• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A . Latar Belakang

Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum merupakan penentu isi dan

pelaksanaan hukum di Indonesia yang secara konstitusional telah dijabarkan di

dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 terutama di

dalam Pasal 4 Ayat (1) berbunyi “Pemerintah dalam menjalankan roda

pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”, dengan pengertian bahwa

penyelenggaraan pemerintahan harus dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan

perundangan. Ketentuan ini sekaligus menunjukan bahwa Negara Kesatuan

Republik Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat).1

Selanjutnya untuk memberi batas terhadap kekuasaan pemerintah telah

disepakati bersama Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang sekaligus

menjadi sumber hukum utama pembuatan peraturan perundangan termasuk

pengaturan bidang pendaftaran tanah, hal ini didasarkan kepada suatu perbuatan

hukum atau rekayasa hukum oleh lembaga berwenang yang disebut juga

sebagai hukum yang diundangkan (enacted law) sehingga menghasilkan

substansi yang tidak diragukan lagi kebenaran dan keabsahannya.

1

(2)

Namun demikian di dalam praktek penegakan hukum (law enforcement),

tetap diperlukan dukungan kekuasaan (maachts) sebatas yang diperlukan untuk

kepentingan penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri, dengan

pengertian bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan secara berlebihan sampai

menjurus kepada suasana penekanan, penindasan bahkan kekerasan bersifat

repressive dan top down yang akhirnya bermuara kepada naked power.2

Sebagai contoh penggunaan kekuasan (maachts) menurut ketentuan Pasal

2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria dimaksudkan untuk mengatur dan menyelenggarakan

peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang

angkasa juga termasuk mengatur hubungan hukum antara orang dengan tanah

yang hanya bersifat publik semata (publiekrechtelijk) tanpa dapat ditafsirkan

lain kecuali untuk kepentingan nasional, karena menyangkut kehidupan

berbangsa dan bernegara.3

Pada dasarnya keberadaan hukum merupakan alat pengendali perubahan

sosial sehingga diharapkan pada saatnya dapat memunculkan penggunaan

hukum secara sadar dan aktif sekaligus sebagai sarana dalam peran serta hukum

menata kehidupan masyarakat, baik dalam aspek legitimasi maupun efektivitas.

2

Bambang Sungguno, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, PT. Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 1 dan 2.

3

(3)

Sebaliknya peraturan perundangan yang dibuat pihak berwenang lebih

bersifat umum sehingga suatu peraturan perundangan yang berlaku tidak

mungkin dapat menjangkau hal-hal yang khusus dan rinci karena sifat terbatas

dan sifat universalnya setiap peraturan perundangan sehingga tidak mungkin

dapat menjangkau semua perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang belum

jelas bentuk konkritnya, dengan pengertian bahwa peraturan perundangan

hanya sanggup mengatasi suatu perbuatan atau peristiwa tertentu saja.

Oleh karena itu pemerintah atau pemerintahan umum atau disebut juga

dengan pemerintahan negara atau administrator negara atau yang menjalankan

tata usaha negara bersama jajaran birokrasinya sampai ke daerah diberi

wewenang (bevoegdheid) dalam mengambil tindakan pemerintahan (bestuuren)

membuat penetapan (beshikking) berupa kebijaksanaan (beleidsregel atau

policy atau discretion) dengan merumuskan freies ermessen dalam berbagai

bentuk juridische regels seperti membuat peraturan, pedoman, pengumuman

atau edaran sesuai dengan azas diskresi (discretionaire), legalitas

(wetmatigheid) dan yuridikitas (rechtmatigheid) dengan syarat putusan

kebijaksanaan tersebut harus sesuai dengan isi dan jiwa serta semangat Undang

Undang Dasar dan peraturan perundangan (regelling).4

4

(4)

Salah satu fakta hukum perlunya diadakan kebijaksanaan oleh pemerintah

terutama di bidang pendaftaran tanah yaitu ketika dilaksanakan kegiatan

pendaftaran tanah, namun peraturan yang ada berada pada suatu keadaan

konflik peraturan perundangan, boleh jadi disebabkan berbagai alasan karena

peristiwa hukum, perbuatan hukum, alat bukti hak atas tanah atau hubungan

hukum bersangkutan sehingga sulit dilaksanakan baik secara hukum maupun

secara administratif, keadaan konflik demikian jika tetap diproses atau tidak

diproses tanpa melalui suatu tindakan atau langkah kebijaksanaan oleh

pemerintah sehingga dikhawatirkan kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah

yang diterbitkan pemerintah boleh jadi akan melemah ketika diuji di hadapan

hakim pengadilan atau boleh jadi muncul permasalahan lain yang pada akhirnya

melemahkan tujuan negara.

