RELEVANSI PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
SEKOLAH MENENGAH ATAS
TERHADAP PENGEMBANGAN KECAKAPAN EMOSIONAL SISWA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Yuliana Anggorowati
NIM: 061124021
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada
v
MOTTO
“Selidikilah aku, ya Allah, dan kenalilah hatiku,
Ujilah aku dan kenallah segala pikiran-pikiranku.”
(Mzm. 139:23)
“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut
berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah
begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!”
(1 Kor 9:24)
“Rencana berhasil oleh pertimbangan; sebab itu,
janganlah berjuang tanpa membuat rencana yang matang.”
(Amz 20:18)
Biarkan diri anda berubah dan tumbuh,
betapapun hal itu tidak nyaman
anda rasakan.
viii
ABSTRAK
Judul skripsi RELEVANSI PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SEKOLAH MENENGAH ATAS TERHADAP PENGEMBANGAN KECAKAPAN EMOSIONAL SISWA dipilih berdasarkan pada pemahaman penulis bahwa kecakapan emosi dalam kehidupan kita sangatlah penting. Begitu pula halnya bagi siswa SMA yang digolongkan ke dalam usia remaja, kecakapan emosi juga sangat penting. Pentingnya kecakapan emosi bagi siswa SMA berkaitan erat dengan penerimaan diri, penghargaan terhadap orang lain dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas. Kecakapan emosional siswa SMA yang sangat penting dalam hidup sehari-hari itu perlu dikembangkan. Pengembangan kecakapan emosi bagi siswa dapat diupayakan secara eksternal maupun secara internal. Upaya secara eksternal salah satunya dapat diwujudkan melalui jalur pendidikan pada umumnya dan Pendidikan Agama Katolik pada khususnya.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah menemukan dan menggali alasan-alasan yang mendasar mengenai mengapa pembelajaran PAK SMA berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa dan bagaimana pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diterapkan agar relevan untuk mengembangkan kecakapan emosional siswa. Permasalahan pokok ini didalami oleh penulis melalui sumber-sumber pustaka yang mendukung baik mengenai kecakapan emosional remaja dan pengembangannya, pembelajaran PAK SMA, maupun pendekatan CTL sehingga penulis terbantu dalam menemukan pemikiran-pemikiran untuk direfleksikan. Penulis juga terbantu dalam memahami PAK SMA yang utuh yang dapat membantu siswa mengembangkan kecakapan emosinya.
Dari penelusuran studi pustaka, penulis menemukan pandangan pokok mengenai kecakapan emosional siswa dan pengembangannya, pembelajaran PAK SMA yang berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa, dan pendekatan CTL. Sejalan dengan pemikiran Goleman bahwa siswa SMA yang memiliki kecakapan emosional dapat menerima dirinya, dapat berelasi dengan orang lain, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Pembelajaran PAK SMA dalam kurikulum sekarang yang berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa dapat membantu siswa mengembangkan kecakapan emosinya. Melalui pendekatan
ix
ABSTRACT
The title of this thesis RELEVANCE OF CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING APPROACH OF CATHOLIC RELIGION EDUCATION LEARNING IN
SENIOR HIGH SCHOOL towards the Development of Students’ Emotional
Competence was selected based on the author’s comprehension that emotional competence in our life is very important. It is as important as to the students in Senior High School who are classified into adolescence age, emotional competence. The importance of emotional competence of the students in Senior High School is closely related to the self-acceptance, respecting other persons and responsibility in conducting any task. The emotional competence of students of Senior High School is very important in daily life and needs improving. The improving of emotional competence of the students can be strived either externally or internally. One of the external effort can be manifested through educational line in generall and Catholic Religion Education in particularly.
The main problem in this thesis was to find and explore the underlying reasons concerning why Catholic Religion Education Learning in Senior High School orients to the development of students’ competence and how Contextual Teaching and Learning (CTL) approach can be implemented in order that it can be relevant to develop students’ emotional competence. This main problem is analyzed by the author through the supporting literature sources, either concern to emotional competence of adolescence and its development, the learning of Catholic Religion Education Learning in Senior High School, or CTL approach. Thus the author feels helping in find out the considerations to reflect. The author is also helped in comprehending. Catholic Religion Education Learning in Senior High School thoroughly of which can help the students to develop their emotional competence.
By exploring relevant literatures, the author found the primary opinion concerning on emotional competence of students and its development, Catholic Religion Education Learning in Senior High School that orients to the development of students’ competence development, and CTL approach. In line with the Goleman’s opinion that students in Senior High School that have emotional competence in accepting themselves, can have relation with other persons, and are responsible for conducting their task. Catholic Religion Education Learning in Senior High School in the contemporary curriculum that orients to the development of students’ competence can help the students to develop their emotional competence.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa karena berkat
kemurahan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul RELEVANSI PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SEKOLAH MENENGAH ATAS TERHADAP PENGEMBANGAN KECAKAPAN EMOSIONAL SISWA.
Dalam rangka penyusunan skripsi ini, penulis menemui dan mengalami
berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan dan dorongan serta
bantuan moril maupun spiritual dari banyak pihak khususnya Dosen Pembimbing,
teman-teman seangkatan dan orang tua maka terselesaikanlah skripsi ini.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan setulus hati
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum. selaku dosen pembimbing utama
yang telah memberikan perhatian, meluangkan waktu dan membimbing penulis
dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan dan kritikan-kritikan
sehingga penulis dapat lebih termotivasi dalam menuangkan gagasan-gagasan
dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
2. Bapak Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd. selaku Dosen penguji yang selalu
mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. sebagai dosen wali yang senantiasa
xi
4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis
selama belajar hingga selesainya skripsi ini.
5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan
bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi
ini.
6. Sahabat-sahabat mahasiswa khususnya angkatan 2006 yang turut berperan dalam
menempa pribadi dan memurnikan motivasi penulis menjadi pewarta kabar
gembira zaman yang penuh tantangan ini.
7. Kedua orang tua (Bapak Antonius Dalwan Dirjo Pranoto dan Ibu Christina
Sulastri), kakak-kakakku (Yustina Hari Purwanti dan Margaretha Dwi Rina
Wulandari) dan keponakanku (Gabriel Ayota Wicaksono) yang memberikan
semangat dan dukungan moral, material dan spiritual selama penulis menempuh
studi di Yogyakarta. Terima kasih telah menjadi kekuatanku dan menjadi
motivasi aku untuk berhasil dan terus maju, menjadikan aku tetap tegar dan tabah
menjalani hidup ini.
8. Sahabat-sahabatku (Nia, Tiwi, Mba Ratri, Wibi, Wukir, Ratri Wonosari, Nunung
Purworejo, Astri Oktaviani, Dwi Ies); teman-teman kost ASTRI PERMITA
tercinta (Didi, Arum, Lesi, Anna, Yuli, Mba Desy, Rini) thanks untuk petuah-petuahnya dan pengalamannya; thanks untuk persahabatan yang indah, bersama
kalian aku bisa memperkembangkan diri, terima kasih telah menjadi bagian
xii
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang selama ini dengan
tulus telah memberikan bantuan hingga selesainya skripsi ini.
Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga
penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir
kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun
yang mengupayakan kecakapan emosional remaja melalui pembelajaran PAK SMA.
