• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pinggir sebagai Hal Tidak Penting Arsite (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pinggir sebagai Hal Tidak Penting Arsite (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

‘Pinggir’ sebagai Hal Tidak Penting dalam Desain:

Ulasan Kritis

Arsitektur Dekonstruksi dan Refleksi atas

The Parergon

Derrida

Pengantar

P.S: Saya tidak hendak mengkaji teori arsitektur dekonstruksi di tulisan ini, karena itu cukup memusingkan dan problematis. Jika ingin mendalami hal tersebut, telah ada seorang mahasiswa Arsitektur UI yang mendeskripsikan arsitektur dekonstruksi dan konstruktivisme secara lebih mendetail sebelum saya. Silahkan buka di sini: https://robinhartanto.wordpress.com/...

Justru saya ingin membahas salah satu turunan teori dekonstruksi Derrida (yang sejujurnya Derrida pun tidak ingin menamainya demikian, dekonstruksi , tapi ya sudah terlanjur terkenalnya begitu), yaitu teori The Parergon , atau terjemahannya; tepi karya . Apakah itu tepi karya dan kenapa ia menjadi penting dibahas meskipun tidak diperlukan , mungkin bisa sedikit direnungi dari sini. Buat yang malas membaca, bisa langsung baca cepat cukup terutama pada bagian catatan kakinya saja.

Abstrak

Arsitektur Dekonstruksi menjadi salah satu ihwal terminologi yang masih diperdebatkan eksistensinya atau setidaknya kebenarannya di dalam diskursus tekstual maupun empiris. Esai singkat saya yang didasarkan oleh sebatas pemahaman umum mengenai filsafat dekonstruksi ini menggali pemahaman secara khusus terhadap Parergon, salah satu dari konsep yang ditawarkan oleh Jacques Derrida untuk membongkar relasi-relasi yang terjadi dalam mencerap dan mengalami karya seni, termasuk juga arsitektur. Membaca bingkai dalam arsitektur dan arsitektur sebagai bingkai erat kaitannya dengan membaca konteks di saat menilai estetika (theory of aesthetic judgement) karya arsitektur. Konsep bingkai di tulisan ini juga dieksplorasi untuk membaca fenomena arsitektur secara umum di Indonesia.

A. Pendahuluan: Apakah Ada Arsitektur Dekonstruksi? (Tidak Penting)

Kekeliruan umum yang biasa terjadi di pikiran masyarakat bahkan di kalangan akademisi sekalipun juga masih terjadi ialah menganggap bahwa istilah dekonstruksi secara praktis mengarah kepada suatu gaya desain. Kenyatan menarik bahwa istilah ini di bidangnya sendiri (filsafat dan bahasa) mengalami perdebatan yang tidak kunjung selesai (dan memang dimaksudkan demikian). Telah banyak studi yang menjelaskan detail mengenai teori dekonstruksi di bidang ilmu cultural studies lainnya, jadi dalam hal ini saya tidak perlu menganalisis ulang pilar-pilar dasar dari teori dekonstruksi tersebut.

(2)

Grammatology (atau de la Grammatologie dalam bahasa Perancis) yang membahas konsep-konsep utama [1] filsafatnya. Kompleksitas atas konsepnya yang luas itu membuat saya lebih ingin memfokuskan pada salah satu tulisan spesifiknya yang mungkin terhitung masih sedikit terbahaskan, yaitu teori The Parergon yang dikaji dari keluaran buletin Octopus tahun 1979 dan dalam buku The Truth in Painting (berjudul asli Le Verite en Peinture) tahun 1986 dengan judul artikel yang sama dengan yang di Octopus (isi mengalami pengembangan konten yang berbeda).

Namun, untuk menyelaraskan ide filsafat dekonstruksi itu dengan konteks arsitektur, maka pertanyaan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu ialah: di dunia ini, baik teoretis maupun praktis, apakah arsitektur dekonstruksi itu ada/eksis?

