• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Agraria Indonesia Edisi 2 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Majalah Agraria Indonesia Edisi 2 Tahun"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

INDONESIA

FOKUS EDITORIAL

PRINSIP-PRINSIP

BANK TANAH

PETA JALAN PEMBENTUKAN

BANK TANAH

STRUKTUR KELEMBAGAAN

BANK TANAH DI INDONESIA

KAJIAN

BANK TANAH

UNTUK

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

EDISI 2

(2)

Daftar Isi

Pelindung:

Deputi Bidang Pengembangan Regional

Penanggung Jawab:

Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

Pemimpin Redaksi :

Kasubdit Pertanahan

Editor:

Reza Nur Irhamsyah

Redaksi:

Idham Khalik, Raffli Noor, Gita Nurrahmi,

Rini Aditya, Aulia Oktraina Lafitadji

Desain dan Publikasi Edisi Online:

Edi Setiawan

Distribusi dan Administrasi:

Pratiwi Khoiriyah.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

Kementerian PPN/Bappenas

Gedung Madiun Lt 3

Jl. Taman Suropati No 2. Menteng. Jakarta Pusat.

Telp/Fax: 021-3926601

TIM REDAKSI

INDONESIA

2

X

X

X

X

X

Kontribusi Bank Tanah dalam Menciptakan

Iklim Indonesia yang Kondusif

Fokus Editorial :

Prinsip-prinsip Bank Tanah

Kontribusi Bank Tanah Dalam Menciptakan

Iklim Investasi Indonesia Yang Kondusif

Peta Jalan Pembentukan Bank Tanah

Workshop Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional

Tahun Anggaran 2014

Fokus

Dari Redaksi

Peta Jalan

X

Wacana

Agenda

Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat

(Rakorbangpus) Tahun 2015

Redaksi menerima kiriman naskah dengan panjang tulisan maksimal 1.600 kata, melalui

agrariaindonesia@gmail.com, disertai dengan data diri.

Redaksi berhak melakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi.

X

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

1

3

8

10

12

Kegiatan

Sosialisasi Kajian dan Strategi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum di Indonesia

13

14

Sosialisasi RPJMN Tahun 2015-2019

Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

15

Ringkas Buku

Lands Bank and Land Banking

16

Regulasi

Peraturan Perundangan Terkait Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum

17

Klipping

Pentingnya Lembaga Pengadaan Tanah

(Bank Tanah)

18

Data dan Informasi

Rencana Kerja Tim Koordinasi Strategis RAN

Tahun 2015

19

Info Situs

20

Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi

(HPK) Indonesia Per-Desember 2014

(3)

Seperti kita ketahui bersama, salah satu permasalahan pertanahan mendasar yang masih dihadapi hingga saat ini terutama di kawasan perkotaan adalah semakin terbatasnya ketersediaan lahan untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Proses pembebasan lahan seringkali membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal tersebut yang selama ini teridentifikasi sebagai penyebab utama terhambatnya program-program pemerintah dalam upaya meningkatkan pelayanan publik, yang akhirnya berdampak pada lambatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah dengan menerbitkan Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pada undang-undang tersebut diamanatkan bahwa pembangunan investasi publik yang dilakukan baik oleh instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus melalui proses perencanaan dan penganggaran. Namun kemudian ternyata kemampuan birokrasi nasional belum cukup mampu untuk menjaga konsistensi kerangka waktu proses perencanaan dengan penganggaran, sehingga seringkali terjadi rencana strategis tidak serta merta didukung oleh penganggaran pada tahun anggaran yang sama.

Dengan demikian terlihat kebutuhan mendesak untuk segera dibentuk suatu lembaga yang dapat menjembatani perbedaan kerangka waktu tersebut dengan aktif melakukan pembelian tanah terlebih dahulu sesaat setelah proses perencanaan selesai. Dengan demikian maka perbedaan waktu (time lag) antara dokumen perencanaan dan penganggaran yang menyebabkan harga tanah yang telah disepakati tidak dapat dibayarkan, dapat diatasi. Lembaga tersebut kemudian dikenali sebagai Lembaga Penyediaan Tanah atau BLU Bank Tanah. Dengan kondisi tersebut, tentu diharapkan suatu pembangunan yang berkelanjutan, dimana permasalahan lahan untuk pembangunan kepentingan umum/publik perlu ditangani oleh lembaga yang mewakili pemerintah dalam hal

mengurus kepastian pembangunan investasi publik, dengan membentuk suatu Badan Lembaga Umum untuk Penyediaan Tanah (Bank Tanah) bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Dalam Majalah Agraria Indonesia edisi ke-2, dengan mengangkat tema “Bank Tanah untuk Pembangunan Berkelanjutan”, akan mengupas tentang prinsip-prinsip Bank Tanah atau Lembaga Penyediaan Tanah yang sesuai di Indonesia, dan kemudian dalam memegang amanat Undang-Undang Dasar 1945, seperti apa alur pelaksanaannya. Selain itu edisi ke-2 ini juga akan menyampaikan ringkasan hasil kajian yang telah dilakukan oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Direktorat Perumahan dan Permukiman Bappenas, serta Bank Dunia pada tahun 2014 tentang konsep Bank Tanah yang sesuai di Indonesia. Disampaikan pula rencana dan peta jalan (roadmap) pembentukan Bank Tanah di Indonesia, lalu ulasan beberapa kegiatan Sub-direktorat Pertanahan, ringkasan buku Land Bank and Land Banking, rangkuman regulasi terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, serta data spasial dan informasi hutan produksi yang dapat dikonversi di Indonesia, yang menjadi sumber TORA (Target Objek Reforma Agraria) untuk mencapai target Nawacita seluas 9 juta Ha. Tim redaksi berharap, dengan berbagai konsep dan alur pelaksanaan yang memiliki versi berbeda-beda dari beberapa Instansi atau Lembaga tentang pelaksanaan Bank Tanah di Indonesia, kami dapat menawarkan konsep sebagai bahan pemikiran bagi sebuah pelaksanaan Bank Tanah atau Lembaga Penyediaan Tanah yang dapat diterapkan di Indonesia, dengan tetap memegang amanat pada Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 yaitu “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.

Selamat membaca. Salam

Dari

nrmnews.com

(4)

FOKUS

Fokus Editorial :

Prinsip-prinsip Bank Tanah

Sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa pembangunan memerlukan ketersediaan tanah dalam skala yang luas. Namun semakin hari semakin sulit memperoleh tanah. Akibatnya, harga tanah melonjak tinggi dan pemerintah mengalami kesulitan dalam memperoleh tanah bagi keperluan pembangunan untuk kepentingan umum.

Kondisi ini menimbulkan gagasan pendirian bank tanah di Indonesia pada awal tahun 1980-an. Ide ini kemudian bergulir namun belum pernah secara serius dilaksanakan. Barulah pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, pemerintah secara tegas menetapkan perlunya pendirian bank tanah di Indonesia. Bahkan pemerintah telah menetapkan salah satu quick wins pada tahun 2015 berupa penerbitan Keputusan Presiden tentang Bank Tanah

Landasan Filoso Pengadaan Tanah Bagi

Kepentingan Umum

Pengalokasian sumberdaya tidak dapat sepenuhnya mengandalkan sistem ekonomi pasar, terutama jika menyangkut barang publik. Pemerintah diharapkan menangani 3 (tiga) cabang fungsi terkait penggunaan anggaran belanja pemerintah (Musgrave dan Peackok, 1958, Stiglitz, 1999 dalam Kajian Alternatif Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Direktorat Perkotaan, Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, 2007), yaitu (i) fungsi stabilisasi ekonomi makro menyangkut tingkat kesempatan kerja dan stabilitas harga; (ii) fungsi r e d i s t r i b u s i p e n d a p a t a n , m e n y a n g k u t p e m e r a t a a n kesejahteraan berupa penyediaan subsidi; (iii) fungsi alokasi sumberdaya, menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya terkait hajat hidup orang banyak oleh pemerintah. Fungsi redistribusi pendapatan dan alokasi sumberdaya menjadi landasan penyediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Konstitusi telah mengamanatkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya, kepentingan bersama lebih utama dibanding kepentingan perseorangan. Selanjutnya, amanat ini diterjemahkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA Tahun 1960) khususnya pada pasal 2 ayat

(1) kewenangan Negara menyangkut tanah meliputi (a) mengatur persediaan, penggunaan, peruntukan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang mengenai bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Terkait aspek penguasaan dan pemilikan tanah, kegiatannya meliputi (i) perlindungan dan pemberian peluang yang sama bagi setiap warga Negara Indonesia untuk memiliki tanah sebagai sumber kehidupan secara wajar; (ii) pencegahan penguasaan tanah secara berlebihan; (iii) mewujudkan terselenggaranya pemerataan peningkatan taraf hidup masyarakat golongan ekonomi lemah; (iv) mewujudkan terselenggaranya pemerataan penguasaan pemilikan dan pemanfaatan tanah.

