BAB III. PAK SMA DAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI
C. Pembelajaran PAK SMA yang Berorientasi pada Pengembangan
3. Peran Guru dan Keterlibatan Siswa dalam Pembelajaran
Sosok guru dan siswa dalam suatu proses pembelajaran saling berkaitan
dan melengkapi satu sama lain. Tanpa kehadiran seorang guru, pembelajaran itu
tidak akan berhasil karena siswa tidak mempunyai seorang pendamping yang
dapat membantu serta membimbingnya. Begitu pula halnya dengan keterlibatan
siswa dalam pembelajaran, pembelajaran itu akan menjadi pasif karena tidak ada
siswa yang akan dibimbingnya bahkan pembelajaran juga tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya. Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah
Menengah Atas yang berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa, peranan
guru dan keterlibatan siswa sangatlah penting. Oleh karena itu bagian ini akan
memaparkan peranan guru dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran Pendidikan
a. Peranan Guru
Secara umum ada dua peran guru dalam pembelajaran yang menerapkan
kurikulum yang berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa. Depdiknas
(2002:165) menyatakan bahwa peranan seorang guru dalam kurikulum yang
berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa adalah sebagai motivator dan
fasilitator. Sebagai motivator, seorang guru dituntut untuk dapat memberikan
semangat atau dorongan kepada siswanya dalam kegiatan belajar mengajar.
Sebagai fasilitator, guru diharapkan menjadi pemudah atau orang yang dapat
membantu siswa belajar bukan sebagai penyampai informasi. Guru mempunyai
peran dalam menciptakan situasi, menyediakan kemudahan dan menciptakan
peluang dalam kegiatan belajar mengajar. Demikian pula halnya dalam
pembelajaran PAK SMA dalam kurikulum yang berorientasi pada pengembangan
kompetensi siswa, peranan guru juga dalam PAK diharapkan menjadi pribadi
yang dapat menciptakan situasi belajar, menyediakan kemudahan belajar,
menciptakan peluang belajar dan menjadi seorang motivator serta fasilitator yang
baik.
Guru sangat berperanan dalam proses Pendidikan Agama Katolik. Peran
guru sangat menentukan berhasil tidaknya Pendidikan Agama Katolik. KWI
(1991:24) mengenai Ajaran dan Pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik
menyebutkan:
Guru berada pada kedudukan utama dalam membimbing siswa, memperdalam imannya dan memperkaya serta menerangi pengetahuan manusiawinya dengan bahan-bahan iman. Meskipun banyak kesempatan dalam pengajaran di mana para siswa dapat dirangsang oleh pandangan iman, namun pendidikan Kristen mengakui sumbangan sah yang dapat diberikan oleh mata pelajaran akademik untuk pengembangan seorang Kristen yang matang. Guru dapat membentuk pikiran dan hati para siswa
dan membimbing mereka mengembangkan keterlibatan kepada Kristus secara utuh, dengan seluruh kepribadian mereka yang diperkaya oleh kebudayaan manusia.
Guru sangat berperanan dalam mengembangkan keterlibatan kepada
Kristus secara utuh. Peran guru sebagai pengembang keterlibatan kepada Kristus
secara utuh dengan seluruh kepribadian siswa menuntut guru untuk
mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Pengembangan
keterlibatan kepada Kristus secara utuh meliputi tiga dimensi yaitu pengetahuan,
penghayatan dan aksi. Sebagai contoh konkrit untuk dapat menangkap
pengetahuan tentang iman maka seorang guru Agama Katolik dapat
mengembangkan kemampuan linguistik siswanya untuk memahami pengetahuan
imannya. Kepribadian siswa sangat khas dan unik. Kekhasan dan keunikan
pribadi masing-masing siswa inilah yang dapat diangkat sebagai jembatan untuk
mengimani Kristus, misalnya ada siswa yang suka bermain musik maka sebagai
guru Agama Katolik kita dapat menggunakan musik sebagai sarana penghayatan
iman kepada Kristus. Berhasil tidaknya Pendidikan Agama Katolik itu juga
ditentukan oleh kompetensi guru sendiri.
Kompetensi guru menyumbangkan peranan yang sangat penting dalam
keberhasilan Pendidikan Agama Katolik. Seorang guru yang mempunyai
kemampuan mengintepretasikan materi, struktur, konsep dan pola pikir ilmu-ilmu
yang relevan dengan pembelajaran Pendidikan Agama Katolik akan membantu
serta memudahkan siswanya dalam mengembangkan segala kemampuan yang
dimiliki sebelum sekolah, sebagai contoh konkritnya seorang guru Pendidikan
Agama Katolik yang menerapkan materi dengan ilmu yang relevan dengan musik
kecerdasan musikalnya. KWI (2007:10) menambahkan bahwa guru diharapkan
untuk selalu meningkatkan kompetensi dalam menciptakan dan melaksanakan
suatu kegiatan pembelajaran Pembelajaran Agama Katolik yang partisipatif dan
kreatif.