Namun sebaliknya kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah selaku

birokrat bersama jajarannya dalam bidang pendaftaran tanah sampai ke tingkat

pejabat pelaksana di kantor pertanahan di kabupten dan kota bukan merupakan

kebijaksanaan dalam arti putusan beschikking yang bukan wewenangnya,

melainkan hanya sebatas atribut peraturan regelling atau putusan beschikking

yang dibuat oleh lembaga legislatif bersama eksekutif atau oleh lembaga lain

atau oleh lembaga yang lebih rendah dari itu setingkat menteri.5

5

(5)

Memang seyogianya pemerintah dalam memberi pelayanan publik di

bidang pendaftaran tanah di kantor pertanahan seharusnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangan berlaku, namun ketika di dalam

pelaksanaannya berhadapan dengan konflik peraturan perundangan yang

berlaku, maka pemerintah beserta jajaran birokrasinya harus mampu menempuh

jalan kebijaksanaan yang notabene tidak termasuk ke dalam peraturan yang

diundangkan (unenacted law). Karena itu keadaan demikian dapat dipandang

sebagai suatu fakta hukum yang memerlukan pemeriksaan dan analisis tertentu

untuk dicarikan pemecahan masalahnya, antara lain melalui serangkaian

kegiatan ilmiah menggunakan sistimatika dan metode serta pemikiran yang

terfokus kepada permasalahan sehingga akhirnya diharapkan dapat

mengungkap kebenaran hukum yang sebenarnya.6

Kantor pertanahan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah ketika

berhadapan dengan konflik peraturan perundangan tidak ada dilarang

mengambil langkah kebijaksanaan yang didasarkan kepada kewenangan

pemerintah dan azas kepatutan sekaligus mencermati perubahan yang terjadi

dalam kehidupan masyarakat dan merespon kebutuhan serta kepentingan

masyarakat terkait bidang pendaftaran tanah sehingga diharapkan dapat

memperoleh legalitas dari pihak berwenang.

6

(6)

Konflik peraturan perundangan memang sering terjadi sebagai akibat

keadaan yang tidak dapat dihindari, hal ini disebabkan karena kaidah-kaidah

hukum yang disusun atau yang direncanakan oleh pembuat peraturan

perundangan selalu tertinggal jauh di belakang perubahan sosial yang sedang

terjadi di dalam kehidupan masyarakat (het recht hink achter de feiten aan).7

Ketika kantor pertanahan harus berhadapan dengan konflik peraturan

perundangan, maka pilihan hanya ada 2 (dua) ; pertama menolak permohonan ;

kedua memproses permohonan. Namun adakalanya jika permohonan ditolak

dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum, keadilan atau kemanfaatan

bagi pemohon, masyarakat atau negara. Sebaliknya jika permohonan tetap

diproses adakalanya harus berhadapan dengan konflik peraturan perundangan.

Salah satu di antaranya oleh kantor pertanahan dalam jajaran Badan

Peranahan Nasional Republik Indonesia dengan kewenangan birokrasinya dapat

saja dan tidak ada larangan membuat suatu putusan kebijaksanaan bersandarkan

kepada azas-azas hukum secara patut sepanjang tidak bertentangan dengan

Undang Undang Dasar dan peraturan perundangan berlaku dalam rangka

memberi pelayanan kepada masyarakat untuk memberi kepastian hukum,

keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak.

7

(7)

Menurut Alvi Syahrin bahwa pengaturan pertanahan yang diatur oleh

beberapa peraturan perundangan terutama mengenai peruntukan, penggunaan,

pemanfaatan dan pemilikan tanah ternyata tidak dapat terlaksana secara

terpadu, padahal secara keseluruhan peraturan perundangan tersebut tidak dapat

dilaksanakan secara parsial bahkan keseluruhan peraturan perundangan

merupakan suatu kesatuan tanpa konflik, karena sifat hukum itu yaitu memaksa

dan mengatur.8

Menurut Syafruddin Kalo bahwa dewasa ini konflik kepentingan

(conflicts of interest) bidang pertanahan secara materi dapat dibedakan menjadi

3 (tiga) kelompok ; pertama konflik sesama anggota masyarakat ; kedua konflik

antara anggota masyarakat dengan pemerintah ; ketiga konflik antara anggota

masyarakat dengan investor, namun di sisi lain dapat juga terjadi konflik

hukum (conflictenrecht) sehingga harus ditentukan hukum yang digunakan

pada suatu hubungan hukum yang terjadi menyangkut dua atau lebih sistem

hukum yang berlaku, sebagai akibat setidaknya dari sudut pandang ilmu hukum

bahwa Udang-undang Pokok Agraria mengandung 2 (dua) sistem hukum yaitu ;

pertama sistem hukum nasinal, ; kedua sistem hukum adat.9

8

Alvi Syahrin, 2003, Pengantar Hukum dan Kebijaksanaan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Pustaka Bangsa Press, Medan, Halaman 216.

9

(8)

Selanjutnya menurut Alvi Syahrin bahwa ketika terjadi konflik hukum

pada prosedural pendaftaran tanah oleh lembaga terkait memang perlu diadakan

kebijaksanaan, namun tentu tidak semuanya dapat diterima menurut hukum,

sebaliknya konflik hukum dapat juga dapat terjadi ketika berhadapan dengan

berbagai interpretasi dan persepsi sesuai kepentingan masing-masing pihak atau

karena konflik kepentingan (conflicts of interest) termasuk juga terjadi di tubuh

pemerintah sendiri yang selalu muncul dengan ego sektoralnya.10

Terlepas dari masalah konflik kepentingan (conflicts of interest) ataupun

konflik keakuan (conflicts of egocentric) maka penelusuran penelitian dan

penulisan ini hanya terfokus kepada kebijaksanaan pemerintah sepanjang

mengenai solusi dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan permasalahan

mengatasi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah (conflicts of

land registration rights) dapat terjadi dalam 3 (tiga) kegiatan penyelenggaraan

pendaftaran tanah di kantor pertanahan sebagai berikut ;

Pertama, konflik pengaturan dalam kegiatan pengumpulan dan

pengolahan data fisik pada permohonan hak ; kedua, konflik pengaturan dalam

kegiatan peralihan hak atas tanah ; ketiga, konflik pengaturan dalam kegiatan

pendaftaran pembebanan hak atas tanah.