Pemahaman Bank tanah

Saat ini istilah Bank Tanah sudah lazim didengar, walaupun ditengarai belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang baik terhadap istilah Bank Tanah menjadi suatu keniscayaan mempertimbangkan salah satu program prioritas pemerintah yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 adalah Bank Tanah.

Pentingnya Bank Tanah didasarkan pada fenomena terkendalanya pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum. Sudah menjadi keseharian kita mendengar berita terhambat atau bahkan terhentinya proyek pembangunan untuk kepentingan umum disebabkan oleh sulitnya proses pembebasan tanah.

Bank Tanah adalah suatu lembaga yang menyediakan tanah untuk keperluan pembangunan, sekaligus bertindak selaku pengendali harga tanah. Bank Tanah adalah Badan Usaha yang tidak semata-mata mencari untung tetapi lebih bersifat pengelola pertanahan dari segi pengendalian harga tanah dan mendukung pelaksanaan Rencana Tata Ruang. Dengan demikian Bank Tanah mendukung tugas pemerintah dalam pengelolaan, penyediaan dan pengendalian harga tanah. Limbong (2013) menegaskan Bank Tanah merupakan sarana manejemen tanah dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan tanah menjadi lebih produktif.

Sebagaimana biasanya, definisi suatu istilah selalu beragam. Demikian pula halnya dengan Bank Tanah. Pemahaman lain oleh UNESCAP (1993) bahwa Bank Tanah memungkinkan pemerintah memiliki tanah jauh hari sebelum dibutuhkan. Manfaatnya adalah harga tanah yang murah dan m e m u n g k i n k a n s e b a g a i a l a t m e m p e n g a r u h i p o l a pengembangan suatu daerah

Lebih jauh, dikenali Bank Tanah setidaknya mempunyai beberapa kegiatan utama yaitu (i) membeli tanah, (ii) mematangkan tanah baik secara fisik maupun administrasi; (iii) menjual kapling tanah siap bangun kepada yang membutuhkan; (iv) mengadministrasikan jual beli tanah sesuai dengan ketentuan. Van Dijk (2006) menjelaskan kegiatan bank tanah dapat berupa pengambilalihan tanah secara sistematis yang

Bank Tanah Sebagai Alternatif Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

(5)

biasanya dalam skala luas, dan tanah tersebut akan dimanfaatkan di masa datang untuk melaksanakan kebijakan pertanahan.

Dalam konteks Indonesia, tujuan umum Bank Tanah setidaknya mencakup (i) menjamin terwujudnya rumusan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yaitu bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat ; (ii) sebagai instrumen pelaksanaan berbagai kebijakan pertanahan dan mendukung pengembangan wilayah; (iii) mengendalikan pengadaan, penguasaan dan pemanfaatan tanah secara adil dan wajar dalam melaksanakan pembangunan.

Fungsi Bank Tanah meliputi (i) penghimpun tanah (land keeper) berupa inventarisasi dan pengembangan basis data tanah, administrasi dan sistem informasi pertanahan; (ii) pengaman tanah (land warrantee) berupa mengamankan penyediaan, peruntukan, pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang dan menjamin efisiensi pasar tanah; (iii) pengendali tanah (land purchaser) berupa pengendalian penguasaan dan penggunaan tanah sesuai aturan yang berlaku; (iv) penilai tanah (land valuer) berupa menunjang penetapan nilai tanah yang baku, adil dan wajib untuk berbagai keperluan; (v) penyalur tanah (land distributor) berupa menjamin distribusi tanah yang wajar dan adil berdasarkan kesatuan nilai tanah, mengamankan perencanaan, penyediaan dan distribusi tanah; (vi) pengelola tanah (land manager) berupa melakukan manajemen pertanahan, melakukan analisis, penetapan stra.tegi dan pengelolaan implementasi berkaitan pertanahan.

Thurston (2004) menegaskan bahwa tujuan Bank Tanah mencakup (i) mengelola pertumbuhan perkotaan; (ii) memastikan ketersediaan tanah untuk keperluan tertentu; (iii) mengambil keuntungan modal akibat peningkatan nilai tanah. Ditambahkan oleh Flechner (1974), jika terkait pemerintah, tujuan Bank Tanah dapat mencakup (i) membentuk pertumbuhan wilayah; (ii) menata perkembangan kota; (iii) memperoleh manfaat dari peningkatan nilai investasi tanah; (iv) menyempurnakan pasar tanah sehingga dapat mengurangi spekulasi tanah; (v) memperoleh tanah untuk kepentingan umum; (vi) mengurangi biaya pelayanan publik sebagai akibat pembangunan yang terencana; (vii) memungkinkan menyediakan subsidi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah; (viii) menjaga kualitas lingkungan (Limbong, 2013).

Sementara GTZ (1998) menyatakan tujuan Bank Tanah adalah (i) memperbaiki akses masyarakat miskin terhadap tanah; (ii) mendukung pelaksanaan kegiatan pembangunan perkotaan; (iii) mengurangi kenaikan harga tanah dan mengurangi spekulasi tanah; (iv) mendorong kemitraan publik dan swasta; (v) memperbaiki struktur kepemilikan tanah.

Secara umum Bank Tanah bermanfaat untuk (i) pengendalian pasar tanah yang menjamin efisiensi dan rasionalitas harga tanah; (ii) mengefisienkan dan menjamin nilai tanah yang wajar dan adil; (iii) mampu memadukan kebijakan, strategi, implementasi, dan evaluasi yang berkaitan dengan tanah. Sementara Limbong (2013) menambahkan manfaat lain seperti (i) membantu mencapai berbagai tujuan (tidak hanya satu jenis kegiatan tetapi bisa beragam mulai dari perumahan, infrastruktur, dan lainnya); (ii) dapat menjadi bagian integral dari pembangunan metropolitan.

Secara khusus, manfaat Bank Tanah untuk Indonesia meliputi (Limbong, 2012) (i) ketersediaan tanah terjamin khususnya di daerah perkotaan; (ii) harga tanah terjangkau dan relatif stabil; (iii) mendukung program ketahanan pangan dan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah; (iv) menjamin pelaksanaan reforma agraria dan modernisasi desa.

S e l a i n i t u , L i m b o n g ( 2 0 1 3 ) b e r d a s a r h a s i l pengamatannya terhadap kondisi pertanahan di Indonesia menegaskan bahwa Bank Tanah dapat menjawab beberapa persoalan krusial yang dihadapi pemerintah saat ini. Beberapa hal yang tercatat diantaranya. Pertama, pemerintah memiliki cadangan tanah. Bank Tanah menjadi mesin pemerintah dalam menyediakan cadangan tanah untuk kepentingan pembangunan. Dengan demikian akan memudahkan langkah pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan yang memerlukan ketersediaan tanah dalam skala besar, terutama (i) fasilitas umum (sekolah, rumah sakit, ruang terbuka hijau, ruang terbuka publik dan lainnya); (ii) infrastruktur (jalan raya/tol, waduk, pembangkit istrik, air bersih dan lainnya); (iii) pengembangan kota dan kawasan strategis (perumahan murah, kawasan industri, pusat bisnis), (iv) pemukiman kembali korban bencana, pembebasan tanah, dan penggusuran kawasan kumuh; (v) ketahanan pangan melalui pengurangan laju alih fungsi lahan pertanian, (v) reforma agraria terkait penyediaan tanah untuk redistribusi tanah; (vi) modernisasi desa melalui kegiatan peternakan, perkebunan, fasilitas umum desa. Kedua. Efisiensi anggaran pemerintah. Pengalaman menunjukkan pembangunan yang membutuhkan luasan tanah berskala besar banyak terkendala oleh tidak tersedia tanah dan lamanya pembebasan tanah. Akibatnya dibutuhkan biaya yang besar untuk pembebasan tanah. Keberadaan Bank Tanah akan memungkinkan pemerintah mempunyai cadangan tanah dalam skala luas sehingga biaya pembebasan tanah dapat dikurangi. Ketiga, mengurangi konflik pembebasan tanah. Keberdaan Bank Tanah yang menyediakan tanah dalam jangka panjang akan sangat mengurangi potensi konflik dalam proses pembebasan tanah. Keempat, mengurangi dampak buruk liberalisasi tanah.