Yogyakarta, 26 Februari 2011
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
PENGESAHAN... iii
PERSEMBAHAN... iv
MOTTO... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………... vii
ABSTRAK... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR SINGKATAN………... xx
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Penulisan Skripsi... 1
B. Rumusan Permasalahan... 6
C. Tujuan Penulisan... 6
D. Manfaat Penulisan... 7
E. Metode Penulisan... 8
F. Sistematika Penulisan... 9
BAB II.KECAKAPAN EMOSIONAL REMAJA DAN PENGEMBANGANNYA... 11
A. Remaja dan perkembangannya... 11
1. Pengertian Remaja... 12
xiv
4. Tugas Perkembangan Masa Remaja... 20
a. Tahap Remaja Awal... 22
b. Tahap Remaja Madya... 22
c. Tahap Remaja Akhir... 22
B. Kecakapan Emosional dalam Diri Remaja... 23
1. Pengertian Kecerdasan Emosional Remaja... 24
2. Pengertian Kecakapan Emosional ... 25
3. Pentingnya Kecakapan Emosional dalam Kehidupan Remaja... 27
a. Penerimaan Diri... 27
b. Hubungan dengan Orang Lain... 29
c. Tanggung Jawab Tugas... 29
4. Permasalahan yang Dihadapi Remaja Berkenaan dengan Perkembangan Emosi... 30
a. Permasalahan Internal... 30
b. Permasalahan Eksternal... 31
5. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Penyebab Terjadinya Permasalahan pada Remaja yang Berkaitan dengan Perkembangan Emosinya... 32
a. Faktor Internal... 32
b. Faktor Ekternal... 34
C. Usaha untuk Mengembangkan Kecakapan Emosional Remaja... 36
xv
a. Mengenali Perasaan Sendiri... 37
b. Menghargai Emosi... 37
c. Penataan Emosi... 38
d. Memahami Emosi Orang Lain... 38
e. Berefleksi/Berkomunikasi dengan Jiwa... 39
2. Usaha Memperkembangkan Kecakapan Emosional Remaja secara Eksternal... 40
a. Peranan Teman Sebaya... 40
b. Peranan Orang Tua... 41
c. Peranan Guru... 42
BAB III. PAK SMA DAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI... 44
A. Latar Belakang PAK SMA yang Berorientasi pada PengembanganKompetensi... 45
1. Paradigma Sekarang tentang Pengembangan Kompetensi Siswa... 46
a. Kecerdasan Verbal/Bahasa... 46
b. Kecerdasan Matematis Logis... 47
c. Kecerdasan Ruang/Visual... 47
d. Kecerdasan Kinestetik/Badani... 47
e. Kecerdasan Musikal... 48
f. Kecerdasan Interpersonal... 49
g. Kecerdasan Intrapersonal... 49
h. Kecerdasan Lingkungan... 49
i. Kecerdasan Eksistensial... 50
j. Kecerdasan Spiritual... 50
2. Paradigma baru tentang Pengembangan Kompetensi Siswa... 51
3. Empat Pilar Pendidikan sebagai Dasar Kurikulum PAK SMA yang Berorientasi pada Pengembangan Kompetensi... 54
a. Learning to Know... 54
xvi
c. Learning to Be... 55
d. Learning to Live Together... 56
B. Tujuan dan Materi PAK SMA yang Berorientasi pada Pengembangan Kompetensi Siswa... 57
1. Tujuan PAK SMA... 58
2. Materi PAK SMA yang Berorientasi pada Pengembangan Kompetensi Siswa... 60
C. Pembelajaran PAK SMA yang Berorientasi pada Pengembangan Kecakapan Emosional Siswa... 65
1. Unsur-Unsur Pokok Pembelajaran PAK SMA yang Berorientasi pada Pengembangan Kompetensi Siswa... 65
a. Pengalaman Hidup... 66
b. Pengalaman Iman... 67
c. Komunikasi Iman dengan Kitab Suci dan Tradisi Kristiani.... 68
d. Penyadaran Arah Keterlibatan Baru... 69
2. Pendekatan Pembelajaran PAK SMA yang Berorientasi pada Pengembangan Kecakapan Emosional Siswa... 70
3. Peran Guru dan Keterlibatan Siswa dalam Pembelajaran PAK SMA yang Berorientasi pada Pengembangan Kecakapan Emosional Siswa... 72
a. Peran Guru... 73
b. Keterlibatan Siswa... 76
D. PAK sebagai Ruang untuk Mengembangkan Kecakapan Emosi Siswa... 77
1. Segi Kurikulum... 78
2. Segi Guru PAK... 80
3. Segi Siswa... 81
4. Segi Proses Pembelajaran PAK SMA... 82
BAB IV. PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING LEARNING DAN RELEVANSINYA BAGI PROSES PEMBELAJARAN PAK SMA... 85
xvii
1. Latar Belakang Munculnya Pendekatan CTL... 86
2. Pengertian Pendekatan CTL... 89
B. Komponen Pendekatan CTL... 91
1. Constructivism... 91
7. Authentic Assesment... 97
C. Langkah-Langkah Pembelajaran PAK dengan Pendekatan CTL... 98
1. Merencanakan Pengajaran... 99
a. Menyusun Karakteristik dan Kemampuan Awal Siswa... 99
b. Menyusun Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar... 100
c. Menyusun Bahan Pelajaran... 100
2. Melaksanakan Proses Belajar Mengajar... 101
a. Kegiatan Membuka Pelajaran... 101
b. Menggunakan Metode Mengajar... 102
c. Pengelolaan Kelas... 102
d. Interaksi Belajar Mengajar... 102
e. Menutup Pelajaran... 102
3. Mengevaluasi... 103
a. Portofolio... 104
b. Proyek... 104
c. Pertunjukan... 105
d. Tanggapan Tertulis Lengkap... 105
xviii
1. Visi Bagi tentang Pembelajaran PAK... 107
2. Dengan Pendekatan CTL Pembelajaran PAK SMA Menjadi Lebih Mengasyikkan... 109
3. Dengan Pendekatan CTL Pembelajaran PAK SMA Menjadi Lebih Bermakna... 111
BAB V. USULAN UPAYA PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SEKOLAH MENENGAH ATAS DEMI MENGEMBANGKAN KECAKAPAN EMOSIONAL SISWA... 114
A. Alasan Penerapan Pendekatan CTL sebagai Pendekatan yang Cocok Diterapkan dalam Pembelajaran PAK SMA demi Mengembangkan Kecakapan Emosional Siswa... 115
1. Visi Pendekatan CTL bagi Pembelajaran PAK SMA... 115
a. Sifat Pendekatan CTL yang Holistik... 116
b. Prioritas Pengembangan Kemampuan Siswa... 117
c. Pendekatan CTL Menjadikan Pembelajaran Lebih Mengasyikkan dan Bermakna... 120
2. Komponen Pendekatan CTL bagi Pembelajaran PAK SMA... 122
3. Langkah-Langkah Khas Pendekatan CTL... 124
B. Langkah-Langkah Khas Penerapan Pendekatan CTL dalam Pembelajaran PAK SMA dalam Rangka Mengembangkan Kecakapan EmosiSiswa... 124
1. Menerapkan Visi... 124
2. Menerapkan Komponen Pendekatan CTL... 125
3. Menerapkan Langkah-Langkah Pendekatan CTL pada Pembelajaran PAK SMA... 127
a. Merencanakan Pembelajaran... 127
b. Melaksanakan Proses Belajar Mengajar... 130
c. Mengevaluasi... 138 C. Suatu Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran PAK SMA
xix
Kecakapan Emosional Siswa... 139
BAB VI. PENUTUP... 149
A. Kesimpulan... 149
B. Saran... 150
xx
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru dan Kitab Suci Perjanjian Lama: dengan pengantar dan catatan singkat. (Diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia). Lembaga Alkitab
Indonesia: Jakarta 2006.