10

(9)

Solusi kebijaksanaan yang harus dibuat kantor pertanahan tersebut pada

dasarnya merupakan kebijaksanaan publik yang memang harus dilakukan

jajaran pemerintah yang menjalankan roda pemeritahan yang melayani

kepentingan publik di dalam bidang pendaftaran tanah, dalam hal ini menurut

Thomas R. Dye bahwa kebijaksanaan publik meliputi semua tindakan pejabat

pemerintah, baik memilih untuk melakukan sesuatu atau memilih untuk tidak

melakukan sesuatu, namun selalu mempunyai tujuan tertentu dan keduanya

tetap mempunyai akibat yang sama besarnya terhadap kehidupan sosial

masyarakat.11

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pemerintah pada

penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah harus melaksanakannya menurut

peraturan perundangan, namun ketika penyelenggaraan kegiatan pendaftaran

tanah tersebut dilaksanakan dan harus berhadapan dengan konflik sinkronsasi,

konsistensi atau stagnasi peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah,

maka pemerintah bersama jajaran birokrasinya sampai ke tingkat paling bawah

harus mampu mengatasinya dengan cara membuat kebijaksanaan (beleidsregel /

diskresi / policy). Selanjutnya kebijaksanaan pemerintah bidang pendaftaran

tanah tersebut akan diteliti, dianalisis dan disimpulkan secara ilmiah untuk

dijadikan bahan pengetahuan.

11

(10)

B . Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan

sebagai berikut ;

1. Bagaimanakah bentuk konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah ?

2. Bagaimanakah pandangan hukum terhadap kebijaksanaan pemerintah

dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah ?

C . Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum yaitu untuk mengetahui keberadaan

konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah

dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada

pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, selanjutnya tujuan penelitian ini secara

khusus sebagai berikut ;

1. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai keberadaan konflik

pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan

pendaftaran tanah.

2. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai pelaksanaan kebijaksanaan

pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran

(11)

D . Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun

praktis, terutama bagi peneliti, akademisi, lembaga-lembaga negara, pemerintah

maupun lembaga swasta yang membutuhkan sepanjang mengenai keberadaan

konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah

dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada

pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, selanjutnya sebagai berikut :

1. Manfaat Secara Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak yang

membutuhkan terutama bagi peneliti sebagai bahan kajian lebih lanjut

sepanjang mengenai keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran

tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan

hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran

tanah,Manfaat Secara Praktis

Diharapkan penelitian ini berguna bagi para akademisi sebagai

bahan pengetahuan dan bagi lembaga legislatif, eksekutif maupun

yudikatif sebagai bahan masukan sepanjang mengenai keberadaan konflik

pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah

dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada

(12)

E . Keaslian Penelitian

Berdasarkan inventarisasi dan informasi terutama dari kepustakaan

Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian mengenai “Analisis Hukum

Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan

Pendaftaran Tanah di Kota Medan” belum pernah dilaksanakan oleh peneliti

lain, walaupun ada penelitian oleh Triono Eddy tahun 2002 mengenai

“Kebijakan Pemerintah Kabupaten Langkat Terhadap Lahan Enclave Dan

Kaitannya Dengan Pelestarian Taman Nasional Gunung Leuser“ dan oleh

Ramlan tahun 2005 mengenai “Kebijakan Pemerintah Kota Tanjung Balai dan

Pemerintah Kabupaten Agam Dalam Meningkatkan Kepercayaan Investor

Setelah Berlakunya Otonomi Daerah”, namun secara ontologi, epistimologi

maupun aksiologi berbeda, maka dengan demikian penelitian ini asli.

F . Kerangka Teori Dan Konsepsi

Penulisan ini berusaha memahami dan menguraikan permasalahan terkait

dengan konflik pengaturan pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah

dalam mengatasinya sehingga diperlukan kerangka bersifat teoritis dan

konsepsional untuk dapat digunakan sebagai landasan penelitian dan penulisan,

karena di dalamnya terdapat sistem theorama atau ajaran (leerstelling) 12

12

(13)

1. Kerangka teori

Kerangka teori merupakan serangkaian konsep, asumsi, defenisi

dan proposisi guna menjelaskan suatu fenomena sosial secara sistimatik

dengan cara merumuskan melalui antar konsep13, selanjutnya menurut

Prof. M. Solly Lubis bahwa kerangka teori merupakan butir-butir

pendapat atau thesis mengenai suatu permasalahan yang dijadikan bahan

perbandingan atau pegangan secara teoritis.14

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kerangka teori dibutuhkan

di dalam penetian dan penulisan ini dengan harapan supaya memperoleh

hasil optimal ketika dilakukan generalisasi untuk ditarik suatu simpulan

sehingga dapat dibuat saran yang patut dan layak untuk dilaksanakan.

a.

