Jurnal Studi Kultural (2018) Volume III No.2: 80-84
Jurnal Studi Kultural
http://journals.an1mage.net/index.php/ajskLaporan Riset
Komodifikasi
Gantung-Gantungan
dan
Tamiang
di Bali
Manik Ciptasari
1, Saortua Marbun
2* Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma MulyaInformasi Artikel Abstrak budaya yang unik. Meskipun Pulau Bali kini mengalami perubahan waktu yang sangat pesat tetapi masyarakat di Pulau Bali yang sebagian besar beragama Hindu masih menjunjung tinggi kebiasaan dan tradisi budaya yang telah lama ada.
Dalam Agama Hindu, banyak sarana kelengkapan persembahyangan digunakan dalam upacara Hindu Bali,
terutama gantung-gantungan dan tamiang (gagantam).
digunakan banyak selama Hari Galungan dalam suatu perayaan yang bertujuan untuk melawan dan "mengusir" bencana, terutama yang datang dari pikiran jahat.
Pikiran jahat dikategorikan sebagai adharma
(bertentangan dengan kebenaran, dharma) [1]. Orang
harus mematikan adharma sehingga yang tumbuh adalah
dharma atau kebenaran. Adharma dapat dilambangkan
dengan datangnya roh jahat melalui Sang Kala (Bhuta),
yang terdiri dari tiga roh jahat yaitu Bhuta Galungan,
Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat. Galungan
identik dengan gagantam sebagai simbol penguat dan
penolak.
Gantung-gantungan dan tamiang adalah simbol dari
peperangan, yakni perang antara dharma melawan
adharma [2] [3]. Jadi makna Hari Raya Kuningan adalah
untuk menjunjung Dewa Indra, manifestasi dari Ida Sang
Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa yang mengendalikan indera (sepuluh musuh dalam manusia). [4]. Selama Hari Raya Kuningan, manusia disadarkan untuk "melepaskan, meninggalkan" dengan selalu mengontrol indra.
Galungan identik dengan "gantung-gantungan"
sementara Kuningan identik dengan "tamiang." Tamiang,
terlihat dalam bentuk bulat, juga sering dipahami sebagai
simbol dari Dewata Nawa Sanga yang adalah penguasa
sembilan arah angin. Tamiang juga melambangkan rotasi
roda alam atau disebut "cakraning" yang mengacu pada
pemahaman lingkaran kehidupan sebagai putaran roda [1] .
Biasanya gagantam, dijual pada saat pesta besar seperti
Hari Raya Galungan, Kuningan, dan Tumpek Landep. Kira-kira sebelum tahun 1999 orang biasanya membuat
sendiri gagantam.
Dalam dekade terakhir gantung-gantungan dan tamiang (gagantam) telah dikomodifikasikan. Halitu terjadi karena banyak kegiatan budaya masyarakat itu sendiri, dan banyak orang di Bali lebih suka membeli gagantam. Selain itu, ideologi pasar membuat orang merasa nyaman untuk membeli gagantam daripada membuatnya sendiri. Kondisi ini berkontribusi pada peluang bagi pedagang untuk mendapatkan keuntungan. Pedagang Bali dan orang-orang dari agama lain memiliki pekerjaan alternatif lain dengan menjual gagantam di pasar tradisional.
Pasar tradisional di Bali memperkenalkan gantung-gantungan dan tamiang sebagai komoditas, di mana penjual dan pembeli melakukan pertukaran. Biasanya, mereka memesan gagantam dari penduduk desa yang memasok toko-toko seni mereka di pasar tradisional. Kondisi ini memberi peluang bagi pedagang di pasar untuk mengembangkan gagantam sebagai industri budaya secara kreatif. Meskipun keuntungan dari penjualan gagantam tidak banyak, mereka biasanya menjualnya pada malam menjelang liburan seperti Galungan, Kuningan, Tumpek Landep dan hari libur utama lainnya karena pada saat liburan ada peningkatan permintaan gagantam oleh Umat Hindu di Bali.
© 2018 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.
Namun, memasuki tahun 1999 orang-orang semakin sibuk bekerja dan tidak memiliki cukup waktu untuk membuat sarana sembahyang karena kebanyakan orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sehingga mereka harus menghemat waktu untuk membuat fasilitas ibadah mereka. Karena itu, orang lebih suka membeli media persembahyangan yang dijual di pasar tradisional.
Pratama dan Marbun (2016) dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa orang-orang di Denpasar juga
mengkomodifikasi penjor, untuk memperoleh keuntungan, dan untuk memenuhi permintaan pasar [5]. Tradisi dan budaya semakin terkikis karena bisnis masyarakat itu sendiri.