B. Singkatan Lain
AIDS : Aquired Immune Deficiency Syndrome: kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh
CTL : Contextual Teaching and Learning
DEPDIKNAS : Departemen Pendidikan Nasional
Dsb : dan sebagainya
HIV : Human Immunodeficiency Virus: virus yang secara pelan pelan mengurangi kekebalan tubuh manusia
IQ : Intelligence Quotient, tingkat kecerdasan KBM : Kegiatan Belajar Mengajar
KD : Kompetensi Dasar
KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
NARKOBA : Narkotika dan Obat-Obatan Berbahaya
xxi
PWI : Panitia Waligereja Indonesia
RPP : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
SK : Standar Kompetensi
SMA : Sekolah Menengah Atas
UNESCO : United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization, persatuan organisasi pendidikan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan negara-negara di dunia
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Kecakapan emosi sangat penting dalam kehidupan kita. Goleman
(1998:431) menyatakan kecakapan emosi sangatlah penting bagi seseorang dalam
pengendalian diri yang lebih baik, penyelesaian konflik secara lebih efektif, dan
lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Emosi menjadi daya
penggerak tingkah laku. Bisa dibayangkan apabila di dunia ini orang yang
mengalami persoalan hidup yang beraneka ragam membiarkan emosinya menjadi
tidak terkontrol, tentu akan memperparah keadaan atau menambah persoalan
hidup yang baru. Hal tersebut bahkan dapat mempengaruhi seseorang dalam
menjalankan tugasnya.
Apabila seseorang tidak memiliki kecakapan emosi, tingkah lakunya akan
menjadi kurang baik. Ekman (2008:186) mengemukakan salah satu bentuk emosi
yang paling berbahaya adalah kemarahan. Kemarahan mencakup banyak hal
berbeda yang berkaitan mulai dari yang halus hingga amukan, misalnya saja
karena rasa sakit hati bisa menimbulkan dendam. Oleh karena itu diperlukan suatu
usaha untuk mengolah emosi secara cakap. Pengolahan emosi secara cakap dapat
memberikan kegunaan baik bagi kita sendiri maupun dalam berelasi dengan orang
lain serta membantu kita bertanggung jawab dalam bertindak dan menjalankan
tugas.
Demikian pula halnya dalam kehidupan siswa SMA, kecakapan emosi
kebanyakan orang dipandang dalam usia yang rawan. Mengapa hal ini dapat
dikatakan demikian? Beragam masalah dialami oleh remaja. Permasalahan yang
dialami oleh remaja dapat membuat mereka terus berkembang ketika mereka
mampu mengatasinya, namun dapat pula membuat mereka frustasi dan akhirnya
tidak berkembang sebagaimana mestinya. Gunarsa (1987:87) menegaskan
permasalahan yang mereka hadapi dalam usia remaja dapat ditimbulkan oleh
emosionalitas remaja sendiri. Remaja belum mampu menata emosinya, sehingga
mengalami kesulitan bergaul dan mengatasi permasalahan hidupnya.
Seringkali remaja kurang memiliki keyakinan bahwa masalahnya dapat
diselesaikan dengan baik. Remaja menjadi frustasi kemudian nekad melakukan
hal-hal yang tidak pernah diinginkan oleh orang-orang pada umumnya. Mereka
tidak memilih untuk membicarakan permasalahan hidupnya dengan orang-orang
yang dipercayainya. Kebanyakan dari mereka kurang memiliki rasa percaya
kepada orang-orang di sekitarnya untuk membantu menyelesaikan permasalahan
hidupnya, misalnya saja dengan menceritakan segala permasalahan hidupnya
kepada orang yang dianggapnya nyaman untuk dapat membantu mencari jalan
keluarnya. Selain itu, remaja merasa “gengsi” dan malu atau bahkan kurang
berani untuk menceritakan permasalahan hidupnya kepada orang lain yang lebih
dewasa, misalnya saja orang tuanya. Ada juga di antara remaja yang beranggapan
bahwa dirinya dapat menyelesaikan permasalahan hidupnya tersebut tanpa
bantuan orang lain dengan keyakinan bahwa mereka sudah tumbuh menjadi orang
yang dewasa (padahal anggapan tersebut keliru). Sebagai akibatnya bila menemui
Masalah yang sering mereka alami dan tak kunjung henti datang kepada
mereka dapat membuat remaja putus asa dan tidak berpengharapan. Remaja yang
kurang mendapat perhatian dari beberapa pihak yang dekat dengan kehidupannya,
misalnya remaja yang hidup di tengah keluarga yang sibuk, ketika menghadapi
masalah kurang memiliki teman untuk berbagi mengenai beban hidupnya dan
merasa kesepian sehingga memilih lari dengan teman-teman sebayanya. Tidak
hanya itu, bahkan banyak di antara mereka yang menyalahkan Tuhan dan tidak
percaya lagi kepada Tuhan. Dalam keadaan iman yang tidak stabil ini, mereka
mengandalkan jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya bukan
lagi mengandalkan bimbingan Tuhan. Kurangnya perhatian dan pendampingan
orang tua, guru dan keluarga terhadap perkembangan remaja juga menjadi
“peluang” remaja untuk lari ke jalan pintas.
Banyak pihak beranggapan bahwa remaja harus belajar mandiri termasuk
di dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya. Ternyata anggapan itu salah
karena remaja masih memerlukan bimbingan dan pendampingan dalam setiap
langkahnya dari orang-orang terdekatnya. Oleh karena itu bimbingan dan
pendampingan bagi remaja ini merupakan tugas yang sangat penting bagi semua
pihak termasuk lembaga pendidikan.
Dalam rangka mengupayakan kecakapan emosi bagi remaja, lembaga
pendidikan merupakan komponen yang penting dalam mempersiapkan remaja
sebagai generasi penerus bangsa. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional
dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan
sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dari visi
tersebut pendidikan nasional mempunyai salah satu misinya yaitu meningkatkan
kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral (Muslich, 2007:2). Dengan kata lain
lembaga pendidikan memberikan prioritas untuk mengembangkan pribadi siswa.
Pembaharuan sistem pendidikan nasional tersebut kemudian diupayakan
melalui kurikulum yang memuat empat pilar kesejagatan yaitu belajar memahami
(learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar menjadi diri sendiri
(learning to be onself) dan belajar hidup bersama (learning to live together) (Komkat KWI, 2007:6). Berdasarkan empat pilar ini pendidikan hendak
mengupayakan suatu pembelajaran yang tidak hanya memprioritaskan tentang
pengetahuan saja tetapi pembelajaran itu diupayakan melalui pembelajaran yang
juga turut mengembangkan aspek-aspek yang lainnya yaitu melalui belajar
melakukan, menjadi diri sendiri dan belajar hidup bersama. Dengan demikian
pribadi siswa semakin dikembangkan.
Demikian juga dalam Pendidikan Agama Katolik di sekolah juga terjadi
pembaharuan kurikulum dengan mengikuti Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Pembaharuan yang terjadi dalam Pendidikan
Agama Katolik ini nampak dalam penggunaan kurikulum berbasis kompetensi.
Dalam kurikulum Pendidikan Agama Katolik, salah satu kompetensi dasar yang
dituntut adalah siswa mampu berperilaku dan berkembang dalam kepribadian
Kompetensi yang dimiliki siswa sebelum masuk sekolah juga menjadi
perhatian utama dalam pembelajaran. Adapun kompetensi yang telah
masing-masing individu miliki adalah sebagai berikut: kecerdasan bahasa, kecerdasan
logika matematika, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan
musikal, kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi. Dalam kurikulum
PAK berbasis kompetensi, perhatian utama tidak melulu pada kemampuan
kognitif saja tetapi juga bagaimana mengembangkan emosi secara cakap (Komkat
KWI, 2007:4). Kecerdasan-kecerdasan yang telah disebutkan itu biasa dinamakan
dengan kecerdasan ganda. Kecerdasan ganda yang ditawarkan dalam kurikulum
Pendidikan Agama Katolik sendiri merupakan terapan dari Teori Multiple
Intelligences yang dikemukakan oleh Howard Gardner.