Teori kedaulatan negara satu teori yang dikemukakan Hans

Kelsen yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalism

yang secara umum di dalamnya terdapat dua aspek, yaitu aspek

statis (nomostatics) dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat

hukum sebagai suatu hal yang mengatur perbuatan yang bersumber

dari norma dasar.

Teori kedaulatan negara.

13

Burhan Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman 19.

14

(14)

Selanjutnya teori tersebut dikenal dengan teori Grundnorm

yang merupakan dalil sekaligus juga yang menjadi tujuan dari

semua peraturan perundangan sehingga setiap hukum atau peraturan

perundangan yang berada dalam kawasan rezim Grundnorm harus

terkait dengannya. 15

Terdapat dua istilah di dalam teori kedaulatan negara yaitu ;

“kedaulatan” dan “negara”, kedaulatan merupakan kekuasaan

tertinggi dalam suatu kelompok organisasi yang berlaku bagi

seluruh anggota masyarakat hukum tertentu sedangkan negara yaitu

merupakan suatu organisasi yang mempunyai aneka ragam

kepentingan dan setiap orang yang berada dalam lingkungan suatu

masyarakatnya akan berusaha mencapai tujuannya yang disepakti

baik secara kumunal maupun individual.16

Pada proses konkretisasi teori Kelsen mengukuhkan

Stuffentheory yaitu suatu teori yang melihat tata hukum sebagai

suatu proses menciptakan sendiri norma-norma mulai dari norma

umum sampai kepada yang lebih konkrit dan paling konkrit yang

berujung kepada sanksi hukum dalam suatu kedaulatan negara.

15

Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Halaman 8

16

(15)

Seperti halnya di Indonesia mulai dari Pancasila sebagai

norma dasar, Undang Undang Dasar sebagai peraturan dasar sampai

kepada undang, peraturan pemerintah pengganti

undang-undang, pearturan pemerintah, peraturan presiden sampai kepada

peraturan pelaksana lainnya yang lebih rendah secara sistimatika

tata hukum dalam hal ini penagturan bidang pendaftaran tanah.

Selanjutnya menurut Hans Kelsen bahwa kedaulatan negara

lebih mengarahkan agar setiap orang taat kepada hukum, namun

kedaulatan negara bukan merupakan kehendak negara, melainkan

kemauan setiap orang merasa harus mentaatinya sebagai perintah

negara.17

Dengan demikian negara mempunyai kedaulatan atau

otorisasi dalam mengatur tujuan yang hendak dicapai, baik untuk

kepentingan bersama (komunal) maupun perorangan (individual),

namun dalam interaksinya disinyalir akan terjadi pergeseran

berbagai kepentingan, karena itu negara memerlukan kesepakatan

norma atau peraturan yang lebih rinci sebagai bentuk penjabaran

dari peraturan yang lebih tinggi seperti halnya kebijaksanaan yang

dibuat pemerintah.

17

(16)

b.

Teori hukum responsif yang dikemukakan Philippe Nonet dan

Philip Selznick membedakan hukum dalam 3 (tiga) kalsifikasi ;

pertama, hukum sebagai pelayan kekuasaa (top-down) yang

berpotensi represif ; kedua, hukum sebagai institusi tersendiri yang

berpotensi otonom ; ketiga, hukum sebagai fasilitator kebutuhan

dan aspirasi masyarakat (buttom-up) yang berpotensi responsif.

Solusi teori hukum ini antara lain memerlukan kebijaksanaan

pemerintah (diskresi), namun tidak mendorong otoritas yang tidak

terkendali.

Teori hukum responsif.

18

Sebagai perbandingan, model hukum represif merupakan

perintah penguasa dalam hal ini putusan hukum lebih kepada

kebijaksanaan pemerintah (diskresi) sebagaimana yang

digambarkan di dalam teori yang dikemukakan Thomas Hobbes,

Jhon Austin dan Karl Marx sehingga antara negara dan hukum sulit

dipisahkan, sedangkan hukum otonom lebih kepada kemandirian

hukum terutama bagi negara hukum (rule of law) sebagaimana teori

positivisme hukum kontemporer seperti H.L.H. Hart, Hans Kelsen,

A.V. Dicey dan Lon L. Fuller yang lebih banyak berbicara

18

(17)

mengenai putusan pejabat dan integritas putusan hukum sehingga

mempersempit ruang kebijaksanaan pemerintah (diskresi),

selanjutnya hukum responsif lebih berkomitmen kepada kebutuhan

dan kepentingan publik yang berorientasi kepada tujuan

sebagaimana teori realisme hukum dan Roscoe Pound atau

Dworkin dengan konsep model of rules. 19

Namun hukum responsif ketika berhadapan dengan konflik

hukum sangat memperhatikan tujuan pengambilan keputusan pada

tatanan hukum yang tidak sinkron atau konsisten atau stagnasi,

karena di samping ada otoritas kekuasaan juga memperhatikan

kepentingan masyarakat tanpa menghilangkan legitimasi prosedural

dan sanggup mengoreksi dirinya sendiri.