Pentingnya Bank Tanah

Prinsip Dasar Pembentukan Bank Tanah

Mendasari pada tujuan dan manfaat dari Bank Tanah, Rusdianto (2014) mengemukakan terdapat setidaknya 4 (empat) prinsip dasar pembentukan Bank Tanah, yaitu (i) k e g i a t a n B a n k T a n a h d i a r a h k a n s e b a g a i u p a y a memberdayakan tanah untuk pencapaian kesejahteraan rakyat; (ii) pemerintah berperan penting dalam mewujudkan Bank

(6)

Tanah sesuai dengan kewenangannya untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan serta pemeiharaan tanah; (iii) Bank Tanah dapat memberikan jaminan ketersediaan tanah melalui upaya peningkatan daya guna dan hasil guna dalam pemanfaatan tanah dengan mempertimbangkan keselarasan kepentingan berbagai pihak serta tanpa mengabaikan fungsi social dari tanah; (iv) melibatkan secara aktif masyarakat khususnya pemilik tanah dalam manajemen Bank Tanah

Jenis Bank Tanah

Terdapat 3 (tiga) jenis Bank Tanah yang dikenal selama ini, yaitu (i) Bank Tanah Publik, yang merupakan Bank Tanah yang penyelenggaraannya melibatkan lembaga publik, bersifat independen dan memberi layanan publik yang sepenuhnya berada dibawah kendali pemerintah. Flechner (1974, dalam Limbong, 2013) mengklasifikasikan Bank Tanah publik menjadi (a) Bank Tanah Umum, yang melayani perolehan tanah yang belum dikembangkan dan terlantar, memegang tanah dan membagi tanah untuk semua jenis penggunaan tanah tanpa spesifikasi penggunaan sebelumnya untuk daerah tertentu. Bank Tanah ini dijalankan suatu badan publik dengan tujuan mengendalikan pola pertumbuhan kota, mengatur harga tanah, dan penggunaan tanah; (b) Bank Tanah Khusus, terfokus pada area tertentu diantaranya pembangunan perkotaan, perumahan bagai masyarakat miskin, fasilitas umum, ruang terbuka hijau, dan pengembangan industri; (ii) Bank Tanah Swasta, yang penyelenggaraannya melibatkan swasta. Motif utamanya adalah keuntungan dri pendapatan kontrak sewa jangka panjang dan peningkatan nilai tanah. Bank Tanah swasta dapat berupa Bank Tanah investasi, perusahaan pengembang, kawasan industry, perkebunan, dan lainnya; (iii) Bank Tanah Campuran, yang penyelenggaraannya dilaksanakan bersama antara pemerintah dan swasta. Bank Tanah jenis ini terbentuk untuk menyiasati keterbatasan dana namun dengan tetap mengedepankan kepentingan publik.

Sumber Tanah

Sumber ketersediaan tanah bagi Bank Tanah diantaranya dapat mencakup (i) membeli dari masyarakat dengan harga pasar; (ii) memanfaatkan tanah pemerintah pusat/daerah; (iii) memanfaatkan tanah BUMN/D yang dapat berupa pola kemitraan; (iv) mendayagunakan tanah terlantar dan HGU yang tidak diperpanjang dan HGU yang tidak produktif. Tanah terlantar sendiri diartikan sebagai tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. (OM)

Menurut Limbong (2013), terdapat setidaknya 4 (empat) faktor yang menjadi penentu keberhasilan praktek Bank Tanah yaitu (i) political will. Pembentukan Bank Tanah perlu diwujudkan melalui inisiasi pemerintah yang dapat berupa peluncuran regulasi sebagai acuan awal pembentukan Bank Tanah. Bentuk regulasi dapat beragam sesuai kebutuhan; (ii) tata ruang. Alokasi ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang merupakan kondisi optimal dari pemanfaatan suatu ruang. Hal ini dapat terwujud jika pengaturan dan penguasaan tanah dapat dilaksanakan secara tertib. Keberadaan Bank Tanah dapat menjadi alat yang dapat memastikan pemanfaatan tanah sesuai dengan alokasi ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW. Selain itu, penyediaan tanah melalui Bank Tanah bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya penguasaan tanah untuk tujuan spekulasi; (iii) tertib sertifikasi pertanahan. Pelaksanaan pendaftaran dan sertifikasi tanah dapat memberikan kepastian dalam penguasaan tanah yang akan menunjang keberhasilan penerapan Bank Tanah. Ketika terjadi tumpang tindih penguasaan tanah, Bank Tanah akan terhambat dalam mendapatkan tanah. Ketersediaan peta bersama yang menjadi rujukan penataan ruang, dan perijinan akan sangat membantu praktek Bank Tanah; (iv) ketersediaan sumberdaya manusia dan sistem pendukung yang mumpuni. Keberadaan Bank Tanah akan melibatkan asset tanah dalam jumlah besar baik luasan maupun nilainya. Untuk itu, ketersediaan tenaga professional yang dilengkapi sistem pendukung menjadi suatu keniscayaan.; (v) partisipasi aktif masyarakat. Bank Tanah membutuhkan kemitraan strategis dengan organisasi nirlaba, organisasi masyarakat, pemerintah daerah termasuk masyarakat dalam upaya memanfaatkan sumberdaya pertanahan yang tersedia.

Sebagai pembanding, kajian yang dilakukan oleh Cleveland State University (2005) menunjukkan terdapat 8 (delapan) faktor yang menunjang keberhasilan praktek Bank Tanah di Amerika Serikat, yaitu (i) tujuan dan sasaran Bank Tanah sebaiknya jelas dan rinci; (ii) koordinasi Bank Tanah dan pemerintah daerah termasuk pemangku kepentingan lainnya menjadi suatu keniscayaan agar tercipta efisiensi dalam praktek Bank Tanah; (iii) percepatan proses hukum dalam pembelian tanah sangat diperlukan; (iv) independensi Bank Tanah dibutuhkan dalam proses distribusi tanah; (v) ketersediaan sistem informasi manajemen terpadu menjadi suatu keharusan; (vi) tujuan Bank Tanah sebaiknya terinternalisasi dalam rencana strategis pemerintah; (vii) prosedur sebaiknya efisien; (viii) pendanaan juga seyogyanya efisien. (OM)

Faktor Penentu Keberhasilan

Bank Tanah

infotol.org

(7)

Bank Tanah bukanlah konsep baru. Merujuk pada beberapa literatur, konsep Bank Tanah telah dipraktekkan di Eropa dan Amerika sejak puluhan tahun lalu. Perencana kota menggunakan konsep Bank Tanah untuk mengamankan tanah di pinggiran kota bagi kepentingan pembangunan kota jangka panjang. Bank Tanah menjamin kestabilan harga bagi pengembangan kota masa depan (Silva, 2011 dalam Limbong, 2013).

Di Belanda, Bank Tanah mulai diterapkan pada tahun 1896 di kota Amsterdam untuk mengimbangi pertumbuhan kota yang pesat. Pada tahun 1971, sekitar 83 persen yang ditawarkan untuk pengembang-an kota diperoleh dari Bank Tanah. Sekitar 31 persen disewa-kan untuk kepentingan swasta. Bank Tanah sepenuhnya ber-tanggungjawab pada hampir seluruh kota dalam penyediaan tanah (Thurston, 2004 dalam Limbong, 2013). Praktek bank tanah di negara Belanda lebih condong pada kegiatan bank tanah yang bersifat khusus, yaitu bahwa pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan menyelenggarakan penyediaan, pematangan dan penyaluran tanah publik dan tanah privat dengan ditentukan lebih dahulu penggunaannya (Mutia, 2004)

Pada masa awal kemerdekaannya, kepentingan umum didefinisikan secara luas yaitu kegiatan yang berdampak p e r l u a s a n l a p a n g a n k e r j a , p e n i n g k a t a n a k t i v i t a s perdagangan/industri, pengem-bangan sumberdaya alam. Kemudian berkembang kekhawatiran terganggunya kepentingan individu sehingga muncul penafsiran sempit yaitu kepentingan umum dikaitkan dengan pelayanan publik seperti kesehatan, keamanan, kesejahte-raan masyarakat sebagaimana ditetapkan oleh legislatif.

Pemaknaan kepentingan umum ditetapkan oleh legislatif, dilaksanakan oleh eksekutif, dan putusan atas keberatan atau sengketa terkait hal ini ditetapkan oleh pengadilan (Soemardjono, 2011).

Sementara di Stockholm (Swedia) Bank Tanah baru dimulai pada tahun 1904 melalui pendirian perusahaan properti yang mengelola pembelian tanah. Pada tahun 1979, sekitar 70 persen tanah di Swedia telah menjadi milik publik. Perancis sedikit terlambat merapkan Bank Tanah, baru pada tahun 1958 melalui pendirian Bank Tanah tingkat nasional untuk pemba-ngunan perumahan. Namun Bank Tanah kurang berhasil karena kurangnya komitmen politik dan keuangan (Strong, 1979 dalam Limbong, 2013).

Sejarah dan Pembelajaran Bank Tanah:

Mancanegara dan Indonesia

Praktek di Amerika Serikat

Bank Tanah di Amerika Serikat dilaksanakan oleh peme-rintah daerah, yang meliputi proses pembelian dan pengu-asaan tanah oleh pemerintah daerah. Alasan pemerintah daerah dalam pembentukan Bank Tanah untuk melindungi kawa-san terbuka hijau dan kawasan pertanian. Pemerintah daerah menutup biaya pembentukan Bank Tanah dengan menyewakan tanah yang dimilikinya atau dengan menjualnya kembali disertai persyaratan yang sangat ketat yang menjamin tidak terjadinya alih fungsi lahan.