Dalam dunia pendidikan muncul juga penawaran mengenai sebuah
pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL). Pendekatan CTL merupakan suatu pendekatan yang membantu para siswa
menemukan makna dalam pelajaran mereka dengan cara menghubungkan materi
akademik dengan konteks kehidupan keseharian mereka. Penemuan makna dapat
diperoleh melalui pembelajaran yang diatur sendiri, bekerjasama, berpikir kritis
dan kreatif, menghargai orang lain, mencapai standar tinggi, dan berperan serta
dalam tugas-tugas penilaian autentik. Melalui pendekatan CTL siswa dapat
dibantu tumbuh dan berkembang termasuk bagaimana mengembangkan
kecakapan emosinya.
Dari uraian di atas saya tertarik untuk mencoba mendalami kecakapan
emosional remaja dan pengembangannya melalui proses pembelajaran PAK SMA
pada pengembangan kompetensi siswa demi mengupayakan kecakapan emosi
siswa SMA. Maka penulis mengambil judul “RELEVANSI PENDEKATAN
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DALAM PENDIDIKAN
AGAMA KATOLIK (PAK) SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
TERHADAP PENGEMBANGAN KECAKAPAN EMOSIONAL SISWA.”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa hal yang dijadikan
sebagai masalah dalam penulisan karya ilmiah ini untuk dicari atau ditemukan
jawabannya. Beberapa masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan kecakapan emosional remaja?
2. Mengapa PAK SMA berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa?
3. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL)?
4. Apakah relevansi Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) bagi
pembelajaran PAK SMA?
5. Bagaimana pendekatan CTL dapat diterapkan bagi pembelajaran PAK SMA
sebagai upaya mengembangkan kecakapan emosi siswa?
C. TUJUAN PENULISAN
Karya tulis ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memaparkan apa yang dimaksud dengan kecakapan emosi.
2. Menguraikan alasan-alasan Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah
3. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL).
4. Mendeskripsikan relevansi Pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) bagi pembelajaran PAK SMA.
5. Untuk memberikan gambaran bagaimana pendekatan CTL dapat diterapkan
bagi pembelajaran PAK SMA sebagai upaya mengembangkan kecakapan
emosi siswa.
D. MANFAAT PENULISAN
Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagi Siswa-Siswi SMA
Skripsi ini dapat menjadi masukan serta informasi tentang pentingnya
kecakapan emosi dalam hidup sekaligus penyadaran bagi siswa berkaitan dengan
faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan permasalahan pada remaja yang
berkaitan dengan perkembangan emosinya. Siswa-siswi Sekolah Menengah Atas
dapat mengetahui solusi/cara yang dapat ditempuh ketika menghadapi
permasalahannya baik secara internal (dengan berbagai latihan yang dilakukan
secara pribadi) maupun secara eksternal (dengan bantuan orang lain: teman
sebaya, guru/sekolah).
2. Bagi Guru/Sekolah
Skripsi ini dapat menjadi masukan bagi guru atau sekolah sebagai lembaga
sehingga akan membantu guru dan sekolah dalam mendampingi serta
mengupayakan agar siswa dapat mengembangkan kecakapan emosinya melalui
proses pembelajaran yang tepat.
3. Bagi Penulis
Bagi penulis, hasil tulisan ini memberikan masukan dan pengetahuan baru
penulis untuk mengetahui hal-hal yang dapat membantu meningkatkan kecakapan
emosi siswa pada umumnya dan melalui pembelajaran Pendidikan Agama Katolik
pada khususnya serta bagimana penerapan proses pengembangan kecakapan
emosi siswa melalui pembelajaran Pendidikan Agama Katolik.
4. Bagi Prodi IPPAK
Penulisan skripsi ini tentunya akan menambah sumber bacaan di
perpustakaan yang dapat dijadikan bahan belajar bersama sehingga menjadi acuan
bagi penulisan lebih lanjut dan menambah wawasan baru.
E. METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis deskriptif yaitu
memaparkan dan menganalisis pemikiran dan gagasan dari sumber-sumber yang
diperoleh. Sumber-sumber diperoleh melalui studi pustaka yang mendukung
penulisan untuk mendapatkan kedalaman wawasan mengenai keseluruhan
permasalahan skripsi yaitu kecakapan emosional remaja, PAK SMA dan
pengembangan kompetensi, pendekatan Contextual Teaching and Learning
pembelajaran PAK SMA, dan bagaimana penerapan pendekatan CTL dalam
pembelajaran PAK SMA yang berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa
dalam rangka mengembangkan kecakapan emosional siswa.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini akan dibagi ke dalam enam (VI) bab. Bab I merupakan bagian
pendahuluan yang akan menguraikan: latar belakang, permasalahan, tujuan,
manfaat, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II memaparkan kecakapan emosional siswa dan pengembangannya
meliputi: remaja dan perkembangannya, kecakapan emosional dalam diri remaja
dan usaha untuk mengembangkan kecakapan emosional remaja.
Bab III memaparkan PAK SMA dan pengembangan kompetensi, dan PAK
SMA sebagai ruang untuk mengembangkan kecakapan emosi siswa.
Bab IV memaparkan pendekatan CTL dan relevansinya bagi pembelajaran
PAK SMA meliputi: pendekatan CTL; latar belakang dan pengertian, komponen,
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan CTL, relevansi pendekatan
CTL bagi pembelajaran PAK yang berorientasi pada pengembangan kompetensi.
Bab V memaparkan tentang usulan upaya penerapan pendekatan CTL
dalam pembelajaran PAK SMA demi mengembangkan kecakapan emosional
siswa, meliputi: alasan pendekatan CTL sebagai pendekatan yang cocok
diterapkan dalam pembelajaran PAK SMA demi mengembangkan kecakapan
emosional siswa, langkah-langkah penerapan pendekatan CTL pada pembelajaran
proses pembelajaran PAK SMA dengan pendekatan CTL sebagai upaya
mengembangkan kecakapan emosional siswa.
BAB VI merupakan bagian paling akhir penulisan skripsi ini yaitu bagian
penutup meliputi keseluruhan uraian dalam skripsi ini ditutup dengan kesimpulan,
BAB II
KECAKAPAN EMOSIONAL REMAJA DAN PENGEMBANGANNYA
Kecakapan sepadan dengan kata kemampuan atau keterampilan.
Kecakapan tidak selalu berarti rupawan dalam hal wajah yang cantik atau tampan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:827) disampaikan bahwa
“pengertian kecakapan adalah mempunyai kemampuan dan kepandaian untuk
mengerjakan sesuatu.” Kemampuan atau keterampilan itu tidak hanya terbatas
pada kemampuan berbahasa atau keterampilan tangan saja tetapi juga kemampuan
atau keterampilan mengolah emosi dalam hidup sehari-hari.
Kehidupan sehari-hari para remaja yang begitu kompleks dengan
permasalahannya, juga menuntut remaja dapat mengolah emosinya secara
terampil atau cakap. Berkaitan dengan hal ini, sebuah upaya untuk membantu
remaja dalam mengembangkan kecakapan emosinya sangat diperlukan. Oleh
karena itu bab II skripsi ini akan membahasnya dengan pemaparan tentang
kompleksitas hidup remaja dan perkembangannya, kecakapan emosional dalam
diri remaja dan usaha untuk mengembangkannya.