Oleh sebab itu maka hukum responsif dapat dikatakan relevan

dalam pemecahan masalah konflik peraturan perundangan baik

secara horizontal maupun vertikal, karena hukum responsif selalu

dikaitkan dengan masalah sosial yang sedang terjadi maupun yang

sedang berkembang di dalam kehidupan sosial masyarakat

sebagaimana digambarkan Satjipto Rahardjo sebagai berikut. 20

19ibid

, Halaman 14

20ibid

(18)

Hukum Respresif Hukum Otonom Hukum Responsif

Tuj. Hukum Ketertiban Keabsahan Kompetensi

Legitimasi Perlind. masy. Kebenaran Keadilan dasar alasan prosedural substansial

adanya negara

Peraturan Keras, terperinci Dibuat dengan Tunduk asas hukum namun lunak dan teliti dan mengi dan

kebijaksanaan-mengikat pada - kat ya membuat

pembuat peratran dan yang diatur

Alasan Bersifat keras, Melekat secara Sesuai dg tujuan yg adhoc, tepat dan ketat pada otori merupakan prluasn tersendiri tas hukum dari kompetensi le- gislatif (tujuan)

Diskresi Meresap dilaku- Dibatasi oleh a- Diperluas, tapi di-sesuai dengan turan, pengesa- pertnggngjawabkan kesmpatn yg ada han wewenang demi tujuan.

Pemaksaan Meluas, pemba- Dikendalikan o- Dicari kemngkinan tasnya lunak. leh pembatasan kira2 insentifdst yg

hukum. diciptakan sendiri sesuai kewajiban.

Politik Hukum berada Hukum terlepas Aspirasi hukum dan di bawah kekua- dari kekerasan terintegrasi menjadi saan politik. politik. Satu kesatuan

Hukum responsif yang berangkat dari pemikiran hukum

represif dan hukum otonom, dalam perkembangannya untuk

membuat hukum menjadi responsif dalam memenuhi aspirasi dan

kebutuhan sosial yang terjadi dalam masyarakat dengan

(19)

1). Kedaulatan tujuan.

Perhatian hukum responsif terhadap kedaulatan tujuan

berakar dari perkembangan hukum otonom yang memandang

pertimbangan hukum sering tidak memadai kalau hanya

berlandaskan kepada peraturan tetapi juga harus berlandaskan

tujuan sehingga dapat mengurangi kesewenangan interprestasi

tekstual dan mengekang aparatur pemerintah agar tidak

bertindak melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya

(ultra vires)

Tahap yang paling kritis ketika transisi antara hukum

otonom dengan responsif yaitu pada generalisasi tujuan

hukum sebagai sumber utama fleksibilitas dalam organisiasi

modern, sebaliknya hukum responsif tidak dibangun secara

radikal melainkan dengan cara melalui suatu pertimbangan

dan nalar yang artifisial mengandung kelonggaran tersendiri

dengan ciri khusus yaitu mencari nilai yang tersirat di dalam

peraturan perundangan maupun di dalam setiap kebijaksanaan

uang dibuat pemerintah (discretion). 21

21ibid

(20)

Namun, ketika keadaan berubah maka peraturan

perundangan yang ada harus ditata ulang tidak hanya

memenuhi kebutuhan kebijaksanaan lebih lagi melindung

otoritas peraturan perundangan dan integritasnya,

pengambilan kebijaksanaan tersebut harus berpedoman

kepada azas-azas otoritatif seperti konsep keadilan (fainess)

atau demokrasi, intinya tidak boleh ada pihak yang

mengambil keuntungan dari kesalahan akibat dari suatu

keputusan hukum.22

Namun ketika kedaulatan tujuan melemahkan otoritas

peraturan, maka hukum responsif dapat menyebabkan terbuka

lebarnya ruang bagi kebijaksanaan pemerintah (discretion)

sehingga dengan demikian maka lebih mudah menerima

otoritas tujuan yang bersifat kritis dalam menginterprestasikan

setiap peraturan perundangan, namun sebaliknya juga lebih

sulit memiliki kepercayaan otoritas tujuan bersifat afirmatif

bagi arah perkembangan kebijaksanaan yang dibuat

pemerintah (discretion) dalam pelaksanaan peraturan

perundangan berlaku.23

22Ibid.,

Halaman 65

23ibid

(21)

2). Kewajiban dan kesopanan.

Kewajiban warga negara untuk mematuhi hukum

menentukan dalam upaya menuju proses pembuatan peraturan

perundangan yang fleksibel, dengan kata lain melemahnya

kewajiban juga memiliki sumbernya sendiri dalam dan

kerumitan yang selalu menemani perkembangan hukum

otonom.

Ciri khusus dari sistem hukum yang sudah maju yaitu

keragaman yang luar biasa dari otoritas hukum. Lebih jauh

lagi peraturan perundangan yang berbeda-beda dan seberapa

kuat peraturan perundangan mampu membebankan kewajiban

bagi warga negara, variasi ini mencerminkan kontribusi yang

berbeda dalam enataan hukum yang pada akhirnya penilaian

hukum membangkitkan teknik yang terelaborasi untuk

menilai otoritas situasional perintah hukum dan manfaat

substantifnya sebagai suatu kebijaksanaan (diskretion)

sehingga di dalam kondisi tertentu peraturan perundangan

dapat saling berbenturan (konflik). 24

24ibid

(22)