Masyarakat mengambil cara yang lebih praktis untuk menghindari kesibukan. Selain itu, banyak orang di Bali
“tidak bisa” membuat gagantam. Mereka bisa
menjalankan pekerjaan dan ibadah, dengan memilih
untuk membeli gagantam, di pasar tradisional.
Fenomena ini menimbulkan beberapa pertanyaan, yaitu pertama, bagaimana pandangan umat Hindu tentang
gagantam? Kedua, mengapa gagantam
dikomodifikasikan? Ketiga, bagaimana pandangan
manajemen bisnis pada komodifikasi gagantam?
Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting untuk
memahami pandangan Dunia Hindu tentang gagantam,
untuk mencari tahu mengapa gagantam
dikomodifikasikan, dan untuk mengetahui pandangan
manajemen bisnis tentang komodifikasi gagantam.
2. Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara, bertanya
kepada responden yang terdiri dari penjual gagantam.
Para pedagang gagantam tidak sulit ditemui menjelang
Hari Raya Galungan dan Kuningan, tetapi akan sulit menemukan mereka jika tidak ada hari raya.
Penelitian dilakukan di Denpasar Selatan. Peneliti bertanya kepada pedagang "Dari mana janur (daun
kelapa muda) berasal?" Berapa harga gagantam? Apakah
para pedagang itu beragama Hindu atau tidak?
Bagaimana mereka mengatasi persaingan antar
pedagang? Berapa keuntungan yang diperoleh? Berapa modal yang dihabiskan untuk bisnis ini?
Berdasarkan wawancara, peneliti memahami bahwa "janur" biasanya diperoleh dari Daerah Karangasem, Buleleng, Negara, Tabanan. Selain itu, Bali juga menerima pasokan janur dari Pulau Sulawesi dan Pulau
Jawa. Para pedagang yang berjualan di kawasan Denpasar Selatan mengaku telah puluhan tahun menjual
gagantam.
Bisnis ini seperti kata seorang pedagang dapat membantu ekonomi keluarga mereka; para wanita bekerja di pasar untuk mendukung suami. Bahkan para wanita yang
single tetap bekerja rajin.
Gagantam menjadi salah satu produk yang dapat mereka
jual dengan “hasil lumayan”. Gantung-gantungan
terbuat dari janur biasa dan dilengkapi ornamen yang dijual seharga Rp 3.000,00 - Rp 10.000,00 sedangkan yang terbuat dari janur asal Sulawesi dan berisi ornamen dijual sekitar 2.000,00 - 5.000,00 dan yang terbuat dari
ental dan dengan ornamen biasanya dijual Rp 2.500,00 - 20.000,00.
Harga tamiang yang terbuat dari janur dan berisi
ornamen biasanya dijual Rp. 5.000,00 - 10.000,00
sedangkan tamiang yang terbuat dari janur asal Sulawesi
yang memiliki ornamen dijual dengan harga Rp.
4.000,00 - 8.000,00 dan tamiang yang dilengkapi
material hiasan dijual Rp. 6.000,00 - 25.000,00.
Selain itu, peneliti menemukan bahwa pedagang yang
menjual gagantam tidak hanya beragama Hindu, tetapi
orang beragama lain juga turut menjual gagantam. Hal
ini membuktikan bahwa ideologi pasar [6] telah
menemukan perannya dalam komersialisasi gagantam di
Bali. Perbedaan agama tidak menghalangi para penjual
gagantam. Para penjual mengatasi persaingan yang ketat di antara mereka dengan cara kreatif membuat dekorasi
hingga gagantam yang mereka pasarkan tampak lebih
indah.
Keuntungan penjualan gagantam meski dalam skala
mikro namun cukup menjanjikan dengan margin keuntungan berkisar Rp. 5.000,00 - 30.000,00 per
pasang. Gagantam biasanya dijual hingga masa liburan
hari raya berakhir. Para pedagang gagantam mungkin
mengalami kenaikan harga lagi satu hari sebelum hari libur sebagai akibat dari tingginya permintaan.
Sentuhan seni kreatif dan derajat keindahan
memengaruhi jumlah unit penjualan. Semakin artistik
gagantam, semakin mahal harganya. Modal yang
dihabiskan dalam produksi gagantam berkisar antara Rp.
3. Diskusi
Pandangan Hindu tentang Gantung-gantungan dan
Tamiang. Hari Galungan adalah hari raya yang bertujuan "mengusir" bencana, terutama bencana yang datang dari spirit atau pikiran yang jahat. Pikiran jahat dikategorikan
sebagai adharma (bertentangan dengan kebenaran
dharma, kebenaran). Orang harus mematikan adharma
sehingga dharma menang. Adharma dilambangkan
dengan datangnya “virus jahat” melalui Sang Kala
(Bhuta) yang terdiri dari tiga yaitu, Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan dan Bhuta Amangkurat.
Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) atau
Wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma)
keesokan harinya, sementara Bhuta Amangkurat muncul
pada Selasa (Anggara), hari berikutnya, atau sehari
sebelum Galungan. Jadi Tiga Bhuta ini (simbol-simbol kejahatan) datang dalam tiga hari berturut-turut sebelum Galungan, dan itulah yang harus dilawan atau diperangi
agar pada Rabu dapat merayakan kemenangan dharma
(Suariloka, 2018) [7].
Kehidupan pada dasarnya dimaknai sebagai
“peperangan”. Sepanjang perjalanan hidup manusia
tanpa henti diperhadapkan dengan pertempuran
berkelanjutan. Sejarah ras manusia, tidak terlepas sejarah perang. Bagi Masyarakat Bali, perang dalam kehidupan
sesungguhnya berlangsung di Bhuwana Agung (alam
makrokosmos) dan “perang batin” berlangsung di ranah
Bhuwana Alit (alam mikrokosmos). Peperangan batin
yang berkecamuk di dalam hati adalah “perang terhebat”,
yang terbesar dan paling kuat.
Peperangan batin dimaknai sebagai perang yang tidak pernah berhenti dan bahkan lebih sering mengalahkan manusia. Dalam konteks perang batin, seorang pria harus
membentengi dirinya dengan tamiang (perisai) yang
tidak lain adalah bentuk pengendalian diri (indera).
Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan
kesadaran akan sifat dan identitas diri (uning, 'tahu' atau
'sadar') – inilah maknda Hari Raya Kuningan
(kauningan). Pada Hari Kuningan dilakukan pemujaan
terhadap Dewa Indra, manifestasi dari Ida Sang Hyang
Widhi Wasa sebagai penguasa - pengendali indera (sepuluh musuh dalam diri manusia) [4].
Pada masa Kuningan, manusia disadarkan untuk "melepaskan, meninggalkan" dengan cara mengontrol indera agar lebih dekat dengan Tuhan. Menurut tulisan
suci ada tiga cara yaitu Ritual Kana, Karma Kanda, dan
Jñana Kanda. Upasana Kanda berarti lebih dekat kepada Tuhan dengan melakukan ibadah atau bhakti. Ada dua
macam Upasana, yaitu Upasana Saguna dan Upasana
Nirguna. Upasana Saguna adalah menyembah tuhan
menggunakan simbol-simbol suci seperti canang,
kwangen, dupa, dakshina, gambar atau patung suci.
Sedangkan Upasana Nirguna dilakukan pemujaan tuhan
tanpa simbol.
Tamiang sering diartikan sebagai simbol perlindungan
diri. Tamiang, dilihat dari bentuknya bulat, juga sering
dipahami sebagai simbol Dewata Nawa Sanga yang
menjadi penguasa Sembilan Arah Angin. Tamiang juga
melambangkan “rotasi roda alam” atau disebut
“cakraning” yang memaknai hidup yang bergulir seperti roda. Hari Raya Galungan sarat dengan simbol perang. Galungan yang dimaknai sebagai hari kemenangan atas
peperangan. Makna Gantung-Gantungan adalah sebagai
simbol penguatan.
Proses komodifikasi. Komodifikasi berasal dari kata
komoditas, proses mengonversi barang atau ide menjadi komoditas, mengikuti aturan pasar. Di masa yang lalu
untuk membuat gagantam masyarakat mengambil janur
di sekitar pekarangan rumah, biasanya mereka hanya
membuat gantung-gantungan dan tamiang sederhana.
Ide globalisasi yang membangkitkan ideologi pasar [6]
mendorong orang enggan membuat gagantam mereka
sendiri. Masyarakat lebih nyaman membeli
gantung-gantungan dan tamiang. Selain itu tidak sedikit generasi
muda di Bali yang tidak terampil membuat gagantam.
Impak Globalisasi melalui proses penyebaran elemen-elemen informasi, gaya hidup, pemikiran, dan teknologi
di seluruh dunia [6] tidak terhindari ketika gagantam
menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Gagantam mengalami transformasi, pertama hanya menggunakan janur biasa tanpa hiasan, kini mengalami
perubahan, menjadi artistik, menarik. Gagantam
diproduksi dan dikomodifikasi menggunakan janur lokal, janur dari Sulawesi seiring dengan peningkatan permintaan pasar.