Di Asia, Cina merupakan Negara yang paling bersemangat mempraktekkan Bank Tanah dan dimulai pada era 1990an. Pemerintah membentuk Land Use Right (LUR), dan praktek Bank Tanah kini telah berkembang menjangkau lebih dari 1.600 kota.

Negara Asia lainnya, Pemerintah Jepang menentukan suatu kebijakan bahwa orang yang membeli tanah dan kemudian menjual kembali tanah itu dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak tanah tersebut dibeli, maka dikategorikan sebagai kegiatan spekulasi tanah, sehingga dikenakan pajak yang sangat tinggi (Mutia, 2004)

Pengelolaan bank tanah di Guatemala dilakukan dengan cara negara atau pemerintah memberikan keringanan pajak kepada setiap pemilik tanah yang menjual tanahnya kepada negara, sedangkan apabila tidak menjual kepada negara maka akan dikenakan pajak yang tinggi. Selanjutnya pemerintah mengatur mengenai pengelolaan tanah tersebut.

Praktek Bank Tanah di mancanegara telah menjadi alat pengendali pertumbuhan perkotaan berupa (i) pengendalian pola pertumbuhan perkotaan, dan (ii) pengaturan harga tanah. Pemerintah kota di Belanda membebaskan tanah di pinggiran kota besar untuk mengantisipasi pelaksanaan rencana tata ruang di masa depan. Luasan tanah yang dibebaskan dapat mencapai 5.000 hektar. Di Perancis, pembebasan tanah selain dilakukan langsung oleh pemerintah daerah, juga dilakukan oleh Bank Tanah yang melakukan pembelian sesuai permintaan pemerintah dan lembaga publik untuk kepetingan umum. Lebih menarik lagi, beberapa kota mengintegrasikan otoritas perencanaan kota kedalam mekanisme Bank Tanah dengan menyusun rencana kerja bersama-sama.

Pada awal tahun 1960-an di Jakarta pernah terbentuk semacam lembaga bank tanah yang disebut Badan Perusahaan Tanah dan Bangunan, yang merupakan lembaga pemerintah berfungsi membeli tanah, mematangkan tanah, dan menjual tanah. Sementara di Surabaya pada 1960-1970 dikembangkan lembaga sejenis yaitu Yayasan Kas Pembangunan Surabaya (YKPS) yang fungsinya menyediakan

bisnis.keuangan.kompas.com

(8)

Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah dengan jelas mencantumkan dalam dokumen RPJMN 2015-2019 b a h w a m e w u j u d k a n k e m a n d i r i a n e k o n o m i d e n g a n menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, t e r k a i t p e r t a n a h a n m e l a l u i p e m b e n t u k a n l e m b a g a pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (bank tanah) untuk menjamin kepastian ketersediaan tanah untuk keperluan pembangunan di berbagai sektor.

Tentu saja kebijakan pembentukan Bank Tanah perlu ditindaklanjuti dengan langkah nyata. Setidaknya regulasi awal

Dalam RPJMN 2015-2019, dijabarkan 4 (empat) isu strategis terkait pertanahan, salah satu diantaranya adalah ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Menyadari terkendalanya pembangunan untuk kepentingan umum oleh relatif sulitnya melakukan pembebasan tanah, pemerintah kemudian menetapkan sasaran pembangunan terkait hal ini berupa pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Selanjutnya, strategi yang dikembangkan adalah (i) penyiapan regulasi pembentukan lembaga bank tanah berupa peraturan presiden; (ii) bank tanah mewakili Negara melaksanakan pembelian bidang tanah pada kawasan prioritas. Peraturan presiden tentang bank tanah mengatur kelembagaan bank tanah, kewenangan, sumber pendanaannya serta pemanfaatan tanah yang berasal dari bank tanah.

Dalam upaya mewujudkan in stitusi/lembaga pencadangan tanah (bank tanah), diperlukan peran dan kerjasama dari beberapa instansi pemerintah, sebagai berikut (i) kementerian PPN/Bappenas, melakukan kajian pengembangan konsep bank tanah; (ii) Kementerian Hukum dan HAM, menyusun peraturan perundang-undangan terkait bank tanah; (iii) Kementerian Keuangan, mengalokasikan anggaran untuk pembentukan institusi/lembaga bank tanah, dan untuk pembelian bidang-bidang tanah pada kawasan yang diprioritaskan pembangunannya; (iv) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, membentuk Badan Layanan Umum (BLU) penyediaan tanah/Bank Tanah dan menyiapkan SDM dan mekanisme praktek pencadangan tanah.

Terkait percepatan pembangunan perumahan, strategi menyangkut pertanahan adalah berupa peningkatan efektifitas dan efisiensi manajemen ahan dan hunian di perkotaan melalui pengembangan instrumen pengelolaan lahan untuk perumahan diantaranya seperti konsolidasi lahan, dan bank tanah.

Sumber: Buku Saku RPJMN 20115-2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan.

Bank Tanah dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) 2015-2019

kavling siap bangun dan sudah bersertifikat dilengkapi dengan bangunan infrastruktur sarana dan prasarana, dan menjualnya kepada yang memerlukan.

Dalam konteks pengembangan kawasan industri, pada dasarnya para pengusaha kawasan industri juga bertindak sebagai lembaga bank tanah dengan membeli tanah, mematangkannya untuk kebutuhan industri. Namun praktek tersebut tidak menjamin berfungsinya pengendalian harga tanah karena dilaksanakan oleh pihak swasta.

Tantangan utama dalam pengembangan Bank Tanah adalah terkait pembiayaan operasional meliputi ketersediaan dana selama fase awal pembentukan, penyeimbangan tujuan pembentukan dan sumberdaya keuangan, dan kebutuhan s u m b e r d a y a p e n d a n a a n s k a l a b e s a r . E f e k t i fi t a s operasionalisasi Bank Tanah bergantung pada sumber dana yang stabil dan berkelanjutan.

Salah satu sumber pembiayaan Bank Tanah adalah dana pemerintah dalam bentuk hibah atau pinjaman. Pemerintah Perancis menerapkan pemungutan pajak lokal sebagai sumber pembelian tanah. Sementara di Belanda, pemerintah daerah melalui Bank Tanah membeli tanah untuk mengantisipasi pertumbuhan wilayah perkotaan pada masa depan. Pemerintah daerah kemudian menjual atau menyewakan tanah dengan nilai yang terjangkau. Pemerintah kota memperoleh pinjaman dari bank untuk membiayai pembelian atau subsidi perumahan dari pemerintah nasional. Secara umum, sumber pembiayaan Bank Tanah dapat bersumber dari dana (i) pemerintah pusat/daerah; (ii) lembaga nonpemerintah/swasta/ yayasan. Pembiayaan ini dapat mencakup pembiayaan sebagai bagian dari bisnis perusahaan atau bagian dari CSR perusahaan. Dana yang diberikan dapat berupa penyertaan modal atau hibah; (iii) lembaga keuangan berupa pinjaman; (iv) lembaga keuangan internasional berupa pinjaman untuk pembiayaan pembangunan maupun hibah; (v) kerjasama bilateral berupa pinjaman maupun investasi; (vi) lembaga donor internasional berupa hibah.

Rencana Aksi

berupa Keputusan Presiden tentang Bank Tanah sebagai acuan pembentukan Bank Tanah agar segera diterbitkan. Hal ini juga sebagai upaya memenuhi target pencapaian quick wins tahun 2015. Keberadaan Kepres tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Bank Tanah.

Berbagai pihak telah menanti terbitnya Keputusan Presiden terkait Bank Tanah sebagai wujud keseriusan Pemerintah mengatasi kendala ketersediaan tanah bagi kepentingan umum. Sementara tahun 2015 tersisa 3 bulan lagi. Jadi tunggu apa lagi?

news.liputan6.com

(9)

WACANA

KONTRIBUSI

BANK TANAH

DALAM MENCIPTAKAN

IKLIM INVESTASI INDONESIA

YANG

KONDUSIF

Iklim investasi yang kondusif secara mudah dapat dipahami sebagai suatu prasyarat pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi sehingga cukup untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk anggota masyarakat suatu bangsa. Seringkali yang kemudian menjadi permasalahan adalah dalam konteks regional, katakan regional Asia Tenggara, frasa iklim investasi selalu mengandung konsep kompetisi di dalamnya. Dengan demikian dapat dipahami pula bahwa dalam perencanaan pembangunan jangka panjang nasional periode 2005 – 2025, keunggulan kompetitif perekonomian menjadi sasaran utama di dua RPJMN terakhir.

Dalam upaya mewujudkan iklim investasi yang baik dalam pengertian pembangunan ekonomi nasional, maka salah satu faktor penting yang menjadi prasyarat adalah sistem (hukum) yang dapat diprediksi, sistemik, formal, dan rasional yang bebas dari pengaruh mahzab politik dan agama yang berkuasa (otonom).