Kesopanan cara hukum dilaksanakan merupakan acuan

teori hukum responsif untuk mendefenisikan dan memelihara

ketertiban umum yang cenderung dibatasi oleh tingkah laku

yang baik dilandasi kepatutan, dengan pengertian yang lebih

umum dan klasik bahwa kesopanan hukum merupakan atribut

kehidupan politik yang mendukung nilai sentral

kewarganegaraan dengan azas tidak ada anggota komunitas

politik yang tidak terlindungi sehingga selalu terpelihara

komunitas moral, karena itu pula standar kesopanan

menjangkau pelaksanaan otoritas dan partisipasi publik yang

menyerukan sikap moderat dan keterbukaan sedangkan dalam

konteks politik kesopanan menghargai mengakui

induvidualitas, keragaman dan konflik. 25

Secara khusus hukum responsif mendorong dan

mengembangkan kesopanan dalam 2 (dua) cara sebagai

berikut ;

a). Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam

moralitas komunal, dengan pengertian bahwa

pembentukan tatanan hukum yang lebih beradab, lebih

menerima keragaman budaya, tidak mudah kejam

25ibid

(23)

terhadap hal-hal menyimpang dan eksentrik, namun

tidak melepaskan diri dari konsesus moral masyarakat

b). Mendorong pendekatan baru terhadap krisis ketertiban

umum yang berpusat kepada masalah (problem

centered) dan integratif secara sosial, dengan paradigma

model pluralistik struktur kelompok dalam masyarakat,

dengan menekankan realitas dan meneguhkan legitimasi

konflik sosial, namun ketidakpatuhan dianggap sebagai

beda pendapat, kerusuhan dianggap masuk akal bahkan

diberikan pujian, karena relevansinya sebagai bentuk

protes sosial sekaligus sebagai cara sah untuk menguji

dan merobah peraturan, untuk itu seni negosiasi, diskusi

dan kompromi secara politis dapat dilibatkan.26

3). Partisipasi hukum dan partisipasi politik.

Ketika melemahnya kewajiban maka sistem hukum

mendelegasikan lebih banyak kebijaksanaan (diskretion)

pemerintah untuk membuat keputusan yang otoritatif.

Partisipasi hukum memiliki arti yang baru buakn saja bersifat

pasif dan dan kurang patuh juga diperluas hingga menjangkau

26Ibid.,

(24)

pembuatan dan interpretasi kebijaksanaan (diskretion) oleh

pemerintah, terutama dalam model rule of law tatanan hukum

dipandang sebagai bersifat hirarkhis. Perluasan partisipasi

hukum tidak hanya mengembangkan nilai demokratik tatanan

hukum melainkan juga mampu memberi kontribusi kepada

kompentensi institusi hukum, dengan ciri-ciri birokrasi oleh

pemerintah sebagai berikut 27

a). Delegasi otoritas yang luas untuk memobilisasi dan

menyebarkan sumber-sumber dalam rangka pencapaian

tujuan yang sudah ditetapkan. ;

b). Penggunaan kreatif terhadap para staf perencana,

evaluasi dan pengembangan dalam meningkatkan

kompetensi kognitif organisasi.

c). Diterimanya pengawasan dan loyalitas ganda demi

mendorong kemandirian penilaian.

d). Pembuatan keputusan kebijaksanaan partisipatif sebagai

sumber pengetahuan, sarana komunikasi dan landasan

bagi persetujuan. 28

27 Ibid.,

Halaman 77-80.

28 Ibid.,

(25)

2. Kerangka konsepsi

Kerangka konsepsi ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi

sekaligus membuat batasan dalam melaksanakan penelitian dan penulisan

tesis yang secara prinsi terkait erat dengan judul “Analisis Hukum

Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik

Pengaturan hukum pendaftaran Tanah di Kota Medan”, yaitu

dengan cara menggunakan model definisi operasional melalui kerangka

konsepsi sebagai berikut :

a.

Kata analisis berasal dari Bahasa Inggris yang di dalam

kamus Bahasa Inggris Indonesia yang disusun John M.Echols

cetakan ke XXVII tahun 2003 ditulis dengan kata “analisys” berarti

“pemeriksaan yang teliti” sedangkan kata hukummemang para ahli

mempunyai defenisi yang tidak sama, namun menurut Soerojo

Wignjodipoero dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Hukum

menyebutkan bahwa ;

Analisis hukum.

Hukum adalah “himpunan peraturan-peraturan hidup yang

bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk

(26)

demikian jika dua kata tersebut digabung menjadi satu kalimat

analisis hukum, maka maknanya dapat menjadi sebagai berikut ;

pemeriksaan yang teliti terhadap himpunan peraturan-peraturan

hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan

atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan

maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

b.

Menurut petunjuk teknis dari Deputi V Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor : 01/JUKNIS/D.V/2007

konflik adalah “perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau

persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga

atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau

publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status tentang

peruntukan, penggunaan, pemilikan dan penguasaan tanah oleh

pihak tertentu atau berdasarkan putusan Tata Usaha Negara yang

mengandung aspek politik, ekonomi sosial budaya” sedangkan

pengaturan dimaksud semua peraturan perundangan terkait

pendaftaran tanah yang dibuat oleh lembaga legislatif bersama

eksekutif atau lembaga lainnya dalam penyelenggaraan negara dan

pemerintahan.

(27)

c.

