menurut Hukum Islam, dan memperbaiki posisi perempuan tanpa mengenyampingkan Agama Islam. Pada kongres PPPI yang ketiga yang diadakan di Bandung pada bulan Juli 1938, telah menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah komisi yang diberi tugas untuk merancang Peraturan Perkawinan yang paling adil dan patut. Pada kongres PPPI yang keempat yang berlangsung di Semarang pada bulan Juli 1941 yang membahas tentang upaya peningkatan perempuan di dalam masyarakat, menyediakan ruang dan peluang bagi ruang dan peluang bagi perkawinan berikut seluk beluknya. Kongres ini memutuskan untuk membentuk empat buah komisi kerja yang salah satu diantaranya akan membahas masalah perkawinan yang berhubungan dengan Agama Islam.38

Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.39

Sehubungan dengan kongres-kongres tesebut dapat disimpulkan bahwa gerakan perempuan Indonesia yang dimulai pada masa pemerintahan Belanda, di era pemerintahan Presiden Soekarno sampai pada masa pemerintahan Soeharto

38 Ibid hal 194

39 Lily Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung, Alumni, 1982), hal. 6

(32)

merupakan kelompok penekan yang tidak kenal menyerah terhadap pembentukan perundang-undangan perkawinan.40

Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat berpijak yang semakin kokoh, maka desakan untuk membentuk Undang-undang Perkawinan bukan hanya datang dari pergerakan perempuan saja, tetapi darikalangan penegak hukum seperti hakim, advokat dan lain-lain juga dengan alasan bahwa undang-undang buatan Belanda yang sampai saat itu masih berlaku dianggap tidak sesuai dengan tatanan hukum Indonesia dan Pancasila.

Pada akhir tahun tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh Pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam.

Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun suatu RUU Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Keanggotaannya terdiri dari orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, Hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Mr. Tengku Hasan.

Pada akhir tahun 1952 panitia tersebut selesai membuat suatu Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama, dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur hal-hal yang hanya mengenai golongan agama masing-masing.

Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 Panitia menyampaikan RUU Perkawinan Umum serta daftar pertanyaan umum yang mengenai Undang-undang

40 Wila Chandrawila, Op.cit hal.195

(33)

tersebut kepada organisasi dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-soal tersebut.41

Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dimajukan itu selalu berusaha ke arah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :

1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan dan ditetapkan batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.

2. Suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama/perdata yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi syarat keadilan.

4. Harta pembawaan dan harta yang diperoleh masingmasing sendiri tetap menjadi miliki masing-masing dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

5. Perceraian diatur dengan keputusan pengadilan negeri, berdasarkan alasan-alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan yang khusus beragama Islam.

6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.42

41 Ibid hal. 196

(34)

Dalam rancangan-rancangan yang diajukan oleh komisi ini, terdapat pendapat-pendapat yang menyatakan perlunya suatu Undang-undang umum yang mengatur perkawinan-perkawinan seluruh warga Negara Indonesia dan sekaligus mengatur secara khusus perkawinan berbagai kelompok agama. Walaupun RUU Perkawinan ini telah berhasil diselesaikan, namun dalam pembahasannya di Parlemen mengalami penundaan. Atas suatu inisiatif yang diprakarsai oleh sekelompok anggota Parlemen dibawah pimpinan Ny.Soemarni, maka akhirnya RUU Perkawinan mulai dibahas dalam Parlemen. Pada saat itu telah ada tiga buah RUU Pekawinan yaitu dua buah RUU berasal dari Komisi yang diketuai oleh Mr.

Tengku Hasan dan satu buah RUU dari Ny. Soemarnie dan kawan-kawan. Pada prinsipnya masih ada persamaan antara RUU Perkawinan oleh Komisi Hasan dan RUU Perkawinan dari DPR, namun ada dua perbedaan penting antara pengusulan pengusulan tersebut :

1. RUU Perkawinan yang berasal dari Komisi Hasan menyatakan bahwa di samping sebuah RUU Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga Negara, juga peraturan-peraturan yang berlaku bagi kelompok-kelompok

keagamaan yang didalamnya poligami diperkenankan.

2. Sedangkan dari kelompok Ny. Soemarni meliputi hanya pemberlakuan suatu Undang-undang Umum yang didalamnya semata-mata hanya mengakui adanya monogami (kendatipun demikian RUU Perkawinan yang disebut terakhir juga memberikan ruang dan peluang bagi suatu peraturan perudang undangan perkawinan untuk kelompok-kelompok

42 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 234-235.