Merefleksikan teori arsitektur dekonstruksi terhadap sejarahnya sendiri, pada tahun 1988 di bulan Maret untuk pertama kalinya The Museum of Modern Art di New York mengeluarkan sebuah fact sheet untuk meriliskan sebuah pameran (exhibition) bernama DECONSTRUCTIVIST ARCHITECTURE yang diadakan pada 23 Juni-30 Agustus 1988. Sebuah brief singkat yang dicetak memuat tentang konten yang akan ditampilkan pada pameran. Salah satu kutipannya ialah kalimat berikut ini:

The architects recognize the imperfectbility of the modern world and seek to address, in Johnson s [Philip Johnson maksudnya, pen.] words, the pleasure of

unease . Obsessed with diagonals, arcs, and warped planes, they intentionally violate the cubes and right angles of modernism. [2]

Para tokoh arsitek yang diundang antara lain Peter Eisenman, Frank Gehry, Zaha M. Hadid, Rem Kolhaas, Daniel Libeskind dan Bernard Tschumi. Yang lebih menarik perhatian saya ialah pada kalimat berikutnya, yang menjelaskan bahwa karya arsitektur dekonstruktivis yang dimaksud mengakar kepada teori konstruktivisme Rusia dan tidak disebutkan mengenai Dekonstruksi model Derrida, yang juga masih di dalam satu spirit zaman yang sama. Beberapa karya mereka secara tidak langsung memang mirip pola konstruktivisme Rusia (Uni Soviet) di abad ke-20 meski dengan ide tujuan yang berbeda.

(3)

Gambar 1. Parc de la Villette karya Bernard Tschumi yang dipamerkan pada "Architecture Deconstructivist" di MoMA tahun 1988 (dari berbagai sumber)

(4)

B. Bingkai sebagai Elemen Parergon yang Tidak Diperlukan

Bagi generasi pemikir seperti Derrida, mendefinisikan karya seni sebagai seni berarti mendefinisikannya dengan melibatkan konteks. Karya seni menurut Derridean dapat dilihat sebagai prakondisi sosial dan politik yang tertuang. Dengan teori parergon sendiri, setiap karya seni buatan manusia dapat mengkontekstualisasikan apa yang dibingkai bersamanya (a framework that contextualizes what is being framed). Kata Parergon , menurut Kant di jauh hari diistilahkan beranjak dari adanya ruang tengah (Mittelglied) antara dualitas teoretis-praktis, konstitutif-regulatif, atau juga antara understanding dan reason [4], yaitu pencarian atas kesenangan (pleasure) terhadap karya seni yang meniadakan desire atau interest subyektif terhadap obyek. Pencarian ini disebut dengan istilah pendapat atau pandangan (judgment, urteil).

Pertanyaan utama yang muncul di dalam benak kita saat memandang karya seni ialah bagaimana kita dapat menilai karya sehingga karya itu dapat dikatakan sebagai sesuatu yang indah. Pada nyatanya, memang sulit untuk membuat satu konsepsi dan aturan baku yang disetujui oleh umum untuk mengukur sebuah keindahan. Derrida menawarkan cara untuk menilai aspek formal pada saat mencerap karya seni tersebut, di samping hanya terfokus pada elemen yang mengkonstitusikan keindahan menurut si pembuat karya. Ini yang disebut sebagai tahapan kritik obyek ketiga lanjutan dari tradisi pemikiran Kantian.

Pandangan subyektif pada saat menilai karya seni juga sebetulnya tidak buruk-buruk amat, dikarenakan bidang estetika lahir ketika karya sebagai representasi mengacu pada hal-hal terkait subyek, sedangkan pandangan yang logis dalam menilai seni akan membuat seni menjadi sangat obyektif. Pandangan subyektif yang berupa taste atau interest personal tidak masuk dalam kerangka pengetahuan logis (knowledge), sehingga sifat subyektif ini disebut aisthesis dalam bahasa Yunani, atau estetika, yaitu relasi yang membuat pengaruh pada diri saat melihat karya.

(5)

Gambar 2. Ilustrasi para (tepi) yang banyak mencuat dan ditemukan dalam buku "The Truth of Painting" Derrida. Maksudnya si Derrida mau ngejelasin, "Ini lho, gue pake' garis pinggir ini

buat nunjukkin Parergon di tulisan gue" (sumber: The Parergon , 1979)

Konsep lain yang menekankan hal serupa ialah dualitas antara yang pusat dan yang marginal serta pembalikan hierarki. Dalam menjabarkan teori parergon secara istilah [6], Derrida identik dengan dua konsep ini. Sesuatu yang marginal dengan sudut pandang berbeda bisa menjadi penentu suatu karya untuk dinilai sebagai hal yang indah. Hal ini bisa dilakukan jika dan hanya jika tanda pada proses penggunaannya terus bersifat berulang di konteks beragam hingga mencapai strukturnya sendiri. Derrida juga menyebutkan profesi seorang arsitek sebagai sebuah metafora yang menunjukkan fokus bidangnya terhadap elemen struktural dan fondasional di dalam berargumentasi mengenai estetika, khususnya dalam membangun.