Kebijaksanaan pemerintah merupakan kebijaksanaan birokrat

yang dibuat presiden atau jajarannya sebatas discreation, namun

bukan merupakan beschikking dalam arti undang-undang yang

dibuat pihak legislatif dengan pihak eksekutif, melainkan peraturan

regelling sebatas atribut melengkapi putusan beschikking.

Kebijaksanaan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan dan

tidak bertentangan secara konstitusional termasuk yang dibuat

presiden atau bersama lembaga lain atau yang lebih rendah.

Kebijaksanaan pemerintah.

29

d.

Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 Angka (1) PP. Nomor 24

Tahun 1997 yaitu “ ... rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur

meliputi pengumpulan pengolahan pembukuan dan penyajian

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan

daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah

susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi

bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan

rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Pendaftaran tanah.

29

(28)

G . Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan di dalam penelitian

yang akurasinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan diharapkan

memberi manfaat terkait dengan penelitian dan penulisan mengenai analisis

hukum terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan

pendaftaran tanah dilaksanakan sebagai berikut.30

1 . Tipe penelitian

Penelitian ini normatif termasuk di dalam kelompok analisis data

dengan tipologi penelitian diskriptif, yang memandang hukum sebagai

suatu sistem peraturan yang abstrak dan otonom, dapat dibicarakan

sebagai subyek lain sehingga pusat perhatian tetap terfokus kepada

permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik

pengaturan hukum pendaftaran tanah.31 Penelitian normatif ini

merupakan studi hukum law in books mempelajari konsistensi,

sinkronisasi dan stagnasi pengaturan hukum pendaftaran tanah melalui

keserasian peraturan perundang-undangan bidang pendaftaran tanah yang

dipermasalahkan baik secara vertikal maupun horizontal.32

30

Oloan Sitorus dan Darminsyah Minin, 2006, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang

Hukum, Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, Cetakan Kedua, Halaman 32.

31

Bambang Sungguno, Metodologi Penelitian Hukum, op. cit., Halaman 33 dan 70.

32

(29)

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif,

dengan pertimbangan bahwa penelitian ini bertitik tolak dari analisis data

sekunder meliputi bahan-bahan hukum primer berupa ; norma dasar,

peraturan dasar, bahan hukum sekunder berupa Undang-undang Pokok

Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 serta peraturan

perundang-undangan lainnya, bahan hukum tersier berupa azas-azas dan

teori-teori serta adagium sepanjang terkait dengan kebijaksanaan

pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran

tanah, dengan cara melakukan langkah-langkah yang sistematik secara

ilmiah.

Selanjutnya dengan melalui eksplorasi literatur diharapkan dapat

menjelaskan pengertian-pengertian terkait dengan permasalahan yang

telah ditetapkan dalam penelitian ini sepanjang terkait dengan

kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum

pendaftaran tanah, antara lain ;

a. Pengertian konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah yang tidak

konsisten, tidak sinkron atau stagnasi.pada pelaksanaan kegiatan

pendaftaran tanah di kantor pertanahan

b. Pengertian kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik

pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan

(30)

2. Sumber data penelitian

Sumber data yang digunakan terutama bahan hukum primer,

sekunder dan tersier berupa peraturan perundangan, azas-azas, teori-teori,

adagium dan kamus terkait dengan permasalahan kebijaksanaan

pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran

tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan

dengan langkah sebagai berikut :

a. Penginventarisasian seluruh peraturan perundangan yang berlaku

(hukum positif) berupa undang-undang, peraturan pemerintah

pengganti undang-undang beserta peraturan pelaksananya termasuk

keputusan lembaga peradilan sepanjang mengenai pendaftaran

tanah terutama terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam

mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada

pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan

b. Penginventarisasian azas-azas dan teori-teori untuk melengkapi isi

sistem normatif yang belum tersusun lengkap terkait dengan bidang

pendaftaran tanah terutama terkait kebijaksanaan pemerintah dalam

mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada

(31)

c. Penarikan kesimpulan berdasarkan pengetahuan bidang pendaftaran

tanah yang benar, tepat, logis dan patut untuk dilaksanakan terkait

bidang pendaftaran tanah terutama terkait kebijaksanaan pemerintah

dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada

pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan.33

Namun demikian untuk mendukung hasil penelitian

diperlukan tanggapan dan pendapat para narasumber dan pakar

hukum di luar populasi.

Populasi ditetapkan yaitu pengguna pelayanan bidang

pendaftaran tanah didasarkan kepada penilaian bahwa yang

bersangkutan merupakan pelaku yang terlibat langsung dalam

penulisan tesis ini sehingga diharapkan dapat memberi tanggapan

atau pendapat yang kritis dan konstruktif sepanjang terkait

kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik peraturan

perundangan bidang pendaftaran tanah.