(35)

keagamaan yang berbeda beda, namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku bagi setiap warga Negara).43

Satu tahun setelah pengajuan pengusulan,dalam bulan Oktober 1959. RUU Ny. Soemarni tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, karena kendatipun memperoleh perhatian besar oleh sejumlah besar anggota DPR, rancangan tersebut tampaknya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota dari Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung rancangan ini. Tampaknya perlu dikemukakan disini apa yang menjadi alasan salah seorang dari kelompok Islam.

Mengenai dua buah RUU, yang disusun oleh Komisi Hasan, sementara belum ada keputusan yang diambil oleh Parlemen. Kemudian dalam tahun 1963 sebuah Seminar tentang Hukum Nasional diselenggarakan dan disponsori berturut-turut oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), yakni sebuah Badan Penguasa untuk meningkatkan perundang-undangan nasional dan Persatuan Hakim Indonesia yang cukup berpengaruh pula. Di dalam seminar ini diterima sebuah resolusi mengenai keharusan adanya pembentukan suatu Undangundang Perkawinan yang seragam. Bagi Lembaga Pembinaan Hukum Nasional itu sendiri nampaknya pertemuan ini merupakan dorongan penting, yaitu untuk menyibukkan diri dengan problema terbentuknya suatu perundang- undangan perkawinan Indonesia sendiri.44

43Wila Chandrawila, Op. Cit., hal. 196

44Ibid, hal. 197.

(36)

Setelah setahun lamanya LPHN tersebut telah menyiapkan sebuah peraturan perkawinan bagi kaum muslimin, dan pada tahun 1968 telah dirampungkan sebuah rancangan tentang asas-asas perkawinan. Sampai dengan berakhirnya tahun parlementer 1971, dua buah rancangan tersebut termuat dalam agenda DPR, akan tetapi kembali anggota-anggota Parlemen ini tidak berhasil mengambil keputusan.45

Hampir selama dua bulan dasawarsa telah diikhtiarkan menghasilkan pembentukan sebuah perundang-undangan perkawinan nasional, yang oleh DPR selama beberapa tahun telah diterima pengusulan dari tiga pihak yang berlainan (Komisi Hasan, Kelompok Soemarnie dan LPHN), telah berimbang sebagaimana mestinya, namun dipandang belum memadai adanya. Ketidakberhasilan selama dua puluh tahun penuh itu untuk membentuk sebuah Undang-undang Perkawinan Indonesia sendiri, terutama diakibatkan oleh pihak Islam di dalam DPR yang tetap mempertahankan dengan gigih asas poligami tersebut.46

Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. Dengan sendirinya Undang-undang Perkawinan mengadakan perbedaan kebutuhan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga Negara Indonesia tertentu yang didasarkan pada hukum masing-masing agamanya itu.

Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974, juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya atau kepercayaan agamanya sepanjang

45Ibid hal. 202.

46Ibid hal. 203

(37)

belum diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya tersebut.47

Untuk melaksanakan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaannya, antara lain yang menyangkut tentang masalah-masalah :

1. Pencatatan Perkawinan

2. Tata cara pelaksanaan perkawinan 3. Tata cara perceraian

4. Cara mengajukan gugatan perceraian

5. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan.

6. Pembatalan perkawinan.

7. Ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.48

Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 1 April 1975 oleh pemerintah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang undang No. 1 Tahun 1974. Dalam peraturan Pemerintah ini, memuat ketentuan tentang masalah-masalah yang dikemukakan di atas, yang diharapkan akan dapat memperlancar pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974.49

47 Ibid, hal. 245-246

48 Ibid. hal. 251

49 Ibid. hal. 252

(38)

Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islammerupakan norma hukum yang didasarkan pada ajaran agama yang diambil dari Al Qur‟an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian bahwa perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam tidak boleh bertentangan dengan asas-asas yang ada di dalam Al Qur‟an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Kompilasi Hukum Islam perkawinan itu adalah suatu ikatan batin maupun ikatan lahir selama hidup antara suami dan isteri untuk hidup bersama menurut Syariat Islam dan memperoleh keturunan. Hal ini bukan saja mengandung arti adanya suatu persetujuan anatara suami dan isteri, yang dimateraikan dengan hubungan perkawinan melainkan adanya makna religius.

Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah

„akad‟ (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya.