A. Remaja dan Perkembangannya
Banyak hal yang dapat dibahas untuk membicarakan remaja dan
perkembangannya. Berkaitan dengan remaja dan perkembangannya, pada bagian
ini akan disampaikan mengenai pengertian remaja, perubahan yang terjadi pada
1. Pengertian Remaja
Istilah yang sangat populer untuk mengartikan kata remaja berasal dari
bahasa Latin. Istilah remaja berasal dari kata “adolescere” dan “adolensence”.
Istilah adolescere mempunyai arti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Tumbuh dalam hal ini berarti bahwa remaja mengalami tugas perkembangan yang baru.
Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup
kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2004:206).
Siswa SMA digolongkan ke dalam usia remaja. Seperti yang telah
dikemukakan oleh Hurlock (2004:206) “remaja dapat digolongkan berdasarkan
usia awal remaja yaitu pada umur 13 tahun sampai umur 16 atau 17 tahun dan usia
akhir remaja pada umur 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun.” Senada dengan itu
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa “usia remaja biasanya dimulai dari usia 14 pada pria dan usia 12 pada wanita.”
Banyak hal yang terjadi ketika seseorang menginjak usia remaja. Hurlock,
(2004:208) menyatakan usia remaja merupakan usia yang bermasalah, sedang
mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, tidak realistik dan sebagai
ambang dewasa.
Remaja dikatakan sebagai usia bermasalah karena pada usia ini beragam
masalah di hadapan mereka. Salah satu permasalahan hidup yang dialami remaja
disebabkan oleh pertumbuhan jasmaninya. Pertumbuhan jasmani yang terjadi
pada diri remaja menimbulkan rasa bangga, malu serta tertekan dalam diri remaja.
Ketika remaja mengalami perkembangan jasmani, remaja biasanya mengarahkan
pandangan pada dirinya sendiri dan lebih sering menjauhi orang lain; belum
teman sebayanya yang dianggap sebagai teman bertukar pikiran yang nyaman
karena teman sebaya merupakan teman yang sedang mengalami hal yang sama.
Untuk mencari penjelasan tentang perubahan yang terjadi dalam dirinya
kadangkala remaja secara sembunyi-sembunyi mencari informasi yang tidak
mendidik. Banyak remaja yang mengalami kesulitan menghadapi persoalan
hidupnya karena pada masa kanak-kanak persoalan yang mereka hadapi seringkali
diselesaikan oleh orang yang lebih dewasa, sebaliknya pada masa remaja mereka
merasa diri mandiri.
Remaja sedang mencari identitas maksudnya remaja tidak lagi sama
dengan teman-temannya dalam segala hal dan biasanya ditunjukkan dengan
menggunakan simbol status. Dengan kata lain pengertian remaja adalah individu
yang masih mencari jati diri.
Remaja dapat menimbulkan ketakutan tersendiri. Bagi remaja sendiri,
pertumbuhan dan perkembangan yang dialaminya terkadang membuatnya tidak
nyaman (Riberu, 1984:48). Sedangkan bagi orang dewasa usia remaja yang
dianggap rawan akan pengaruh negatif dari lingkungannya menyebabkan orang
dewasa harus membimbing dan mengawasi remaja serta tidak bersimpati terhadap
perilaku remaja normal. Dalam hal ini, banyak orang tua atau orang dewasa yang
tidak percaya atau mengandalkan remaja begitu saja.
Remaja mengalami sesuatu yang tidak realistik. Dalam hal ini remaja
cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan
bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak
realistik ini menyebabkan meningginya emosi. Semakin tidak realistik cita-citanya
Remaja sebagai ambang dewasa maksudnya remaja mulai memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa. Para remaja menjadi
gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa. Bertindak dan seperti orang dewasa ternyata
belumlah cukup.
2. Masa Remaja sebagai Masa Peralihan
Seseorang digolongkan ke dalam masa remaja apabila sudah melewati
masa kanak-kanak namun ia belum cukup dewasa dalam berbagai hal. Status
remaja yang tidak jelas ini biasa disebut sebagai masa transisi, pancaroba atau
peralihan. Menurut Hurlock (2004:207):
Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti anak-anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai umurnya.” Kalau remaja berusaha berperilaku seperti orang dewasa, ia seringkali dituduh “terlalu besar untuk celananya” dan dimarahi karena mencoba bertindak seperti orang dewasa.
Masa peralihan yang terjadi pada remaja ini tidak berarti terputus atau
berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan sebuah peralihan dari
satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Masa remaja merupakan suatu
masa di saat individu berkembang dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda
seksual, mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak
menjadi dewasa serta terjadi peralihan dan ketergantungan sosial ekonomi yang
penuh pada keadaan yang mandiri. Masa remaja merupakan taraf perkembangan
dalam kehidupan manusia, di mana seseorang sudah tidak dapat disebut anak kecil
umumnya disebut masa pancaroba atau masa peralihan dari masa kanak-kanak
menuju ke arah kedewasaan.
Masa remaja sebagai masa peralihan di mana seseorang dapat dikatakan
bukan kanak-kanak lagi dan belum menjadi orang dewasa merupakan masa yang
penting. Seperti yang telah dikemukakan oleh Hurlock (1980:207), masa peralihan
yang terjadi pada remaja sangat penting karena status remaja yang tidak jelas
dalam masa peralihan, memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup
yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai
bagi dirinya.
Hal tersebut dipertegas oleh Sukiat (1991:7) pada masa peralihan ini
banyak hal yang dapat menimbulkan terjadinya kejutan-kejutan pada diri remaja,
sehingga dapat menimbulkan masalah dan mengganggu keseimbangan jiwanya.
Biasanya kejutan-kejutan yang terjadi pada remaja ini terlihat jelas pada
perkembangan serta perubahan yang dialaminya seperti perubahan fisik, emosi,
sosial dan sebagainya. Oleh karena itu pada masa ini diperlukan suatu pendidikan
kepribadian yang antara lain berisikan manusia dan kehidupan manusia; makna
dan tujuan hidup manusia; tugas manusia untuk memberikan arti hidupnya; tugas
manusia dalam masyarakat; kepribadian yang utuh dan dewasa.
3. Perubahan dan Perkembangan yang Terjadi dalam Masa Remaja
Saat masa remaja, banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang
dialami oleh masing-masing individu. Perubahan dan perkembangan yang dialami
oleh remaja antara lain dapat dilihat dari perubahan fisik, intelek, emosi, sosial,
a. Perkembangan Fisik
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses
kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada
masa ini telah mulai matang dan berfungsi. Di samping itu, tanda-tanda
seksualitas sekunder juga mulai nampak pada diri remaja. Pada pria dan wanita,
hormon dan kelenjar seksnya sudah bekerja, mengalami perubahan suara (Riberu,
1984:44). Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal
seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan
eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh
terhadap konsep diri remaja. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa
tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Seringkali remaja tidak siap
menghadapi perkembangan fisik yang dialaminya. Ketidaksiapan remaja dalam
menghadapi perkembangan fisiknya biasanya ditunjukkan dengan sikap malu,
minder/tidak percaya diri, takut.
b. Perkembangan Intelek
Menurut Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa
konkrit-operasional ke masa formal-konkrit-operasional. Pada masa konkrit-konkrit-operasional,
seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang
bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir
secara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis (Suparno,
2007:88). Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis
sehingga mereka dapat kita ajak untuk berdialog dan mereka tidak begitu saja
c. Perkembangan Emosi
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi
labil. Perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada
kelenjar-kelenjar hormonal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya
menolak pendapat ini. Sebagai contoh, pengaruh lingkungan sosial terhadap
perubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan
pengaruh hormonal. Peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada
dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak
tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan
untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan
bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring
berjalannya waktu. Terbentuknya kemandirian dan tanggung jawab dalam diri
remaja senantiasa tidak stabil.