Sebagai tindaklanjut dari penetapan populasi tersebut di atas,

maka penelitian ini dilaksanakan terhadap 3 (tiga) orang pengguna

pelayanan pendaftaran tanah yang terbagi dalam 3 (tiga) kegiatan

pendafaran tanah, masing-masing sebagai berikut ;

33

(32)

1) Permohonan hak = 1 orang

2) Peralihan hak = 1 orang

3) Pembebanan hak = 1 orang

Penetapan instansi pemerintah menjadi narasumber

didasarkan penilaian bahwa instansi pemerintah merupakan institusi

yang terlibat langsung dalam penegakan hukum, khususnya terkait

kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik peraturan

perundangan bidang pendaftaran tanah telah dilaksanakan terhadap

3 (tiga) orang narasumber yang terdiri dari 3 (tiga) instansi

pemerintah sebagai berikut ;

1) Kantor Pertanahan Kota Medan = 1 orang

2) Pengadilan Tata Usaha Negara Medan = 1 orang

3) Notaris / Pejabat Pembuat Akta Tanah = 1 orang

Penetapan ahli hukum selaku pakar hukum didasarkan kepada

penilaian bahwa ahli hukum secara teoretik lebih memahami

tentang pendaftaran tanah terutama terkait dengan kebijaksanaan

pemerintah dalam mengatasi konflik peraturan perundangan bidang

pendaftaran tanah sehingga pada tahap generalisasi permasalahan

berada dalam satu persepsi hukum, selanjutnya dilaksanakan

terhadap 3 (tiga) orang ahli hukum sesuai dengan disiplin ilmu

(33)

1) Ahli hukum agraria = 1 orang

2) Ahli hukum perdata = 1 orang

3) Ahli hukum administrasi negara = 1 orang

3 .

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data

sekunder melalui literatur sedangkan data primer berupa tanggapan dan

pendapat dari responden yang relevan dengan permasalahan

kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum

pendaftaran tanah dilaksanakan sebagai berikut ;

Tehnik pengumpulan data.

a. Studi kepustakaan (library study)

Studi kepustakaan (library study) dimaksudkan untuk

memperoleh data sekunder berupa bahan primer, bahan sekunder

dan bahan tersier yang ada pada buku atau dalam bentuk tulisan

yang terkait dengan penelitian kebijaksanaan pemerintah dalam

mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, meliputi ;

1). Norma Dasar, yang terdapat pada Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945.

2). Peraturan Dasar, yang terdapat pada Batang Tubuh

(34)

3). Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 serta peraturan perundang-undangan

lainnya.

4). Azas-azas hukum dan teori-teori hukum serta doktrin-doktrin

para ahli hukum.

5). Kamus hukum dan adagium.

Temuan pada studi kepustakaan terkait dengan kebijaksanaan

pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran

tanah diasumsi untuk dipersiapkan sebagai pedoman pada

pelaksanaan penelitian lapangan dengan menggunakan alat

pengumpul data guna diverifikasi dengan para responden. 34

b . Penelitian lapangan (field research)

Penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk

memperoleh data dukungan terkait permasalahan kebijaksanaan

pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran

tanah, melalui tanggapan atau pendapat dari responden yang telah

ditetapkan sebelumnya dengan menggunakan alat pengumpul data

berupa wawancara dan angket dimaksudkan untuk memperoleh data

primer melalui tanggapan atau pendapat para responden dengan

mengajukan pertanyaan secara langsung dan angket yang berkaitan

(35)

4. Metode analisis data

Data sekunder yang ditemukan di penelitian kepustakaan (Library

study) berupa norma dasar, peraturan dasar, Undang-undang Pokok

Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peraturan

perundangan terkait lainnya yang menjadi bahan hukum primer dan

teori-teori hukum, azas-azas hukum dan doktrin-doktrin hukum dari para ahli

hukum yang menjadi bahan hukum sekunder serta adagium dan kamus

hukum yang menjadi bahan hukum tersier sepanjang relevan dengan

permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik

pengaturan hukum pendaftaran tanah, akhirnya dianalisis dengan

menggunakan metode pendekatan kualitatif.

Data primer yang ditemukan dalam penelitian lapangan (field

research) berupa tanggapan atau pendapat dari responden berkaitan

dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik

pengaturan hukum pendaftaran tanah yang diperoleh melalui wawancara

dan angket akhirnya dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif

digeneralisasi melalui tahapan klasifikasi, tabulasi dan dianalisis tanpa

menggunakan angka kecuali sebatas uaraian atau tabulasi.

34

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menjelaskan dan menguraikan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan kaidah-kaidah yang terkandung dalam

Asuhan kebidanan pada Ny.”W” dilakukan secara berkelanjutan mulai dari usia kehamilan 39/40 minggu dengan frekuensi kunjungan 1 kali, persalinan 1 kali, Nifas 4

Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui korelasi antara susut yang terjadi pada jaringan distribusi dengan variasi bentuk kurva beban dan variasi besar

Diantara parameter aktivitas mikroba adalah aktivitas eksoenzim tanah, respirasi tanah dan biomasa mikroba yang merupakan indikator kualitas tanah secara biologi.. 3.2.1

Semua pelajar hendaklah mematuhi arahan ketika membuat pembayaran yuran pengajian / yuran asrama / bayaran pelbagai di Bank Islam (M) Berhad (BIMB).. Pihak Politeknik KPT

Mengagihkan jenis-jenis pertandingan yang melibatkan persatuan/ kelab akademik kepada ketua panitia/guru persatuan/kelab Arahan Kementerian Arahan

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KENDAL DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014. : KENDAL : JAWA TENGAH : KENDAL 4 MODEL BE MODEL BE MODEL BE MODEL BE MODEL BE MODEL

anita usia subur - cakupan yang tinggi untuk semua kelompok sasaran sulit dicapai ;aksinasi rnasai bnntuk - cukup potensial menghambat h-ansmisi - rnenyisakan kelompok