Gagantam yang terbuat dari janur bahan lokal dari Bali dilengkapi ornamen dijual dengan harga Rp. 3.000,00-10.000,00 sementara itu bila terbuat dari janur asal Sulawesi dilengkapi ornamen maka dijual dengan harga Rp. 2.000,00 -5.000,00 dan bila dilengkapi dengan
dengan ornamen hiasan maka dihargai Rp. 6.000,00 - 25.000,00.
Variasi harga disebabkan oleh jenis, dekorasi, tingkat
kerumitan produksi, ukuran, keindahan gagantam. Selain
itu harga janur sebagai bahan baku secara signifikan menentukan harga.
Citra 1. Tamiang, Antara News, 2018 http://bimg.antaranews.com/
Citra 2. Tamiang, Kawula Wisuda, 2018 https://kawulawisuda.wordpress.com/
Komodifikasi gagantam membawa impak negatif dan
positif. Impak negatifnya adalah gagantam masa kini
telah memiliki nilai tanda selain nilai tukar sehingga ia menjadi representasi dari kelas masyarakat. Stratifikasi para konsumen menjadi sangat jelas berdasarkan harga komoditas yang dikonsumsinya.
Selain itu, tradisi gotong-royong, saling tolong-menolong dalam membuat media persembahyangan, proses pelestarian dan pewarisan tradisi kini tergeser oleh budaya pasar.
Secara positif, komodifikasi ini membuka peluang ekonomi bagi pedagang maupun bagi produsen
menyediakan gagantam yang dirancang secara kreatif
menjadikannya lebih menarik. Meskipun gagantam
dikomodifikasi, hal itu tidak memengaruhi kesucian dan nilai kesakralan ibadah.
Citra 3. Gantung-Gantungan, Bali Plus, 2018 http://baliplus.com/
Pasar gantung-gantungan dan tamiang mengadaptasi
fungsi-fungsi manajemen. Hal ini membuktikan bahwa
komodifikasi gagantam bertumbuh luas mengikuti ideologi pasar [6]. Bisnis ini mencapai puncaknya menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan dan hari raya lainnya ketika permintaan melonjak sehingga rantai
pasokan hingga pedagangan eceran kebanjiran
pekerjaan.
4. Konklusi
Gagantam adalah simbol alat-alat kelengkapan perang batin yang dimaknai oleh masyarakat setempat sebagai penolak dan sebagai alat pelindung diri kini mengalami transformasi dan komodifikasi seiring dengan kemajuan zaman.
Gagantam masa kini memiliki nilai tanda dan nilai ekonomi selain nilai ibadah, sehingga ia dapat dikonsumsi dan digunakan sebagai representasi kelas. Para produsen, distributor dan para penjual mengelola usaha mereka untuk melayani kebutuhan pasar yang terus
bertumbuh. Berkat kreatifitas menjadikan gagantam
lebih menarik.
Pasar gagantam juga membuka peluang bagi pelaku
usaha meski keyakinan mereka berbeda, dengan begitu mereka dapat meraup laba dalam bisnis ini tanpa mengusik keharmonisan Bali.
Referensi
[1] Wiana, K., 2000. Arti dan fungsi sarana
[2] Anonim. 2018. “Makna Tamiang, Endongan, Ter dan Sampian Gantung Pada Hari Raya Kuningan”. Available at: http://wiracaritabali.blogspot.co.id/2014/12/makna-tamiang-endongan-ter-dan-sampian.html [Accessed 28 May 2018].
[3] Sujaya, I.M. 2018. “Mengapa Sarana Upakara Hari
Kuningan Berupa Simbol Alat-alat Perang?”
balisaja.com. [online] Available at:
http://www.balisaja.com/2013/04/mengapa-sarana-upakara-hari-kuningan.html [Accessed 28 May 2018].
[4] Swardiyasa, I.P. 2012. “Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan”. [online] I putu Swardiyasa. Available at:
https://iputuswardiyasa.wordpress.com/2012/08/31/mak na-hari-raya-galungan-dan-kuningan/ [Accessed 28 May 2018].
[5] Pratama, K.H.S. and Marbun, S. 2016. “Komodifikasi Penjor sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu”. An1mage Jurnal Studi Kultural, 1(2), pp.110-115.
[6] Azhari, S.K. 2007. “Globalisme (Bangkitnya Ideologi Pasar)”. Jurnal Sosioteknologi, 6(11), pp.273-275.
[7] Suariloka, I.K. 2018. “Parisada Hindu Dharma
Indonesia”. [online] Available at:
http://phdi.or.id/artikel/dharmayudha-galungan