(Max Weber On Law In Economy And Society; Lan Cao, Law and Economic Development: A new Beginning?. 1997). Frasa “yang dapat diprediksi” dalam konteks pembangunan kawasan (regional), secara umum dapat diartikan sebagai “kepastian investasi publik”. Dengan bahasa sederhana maka dapat disimpulkan bahwa dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat diperlukan daya saing tinggi yang didapat dari iklim investasi yang baik melalui peningkatan kepastian pembangunan investasi publik.

Lalu bagaimana kondisi nasional kita terkait dengan kepastian pembangunan investasi publik?

Pada banyak negara di dunia, secara filosofis, tanah dimiliki atau dikuasai negara terlebih dahulu dan baru kemudian berdasarkan aturan didistribusikan hak-hak atau hubungan hukum penduduk dengan tanah yang dimiliki atau yang dikuasainya (pada beberapa negara tanah tidak bisa dimiliki dan hanya bisa dikuasai untuk dimanfaatkan).

Berbeda dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia memiliki cara pandang yang unik atas pengakuan Negara terhadap hubungan hukum penduduk dengan tanah yang

dimiliki dan dikuasai. Dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, Pasal 1, Pasal 3, Pasal 16, dan Pasal 20 mengindikasikan bahwa hak kepemilikan individu diakui Negara dan merupakan hak tertinggi dan terpenuh dari seorang penduduk. Setelah pengakuan Negara terhadap kepemilikan individu barulah kemudian dalam Pasal 18 ditegaskan “sovereignty of the state” yang tetap harus berdasarkan kepada “kepentingan umum, nasional, dan/atau bangsa dan negara”. Keunikan filosofis ini menyebabkan aturan operasional dibawah UU selalu secara halus mengedepankan “pembelian paksa” oleh Negara ketimbang mencabut hak dan kemudian diberikan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUPA. Beberapa peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan operasi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, secara kronologis adalah:

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah;

2. Peraturan Presiden RI No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

3. Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

4. Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

5. Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; 6. Peraturan Presiden RI No. 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

7. Peraturan Presiden RI No. 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama Atas Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

8. Peraturan Presiden RI No. 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

9. Peraturan Presiden RI No. 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

TAHAPAN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL RPJPN 2005-2025 dan damai yang adil dan demokratis mian yang berbasis SDA yang tersedia, mandiri, maju, adil dan makmur melalui

PERENCANAAN PERSIAPAN PELAKSANAAN PENYERAHANHASIL Dokumen

141 141 37 Total 319

(10)

Terdapat perbedaan prinsip antara peraturan perundangan pengadaan tanah yang terbit sebelum tahun 2012 dan dengan yang terbit setelahnya. Dimana pada sebelum tahun 2012 peraturan perundangan tersebut belum mengatur kerangka waktu pelaksanaan sehingga pada prakteknya, akibat keberatan-keberatan, proses pengadaan tanah dapat berlangsung lama dan bahkan tanpa batas waktu yang jelas. Banyak kasus tercatat dapat membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk melakukan pengadaan tanah dapat berlangsung lama dan bahkan tanpa batas waktu yang jelas. Banyak kasus tercatat dapat membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk melakukan proses pengadaan tanah tersebut, hal ini akan menimbulkan munculnya spekulan tanah, dan akan membuat terhambatnya proses pembangunan.

Pada era ini, kepastian pembangunan investasi publik amat rendah sehingga amat mengurangi daya saing nasional bila dibandingkan dengan negara tetangga lain yang memiliki karakter keunggulan pengadaan tanah dapat berlangsung lama dan bahkan tanpa batas waktu yang jelas. Banyak kasus tercatat dapat membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk melakukan proses pengadaan tanah tersebut. Pada era ini, kepastian pembangunan investasi publik amat rendah sehingga amat mengurangi daya saing nasional bila dibandingkan dengan negara tetangga lain yang memiliki karakter keunggulan kompetitif yang sama seperti tenaga kerja kasar yang murah dan berlimpah. Hal ini ditunjukan dengan lebih dipilihnya negara-negara tetangga tersebut sebagai tujuan investasi FDI (Foreign Direct Investment) beberapa investor PMA (Penanaman Modal Asing) besar ketimbang Indonesia.

Menyadari hal tersebut, salah satu upaya besar di bidang pertanahan yang dilakukan Pemerintah adalah dengan memperbaiki peraturan perundangan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Perbaikan tersebut dilakukan melalui upaya melengkapi peraturan perundangan terkait dengan aturan batas waktu maksimum pada setiap tahapan pelaksanaan sehingga pada akhirnya total waktu yang dibutuhkan paling lama dalam melakukan pengadaan tanah adalah 583 hari kerja. Dengan upaya tersebut diharapkan tingkat kepastian pembangunan investasi publik dapat dilakukan.

Merujuk tag pertanyaan di atas, yang menjadi perhatian kita bersama kemudian, apakah dengan dilakukan penyempurnaan tersebut, kepastian pembangunan investasi publik dapat benar-benar meningkat? Pembangunan investasi publik dilakukan melalui kegiatan kementerian/lembaga baik itu instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang harus melalui proses perencanaan dan penganggaran. Sayangnya kemampuan birokrasi nasional belum cukup mampu untuk menjaga konsistensi kerangka waktu proses perencanaan dan penganggaran, dimana seringkali terjadi rencana strategis tidak serta merta didukung oleh

penganggaran pada tahun anggaran yang sama.

Menjadi fenomena umum, khususnya investasi publik skala besar, dimana penganggaran baru dilakukan dua atau tiga tahun setelah dokumen perencanaannya disahkan. Time lag selama dua atau tiga tahun menyebabkan harga tanah yang telah disepakati tidak dapat dibayarkan sehingga timbul keberatan oleh pemilik tanah yang merasa nilai tanah nya telah meningkat selama dua atau tiga tahun terlambat.

Memperhatikan praktek yang dilakukan negara-negara maju khususnya, kemudian disadari bahwa Indonesia perlu memiliki suatu institusi yang mewakili negara dalam melakukan upaya pencadangan tanah bagi penyediaan tanah untuk kepentingan umum. Lembaga penyediaan tanah ini yang memiliki anggaran pembelian tanah tersendiri, sebagai upaya penyediaan tanah dan cadangan tanah dapat secara aktif melakukan pembelian tanah berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang telah disahkan. Kementerian/lembaga yang memerlukan tanah dan belum memiliki anggaran, tetap dapat melakukan pembangunan dengan cepat begitu anggaran tersedia karena tanah yang dibutuhkan telah tersedia dengan harga yang pasti.

PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA BERDASARKAN LAPORAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL (LKPM) MENURUT SEKTOR Tahun 2010-2014 ( Nilai Investasi dalam US$ Juta)

Sumber : BKPM Keterangan

Diluar Investasi Sektor Minyak & Gas Bumi, Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha, Investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor,Investasi Porto Folio (Pasar Modal) dan

Investasi Rumah Tangga / Excluding of Oil & Gas,Banking, Non Bank Financial Institution, Insurance, Leasing, Investment which licenses issued

PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA BERDASARKAN LAPORAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL (LKPM) MENURUT SEKTOR Tahun 2010-2014 ( Nilai Investasi dalam US$ Juta)

bumn.go.id

(11)

Intensitas pembangunan yang semakin meningkat seringkali tidak diimbangi dengan ketersediaan tanah sehingga berakibat semakin sulitnya memperoleh tanah untuk berbagai keperluan, terutama bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Kondisi tersebut dihadapkan lagi dengan melonjaknya harga tanah secara tidak terkendali/wajar setiap tahunnya untuk berbagai kepentingan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah pertentangan kepentingan antarpihak atas sebidang tanah yang sama. Akibat praktis yang ditimbulkan adalah pemerintah mengalami kesulitan dalam melakukan proses pembebasan tanah terutama terkait eksekusi pembebasan penguasaan tanah dan pembiayaannya yang menjadi sangat mahal. Itu semua terlihat melalui banyaknya kasus pembebasan tanah yang berlarut-larut. Disisi lain, hak penduduk lain yang lebih membutuhkan dan mampu memanfaatkan bidang tanah tersebut dengan segera, menjadi tidak terpenuhi sehingga potensi kesejahteraan yang akan didapat menjadi tidak dapat terwujud.

Terdapat kecenderungan penguasaan tanah dalam skala luas ditujukan untuk mencari keuntungan dengan berkedok sebagai badan usaha yang bergerak di bidang properti dengan HGB dan bidang perkebunan dengan HGU serta sebagai badan usaha yang bergerak dalam penyiapan tanah untuk kawasan perindustrian dengan regulasi Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) dan Kawasan Siap Bangun (Kasiba). Berbagai kegiatan usaha tersebut digunakan sebagai untuk menguasai tanah dalam skala besar, meskipun tidak diusahakan secara optimal bahkan sebagian terindikasi ditelantarkan. Praktek seperti ini tidak dapat dimaknai sebagai praktek bank tanah yang benar, terutama yang dilakukan oleh pihak swasta. Penguasaan tanah dalam skala luas, tidak diusahakan untuk kepentingan pembangunan ekonomi tetapi cenderung dimanfaatkan sebagai objek spekulasi dan investasi. Dengan demikian, praktek pencadangan tanah yang dilakukan oleh swasta bertentangan dengan keadilan sebagaimana dicantumkan Pasal 33 UUD 1945.