Gambar 3. Bingkai atau tepi karya yang dijadikan ekstensi dan menjelma sebagai sebuah kanvas karya tersendiri (kiri-tengah), dan seorang wanita dengan baju gorden (kanan).

(sumber: The Parergon , 1979)

C. Diskusi dan Penutup

(6)

Atau mana yang sebenarnya lebih mendekati kebenaran: parergon dianalogikan menjadi kolom sebagai pondasi struktural atau parergon hanya sebagai tampak tambahan semata? Perdebatan akan Parergon secara formal ini, terutama soal bingkai karya seni dan arsitektur menjadi fokus saya mendapatkan kesimpulan [9].

Secara singkat, fenomena orang umum menilai dan mengkategorikan karya arsitektur ke dalam jenis arsitektur dekonstruksi (yang kenyataannya sang arsitek tidak pernah menyatakan demikian, seperti contoh lihat Gambar 4) turut berhubungan dengan persoalan bagaimana masyarakat mencerap pengalaman akan keindahan karya seni (arsitektur), seperti yang dijabarkan oleh kritik obyek ketiga Derrida di paragraf -paragraf sebelumnya. Bagaimana sebuah judgment itu muncul sehingga karya digolongkan sebagai karya dekonstruktif?

Bisa dibilang, persepsi masyarakat yang mudah menilai estetika dan mengkategorisasikan menjadi arsitektur dekonstruksi seperti itu masih berada di tataran keterlibatan fasad dan fisik arsitektur yang identik disebut dengan pengrusakan kestabilan tampilan bangunan di luar aspek formalnya. Memang tidak benar demikian bahwa bangunan yang dimaksud itu ialah karya arsitektur dekonstruksi; tetapi bisa jadi tidak salah juga. Pertanyaan yang lebih penting ialah, perlukah suatu teori dekonstruksi memiliki sebutan gaya yang berarti bersifat terbingkai , sedangkan dengan melakukan penetapan yang bersifat fixed malah menjadi kontradiksi bagi prinsip-bebas-prinsip dekonstruksi?

Konsep bingkai dalam parergon sangat berkaitan dengan teori dekonstruksi secara keseluruhan, dengan cara membongkar tradisi lama yang hanya terfokus pada sentralitas dan kebakuan struktur dalam melihat dunia. Bingkai yang menjadi tabir antara karya dan realitas semestinya bukan menjadi batas , karena dengan penekanannya pada tulisannya, Derrida justru hendak mengangkat dan meluaskan makna karya melebihi batas-batas oleh bingkai itu, semenjak tidak ada bingkai yang bersifat alamiah, dan yang tersisa hanyalah pembingkaian (framing) yang dialamiahkan (naturalization), seperti menentukan manakah yang merupakan arsitektur dekonstruksi dan mana yang bukan.

(7)

Gambar 4. Rumah arsitek Sardjono Sani yang sebagian orang mendeskripsikannya dengan kata 'dekonstruksi' (sumber: Arsitektur Indonesia, IAI (18), Oct-Des 1995; halaman 13)

D. Daftar Pustaka

Derrida, J., 1979, The Parergon, transl. C. Owens, dalam October (9) pp. 3-41, The MIT Press, JSTOR, dilihat dari http://www.jstor.org/stable/778319

Derrida, J., 1987, The Parergon , dalam The truth in painting, trans. The University of Chicago Press, London.

E. Catatan Kaki (yang mungkin penting)

[1] Konsep terpenting dari teori Dekonstruksi antara lain konsep destruktion atau abbau ( penghancuran ) yang digunakan oleh Martin Heidegger di generasi filsuf sebelumnya. Derrida turut menelurkan istilah baru yang menarik yaitu differánce dalam kaidah kebahasaan dekonstruktif.

[2] Teks ini dikutip langsung dari hasil scan lembaran Fact Sheet No. 29, For Immidiate Release, Maret 1988 oleh The Museum of Modern Art, 11 West 53 Street, New York. Pameran dipublikasikan secara utama oleh Philip Johnson dan ditulis naskahnya oleh

Mark Wigley. (Diakses pada 24 Mei 2016 melalui

https://www.moma.org/docs/MOMA_1988_0029_29.pdf)

[3] Ibid.