Akad nikah itu harus diucapakan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (Kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah karena bertentangan dengan Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan „tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil‟. Kompilasi Hukum Islam menetapkan bahwa sebuah perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan wali pria pengantin perempuan adalah tidak sah.50

Pernikahan di Indonesia terbagi atas 2 bagian yaitu ;

50Wila chandrawila S, Op.cit, hal 67

(39)

a. Pernikahan Siri

Pernikahan siri dianggap sah secara hukum agama saja, namun tidak diketahui atau tercatat oleh negara. Contohnya: Pasangan Kristiani menikah di gereja namun pernikahan gereja tersebut tidak dilaporkan ke kantor Catatan Sipil.

Contoh lainnya, pasangan Islam menikah secara hukum Islam namun tidak melalui KUA.

b. Pernikahan Sipil

Pernikahan sipil sering disebut juga dengan pernikahan negara. Pernikahan ini sah dan diakui secara hukum negara namun tidak menggunakan hukum agama apa pun. Orang yang menikahkan bukan pemimpin agama atau penghulu tetapi petugas pernikahan atau catatan sipil.

Pernikahan sipil tidak membutuhkan persetujuan atau kehadiran orang tua jika kedua calon pengantin sudah berusia 21 tahun.

Pernikahan sipil tidak bisa dilakukan di Indonesia. Kita harus melakukan pernikahan agama terlebih dahulu, setelah itu baru dilaporkan ke kantor catatan sipil. Jika WNI ingin menikah secara sipil saja tanpa nikah agama, maka harus melakukan pernikahan tersebut di negara lain. Umumnya di luar negeri bisa melakukan pernikahan sipil tanpa ada kaitannya dengan agama.

Pernikahan sipil biasanya dipilih oleh pasangan yang berbeda agama, mereka yang tidak fanatik terhadap agama, atau mereka yang tidak memiliki agama. Pernikahan ini banyak dipilih oleh orang-orang di luar negeri karena umumnya lebih simple; persyaratan tidak ribet, dan proses cepat.

(40)

Sertifikat pernikahan sipil dari luar negeri memiliki kekuatan yang sama dengan pernikahan resmi yang dilakukan dalam wilayah Indonesia. Syaratnya adalah melaporkan sertifikat nikah luar negeri tersebut ke kantor Catatan Sipil di Indonesia. Jika Anda melapor, Catatan Sipil akan mengeluarkan surat laporan pencatatan pernikahan yang berguna untuk mengurus berbagai dokumen di Indonesia, salah satunya adalah akta kelahiran anak.51

B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan 1. Menurut Undang-undang

Syarat-syarat untuk sahnya perkawinan diatur dalam Bab II dari pasal 6 sampai dengan pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974. Syarat berarti memenuhi ketentuan yang telah ditentukan, sah berarti menurut hukum yang berlaku.

Apabila perkawinan tidak sesuai dengan tata tertib hukum yang ditentukan maka perkawinan itu menjadi tidak sah. Jadi yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, apabila ada salah satu dari syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah.

Syarat perkawinan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

A. Syarat materiil Syarat yang melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga syarat subyektif.

B. Syarat formil Tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga syarat obyektif.52

51 http://www.desisachiko.com/2015/07/25/pengertian-nikah-agama-dan-nikah-sipil/

(diakses pada tanggal 6 Juni 2018, pukul 14.00 WIB)

52 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.

Liberty,Yogyakarta, 1982, hal.12

(41)

a. Syarat Materiil

Syarat-syarat materiil menurut Trusto Subekti, diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:24

1). Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);

2). Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);

3). Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari Pengadilan (Pasal 7)

4). Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin (Pasal 8);

5). Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain dan calon mempelai pria juga tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk poligami (Pasal 9);

6). Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin kembali (untuk ketiga kalinya) (Pasal 10);

7). Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang berstatus janda (Pasal 11)53

Syarat-syarat tersebut dapat dirumuskan sebagai keadaan yang harus ada, atau keadaan yang menghalangi untuk dilangsungkannya perkawinan. Apabila syarat-syarat perkawinan tersebut dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan. Syarat yang telah diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk

53 Trusto Subekti, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hal.35

(42)

dapat dilangsungkannya perkawinan. Syarat-syarat perkawinan ini ditentukan secara limitatif dan dirumuskan dengan menggunakan kalimat “harus”, “hanya”,