Selain dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Pendidikan
Agama Katolik Sekolah Menengah Atas, peran seorang guru dalam hubungan
langsung dan pribadi dengan siswa. KWI (1991:59) menyatakan:
Dalam hubungan itu, apa yang disebutkan di atas tentang hubungan langsung dan pribadi antara guru dan siswa menjadi sangat penting; suatu kesempatan istimewa untuk memberikan kesaksian. Hubungan pribadi senantiasa lebih merupakan dialog dari pada monolog dan guru harus yakin bahwa dalam hubungan itu satu sama lain saling memperkaya. Tetapi perutusan itu harus tidak pernah dilupakan: pendidik harus selalu ingat bahwa siswa membutuhkan kawan dan pembimbing selama masa pertumbuhannya. Mereka membutuhkan pertolongan orang lain untuk mengatasi keragu-raguan dan kehilangan arah. Begitu pula pergaulan dengan siswa harus merupakan gabungan yang bijaksana antara keakraban dan jarak. Hal itu harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa. Keakraban akan mempermudah hubungan pribadi, tetapi adanya jarak tertentu juga perlu: para siswa perlu belajar, bagaimana mengungkapkan kepribadian mereka tanpa prasyarat? Mereka perlu dibebaskan dari larangan dalam melaksanakan kebebasan mereka secara bertanggung jawab.
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa peran guru Pendidikan Agama
Katolik tidak hanya terbatas pada pembelajaran di kelas atau dalam proses
kegiatan belajar mengajar. Tetapi lebih-lebih peran guru Pendidikan Agama
Katolik Sekolah Menengah Atas itu dapat dilihat secara jelas ketika di luar kelas.
Hal ini nampak dalam hubungan secara pribadi dengan siswa yang terwujud
dalam suatu dialog, tepatnya menjadi teman berbagi ketika siswa sedang
dan “yang dididik” saja melainkan suatu hubungan yang sejajar yaitu hubungan
sebagai mitra.
b. Keterlibatan Siswa dalam Pembelajaran PAK yang Berorientasi pada Pengembangan Kompetensi Siswa
Secara umum keterlibatan siswa dalam suatu pembelajaran pada umumnya
dapat dilihat dalam tiga hal besar. Depdiknas (2002:165) menyatakan bahwa
dalam suatu pembelajaran, siswa terlibat penuh dalam pembelajaran, siswa dapat
berkreasi serta mengkonstruksi dan berperan sebagai subyek/aktor/peran utama.
Demikian pula halnya dalam Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Atas
dalam kurikulum yang berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa
diharapkan terlibat secara penuh dalam pembelajaran Pendidikan Agama Katolik,
siswa bertindak sebagai subyek/peran utama, dan dapat mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Dengan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri,
menjadikan siswa untuk belajar mandiri pengetahuannya dan belajar menjadi
lebih menyenangkan karena hasil belajar yang didapatkannya bukanlah hasil
pemberian dari guru.
Keterlibatan siswa dalam Pendidikan Agama Katolik di sekolah lebih
ditekankan kepada relasi dan dialog. KWI (1991:53) mengenai ajaran dan
pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik menyebutkan:
Para siswa memiliki nilai-nilai yang pada dasarnya positif, hubungan tersebut akan memungkinkan keterbukaan dan dialog yang memudahkan pemahaman terhadap kesaksian iman yang diungkapkan melalui perilaku guru. Dialog dengan siswa menjadi sangat penting karena kesempatan untuk memberikan suatu kesaksian. Hubungan pribadi lebih merupakan dialog dari pada monolog yaitu satu sama lain saling memperkaya. Dengan adanya suatu keakraban dalam suatu hubungan siswa akan dipermudah
untuk membiasakan diri dalam hubungan pribadi, selain itu siswa juga perlu belajar bagaimana mengungkapkan kepribadian mereka tanpa prasayarat.
Dari uraian tersebut nampak jelas bahwa keterlibatan siswa dalam
Pendidikan Agama Katolik sangat penting demi keberhasilan Pendidikan Agama
Katolik itu sendiri. Pentingnya keterlibatan siswa dalam Pendidikan Agama
Katolik dipengaruhi oleh dua hal yaitu relasi dan dialog. Untuk dapat
mewujudkan adanya suatu relasi dan dialog maka diperlukan kemampuan
tertentu. Siswa dapat mewujudkan dialog yang baik dengan mengembangkan
kemampuan interpersonal yang pada akhirnya juga akan mengembangkan
kecakapan emosi siswa.
Untuk dapat mengembangkan kecakapan emosi, siswa dapat
melakukannya dengan cara latihan secara pribadi yaitu dengan mengenali apa
yang dirasakan, menghargai emosi, penataan emosi, memahami emosi orang lain
serta berefleksi atau berkomunikasi dengan jiwa. Melalui komunikasi dengan
jiwa, siswa dilatih untuk melihat kembali tindakan yang perlu dikembangkan dan
dihilangkan. Melalui latihan secara pribadi, siswa diharapkan dapat berelasi serta
berdialog dengan orang lain dengan lebih baik sekaligus juga mengembangkan
kecakapan emosi.