Sebenarnya PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar telah menetapkan dalam Pasal 6, bahwa bila dalam tiga tahun sejak hak diberikan tidak dilakukan pemanfaatan, maka bidang tanah tersebut dinyatakan sebagai teridentifikasi terlantar. Peringatan diberikan tiga kali masing-masing dalam waktu 1 bulan, dan bila tetap tidak dilakukan pemanfaatan sesuai dengan

peruntukan ijin yang diberikan, maka kemudian bidang tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah terlantar dan dikuasai negara.

U n t u k m e n g a t a s i k e t e r s e d i a a n t a n a h u n t u k pembangunan bagi kepentingan umum telah ditetapkan UU No. 2/2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Perpres No. 30/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta perangkat hukum turunannya. Peraturan perundangan tersebut memberikan kepastian dari sisi waktu pengadaan melalui pembatasan waktu maksimal pengadaan tanah dan dapat mencegah spekulasi tanah dan mengendalikan harga tanah. Namun demikian, peraturan tersebut belum dapat mengantisipasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan dan penganggaran pengadaan tanah.

Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut Pemerintah belum memiliki instrumen kelembagaan yang khusus. Dengan demikian, diperlukan lembaga khusus yang mewakili negara untuk melakukan penyediaan tanah bagi pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Lembaga negara tersebut disebut Lembaga Penyediaan Tanah atau dikenal dengan “Bank Tanah”. Dalam pelaksanaannya Bank Tanah diamanatkan untuk melakukan pembelian bidang-bidang tanah untuk dimanfaatkan pembangunan kepentingan umum atau menjual kembali dengan harga tertentu bagi keperluan pembangunan.

Tujuan umum pembentukan Bank Tanah adalah untuk menyediakan lahan untuk pembangunan kepentingan umum sehingga rencana pembangunan oleh pemerintah dan swasta tidak terhambat. Adapun manfaat pembentukan bank tanah antara lain sebagai berikut: (i) efisiensi kegiatan pembebasan lahan; (ii) mampu menjaga stabilitas harga tanah; (iii) mampu membantu pengembangan dan peremajaan wilayah perkotaan; (iv) mampu mendukung program ketahanan pangan; (v) mampu menyediakan perumahan bagi rakyat; dan (vi) menjamin pelaksanaan reforma agraria.

Pembentukan Lembaga Penyediaan Tanah

Memperhatikan Pasal 9, ayat (3), dan Pasal 15, ayat (i) PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terlihat bahwa negara memiliki kewenangan untuk melakukan pencadangan tanah. Berbeda dengan badan usaha swasta, negara dalam melakukan pencadangan tanah tidak terikat waktu untuk melakukan pemanfaatan pada bidang-bidang tanah yang dikuasai karena pada akhirnya, setiap bidang-bidang tanah yang dikuasai negara akan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 33, UUD 1945.

Selain itu dalam RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanahan dan merujuk pada 9 agenda prioritas Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden (Nawacita) dan Quick Wins telah disebutkan mengenai pembentukan Bank Tanah.

Peta Jalan (Roadmap)

Pembentukan Lembaga Penyediaan Tanah

kaltimprov.go.id

(12)

Sumber: Hasil Kajian Urban Land Provisioning For Development Of Public Interest, Bappenas 2014

2015 Gambar Road Map Pembentukan Bank Tanah

Bank tanah tersebut diharapkan dapat secara aktif melakukan pembelian bidang-bidang tanah pada kawasan-kawasan yang diprioritaskan pembangunannya seperti Pusat Pertumbuhan Baru, Terminal Logistik Tol Laut, Kawasan Industri, Sentra Industri Maritim dan Perikanan, dan lain sebagainya

Akuisisi tanah publik yang dilakukan oleh bank tanah diadakan untuk penggunaan masa depan dan dalam rangka

1

menerapkan kebijakan tanah publik . Bank tanah mengacu pada proses akuisisi tanah masyarakat yang belum dikembangkan atau tidak produktif untuk tujuan pengembangan

2

di masa mendatang . Efektifitas penerapan konsep bank tanah sangat tergantung pada regulasi yang mengaturnya, kelembagaan, dukungan pendanaan, dan bagaimana kegiatan bank tanah itu dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen m o d e r n . U n t u k m e m u d a h k a n d a l a m m e w u j u d k a n pembentukan bank tanah maka perlu disusun sebuah roadmap pembentukan BLU Penyediaan Tanah Nasional di Indonesia yaitu:

Untuk mewujudkan pembentukan lembaga Bank Tanah maka diperlukan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembentukannya. Sesuai dengan agenda Nawacita dan Quick wins, pada Tahun 2015 peraturan perundang-undangan yang akan disusun adalah dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Selain itu, diperlukan juga penyusunan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN terkait pembentukan Bank Tanah; Amandemen peraturan perundangan-undangan yaitu UU No. 2/2012 dengan mengakomodasi kegiatan penyediaan tanah (land bank); serta penyusunan pedoman/peraturan teknis terkait pengadaan tanah, penyediaan tanah, dan konsolidasi lahan di kawasan perkotaan. Regulasi bank tanah yang akan disusun seyogyanya dapat mengakomodasi aspek-aspek hukum sebagai berikut:

Ÿ Bank tanah harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kemakmuran rakyat;

Ÿ Bank tanah harus berkontribusi nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan melalui pendistribusian tanah;

Ÿ Bank tanah harus berkontribusi dalam menyediakan tanah secara fisik dan administrasi guna menjamin keberlanjutan pembangunan dengan kebijakan alokasi tanah, baik untuk kegiatan sosial maupun untuk kegiatan komersial;

Ÿ Bank tanah harus mampu menyempurnakan sistem pengendalian atas nilai-nilai tanah sehingga dapat t e r j a n g k a u o l e h k e m a m p u a n s e l u r u h l a p i s a n masyarakat.

Selanjutnya setelah regulasi dan perangkat peraturan perundang-undangan yang diperlukan telah disusun, dilanjutkan dengan pembentukan lembaga bank tanah dalam bentuk BLU penyediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dibawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Selain itu, perlu juga dibentuk badan pengawas BLU penyediaan tanah nasional. Bank tanah dalam bentuk BLU dibawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN disarankan dengan pertimbangan BPN merupakan instansi pemerintah dan tidak memiliki konflik kepentingan. Selain itu, BPN merupakan lembaga yang sangat berpengalaman dalam pengelolaan p e r t a n a h a n s e r t a m e m i l i k i k e n d a l i s a m p a i t i n g k a t kabupaten/kota.

Setelah Bank Tanah terbentuk, perlu segera dilakukan sosialisasi, serta pelatihan terkait fasilitasi dan mediasi pelaksanaan konsolidasi lahan dengan instrumen BLU penyediaan tanah kepada aparat BPN dan Pemda. Termasuk sosialisasi terhadap pihak swasta dan pelaku bisnis. Dengan demikian, diharapkan setiap pihak dapat berkontribusi dan mendukung lembaga Bank Tanah.

Terbentuknya Bank Tanah memungkinkan segera dilakukan pembelian bidang-bidang tanah pada kawasan-kawasan yang diprioritaskan pembangunannya. Selanjutnya adalah penerapan manajemen bank tanah yang berhubungan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan

kegiatan serta pengawasan terhadap kegiatan bank tanah dalam mewujudkan tujuan bank tanah.

1 Van Dijk, T. and D Kopeva, Land Banking And Central Europe: Future Relevance Current

Initiatives, Western European Past Experience, Land Use Policy, 23, 3, 286-301, 2006, hlm. 290

1 Frank S. Alexander, Land Banking As Metropolitan Policy, Brookings Intitution Metropolitan Policy Program, 2008

2

Rencana pembentukan

Bank Tanah

dilakukan sebagai upaya untuk

memudahkan proses pembebasan tanah

untuk

Pembangunan In astruktur

tataruangindonesia.com setkab.go.id

(13)

Rakorbangpus merupakan bagian dari proses perencanaan pembangunan nasional dalam rangka penyusunan rencana kerja pemerintah (RKP) tahunan. Rakorbangpus bertujuan untuk mensosialisasikan serta menyempurnakan rancangan awal RKP dan pagu indikatif masing-masing kementerian/lembaga (K/L) sebagai bahan persiapan rencana kerja kementerian/lembaga (RENJA-K/L). Selanjutnya RA-RKP tersebut akan dilakukan penyempurnaan melalui forum konsultasi yang intensif antara masing-masing K/L dengan BAPPENAS dan Kementerian Keuangan, serta dilakukan dengan daerah melalui musrenbangnas.