“larangan”, “tidak boleh” dijelaskan meliputi aspek sebagai berikut.54

1. Perkawinan harus didasarkan Persetujuan kedua mempelai Perkawinan harus didasarkan pada kehendak bebas calon mempelai pria ataupun wanita untuk melaksanakan perkawinan. Persetujuan atau kerelaan kedua belah pihak untukmelaksanakan perkawinan merupakan syarat penting (bersifat fundamental) sebagai pembentuk “ikatan lahir bathin”

atau persetujuan yang didasarkan atas kehendak bebas dan didasari oleh saling cinta diantara calon mempelai, untuk membentukkeluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan disini adalah perkawinan harus dilaksanakan berdasarkankehendak bebas dari calon mempelai pria dan wanita tanpa paksaan, jadi calonpengantin itu memilih pasangannya dengan kehendaknya sendiri sehingga tujuandari perkawinan yang bahagia dan kekal bisa terwujud. Hendaknya persetujuan untuk melangsungkan perkawinan itu adalah sesuatu yang murni, yang betul-betul tercetus dari hati para calon mempelai itu sendiri, bukan secara berpura-pura atau hasil dari suatu paksaan.55

2. Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun

54 Ibid hal.43

55 K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987), hal.25

(43)

1974). Orang tua oleh pembentuk Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diberikan tanggung jawab dan sebagai faktor penting dalam proses perkawinan, calon mempelai dinilai oleh orang tua, karena nantinya mereka harus bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya (rumah tangganya). Apabila salah seorang dari mereka sudah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya. Ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang siapa-siapa yang memberikan izin perkawinan jika orangtua dari mempelai telah meninggal dunia.56

3. Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan diharapkan sudah dalam keadaan “matang” jiwa raganya (lahir batin) dan bagi mereka yang masih sangat muda apabila akan melangsungkan perkawinan akan banyak mendapat persoalan dalam rumah tangganya dan juga anak-anak yang dilahirkannya merupakan anak yang dilahirkan dari orang tua yang belum “matang”. Penyimpangan terhadap pasal ini dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan oleh orang tua pihak pria maupun wanita (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974).

56 Op.Cit, Trusto Subekti, hal.37

(44)

4. Larangan Kawin (Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) disebutkan: Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah maupun ke atas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri;

d. Berhubungan sesusuan, yaitu antara orangtua susuan, anak sususan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang;

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

5. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9 Undang-undang No. 1 Tahun 1974).57

6. Apabila suami-isteri telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang masing-masing agamanya

57 Op.Cit, K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, hal.30

(45)

dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Pasal ini menjelaskan perkawinan itu mempunyai maksud agar suami-isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, apabila adanya suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan, harus dipertimbangkan dan dipikirkan segala akibatnya. Ketentuan ini guna untuk mencegah tindakan kawin cerai berulangkali, sehingga kedua pihak (suami-isteri) saling menghargai satu sama lain.

7. Wanita yang putus perkawinannya, berlaku waktu tunggu (Pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu: 58

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari;

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan, ditetapkan 3 kali suci sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari;

c. Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan;

d. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.

58 Op.Cit, Trusto Subekti, hal.40

Referensi

Dokumen terkait

Uji Statistik dapat dijelaskan bahwa Ambiguitas peran berpengaruh terhadap Kinerja karyawan PT, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) cabang Manado dengan nilai

Hasil uji kualitatif formaldehid pada ikan asin yang di jual di Pasar Bawah Kota Pekanbaru, menunjukkan bahwa 4 dari 10 sampel ikan asin yang diuji positif mengandung

Terdapat tujuh variabel dari faktor pengetahuan, lima variabel dari faktor keterampilan, empat variabel dari faktor konsep diri, dua variabel dari karakteristik pribadi dan

Maka hal yang harus di lakukan adalah mencari informasi sebanyak mungkin mengenai profil perusahaan tersebut bisa melalui media search engine, yellowpages, forum atau referensi

Masih ada pula beberapa karya ilmiah yang salah dalam penulisan kata, ejaan serta aturan atau kaidah yang baku sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Saat ini, aplikasi

Hal ini dikarenakan perhitungan Ecological Footprint berdasarkan data tahunan yang telah berlalu, dan tidak dapat benar-benar tepat mengukur kemampuan daya dukung lingkungan hidup

perlu ada pemahaman bahwa media sosial bukan hanya milik pribadi atau untuk dikonsumsi sendiri sehingga bisa melakukan apapun yang kita mau, melainkan media sosial

Hasil penelitian tersebut didapatkan jumlah leukosit yang dominan pada mukosa mulut adalah jenis polimorfonuklear netrofil sebanyak 98 hingga 99% dan hanya sedikit