Rifai (1984:19) mengatakan bahwa peningkatan emosional yang terjadi
secara cepat pada masa remaja awal dikenal sebagai masa storm & stress yaitu
masa kegoncangan dan kebimbangan. Akibatnya banyak remaja yang mengalami
penolakan terhadap kebiasaan di rumah, sekolah, mengasingkan diri dari
kehidupan umum, membentuk kelompok hanya untuk “gangnya”. Mereka bersifat
sentimental, mudah tergoncang dan bingung karena mereka menganggap dunia
sudah berubah dan mereka hidup dalam dunia yang lain.
d. Perkembangan Sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia
dan bertingkahlaku seperti orang dewasa karena pada masa remaja telah terjadi
perubahan fisik yang sangat cepat yang membuat remaja menyerupai orang
dewasa. Pada masa remaja, biasanya mereka menggabungkan diri dalam
“kelompok teman sebaya”. Kelompok sosial yang baru ini merupakan tempat
yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga
sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menurut Gunarsa
(2008:209), kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan
yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan
melakukan hubungan sosial. Namun, kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila
ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi
"overacting” dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya yang dibawa dari
masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang.
e. Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg perkembangan moral remaja terjadi pada tingkat
konvensional yaitu pada tahap ketiga dan tahap keempat. Pada tahap ketiga
seorang remaja mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang lain
kemudian merefleksikan persetujuan dari orang lain tersebut serta mengevaluasi
konsekuensinya. Sedangkan pada tahap keempat, seorang remaja sering
menentukan apa yang benar dan apa yang salah sehingga celaan menjadi faktor
yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik
(Duska,1982:60). Ketika seorang remaja merasa bersalah, perasaannya lebih
1993:37). Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkah laku moral. Pada
masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai
moral yang dapat melandasi tingkah laku moralnya. Walaupun demikian, pada
masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini
dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari
moralitas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak
berkelanjutan setelah masa remaja berakhir. Namun sebaliknya, ketidakwajaran
perkembangan moral remaja akan terjadi jika kegoyahan yang dialami remaja
terlalu menyimpang dari moralitas yang berlaku, merugikan masyarakat bahkan
berkelanjutan samapai masa remaja akhir.
f. Perkembangan Iman
Fowler menyatakan bahwa remaja dalam keyakinan imannya mempunyai
perkembangan sebagai berikut: setelah mampu berpikir abstrak, remaja mulai
membentuk ideologi (sistem kepercayaan) dan komitmen terhadap ideal-ideal
tertentu. Di masa ini mereka mulai mencari identitas diri dan menjalin hubungan
pribadi dengan Tuhan. Namun, identitas mereka belum benar-benar terbentuk,
sehingga mereka juga masih melihat orang lain (biasanya teman sebaya) untuk
panduan moral. Biasanya perkembangan moral remaja sangat dipengaruhi oleh
keteladanan iman orang lain sebagai acuan moral mereka, misalnya orang tua.
Iman mereka tidak dapat dipertanyakan dan sesuai dengan standar masyarakat
(Cremers,1995:30). Perkembangan iman pada masa remaja ditandai oleh
kemampuan kognitif baru, yaitu operasi-operasi formal, maka remaja mulai
perspektif antarpribadi secara timbal balik. Di sini sudah ada kemampuan
menyusun gambaran percaya pada person tertentu, termasuk person yang Ilahi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan dan perkembangan
pada diri remaja yang meliputi perubahan fisik, intelek, emosi, sosial, nilai, moral,
serta iman bila disadari akan sangat besar peranannya dan penting dalam
menjalankan tugas perkembangannya. Perubahan dan perkembangan yang terjadi
pada diri remaja juga akan sangat mempengaruhi bagaimana masing-masing
individu menjalankan tanggung jawab yang diembannya. Jika remaja dapat
menerima perubahan/perkembangannya, maka remaja dapat melaksanakan tugas
dengan baik.
4. Tugas Perkembangan Masa Remaja
Dalam masa-masa perkembangannya remaja mempunyai tugas-tugas
tertentu untuk dijalankan dan sangat penting peranannya. Alasan mengapa tugas
perkembangan pada masa remaja itu sangat penting, Hurlock (2004:209)
menyatakan bahwa “semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan
pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan
mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa.”
Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam
pola perilaku. Seperti yang telah dikutip dari Robert Y. Havighurst dalam
bukunya Human Development, Rifai (1984:2) mengemukakan bahwa remaja mempunyai sepuluh tugas perkembangan remaja yang dikelompokkan ke dalam
enam segi meliputi sosial, fisik, emosi, intelektual, nilai dan segi-segi lain.
sosial yang lebih matang dengan teman sebayanya baik dengan
teman-teman sejenis maupun dengan jenis kelamin lain, dapat menjalankan peranan-peranan sosial menurut jenis kelamin masing-masing dan memperlihatkan tingkah
laku yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan.
Remaja mempunyai tugas perkembangan secara fisik maksudnya remaja
dapat menerima kenyataan (realitas) jasmaniah serta menggunakan
seefektif-efektifnya dengan perasaan puas. Remaja mempunyai tugas perkembangan secara
emosi maksudnya remaja dapat mencapai kebebasan emosional dari orang tua
atau orang dewasa lainnya. Remaja juga mempunyai tugas perkembangan dari
segi intelektual maksudnya remaja dapat mengembangkan kecakapan intelektual
serta mempunyai dan memahami konsep-konsep yang diperlukan untuk
kepentingan hidup bermasyarakat. Dari segi nilai, remaja juga mendapatkan tugas
perkembangan yaitu memperoleh sejumlah norma-norma sebagai pedoman dalam
tindakan-tindakannya sebagai pandangan hidupnya. Remaja dalam tugas
perkembangannya juga menjalankan segi-segi yang lain meliputi mencapai
kebebasan ekonomi, memilih untuk mempersiapkan diri untuk pekerjaan atau
jabatan dan mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan dan hidup berumah
tangga.
Seperti yang telah dikutip dari Kimmel (1995:16), Sunardi mengemukakan
bahwa seorang remaja dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya tiga tahap
perkembangan. Adapun tiga tahap perkembangan remaja dalam mencapai
tugas-tugas perkembangannya tersebut dapat dipisahkan ke dalam tiga tahap secara
berurutan yaitu tahap perkembangan remaja awal, tahap perkembangan remaja
a. Tahap Remaja Awal
Tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya sebagai remaja
awal adalah pada penerimaan terhadap keadaan fisik dirinya dan menggunakan
tubuhnya secara lebih efektif. Hal ini karena remaja pada usia ini mengalami
perubahan-perubahan fisik yang sangat drastis, seperti pertumbuhan tubuh yang
meliputi tinggi badan, berat badan, panjang organ-organ tubuh, dan perubahan
bentuk fisik seperti tumbuhnya rambut, payudara, panggul, dan sebagainya.
Remaja yang tidak dapat menerima keadaan fisik dirinya dan menggunakan
tubuhnya secara tidak efektif cenderung berontak dan mereka nekad untuk “lari”
kepada hal-hal yang negatif misalnya saja seks bebas dan penggunaan narkoba.
b. Tahap Remaja Madya
Tugas perkembangan yang utama adalah mencapai kemandirian dan
otonomi dari orang tua, terlibat dalam perluasan hubungan dengan kelompok
sebaya dan mencapai kapasitas keintiman hubungan pertemanan; dan belajar
menangani hubungan heteroseksual, pacaran dan masalah seksualitas.
c. Tahap Remaja Akhir
Tugas perkembangan utama bagi individu adalah mencapai kemandirian
seperti yang dicapai pada remaja madya, namun berfokus pada persiapan diri
jawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi yang di
dalamnya juga meliputi penerimaan terhadap nilai dan sistem etik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan remaja
itu tidaklah mudah. Oleh karena itu diperlukan pendampingan secara khusus
untuk membantu remaja dalam menjalankan tugas perkembangannya. Remaja
dapat dibantu dalam menguasai dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan
sesuai dengan kebutuhannya pada suatu tahap perkembangan baik secara individu
maupun secara kelompok, misalnya saja dengan memberikan keterampilan dasar
untuk mengembangkan peran sosial pria atau wanita dengan tepat dapat kita
lakukan dengan memberikan pendampingan kecakapan emosi untuk mengasah
rasa empati atau kepekaan sosial.