Pada tahun 2015 ini, dalam Rakorbangpus dilakukan pengarahan per Dimensi atau Kondisi Perlu, yang bertujuan untuk menajamkan rencana tindak pencapaian sasaran, target dan lokasi rencana pembangunan tahun 2016.

Pembahasan Rakorbangpus difokuskan pada:

(i) konfirmasi kesiapan pembangunan setiap sektor, keterkaitan antarlokasi pembangunan, tahapan pelaksanaan, dan instansi pelaksana serta pembagian kewenangan;

(ii) konfirmasi kebutuhan pendanaan selama 5 tahun dan alokasi RAPBN-P;

(iii) k o n fi r m a s i k e b u t u h a n k e r a n g k a r e g u l a s i d a n kelembagaan.

Selain itu, pada tahun ini diperkenalkan juga mekanisme pembahasan baru berupa pertemuan multisektor (multilateral meeting) yang difokuskan pada koordinasi perencanaan yang meliputi beberapa K/L terkait terhadap agenda prioritas

AGENDA

Mutilateral meeting dilaksanakan agar dalam pengalokasian Pagu Indikatif tidak lagi dilakukan secara sektoral melainkan berdasarkan agenda pembangunan karena disadari bahwa banyak sasaran/target program di K/L yang memerlukan dukungan dari kegiatan K/L lain. Agenda multilateral meeting terbagi dalam: (i) kedaulatan pangan; (ii) kedaulatan energi; (iii) kemaritiman; (iv) industri/kawasan industri; (v) pariwisata; (vi) revolusi mental; (vii) pembangunan kawasan perbatasan.

Berikut beberapa hasil agenda forum yang terkait dengan bidang tata ruang dan pertanahan. Pertama, Agenda peningkatan kedaulatan pangan, terkait dengan isu lahan

sawah antara lain: (i) Perlu pendetailan lokus sawah sampai dengan tingkat kabupaten (dan untuk tujuan tertentu sampai koordinat). Data yang tersedia saat ini baru skala provinsi; dan (ii) Perlu dilakukan sinkronisasi kembali antara data lokasi irigasi dan sawah, ketersambungan antara irigasi primer-sekunder-tersier, kewenangan pusat-provinsi-kabupaten, dan kondisi fungsi irigasi. Selama ini terdapat kecenderungan data luasan lahan sawah masih berbeda-beda.

Kedua, Agenda forum kedaulatan energi. Beberapa sasaran nawacita yang terkait dengan agenda ini, antara lain (i) percepatan pembangunan pembangkit listrik dengan target penambahan kapasitas pembangkit sebesar 4.212,2 MW dari beban kebutuhan sebesar 35.000 MW; (ii) pembangunan energi baru dan terbarukan dengan target pembangunan pembangkit listrik bioenergi 3.000 kW serta pembangunan pembangkit listrik dari EBT sebanyak 87 unit; (iii) pembangunan kilang minyak dengan target pelaksanaan EPC dan PMC kilang Minyak. Terkait dengan agenda ini perlu antisipasi dan kesiapan lahan dalam mendukung prioritas nasional berupa pembangunan pembangkit tenaga listrik yang baru.

Ketiga, Agenda forum kawasan industri. Pembahasan dilakukan secara mendalam terhadap masing-masing kawasan industri yaitu: kawasan industri Teluk Bintuni-Papua Barat; Kawasan Industri Bitung-Sulut; Kawasan Industri Palu-Sulteng; Kawasan Industri Morowali-Sulteng; Kawasan Industri Konawe-Sultra; Kawasan Industri Buli, Haltim-Maluku Utara; Kawasan Industri Bantaeng-Sulsel; Kawasan Industri Batulicin-Kalsel; Kawasan Industri Ketapang-Kalbar; Kawasan Industri Landak-Kalbar; Kawasan Industri Kuala Tanjung; Kawasan Industri Sei Mangkei-Sumut; Kawasan Industri Tanggamus-Lampung; Kawasan Industri Jorong, Tanah Laut-Kalsel. Beberapa hal yang terkait bidang pertanahan adalah (i) kendala pembebasan lahan untuk jalan tol di KI Bitung-Sulut; (ii) adanya overlapping Hak Pengelolaan Lahan antara Kapet, KEK dsb di KI Batulicin-Kalsel; dan (iii) proses pengadaan lahan untuk kawasan industri yang belum selesai. Sedangkan pembahasan kawasan ekonomi khusus (KEK) difokuskan pada beberapa kawasan yaitu: KEK Sei Mangkei-Sumut; KEK Tanjung Api-Api-Sumsel; KEK Tanjung Lesung-Banten; KEK Mandalika-NTB; KEK Palu-Sulteng; KEK Bitung-Sulut; KEK Maloy Batuta Trans Kalimantan (MBTK)-Kaltim; KEK Morotai-Malut. Terdapat beberapa program/kegiatan indikatif yang terkait pertanahan yaitu: (i) Pelimpahan kewenangan pengukuran tanah untuk Perubahan Hak atas Tanah kepada Administrator/Kantor Pertanahan setempat; (ii) Sertifikasi Status Lahan 217 Ha; (iii) Pembebasan Lahan Jalan Tol Serang Panimbang (83 Km); (iv) Sertifikasi lahan menjadi Hak Pengelolaan Lahan.

Keempat, Agenda forum pembangunan kawasan perbatasan. Agenda ini merupakan salah satu dimensi dalam Nawacita dengan memokuskan pengembangan 10 Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN), yaitu Paloh-Aruk, Entikong, Nanga Badau, Atambua, Jayapura, Sabang, Ranai, Nunukan, Tahuna, dan Saumlaki. Pengembangan kawasan tersebut diperlukan adanya penyiapan lahan dan kebijakan tata ruang terutama untuk untuk pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN). [RZ]

MEKANISME LAMA MEKANISME BARU RAKORBANGPUS

Penelaahan Program dan Kegiatan Sektor di Masing-masing K/L oleh

Bappenas - Kemenkeu - K/L

TRILATERAL MEETING

Penelaahan Program dan Kegiatan Sektor di Masing-masing K/L oleh

Bappenas - Kemenkeu - K/L

MULTILATERAL MEETING

Koordinasi Perencanaan Multi-Sektor (Multi K/L) terhadap agenda prioritas nasional

(Nawa Cita)

RENJA K/L RENJA K/L

(14)

Dalam rangka mensosialisasikan hasil kajian pembentukan lembaga penyediaan tanah (Bank Tanah) yang dilakukan oleh Bappenas dan World Bank, pada tanggal 21 Oktober 2014 telah diselenggarakan Sosialisasi Kajian dan Strategi Pengadaan Tanah Perkotaan bagi Pembangunan Kepentingan Umum di Indonesia. Kegiatan sosialisasi tersebut dilaksanakan di Hotel Double Tree Jakarta Pusat dengan melibatkan beberapa Kementerian/Lembaga diantaranya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian PPN/Bappenas, dan Badan Pertanahan Nasional.

Pada sosialisasi tersebut dilakukan pemaparan terkait dengan mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum melalui UU No. 2 Tahun 2012 oleh Badan Pertanahan Nasional, serta hasil kajian mengenai pembentukan Lembaga Penyediaan Tanah yang dilaksanakan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Bank Dunia. Dalam sosialisasi tersebut dijelaskan bahwa Lembaga Penyediaan Tanah (Bank Tanah) yang dibentuk merupakan instrumen pelaksanaan dari UU No. 2 Tahun 2012 sehingga dapat melengkapi dan mempercepat pelaksanaan pengadaan tanah.

Mekanisme Penyediaan Tanah melalui Lembaga Penyediaan Tanah (Bank Tanah) sebelumnya telah tertuang dalam Draft Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019. Penyediaan tanah melalui mekanisme tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tanah untuk pembangunan terutama untuk daerah yang masuk kedalam prioritas pembangunan secara nasional. Isu terkait pembentukan lembaga penyediaan tanah sendiri telah tertuang dalam Renstra Badan Pertanahan Nasional.

Sebagaimana dipaparkan oleh Kasubdit Pertanahan – Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Lembaga Penyediaan Tanah yang direncanakan untuk dibentuk merupakan lembaga non profit yang dapat membantu pelaksanaan penyediaan tanah untuk kepentingan umum yang juga sesuai dengan RTRW dan Prioritas Pembangunan secara nasional. Lembaga Penyediaan Tanah tersebut diharapkan

dapat berdiri dibawah koordinasi Badan Pertanahan Nasional selaku lembaga yang membidangi urusan pertanahan. Untuk itu, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dapat disimpulkan bawa bentuk lembaga yang paling masuk akal adalah dengan bentuk kelembagaan BLU.