(8)

critique of pure theoretical reason. Derrida turut mengutip Kant yang menjabarkan tentang parergon (meskipun di beda zaman), yaitu, It is a parergon, composite of inside & outside, but a composite which is not an amalgam or half-a-half, an outside which is called inside the inside to constitue it as inside. (Derrida, J., The Parergon , 1979)

[5] Jika dikaji menurut definisi etimologinya, kata -ergon (kerja, karya) juga berkaitan erat dengan kata energy dalam bahasa Inggris, yaitu usaha atau sikap aktif untuk bekerja atau berkarya (work), sedangkan kata –para merujuk pada sesuatu yang bersisian dengan karya, seperti yang dijelaskan pada paragraf 3 definisi kata Energetic pada kamus Origins: Gr [Greek] ergon, work, occurs also in: par ergon, a by-work: adopted, via L, from Gr: para, beside+ergon; adj, parergal. (Lihat Partridge, E., Origins: An Etymological Dictionary of Modern English, Routledge, 1966)

[6] Derrida memaksudkan parergon secara istilah sebagai suatu kontingensi sekunder yang tidak dianggap dan dikesampingkan (belum tentu tidak penting). Jika dipadankan dengan kata lain, parergon juga bisa dimaknai sebagai sebuah sifat pengecualian (exceptional), yang asing (peculiar), dan di luar kebiasaan (extraordinary) pada karya seni manusia atau pada skup bidang yang lebih luas. Meskipun terpinggirkan, parergon selalu eksis berdampingan dengan ergon sebab ia berperan sebagai bingkai yang memperantarai dua permukaan atau dunia . Dalam esainya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Derrida menjabarkannya dengan kalimat A parergon is against, beside, above, beyond the ergon, but it is connected to and co-operates in its operation from the outside. (Derrida, J., The Parergon , 1979)

[8] Tidak semua teori filsafat memiliki permisalan yang benar-benar riil, konkret dan empiris untuk menjelaskannya. Namun, untuk mudahnya saya gali dari kata yang Derrida gunakan dalam bahasa Perancis, yaitu hors d euvre, atau accesoris, foreign, secondary object, supplement, aside, remainder. Derrida bahkan masih mempertanyakan bagaimana suatu posisi dikatakan sebagai bagian dari parergon, terutama dalam karya seni. Relasi antara ergon dan parergon ia tuturkan seperti relasi antara lukisan dan bingkai, bangunan dengan kolom yang meliputinya, atau badan orang dengan kain penutup atau drapery (lihat Gambar 3 kanan).

(9)

Gambar

Gambar 1. Parc de la Villette karya Bernard Tschumi yang dipamerkan pada "Architecture Deconstructivist" di MoMA tahun 1988 (dari berbagai sumber)
Gambar 3. Bingkai atau tepi karya yang dijadikan ekstensi dan menjelma sebagai sebuah  �kanvas� karya tersendiri (kiri-tengah), dan seorang wanita dengan baju gorden (kanan)
Gambar 4. Rumah arsitek Sardjono Sani yang sebagian orang mendeskripsikannya dengan kata 'dekonstruksi' (sumber: Arsitektur Indonesia, IAI (18), Oct-Des 1995; halaman 13)

Referensi

Dokumen terkait

Djuanda menjadi lebih baik dan adanya atraksi wisata yang beragam dan bervariasi sehingga menarik perhatian para pengunjung yang datang, memiliki sarana dan prasana

Metode Belajar akan mempengaruhi hasil belajar, untuk memperoleh proses pembelajaran yang efektif, serta menarik perhatian siswa, maka diperlukan suatu metode

Fenomena ini menarik untuk diteliti karena hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran yang objektif tentang bentuk alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Melayu Jambi

Dari latar belakang yang dijelaskan tersebut, dapat dirumuskan bahwa masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini ialah penerapan sistem pengendalian internal dan

Bab ini menjelaskan tentang pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif, indentifikasi variabel yang terdiri dari : variabel bebas (ROA, EPS, SIZE, DER,

Yang menarik, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kualitas pertemanan memiliki korelasi yang lebih tinggi pada kebahagiaan melebihi faktor kepribadian dan jumlah

Lebih-lebih dalam sistem hukum Indonesia tidak ada penegasan mengenai pandangan yang dianut antara teori monisme (primat hukum nasional/primat hukum internasional) atau dualisme

[Times New Roman 12, ​justify ​ , paragraf pertama menjorok 1 cm, penulisan kalimat antar paragraf dengan tanpa spasi ( ​no before and after space ​ ) yang menjelaskan teori