B. Kecakapan Emosional dalam Diri Remaja
Remaja mempunyai tugas perkembangan secara emosi dalam hidup
sehari-hari. Dalam hidup sehari-hari tugas perkembangan secara emosi remaja
dapat diwujudkan dengan mencapai kebebasan emosional. Kebebasan emosional
itu dapat diwujudkan dalam relasi remaja yang baik dengan orang lain, dapat
menerima pertumbuhan fisiknya dan sebagainya. Bila kebebasan emosional
tersebut tidak dapat diwujudkan maka akan menjadi permasalahan tersendiri bagi
remaja. Berikut ini akan dipaparkan mengenai, pengertian kecerdasan emosi,
pengertian kecakapan emosional, pentingnya kecakapan emosional dalam
faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan yang dihadapi remaja berkenaan
dengan emosinya.
Kecakapan emosional remaja berkaitan erat dengan kecerdasan emosional
remaja. Kecakapan emosional remaja merupakan bentuk konkrit dari kecerdasan
emosional remaja. Oleh karena itu sebelum kita membahas kecakapan emosi
remaja, kita terlebih dahulu memahami kecerdasan emosi remaja.
1. Pengertian Kecerdasan Emosional Remaja
Goleman (2003: 512) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
merupakan kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi yang baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Begitu pula halnya
dengan remaja kecerdasan emosional berkaitan erat dengan penerimaan diri dan
berelasi orang lain.
Lawrence (2003:5) menambahkan kecerdasan emosi merupakan suatu
kualitas emosional yang penting dan mempengaruhi terhadap keberhasilan hidup
seseorang. Kualitas-kualitas emosional itu antara lain: empati, kecakapan
mengungkapkan dan memahami perasaan, kecakapan mengendalikan amarah,
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan
masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.
Dari uraian tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kecerdasan
emosional remaja merupakan suatu potensi dalam diri individu untuk mengenali
perasaan diri, berempati, memotivasi diri, mampu mengatur emosinya dan mampu
2. Pengertian Kecakapan Emosional
Kecakapan emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan
secara efektif menerapkan adanya kepekaan emosional sebagai sumber energi,
informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi (Cooper dan Sawaf, 2000:15).
Sebagai sumber energi kepekaan emosi tersebut dapat dijadikan sebagai kekuatan
dalam hidup sehari-hari. Sumber energi itu biasanya perlu dijaga, dan diisi terus
menerus agar kelestariannya tetap ada. Begitu pula halnya dengan kepekaan
emosional bila tidak dijaga dan tidak digunakan dengan baik maka akan
mengakibatkan emosi yang labil. Sebagai informasi koneksi, kepekaan emosi itu
dapat menunjukkan adanya suatu hubungan. Sebagai pengaruh yang manusiawi,
kepekaan emosi sebenarnya sudah melekat dan dimiliki oleh masing-masing
individu, misalnya saja kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal
yang sudah ada dalam diri seseorang. Kecerdasan interpersonal merupakan
kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi,
motivasi, watak, temperamen orang lain. Sedangkan kecerdasan intrapersonal
merupakan kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan
kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri itu.
Hal senada juga diungkapkan oleh Goleman (2003:39) yang
mengemukakan bahwa inti kecakapan emosi adalah dua kemampuan yaitu;
empati yang melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, dan
keterampilan sosial yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan
baik. Sedangkan unsur-unsur kecerdasan emosi merupakan dasar-dasar
terbentuknya kecakapan emosi. Adapun unsur-unsur yang dimaksud adalah
Kecakapan emosional itu berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang
dalam mewujudkan kualitas pribadinya. Berhasil tidaknya kualitas pribadi
seseorang itu dapat ditunjukkan dengan sikap-sikap yang terdapat dalam
masing-masing individu, hubungan dengan orang lain serta bagaimana tanggung jawab
seseorang dalam menjalankan tugasnya. Semakin seseorang dapat menunjukkan
kepribadian serta sikap yang baik maka kualitas hidup pribadi seseorang itu dapat
dikatakan baik pula. Goleman (1998:430) menyatakan setiap orang yang
mempunyai kecakapan emosi dalam hidupnya akan menjadi pribadi yang
bertangggung jawab, mudah bergaul, suka menolong, memahami orang lain,
terampil dalam menyelesaikan konflik, berpikir dahulu sebelum bertindak, lebih
cakap mengatasi kecemasan. Begitu juga halnya jika seseorang dapat menjaga
relasi dengan orang lain maka dapat dikatakan seseorang dapat menunjukkan
kualitas pribadinya yang baik.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian kecakapan emosi
mencakup tiga sifat yaitu kecukupan respon emosional, tingkat dan kedalaman
emosional serta pengendalian emosi. Seseorang mempunyai respon emosional
maksudnya respon-respon ini harus cocok dengan tingkat pertumbuhan. Orang
dewasa yang seperti anak kecil, yang menggunakan tangisan atau ledakan amarah
untuk mendapatkan apa yang diinginkannya merupakan ketidakdewasaan secara
emosi. Kecakapan emosi seseorang juga dapat dilihat dari tingkat dan kedalaman
emosional maksudnya tingkat kedalaman emosional seseorang itu dapat dilihat
dengan suatu aspek perkembangan/pertumbuhan yang cukup. Seseorang yang
perasaannya dangkal seperti yang dicontohkan pada orang yang terlalu simpatik,
sayang, dan simpati (orang yang apatis) adalah tidak dewasa secara emosional.
Seseorang yang cakap secara emosi diharapkan mampu mengendalikan emosinya.
Sebaliknya, orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya adalah orang yang
tidak dewasa secara emosi. Orang yang tidak dewasa secara emosi yakni
orang-orang yang terus menjadi korban rasa takut atau cemas, marah, amukan,
kecemburuan, benci dan semacamnya.
Dapat disimpulkan bahwa kecakapan emosi merupakan suatu perwujudan
dari potensi-potensi kecerdasan emosi yang terdapat dalam diri seseorang
sehingga dapat menghasilkan suatu prestasi. Potensi kecerdasan emosi
bertitiktolak dari lima unsur yaitu: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri,
empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.
3. Pentingnya Kecakapan Emosional dalam Kehidupan Remaja
Dalam kehidupan sehari-hari kecakapan emosional sangatlah penting.
Begitu pula halnya dengan kehidupan remaja kecakapan emosi itu sangatlah
penting. Kecakapan emosi dalam hidup sehari-hari berhubungan dengan dorongan
untuk bertindak dalam mengatasi suatu masalah (Goleman, 1997:7). Secara umum
dapat dikatakan kecakapan emosi itu berkaitan erat dengan tiga hal yaitu
penerimaan diri, hubungan dengan orang lain serta tanggung jawab dalam
menjalankan tugas.
a. Penerimaan Diri
Dahulu orang berpandangan bahwa orang yang berhasil dalam hidupnya
waktu, pandangan tersebut sekarang telah berubah yaitu orang yang berhasil
dalam hidupnya adalah orang yang secara emosional cakap. Begitu pula halnya
dalam kehidupan remaja. Remaja yang berhasil dalam hidupnya tidak berarti
bahwa remaja berhasil dalam bidang akademik di sekolah saja tetapi terlebih
bagaimana remaja dapat mengembangkan kecakapan emosinya dalam hidup
sehari-hari.