Pembentukan lembaga tersebut dalam bentuk BLU diharapkan dapat mewujudkan lembaga penyediaan tanah yang non-profit dan tidak berorientasi pada keuntungan sehingga lembaga tersebut tidak kemudian menjadi spekulan tanah yang diakui oleh negara. Sesuai dengan tugas dan fungsi BPN dalam urusan pertanahan yang meliputi “ Registration-Planning-Valuation” diharapkan kehadiran Lembaga Penyediaan Tanah dibawah BPN dapat melengkapi tugas BPN sehingga tidak hanya melakukan pelayanan pertanahan namun juga pengelolaan di bidang pertanahan. Selain itu, pemilihan BPN sebagai Lembaga Negara yang membawahi BLU Bank Tanah yang akan dibentuk didasarkan pertimbangan BPN bukan merupakan pemakai atau user dari tanah yang disediakan tersebut. Dengan demikian, mengurangi kemung-kinan terjadinnya konflik kepentingan dalam penyediaan tanah untuk pemba-ngunan bagi kepentingan umum. Selain itu, BPN merupakan instansi vertikal dan memiliki kantor kantor perwakilan di seluruh kabupaten/kota seluruh Indonesia, sehingga memudahkan proses akuisisi dalam penyediaan tanah di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, untuk melengkapi hasil kajian lebih lanjut diharapkan dapat dilakukan kajian terkait dengan pembiayaan BLU yang akan dibentuk sehingga dapat berjalan dengan optimal dan tidak terkendala dari segi pembiayaan. Perlu dicermati lebih lanjut bahwa pelaksanaan penyediaan tanah yang dilakukan oleh Lembaga Penyediaan Tanah seyogyanya memerhatikan kesesuaian Rencana Tata Ruang. Sosialisasi terkait pembentukan Lembaga Pencadangan Tanah akan dilakukan di BPN secara informal sehingga keseluruhan informasi terkait konsep lembaga tersebut dapat tersampaikan dan diterima dengan baik. [GN]

KEGIATAN

Sosialisasi Kajian Strategi Pengadaan

Tanah Perkotaan bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum

di Indonesia

(15)

Kementerian PPN/Bappenas sejak tahun 2013 telah membentuk Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional dengan tujuan untuk melakukan perbaikan system pengelolaan pertanahan nasional. Dalam rangka mensosialisasikan hasil kerja tim koordinasi tersebut khususnya untuk pelaksanaan kegiatan TA. 2014 maka pada tanggal 25 Februari 2015 dilaksanakan kegiatan Workshop Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Kegiatan tersebut tepatnya dilaksanakan di Ruang Rapat SG 3 Kementerian PPN Bappenas, dan dihadiri oleh beberapa Kementerian/Lembaga diantaranya adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, dan beberapa Direktorat Teknis di lingkungan Kementerian PPN/Bappenas.

Pada Workshop Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria disampaikan beberapa capaian kerja pada tahun anggaran 2014 diantaranya adalah:

1. Cakupan peta dasar pertanahan nasional diluar kawasan hutan yang berhasil diidentifikasi secara spasial mencakup 23.26% atau 14.96 Juta Ha.

2. Cakupan peta tanah bersertipikat yang terdigitasi secara nasional mencakup 14.11% atau 9.242.028 Ha.

3. Terlaksananya Pilot Project Reforma Agraria di Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung.

4. Tersusunnya draft Pedoman Pelaksanaan Reforma Agraria : Koordinasi Lokasi.

5. Tercapainya kesepakatan pelaksanaan Program Agraria Daerah di Provinsi Kalimantan Timur dengan target 921 Bidang yang terdiri dari 6 Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur.

6. Tercapainya kesepakatan pembatalan pembentukan Kamar Khusus Pertanahan di Pengadilan Negeri. Sebagai pengganti, akan dilakukan optimalisasi penanganan kasus kasus pertanahan dalam bentuk diklat khusus materi pertanahan yang diharapkan dapat mempercepat penangan kasus dan sengketa pertanahan.

Terdapat pula beberapa kendala dalam pelaksanaan Koordinasi Strategis Reforma Agraria sehingga tidak tercapainya capaian kerja sesuai dengan target rencana kerja tahun 2014. Beberapa capaian kerja yang kurang sesuai dengan rencana tersebut diantaranya terkait dengan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan. Kegiatan pilot project Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan belum dapat dilaksanakan karena belum tercapainya kesepakatan baik secara teknis maupun penganggaran.

Selain penyampaian capaian kerja Tim Koordinasi Strategis RAN 2014, pada workshop tersebut juga disampaikan mengenai Reforma Agraria yang menjadi salah satu prioritas dalam Nawacita. Terkait dengan hal tersebut, diharapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dapat segera berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat untuk mempersiapkan rencana redistribusi tanah sebanyak 9 Juta Ha kepada masyarakat miskin. Kedepan diusulkan pula bahwa kegiatan redistribusi tanah juga diikuti oleh kegiatan pemberdayaan masyarakat sehingga perlu melibatkan Kementerian/Lembaga yang memiliki program pemberdayaan khususnya terkait dengan pemanfaatan tanah.

Dok. Dit TRP Bappenas. 2014

Workshop

Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria

Nasional Tahun Anggaran 2014

Tabel Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan

di Luar Kawasan Hutan Tahun 2014

(16)

Sosialisasi RPJMN Tahun 2015-2019

Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 telah ditetapkan melalui Perpres 2 Tahun 2015 tentang RPJMN. Dalam rangka mensosialisasikan kerangka besar rencana pembangunan khususnya di bidang tata ruang dan pertanahan, dilakukan sosialisasi RPJMN 2015-2019 bidang tata ruang dan p e r t a n a h a n p a d a t a n g g a l 1 2 M a r e t 2 0 1 5 k e p a d a Kementerian/Lembaga terkait. Sosialisasi tersebut dilaksanakan dengan tujuan membentuk kesamaan pemahaman terkait dengan agenda pembangunan 2015-2019.

Dengan dilaksanakannya sosialisasi diharapkan juga dapat mempererat komitmen dan memudahkan pelaksanaan koordinasi untuk menyelesaikan target target pembangunan yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019. Penyusunan RPJMN tidak terlepas dari agenda prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Beberapa agenda prioritas yang terkait dengan bidang Tata Ruang dan Pertanahan meliputi: agenda 1 menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman; agenda 2 membuat pemerintah tidak absen, membangun tata kelola pemerintahan yang bersih efektif, demokratis dan terpercaya; agenda 3 membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa;

agenda 4 menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sitem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya; agenda 5 meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; dan agenda 7 mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Dalam sosialisasi tersebut dijelaskan arah kebijakan dan startegi RPJMN 2015-2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan. Terdapat 4 arah kebijakan untuk bidang tata ruang yaitu:

i)meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan harmonis; ii) meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang; iii) meningkatkan kualitas pelaksanaan p e n a t a a n r u a n g ; d a n i v ) m e l a k s a n a k a n e v a l u a s i penyelenggaraan penataan ruang melalui pemantauan dan evaluasi yang terukur.

Sementara arah kebijakan RPJMN 2015-2019 untuk Bidang Pertanahan meliputi

(I)Membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif; (ii) Reforma Agraria melalui redistribusi tanah, pemberian tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat; (iii) Pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; dan (iv) Pencapaian proporsi kompetensi SDM ideal bidang pertanahan untuk mencapai kebutuhan minimum juru ukur pertanahan. Arah kebijakan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan tersebut kemudian diharapkan dapat tercapai dan terlaksana melalui beberapa startegi diantaranya adalah harmonisasi peraturan perundangan, penyusunan sistem informasi peraturan perundangan, penyusunan peraturan zonasi yang lengkap, peningkatan cakupan peta dasar pertanahan, pelaksanaan sosialisasi peraturat adat ulayat, dll

.

Gambar

Gambar Road Map Pembentukan Bank Tanah
Tabel Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2014
Tabel Rencana Kerja Tim Koordinasi Strategis
Tabel Luas Hutan Produksi

Referensi

Dokumen terkait

(2014) menyatakan bahwa tetua jantan dengan gen dominan terhadap tetua betina menghasilkan warna biji yang sama dengan tetua jantan, dan sebaliknya tetua jantan

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah menemukan dan menggali alasan- alasan yang mendasar mengenai mengapa pembelajaran PAK SMA berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa

Banyaknya Tenaga Kerja Perusahaan/Usaha yang Berlokasi Permanen Menurut Kecamatan dan Klasifikasi Lapangan Usaha Number of Employees of Establishments with Permanent Location by

The heterogeneous nature of big data across multiple platforms and business functions makes it difficult to be managed by following the traditional data management principles,

s ehingga penelitian ini berjudul : “ Pengaruh Persepsi Tanggung Jawab Sosial Terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi ”. 1.2

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya dalam proses pengadaan

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilaksanakan oleh panitia pengadaan barang / pada website : hhtp//www.lpse.Sumsel Polri .go.id (Lelang E-Proc) sebagai berikut :. Nama Paket

Kaitkan dengan perilaku kita sebagai orang yang beriman kepada rasul.. (buat tabel tentang perilaku kita yang termasuk kategori aṡ-Ṡidd ³ q, al-Amānah , at- Tabl ³ g dan