Orang yang secara emosional cakap dapat mengetahui dan menangani
perasaan mereka sendiri dengan baik (Goleman,1997:48). Setiap individu dapat
mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri maksudnya remaja dapat
menyadari serta mengatasi segala gejolak dalam dirinya dengan baik. Handoko
(2008:55) menambahkan antara emosi dan motivasi mempunyai hubungan erat
yang dapat dialami serta dapat dilihat dalam hidup sehari-hari yaitu: emosi dapat
memperkuat/memperlemah tindakan seseorang seperti halnya motivasi. Emosi
dapat mengarahkan tingkah laku seseorang. Emosi dapat juga menyertai tingkah
laku bermotivasi serta emosi dapat menjadi tujuan, dan tingkah laku bermotivasi.
Dengan kata lain keadaan emosi sangat berpengaruh dalam hal tindakan.
Jika keadaan emosi remaja baik maka tindakan remaja akan baik pula. Sebaliknya,
jika keadaan emosi remaja kurang baik maka tindakan remaja menjadi kurang
baik pula, misalnya saja bila seorang remaja yang tidak mampu menerima
keadaan dirinya dengan baik maka ia akan melakukan tindakan lari dari rumahnya
dan mencoba untuk mencari kebahagiaan lain yang lebih menyenangkan. Tak
jarang, kebahagiaan yang mereka lakukan dalam bentuk hal-hal negatif, misalnya
dunia malam/clubing, mabuk/minum minuman keras, konsumsi narkoba, “gank”
b. Hubungan dengan Orang Lain
Remaja yang cakap secara emosional dalam hidup sehari-hari merupakan
individu yang dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain.
Kemampuan membina hubungan dengan orang lain memungkinkan seorang
remaja untuk menggerakkan dan mengilhami orang-orang lain, membina
kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain
merasa nyaman (Goleman,1997:159). Dalam hidup sehari-hari remaja perlu
menyadari dan belajar akan arti penting kemampuan membina hubungan dengan
orang lain. Untuk dapat mewujudkan kemampuan membina hubungan dengan
orang lain, remaja terlebih dahulu dapat mengendalikan diri dari amarahnya dan
beban-beban pikiran yang ia rasakan serta penyesuaian dengan tuntutan orang
lain. Dengan demikian usaha yang dimulai dari diri remaja sendiri ini akan
mempermudah dalam membina relasi dengan orang lain dalam hidup sehari-hari.
c. Tanggung Jawab Tugas
Dalam hidup sehari-hari kecakapan emosi itu sangatlah erat kaitannya
dengan tanggung jawab atau tugas. Seseorang yang tidak dapat menghimpun
kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin
yang merampas kemampuan untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan
memiliki pikiran yang jernih. Sebaliknya orang dengan keterampilan emosional
yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil
dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas
mereka (Goleman,1997:48). Begitu pula halnya dengan kehidupan remaja,
diembannya. Bila seorang remaja dapat mengembangkan kecakapan emosinya
dengan baik maka ia akan mencapai kebebasan emosi yang menjadi pendorong
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.
Secara khusus pengembangan kecakapan emosi remaja berfokus pada
penerimaan diri. Penerimaan diri menjadi fokus pengembangan kecakapan emosi
remaja karena pada masa ini remaja mengalami kesulitan dalam menerima
perubahan fisik. Remaja yang sulit untuk menerima perubahan fisiknya, akan
berpengaruh pada perkembangan emosinya. Oleh karena itu remaja perlu dilatih
untuk dapat menerima keadaan dirinya dengan baik.
4. Permasalahan yang Dihadapi Remaja Berkenaan dengan Emosinya
Banyak persoalan atau permasalahan yang dihadapi remaja berkaitan
dengan perkembangan emosinya. Persoalan atau permasalahan yang terjadi pada
remaja berkaitan dengan perkembangan emosi biasanya terjadi secara internal dan
secara eksternal yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Permasalahan Internal
Remaja sedang mengalami perkembangan emosi. Hal ini dapat
menimbulkan permasalahan tersendiri bagi remaja. Akibat perkembangan
emosinya remaja mengungkapkan amarahnya dengan menggerutu, tidak mau
berbicara atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan
amarah. Remaja juga iri hati terhadap orang yang memiliki benda lebih banyak. Ia
tidak mengeluh dan menyesali diri sendiri seperti yang dilakukan oleh anak-anak
bersama-sama dengan emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan ia sukar
menerima nasihat orang tua. Remaja yang mempunyai kesulitan dalam menerima
nasihat orang tua, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang suka membangkang, suka
membantah tanpa alasan yang jelas.
b. Permasalahan Eksternal
Selain masalah internal, masalah yang biasanya terjadi pada remaja adalah
masalah eksternal. Masalah eksternal yang terjadi pada masa remaja ini berkaitan
dalam relasinya dengan orang lain serta dalam melaksanakan tanggung jawab.
Dalam kaitannya berelasi dengan orang lain, permasalahan yang muncul akibat
dari perubahan yang terjadi pada dirinya sehingga membuatnya campur aduk.
Remaja menjadi orang yang melihat ke dalam yang mengarahkan pandangan
matanya pada dirinya sendiri. Remaja mulai menjauhi orang lain. Di sisi lain
remaja ingin berkomunikasi dengan orang yang mengerti keadaan dirinya.
Ternyata keinginan remaja itu dipuaskan dengan teman-teman sebayanya yang
mengalami hal yang sama (Riberu, 1984:48). Hurlock (2004:213) menambahkan
pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan
perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Sedangkan dalam menjalankan
tugas atau tanggung jawabnya permasalahan yang muncul adalah
ketidakmampuan remaja dalam menjalankan tugas perkembangannya, misalnya
saja banyak remaja yang belum dapat mencapai kebebasan emosinya dengan baik.
Remaja yang kurang bertanggung jawab juga nampak dalam perilaku
mengabaikan pelajaran di sekolah. Biasanya remaja yang mengabaikan pelajaran
5. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Penyebab Terjadinya Permasalahan pada Remaja yang Berkaitan dengan Perkembangan Emosinya
Ketika usia seseorang bertambah, maka banyak permasalahan yang harus
dihadapinya. Begitu pula halnya dengan remaja yang sedang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan (baik secara fisik, psikis, emosi dan sebagainya)
juga mengalami berbagai permasalahan. Remaja yang sedang mengalami masa
peralihan mempunyai permasalahan berkenaan dengan perkembangan emosinya.
Permasalahan yang terjadi pada remaja berkaitan dengan perkembangan emosinya
disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Pada bagian ini akan
memaparkannya dengan faktor internal dan faktor eksternal penyebab terjadinya
permasalahan remaja berkaitan dengan perkembangan emosinya.
a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan segala sesuatu yang ada dalam diri remaja
misalnya saja faktor jasmaniah. Permasalahan remaja yang berkaitan dengan
perkembangan emosinya berkaitan erat dengan faktor psikologis dan faktor
kematangan fisik, misalnya saja perubahan fisik yang terjadi pada dirinya
menimbulkan gejolak tersendiri dalam diri remaja. Gunarsa (1978:87)
menambahkan Faktor internal pada remaja adalah masalah emosionalitas.
Masalah emosionalitas ditunjukkan dengan kemarahan, ngadat, agresi
berlebih-lebihan dan kemampuan intelek.
Melalui kemarahan, seorang remaja meluapkan segala bentuk